• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Daging diartikan sebagai jaringan hewan yang dapat digunakan. sebagai bahan makanan, termasuk semua hasil proses pengadaan pabrik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Daging diartikan sebagai jaringan hewan yang dapat digunakan. sebagai bahan makanan, termasuk semua hasil proses pengadaan pabrik"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

DAGING

Daging diartikan sebagai jaringan hewan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan, termasuk semua hasil proses pengadaan pabrik yang berasal dari jaringan hewan (Forrest et a/., 1975). Menurut Lawrie (1991) daging didefinisikan sebagai sesuatu yang berasal dari hewan termasuk limpa, ginjal, otak serta jaringan-jaringan lain yang dapat dimakan. Daging merupakan urat-urat daging yang betwarna merah yang tersusun oleh jaringan sel-sel yang bergaris melintang (Palupi, 1986). Jaringan set ini secara umum dapat dibagi ke dalam empat golongan, yaitu : jaringan kulit, jaringan pengikat, jaringan syaraf dan jaringan otot. Pada hewan terdapat tiga macam otot, yaitu otot bergaris melintang yang menyusun karkas, otot polos yang sebagian dibuang ketika ternak dikuliti dan otot jantung yang merupakan gabungan antara keduanya. Otot polos adalah otot-otot yang terdapat pada dinding alat pencernaan, dinding pembuluh darah dan kulit. Secara normal pada jaringan tubuh dan darah hewan yang sehat tidak ditemukan bakteri patogen, tetapi setelah hewan mati jaringan tubuhnya akan terkontaminasi dengan mikroorganisme (Soeparno, 1992).

Buckle et a/., (1985) menyatakan bahwa karkas tersusun dari kira-kira enam ratus jenis otot yang berbeda ukuran dan bentuknya, berbeda susunan syaraf dan persediaan darahnya, serta melekatnya pada bagian tulang, persendian dan tujuan serta jenis gerakannya. Selanjutnya juga disebutkan

(2)

kesehatan daging merupakan bahagian yang penting bagi kesehatan makanan dan selalu menjadi pokok persoalan dalam penyediaan daging bagi konsumen. Oleh karena itu perlu suatu kriteria utuk menentukan daging yang baik untuk konsumsi, sebab daging dapat menjadi sumber penyakit seria dapat mengganggu kesehatan konsumen. Daging sapi yang dapat dikonsumsi adalah daging yang berasal dari sapi sehat. Saat penyembelihan dan pemasaran dalam pengawasan petugas rumah potong hewan serta selama pemasaran terbebas dari pencemaran mikroorganisme. Dengan kasat mata daging sapi yang baik dapat diamati yaitu, berwarna merah segar, berbau aromatis, dengan konsistensi kenyal, bila ditekan tidak banyak mengeluarkan cairan (Riley et a/., 1985).

Daging sebagai sumber protein hewani, mempunyai nilai hayati (biological value) yang tinggi, yaitu mengandung 19 % protein, 5 % lemak, 70 % air, 3,5 % zat-zat non protein, mineral dan bahan lainnya 2,5 % (Forrest et a/.,, 1992). Anggorodi (1 984) juga menyebutkan, bahwa komposisi kimia daging sapi terdiri dari 66,6 % air, 20,2 % protein, 12,3 % lemak dan 0,9 % abu. Selanjutnya Lawrie (1 991) menyatakan, komposisi daging mendekati 75 % air, 18 % protein, 3,5 lemak dan 3,5 % zat-zat non protein yang dapat larut. Secara umum komposisi kimia daging terdiri dari 70 % air, 20 % protein, 9 % lemak dan 1 % abu. Jumlah ini akan berubah bila hewan digemukkan, yang mengakibatkan pengurangan persentase dari air dan protein serta terjadi peningkatan pada lemak (Romans et a/., 1994).

(3)

Komponen air penting dalam bahan makanan karena dapat mempengaruhi warna, tekstur dan cita rasa makanan. Kandungan air sangat berpengaruh terhadap konsistensi bahan pangan, dimana sebagian besar bahan pangan segar mengandung 70 persen air (Winarno, 1984). Kandungan air pada daging 75 persen, ha1 ini menyebabkan daging merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme. Kadar air cenderung akan berkurang bila daging mengalami pemasakan atau proses- proses perlakuan lainnya. Daging merupakan sumber utama untuk mendapatkan asam amino essensial. Asam amino yang terpenting di dalam otot segar adalah alanin, glisin, asam glutamat dan histidin. Daging sapi mengandung asam amino leusin, lisin dan valin yang lebih tinggi dari pada daging babi atau domba. Pemanasan dapat mempengaruhi kandungan protein daging. Daging sapi yang dipanaskan pada temperatur 70 O C akan

mengurangi jumlah lisin yang tersedia di dalamnya menjadi 90 persen, sedangkan bila dipanaskan pada temperatur 160 O C maka hanya tersedia 50

persen lisin. Pengasapan dan penggaraman juga sedikit mengurangi kadar asam amino (Lawrie, 1991).

Kandungan lemak dalam daging turut menentukan kualitas daging, karena ha1 ini menentukan cita rasa dan aroma daging. Keragaman yang nyata dalam komposisi lemak terdapat antara jenis ternak memamah biak dan ternak yang tidak memamah biak karena adanya hidrogenasi oleh mikroorganisme rumen (Buckle et a/., 1985). Selanjutnya Price dan Schweigert (1971) menyatakan lemak sapi kaya akan asam stearat (20

(4)

persen), asam palmitat (29 persen) dan asam oleat (42 persen) serta sejumlah kecil asam lainnya.

Karbohidrat dalam daging terdapat dalam bentuk glikogen yang disimpan dalam jaringan otot dan hati. Setelah hewan dipotong, glikogen di dalam otot berubah menjadi asam laktat dalam keadaan anaerob. Daging akan lebih tahan lama disimpan karena asam laktat berperan sebagai pengawet. Daging yang mempunyai persediaan gllikogen sedikit akan lebih cepat menjadi busuk, karena itu sebelum dipotong hewan pedu diistirahatkan untuk rneningkatkkan kadar glikogennya (Palupi, 1986).

KUALITAS DAGING

Kualitas daging adalah ukuran dari karakteristik daging yang dinilai oleh konsumen (Kauffman dan Marsh, 1987). Untuk itu harus ada penanganan yang baik agar kualitas nutrisi dari daging tidak berkurang yang menyebabkan mutunya menjadi rendah. Ada tiga faktor yang dapat dijadikan kriieria untuk menentukan kualitas daging yakni; (1) nilai gtzi daging itu sendiri; (2) selera konsumen terhadap daging segar dan (3) faktor teknologi penanganan dan pengolahan daging (Gurnadi, 1986). Faktor pertama (nilai gizi) ditentukan oleh kandungan protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Sedangkan faktor kedua yakni

selera

konsumen ditentukan terutama oleh penampilan daging dalarn pemasaran daging segar, antara lain warna daging, keempukan daging, derajat perlemakan (marbling), ketegaran (firmness), sari minyak (juiciness) dan tekstur daging. Faktor teknologi

(5)

meliputi cara pemotongan dan penanganan hewan sebelum dan sesudah pemotongan sehingga mutu daging yang dihasilkan baik apakah secara kuantitatif maupun kualitatif dan setelah dilakukan pengolahan benar-benar mempunyai citarasa yang tinggi.

Menurut Palupi (1986), dalam menentukan kualitas daging dapat dilihat dari sudut produsen, pengecer dan konsumen. Produsen melakukan kualifikasi dengan melihat umur ketika ternak dipotong, lemak (marbling), tekstur, warna dan kekenyalan. Sedangkan pengecer akan mempertimbangkan warna, kekenyalan, tekstur dan lemak. Konsumen lebih memperhatikan keempukan, rasa dan kegurihan setelah daging dimasak.

Daging yang berkualitas tinggi adalah yang berkembang penuh dan baik. Dijelaskan lebih lanjut oleh Lawrie (1991) dan Forrest et al., (1975) kualitas daging ditentukan oleh keempukan (tenderness), cita rasa (flavor), tekstur, aroma, warna, sari minyak atau jus daging (iuiceness), lemak intramuskuler (marbling), hilangnya air selama perebusan atau susut masak (cooking loss), daya mengikat air oleh protein daging (water-holding capacity) dan pH daging. Kualitas daging juga dipengaruhi oleh jenis kelamin, genotipe, bobot badan, pakan waktu penggemukan, pengangkutan ke rumah potong, perlakuan sebelum pemotongan, dan penanganan setelah pemotongan termasuk cara penyimpanan. Fernandez et al., (1996) melaporkan bahwa terjadi penurunan nilai keempukan daging sapi akibat transportasi yang jauh sebelum pemotongan.

(6)

Keempukan daging akan menurun dengan bertambahnya umur dan meningkatnya bobot potong, sebab pertambahan umur dan bobot potong akan menyebabkan perubahan jumlah jaringan ikat dan ukuran serat berkas otot (Lawrie, i 991). Menurut Forrest et a/., (1975) komponen utama yang mempengaruhi keempukan daging adalah jaringan ikat, kelompok serat otot dan kelompok lemak. Jaringan ikat terutama kolagen dan jumlah ikatan silangnya mempunyai peranan yang besar terhadap keempukan daging (Wythes dan Ramsay, 1981). Apabila hewan semakin tua, akan terjadi perubahan struktur jaringan ikat dan daging menjadi lebih keras sehingga nilai shear force meningkat. Sifat keempukan daging diartikan sebagai daging yang telah dimasak dengan kemudahannya dikunyah tanpa kehiangan sifat- sifat jaringan yang iayak OlVythes dan Ramsay, 1981).

Forrest et a/. , (1

975),

menyatakan bahwa keempukan merupakan faktor yang terpenting dan paling diperhatikan konsumen diantara faktor- faktor yang mempengaruhi kualitas daging lainnya. Sukarni (1979), mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi keempukan adalah keadaan sefabut otot, jenis ternak, umur, makanan, aktifitas ternak

serta

perlakuan sebetum dan sesudah pemotongan ternak. Ukuran keempukan didasarkan pada sensori test dan shear test. Sensori test atau uji organoleptik adalah uji mengunyah sampel daging yang dikontrol secara hati-hati, yang dilakukan dengan uji panel. Shear test adalah keempukan daging dinyatakan sebagai besarnya tekanan yang dibutuhkan untuk memotong sampel daging

(7)

dengan alat Warner Bratzler Shear Force (Romans et a/., 1994 ; Forrest et a/., 1975).

Faktor lain yang berhubungan dengan kualitas fisik daging adalah derajat keasaman (pH). Dimana pH merupakan salah satu indikator yang penting dari kualitas daging (Huffman, 1990). Disebutkan juga penurunan pH pasca mati ditentukan oleh kandungan asam laktat yang terakumulasi dalam otot yang selanjutnya ditentukan oleh kandungan glikogen dalam jaringan dan penanganan sebelum pemotongan dan penimbunan asam laktat akan terhenti setelah cadangan glikogen otot habis atau setelah kondisi tercapai pada pH yang cukup rendah untuk menghentikan aktivitas enzim glikolitik di dalam proses glikolisis anaerobik. Keadaan glikogen otot pada saat pernotongan akan tetap tinggi jika hewan diberi diet yang baik (Meyer, 1982). pH ultimat normal daging postmortem adalah sekitar 5,5 yang sesuai dengan titik isoelektrik sebahagian besar protein daging termasuk protein miofibril. Pada umumnya glikogen tidak ditemukan pada pH antara 5,4

-

5,5 (Lawrie, 1991)

Menurut Lawrie (1991), faktor yang mempengaruhi laju dan besarnya penurunan pH postmortem dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor instrinsik meliputi spesies, tipe otot, glikogen otot dan variabilitas diantara ternak, sedangkan faktor ekstrinsik adalah temperatur lingkungan, perlakuan bahan aditif sebelum pernotongan dan stress sebelum pemotongan. Menurut Buckle et a/., (1987) rendahnya glikogen otot berkorelasi dengan istirahat dan ketenangan ternak.

(8)

Laju penurunan pH daging (Forrest et a/., 1975), secara umum dapat dibagi tiga yaitu:

1. pH menurun secara bertahap dari 7.0 sampai sekitar 5.6

-

5.7 dalam waktu 6

-

8 jam setelah pemotongan dan mencapai titik pH akhir yang umumnya 24 jam setelah pemotongan yaitu sekitar 5.3

-

5.7. Pola penurunan pH ini dikategorikan normal.

,.

2. pH menurun sedikit sekali pada jam-jam pertama setelah pemotongan dan tetap relatif tinggi, serta mencapai pH akhir sekitar 6.5

-

6.8. Sifat daging yang dihasilkan gelap (dark), keras (firm) dan kering (dry), kondisi seperti ini disebut daging DFD.

3. PH menurun relatif cepat sampai sekitar 5.4

-

5.5 pada jam-jam pertama setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.3 -5.6. Sifat daging yang dihasilkan pucat (pale), lunak (soft) dan berair (exudative), dikondisikan sebagai daging PSE.

Penurunan pH setelah pemotongan dan pengaruhnya terhadap kualitas daging dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 1. Penurunan pH Setelah Pemotongan pada Daging sebagai lndikator Kualitas Daging (Huffman, 1990).

Waktu Uji 24 jam 45 menit 24 jam Kualitas Daging Normal PSE DFD pH awal 7.2 7.2 7.2 Glikolisis Lam bat Cepat

Lambat (tidak lengkap)

pH akhir + 5.5 < 5.5 > 6.2

(9)

Laju penurunan pH di atas dapat dilihat pada Gambar I. Wama Daging yang dihasilkan Gelap PH Normal 5.0

-

Pucat C I I I I I

I

1 2 3 4 5 6 24 Waktu Postmortem

Gambar 1. Kurva Penurunan pH Daging Setelah Hewan Dipotong (Forrest et al., 1975)

PENYIMPANAN DAN PENGAWETAN

Penyimpanan bertujuan untuk menjaga dan mempertahankan mutu komoditi yang disimpan dengan cara menghambat berbagai factor yang dapat menurunkan mutu tersebut baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Pada produk pangan banyak sekali kerugian yang dialami dan menyebabkan bahan pangan tersebut tidak dapat dipakai lagi karena proses

(10)

pembusukan. Menurut Buckle et a/., (1985) secara umum pembusukan bahan pangan terjadi melalui : kerja mikroorganisme (bakteri, ragi dan jamur), serangga, binatang pengerat, proses metabolisme dalam jaringan bahan pangan, proses oksidasi yang menyebabkan ketengikan dan kcrusakan cita rasa serta warna, penyerapan bau dari luar, kesalahan dalam persiapan pengolahan dan kontaminasi dengan senyawa-senyawa yang tidak diiginkan. Penyebab utama yang mempengaruhi kebusukan pada daging segar adalah mikroorganisrne dan perubahan enzimatislnon enzimatis yang terjadi setelah penyembelihan temak dan penanganan lanjutannya baik dalam bentuk segar maupun setelah menjadi bentuk olahan sehingga mempengaruhi sifat kimia, fisik dan organoleptiknya (Romans et a/., 1994). Ada beberapa cara untuk memperpanjang masa simpan daging dan daging proses yaitu dengan cara pengawetan. Pengawetan daging dimaksudkan untuk mengurangi atau menghentikan sama sekali sesuai dengan teknik yang digunakan, perubahan-perubahan yang terjadi pada daging segar atau produk olahannya selama proses penyimpanan, sehingga memungkinkan produk tersebut tersedia sepanjang tahun dan terjaga kualitasnya. Pengawetan daging dapat dilakukan dengan metode tradisional dan modem. Menurut Romans et a/., (1 994) ada beberapa cara penanganan untuk memperpanjang masa simpan daging agar awet dan tahan lama yaitu: penggunaan suhu rendah (pendinginan dan pembekuan), penambahan bahan-bahan pengawet (garam, sodium nitrit, sodium nitrat, gula, penambahan asam misalnya asam

(11)

asetat, propionat, sorbat dan laktat serta bumbu-bumbu), pengasapan, pengeringan, pengawetan dengan irradiasi dan cara pengemasar;.

Proses Pembuatan Sie Reuboh

Kebanyakan metode pengawetan bahan pangan merupakan kombinasi dari dua atau lebih dasar-dasar pokok pengawetan, seperti : pemanasan, perebusan, penurunan aktifitas air, penggaraman dan pemberian rempah-rempah (Desrosier, 1 988). Sie Reuboh merupakan produk pengolahan bahan pangan daging khas daerah Aceh yang diawetkan dengan komposisi metoda-metoda pengawetan di atas. Sebagaimana proses pembuatan produk makanan tradisional lainnya, proses pembuatan Sie Reuboh belum dibakukan, karena merupakan seni memasak keluarga yang bersifat rahasia. Dalam proses pembuatannya Sie Reuboh ini mengalami perebusan berulang secara berkala dengan penambahan asam cuKa, garam, lemak dan rempah-rempah sebagai bumbu dan perebusan ulang ini bertujuan untuk mencairkan lemak dan menjaga kehigienisannya.

Perebusan daging dalam pembuatan Sie Reuboh dilakukan pada suhu didih air (100 OC), sampai daging menjadi masak. Pemberian asam cuka dilakukan waktu daging hampir masak (suhu 85 OC). Desrosier (1988) dan Winarno (1988) menyatakan bahwa perebusan pada suhu air mendidih pada umumnya dapat dianggap mampu mematikan semua mikroba pangan dan enzim. Disamping itu juga mengakibatkan perubahan yang tidak dikehendaki seperti : perubahan warna, tekstur, cita rasa dan nilai nutrisi. Dari beberapa

(12)

literatur disebutkan bahwa perebusan, pemberian garam, asam, lemak dan rempah-rempah dapat mempengaruhi komposisi nutrisi daging. Bahan-bahan yang ditambahkan pada pembuatan Sie Reuboh adaiah (1) cuka (asam asetat), (2) garam, (3) lemak dan (4) rempah/bumbu.

1. Asam Asetat (Cuka)

Asam asetat untuk produksinya dapat dilakukan secara fermentasi dan kimia. Di Indonesia fermentasi asam asetat merupakan kegiatan industri rumah tangga, terutama sekali di daerah-daerah yang banyak ditumbuhi pohon aren. Aren (Arenga pinnata, Men) merupakan salah satu tanaman jenis palma yang banyak terdapat didaerah-daerah pantai , lembah dan tebing sungai (Miller, 1964). Pohon aren ini merupakan tanaman serbaguna karena hampir seluruh bagian tanaman tersebut dapat dimanfaatkan, m~ilai dari tandan bunganya, buah, ijuk, umbut batangnya dan bagian tulang daunnya. Dari bagian tandan bunganya diperoleh cairan bening yang rasanya manis dan dikenal sebagai nira aren (Muchtadi et a/., 1975). Miller (1964) mengemukakan bahwa kadar gula dalam aren adalah 14

-

16 %, sedangkan menurut (Muchtadi

et

a/., 1975). sekitar 15%. Nira aren dapat dimanfaatkan menjadi gula merah, tuak dan cuka aren. Gula aren diperoleh dengan cara memanaskan nira aren selama beberapa jam di atas api sampai didapatkan cairan kental berwarna coklat (Miller, 1964).

(13)

Tabel 2. Analisis Nira Segar Beberapa Tanaman

Komposisi Nira Tebu Nira Bit Nira Aren

Air (%) 73 77 80

-

85 Sukrosa (%) 14 17 15 Non-gula (organik %) 7 2 0.3 Non-gula (anorganik %) 4 0.7 0.02 Gula invert (%) 1 0.125 0.13 Nitrogen (%) 0.14 0.83 0.05 Keasaman (%) 5.5

-

6.6 6.2

-

6.8 5.5

-

7.2 Sumber : Miller(l964)

Komposisi nira suatu tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain varietas dan umur tanaman , keadaan tanah, iklim dan pemupukan. Pada umumnya nira terdiri dari air, sukrosa, gula pereduksi, bahan organik dan anorganik (Abdulkadir, 1977).Karena kandungan gulanya yang tinggi, maka nira merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan mikroba. Menurut Abdulkadir (1977) nira yany dibiarkan lama di alam terbuka akan mengalami fermentasi spontan sehingga menjadi keruh dan asam rasanya.

Fermentasi spontan nira aren menghasilkan minuman beralkohol yang disebut tuak aren. Kekhasan tuak sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : frekuensi dan musim yang berlangsung sewaktu penyadapan dan jangka waktu penyimpanan (Swings dan De Ley, 1977). Diduga tuak merupakan gabungan hasil fermentasi asamasem laktat, asetat dan alkohol yang melibatkan aktifitas bakteri asam laktat seperti Lactobacillus dan Streptococcus, bakteri asam asetat, antara lain Acetobacter dan Gluconobacter dan mikroba penghasil alkohol yaitu Sacchammyces cerevisiae (Steinkraus, 1983).

(14)

Produk ketiga dari nira aren adalah cuka aren, diperoleh dengan cara membiarkan nira mengalami fermentasi secara alamiah. Terjadi dua tahapan perubahan pada saat proses fermentasi, yaitu perubahan gula menjadi alkohol oleh aktifitas khamir, selanjutnya alkohol berubah menjadi asam cuka dilakukan oleh bakteri penghasil asam dan fermentasi kedua dimulai setelah fermentasi pertama selesai (Desrosier dan Desrosier, 1978). Jadi asam asetat di hasilkan dari oksidasi alkohol oleh bakteri asam asetat menjadi asetaldehida, kemudian asetaldehida akan dioksidasi menjadi asam asetat (Ebner dan Follmann, 1983) melalui reaksi sebagai berikut :

C2H50H ---+ CH3CH0 + 2 (H) Alcohol dehidrogenase

CH3CH0.H20 b-. CH3COOH +2 (H)

Asetaldehide dehidrogenase

Menurut reaksi tersebut, dari 100 bagian alkohol akan dihasilkan 130 bagian asam asetat, tetapi dalam prakteknya hanya dihasilkan 125 bagian asam asetat karena sebagian hilang akibat penguapan atau diubah menjadi produk lain (Desrosier, 1988). Menurut Ebner dan Follmann (1983), efisiensi pembentukan asam asetat berkisar antara 95-98%. Dalam fermentasi asetat dikenal istilah konsentrasi total yaitu penjumlahan konsentrasi asam asetat yang dinyatakan dalam g1100 ml (%, blv) dan konsentrasi alkohol dalam persen volume (%, vlv). Di Amerika cuka makan harus mengandung asam

(15)

asetat paling sedikit 4% dan

0,5%

alkohol paling banyak (Ebner dan Follmann, 1983).

Palupi (1986) menyatakan bahwa asam asetat lebih banyak terdapat pada produk-produk pangan hasil fermentasi. Pemberian asam ke dalam bahan pangan daging mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya : mendapatkan cita rasa yang diinginkan serta berkasiat dalam mencegah dan menghambat pertumbuhan mikroba, karena dapat menurunkan pH dan menghambat dissosiasi daya zat-zat yang bersifat racun (Jenie, 1987).

Daging segar pada umumnya mempunyai kisaran pH antara 5,l-6,8. Tinggi rendahnya pH daging sangat tergantung dari keadaan ternak sebelum, pada saat dan sesudah penyembelihan (Gurnadi, 1986). Penambahan asam asetat dapat mempengaruhi pH daging (Brock dan Brock, 1978). Jenie dan Winarno (1983) menyatakan bahwa asam dapat mengakibatkan denaturasi protein dan tingkat denaturasi dipertinggi dengan adanya pemanasan.

Buckle et a1.(1985) menyatakan, pada umumnya bakteri tidak dapat tumbuh pada pH di bawah 5, sementara beberapa bakteri seperti Bacilli dan bakteri asam laktat masih dapat tumbuh pada pH 4. Pada pH kurang dari 4 kerusakan bahan pangan didominasi oleh ragi dan kapang (Palupi, 1986).

2. Pemberian Garam

Garam (NaCI) sering disebut garam dapur, banyak sekali digunakan baik sebagai penyedap pada makanan maupun sebagai bahan pengawet khususnya sering digunakan untuk mengawetkan ikan, daging dan telur

(16)

(Buckle, 1985). Garam terdiri dari ion natrium dan klorida. Natrium khlorida disusun oleh 39.337 persen natrium dan 60.663 persen khlorin ber6asarkan berat. Penggaraman pada bahan pangan daging merupakan salah satu dari sekian cara pengawetan yang sudah lama dilakukan dan satu-satunya metoda yang paling mudah dilakukan (Moeljanto, 1982). Maksud penambahan garam ke dalam bahan pangan diantaranya adalah

:

memberi cita rasa yang lezat, membuat daging menjadi lebih lunak, menghambat pertumbuhan bahkan membunuh mikroba terutama mikroba pembusuk yang bersifat proteolitik maupun lipolitik, dan mengaktifkan kerja enzim (Lansdell et a/. , 1995).

Awetnya bahan pangan dengan penambahan garam adalah karena menurunnya aktifrtas air (Aw) sampai dengan titik tertentu (Huffman et a/., 1996). Dimana garam dapat menggantikan kedudukan air dalam jaringan daging sehingga dapat membatasi air yang tersedia, dan mengeringkan protoplasma (Palupi, 1986). Secara teoritis penurunan aktifitas air tersebut adalah : garam terionisasi dalam larutan, kemudian setiap ion menarik molekul air dari dalam daging (hidrasi

ion)

(Desrosier, 1988). Dengan demikian air yang ada dalam daging akan keluar dan kedudukan air digantikan oleh garam sampai tercapai suatu keadaan tekanan osmose yang seimbang. Akibatnya aisa csiran dalam daging semakin mengental dan protein akan menggumpal (terdenaturasi), selanjutnya daging akan mengkerut (Moeljanto, 1982).

(17)

Garam juga mengakibatkan osmosa pada sel-sel mikroba sehingga terjadi plasmolisa yang berakibat matinya mikroba (Desrosier dan Desrosier, 1978). Suatu larutan garam dapur jenuh (26,5 OC pada suhu ruang)

menyebabkan bakteri, jamur dan kamir tidak mampu tumbuh. Banyak mi kroba khususnya Leuconostoc dan species Lactobacillus, mampu tum buh cepat dalam bahan pangan yang mengandung garam sedang (Desrosier, 1988). Nes et al., (1982) menyatakan, bakteri pembentuk spora baik yang aerob maupun anaerob dan bakteri proteolitik tidak toleran terhadap larutan garam

Sebenarnya garam tidak bersifat membunuh (gercidal), karena dalam konsentrasi rendah (1-3 persen) Justru membantu pertumbuhan bakteri, sampai 4 persen dapat melindungi spora yang resisten terhadap panas (Moeljanto, 1982). Selanjutnya juga dinyatakan bahwa kadar garam yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri non halofilik ternyata berbeda-beda. Bakteri pembentuk spora yang obligat anaerob rupanya yang paling peka terhadap garam. Banyak diantaranya yang terhambat sama sekali pertumbuhannya pada kadar garam 5 persen dan umumnya dalam larutan garam 10 persen. Bakteri-bakteri gram negatif berbentuk batang umumnya terhambat sama sekali pertumbuhannya pada kadar garam 5-10 persen. Pembentuk spora yang anaerob biasanya tahan garam, masih dapat bertahan hidup pada kadar garam 15-20 persen.

(18)

3. Pemberian Lemak

Brenen et a/. (1980) menyatakan bahwa adanya lemak pada permukaan daging dapat berfungsi sebagai emulsi dan sebagai anti mikroba. Lebih lanjut dikatakan bahwa Free fatty acid, monogliserol ester, polygliserol ester di- dan tri-gliserida memperlihatkan aktifitas melawan beberapa bakteri gram negatif dan ragi. Selanjutnya dengan konsentasi 5-100 ug per ml monolaurin memperlihatkan potensi besar sebagai anti mikroba terhadap spesies Steptococcus, Staphilococcus, Corinebacterium, Nocardia, Micrococcus, Sarcina dan Saccharomyces.

Pencegahan pertumbuhan mikrobia yang diperlihatkan oleh lemak adalah dengan mempengaruhi dinding sel bakteri. Juga dikemukakan bahwa asam lemak membentuk suatu monolayer (selaput selapis) di sekeliling bakteri yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan akibat terhambatnya pengangkutan hara ke dalam sel dan meningkatnya hasil metabolisme di dalam sel.

Bila konsentrasi berada di bawah batas minimum inhibitor, maka kemampuan lemak sebagai inhibitor akan hilang. Keadaan ini disebabkan lapisan monolayer pada dinding sel bakteri dapat dinetralisir oleh enzim lipolisis yang diekskresikan oleh bakteri tersebut (Muhtanem, 1980). Penambahan lemak tidak hanya berfungsi sebagai anti mikrobial, namun juga dapat meningkatkan cita rasa.

Sebaliknya Hammes et a/. (1 971) menyatakan ba hwa komposisi. lemak yang terdapat pada bahan pangan mempunyai efek melindungi (protective

(19)

effect) mikroba terhadap pemanasan, pati dan protein juga mempunyai sifat yang sama. Dengan demikian bahan pangan berlemak membutuhkan suhu dan waktu pemanasan yang lebih tinggi dan lama.

4. Pemberian RempahBumbu

Rempah-rempah atau bumbu adalah sejenis tanaman atau sayuran beraroma, baik berupa rimpang, daun, kulit pohon, buah, biji maupun bagian tanaman lainnya yang digunakan untuk meningkatkan citarasa makanan (Shankaracharya et a/., 1975). Pemberian rempah-rempah pada makanan dapat meningkatkan cita rasa, aroma, nilai organoleptik, merangsang selera, merangsang pencernaan dan alat pencernaan untuk siap sedia mencerna makanan (De Wit et a/., 1978). Disamping itu juga dapat rnenghambat aktifttas dan merangsang pertumbuhan bakteri tertentu (Moeljohardjo, 1975).

Menurut Purseglove et a/., (1981) rempah digunakan dalam makanan adalah untuk meningkatkan selera dan nafsu makan, di samping itu juga digunakan sebagai bahan pengawet dan fumigan. Oalam bidang farrnasi rempah-rempah sering digunakan sebagai bahan untuk mencampur obat- obatan serta untuk mengurangi rasa yang kurang sedap. Untuk mendapatkan rasa dan aroma yang lebih murni, rempah-rempah dapat diolah menjadi minyak atsiri dan oleoresin. Rasa khas yang ditimbulkan merupakan peranan dari komponen aromatik pada minyak atsiri dan komponen pedas dati oleoresin. Rasa ini dapat merangsang nafsu makan pada saat pencernaan terganggu. Di samping itu juga rempahlbumbu berfungsi memperbaiki

(20)

penampakan makanan (Thomas, 1984). Selanjutnya Muhtanem (I 980) menyatakan bahwa ekstrak ethanol pada beberapa rempah-rempah seperti : jahe, lengkuas, cabai, bawang putih dan lada memiliki sifat anti mikrobial. Wido (1 982) menyatakan bahwa rimpang jahe menganduing sekitar empat setengah persen alkohol, oleoresin (gingerin), lemak, protein dan vitamin A,

0, dan C.

Rempahlbumbu yang digunakan pada pembuatan Sie Reuboh adafah cabe merah, bawang putih, kunyit, lengkuas, dan jahe. Cabe (Capsicum sp) biasanya digunakan sebagai bumbu dapur, bahan penyedap dan ramuan obat-obatan tradisional. Buah cabe sangat bervariasi baik dalam ukuran, bentuk, warna, flavor dan kepedasannya. Menurut Purseglove et a!., (1 981) buah cabe mengandung "fixed (fatty) oiln, kapsaisin (berasa pedas), resin, protein, selulosa, pentosa dan mineral. Komponen kapsaisin yang menyebabkan rasa pedas tersebut, salah satunya adalah kapsinoid. Disamping itu kapsaisin pada cabe bersifat tidak befwama, mencair pada suhu 6 5 ' ~ dan pada suhu yang lebih tinggi akan menguap. Jumlah kapsaisin pada cabe yang dianalisa dengan menggunakan kromatografi gaslcairan berkisar antara 0,05 sampai 14 persen. Wama merah pada cabe disebabkan oleh adanya pigmen-pigmen tertentu di dalam cabe, yaitu campuran pigmen karotenoid.

Cabe merupakan salah satu bumbu dapur yang dapat merangsang pertumbuhan mikroba, sehingga makanan yang terdapat cabe di dalammya akan cepat menjadi rusak. Menurut Winamo dan Jennie (1974) penyebab

(21)

kerusakan makanan bercabe adalah kerusakan mikrobiologis yang umumnya disebabkan oleh mikroba pem busu k seperti Bacterium anthomonas dan Glasparium sp. Siswoputranto (1973) melaporkan bahwa untuk cabe kering utuh, kerusakannya disebabkan oleh kapang Aspergillus flavus.

Selanjutnya Desrosier (1988) menyatakan bahwa minyak rempah- rempah seperti minyak bawang putih, minyak jahe yang terdapat di dalam bahan pangan disamping berfungsi sebagai agensia penyedap juga memiliki daya mengawetkan. Bawang putih (Allium sativum) mengandung minyak volatile, protein, selulosa dan mineral. Konsentrasi minyak volatil pada bawang putih sekitar 0.1 persen, berwama kuning kecoklatan dan berbau pedas (Thomas, 1984). Selanjutnya Thomas (1 984) menyatakan bahwa minyak vdatil bawang putih terdiri dan dialil disulfda (C6Hq0S2) sebanyak 60 persen, dialil trisulfida (C6Hq0S3) 20 persen, alii propil disulfida (C6Hq2S2) sebanyak 6 persen, sejumlah kecil dietil disulfida dan dietil polisulfida. Rasa dan bau bawang putih yang khas disebabkan oleh dialii sulfida.

De Wit et al. (1 978) menyatakan bahwa 1500 ug minyak bawang putih per gram daging giling dapat menghambat produksi toksin Clostridium botulinum type A (strain 73 A). Disamping itu, bumbu juga dapat mempengaruhi komposisi kimia daging secara langsung karena mengandung protein, lemak, karbohidrat dan mineral-mineral, seperti bawang putih mengandung 4.5 gram protein tiap 100 gram bawang putih (Muchtadi dan Setiawati, 1985). Jackson dan Shinn (1 979) menyatakan bahwa bumbu

(22)

disamping berpotensi sebagai antimikrobial juga merupakan media pengkontaminasian mikroba ke dalam bahan pangan.

Kunyit (Curcuma domesfica val.) merupakan salah satu jenis rempah- rempah yang telah dikenal oleh masyarakat Indonesia, yaitu rimpang yang berwarna kuning cerah. Selain digunakan sebagai bumbu, kunyit banyak digunakan sebagai pewarna, ramuan kosmetika tradisional dan obat tradisional atau jamu (Prana dan Hawkes, 1981). Menurut Shankaracharya dan Natarajan (1 975) kunyit merupakan rempah yang tidak mempunyai toksik terhadap makanan. Menurut Komisi Ahli FAONVHO batas yabg boleh dikonsumsi setiap hari untuk kunyit adalah 2.5 gram per kilogram berat badan (Sambaiah et al., 1982). Rimpang kunyit yang matang merngandung minyak volatil, campuran minyak (iemak), zat pahit, resin, protein, selulosa, pati, vitamin dan beberapa mineral. Komponen utamanya adalah pati dengan jumlah berkisar antara 40-50 persen berat kering. Kandungan kimia tersebut berbeda-beda tergantung dari daerah pertumbuhan serta kondisi pemanenannya ( Purseglove et a/., 1981).

Kunyit merupakan rempah yang banyak digunakan sebagai bahan pengawet, karena mempunyai senyawa anti bakteri. Suwanto (1 983) menyatakan bahwa bubuk kunyit bersifat bakterisidal terhadap bakteri gram positif batang, yaitu Bacillus subtilis dan Lactobacillus acidophilus. Lukman (1984) juga menyatakan bahwa bakterisidal bubuk kunyit ditujukan pada bekteri gram positif seperti : Lactobacillus fermenturn, L. bulgaricus, Bacillus aureus, 6. subtilis dan 6. megeterium.

(23)

Lengkuas (Alpinia galanga (L) Sw) umbinya berbau harum, ada yang berwarna putih dan ada pula yang berwarna merah. Menurut Sastrapradja (1977) rimpang muda dan bagian batang yang masih muda dari lengkuas sering dimakan sebagai sayur atau sambal. Lengkuas banyak digunakan sebagai bahan obat-obatan dan bumbu masak. Komponen yang dikandung olerh rimpang segar lengkuas adalah air 75 persen, protein 3.07 persen dan sedikit kamferid 0.07 persen, lemak, mineral (K, P dan Na), serat dan minyak atsiri. Pada konsentrasi 0.45 persen, ekstrak lengkuas bersifat bakteristatik terhadap Leuconostoc sp.: dan bersifat fungistatik pada konsentrasi 1.80 persen terhadap M. javanicus, serta konsentrasi 1.58 persen dapat menghambat pertumbuhan Rhizopus oryzae (Sastrapradja, 1977).

Jahe (Zingiber officinale, Roscoe) banyak digunakan untuk bermacam- macam kebutuhan, dalam pembuatan jamu, obat-obatan, bumbu dapur, industri minuman dan makanan serta industri minyak wangi (Rodriquez, 1971). Rhizoma jahe mengandung : air 60.2 persen, abu 7.91 persen, pati 36.5 persen, serat kasar 7.85 persen berat kering dan minyak jahe 3.30 persen berat basah serta oleoresin (Sastrapradja, 1977). Aroma jahe disebabkan oleh adanya minyak atsiri, sedangkan oleoresinnya me~yebabkan rasa pedas. Menurut Purseglove et a/., (1979) minyak atsiri sensitif terhadap panas dan pemanasan di atas 90 O C akan menyebabkan

perubahan komposisi, aroma dan citarasa. Selain itu jahe bersifat anti mikroba misalnya senyawa zingeron dan ginger01 telah dibuktikan

(24)

mempunyai aktivitas sporostatik terhadap Bacillus subtilis pada konsentrasi 0.6, 0.9, dan 1.0 persen (Al-Khayat dan Blank, 1985).

Efek penghambatan atau perangsangan pertumbuhan mikroba untuk setiap jenis dan konsentrasi rempah-rempah berbeda-beda dan khas untuk masing-masing bakteri karena kandungan setiap rempah-rempah berbeda baik itu jenis maupun konsentrasi komponen antimikrobanya. Pada umumnya rempah-rempah lebih efektif untuk menghambat pertumbuhan kapang (Weiser et a/., 1978).

Pengemasan Vakum

Fungsi utama pengemasan daging dan hasil olahannya adalah : (1) perlindungan produk terhadap kerusakan fisik, perubahan kimia dan kontaminasi mikroba, dan (2) menampilkan produk bagi konsumen dalam bentuk yang lebih menarik. Prinsip dari pengemasan vakum adalah pengeluaran udara, khususnya oksigen dari produk yang dikemas sehingga dapat memperpanjang masa simpan. Pengemasan vakum menghambat kontak daging dengan oksigen dan uap air sehingga produk dapat bertahan lebih lama masa simpannya (Sacharow et a/., 1980). Pada daging segar keuntungan pengemasan vakum adalah peningkatan keempukan daging selama proses pelayuan dan mempunyai susut bobot minimum (Robertson, 1993).

Plastik yang digunakan untuk pengemasaan vakum harus memiliki permeabilitas yang rendah terhadap oksigen dan uap air serta tahan

(25)

terhadap sifat-sifat bahan yang dikemas (Sacharow dan Griffin, 1980). Selanjutnya disebutkan, pengemasan vakum menggunakan bahan yang fleksibel merupakan proses pelepasan udara dari sekeliling produk. Hal ini dapat disempurnakan dengan dua jalan, yaitu dengan memompa udara keluar dari kemasan atau dengan menekan dinding kemasan untuk memaksa udara keluar.

Penggunaan plastik untuk kemasan makanan cukup menarik karena sifat-sifatnya yang menguntungkan, yaitu luwes dan mudah untuk dibentuk, mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap produk, tidak korosif seperti wadah logam, dan mudakh dalam penyimpanannya (Syarief et a/., 1989). Di dalam perdagangan dikenal plastik untuk kemasan pangan (food grade) dan kemasan untuk bukan pangan (non-food grade). Untuk itu perlu hati-hati dalam memilih jenis plastik yang digunakan bagi kemasan makanan agar terhindar dari kemungkinan adanya gangguan bagi kesehatan. Plastik yang sering digunakan adalah Etilen Vinil Asetat (EVA), Polivinil Khlorida (PVC), Saran atau Poliviniliden Khlorida (PVDC), Poliethilen (PE) dan Polipropilen (PP). Penggunaan plastik yang mengkerut dengan panas dapat mengurangi rongga pada kemasan sehingga proses vakum optimal. Jenis plastik yang sering digunakan dengan metode ini adalah PE (Poliethilen) dan PP (Polipropilen). Sifat poliethilen adalah kuat, tahan panas, asam, basa, alkohol, fleksibel, transparannya terbatas dan permiabel terhadap oksigen dan uap air. Sedangkan sifat polipropilen adalah tahan sobek, tahan panas, (suhu tinggi sampai 150 OC), tahan terhadap bahan kimia (asam kuat, basa dan

(26)

minyak) dan permiabel terhadap oksigen dan uap air. Menurut Winarno dan Jenie (1983) polipropilen lebih kuat dan ringan dengan daya tembus uap yang rendah, ketahanan yang baik terhadap lemak, stabil terhadap suhu tinggi dan cukup mengkilap.

Umur simpan produk daging yang dikemas secara vakum dipengaruhi oleh jumlah mikroba kontaminan yang ada di dalam daging. Brown (1982) melaporkan adanya aktivitas bakteri asam laktat, Pseudomonas, Acinetobacter, sementara Frazier (1992) melaporkan aktivitas Clostridium, bakteri koliform dan Alcaligenes pada daging yang dikemas vakum. Menurut Jeremiah et al., (1972) pengemasan daging secara vakum sangat menguntungkan, selain mencegah kontaminasi bahan-bahan dari luar juga dapat mempertahankan mutu daging, kehilangan air serta mempertahankan warna selama transportasi. Jadi pengemasan merupakan salah satu cara melindungi atau menambah daya simpan produk pangan dan non pangan. Pengemasan tidak hanya bertujuan untuk mengawetkan, tetapi juga menjadi sarana penunjang transportasi, distribusi dan menjadi bagian penting dari usaha untuk mengatasi persaingan pemasaran produk.

Gambar

Gambar  1.  Kurva  Penurunan  pH  Daging  Setelah  Hewan  Dipotong (Forrest et al., 1975)
Tabel 2. Analisis Nira Segar Beberapa Tanaman

Referensi

Dokumen terkait

Microsoft Visual Basic merupakan salah satu bahasa pemrograman yang memungkinkan para programmer untuk membuat aplikasi yang berbasis Windows dengan sangat mudah.. Bahasa ini

antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode kooperatif, metode ceramah dan pemberian tugas.. Artinya, pada taraf signifikansi 5% tidak terdapat

Terlampir disampaikan dokumen : Foto copy Kartu NPWP, Foto copy dokumen impor (invoice, Bill of Lading/Airway Bill, L/C), Foto copy dokumen kontrak (perjanjian jual beli)

Sebab umum penyebab konflik politik Kerajaan Demak adalah pembunuhan Pangeran Sekar Seda Lepen oleh Sunan Prawoto karena dianggap sebagai penghalang Sultan Trenggono untuk

Pasal 30 Ayat (1) Huruf a Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004.. Kemudian dalam Pasal 4 KUHAP disebutkan bahwa Penyelidik adalah setiap pejabat

Tenik analisis data dalam penelitian pengembangan ini adalah dengan mendiskripsikan semua saran, pendapat, dan tanggapan ahli pembelajaran, ahli materi, ahli

menggunakan kemampuan kognitif mereka sesuai dengan potensi yang maksimum. Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karakteristik yang berkaitan dengan penggunaan media pembelajaran program power point dan hasil belajar siswa dengan anggota