• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSISTENSI JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MENUNTUT PERKARA PIDANA YANG BERITA ACARA PEMERIKSAANNYA BELUM LENGKAP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSISTENSI JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MENUNTUT PERKARA PIDANA YANG BERITA ACARA PEMERIKSAANNYA BELUM LENGKAP"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

KONSISTENSI JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MENUNTUT PERKARA PIDANA YANG BERITA ACARA PEMERIKSAANNYA

BELUM LENGKAP

NURLAILA WAHAB FENCE M. WANTU LISNAWATY BADU JURUSAN ILMU HUKUM

ABSTRAK

Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui upaya apa yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum dalam penyelesaian perkara pidana yang berita acara pemeriksaannya belum lengkap dan Hambatan apa yang dialami jaksa penuntut umum dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan.Penelitian hukum ini merupakan penelitian yang bersifat penelitian hukum Normatif. Sumber data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian hukum ini hanyalah data sekunder. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan meliputi: studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan wawancara Analisis yang digunakan yaitu Analisis normatif terutama mempergunakan bahan-bahan kepustakaan sebagai sumber data.Hasil penelitian yang diperoleh adalah Jaksa Penuntut Umum selalu mengupayakan penyelesaian perkara pidana yang berita acara pemeriksaannya belum lengkap dengan segera agar dapat dilengkapi oleh Penyidik guna suksesnya penuntutan di persidangan.Langkah-langkah penyelesaian perkara pidana tersebut yakni dengan segera melakukan penelitian terhadap berkas perkara. Adapun Faktor penghambat yang terdapat dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan antara lain datang aparat penegak hukum itu sendiri, terlihat dari kurangnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap substansi Hukum Acara Pidana.Selain itu kurangnya penyidik Polri yang berpendi dikan sarjana hukum, sehingga penyidik mengalami kesulitan dalam menterjemahkan petunjuk-petunjuk dari jaksa penuntut umum yang berlatar belakang pendidikan hukum.Hambatan dari budaya masyarakat turut mengambil andil dalam penghambat penyelesain perkara pidana, dimana masyarakat yang menjadi korban kejahatan (Victim), terkadang sering membuat laporan tindak pidana tidak didukung dengan bukti permulaan yang cukup.

(2)

A. PENDAHULUAN

Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakan supermasi hukum, perlindungan kepentingan umum, dan penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme.1Adanya difrensiasi dan spesialisasi fungsional secara instansional yang menempatkan penuntut umum dalam fungsi penuntutan dan pelaksanaan putusan peradilan maka fungsi penuntut umum tidak berbelit-belit lagi. Sudah disederhanakan dalam suatu fungsi dan wewenang yang jelas, sehingga pengaturannya dalam KUHAP dapat diatur dalam suatu bab dan beberapa pasal.2

Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan.Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya dibidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan.

Lembaga Kejaksaan dalam perkembangannya telah beberapa kali memiliki payung hukum. Pada masa orde lama dengan Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961, pada masa orde baru dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1991 dan yang sekarang berlaku (masa reformasi) dengan Undang-Undang nomor 16 tahun 2004. Kejaksaan memiliki peran yang sangat penting dalam proses penegakan hukum pidana, karena dapat tidaknya perkara pidana masuk ke pengadilan adalah tergantung sepenuhnya oleh Kejaksaan (Penuntut Umum). Peran yang amat besar inilah seharusnya dibarengi dengan idenpedensi dalam melaksanakan kewenangannya tersebut, karena tanpa indepedensi dari kajaksaan maka akan sangat sulit mengarapkan indepedensi kekuasaan peradilan pidana. Dalam praktek peradilan pidana, meskipun hakim bebas tetap terikat dengan apa yang didakwakan oleh penuntut umum. Hakim tidak boleh memutus apa yang tidak didakwakan oleh Penuntut Umum.

Peningkatan kinerja kejaksaan dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana perlu adanya sinergitas dan koordinasi yang baik dengan berbagai pihak, khususnya

1Penjelasan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I

2M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Edisi Kedua, Sinar

(3)

dengan pihak penegak hukum lain. Pelaksanaan koordinasi antara penyidik polri dan penuntut umum di Kejaksaan pada tahap pra penuntutan perlu meletakkan dasar-dasar yang mewajibkan adanya mekanisme yang koordinatif yang saling mengawasi mengacu yang diatur dalam KUHAP. Hubungan penyidik dengan penuntut umum seperti diatur didalam KUHAP antara lain, pemberitahuan dimulainya tindakan penyidikan oleh penyidik kepada penuntut umum (Pasal 109 ayat (1) KUHAP), pemberitahuan penghentian penyidikan (Pasal 109 ayat 92) KUHAP), dan perpanjangan penahanan.

Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan meneliti dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan tersebut sudah lengkap atau belum, (Pasal 138 ayat (1) KUHAP) atau dikenal dengan sebutan tahap pra penuntutan. Pra penuntutan adalah kewenangan penuntut umum memeriksa dan meneliti berkas perkara yang diterima dari penyidik, dan dalam hal berkas perkara belum lengkap, mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi.3

Sesuai Pasal 8 ayat (3) huruf a KUHAP dan Pasal 110 ayat (1) KUHAP bahwa penyidikan telah selesai dilakukan maka tahap pertama penyerahkan berkas perkara. Kemudian penuntut umum meneliti berkas perkara dan menentukan sikap apakah hasil penyidkan sudah lengkap atau belum dalam waktu 7 hari dihitung sejak tanggal menerima berkas perkara dari penyidik (Pasal 138 ayat (1) KUHAP). Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut belum lengkap (p-18), penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara pada penyidik dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal menerima berkas perkara disertai petunjuk guna melengkapi hasil penyidikan (p-19), penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan, dalam batas waktu 14 hari sejak penerimaan kembali berkas perkara dari penuntut umum, penyidik harus sudah mengirimkan kembali berkas perkara pada penuntut umum dengan disertai hasil penyidikan tambahan (Pasal 110 ayat (2), ayat (3) dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP). Pada tahap pra penuntutan inilah bolak-balik berkas perkara antara penyidik dengan penuntut umum sering terjadi.

Membahas tentang kajian mengenai konsistensi jaksa penuntut umum dalam menuntut perkara pidana yang berita acara pemeriksaan belum lengkap maka penulis

3Mahfud Manan, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana, Pusat Diklat dan Pelatihan Kejaksaan

(4)

merumuskan masalah sebagai berikut : (1) Upaya apa yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum dalam penyelesaian perkara pidana yang berita acara pemeriksaannya belum lengkap? (2) Hambatan apa yang dialami jaksa penuntut umum dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan?

B. METODE PENENULUSAN

Sifat Penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian hukum Normatif. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal.4 Pada penelitian hukum jenis ini, acap kali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas. Sumber data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian hukum ini hanyalah data sekunder.Analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, sehingga dapat diperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai kaedah-kaedah yang berkaitan dengan materi permasalahannya.

C. PEMBAHASAN

1. Upaya Yang Dilakukan Jaksa Penuntut Umum Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Yang Berita Acara Pemeriksaannya Belum Lengkap

Proses penyelesaian perkara pidana yang diajukan oleh kepolisian, jaksa selaku penuntut umum selalu berupaya menyelesaikan berkas perkara yang terkadang berlarut-larut dikarenakan berkas tersebut tidak lengkap-lengkap. Upaya tersebut antara lain :

Pra-Penuntutan

Pra penuntutan dilakukan sebelum suatu perkara diajukan ke pengadilan. Hal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan tindakan penuntutan di depan sidang pengadilan dan menentukan keberhasilan penuntutan, artinya tindakan prapenuntutan sangat penting guna mencari kebenaran materiil yang akan menjadi dasar dalam proses penuntutan namun, penyelesaian perkara pidana pada tahap Prapenuntutan sering kali terjadi adanya bolak-balik berkas antara penyidik ke jaksa penuntut umum, seperti halnya dalam perkara pemalusan tanda tangan yang dituduhkan

4

(5)

kepada tersangka fatmawati Ahmad alias FA, c. Tersangka dituduh menyuruh lakukan kepada laki-laki Arfan alias AA untuk memalsukan tanda tangan korban pada sertifikat tanah yang korban klaim bahwa sertifikat tanah tersebut adalah tanah milik orang tua korban.

Hubungan antara Jaksa dan Kepolisian sebagai aparat penegak hukum dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan secara formalitas terkait dengan berkas perkara saja sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 110 dan Pasal 138 KUHAP, akan tetapi secara materil kadang juga bisa melakukan pertemuan dalam konteks koordinasi demi kelancaran dan kesuksesan suatu perkara, terutama dalam pembuktian. Jadi hubungan itu harus tetap terpelihara dengan baik, apabila relasi sudah tidak baik hal ini tentu juga akan menghambat proses kelancaran penyelesaian perkara pidana khususnya pada tahap prapenuntutan.

Penyidikan dinyatakan selesai maka berdasarkan Pasal 110 ayat (1) KUHAP, penyidik wajib untuk segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum.Hal ini untuk memenuhi asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.Berkas perkara diterima oleh Jaksa atau Penuntut Umum untuk dipelajari dan diteliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan tersebut.Bila terdapat kekurangan baik secara formil maupun materil maka Jaksa atau Penuntut Umum segera memberitahukan kepada penyidik untuk dilengkapi.

Pada kasus pemalsuan tanda tangan pada sertifikat tanah atas nama fatmawati Ahmad alias FA penyidik telah menyerahkan berkas perkara kepada jaksa penuntut umum selaku peneliti. Dari hasil penelitian jaksa peneliti ditemukan beberapa kekurangan yang harus dipenuhi oleh penyidik (p-18, p-19). Berkas perkara (BAP) tersangka FA telah berulang-ulang kali berkasnya dikembalikan oleh JPU selaku peneliti kepada penyidik, sampai dengan saat ini berkas perkara tersebut belum diterbitkan P-21 dikarenakan penyidik belum dapat memenuhi petunjuk jaksa.

Apabila penyidik berhasil melengkapi berkas pemeriksaan Jaksa atau Penuntut Umum menyatakan berkas telah lengkap maka perkara tersebut

(6)

segera dilimpahkan ke pengadilan dan proses prapenuntutan telah selesai kemudian masuk ke proses Penuntutan.5

Keberadaan lembaga prapenuntutan bersifat mutlak karena tidak ada suatu perkara pidana pun sampai ke pengadilan tanpa melalui proses prapenuntutan sebab dalam hal penyidik telah melakukan penyelidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik wajib memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum.6

Menurut penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a UU Kejaksaan disebutkan defenisi mengenai prapenuntutan dimana bahwa, “Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.”7 Sesuai dalam pengertian lain, bahwa wewenang penuntut umum mengadakan prapenuntutan apabila ada kekuranagn pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), KUHAP dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik.8

Rangkaian prapenuntutan itu dapat dipahami dari ketentuan beberapa pasal di dalam KUHAP misalnya menurut ketentuan Pasal 110 ayat (1) KUHAP, “Apabila penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum.”Kemudian ditentukan pula kepada penyidik agar memberitahukan kepada penuntut umum dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan atas suatu peristiwa tindak pidana berdasarkan Pasal 109 ayat (9) KUHAP.

5

Abd.Hakim Nusantara,dkk, Penjelasan KUHAP dan Peraturan Pelaksanaan, Djambatan, Jakarta, 1986, Hlm 21

6http://www.modusaceh.com/html/konsultasi-hukum-read/41/pra_penun, Diakses terakhir tanggal

15 Maret 2010.

7 Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia (UU Kejaksaan).

8 Pasal 14 huruf b, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

(7)

Pada Pasal 137 KUHAP disebutkan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan berkas perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.Menurut Pasal 14 KUHAP bahwa Jaksa selaku penuntut umum tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap perkara pidana umum. Penyidikan yang hasilnya kurang lengkap, jaksa diberi wewenang untuk mengadakan prapenuntutan dengan cara mengembalikan berkas perkara disertai permintaan kepada penyidik untuk melengkapi dengan melakukan tambahan penyidikan.

2. Hambatan apa yang dialami jaksa penuntut umum dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan

Jaksa penuntut Umum dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap Pra-penuntutan sering kali mendapatkan hambatan-hambatan yang antara lain sebagai berikut :

Hambatan dari Undang-Undang

Tingkat prapenuntutan, yaitu “bahwa prapenuntutan terletak antara dimulainya penuntutan dalam arti sempit (perkara dikirim ke pengadilan) dan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik” Prapenuntutan adalah, dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan.Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.9

Berdasarkan pada perumusan Pasal 30 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

9

(8)

pada kenyataannya masih terdapat banyak hambatan dalam melakukan pemeriksaan tambahan meskipun dalam penjelasan telah dijelaskan bahwa antara lain sebagai berikut :10

1. Tidak dilakukan terhadap tersangka

2. Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya dan atau dapat meresahkan masyarakat dan atau dapat membahayakan keselamatan negara Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 hari setelah dilakukan ketentuan Pasal 110 dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP

3. Prinsip koordinasi dan kerja sama dengan penyidik.

Republik Indonesia sebagai Negara hukum.yang dimaksudkan bukanlah sekedar Negara hukum dalam artian formal. Menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah Negara hukum dalam artian lebih luas, yaitu negara hukum dalam arti materil yang berarti hukum ditinjau dari segi isinya, yang dalam pelaksanaannya haruslah mempertimbangkan dua kepentingan yaitu manfaat hukum (doelmatigheid) dan kepastian hukum (rechmatigheid).

Sehubungan dengan itu, maka dapat dipastikan bahwa pada hakikat terhadap eksistensi Kejaksaan dalam proses penegakan hukum dalam melakukan penuntutan terhadap perkara-perkara pidana di Indonesia adalah untuk mencapai tujuan hukum, yakni kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan hukum bagi pencari keadilan.11

Kejaksaan dimana disebutkan bahwa, di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a Undang-Undang Kejaksaan terdapat istilah prapenuntutan,

10

Undang-Undang Kejaksaan No 16 Tahun 2004, Tentang Kejaksaan

11

Soerjono Soekanto., Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1983), hlm 5.

(9)

selengkapnya berbunyi, dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan.

Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.”12

Hambatan dari Aparat Penegak Hukum.

Integrated Criminal Justice System menurut Sukarton Marmosudjono, adalah system peradilan perkara pidana terpadu, yang unsur-unsurnya terdiri dari persamaan persepsi tentang keadilan dan penyelenggaraan peradilan perkara pidana secara keseluruhan dan kesatuan.Pelaksanaan peradilan terdiri dari beberapa komponen seperti penyidikan, penuntutan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.Integrated Criminal Justice System adalah suatu usaha untuk mengintegrasikan semua komponen tersebut sehingga peradilan dapat berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan.

Dalam prakteknya ditemukan bahwa kurangnya penyidik Polri yang berpendidikan sarjana hukum, sehingga penyidik mengalami kesulitan dalam menterjemahkan petunjuk-petunjuk dari jaksa penuntut umum yang berlatar belakang pendidikan hukum.Sehingga berbagai macam hambatan dan kendala ditemukan oleh penyidik dan jaksa dalam berkoordinasi terhadap berbagai macam perkara di tahap prapenuntutan.

Sistem peradilan pidana harus merupakan kesatuan terpadu dari usaha-usaha untukmenangulangi kejahatan yang sesungguhnya terjadi dalam masyarakat. Apabila kita hanyamemakai sebagian ukuran statistik kriminalitas, maka keberhasilan sistem peradilan pidana akandinilai berdasarkan jumlah kejahatan yang sampai alat penegak

12

(10)

hukum. Beberapa banyak yangdapat diselesakan kepolisian, kemudian diajukan oleh kejaksaan ke pengadilan dan dalampemeriksaan di pengadilan dinyatakan bersalah dan dihukum. Masih banyak yang tidak terlihat,tidak dilaporkan mungkin pula tidak diketahui, misalnya dalam hal kejahatan dimana korbanyatidak dapat ditentukan atau “crimes without victims” dan karena itu tidak dapat di selesaikan.

Undang-Undang Nomor. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RI menyebutkan bahwa, Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 2 (1) menyenbutkan bahwa, ”Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.13

Penegak hukum dapat dibedakan dalam pengertian luas dan pengertian yang sempit.Arti luas, penegak hukum adalah setiap orang yang mentaati hukum.Sedangkan dalam arti sempit, terbatas pada orang yang diberi wewenang memaksa oleh undang-undang untuk menegakkan hukum. Menurut Marjono Reksodiputro, istilah penegak hukum dalam arti sempit hanya berarti Polisi, tetapi dapat juga mencakup Jaksa. Sedangkan di Indonesia, pengertian tersebut biasanya diperluas lagi dan meliputi juga para Hakim, dan ada kecenderungan kuat memasukkan pula dalam pengertian penegak hukum ini adalah para Advokat.14

Hambatan yang terjadi pada aparat penegak hukum dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan terkait dengan

13

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, Tentang Kejaksaan.

14

(11)

sumber daya manusia yang rendah seperti dapat terlihat kurang mengertinya penyidik atas petunjuk yang diberikan jaksa yang Menyulitkan penyidik untuk memenuhinya.Hal tersebut dikarenakan tingkat pendidikan penyidik yang boleh diblang masig dibawah jaksa.Belum lagi bila Jaksa punya kepentingan terhadap berkas perkara sering memberikan petunjuk yang menyimpang dari substansi perkara sehingga menyebabkan para aparat penegak hukum sangat merasa kesulitan dalam hal penyelesaian dan pemecahan suatu perkara.15

Hambatan Dari Budaya Masyarakat

Faktor penghambat dari budaya hukum itu sendiri yang menghambat terwujudnya penyelesaian perkara yang cepat, sederhana, dan biaya ringan dari segi aspek legal kultur adalah budaya masyarakat. Misalnya masyarakat yang menjadi korban kejahatan (Victim), terkadang sering membuat laporan tindak pidana tidak didukung dengan bukti permulaan yang cukup. Laporan-laporan yang demikian akan menyulitkan penegak hukum seperti penyidik maupun Jaksa untuk menyelesaikannya, dan terkadang sering mendesak perkara untuk cepat diselesaikan padahal bukti tidak cukup.16

Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan dalam tahap prapenuntutan adalah dengan cara, Sejak dikeluarkannya P-16, Jaksa Penuntut Umum yang bersangkutan secara aktif membina koordinasi dan kerjasama positif dengan Penyidik melalui Forum Konsultasi Penyidik Penuntut Umum. Forum tersebut digunakan secara optimal untuk memberikan bimbingan/arahan kepada Penyidik, dengan maksud agar kegiatan penyidikan mampu menyajikan segala data dan fakta yang diperlukan bagi kepentingan penuntutan dan bolak-baliknya berkas perkara dapat dihindarkan.

15

Wawancara dengan Bapak Andi Nirwansyah, SH, Staf Seksi Penerangan Hukum Kejati Gorontalo pada tanggal 18 Juli 2013.

16

Wawancara dengan Bapak Mulyadi Abdullah, SH., Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Gorontalo pada tanggal 18 Juli 2013

(12)

D. KESIMPULAN

Jaksa Penuntut Umum selalu mengupayakan penyelesaian perkara pidana

yang berita acara pemeriksaannya belum lengkap dengan segera agar dapat

dilengkapi oleh Penyidik guna suksesnya penuntutan di

persidangan.Langkah-langkah penyelesaian perkara pidana tersebut yakni

dengan segera melakukan penelitian terhadap berkas perkara.Selain itu,

antara JPU dan Penyidik Melakukan pertemuan dalam konteks koordinasi

demi kelancaran dan kesuksesan suatu perkara, terutama dalam pembuktian.

Faktor penghambat yang terdapat dalam penyelesaian perkara pidana pada

tahap prapenuntutan antara lain datang dari aparat penegak hukum itu sendiri

yang kurang professional, terlihat dari kurangnya pemahaman aparat penegak

hukum terhadap substansi Hukum Acara Pidana. Selain itu sumber daya

manusia penyidik Polri yang kurang berpendidikan sarjana hukum, sehingga

penyidik mengalami kesulitan dalam menterjemahkan petunjuk-petunjuk dari

jaksa penuntut umum yang berlatar belakang pendidikan hukum. Hambatan

dari budaya masyarakat turut mengambil andil dalam penghambat

penyelesain perkara pidana.

SARAN

Perlunya kebijaksanaan yang diambil oleh aparat penegak hukum dalam hal

proses penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan, agar

masyarakat para pencari keadilan dapat diperlakukan dengan seadil-adilnya

dan hukuman yang diterapkan dapat pula berjalan dengan sejujur-jujurnya

(13)

koordinasi yang kuat antara penyidik dan jaksa dalam hal menyelesaikan

perkar pidana khususnya pada tahap prapenututan agar koorinasi tersebut

dapat berjalan dengan baik dan memiliki hasil yang sesuai dengan apa yang

diharapkan oleh masyarakat sebagai pencari keadilan.

DAFTAR PUSTAKA

Amirudin, 2010.Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta. Barda Nawawi Arief, 2007.Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum

Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta.

Fence M. Wantu, 2011.Hukum Acara pidana, Dalam Teori dan praktek, Reviva Cendikia, Yogyakarta.

M. Yahya Harahap, 2004.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta.

Mahfud Manan, 2010.Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana, Pusat Diklat dan Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia, Jakarta.

, 2010. Administrasi Perkara Tindak Pidana Umum, Pusat Diklat dan Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia, Jakarta.

Moeljatno, 2002.Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

Peter Mahmud Marzuki, 2005.Penelitian Hukum, Kencana, Surabaya.

R. Soenarto Soerodibroto, 2011.KUHP dan KUHAP edisi ke lima, Rajawali Pers, Jakarta.

Sudikno Mertokusumo, 2007.Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta.

Soerjono Soekanto, 2010.Pengantar Penelitian Hukum, UI Pers, Jakarta.

PERUNDANG-UNDANGAN

Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

(14)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor : B-401/E/9/93 perihal Pelaksanaan Tugas prapenuntutan.

Referensi

Dokumen terkait

Sepanjang jalur kereta api koridor Semarang Tawang ± Ngrombo termasuk dalam kategori daerah datar. Tubuh jalan rel berada pada tanah permukaan asli dan tanah timbunan

[r]

Pola interaksi yang terjadi di lingkungan keluarga merupakan sistem yang mempunyai keterkaitan secara timbal balik antara beberapa komponen yang ada, (1) pola interaksi

Sedangkan pada unit I, efektifitas bernilai negatif (terjadi peningkatan konsentrasi nitrat setelah melewati perlakuan), diduga akibat tingkat pengubahan nitrit

Pada tahap pertama yaitu eksplorasi konsep, dijelaskan bahwa berdasarkan perumusan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya, dilakukan studi literatur mengenai konsep yang

[r]

kemungkinan anak berpikir logis. Sedangkan kelemahannya adalah tidak semua peserta didik terlibat dalam melakukan percobaan. Berdasarkan uraian- uraian di atas, maka penulis

Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembanagan teknologi modern, juga mampunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir