• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

437

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Mengacu pada diskusi pada bab sebelumnya, dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:

Kesimpulan Pertama,

Nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Bugis secara umum tertuang dalam konsep

“siri’ na pesse” yang meliputi nilai siri’ (harga diri), nilai were (nasib), dan nilai pesse (solidaritas). Walaupun banyak terpengaruh oleh aspek modernisasi dan globalisasi, pola hidup masyarakat Bugis tetap terikat oleh nilai-nilai sosio-kultural yang dipahami dalam membentuk lingkungan binaannya. Nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Bugis ternyata masih eksis dan berperan dalam pembentukan kota Makassar. Manifestasi keberadaan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Bugis dalam wujud kotanya, menjadi dasar terbentuknya “konsep wujud kota yang berbasis budaya”, yaitu konsep wujud kota yang mencerminkan identitas budaya Bugis yang meliputi nilai siri’, were, dan pesse. Konsep tersebut lahir secara alami, terbentuk dari perpaduan antara prinsip dan gaya hidup serta aktifitas masyarakat sehari-hari sesuai nilai-nilai sosio-kultural, dan kondisi lingkungan binaannya. Konsep wujud kota berbasis budaya pada masyarakat Bugis meliputi tiga unsur, yaitu:

Konsep wujud kota berbasis siri’ merupakan wujud pembentukan kota sebagai manifestasi ekspresi eksistensi diri masyarakat Bugis, baik secara individu maupun kelompok, dalam upaya menjaga perilaku dan penampilan hasil karyanya berdasarkan aturan atau norma-norma yang dipahami. Konsep wujud kota berbasis were merupakan pembentukan kota sebagai manifestasi ekspresi eksistensi diri masyarakat Bugis baik secara individu maupun kelompok, yang diwujudkan melalui ikhtiar yang tinggi dalam memperbaiki nasib atau kualitas hidupnya melalui berbagai usaha, terutama sektor perdagangan dan bisnis lainnya. Konsep wujud kota berbasis pesse merupakan pembentukan kota sebagai

(2)

438

manifestasi ekspresi kekerabatan (solidaritas) masyarakat Bugis baik secara individu maupun kelompok, dalam upaya membentuk hubungan sesama manusia dengan rasa kesetiakawanan yang tinggi melalui perinsip sipakatau, sipakalebbi’, dan sipammase-mase.

Kesimpulan Kedua,

Berdasarkan pada kajian nilai siri’, were, dan pesse yang dipahami masyarakat Bugis serta implikasinya dalam wujud lingkungan binaan, akhirnya ditemukan beberapa aturan dasar sebagai konsekuensi nilai yang meruang. Aturan dasar yang berbasis nilai siri’ meliputi: pemanfaatan (fungsi) ruang, pusat kota, pola jaringan jalan, orientasi bangunan, dan bentuk bangunan arsitektur tradisional. Aturan dasar yang berbasis nilai were berupa bentuk bangunan komersil. Aturan dasar yang berbasis nilai pesse meliputi: tata letak bangunan, bentuk bangunan, dan pola ruang terbuka. Dapat dikemukakan bahwa kota yang bisa mewadahi kebutuhan sosio-kultural masyarakat Bugis adalah sebuah kota yang elemen-elemen wujud kotanya mencerminkan beberapa aturan dasar sebagai implikasi dari nilai siri’, were, dan pesse. Elemen pembentukan kota yang mencerminkan aturan dasar Bugis dapat dirangkum dalam enam aspek:

Satu, Pola pemanfaatan ruang kota yang dapat memenuhi tuntutan kegiatan masyarakat Bugis, terutama ketersediaan lahan permukiman (hunian), lahan perairan, dan lahan yang menunjang perekonomian kota. Konsep pemanfaatan ruang tersebut sangat terkait dengan kepatuhan masyarakat Bugis pada norma/aturan adat yang dipahami sebagai cerminan nilai siri’. Pembentukan kota berasal dari perpaduan antara beberapa unit kawasan permukiman sebagai cerminan nilai pesse yang mengandung makna kekerabatan dan persaudaraan yang tinggi. Sistem pusat kota berupa pusat pemerintahan dan beberapa fasilitas sosial ekonomi yang ditandai dengan adanya ruang terbuka sebagai cerminan nilai siri’ dan nilai pesse.

Dua, Pola jalan kota yang berbentuk kisi persegi panjang. Pola jalan ini pada awalnya terbentuk secara linier yang melalui pusat permukiman, kemudian terbentuk beberapa pola jalan pembagi yang diikuti oleh terbentuknya jalan yang paralel dengan jalan linier sebelumnya. Pola jalan tersebut cenderung terjadi

(3)

439

secara berulang dan pada akhirnya terbentuk pola jalan kisi persegi panjang sebagai pembentuk struktur kota. Pembentukan pola jalan tersebut, di samping mengadopsi filosofi sulapa’ eppa’ wolasuji sebagai cerminan nilai siri’ yang dipahami, juga berdasar pada pembentukan jalur jalan yang saling terhubung (interconected) sebagai cerminan nilai pesse.

Tiga, Orientasi bangunan pada kota Bugis meliputi arah Barat - Timur dan arah Utara – Selatan, yang mengandung makna keseimbangan antara aspek kehidupan dan aspek ibadah kepada Tuhan, sebagai cerminan nilai siri’. Di samping itu, khusus bangunan yang terletak di pinggir perairan luas seperti laut, cenderung menghadap ke perairan tersebut. Masyarakat Bugis memandang laut sebagai potensi alam yang banyak memberi peran dan manfaat dalam kehidupannya. Empat, Bentuk bangunan yang mencerminkan wujud arsitektur tradisional Bugis. Pola dasar bangunan mencerminkan filosofi sulapa’ eppa’ wolasuji baik secara vertikal (bentuk panggung) maupun secara horizontal (pola ruang berbentuk segi empat) sebagai cerminan nilai siri’. Setiap bangunan yang dihasilkan, cenderung diwujudkan dengan bentuk yang baik dan menarik sebagai simbol harga diri. Di samping itu, bentuk bangunan rumah cenderung berbentuk massa tunggal yang dilengkapi dengan lego-lego (teras) dan bentuk rumah yang berdasar pada tata ruang dalam, sebagai cerminan nilai pesse. Selanjutnya, terbentuk beberapa bangunan produktif yaitu fungsi bangunan hunian yang terpadu dengan fungsi usaha yang cenderung terdistribusi pada kawasan perdagangan dan di sepanjang jalan utama sebagai cerminan nilai were.

Lima, Tata letak bangunan yang berdasar pada tata letak rumah tradisional Bugis sebagai cerminan nilai pesse yaitu: tata letak bangunan rumah yang cenderung berdampingan/berdekatan dengan rumah kerabat (terutama orang tua), tata letak bangunan rumah yang terkait dengan rumah tetangganya, tata letak bangunan yang terletak di tengah persil yang dilengkapi dengan pembatas halaman yang berkesan terbuka.

Enam, Pola ruang terbuka pada kota yang dibangun oleh masyarakat Bugis, di samping terdapat di tengah kota sebagai fungsi pusat permukiman dan fasilitas sosial, juga terdapat pada sepanjang pesisir perairan yang berfungsi sebagai fasilitas rekreasi. Pembentukan ruang terbuka merupakan cerminan nilai pesse.

(4)

440

Aturan-aturan dasar tersebut di atas dapat dijadikan sebagai pegangan dalam kegiatan perancangan kota serta dapat berperan dalam menegaskan karakter dan identitas rancangan kota-kota yang dibangun oleh masyarakat Bugis. Hal tersebut dapat menjadi arahan kepada pihak penentu kebijakan dalam menetapkan karakter khas rancangan kota-kota yang diperuntukan pada masyarakat Bugis. Kesimpulan Ketiga,

Berdasar pada aplikasi aturan dasar, peranan nilai-nilai sosio-kultural Bugis dalam pembentukan kota Makassar memperlihatkan empat pola yang dikategorikan sebagai berikut:

Kategori I = Peranannya tergolong kurang terlihat lagi di seluruh kawasan studi, karena aturan dasar yang dilihat telah mengalami banyak perubahan, yang meliputi:

Satu, pemanfaatan ruang kota sebagai implikasi nilai siri’ telah mengalami perkembangan yang cenderung semakin kompleks pada saat ini.

Dua, pusat kota Makassar sebagai implikasi nilai siri’ yang terbentuk sejak masa kolonial menjadi kurang berperan lagi saat ini disebabkan oleh: perkembangan kota yang semakin tidak konsentris, terbentuknya sub-sub pusat kota yang kurang terkait dengan pusat kota, perubahan fungsi ruang serta berpindahnya fungsi strategis, dan pusat kota kurang menyajikan fasilitas publik yang menarik.

Kategori II = Peranannya tergolong masih terlihat di seluruh kawasan studi, tetapi aturan dasar yang dilihat sudah mulai mengalami beberapa perubahan, yang meliputi:

Satu, tata letak bangunan sebagai implikasi nilai pesse berupa penerapan tata letak bangunan di tengah persil yang dilengkapi dengan pembatas halaman yang berkesan terbuka, kurang terlihat lagi secara dominan saat ini. Hal ini terkait dengan gejala perkembangan perkotaan terutama menyangkut keterbatasan lahan kota. Tata letak bangunan di kota Makassar bervariasi antara: tata letak bangunan yang masih memperhatikan kekerabatan dan yang kurang memperhatikan kekerabatan. Tata letak bangunan yang memperhatikan

(5)

441

kekerabatan sebagai cerminan nilai pesse terutama terlihat pada daerah yang dominan dihuni masyarakat Bugis, seperti tata letak rumah yang cenderung berdampingan kerabat dan tata letak rumah yang terkait dengan rumah-rumah tetangganya. Sedangkan tata letak bangunan yang kurang memperhatikan kekerabatan cenderung terjadi pada daerah pusat kota atau pusat bisnis.

Dua, ruang terbuka sebagai implikasi nilai pesse, dimana fungsi ruang terbuka yang sangat berperan sebagai fasilitas sosial dan pembentuk pusat kota, kini cenderung bergeser ke fungsi komersil. Demikian pula beberapa ruang terbuka pinggir laut yang menjadi area rekreasi cenderung hilang akibat desakan berbagai pembangunan fisik di sekitar area pantai.

Kategori III = Peranannya sangat terlihat, karena aturan dasar yang dilihat diterapkan secara meluas di seluruh kawasan studi, yang meliputi:

Satu, pola jaringan jalan dengan bentuk kisi persegi panjang sebagai implikasi nilai siri’, sangat tercermin pada pola jaringan jalan di kota Makassar. Hanya saja bentuk jalan kisi yang ada sebagian kurang teratur dibandingkan dengan yang diterapkan pada daerah lain yang lebih maju. Hal ini disebabkan oleh pengaruh: bentuk kota, belum adanya rancangan kota pasca kolonial saat itu, pengetahuan masyarakat/pemerintah masih terbatas pada saat itu, dan pembentukan kota yang berasal dari kampung yang tumbuh secara organis. Dua, bentuk rumah yang menggunakan konsep rumah produktif dan bangunan perdagangan yang berbentuk ruko cenderung berkembang pesat tidak hanya di kawasan studi, tapi meluas di wilayah Kota Makassar sebagai implikasi nilai were. Fasilitas komersil yang berkembang, cenderung terdistribusi pada area pusat perbelanjaan dan sepanjang jalur jalan utama. Sejak dahulu masyarakat Bugis cenderung menempatkan bangunan usaha pada daerah tersebut yang didorong oleh motivasi bisnis yang kuat berdasarkan nilai were.

Kategori IV = Peranannya sangat terlihat, tetapi penerapan aturan dasar hanya dominan pada daerah-daerah tertentu saja dalam kawasan studi, yang meliputi: Satu, orientasi bangunan cenderung sesuai arah mata angin sebagai implikasi nilai siri’. Orientasi bangunan yang dipahami masyarakat Bugis tersebut berperan sebagai pembentuk linkage kawasan. Gejala ketidaksesuaian arah

(6)

442

orientasi beberapa bangunan kota Makassar disebabkan oleh faktor: teknis pelaksanaan, paradigma pembangunan yang mengikuti jalan, heterogenitas masyarakat, dan faktor perkembangan masyarakat kota. Di samping itu, juga dipertegas bahwa masyarakat Bugis memahami bahwa bangunan yang terletak di pinggir perairan sebaiknya berorientasi ke arah perairan sebagai implikasi nilai siri’. Beberapa bangunan yang sebelumnya berorientasi ke arah laut, kini tidak menghadap laut lagi akibat beberapa perkembangan kota seperti: pembangunan fasilitas perbelanjaan di Jl. Pasar Ikan yang membelakangi laut, pembangunan kawasan pelabuhan Soekarno-Hatta dan Paotere menghalangi bangunan sekitarnya yang menghadap ke laut, dan beberapa kawasan sempadan laut yang dijadikan lahan perumahan.

Dua, bentuk bangunan Bugis yang berbentuk panggung dengan pola sesuai folosofi sulapa eppa’, dan dengan bentuk atap pelana yang dilengkapi dengan penutup atap berupa timpa laja’; merupakan cerminan dari nilai siri’. Masyarakat Bugis mewujudkan karakternya yang suka menghasilkan karya yang baik dan menarik sebagai cerminan nilai siri’ melalui wujud penampilan bangunan yang dilengkapi dengan beberapa ornamen seperti: ornamen tangga, ornamen jendela, ornamen atap (anjong), dan ornamen balkon.

Tiga, bentuk bangunan rumah Bugis berupa rumah tunggal yang memiliki lego-lego (teras) di bagian depan maupun samping/belakang. Bentuk bangunan rumah tersebut berdasar pada tata ruang dalam sebagai implikasi nilai pesse. Searah dengan perkembangan kota, bentuk tersebut juga telah mengalami banyak perubahan saat ini.

Peranan dari nilai-nilai sosio-kultural terhadap bentuk-bentuk bangunan Bugis tersebut dominan masih terlihat pada daerah bagian Utara kota khususnya di Kecamatan Ujung Tanah dan bagian Utara Kecamatan Wajo. Namun demikian pada daerah lainnya terutama di pusat kota, kurang diterapkan lagi akibat pengaruh perkembangan kota.

Kesimpulan Keempat,

Perkembangan fisik kota mengacu pada pola perkembangan kehidupan solidaritas masyarakat dari solidaritas mekanis ke solidaritas organis. Hal ini terungkap

(7)

443

dalam teori logika ruang (Hillier and Hanson, 1994). Teori yang melihat hubungan antara konfigurasi ruang dengan interaksi sosial tersebut mengacu pada teori solidaritas yang dikemukakan oleh Durkheim. Kehidupan solidaritas mekanis yang ditandai dengan kerukunan masyarakat berdasarkan kesamaan keyakinan yang kuat akan berimplikasi pada pembentukan wujud ruang yang terintegrasi secara spasial. Perkembangan kehidupan solidaritas organis yang ditandai oleh terbentuknya hubungan eksternal yang membuat saling ketergantungan masyarakat, akan berimplikasi pada pembentukan wujud ruang yang bersifat trans-spasial. Gejala perkembangan kehidupan masyarakat tersebut yang menurut Durkheim akan berkembang terus di era pasca modern, akan berpengaruh terhadap perkembangan wujud kota. Selanjutnya, lebih spesifik lagi Bill Hillier mengkaji keterhubungan antara struktur ruang kota dengan perilaku sosial khususnya tentang pergerakan alami dan ekonomi di dalam ruang kota. Studi ini mengacu pada hubungan antara wujud kota (city form) dan perilaku sosial yang tercermin dalam budaya meruang (spatial culture) (Hillier, 1996).

Kedua kajian struktur ruang kota tersebut pada dasarnya mengemukakan bahwa wujud kota akan berkembang terus sesuai perkembangan perilaku sosial masyarakat. Eksistensi masyarakat yang berpengaruh terhadap wujud ruang kota cenderung dilihat secara seragam, yang seharusnya berbeda sesuai budaya yang dipahami. Di samping itu, kajian tersebut mencerminkan perilaku budaya masyarakat Eropa seperti kurangnya kebersamaan dalam pergerakan orang dewasa dan anak-anak. Dengan demikian kajian tersebut lebih berfokus pada dimensi sosial dari pada dimensi kultural yang dapat mencerminkan karakter masyarakat dalam membentuk wujud perkotaan seperti yang telah diungkapkan Rapoport (1977, 1983, 1986, 2005), Altman & Chemers (1984), Ronald (2005), Chapin (1965), Catanese (1995), dan Santoso (2008).

Kajian di atas sangat berbeda dengan kajian nilai-nilai sosio-kultural Bugis dalam kaitannya dengan pembentukan kota Makassar. Kajian wujud ruang kota seyogyanya dilihat dalam aspek budaya secara spesifik yang dipahami masyarakat. Masyarakat Bugis memandang penting arti kebersamaan dalam kehidupannya sesuai nilai-nilai sosio-kuluralnya seperti sipakatau, sipakalebbi’, sipammase-mase, dan siwolong-polong. Walaupun masyarakat Bugis telah

(8)

444

mengalami perubahan hidup seperti terlihat pada terbentuknya wujud ruang kota secara trans-spatial, akan tetapi dalam pembentukan elemen kotanya masih terlihat beberapa dimensi budaya sebagai implikasi dari nilai-nilai sosio-kulturalnya. Dalam hal ini pembentukan kota Makassar menunjukkan konsep wujud kota yang berbasis nilai siri’, were, dan pesse. Oleh karena itu, kajian ini akan memberikan kontribusi pengembangan terhadap teori logika ruang atau teori pergerakan alami dan ekonomi, khususnya menyangkut kajian nilai-nilai sosio-kultural. Lebih jelasnya skema pengembangan teori tersebut sebagai berikut:

Kesimpulan Kelima,

Kajian wujud kota berbasis budaya ini dilakukan dengan menggunakan teknik presentasi dan interpretasi data sosio-kultural, yaitu suatu teknik yang

Gambar 6.1 Skema Struktur Pengembangan Teori Perancangan Kota Teori Solidaritas

Perubahan kehidupan masyarakat dari kehidupan solidaritas mekanis (ikatan sosial yang kuat) menuju solidaritas organis (individual & mengelompok).

Terkait dgn teori- teori sosial budaya perkotaan: Daldjoeni, Koentjaraningrat, Schneider, Kahl, Boas, Daeng, Boedihartono, dll. Durkheim Terkait dgn teori2 pembentukan lingkungan binaan dan kota: Rapoport, Madanipour, Zahnd, Altman, Chapin, Shevky & Bill, dll.

Teori Logika Ruang (The Logic of Space)

Perubahan paradigma ruang, dari wujud bersifat spasial (berdasarkan solidaritas mekanis), menjadi ruang yang bersifat

trans-spatial (berdasarkan solidaritas organis) yg

dikaitkan dengan konsep sosio-spasial.

Hillier & Hanson

Nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Bugis (konsep siri’ na pesse) ternyata masih eksis dan berperan dalam pembentukan kota Makassar. Dengan demikian konsep pembentukan kota yang mencerminkan nilai-nilai sosio-kultural masyarakatnya tersebut, kemudian disebut “Konsep Wujud Kota Berbasis Budaya”.

Arifuddin 2011 Teori Pergerakan Alami dan Ekonomi

(Natural Movement and City as Movement

Economy). Pembentukan struktur ruang kota dalam hubungannya dengan perilaku sosial.

Studi ini mengacu pada hubungan antara wujud kota (urban form) dan perilaku sosial yang tercermin dalam budaya meruang (spatial culture)

(9)

445

bertujuan untuk mengkonkritkan informasi yang bersifat abstrak melalui presentasi dan interpretasi data yang bersifat abstrak ke dalam wujud meruang. Teknik ini merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk mengkaji keterkaitan antara nilai-nilai sosio-kultural yang bersifat abstrak dan wujud kota yang berdimensi ruang. Di samping itu, teknik ini juga dapat digunakan untuk memahami nilai-nilai sosio-kultural masyarakat dalam kegiatan analisis perancangan kota.

Pemilihan teknik ini, berawal dari permasalahan dalam analisis nilai-nilai sosio-kultural masyarakat yang bersifat abstrak dalam sebuah wujud kota. Akhirnya ditemukan sebuah solusi pendekatan yang dilakukan dengan cara mengkaji terlebih dahulu nilai-nilai sosio-kultural masyarakat khususnya yang berpengaruh terhadap wujud kota yaitu dengan melakukan kajian literatur maupun wawancara. Nilai-nilai yang teridentifikasi kemudian dikaitkan dengan mengkaji pola ruang permukiman, kampung atau kota tradisional yang dihasilkan oleh masyarakatnya berdasarkan indikator yang tentukan. Temuan analisis awal kemudian divalidasi lagi ke beberapa wujud kota yang dibangun oleh masyarakat sesuai referensi budaya yang dikaji. Hasil analisis tersebut akan menghasilkan implikasi nilai-nilai sosio-kultural ke dalam wujud meruang yang disebut ‘aturan dasar’. Selanjutnya, untuk melihat peranan nilai-nilai sosio-kultural yang abstrak tadi, maka aturan dasar yang telah ditemukan tersebut dijadikan dasar dalam melihat atau menganalisis wujud kota. Pendekatan ini merupakan salah satu teknik dalam kajian perancangan kota yang melihat keterkaitan wujud kota (city form) dengan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat.

Penerapan teknik presentasi dan interpretasi data sosio-kultural dalam studi ini menggunakan referensi khusus pada budaya Bugis dan referensi wujud kota Makassar khususnya pada indikator pola pemanfaatan ruang, jaringan jalan, ruang terbuka, dan tata bangunan. Dalam pengembangan penelitian, teknik ini dapat diaplikasikan pada kasus kota tertentu yang memiliki kekhasan nilai-nilai sosio-kultural tertentu, dan hasilnya dapat memberi kontribusi dalam metode analisis pada bidang ilmu perancangan kota. Jika penelitian-penelitian sejenis dapat diwujudkan dari berbagai latar belakang budaya (nilai sosio-kultural) tertentu, akan dihasilkan sebuah temuan yang memiliki tingkat universal yang lebih tinggi.

(10)

446

Urutan kegiatan analisis dalam menentukan aturan dasar pada teknik presentasi dan interpretasi data sosio-kultural, dapat digambarkan pada skema berikut:

Kesimpulan Keenam,

Penelitian ini difokuskan pada kajian karakteristik wujud kota di Kota Makassar - Sulawesi Selatan dalam kaitannya dengan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Bugis. Penelitian ini berperan untuk menghidupkan nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki setiap masyarakat sesuai warisan budayanya menjadi sebuah kebanggaan. Unsur fisik kota sebagai sebuah kearifan unik yang mengakar pada sosio-kultural masyarakat Bugis, perlu dikembangkan di perkotaan dalam rangka menciptakan identitas kotanya. Dalam konteks wilayah yang dihuni oleh masyarakat Bugis secara keseluruhan, tentu saja referensi kota Makassar ini masih bersifat kecil. Namun demikian berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh Pelras, C (2006); Latief, H (2005); Mattulada (1975); Mardanas (1985); Data, Y (1977); dan Hamid, A (2003) antara lain menunjukkan bahwa nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Bugis yang terangkum dalam konsep siri’ na pesse akan selalu dipahami dan tercermin dalam pola permukiman, tata letak, dan bentuk bangunannya. Dari beberapa pengaruh eksternal yang mempengaruhi termasuk

Gambar 6.2 Skema Teknik Presentasi dan Interpretasi Data Sosio-Kultural

Arah proses Arah masukan

Implikasi Nilai dalam Wujud Meruang

IN D IK A T O R P ol a P em anf aa ta n R ua ng, J ar inga n Ja la n, R ua ng T er buka , da n T at a B anguna n ATURAN DASAR

Implikasi Nilai Siri’ dalam Wujud Kota

Implikasi Nilai Pesse dalam Wujud Kota Data Sosio-Kultural

Pustaka (Naskah Kuno), Interview, dan Observasi

N IL A I-N IL A I S O S IO -K U L T U R A L  Rumah  Perumahan  Permukiman (Kampung)  Kota A R TEF A K BU G IS T E O R I - T E O R I T E R K A IT P ri ns ip H idup G a ya H idup K ons e p Si ri na P e ss e Siri’ Were Pesse

Implikasi Nilai Were dalam Wujud Kota

(11)

447

budaya lain, wujud permukiman atau perkotaan di daerah lain yang dihuni masyarakat Bugis mungkin memperlihatkan beberapa hal yang beragam.

Secara keseluruhan, Indonesia mencakup berbagai macam budaya yang memiliki karakter nilai-nilai sosio-kultural yang berbeda. Hingga saat ini pengkajian budaya secara detail tentang nilai-nilai sosio-kultural masyarakat dalam kaitan dengan wujud kotanya tergolong masih sedikit. Untuk mengisi kekosongan dan untuk pengembangan keilmuan dalam bidang perancangan kota, khususnya kajian yang mengaitkan antara nilai budaya dan wujud kota, maka penelitian ini menjadi salah satu alternatif. Kajian ini menggunakan referensi masyarakat Bugis dan referensi kota Makassar sebagai wujud kota pantai yang telah mengalami perkembangan modernisasi dan globalisasi. Dengan demikian penelitian ini telah membentuk kerangka atau metodologi yang dapat digunakan untuk mengeksplorasi keterkaitan antara pembentukan kota dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat pada daerah lain, khususnya di wilayah Indonesia.

6.2 Saran Saran Pertama,

Pendekatan teknik presentasi dan interpretasi data sosio-kultural yang digunakan pada penelitian ini seperti yang tercantum pada gambar skema 3.7 pada bab 3, atau skema 6.2 pada bab 6, dapat digunakan pada penelitian sejenis dengan latar belakang sosio-kultural atau kasus kota yang berbeda. Selanjutnya, dari beberapa penelitian sejenis akan ditemukan karakteristik elemen pembentukan kota yang bersifat universal.

Saran Kedua,

Penelitian ini menggunakan empat jenis indikator dalam melihat wujud pembentukan kota, sehingga konsekuensi meruang yang dihasilkan hanya terkait dengan indikator-indikator tersebut. Disarankan agar mengembangkan penelitian ini dengan melihat pada elemen pembentuk kota yang lain, seperti yang terkait dengan kajian estetika kota.

(12)

448 Saran Ketiga,

Kecenderungan pergeseran dalam pemahaman terhadap nilai-nilai sosio-kultural Bugis, seperti munculnya sifat-sifat yang tidak mengacu pada keaslian prinsip-prinsip hidup menurut nilai siri’, were, dan pesse, perlu menjadi perhatian seluruh masyarakat. Hal ini karena faktor tersebut dapat berpengaruh terhadap pemahaman ‘aturan dasar Bugis’ (implikasi nilai Bugis dalam wujud meruang) yang tidak tepat. Selanjutnya hal tersebut dapat berdampak pada aplikasi pembangunan yang cenderung menghilangkan identitas kota (belajar dari pola pembentukan kota kategori II di atas). Berdasarkan hal tersebut, disarankan agar pihak pemerintah selaku penentu kebijakan untuk mengantisipasi hal tersebut melalui berbagai strategi termasuk sosialisasi kearifan budaya masyarakat dan menyiapkan aturan-aturan formal (regulasi).

Gambar

Gambar  6.1  Skema Struktur Pengembangan Teori Perancangan Kota Teori Solidaritas
Gambar  6.2  Skema Teknik Presentasi dan Interpretasi Data Sosio-Kultural

Referensi

Dokumen terkait

Melihat berbagai permodelan dari guru pamong dalam proses pembelajaran di kelas, praktikan dapat menyimpulkan bahwa mata pelajaran Bahasa Arab tidak begitu

Dalam pembelajaran menggunakan model Think Pair Share pada kelas eksperimen, siswa dapat mengembangkan ketrampilan berfikir dan menjawab antar satu dengan yang lain,

Dari hasil analisa dan perhitungan menggunakan m-file MATLAB diperoleh nilai SFFOR pada jaringan transmisi 70 kV Gardu Induk Sukorejo – Gardu Induk Bangil berkisar antara

Kelompok Tani Ummat merupakan salah satu mitra petani yang akan mengembangkan budidaya padi di daerah Ujung Genteng, Sukabumi.. Kelompok tani ini memiliki 103 anggota kelompok

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmat yang dilimpahkanNya sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pemanfaatan Layanan

Pengelolaan proyek dengan Microsoft Project terdiri dari beberapa tahap yaitu mementukan tugas (task) yang harus dikerjakan, mengatur task dalam urutan yang logis dengan

Gaya demokratis adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara berbagai kegiatan

Hasil dari penilaian risiko sosial diperoleh bahwa skenario bahaya yang mungkin akan terjadi di lajur pipa gas LPG berada pada tingkat aman atau tidak