• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masyarakat dalam meningkatkan derajat kesehatan (Undang-Undang Nomor 36,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masyarakat dalam meningkatkan derajat kesehatan (Undang-Undang Nomor 36,"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Semua mendorong dan mengupayakan kemandirian individu, keluarga, masyarakat dalam meningkatkan derajat kesehatan (Undang-Undang Nomor 36, Tahun 2009 tentang Kesehatan Indonesia Sehat, 2009)

Salah satu hasil Konvensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2000 adalah adanya Komitmen Internasional untuk mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDGs) pada tahun 2015, yaitu untuk meningkatkan kualitas hidup penduduk dunia dengan delapan sasaran MDGs. Dimana sasaran keempat dan kelima terkait langsung dengan kesehatan ibu, bayi baru lahir, bayi dan balita.

Tujuan keempat MDGs adalah menurunkan angka kematian bayi dan angka kematian balita. MDGs mentargetkan pengurangan hasil pencapaian tahun 1990 menjadi dua pertiga. Artinya harus menurunkan dari 68/1000 KH kematian menjadi 23/1000 pada tahun 2015. Target tersebut tampaknya masih sulit untuk dicapai karena Angka Kematian Bayi (AKB) tahun 2007 sebesar 35/1000 KH. Tujuan kelima MDGs adalah menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan hingga 3/4-nya dari angka pada tahun 1990. Dengan asumsi bahwa rasio tahun 1990 sekitar 450/100.000 KH. Maka target MDGs tahun 2015 adalah 102/100.00

(2)

KH. Target tersebut tampaknya masih sulit dicapai, karena AKI pada tahun 2007 sebesar 228/100.000 KH (Kementrian Kesehatan Indonesia, 2013).

Kehamilan dan persalinan adalah proses alami dan merupakan suatu krisis maturitas yang dapat menimbulkan rasa takut dan stress, tetapi berharga karena wanita tersebut menyiapkan diri untuk memberikan perawatan dan mengemban tanggung jawab yang lebih besar (Bobak et al., 2005). Setiap wanita yang hamil dan melahirkan akan diikuti dengan perubahan fisik dan emosional yang kompleks, sehingga memerlukan adaptasi terhadap penyesuaian pola hidup dengan proses yang terjadi (Saifuddin, 2006). Beberapa penyesuaian di butuhkan oleh beberapa wanita dalam menghadapi aktivitas dan peran baru sebagai ibu pada minggu-minggu atau bulan-bulan pertama setelah melahirkan, baik dari segi fisik maupun psikologis.

Secara garis besar masih kurangnya pengetahuan dari calon ibu terhadap hal-hal yang harus dilakukan dalam menjaga kehamilan serta masih rendahnya fasilitas pelayanan medis yang berkualitas menjadi faktor utama yang mengakibatkan tingginya tingkat kematian baik pada sang ibu maupun bayi. Kondisi mental ibu yang tidak siap dalam menerima keadaan setelah melahirkan dapat menyebakan ibu mengalami gangguan psikologis. Gangguan-gangguan psikologis yang muncul akan mengurangi kebahagiaan yang dirasakan dan sedikit banyak mempengaruhi hubungan anak-ibu dikemudian hari. Hal ini bisa muncul dalam durasi yang sangat singkat atau berupa serangan yang sangat berat selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun lamanya. Sebagian wanita berhasil menyesuaikan diri dengan baik, tetapi sebagian lainnya tidak berhasil

(3)

menyesuaikan diri terhadap aktivitas dan peran barunya setelah melahirkan, serta tidak berhasil mengatasi konflik yang dialaminya, dan mengalami gangguan-gangguan psikologis dengan berbagai gejala atau sindroma yang disebut postpartum blues (Robertson et al., 2003) dan dapat memberi dampak negatif bagi

kehidupan keluarganya.

Postpartum blues merupakan masa transisi mood setelah melahirkan yang

sering terjadi pada 50 – 70 % wanita (Suherni, 2009). Postpartum blues adalah gangguan psikologis pada ibu postpartum yang ditandai dengan keluar air mata, merasa kelelahan dan kesulitan konsentrasi (Gonidakis et al., 2007), lekas marah, sakit kepala, stres, kecemasan, kebingungan dan pelupa (Bergant et al., 1999). Postpartum blues biasanya muncul pada hari pertama dan meningkat di hari ke

tiga sampai hari ke lima setelah melahirkan yang mempengaruhi sekitar 50 – 80% wanita postpartum dan lamanya kejadian postpartum blues dari beberapa jam sampai beberapa hari (Henshaw, 2003).

Postpartum blues yang tidak dapat diatasi akan berkembang menjadi depresi

postpartum. Depresi postpartum adalah suatu gangguan kejiwaan yang timbul

beberapa hari atau pada minggu pertama setelah melahirkan. Depresi selama kehamilan merupakan faktor resiko terjadi depresi postpartum (Veltema et al., 1998). Wanita yang mengalami depresi pasca melahirkan tidak mampu untuk merasakan kebahagiaan dan memiliki motivasi kurang untuk menyambut kelahiran bayinya (Netter et al., 1995). Apabila depresi postpartum tidak mendapat penanganan yang tepat akan dapat menetap sampai berbulan-bulan bahkan dapat lebih dari satu tahun, walaupun jarang dapat berkembang menjadi

(4)

psikosis postpartum (Oates, 2002). Gangguan kejiwaan yang berat setelah persalinan dapat meningkatkan risiko bunuh diri sampai 70 kali dibandingkan karena penyebab lain terutama pada tahun pertama setelah persalinan. Lebih dari 50% wanita yang meninggal karena bunuh diri disebabkan karena penyakit gangguan mental setelah melahirkan (Oates, 2002).

Salah satu faktor predisposisi depresi pasca melahirkan adalah kekerasan dalam rumah tangga baik berupa kekerasan fisik, psikis dan seksual (Records, 2004). Kekerasan yang dialami seorang wanita sebelum dan selama masa kehamilan dapat berdampak serius pada kesehatan perempuan dan anaknya (Heise et al., 1999) dan juga dapat menyebabkan depresi selama kehamilan yang nantinya akan menyebabkan depresi pasca persalinan. Sejauh ini masalah kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga masih menjadi masalah yang tersembunyi dan belum tersentuh oleh masyarakat (Meiyenti, 1999).

Insidensi KDRT di beberapa negara di dunia cukup banyak, sedikitnya satu dari empat wanita Eropa pernah mengalami KDRT dalam hidupya (Council of Europe, 2002). Berdasarkan data DHS, 28 % wanita Haiti pada tahun 2000, 28 % wanita Nicaragua pada tahun 1997-1998 dan 41 % wanita Colombia pada tahun 2000, pernah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya ataupun orang lain (PAHO, Pan American Health Organization, 2003). Di Indonesia, tahun 2012 terdapat 216.156 kasus kekerasan terhadap perempuan, bersumber pada data kasus/perkara yang ditangani oleh PA, yaitu mencapai 203.507 kasus (dengan akta cerai). Sisanya sebanyak 6% - 12.649 kasus KTP dari lembaga-lembaga mitra pengada layanan (Komnas Perempuan, 2013).

(5)

Dalam dunia kesehatan kekerasan terhadap perempuan juga merupakan masalah yang serius karena dapat mengikis kesehatan fisik, melemahkan perempuan dan menurunkan harga diri perempuan. Disamping menyebabkan luka-luka, kekerasan juga memperbesar risiko jangka panjang terhadap masalah kesehatan lainnya, termasuk penyakit kronis, cacat fisik, penyalahgunaan obat dan alkohol, serta depresi (Hakimi et al., 2001).

Sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Mitra Perempuan di Jakarta, menerangkan bahwa dari 165 kasus KDRT pada tahun 2002, 74 % perempuan yang menjadi korban menderita gangguan jiwa seperti depresi, rasa rendah diri, fobia dan kecemasan, sebanyak 22 % mengalami gangguan kesakitan fisik non reproduksi termasuk cidera, gangguan fungsional, keluhan fisik dan cacat permanen, dan sekitar 4 % berupa gangguan kesehatan reproduksi seperti kehamilan tak diinginkan, penyakit menular seksual dan abortus (Mitra, 2005). Berdasarkan keterangan diatas, dampak yang mempunyai proporsi paling besar adalah dampak psikologis.

Banyak perempuan berpendapat, dampak psikologis masalah kekerasan merupakan persoalan yang lebih serius dibanding dampak fisik, pengalaman kekerasan mengikis harga diri dan menempatkan perempuan pada risiko yang lebih besar untuk mengalami berbagai macam masalah kesehatan mental, termasuk depresi, stres pasca trauma, bunuh diri sampai dengan penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan. Perempuan yang dianiaya oleh pasangannya menderita lebih banyak depresi, kecemasan dan fobia dibandingkan perempuan yang tidak

(6)

pernah dianiaya (Heise et al., 1999). Kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi bahkan meningkat setelah bencana (GDN, 2006; CHPSS, 2012).

Bencana adalah peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kehilangan tempat tinggal, keluarga, kerugian harta benda, ladang pertanian dan dampak psikologis serta harus pndah ke lingkungan tempa tinggal yang baru merupakan stressor yang bertumpuk yang semakin memperparah kekhawatiran ibu dalam menghadapi proses persalinan (Undang Republik Indonesia, 2007).

Angka kejadian bencana di Indonesia pada tahun 2010 terjadi sekitar 644 kali: bencana hidrometerologi merupakan bencana yang paling sering terjadi yaitu sebanyak 81,5% atau 517 dari total kejadian bencana di Indonesia. Meskipun frekuensi kejadian bencana geologi seperti gempa bumi terjadi 13 kali (2%), tsunami 1 kali (0,2%) dan gunung meletus 3 kali atau 0,5% (Nugroho, 2010) namun bencana ini telah menimbulkan kerusakan dan korban jiwa yang besar, sebagai contoh sebagai contoh gempa bumi dan tsunami di Provinsi Nangroe Aceh Darulsalam dan Sumatera Utara pada akhir 2004, dimana akibat kejadian ini kerugian ditaksir mencapai empat puluh triliun rupiah (BPPN & BNPB, 2006), dan letusan gunung merapi yang kemudian berlanjut dengan munculnya banjir lahar dingin pada tahun 2010 di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengakibatkan korban dan pengungsi yaitu: di Kabupaten Magelang meninggal 7 orang, mengungsi 64500 orang; Kabupaten Sleman meninggal 104 orang,

(7)

mengungsi 56.414 orang; Kabupaten Klaten meninggal 2 orang, mengungsi 44.776 orang; dan Kabupaten Boyolali 3 meninggal, 36.893 orang mengungsi (BNPB, Badan Nasional Penaggulangan Bencana, 2010).

Bencana menimbulkan berbagai masalah kesehatan baik fisik, psikologis, sosial, ekonomi maupun spriritual. Masalah kesehatan fisik akibat bencana merapi dibagi menjadi empat kategori yaitu: (1) cidera akut, (2) masalah akut, (3) masaah kronis, (4) gejala fisik secara medis yang tidak dapat dijelaskan (Freedy & Simpson, 2007). Dampak psikologis dari bencana meliputi efek jangka pendek seperti kejutan, kecemasan, gangguan tidur dan rasa bersalah dan efek jangka panjang meliputi gangguan psikiatrik pasca bencana berkepanjangan hingga 10 tahun ke depan dan bahkan gangguan pasca trauma dengan jangka 30 tahun (Pitaloka, 2005). Beberapa studi menemukan bahwa sebagian besar perempuan dilaporkan menderita gangguan emosi lebih tinggi dibandingkan laki-laki (WHO, 2002).

Pasca erupsi merapi tahun 2010 memunculkan dampak sekunder yaitu terjadinya banjir lahar dingin yang diikuti dengan turunnya material vulkanik melalui sungai-sungai yang berhulu di Gunung Merapi. Akibat dari turunnya matrial bersamaan dengan air hujan telah mengakibatkan banjir lahar dingin dan berdampak pada desa-desa disekitar sungai. Kondisi ini memaksa pengungsi untuk tinggal di hunian sementara yang kini telah menjadi hunian tetap, karena rumah yang mereka miliki telah rusak. Keluarga yang mengungsi diberi satu rumah ukuran 100 M2. Pembagian rumah didasarkan atas kepala keluarga (KK) tanpa mempertimbangkan jumlah anggota keluarganya.

(8)

Pasca erupsi Merapi 2010, ibu postpartum yang menjadi korban erupsi Merapi dan tinggal di huntap menjadi sangat rentan terkena gangguaan jiwa baik gangguan jiwa berat maupun ganguan jiwa ringan. Sebab, dampak trauma pasca bencana dapat berkepanjangan, menempati lingkungan baru di huntap merupakan sebuah stressor baru yang berkepanjangan dan membutuhkan proses adaptasi dalam menghadapi masalah-masalah baru dengan tetangga maupun lingkungan yang akan mempengaruhi masa postpartum wanita. Perpindahan ke tempat tinggal yang baru merupakan stressor yang dapat menyebabkan gangguan jiwa (Soewadi, 1999).

Dalam keadaan normal ibu dengan kekerasan dalam rumah tangga sebelum dan selama kehamilan memiliki resiko terjadi depresi postpartum (Veltema et al., 1998). Dengan adanya kejadian erupsi Merapi 2010 menimbulkan stressor baru yang berkepanjangan berupa kehilangan pekerjaan, harta benda dan perpindahan tempat tinggal ke daerah hunian tetap yang merupakan lingkungan baru dan membutuhkan proses adaptasi ditambah dengan keadaan yang belum stabil membuat ibu-ibu memiliki resiko yang lebih tinggi terkena kekerasan dalam rumah tangga sebelum dan/atau selama masa kehamilan yang berarti meningkatkan resiko depresi postpartum pada ibu.

Berdasarkan hasil wawancara dengan seorang tokoh perempuan yang juga seorang guru dan wawancara dengan ibu warga hunian tetap gondang saat studi pendahuluan serta wawancara dengan bidan di klinik bersalin kecamatan Cangkringan Yogyakarta di dapatkan keterangan bahwa terdapat ibu yang mengalami postpartum blues dan pasca erupsi merapi di hunian tetap banyak

(9)

ibu-ibu yang stress karena harus menyesuaikan dengan tetangga baru, harus mencari pinjaman untuk membenahi bangunan hunian tetap dan mencukupi kebutuhan sehari-hari. Suami istri bekerja keras bahkan tidak jarang suami bekerja jauh dan harus meninggalkan rumah dalam waktu lama, banyak ibu-ibu membantu keuangan keluarga dengan bekerja dan diketahui bahwa tingkat kejadian perselingkuhan di hunian tetap cukup tinggi, serta ada kejadian pertengkaran suami istri sampai melakukan kekerasan fisik dan kekerasan psikologis meningkat. Berdasarkan data diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan antara kekerasan dalam rumah tangga dengan postpartum blues pada ibu postpartum di hunian tetap Kecamatan Cangkringan pasca erupsi

Merapi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, permasalah dalam penelitian ini adalah : bagaimana hubungan antara kekerasan dalam rumah tangga dengan postpartum blues pada wanita postpartum di hunian tetap Kecamatan Cangkringan daerah pasca bencana erupsi Merapi.

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara kekerasan dalam rumah tangga dengan postpartum blues pada wanita postpartum di hunian tetap Kecamatan

(10)

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui macam-macam bentuk kekerasan dalam rumah tangga pada wanita yang tinggal pada hunian tetap Kecamatan Cangkringan daerah pasca bencana erupsi Merapi.

b. Mengetahui kejadian postpartum blues pada wanita postpartum di hunian tetap Kecamatan Cangkringan.

D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah:

1. Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman tentang hubungan antara kekerasan dalam rumah tangga dengan postpartum blues pada wanita postpartum di hunian tetap Kecamatan Cangkringan daerah pasca bencana erupsi Merapi. 2. Wanita postpartum

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi bagi wanita postpartum untuk menjaga kondisi psikologisnya, agar masalah seperti

postpartum blues tidak menjadi depresi postpartum maupun kondisi yang

patologis, yang nantinya dapat membahayakan nyawa ibu maupun bayi. 3. Masyarakat

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang postpartum blues sehingga masyarakat mampu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi ibu postpartum khususnya yang berada di daerah pasca bencana.

(11)

E. Keaslian Penelitian

Berikut beberapa penelitian yang telah dilakukan dan berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti:

1. Mardiah (2008) yang berjudul hubungan usia ibu dengan gejala postpartum blues di wilayah Kota Tasikmalaya. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan cross sectional dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang sudah melahirkan normal di Rumah Bersalin, Bidan Praktek Swasta di wilayah Kota Tasikmalaya. Sample dalam penelitian ini berjumlah 175 orang dan 4 orang indepth interview. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner Edinburgh

Postnatal Depressive Syndrome (EPDS). Hasil penelitian ini menunjukkan

kejadian postpartum blues pada ibu nifas dengan usia kurang dari atau sama dengan 20 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan ibu nifas usia lebih dari 20 tahun. Perbedaan penelitian Siti Saadah Mardiah dengan penelitian ini adalah terletak pada tempat penelitian, peneliti mengambil tempat di daerah pasca bencana erupsi Merapi, cara pengambilan sampel, peneliti menggunakan total sampling, sedangkan pada penelitian Siti Saadah Mardiah menggunakan accidental sampling.

2. Hakimi (2001) yang berjudul SEHATI dalam buku membisu dalam harmoni kekerasan terhadap istri dan kesehatan perempuan di Jawa Tengah, Indonesia. Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross-sectional. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang prevalensi faktor–

(12)

faktor risiko dan konsekuensi kesehatan atas masalah kekerasan terhadap istri pada perempuan di Jawa Tengah, Indonesia. Hasil analisis studi menunjukkan bahwa prevalensi penganiayaan oleh suami di antara 765 perempuan sebanyak 34% mengatakan pernah mengalami kekerasan emosional, dan kekerasan yang terjadi saat kehamilan menunjukkan proporsi terjadinya berat badan lahir rendah sebesar 4,5%. Abortus spontan mempunyai proporsi lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak mengalami kekerasan. Proporsi kelahiran prematur antara yang mengalami kekerasan saat kehamilan dan yang tidak mengalami kekerasan saat kehamilan adalah 21,2% vs 16,4%. Perbedaan penelitian Hakimi dengan penelitian ini terletak pada tempat penelitian, penelitian yang akan dilaksanakan mengambil tempat di hunian tetap daerah pasca bencana erupsi Merapi, cara pengambilan sampel, peneliti menggunakan total sampling, sedangkan pada penelitian Hakimi menggunakan cluster sampling.

3. Vinatalia (2007) yang berjudul hubungan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan depresi pada wanita yang melakukan konsultasi di Rifka Annisa Women’s Crisis Center Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan pendekatan descriptive analytic correlational serta menggunakan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah wanita yang menjadi korban KDRT oleh suaminya atau mantan suaminya yang melakukan konsultasi di LSM Rifka Annisa WCC Yogyakarta. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 30 orang. Instrument yang digunakan adalah Beck Depression Inventory (BDI) untuk mengukur tingkat depresi. Hasil penelitian ini

(13)

besar yakni sebanyak 83,3%. Meskipun sebagian besar mengalami depresi, tingkat depresi yang dialami tidak ditentukan oleh bentuk-bentuk KDRT. Penelitian ini mempunyai nilai p = 0,283 lebih besar dari nilai α = 0,05 yang berarti Ho diterima. Perbedaan penelitian Vinatalia ini dengan penelitian ini terletak pada tempat penelitian, peneliti mengambil tempat di hunian tetap daerah pasca bencana erupsi Merapi, cara pengambilan sampel, peneliti menggunakan total sampling, sedangkan pada penelitian Richa Vinatalia menggunakan

purposive sampling.

4. Cury (2008) yang berjudul maternity “blues”: prevalence and risk factors. Penelitian ini merupakan studi transversal yang melibatkan 113 perempuan di hari ke sepuluh pada masa postpartum. Hasil penelitian ini menunjukkan prevalensi maternity blues adalah 32,7% meurut scara Stein. Pada analisi univariat, status

perkawinan dan konsumsi rokok memiiki hubungan yang signifikan dengan maternity blues. Perepuan yang sudah enikah secara resmi dan tidak merokok

memperlihatkan resiko empat kali lebih rendah untuk mengalami maternity blues. Perbedaan dengan penelitian Cury dengan penelitian ini adalah terletak pada tempat penelitian, peneliti mengambil tempat di daerah pasca bencana erupsi Merapi, cara pengambilan sampel, peneliti menggunakan total sampling.

Referensi

Dokumen terkait

Fasilitas sarana penyelamat diri di Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Balikpapan masih banyak yang belum tersedia (Tabel 1), seperti tidak terdapat jalur evakuasi di kedua

Struktur kategori risiko I, II, atau III yang berlokasi dimana parameter respons spektral percepatan terpetakan pada perioda 1 detik, S 1, lebih besar dari atau sama

Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Pekerjaan Utama dan Jenis Kelamin di Kabupaten Ponorogo, 2015.. Population

didefinisikan sebagai sebuah tindakan untuk men#urangi atau menda"at manfaat "rogram layanan kesehatan dengan #ara yang tidak se"antasnya 7>I%AA Re"ort,

Berdasarkan identifikasi dan refleksi kesesuaian terhadap distribusi populasi pada histogram, scatter plot dan ternary diagram serta merujuk pada teori dasar laterisasi

Selain variabel kualitas kehidupan kerja, hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel persepsi peluang kerja juga memiliki peran terhadap intensi pindah kerja pada

Dari penjelasan beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwasannya metode demonstrasi adalah cara yang dilakukan guru dalam proses pembelajaran yaitu dengan cara

Hasil penelitian menunjukkan pendidikan berpengaruh positif signifikan pada kinerja bendahara SKPD, pelatihan dan motivasi memperkuat pengaruh pendidikan pada