• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mereka sebagai bagian yang tidak dapat terpisahkan dari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mereka sebagai bagian yang tidak dapat terpisahkan dari"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

44 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sumberdaya arkeologi adalah semua bukti fisik atau sisa budaya yang ditinggalkan oleh manusia masa lampau pada bentang alam tertentu yang berguna untuk menggambarkan, menjelaskan, serta memahami tingkah laku dan interaksi mereka sebagai bagian yang tidak dapat terpisahkan dari perubahan sistem budaya dan alamnya (Scovil, Gordon dan Anderson, 1977). Perkembangan pembangunan yang semakin cepat menyebabkan sumberdaya arkeologi semakin terancam baik rusak, hilang atau bahkan hancur oleh pembangunan. Latar belakang tersebut memunculkan paradigma baru dalam arkeologi yaitu Cultural

Resource Management (CRM). Makna Cultural Resource Management adalah bagaimana mengelola situs atau kawasan sumberdaya arkeologi untuk mengakomodir beberapa kepentingan (Tanudirjo, 1998), sehingga tercapai upaya pelestarian sumberdaya arkeologi.

Secara garis besar Cultural Resource Management menekankan pada lima aspek. Pertama, sumberdaya arkeologi tidak dapat diperbaharui, terbatas, tidak bisa diganti dan kontekstual. Kedua, tidak semua sumberdaya arkeologi dapat diselamatkan dari ancaman kerusakan ataupun musnah baik karena proses alam maupun faktor yang disebabkan oleh manusia. Ketiga, adanya berbagai kepentingan di luar kepentingan arkeologi, yaitu masyarakat luas atau publik,

(2)

45 misalnya ekonomi, pariwisata, masyarakat, dan generasi mendatang. Keempat, pembangunan atau pengembangan yang berkelanjutan. Kelima, aspek hukum dan politis yang berarti kegiatan pengelolaan warisan budaya sesungguhnya merupakan proses politik dan harus didasarkan pada ketentuan hukum. Oleh karena aspek-aspek tersebut, sumberdaya arkeologi perlu dikelola secara bijak agar berkelanjutan (sustainable) sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan masyarakat luas (Tanudirjo dkk, 1994; Hardjasoemantri, 1997).

Indonesia adalah Negara yang kaya sumberdaya budaya. Salah satu sumberdaya budaya yang dikenal luas oleh masyarakat adalah Candi Borobudur. Sejak tahun 1991 Candi Borobudur telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia (World Culture Heritage) dengan nomor C-592, sehingga mempunyai nilai sangat tinggi dan perlu dijaga kelestariannya serta keberadaannya agar tetap bermakna bagi generasi masa kini dan mendatang. Candi Borobudur sebagai salah satu karya besar nenek moyang bangsa Indonesia dan sudah ditetapkan sebagai salah satu Warisan Dunia tentunya memerlukan pemeliharaan, perawatan, dan upaya pelestarian secara khusus sesuai dengan standar pemeliharaan sebagai tinggalan Warisan Dunia guna pertanggungjawaban kepada UNESCO.

Pelestarian Candi Borobudur tentu tidak hanya dilakukan pada candinya saja sebagai sumberdaya arkeologi, tetapi juga pada kawasan Borobudur yang merupakan lingkungan Candi Borobudur pada masa lalu. Dalam konsep pelestarian masa kini ada pandangan bahwa keberadaan bangunan candi tidak

(3)

46 terlepas dari kawasan di sekitarnya. Upaya pelestarian kawasan Borobudur sebenarnya telah dilakukan sekitar tahun 1979 ketika pemerintah Republik Indonesia bekerja sama dengan pemerintah Jepang menyusun Program Taman Arkeologi Nasional di kawasan Borobudur dan Prambanan. Dalam masterplan yang disusun oleh JICA (Japan International Cooperation Agency) kawasan Borobudur dibagi dalam 5 zona, pengelolaan zona tersebut dilaksanakan oleh instansi berlainan.

Zona 1 merupakan zona inti (sanctuary zone) berfungsi untuk perlindungan monumen dan lingkungannya dengan luas area sekitar 0.078 km². Zona 2 merupakan zona penyangga (buffer zone) yang mengelilingi Zona 1 berfungsi untuk perlindungan lingkungan sejarah dengan luas area sekitar 0.87 km². Zona 3 merupakan zona pengembangan (development zone) berfungsi sebagai kawasan pemukiman terbatas, daerah pertanian, dan jalur hijau dengan luas area sekitar 10,1 km². Zona 4 merupakan zona perlindungan kawasan bersejarah (historical scenery preservation zone) berfungsi untuk penanggulangan kerusakan terhadap peninggalan-peninggalan purbakala yang masih terpendam dalam tanah dengan luas area sekitar 26 km². Demikian juga Zona 5 merupakan zona perlindungan kawasan bersejarah dengan luas area sekitar 78,5 km².

Kawasan Borobudur yang dibagi menjadi 5 Zona oleh JICA (Japan

International Cooperation Agency) pada tahun 1979 dimaksudkan untuk

pelestarian dan perlindungan cagar budaya Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Pawon, candi-candi maupun situs-situs lainnya. Pembagian zonasi tersebut dapat dilihat pada peta di bawah ini.

(4)

47

Manajemen Kawasan Borobudur Oleh JICA (1979)

Terkait dengan pengelolaan kawasan Candi Borobudur, pada tahun 1992 dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1992 tanggal 2 Januari 1992 yang mengatur pengelolaan zona-zona di Candi Borobudur. Zona 1 menjadi kewenangan pemerintah pusat, dalam hal ini diwakili oleh Balai Konservasi Peninggalan Borobudur. Zona 2 menjadi kewenangan PT. Taman Wisata Candi Peta 1. Peta Zonasi Kawasan Borobudur oleh JICA 1979 Sumber : Amiluhur Soeroso dan Daud Aris Tanudirjo, Paparan Menuju Borobudur Terpadu, 2010.

(5)

48 Borobudur dan Prambanan (PT. TWCBP). Zona 3, 4, dan 5 menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten Magelang.

Namun dalam perjalanan waktu, implementasi kebijakan terhadap pengelolaan Zona 1, 2, 3, 4, dan 5 tidak konsisten dengan rencana induk yang telah dibuat dalam masterplan JICA 1979. Selain itu, beberapa faktor lain juga menyebabkan kurang efektifnya pengelolaan kawasan Borobudur antara lain adalah kurangnya koordinasi antar lembaga pengelola Candi Borobudur dan kawasannya. Terjadinya tekanan pembangunan di kawasan Borobudur, dan semakin menajamnya konflik kepentingan dari berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) juga menjadi sebab pengelolaan yang kurang baik.

Kurangnya koordinasi antar lembaga pengelola mengakibatkan masing-masing pengelola memutuskan kebijakan tanpa memperhatikan kewenangan pengelola zona lainnya. Akibatnya, sering terjadi benturan perbedaan pendapat yang berdampak merugikan pihak pengelola di zona lain dan masyarakat yang berada di wilayah zona tersebut. Sebagai akibat lebih lanjut, kepercayaan masyarakat menurun terhadap pengelola kawasan Borobudur khususnya di Zona 2, 3, 4, dan 5. Menurunnya kepercayaan masyarakat seiring dengan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan penilaian tingkat kesejahteraannya, masyarakat Borobudur termasuk dalam kriteria miskin di Kabupaten Magelang (Badan Pusat Stastistik, 2009). Kondisi ini sangat ironis, karena di Borobudur terdapat Candi Borobudur yang dalam 1 tahun pengunjungnya mencapai kurang lebih 2 juta orang, namun masyarakat Borobudur tidak dapat menikmati keuntungan dengan meningkatnya kunjungan

(6)

49 wisatawan ke Candi Borobudur. Dengan demikian, jelas bahwa pengelolaan kawasan Borobudur mengabaikan peran masyarakat sebagai “tuan” di tanah yang ditinggalinya, sehingga masyarakat kurang memperoleh kesejahteraan.

Secara logika dengan naiknya pengunjung Candi Borobudur tentunya masyarakat di sekitar Borobudur akan merasakan kesejahteraan yang lebih dibanding dengan kondisi sebelumnya. Namun kenyataannya tidak demikian karena hasil pengelolaan Zona 2 oleh PT. Taman Wisata Candi Borobudur (PT. TWCB) disampaikan langsung ke Kementerian Keuangan sehingga masyarakat tidak banyak diuntungkan. Semestinya masyarakat memperoleh sebagian keuntungan yang diperoleh PT. TWCB sebagai pemerataan pendapatan sehingga mereka dapat memperoleh kesejahteraan.

Permasalahan lain juga muncul dalam pengelolaan Zona 3, 4, dan 5 akibat kurangnya koordinasi antara pengelola ketiga zona tersebut dengan pihak pengelola Zona 1 dalam melaksanakan kebijakan pelestarian Kawasan Borobudur. Banyak lahan hijau yang seharusnya dilestarikan justru diijinkan dijual kepada investor dalam rangka pengembangan aspek pariwisata Borobudur. Pada lahan-lahan tersebut banyak didirikan bangunan untuk kepentingan bisnis yang mengabaikan masterplan JICA yang menyatakan bahwa Zona 3, 4, dan 5 diperuntukkan bagi permukiman terbatas, pertanian, jalur hijau, dan zona pendukung pelestarian cagar budaya Candi Borobudur.

Berbagai masalah pengelolaan yang terjadi di kawasan Borobudur mendapat perhatian UNESCO, sehingga dilaksanakan Reactive Monitoring pada bulan April 2003 dan bulan Februari 2006. Sebagai hasilnya, dalam sidangnya

(7)

50 tahun 2007 World Heritage Committee di New Zealand, dalam rangka meningkatkan kualitas pengelolaan kawasan Borobudur, UNESCO meminta agar pemerintah Indonesia meninjau kembali Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1992. Pemerintah Indonesia menindaklanjuti rekomendasi WHC UNESCO dengan merevisi zonasi melalui penyusunan kembali kebijakan tata ruang kawasan Borobudur. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lampiran X, Nomor 29), kawasan Borobudur ditetapkan menjadi Kawasan Strategis Nasional (KSN). Sebagai tindak lanjut penetapan tersebut, pemerintah pusat telah menyusun Rancangan Peraturan Presiden tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Borobudur dan Sekitarnya.

Dalam rancangan tersebut, Kawasan Warisan Budaya Dunia Borobudur selanjutnya disebut Kawasan Borobudur, adalah Kawasan Strategis Nasional yang penataan ruangnya diatur oleh pemerintah pusat. Keberadaannya tentu saja mempunyai pengaruh sangat penting terhadap budaya masyarakat, khususnya yang berada dalam radius 5 (lima) kilometer dari pusat Candi Borobudur dan koridor Palbapang yang berada di luar radius 5 (lima) kilometer dari pusat Candi Borobudur. Kawasan Strategis Nasional itu sendiri dibagi atas Subkawasan Pelestarian 1 dan Subkawasan Pelestarian 2. Wilayah Kawasan Strategis Nasional (KSN) Borobudur mencakup tiga situs utama yaitu Candi Borobudur, Candi Mendut, dan Candi Pawon beserta situs-situs lainnya atau yang diduga situs yang berada di sekitarnya. Jika selama ini, pengelolaan situs-situs utama itu dilakukan oleh beberapa pengelola secara sendiri-sendiri, maka dalam rancangan ini

(8)

51 semuanya harus dikelola secara terpadu sebagai bagian dari Kawasan Strategis Nasional (KSN) Borobudur. Penelitian lapangan untuk mendukung rancangan tersebut telah dilakukan sejak tahun 2007 – 2008, dan pada tahun 2010 Rancangan Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Borobudur dan Sekitarnya telah selesai dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum (Napitupulu, 2010).

Kebijakan pemerintah pusat tentang Kawasan Strategis Nasional (KSN) Borobudur yang dituangkan dalam Rancangan Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Borobudur dan Sekitarnya sekarang berada di Sekretariat Kabinet sedang dalam proses untuk ditandatangani Presiden Republik Indonesia. Dalam lampiran rancangan tersebut telah disiapkan indikasi program utama lima tahunan berikut dengan sumber pendanaan, instansi pelaksana, dan waktu pelaksanaannya dari tahun 2013 – 2027. Program utama tersebut yaitu perwujudan struktur ruang, perwujudan sistem jaringan prasarana, perwujudan pola ruang (pelestarian situs Borobudur, Mendut, Pawon), penyusunan rencana induk pengembangan kawasan Borobudur, dan penyusunan rencana detail tata ruang dan peraturan zonasi kawasan Borobudur.

Selain itu melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menjalankan Program Prioritas Nasional Tahun 2010 Nomor 11 dengan melaksanakan Program Penetapan dan Pembentukan Pengelolaan Terpadu Cagar Budaya Kawasan Warisan Dunia Candi Borobudur. Pada tahun 2010 telah disepakati bersama antara Kementerian

(9)

52 Kebudayaan dan Pariwisata, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, dan Pemerintah Kabupaten Magelang tentang Pengelolaan Terpadu Kawasan Borobudur (Soeroso dkk, 2010). Namun demikian, bagaimana bentuk lembaganya hingga kini belum ditetapkan secara pasti.

Dalam wawasan pengelolaan sumberdaya budaya (Cultural Resource

Management) setiap upaya pelestarian sumberdaya arkeologi perlu melibatkan

masyarakat. Kebijakan pengelolaan semestinya dikembangkan bersama masyarakat dan hasilnya dimasyarakatkan secara luas (Kusumohartono, 1993). Masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar situs atau sumberdaya arkeologi tentu memiliki potensi sosial, budaya, politik, maupun ekonomis sehingga apabila potensi itu dikelola dengan baik akan muncul hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara situs dan masyarakat sekitar. Di satu sisi, jika masyarakat dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya arkeologi, masyarakat akan diuntungkan melalui upaya-upaya pemanfaatan situs atau sumberdaya arkeologi itu. Di sisi lain, dengan tumbuhnya pemberdayaan masyarakat dalam bidang sosial, budaya, politik, dan ekonomi, dapat diharapkan di antara mereka akan muncul rasa memiliki sumberdaya arkeologi sehingga mereka ikut peduli terhadap kelestarian sumberdaya budaya tersebut. Ini merupakan upaya perlindungan dan pelestarian sumberdaya budaya yang paling efektif dan efisien (Prasodjo, 2003).

Konsep tersebut merupakan bagian dari hasil perkembangan pemikiran dalam bidang arkeologi yang lebih dikenal sebagai Arkeologi Publik. Pengertian

(10)

53 Arkeologi Publik ini seringkali dipahami dengan cara yang berbeda. Arkeologi Publik dapat dipahami sebagai pelaksanaan kegiatan arkeologi yang harus mendatangkan keuntungan bagi publik. Arkeologi Publik juga dapat ditafsirkan sebagai bidang arkeologi yang banyak membahas tentang upaya-upaya mempresentasikan hasil penelitian arkeologi kepada masyarakat. Selain itu, Arkeologi Publik juga dapat dipandang sebagai bidang ilmu arkeologi yang khusus menyoroti interaksi arkeologi dengan publik atau masyarakat luas. Apabila aspek-aspek Arkeologi Publik sebagaimana dijelaskan di atas diimplementasikan kepada masyarakat maka keberdayaan masyarakat di sekitar situs menjadi pondasi yang kukuh bagi upaya perlindungan dan pelestarian tinggalan arkeologi di kawasan tersebut (Prasodjo, 2003).

Konsep Arkeologi Publik tentu dapat diimplementasikan di kawasan Borobudur. Dalam konteks itu, perlu upaya pembangunan masyarakat sekitar Borobudur sehingga mereka dapat mendukung pelestarian kawasan Borobudur antara lain dengan menata kembali kawasan Borobudur secara terpadu dan menyeluruh. Mengacu konsep tersebut seharusnya masyarakat sekitar Borobudur harus ikut aktif memberikan kontribusi dan berinteraksi dalam melestarikan kawasan Borobudur yang telah ditetapkan menjadi Kawasan Strategis Nasional (KSN). Hingga saat ini kondisi seperti itu belum terwujud karena masyarakat yang berada di dalam wilayah Kawasan Strategis Nasional belum semuanya memperoleh informasi yang jelas tentang konsep Kawasan Strategis Nasional (KSN) yang akan diberlakukan di wilayahnya.

(11)

54 B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, permasalahan yang akan menjadi fokus penelitian karya tulis ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Apakah masyarakat sekitar Borobudur telah ikut berperan serta dalam pelestarian Warisan Budaya Dunia (World Culture Heritage) Candi Borobudur, sesuai dengan makna Arkeologi Publik bahwa masyarakat mempunyai peran sebagai pelindung dan pelestari situs?

2. Apakah masyarakat sekitar Borobudur telah memahami tentang upaya pemerintah untuk melestarikan Candi Borobudur dan kawasannya dengan menetapkan kawasan Borobudur sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN)? 3. Bagaimana kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mempresentasikan kepada publik tentang kawasan Borobudur menjadi Kawasan Strategis Nasional (KSN) dan pembangunan masyarakat Borobudur demi terwujudnya upaya perlindungan dan pelestarian kawasan Borobudur?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang diajukan, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

(12)

55 1. Mengetahui peran serta masyarakat sekitar Borobudur dalam pelestarian Candi Borobudur mengingat masyarakat mempunyai peran sebagai pelindung dan pelestari situs.

2. Mengetahui sejauh mana pemahaman masyarakat terhadap penetapan kawasan Borobudur sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN).

3. Mengetahui kebijakan presentasi publik tentang upaya mewujudkan kawasan Borobudur menjadi Kawasan Strategis Nasional (KSN) dan pembangunan masyarakat Borobudur demi upaya perlindungan dan pelestarian kawasan Borobudur.

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai Kawasan Strategis Nasional (KSN) untuk meningkatkan kelestarian kawasan Borobudur dengan melibatkan masyarakat melalui peran serta mereka. Pemahaman dan peran serta masyarakat maupun stakeholders lain untuk bersama-sama mengelola sumberdaya arkeologi kawasan Borobudur secara terpadu merupakan tujuan utama untuk pengelolaan kawasan Borobudur. Diharapkan dengan adanya peran serta masyarakat, pengelolaan kawasan ini akan menjadi lebih baik dari yang sudah berjalan sehingga diharapkan kelestarian kawasan Borobudur tetap terjaga untuk generasi mendatang.

D. Kerangka Pikir

Ilmu pengetahuan selalu berkembang sehingga terjadi perubahan pemikiran. Hal itu juga terjadi dalam bidang arkeologi khususnya pada dasawarsa

(13)

56 1970-an yang ditandai dengan muncul istilah Arkeologi Publik (Public

Archaeology). Istilah Arkeologi Publik pertama kali dicetuskan oleh McGimsey

pada tahun 1972. Pada awalnya istilah Arkeologi Publik dipahami sebagai cabang ilmu arkeologi modern yang fokus pada peningkatan kesadaran publik dan edukasi mengenai arkeologi (McGimsey, 1977). Tujuannya adalah pelestarian situs-situs prasejarah dan sejarah yang rawan dan sedang mengalami proses penghancuran dalam tingkatan yang mengkhawatirkan dikarenakan proses alami dan pembangunan. Maksud dari program tersebut adalah untuk memberikan pemahaman kepada publik bahwa publik harus peduli dan sadar untuk penyelamatan situs atau tinggalan arkeologi.

Dalam perkembangan selanjutnya istilah Arkeologi Publik (Public

Archaeology) digunakan untuk merujuk pada pengelolaan warisan budaya

(Cultural Resource Management) dan Arkeologi Konservasi (Conservation

Archaeology). Namun demikian, sekarang ini Arkeologi Publik lebih banyak

digunakan untuk menggambarkan pendidikan masyarakat atau program yang melibatkan masyarakat luas dalam kegiatan penelitian arkeologi (Green, 2008). Dengan demikian secara umum Arkeologi Publik dapat diartikan sebagai sebuah pendekatan arkeologi yang mengkaji keterkaitan antara arkeologi dengan publik secara timbal balik (Matsuda dan Okamura, 2011). Interaksi antara arkeologi dengan publik dapat berwujud keterlibatan masyarakat baik secara aktif maupun pasif (Hatoff, 1992). Keterlibatan secara aktif dapat diartikan bentuk partisipasi masyarakat dalam kegiatan arkeologi misalnya penelitian dan kegiatan konservasi,

(14)

57 sedangkan keterlibatan pasif dalam bentuk kunjungan masyarakat ke situs arkeologi dan menghadiri sosialisasi arkeologi.

Dalam kaitannya perkembangan hubungan arkeologi dengan masyarakat, Chambers (2004) memahami pengertian Arkeologi Publik sebagai upaya untuk mendidik dan melibatkan masyarakat dalam kerja arkeologi. Chambers berpendapat bahwa masa perkembangan arkeologi akhir-akhir ini sebagai tahap masyarakat dalam arkeologi terapan (public stage of applied archaeology). Maksudnya tahapan perkembangan arkeologi ketika masyarakat berperan amat penting dalam menentukan hakekat kerja arkeologi dalam berbagai konteks pengambilan keputusan terkait sumberdaya warisan budaya. Masyarakat adalah pemegang hak atas pemanfaatan sumberdaya arkeologi. Masyarakat yang akan memberi arti dan memberi nilai suatu sumberdaya arkeologi (Cleere, 1989). Pengertian yang terakhir ini lebih menekankan pada pengaruh masyarakat terhadap arkeologi daripada pengaruh arkeologi terhadap masyarakat (Chambers, 2004).

Seiring dengan perkembangan waktu pengertian Arkeologi Publik dibagi menjadi tiga. Pertama, tinggalan arkeologis adalah milik masyarakat sehingga semestinya masyarakat mendapat informasi yang lengkap tentang hasil penelitian tinggalan arkeologis tersebut. Akhirnya berdasarkan konsep dimaksud muncul pertanyaan apakah penelitian yang dilakukan arkeologi sudah tersampaikan informasinya kepada masyarakat atau sebaliknya masyarakat belum memahami atau bahkan sama sekali tidak tahu penelitian arkeologi yang terjadi di wilayahnya. Kedua, publik seharusnya lebih banyak berperan serta dalam

(15)

58 pekerjaan arkeologi sehingga lebih banyak melibatkan publik dalam kegiatan-kegiatannya, termasuk dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi. Berdasarkan konsep tersebut masyarakat harus berperan serta dalam pekerjaan atau penelitian arkeologi. Ketiga, masyarakat mempunyai peran menentukan pekerjaan arkeologi. Maksudnya dalam pekerjaan arkeologi, arkeologi berkewajiban untuk koordinasi dan sinkronisasi kepada masyarakat apa yang dikehendaki masyarakat, sehingga arkeologi akan membantu untuk mendapatkan apa yang dikehendaki masyarakat.

Berdasarkan ketiga pengertian Arkeologi Publik di atas, maka Arkeologi Publik yang diterapkan dalam penelitian ini adalah Arkeologi Publik pertama untuk menjawab pemahaman masyarakat tentang penetapan kawasan Borobudur sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) dan Arkeologi Publik kedua untuk menjawab peran serta masyarakat dalam pelestarian Candi Borobudur serta keterlibatan masyarakat dalam rangka menyusun kebijakan pemerintah mengenai Kawasan Strategis Nasional (KSN) Borobudur. Sehubungan dengan hal tersebut maka bahasan penelitian ini fokus untuk mengetahui peran Arkeologi Publik dalam pelestarian kawasan Borobudur sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) apakah sudah diinformasikan dengan baik kepada masyarakat dan apakah masyarakat pada awalnya diajak untuk ikut berpartisipasi dalam merencanakan dan menyusun konsep Kawasan Strategis Nasional (KSN) Borobudur. Semestinya masyarakat Borobudur sebagai pelindung dan pelestari situs mempunyai peran yang sangat penting dan merupakan komponen yang sangat berharga dalam melindungi, mempromosikan, dan menginterpretasikan sumberdaya arkeologi yang ada di wilayahnya (Haryono, 2009).

(16)

59 Kebijakan terakhir pemerintah dalam pengelolaan Kawasan Borobudur adalah mengupayakan pengelolaan secara terpadu. Salah satu strategi yang dilakukan sesuai Undang-Undang Tata Ruang menetapkan kawasan Borobudur menjadi Kawasan Strategis Nasional (KSN). Kawasan Strategis Nasional (KSN) adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia. Penetapan Kawasan Strategis Nasional dilakukan berdasarkan kepentingan pertahanan dan keamanan, pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi, fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. Penetapan Kawasan Strategis Nasional dari sudut kepentingan sosial budaya merupakan tempat pelestarian dan pengembangan adat istiadat atau budaya nasional, merupakan prioritas peningkatan kualitas sosial dan budaya serta jati diri bangsa, merupakan aset nasional atau internasional yang harus dilindungi dan dilestarikan, merupakan tempat perlindungan peninggalan budaya nasional, memberikan perlindungan terhadap keanekaragaman budaya, dan memiliki potensi kerawanan terhadap konflik sosial skala nasional (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang).

Penataan kawasan cagar budaya Candi Borobudur menjamin perlindungan dan kelestarian lingkungan fisik dan nilai-nilai keagungan candi, mempertahankan keseimbangan ekosistem untuk menunjang kelestarian candi dan kawasan, mewujudkan keterpaduan pengembangan kawasan Borobudur secara lintas sektor,

(17)

60 lintas wilayah, dan lintas kepentingan, memanfaatkan potensi sumber daya candi dan kawasan untuk kegiatan pelestarian, pendidikan, pariwisata, sejarah, kepurbakalaan, budaya, religi maupun pengembangan wilayah, menjadikan kawasan Borobudur menjadi pusat pembelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pemberdayaan kawasan Borobudur menjadikan kawasan tersebut sebagai pelindung kelestarian Candi Borobudur.

Kawasan Borobudur tidak hanya memiliki warisan budaya saja (benda cagar budaya/situs), tetapi beberapa komponen seperti landscape yang meliputi pemukiman, pegunungan dan sebagainya. Kawasan Borobudur dengan luas kurang lebih 1.344 ha masuk dalam tataran skala mikro yang terdiri atas 3 (tiga) desa paling dekat dengan Borobudur, Pawon, dan Mendut, yaitu Desa Borobudur, Desa Wanurejo, Kelurahan Mendut dan koridor Palbapang yang menjadi bagian Desa Ngrajek, Desa Pabelan, Desa Paremono, Desa Rambeanak, dan Desa Bojong. Perluasan kawasan Borobudur menjadi Kawasan Strategis Nasional (KSN) mempunyai maksud sebagai upaya perlindungan dan pelestarian situs Borobudur, Mendut, dan Pawon. Konsep tersebut merupakan strategi untuk melindungi dan menata kembali pengelolaan Candi Borobudur secara menyeluruh dan terpadu dan memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat.

Di bawah ini peta Kawasan Strategis Nasional (KSN) Borobudur yang menginformasikan letak desa-desa yang berada di wilayah Kawasan Strategis Nasional (KSN) Borobudur. Di desa-desa tersebut terdapat tinggalan arkeologi, situs, atau yang diduga situs baik yang berlatar belakang agama Hindu maupun Budha yang harus dilindungi keberadaannya.

(18)

61 E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yang bertujuan membuat deskripsi atas suatu fenomena sosial secara sistematik, faktual, dan akurat untuk menjawab pertanyaan mengenai peristiwa yang terjadi di masyarakat (Singarimbun, 2011). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Arkeologi Publik dan pendekatan yang berorientasi pada komunitas atau masyarakat (community oriented) melalui pendekatan partisipatori dan pemberdayaan masyarakat. Pendekatan Arkeologi Publik dilakukan untuk

Peta 2. Peta Kawasan Strategis Nasional Borobudur Sumber : Balai Konservasi Borobudur, 2012.

(19)

62 mengetahui pandangan masyarakat dalam hal pengelolaan kawasan Borobudur karena masyarakat mempunyai peran sebagai pelindung dan pelestari situs. Masyarakat adalah salah satu unsur utama dalam upaya pelestarian kawasan Borobudur. Pendekatan peran masyarakat dilakukan melalui pendekatan yang lebih bersifat community oriented, sebuah pendekatan yang lebih peduli terhadap keberadaan masyarakat lokal, bahkan masyarakat lokal dijadikan salah satu pusat pertimbangan utama dalam segala kegiatan dan pengambilan keputusan dalam bidang arkeologi.

Data penelitian berupa data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi lapangan ke wilayah Kawasan Strategis Nasional. Selain itu, data yang berhubungan dengan persepsi dan peran serta masyarakat diperoleh melalui wawancara atau interview serta penyebaran kuesioner kepada masyarakat di wilayah Kawasan Strategis Nasional (KSN). Masyarakat yang dipilih sebagai sasaran kuestioner (selanjutnya disebut responden) yaitu masyarakat di Desa Borobudur, Desa Wanurejo, Desa Ngrajek, Desa Pabelan, Desa Paremono, Desa Rambeanak, Desa Bojong, dan Kelurahan Mendut. Penentuan pemilihan responden yang akan menjadi sasaran penelitian menggunakan stratified random

sampling untuk masyarakat awam dengan teknik penyebaran kuesioner,

sedangkan untuk wawancara atau interview memilih perangkat desa atau tokoh masyarakat (selanjutnya disebut narasumber) dengan alasan peneliti mengharapkan informasi dari orang yang paham akan Kawasan Strategis Nasional (KSN) Borobudur. Responden yang akan dimintai pendapatnya sebanyak 160 (seratus enam puluh) orang, masing-masing desa sebanyak 20 (dua puluh) orang.

(20)

63 Data sekunder diperoleh dengan memanfaatkan data FGD (Focus Group

Disccussion) yaitu pengambilan data secara berkelompok melalui diskusi dengan

responden dalam suatu ruang yang dilaksanakan oleh tim kajian Pengelolaan Terpadu Cagar Budaya (Kawasan Warisan Dunia Candi Borobudur) serta sumber pustaka berupa buku ilmiah yang berkaitan dengan penelitian arkeologi publik, buku ilmiah tentang tata ruang, buku yang berkaitan dengan penelitian masyarakat, konvensi internasional, perundangan tentang tata ruang, dokumen kebijakan, artikel, peta, foto, dan gambar.

Adapun tahapan penelitian terdiri dari pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, dan sintesis akan diuraikan sebagai berikut.

1. Tahap pengumpulan data

Untuk mempermudah dan mempercepat proses pelaksanaan pengumpulan data, sebagian data dapat dipenuhi dengan menggunakan hasil observasi lapangan berupa inventarisasi dan deskripsi perubahan tataguna lahan yang terjadi di kawasan Borobudur Zona 2, 3, 4, dan 5. Di kawasan tersebut masih banyak tinggalan arkeologi yang masih berkaitan dengan lingkungan kawasan Borobudur.

Untuk memperoleh data pendapat masyarakat menggunakan cara yaitu : a. Wawancara atau interview merupakan teknik pengumpulan data untuk

memperoleh informasi dengan cara mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawancara kepada narasumber. Jenis wawancara yang dipilih adalah wawancara terstruktur yang dilakukan berdasarkan pada suatu daftar pertanyaan yang telah direncanakan sebagai pedoman

(21)

64 (interview guide). Dalam hal ini, tidak tertutup kemungkinan pertanyaan akan berkembang mengikuti alur jawaban narasumber.

b. Membagikan kuesioner yang berisi pertanyaan terbuka, semi terbuka, dan tertutup. Pertanyaan terbuka adalah kuesioner yang memberikan kesempatan kepada responden untuk menjawab pertanyaan dengan jawaban bebas menggunakan kata-kata responden sendiri. Pertanyaan semi terbuka adalah kuesioner yang disajikan dalam bentuk jawaban sudah ditentukan sebelumnya oleh peneliti, namun responden masih diberi kesempatan untuk memberikan jawaban yang lain. Pertanyaan tertutup adalah adalah kuesioner yang disajikan dalam bentuk pertanyaan yang jawabannya telah disediakan, sehingga responden tinggal memilih jawaban yang telah tersedia.

2. Tahap pengolahan data

Data yang terkumpul dari data primer meliputi observasi lapangan, wawancara, dan kuesioner serta data sekunder dari data FGD (Focus Group Disccussion) dan studi pustaka diolah secara kualitatif untuk diperolehnya suatu informasi. 3. Analisis data

Data yang telah diolah secara kualitatif dianalisis untuk diperoleh interpretasi. 4. Sintesis

Tahap sintesis dilakukan sebagai penggabungan berbagai jenis data yang dikumpulkan untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh mengenai jawaban terhadap masalah penelitian. Berdasarkan sintesis tersebut diharapkan diperoleh suatu kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Pengujian aktivitas penyembuh bisul ekstrak daun cocor bebek dibagi menjadi lima kelompok perlakuan yaitu kontrol positif (disk amoxicillin), kontrol negatif

[r]

Pada tahun 2017 Dinas Pengairan akan melakukan penuntasan atau penyelesaian kegiatan – kegiatan yang bersifat lanjutan sehingga bisa fungsional seperti rehab embung, bendung

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pedoman Alih Fungsi Sanggar Kegiatan Belajar Menjadi

10 Study Kelayakan (FS) Simpang Tak Sebidang Rawa Buaya Jakarta Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jalan Bebas Hambatan dan Jalan Kota Direktorat Jenderal Bina Marga 11

Dimensi-dimensi yang menjadi ukuran dalam menentukan budaya politik suatu masyarakat, yaitu: (1) Tingkat pengetahuan umum masyarakat mengenai sistem politik negaranya; (2)

Dihadiri oleh pemegang saham Seri A Dwiwarna dan para pemegang saham lainnya dan/atau wakil-wakil mereka yang sah yang bersama-sama mewakili lebih dari ½ (satu per

Gambar 6, menunjukkan bahwa pada pengujian dengan perlakuan pada wadah yang dilakukan sebanyak 100 kali percobaan dengan jumlah benih yang digunakan sebanyak 5