• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEROEPIDEMIOLOGI TOXOPLASMOSIS PADA KAMBING YANG DIJUAL SEBAGAI SATE KAMBING DI KOTAMADYA SURABAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SEROEPIDEMIOLOGI TOXOPLASMOSIS PADA KAMBING YANG DIJUAL SEBAGAI SATE KAMBING DI KOTAMADYA SURABAYA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

SEROEPIDEMIOLOGI TOXOPLASMOSIS PADA KAMBING YANG DIJUAL SEBAGAI SATE KAMBING DI KOTAMADYA SURABAYA

SEROEPIDEMIOLOGY TOXOPLASMOSIS ON GOAT THAT SOLD AS SATE IN SURABAYA CITY

Endang Suprihati*, Nunuk Dyah Retno Lastuti*, dan Lucia Tri Suwanti* ABSTRACT

One hundred goat serum samples were taken from the goat sate seller in Kotamadya Surabaya, that were Tegalsari, Sukolilo, Gubeng, Kenjeran and Tambaksari district randomly. The serum which was taken was got through blood coming from jugular vein volume 10 ml. Then the goat serum was being inactive into water bath under temperature 56C within 30 minutes. After that the serum was kept in freezer properly until the titer antibody chect do. The serum is examined by titer antibody to Toxoplasma gondii by indirect haemagglutination test (IHA) using commercial antigen was made by Behring quantitatively and quantitatively as well (Anonymous, 1985).

The result shows that incident of toxoplasmosis on goat that was sold as sate at Tegalsari, Sukolilo, Gubeng, Kenjeran and Tambaksari district are 40%; 20%; 80%; 40%; and 50% respectively. Having analyzed by Chi Square Test there is a high significant differences (p < 0,01) of all of the five districts to incident of toxoplasmosis. The distribution on titer antibody rate of the five districts is about 1:32 up to 1:64, an average of about 64,0; 45,3; 42,2; 39,1 and 53,7 (according to Brugh method) for each districts : Tegalsari, Sukolilo, Gubeng, Kenjeran and Tambaksari district of each. Being analyzed by Anova among those districts, there is a high significant differences (p< 0,01) to titer Antibody on the goat that was sold as sate in that area.

PENDAHULUAN

Angka insidensi serologik dan rerata antibodi toxoplasmosis pada kambing untuk sate di Kotamadya Surabaya belum diketahui. Masalah ini sangat penting untuk diteliti karena sate daging kambing yang tidak masak banyak dikonsumsi masyarakat di Kotamadya Surabaya. Kondisi tersebut diperparah oleh banyaknya kucing-kucing liar, baik di pasar-pasar maupun rumah sakit yang sangat potensial sebagai sumber penularan toxoplasmosis baik secara langsung kepada manusia maupun kepada ternak termasuk kambing.

Sampai saat ini penelitian tentang toxoplasmosis masih berkisar tentang kajian diagnosis serta studi insidensi baik secara serologik maupun kista pada ternak di rumah



* Lab. Entomolgi dan Protozoologi FKH Unair

(2)

potong hewan. Banyak kendala apabila pengambilan sampel dilakukan langsung kepada ternak yang belum dipotong di RPH, sehingga masalah di atas sampai penelitian ini dirancang masih tetap merupakan masalah yang belum terpecahkan.

Untuk memecahkan masalah tersebut maka peneliti menggunakan strategi yaitu memeriksa secara serologik titer antibodi toxoplasmosis pada kambing untuk sate di Kotamadya Surabaya pada tempat pemotongan kambing di rumah potong hewan yang diketahui akan didistribusikan di tempat-tempat penjualan sate di Kotamadya Surabaya.

Adanya titer antibodi pada kambing, sudah bisa dipastikan terdapat kista di berbagai organnya yang sangat potensial menular pada manusia (Soulsby, 1982).

Berdasarkan hasil temuan-temuan toxoplasmosis pada kambing di beberapa daerah dan dampaknya bagi manusia yang mengkonsumsi maka dirasa perlu diteliti kejadian toxoplasmosis pada kambing yang dijual sebagai sate kambing di Kotamadya Surabaya. Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi masukan dan bermanfaat bagi masyarakat dan pemerintah.

Penelitian ini bertujuan mengetahui angka insidensi dan rerata titer antibodi toxoplasmosis pada kambing untuk sate di Kotamadya Surabaya.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juli sampai dengan bulan Nopember 1997. Pengambilan sampel darah kambing dilakukan di Rumah Potong Hewan Kotamadya Surabaya, dimana kambing tersebut didistribusikan di rumah makan penjual sate kambing Kotamadya Surabaya.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Bertingkat. Materi penelitian terdiri dari 100 sera darah kambing (masing-masing 20 sera) untuk kecamatan Tegalsari, Sukolilo, Gubeng, Kenjeran, dan Tambaksari. Pemeriksaan serum dilakukan di Laboratorium Kesehatan Surabaya.

(3)

Serum diperiksa dengan uji haemaglutinasi tidak langsung (IHA) dengan teknik mikrotiter modifikasi Behring Institut (Anonimus, 1985), dilakukan pada mikroplate v. Metode ini mempunyai prinsip bila serum darah yang diperiksa mengandung Ig G antibodi Toxoplasma gondii dengan penambahan sel darah merah yang telah dilapisi dan disensitisasi dengan antigen Toxoplasma gondii akan terjadi haemaglutinasi (Nation dan Allen, 1976).

HASIL PENELITIAN

Setelah dilakukan uji hemaglutinasi tidak langsung pada 100 sera darah kambing dari kecamatan Tegalsari, Sukolilo, Gubeng, Kenjeran, dan Tambaksari maka kejadian toxoplasmosis dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan adanya perbedaan secara sangat nyata (p < 0,01) tingkat kejadian toxoplasmosis pada kambing yang dijual sebagai sate.

Rerata titer antibodi kambing yang disigi dari Kecamatan Tegalsari, Sukolilo, Gubeng, Kenjeran, dan Tambaksari berturut-turut mempunyai kisaran (64), (32 – 64), (32 – 64), (32 – 64), (32 – 64).

T abel 4. 1 I nsidensi T oxoplasm osis pada Kam bing yang Dijual sebag ai Sat e Kam bing di Kecam at an T eg alsar i, Suk olilo, G ubeng, Kenj er an, dan T am bak sar i deng an Pem er ik saan Hema-g lut inasi T idak LanHema-gsunHema-g

Kecam at an Kej adian T. G ondii Jum lah

Posit if Neg at if T eg alsar i 8 ( 40 %) 12 ( 60 %) 20 Suk olilo 4 ( 20 %) 16 ( 80 %) 20 G ubeng , 16 ( 80 %) 4 ( 20 %) 20 Kenj er an 8 ( 40 %) 12 ( 60 %) 20 T am bak sar i 10 ( 50 %) 10 ( 50 %) 20 Jum lah 46 ( 46 %) 54 ( 54 %) 100

(4)

T abel 4. 2 Distr ibusi T it er Posit if T. G ondii pada Kam bing yang Dij ual sebag ai Sat e Kambing di Kecam at an T eg alsar i, Suk olilo, G ubeng , Kenj er an, dan T am baksar i deng an Pem er ik saan Haem ag lut inasi T idak Lang sung

Titer antibodi Sera positif

Tegalsari Sukolilo Gubeng Kenjeran Tambaksari

1 : 32 - 2 10 6 2

1 : 64 8 2 6 2 8

Jumlah 8 4 16 8 10

Dari kisaran tersebut, rerata titer antibodi kambing dari penjual sate kambing di Kecamatan Tegalsari, Sukolilo, Gubeng, Kenjeran, dan Tambaksari menurut cara Brugh (1978) berturut-turut adalah : 1 : 64,0; 1 : 45,3; 1 : 42,2; 1 : 39,1; dan 1 : 53,7. Hasil analisis statistik (Anava) menunjukkan perbedaan sangat nyata (P < 0,01) rata-rata titer antibodi Toxoplasma gondii pada kambing dari lima kecamatan tersebut.

PEMBAHASAN

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa dari 100 ekor kambing yang dijual sebagai sate kambing di Kotamadya Surabaya, insidensi untuk Kecamatan Tegalsari sebesar 40 %, Sukolilo sebesar 20 %, Gubeng sebesar 80 %, Kenjeran sebesar 40 %, dan Tambaksari sebesar 50 %. Hal ini tidak jauh berbeda dengan hasil sigi serologis terhadap toxoplasmosis yang dilakukan Sasmita (1991) pada kambing di Rumah Potong Hewan Surabaya dan Malang masing-masing sebesar 42,4 % dari 125 ekor kambing dan 40 % dari 35 ekor kambing. Sedangkan Heryanto dkk. pada tahun 1984 di Sumatera Utara menemukan 23 % dari 95 ekor kambing yang diteliti positif toxoplasmosis (dalam Soselisa, 1992).

Insidensi toxoplasmosis pada penelitian ini merupakan peringatan bahwa, apabila tidak teliti dalam mengkonsumsi daging kambing kurang matang akan bisa menjadi masalah. Demikian juga hal ini bisa mengancam populasi kambing jika kejadiannya akut. Oleh karena itu hendaknya sudah mulai dipikirkan bagi pihak yang terkait untuk meneliti keberadaan penyebab toxoplasmosis pada kambing. Kambing

(5)

terinfeksi dikarenakan memakan rumput yang terkontaminasi ookista toxoplasma yang berasal dari feses kucing.

Berbedanya angka kejadian antibodi Toxoplasma gondii pada penelitian ini dengan penelitian sebelumnya di berbagai tempat disebabkan antara lain faktor sosial ekonomi, ekologi, umur, jenis kelamin, validitas data dan sensitifitas metode pemeriksaan dan yang paling penting adalah besar kecilnya populasi kucing. Dalam siklus hidup Toxoplasma gondii, kucing memgang peranan penting, karena siklus hidup Toxoplasma gondii secara lengkap terjadi pada hewan ini (Veen dkk., 1974). Satu ekor kucing mampu mengeluarkan 2 – 20 juta ookista dalam 20 gram tinjanya dan kira-kira 10.000 – 100.000 ookista terdapat dalam 1 gram tanah (Frenkel dkk. 1975). Wallace et al. (1974 dalam Soselisa, 1992) membuktikan bahwa kejadian antibodi Toxoplasma gondii pada penduduk di daerah yang terdapat banyak kucing lebih tinggi dibandingkan daerah yang sedikit kucing. Penelitian tersebut dilaksanakan di New Guenia, diketahui sebesar 14 – 34 % penduduk mengandung antibodi Toxoplasma gondii di daerah yang banyak kucing, sedangkan pada pada daerah yang terdapat sedikit kucing sebesar 2 %. Berdasarkan penelitian Wallace (1976 dalam Soselisa, 1992) di kepulauan Pasifik dinyatakan bahwa kejadian antibodi Toxoplasma gondii cenderung rendah pada daerah yang beriklim kering dan dingin, sedangkan daerah beriklim tropik cenderung tinggi. Semakin tinggi letak daerah dari permukaan laut maka kejadian toxoplasmosis cenderung rendah. Pernyataan tersebut sangat sesuai dengan penelitian ini dimana hasil penelitian ini dan juga penelitian sebelumnya yang dilakukan di Indonesia (beriklim tropik) kejadian titer antibodi Toxoplasma gondii masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang dilakukan di daerah dingin.

Pada penelitian ini menunjukkan perbedaan yang sangat nyata diantara tingkat kejadian toxoplasmosis pada kambing yang dijual sebagai sate kambing di beberapa kecamatan lokasi penelitian. Hal ini disebabkan setiap penjual memperoleh kambing dari luar kota Surabaya dimana keadaan geografis yang relatif beda dan kemungkinan

(6)

populasi kucing juga berbeda. Selain itu pola penggembalaan kambing di setiap wilayah yang mensuplai kambing juga berbeda. Insidensi toxoplasmosis pada kambing untuk sate di Kotamadya Surabaya bisa berubah-ubah untuk kurun waktu tertentu. Hal ini disebabkan penjual sate mendapatkan daging kambing di rumah potong hewan, dimana kambing berasal dari daerah yang berbeda-beda. Dalam hal ini keberadaan toxoplasmosis tetap harus diwaspadai.

Titer positif antibodi Toxoplasma gondii dalam penelitian ini secara uji haemaglutinasi tidak langsung dimulai dari titer 1 : 32 sampai dengan 1 : 64. Titer antibodi > 1:32 menandakan individu menderita toxoplasmosis kronis, sedangkan bila titer antibodi > 1:1000 menandakan toxoplasmosis akut (Krahenbul dan Remington, 1982). Kalau kita lihat rerata titer antibodi toxoplasma pada kambing yang dijual sebagai sate kambing adalah 1:64,0; 1:45,3; 1:42,2; 1:39,1; dan 1:53,7 (menurut cara Brugh, 1978), maka infeksi toxoplasma di keempat wilayah tersebut bersifat kronis.

Berkaitan dengan status kekebalan tersebut juga dikatakan oleh Hand yang dikutip oleh Cahyokusumo (1990, dalam Soselisa,1992) yaitu bahwa titer antibodi Toxoplasma gondii yang rendah misalnya 1 : 64 menunjukkan adanya indikasi kontak pada masa lampau (post exposure) dan kemungkinan sudah terjadi kekebalan. Titer antibodi 1 : 256 sampai 1 : 512 merupakan indikasi adanya rescent infection. Sedangkan titer antibodi 1 : 1024 merupakan dugaan yang kuat adanya infeksi yang akut.

Menurut Durfee dkk. yang dikutip Soselisa (1992) terdapat korelasi positif antara titer antibodi Toxoplasma gondii dengan keberhasilan untuk mengisolasi kista dalam jaringan. Semakin tinggi titer antibodi, semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan kista jaringan. Ditemukannya kista jaringan dapat menjadi sumber infeksi Toxoplasma gondii bagi manusia yang sering mengkonsumsi daging kambing yang diolah setengah matang atau mentah. Salah satu makanan favorit di Indonesia adalah daging yang diolah setengah matang (sate). Berdasarkan penelitian Durfee di Kalimantan Selatan

(7)

disimpulkan, bahwa resiko terinfeksi Toxoplasma gondii pada orang-orang yang sering mengkonsumsi daging kambing sebesar 78,57 %, hal ini berarti lebih besar dibandingkan orang-orang yang tidak pernah makan daging kambing.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian “Seroepidemiologi Toxoplasmosis pada Kambing yang Dijual sebagai Sate Kambing di Kotamadya Surabaya” ini dapat disimpulkan sebagai berikut : (1) Kejadian toxoplasmosis pada kambing yang dijual sebagai sate kambing di kecamatan Tegalsari, Sukolilo, Gubeng, Kenjeran, dan Tambaksari berturut-turut adalah 40 %, 20 %, 80 %, 40 %, dan 50 %. Terdapat perbedaan secara sangat nyata (p < 0,01) kejadian titer antibodi Toxoplasma gondii pada kambing diantara kelima kecamatan yang menjual sate kambing; (2) Rerata titer antibodi Toxoplasma gondii pada kambing yang dijual sebagai sate kambing di kecamatan Tegalsari, Sukolilo, Gubeng, Kenjeran, dan Tambaksari menurut cara Brugh berturut-turut adalah 64,0; 45,3; 42,2; 39,1; dan 53,7. Serum kambing diantara kelima kecamatan yang menjual sate kambing tersebut terdapat perbedaan secara sangat nyata (p < 0,01) terhadap titer antibodi Toxoplasma gondii.

Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan : (1) Penelitian secara periodik terhadap toxoplasmosis perlu dilaksanakan untuk mengevaluasi perkembangan toxoplasmosis menurut kurun waktu tertentu; (2) Konrol terhadap populasi kucing sebagai induk semang sejati perlu dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit yang lebih luas; (3) Penyuluhan tentang kejadian dan pengendalian toxoplasmosis kepada masyarakaat oleh pihak yang berwenang; (4) Sate yang baik adalah sate yang dibakar dengan baik (matang).

(8)

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 1985. Cellognost Toxoplasmosis, reagent for Toxoplamosis Haemagglutination Test. August. Ed. Behring Institute.

Brugh, M. 1978. A simple Methode for Recording and Analizing Serological Data. Av. 22: 262-365.

Frenkel, J.K., A. Ruiz, and M. Chinchilla. 1975. Soil Survival of Toxoplasma in Kansas and Costa Rica. Am. J. Trop. Med. Hyg. 24: 439-443.

Krahenbuhl, J.L. and J.S. Remington. 1982. Immunology of Parasitic Infection. 2ndEd.

Blackwell Scientific. Pub. Oxford. 356-412.

Levine, N.D. 1977. Veterinary Parasitology. Burgess Pu.Co. Minneapolis, Minnesota. 33-36.

Nation, P.N. and J.R. Allen., 1976. Antibodies to Toxoplasma gondii in Saskatchewan Cats, Sheep and Cattle. Can. Vet. J. 17: 308-310.

Sasmita, R. 1991. Kucing dan Ternak sebagai Sumber Penularan Toxoplasmosis. Kumpulan Makalah: “Seminar Dampak Toxoplasmosis pada Ibu Hamil”. Universitas Airlangga.

Soulsby, E.J.L. 1982. Genus Toxoplasma. In: Helminths Arthropod and Protozoa of Domesticated Animal. 7thEd. Bailliere Tindall, London. 670-682.

Soselisa, I.A.A. 1992. Insidensi Toxoplasmosis pada Kambing Jantan dan Betina di Kabupaten Kediri. Skripsi, Fakultas Kedokteran Hewan Unair. 44-49.

Veen, J. Van Der, S. Padmodiwiryo and L. Basuki. 1974. Serologic Study of Toxoplasmosis in Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia. 5-6: 340-343. Wallace, G.D., V. Zigas and D.C. Gajdusek. 1974. Toxoplasmosis and Cats in New

(9)

Abstract

One hundred goat serum samples are taken from the goat sate seller in Kotamadya

Surabaya, that is Tegalsari, Sukolilo, Gubeng, Kenjeran and Tambaksari district

rendomly. The serum wich is taken is got through blood coming from jugularis vein

volume 10 ml. Then the goat serum is being inactive into waterbath under temperature

56C within 30 minute. After that the serum is kept in freezer properly until the titer

antibody chect do. The serum is examined by titer antibody to Toxoplasma gondii by

indirect haemagglutination test (IHA) using commercial antigen made by Behring

quantitatively and quanlitatively as well (Anonimous, 1985).

The result shows that insidency toxoplasmosis on sold goat as sate at Tegalsari,

Sukolilo, Gubeng, Kenjeran and Tambaksari district is 40%; 20%; 80%; 40%; and 50%.

Having analized by Chi Square Test there is a high significant differences (p < 0,01) of

all of the five districts to insidency toxoplasmosis. The distribution on titer antibody rate

of the five districts is about 1:32 up to 1:64, an average of about 64,0; 45,3; 42,2; 39,1

and 53,7 (according to Brugh method) for each districts : Tegalsari, Sukolilo, Gubeng,

Kenjeran and Tambaksari district of each. Being analized by Anava among those

districts shows that there is a high significant disfferenses (p< 0,01) to titer Antibody on

the sold goat as sate in that area.

One hundred samples goat serum are taken from goat wich are

sale as sate at Suraba ya cit y (Tegalsari, Sukolilo, Gubeng, Kenj eran,

and Tambaksari). Antibody titer against Toxoplasma gondii of serum

are to do b y IHA (Anonymous, 1985).

The result are shown that incident of toxoplasmosis on goat

which are sell as sate at Tegalsari, Sukolilo, Gubeng, Kenjeran, and

Tambaksari district is 40 %, 20 %, 80 %, 40 %, dan 50 %. That

incident are si gnifi cant (p < 0,01). R ange mean of antibody titer are

1:32 – 1:64 or 64,0 for Tegalsari district; 45,3 for Sukolilo district;

42,2 for Gubeng district; 39,1 for Kenjeran district; and 53,7 for

Tambaksari district (Brugh, 1978). B y Anova, antibod y titer range are

significant (p < 0,01).

Referensi

Dokumen terkait

Uji aktivitas antibakteri dilakukan terhadap senyawa hasil isolasi menggunakan metoda difusi cakram yang diuji terhadap bakteri gram positif Staphylococcus aureus dan

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat, rahmat, dan kasih karunia yang diberikan kepada penulis, dari awal hingga selesainya proses

Dari ke-3 alternatip model Goal Programming yang diusulkan pada kondisi optimal dimana nilai pembiasan positip ( ) dan pembiasan negatip ( ) = 0, terlihat bahwa nilai

Perilaku altruistik mahasiswa dalam penelitian mencakup enam aspek perilaku altruistik yang meliputi; (1) keinginan untuk memberi; (2) empati; (3) sukarela; (4) membantu orang

Sedangkan Hook (2006) mendefinisikan motivasi adalah mengerjakan sesuatu lebih dari apa yang seharusnya dikerjakan. Motivasi terdiri atas: a) motivasi kualitas yaitu

Ditinaju dari segi pola berdasarkan hasil dari analisis fragmentasi spasial baik dari perhitungan metrik spasial maupun peta indeks fragmentasi spasial, pada

melakukan investasi dlm perbaikan gizi, nyatanya efek program kecil (mis: PMT-AS) - Pemilihan program yang tidak

Konservasi air tanah menurut Danaryanto,dkk (2005) adalah upaya melindungi dan memelihara keberadaan, kondisi dan lingkungan air tanah guna