KELOMPOK 1 : AHMAD
AHMAD FUAD HASAN DEDDY SHOLIHIN
A. Al-Qur’an Sebagai Sumber
Ajaran Islam
Menurut istilah, Al-Qur’an adalah firman Allah
yang berupa mukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, ditulis dalam mushhaf,
dinukilkan secara mutawatir, dan merupakan ibadah bagi yang membacanya. Perngertian ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an merupakan induk dari segala sumber hukum, di samping berupa mukjizat, juga berupa ibadah apabila dibaca.
Dari segi sumbernya, Al-Qur’an dikategorikan sebagai
sumber qath’iy al-wurud(qath’iy al-tsubut) yakni
kepastian datangnya dari Allah SWT, tanpa keraguan sedikitpun. Barangsiapa tidak mengakui (menolak) eksistensi Al-Qur’an sebagai wahyu Allah SWT, dia termasuk kafir.
. Adapun dari segi kandungannya, ayat Al-Qur’an
terbagi dua yakni qath’iy dilalah dan zhanniy
al-dilalah. Yang dimaksud dengan qath’iy al-dilalah
(pasti maknanya) adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang sudah jelas maknanya (tidak membutuhkan
penafsiran). Sedangkan zhanniy al-dilalah (relatif maknanya) adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang
mambutuhkan penafsiran, sehingga memungkinkan para ulama dan pemikir Islam dari zaman ke zaman berbeda pendapat.
Pada umunya isi kandungan Al-Qur’an bersifat
global dalam mengemukakan satu persoalan. Itulah sebabnya Al-Qur’an memerlukan
interpretasi sebagai upaya untuk merinci ayat-ayat yang sifatnya global tersebut. Untuk merinci
kandungan Al-Qur’an diperlukan hadist Nabi saw, sebab tanpa adanya hadist Nabi saw tersebut,
banyak ayat Al-Qur’an yang sulit dipahai secara jelas. Karena hadist-hadist yang menafsirkan Al-Qur’an (hadist tafsir) terbatas jumlahnya, maka dianjurkan kepada ulama yang mempunyai
kemampuan untuk menafsirkan Al-Qur’an, agar kandungan Al-Qur’an dapat dipahami secara utuh.
B. Azas-azas Pembinaan Hukum
Dalam Al-Qur’an.
1. Tidak menyempitkan (‘Adam al-Haraj)
Dalam menetapkan huku syariat, Al-Qur’an
senantiasa memperhatikan kemampuan manusia dalam melaksanakannya, dengan memberikan kelonggaran kepada manusia untuk menerima penetapan hukum dengan kesanggupan yang dimiliki oleh manusia sebagai objek dan subjek pelaksanaan hukum-hukum itu.
2. Mengurangi Beban (Taqlil al-Taklif).
Azas kedua ini orientasinya untuk menghindari manusia dari sikap mengurangi atau melebihkan
kewajiban dalam pelaksanaan agama. Hukum-hukum Al-Qur’an tidak menuntut seorang mukallaf
melaksanakan suatu kewajiban agama lebih dari apa yang telah ditetapkan, sekalipun wajar menurut adat suatu masyarakat.
3. Sejalan dengan Kemaslahatan Manusia (al-Maslahat al-Mursalah).
Manusia merupakan objek dan subjek pembinaan
hukum-hukum Qur’an. Semua hukum-hukum Al-Qur’an diperuntukkan pada kepentingan dan
perbaikan kehidupan manusia, baik mengenai jiwa, akal, keturunan, agama maupun dalam pengelolaan harta bendanya. Sehingga dalam hukum-hukum Al-Qur’an selalu konsisten dengan kemaslahatan umat manusia.
4. Penetapan Hukum Secara Bertahap (Al-Tadrij fi al-Tasyri’)
Al-Qur’an sangat memperhatikan adat kebiasaan
dan kondisi social masyarakat dalam proses
penetapan hukum-hukumnya. Hal ini dapat dilihat pada dua segi. Pertama, berkaitan dengan adat istiadat yang berlaku keabsahannya. Kedua,
berkaitan dengan kondisi perkembangan jiwa masyarakat tentang apakah masyarakat
bersangkutan sudah mampu menerima suatu rancangan hukum yang ditetapkan.
5. Persamaan dan keadilan (Musawat wa al-‘Adalah)
Dalam pelaksanaan syari’at Isla selalu
menyamarkan manusia, tidak membedakan antara satu bangsa dengan bangsa lainnya,
antara individu dengan individu lainnya. Syari’at Islam menyamaratakan antara sesame umat
Islam dan antara mereka dengan umat lain
berdasarkan azas persamaan dan keadilan yang ditetapkan dalam nas.
C. Bentuk-bentuk Penjelasan
Al-Qur’an
Adapun bentuk-bentuk penjelasan Al-Qur’an agar dapat
dipahami. Dimana Al-Qur’an merupakan segala keseluruhan
syari’at dan sendinya yang fundamental. Setiap orang yang ingin mencapai hakikat agama dan dasar-dasar syari’at, haruslah
menempatkan Al-Qur’an sebagai pusat/sumbu tempat
berputarnya semua dalil yang lain dan Sunnah sebagai pembantu dalam memahainya, demikian juga pendapat imam-imam
terdahulu dan Salafushalihin yang lalu. Kemu’jizatannya tidak terletak pada dia berbahasa Arab yang bias dicapai
pemahamannya, tetapi dari segala segi I’jaznya tidak akan menghalangi untuk dapat dipahami dan dipikirkan maknanya.
Sebagian besar ayat-ayat hukum turun karena ada sebab yang menghendaki penjelasannya. Oleh karena itu setiap orang yang ingin mengetahui isi Al-Qur’an secara tepat perlu mengetahui sebab-sebab turunnya ayat.
Kebanyakan hukum-hukum yang diberitahukan oleh Al-Qur’an bersifat kully (pokok yang berdaya cukup luas) tidak rinci (disebutkan setiap peristiwa, objektif) seperti terungkap dari penelitian. Oleh karena itu,
diperlukan penjelasan dari Sunnah Rasul karena
memang kebanyakan sunnah merupakan penjelasan bagi Al-Qur’an dengan bentuknya yang irngkas
adalah lengkap mencakup segala sesuatu secara global dan syari’at sudah sempurna dengan
kesempurnaanya Al-Qur’an diturunkan, seperti yang difirmankan Allah SWT dalam surah Al Maidah ayat 3 :
Artinya : “…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu
D. Pengertian dan Kedudukan
Al-Hadist
Kata "Hadits" atau al-hadits menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang baru), lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama). Kata hadits
juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain.
Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan hadits sebagai berikut :"Segala perkataan Nabi SAW.
yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syara'".
Para ulama Islam berpendapat bahwa hadits menempati kedudukan pada tingkat kedua
sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an. a. Hadis sebagai penafsir ayat al-Qur'an
Apabila tidak mendapatkan penafsirannya dalam al-Qur'an maka tafsirkanlah dengan hadis Nabi SAW karena sesungguhnya dia memberikan penjelasan terhadap al-Qur'an. Bahkan Imam Syafi'i mengatakan bahwa setiap hukum yang ditetapkan oleh Rosulullah SAW merupakan pemahaman yang berasal dari al-Qur'an
b. Kontroversi kehujjahan hadis/sunah sebagai sumber hukum Islam
Dalam penggunaan hadis/sunah sebagai sumber
hukum Islam terdapat kelompok yang menolak hadis sebagai sumber hukum Islam. Mereka
menyadarkan pemikiran mereka kepada keragu-raguan (syubhat) yang mereka sangka sebagai dalil.
E. Fungsi Dan Hubungan Hadits
dengan Al-Qur’an
1. Memberikan perincian (tafshil) terhadap ayat-ayat yang global (mujmal). Misalnya ayat-ayat yang
menunjukkan perintah shalat, zakat, haji di dalam al-Qur'an disebutkan secara global. Dan sunnah menjelaskan secara rinci mulai dari syarat, rukun, waktu pelaksanaan dan lain-lain yang secara rinci dan jelas mengenai tatacara pelaksanaan ibadah shalat, zakat dan haji.
2. Mengkhususkan (takhsis) dari makna umum ('am) yang disebutkan dalam al-Qur'an. Seperti firman Allah (QS.an-Nisa' : 11), Ayat tentang waris
tersebut bersifat umum untuk semua bapak dan anak, tetapi terdapat pengecualian yakni bagi
orang (ahli waris) yang membunuh dan berbeda agama sesuai dengan hadits Nabi SAW.
"Seorang muslim tidak boleh mewarisi orang kafir
dan orang kafir pun tidak boleh mewarisi harta orang muslim"
(HR. Jama'ah). Dan hadits “"Pembunuh tidak
mewarisi harta orang yang dibunuh sedikit pun"
3. Membatasi (men-taqyid-kan) makna yang mutlak dalam ayat-ayat al-Qur'an.
4. Menetapkan dan memperkuat hukum yang telah ditentukan oleh al-Qur'an.
5. Menetapkan hukum dan aturan yang tidak didapati dalam al-Qur'an.
F. Syarat Hadits Shaheh
1. Mengenai Sanad
Semua rawi dala sanad haruslah bersifat adil
Semua rawi dalam sanad haruslah
bersifat dhabit
Sanadnya bersambung.
Tidak rancu (syadz).
2. Mengenai Matan
Pengetahuan yang terkandung dalam
matan rawi boleh bertentangan dengan ayat Al-Qur’an atau hadits mutawatir
walaupun keadaan rawi sudah memenuhi syarat.
Pengertian dalam matan tidak
bertentangan dengan pendapat yang disepakati (ijma’) ulama.
Tidak ada kejanggalan lainnya, jika
dibandingkan dengan matan hadits yang lebih tinggi tingkatan dan kedudukannya.
G. Membedakan Hadits Shaheh
Dengan Hadits Yang Tidak
Shaheh
1. Hadist dapat dikatakan shaheh apabila memenuhi lima syarat (sanadnya bersambung, para
perawinya adil, para perawinya dhabith, tidak ada ‘ilat, dan tidak syadz). Namun, hadits dapat
dikatakan tidak shahih karena tidak terpenuhinya lima syarat diatas, baik sebagian maupun syarat.
2. Ada yang mengatakan hadits dapat dikatakan shaheh apabila menggunakan shigat jazm (bentuk kalimat yang berisfat pasti), seperti pernyataan : amara (telah memerintahkan), dzakara (telah nyebutkan), maka hukumya shahih berdasarkan penyandaran
(mudlaf ilaihi). Namun, kalau haditsnya tidak menggunakan shigat
jazm, seperti pernyataan :yurwa (diriwayatkan), yudzkar
(disebutkan), yuhka (dikisahkan), atau ruwiya dan dzukira, maka hukumnya tidak shahih berdasarkan penyandarannya (mudlaf
ilaihi). Karena itu tidak ada hadist lemah yang dimasukkan ke dalam kitab yang bernama Shahih.
3. Suatu hadits dapat dikatakan shaheh apabila
hadits itu mendapat kesepakatan syaikhan,
atau mendapat kesepakatan shaheh dari para
ulama hadits, jadi bukan kesepakatan umat.
SIMPULAN….
Dapat diketahui bahwa sumber-sumber yang
digunakan untuk menentukan hukum fiqh, itu pada dasarnya hanya ditetapkan kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Di mana Al-Qur;an merupakan
Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw, dalam berbahsa arab, dan riwayatnya mutawatir. Al-Qur’an yang mana isi kandungannya bersifat universal dan fleksibel
untuk seluruh umat manusia. Oleh karena itu, Al-Qur’an dijadikan sumber hukum dalam kehidupan umat Islam pada khususnya, dan seluruh umat
Al-Hadits, yang merupakan semua
perkataan, perbuatan dan pengakuan Rasulullah saw yang berposisi sebagai
petunjuk dan tasyri’, selain itu belaiau juga merupakan kekasih Allah SWT. Al-hadits juga merupakan penjelasan, untuk
penguatan apa yang djelaskan oleh Al-Qur’an tentang hukum-hukum yang
berguna bagi umat manusia. Oleh karena itulah, Al-Hadits juga dijadikan sumber
huku untuk menentukan hukum fiqh, dan seluruh hal dalam kehidupan.