• Tidak ada hasil yang ditemukan

Islamitsch Familierecht Journal ISSN (e) Vol. 1, No. 1, Desember 2020, pp

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Islamitsch Familierecht Journal ISSN (e) Vol. 1, No. 1, Desember 2020, pp"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Islamitsch Familierecht Journal – ISSN 2747-1934 (e) Vol. 1, No. 1, Desember 2020, pp. 46 - 65 MAQĀṢID PERNIKAHAN PERSFEKTIF IMAM AL-GAZĀLĪ

BERDASARKAN KITAB IHYA ULŪM AL-DĪN

Reno Ismanto

Abstract:

Every commandment and prohibition in Islamic law has a purpose and wisdom that is desired by the Maker of the Sharia. There is sharia that is ma'qul makna, that is, sharia that can be rasionalized by human thought. There is also a ghairu ma'qul meaning that cannot be rasionalized by human thought, such as the number of cycles of prayer, throwing jamarat, thawaf and others. One of the sharia which is ma'qul makna is marriage. The purpose (maqāṣid) of marriage can be rationalized by reason and it is even mentioned explicitly in the verses of the Koran and also the hadith of the Prophet. Among the works that examine the wisdom of marriage is Ihyā Ulūm al-Dīn by Imam Al-Gazālī. Through research on this work, the author found five types of maqāṣid described by Imam al-Gazālī, namely obtaining offspring, channeling lust, the way to get peace, sharing household duties and mujāḥadah fulfill family needs.

Keywords: marriage, maqāṣid asy-Syar’iyyah, Imam Al-Gazālī Abstrak

Setiap perintah dan larangan dalam syariat Islam mempunyai tujuan dan hikmah yang dinginkan oleh Pembuat Syariat. Ada syariat yang bersifat ma’qul makna, yaitu syariat yang hikmahnya dapat dinalar oleh pemikiran manusia. Ada juga bersifat ghairu ma’qul makna yang tak dapat dinalar oleh manusia, seperti jumlah rakaat shalat, melempar jamarat, thawaf dan lain-lain. Salah satu syariah yang bersifat ma’qul makna adalah Pernikahan. Tujuan (maqāṣid) dari pernikahan dapat dinalar oleh akal bahkan disebutkan secara eksplisit dalam ayat-ayat Al-Quran dan juga hadis Nabi Saw. Di antara karya yang mengkaji tentang hikmah pernikahan ini adalah Ihyā Ulūm Al-Dīn karya Imam Al-Gazālī. Melalui penelitian terhadap kitab ini, penulis menemukan lima jenis maqāṣid yang dijelaskan oleh Imam al-Gazālī yaitu mendapatkan keturunan, menyalurkan syahwat, jalan mendapatkan ketenangan, berbagi tugas rumah tangga dan mujāḥadah memenuhi keperluan keluarga.

Keywords: pernikahan, maqāṣid asy-syar’iyyah, Imam Al-Gazālī

Institut Agama Islam Negeri Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung, email: renoismanto@iainsasbabel.ac.id

(2)

Reno Ismanto

47 Islamitsch Familierecht Journal, Vol. 1, No. 1, Desember 2020

Pendahuluan

Islam mempunyai karakteristik sebagai agama yang ajarannya bersifat komprehensif dan universal (Asy-syumūliyyah wa Al-‘ālamiyyah). Dua karakteristik ini merupakan tuntutan karena Islam dipilih sebagai agama terakhir serta penyempurna syariat-syariat sebelumnya yang diturunkan oleh Allah Swt di atas muka bumi. Karakterstik ini tidak harus ditandai dengan adanya teks-teks hukum baik berupa ayat-ayat Al-Quran atau hadis yang memperinci semua permasalahan.

Sebagian besar ajaran Islam, terutama yang bersifat fundamental (al-uṣūl), telah dijelaskan oleh Allah swt sehingga tidak ada ruang yang menyisahkan adanya keraguan terhadap kesempurnaan agama Islam.

َم ۡﻮَﯿۡﻟٱ

َرَو ﻲِﺘَﻤ ۡﻌِﻧ ۡﻢُﻜۡﯿَﻠَﻋ ُﺖ ۡﻤَﻤۡﺗَأَو ۡﻢُﻜَﻨﯾِد ۡﻢُﻜَﻟ ُﺖۡﻠَﻤ ۡﻛَأ

ۚﺎٗﻨﯾِد َﻢَٰﻠ ۡﺳِ ۡﻹٱ ُﻢُﻜَﻟ ُﺖﯿِﺿ

“Pada hari ini telah aku sempurnakan agama kalian dan aku berikan seluruh nikmat-Ku dan Aku ridha Islam sebagai ama kalian”.1

Lebih dari itu, karena kehidupan manusia bersifat dinamis, kemajuan terus terjadi, hal-hal baru uterus muncul, maka ulama-ulama menetapkan kaidah-kaidah hukum umum (al-qowā’id al-uṣūliyyah wa al-fiqḥiyyah) yang dapat menjadi acuan untuk menentukan hukum permasalahan tersebut. Kaidah-kaidah umum ini dijadikan dasar hukum, karena teks-teks agama (nuṣūs) bersifat terbatas (mutanāhiyyah) dan tidak mungkin ada lagi penambahan (munqoti’ah), sementara dinamika kehidupan manusia selalu berubah dan memunculkan perkara-perkara baru yang tidak ada sebelumnya.

Setiap atau semua ajaran Islam mempunyai tujuan yang Allah inginkan untuk terwujud melalui ajaran tersebut (maqāṣid). Ajaran dan aturan dalam syariat Islam bermuara pada terwujudnya kemasalahatan manusia di kehidupan dunia dan juga akhirat. Imam Ibnul Qayyim menyebut: “Asas dan pondasi Syariah adalah hikmah dan kemaslahatan hamba di dunia akhirat. Syariat itu semuanya berisikan keadilan, kasih sayang, maslahat kebijaksanaan. Jika suatu masalah

(3)

Maqāṣid Pernikahan Persfektif Imam Al-Gazālī

Islamitsch Familierecht Journal, Vol. 1, No. 1, Desember 2020 48 berubah dari adil menjadi kezaliman, dari rahmat menjadi kebencian, dari kebaikan menjadi keburukan, dari hikmah menjadi sia-sia, maka bukan termasuk Syariah”.2

Pernikahan adalah ikatan antara lelaki dan perempuan yang mempunyai fungsi dan tujuan tertentu (maqāṣid). Keagungan ikatan ini diungkap Al-Quran dengan istilah “mītsāqan ghalīzan”.3 Ayat-ayat Al-Quran yang membicarakan

tentang hubungan suami isteri, menjadi acuan dalam menggali apa sebenarnya tujuan pernikahan dalam Islam.

Salahsatu maksud dari pernikahan adalah untuk menghadirkan ketenangan (sakinah), cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) sebagaimanakan Allah tegaskan dalam Al-Quran pada surat Ar-Rum ayat 21. Dari ketenangan, cinta dan kasihsayang inilah sebuah keluarga dapat berjalan dan menjalankan fungsinya dengan benar.

Dalam beberapa ayat Al-Quran, Allah swt mengisyaratkan tujuan dan fungsi keluarga, diantaranya:

“Istri-istri kalian adalah pakaian bagi kalian, dan kalian adalah pakaian bagi mereka”.4

“Allah menjadikan dari diri kalian pasangan-pasangan, dan dari pasangan kalian, Allah menjadikan untuk kalian anak-anak dan cucu dan Allah yang memberikan rezeki-rezeki yang baik. Apakah dengan kebatilah kalian beriman, sementara dengan nikmat Allah kalian kufur”.5

Untuk mewujudkan tujuan ini, maka pada setiap diri manusia, secara fitrah dibekali dengan “nafsu seksual” yang mendorong untuk melakukan pernikahan. Dari pernikahan inilah maqāṣid-maqāṣid yang agung dapat terwujud yaitu berupa terbentuknya keluarga yang akan menjadi bagian dari bangunan sebuah masyarakat dan peradaban, serta terpenuhinya rasa aman dan tenang

2 Ibnul Qayyim Al-Jauziah, Abu Abdullah Muhmmad bin Abu Bakr, ‘Ilām A-Muwaqqa’īn ‘an rabb Al-‘Ālamīn, (Arab Saudi: Dar Ibnu Al-Jauzi linnasyr wa Tauzi’: 2003) vol. 4, hlm. 337.

3 Al-Quran Surat An-Nisa: 21 4 Al-Quran Surat Al-Baqarah: 187 5 Al-Quran surat An-Nahl:82

(4)

Reno Ismanto

49 Islamitsch Familierecht Journal, Vol. 1, No. 1, Desember 2020 antara lelaki dan perempuan karena telah terikat dengan ikatan pernikahan (libās).

Ulama-ulama Islam menyadari akan urgensi maqāṣid pernikahan, sehingga tidak sedikit di antara mereka yang memasukkan tema tentang maqāṣid pernikahan dalam karya-karya mereka. Salah satunya adalah Imam Al-Gazālī. Imam Al-Gazālī merupakan seorang ilmuan yang menguasai banyak bidang ilmu, diantaranya Fiqh, Uṣūl Al-Fiqh, Mantiq, Filsafat, Ilmu Kalam, dan lain-lain. Imam Al-Gazālī menunjukkan perhatiannya terhadap tema maqāṣid pernikahan dalam kitabnya Ihya Ulūm Al-Dīn.

Kitab Ihya Ulūm Al-Dīn dibagi oleh Imam Al-Gazālī membagi menjadi empat bagian yaitu ibadāt, ‘adāt, muhlikāt dan munjiyyāt. Imam Al-Gazālī menggunakan sistematika penulisan khusus dalm kitab ini. Dimana tema-tema disusun berdasarkan permasalahan-permasalahn fiqh kemudian dimasukkan pembahasan hikmah syariat di balik setiap tema tersebut. Hal ini menjadikan adanya perpaduan antara fiqh dan tasawwuf, walaupun kecenderungan tasawwufnya lebih dominan.

Tema tentang pernikahan dimasukkan dalam Imam Gazali dalam pembahasan ‘ādat. Di bab inilah Imam Al-Gazālī menguraikan masalah-masalah pernikahan. Makalah ini menguaraikan pandangan Imam Al-Gazālī tentang maqāṣid pernikahan. Dari segi hukum, pandangan-pandangan Imam Al-Gazālī tentang maqāṣid pernikahan memperkuat status masyru’iyyatu an-nikāh dalam Islam.

Pembahasan ini juga memberi kontribusi pemikiran tentang dinamisnya tasawwuf, karena selama ini yang sekilas muncul dalam pikiran banyak banyak orang bahwa tasawwuf adalah az-zuhdu ‘an ad-dunyā, meninggalkan kesenangan duniawi yang salahsatunya adalah menikah. Dari salahsatu maqāṣid pernikahan yang dinyatakan Imam Al-Gazālī kita dapat melihat bahwa menikah justru menjadi bagian dari tercapainya pelaksanaan tasawwuf.

(5)

Maqāṣid Pernikahan Persfektif Imam Al-Gazālī

Islamitsch Familierecht Journal, Vol. 1, No. 1, Desember 2020 50 Metode penelitian yang dipakai dalam makalah ini adalah metode penelitian pustaka dengan merujuk kitab Ihya Ulūm Al-Dīn sebagai referensi utama dalam menjelaskan pandangan-pandangan Imam Al-Gazālī tentang maqāṣid pernikahan. Referensi pendukung juga digunakan untuk menjelaskan biografi Imam Al-Gazālī, defenisi pernikahan, maqāṣid dan sumber hadis.

Biografi Imam Al-Gazālī

Imam Al-Gazālī bernama lengkap Muhammad bin Muhammad bin Ahmad. Lahir pada tahun 450 Hijriyyah dan wafat pada tahun 505 H di kota Tus. Selain dikenal dengan laqab Al-Gazālī, beliau juga dikenal dengan At-Tusi, penisbatan kepada Kota kelahirannya Tus. Sedangkan Al-Gazālī penisbatan kepada al-gazāl yang berarti tukang tenun wol, pekerjaan bapaknya. Ada juga yang berpendapat, laqob Al-Gazālī adalah penisbatan terhadap Gazālah, sebuah desa di Tus. Beliau juga dilaqobi dengan Hujjah Al-Islam.6

Ayah Imam Al-Gazālī adalah orang yang fakir; hanya mengandalkan pencarian sebagai tukang tenun wol. Namun, beliau sangat senang menghadiri majlis-majlis ulama-ulama sufi dan berkhidmat kepada mereka. Keinginannya, ada diantara keturunannya yang menjadi seperti mereka. Allah menjawab doa ayah Imam Al-Gazālī. Anaknya, Imam Al-Gazālī menjadi ulama dan Imam Fiqh pada zamannya. Sementara anaknya yang bernama Ahmad terkenal sebagai dai dan wā’iz yang nasehatnya didengar banyak orang karena menyentuh hati.

Imam Al-Gazālī memulai perjalan ilmiahnya dengan belajar Fiqh kepada As-Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar-Radzikani di Tus, lalu belajar kepada Abu Nasr Al-Ismaili di Jurjan. Imam Al-Gazālī mengalami peristiwa perampokan dalam perjalanan ketika kembali ke kota kelahirannya Tus. Dimana semua kitab dan catatannya telah dirampas. Dari situlah dia akhirnya

6 Syamsuddin Ahmad bin Kholkan, Wafiyat Al-‘Ayān wa Anba Abna Al-Zamān (Beirut: Dar At-Tsaqofah, t.t) Vol. 4, Hal 217.

(6)

Reno Ismanto

51 Islamitsch Familierecht Journal, Vol. 1, No. 1, Desember 2020 menghapal semua ilmu yang dipelajarinya serta catatan-catatannya, selama keberadaanya tiga tahun di kota Tus.7

Setelah itu kembali melakukan rihlah ilmiah ke Nisabur, bertalaqqi dengan Imam Al-Haramaian Al-Juwaini yang pada saat itu adalah pimpinan Madrasah An-Niżāmiyyah. Pada fasei inilah Imam Al-Gazālī mencapai puncak pencapaiannya dalam keilmuan dengan menguasai Fiqh, Uṣūl Fiqh, Ilmu Kalam, Filsafat dan ilmu Debat (Jadal).

Setelah meninggalnya Imam Haramain pada tahun 478, Imam Al-Gazālī meninggalkan kota Nisabur menuju kota Baghdad dan dipercaya menjadi pengajar di Madrasah An-Niżāmiyyah. Imam Al-Gazālī melaksanakan dengan sungguh-sungguh amanah yang dipercayakan, sehingga pada tahun 484 diangkat sebagai pemimpin Madrasah An-Niżāmiyyah, pusat studi keislaman terbesar pada saat itu.8

Di tengah kesibukkannya mengajar, memberikan fatwa, menyebarkan ilmu, mengarang kitab-kitab, Imam Al-Gazālī terus mencari kebenaran yang hakiki yang terwakili oleh empat kelompok besar pada saat itu yaitu ulama ilmu kalam, filosof, sufi dan penganut aliran batiniah. Dalam mencari kebenaran dan meniliti pemikiran empat kelompok ini terlahir karyanya “Al-Munqīż min Ad-Dalāl”.

Keluasan ilmu Imam Al-Gazālī tersebar ke seantero negeri Islam sehingga banyak orang datang untuk belajar dan menuntut ilmu. Namun di tengah ketenaran dan posisi yang dicapainya muncul karaguan dalam dirinya antara terus terikat dengan ikatan “duniawi” atau menfokuskan diri beramal untuk akhirat. Kondisi itu berlangsung selama enam bulan lamanya, sebagaimana dikisahkan oleh Imam Al-Gazālī. Sampailah waktu di mana

7 As-Subki, Tāj Ad-Dīn, Tabaqāt ASy-Syafiiyyah Al-Kubro (Hajr Littibā’ah wa An-Nasyr wa At-Tauzi’, 1992) Vol. 6, hal 195.

(7)

Maqāṣid Pernikahan Persfektif Imam Al-Gazālī

Islamitsch Familierecht Journal, Vol. 1, No. 1, Desember 2020 52 memilih tidak lagi menjadi pilihan, lidah Imam Al-Gazālī “dikunci” dan tidak bisa mengajar.9

Setelah peristiwa ini Imam Al-Gazālī banyak melakukan perjalanan, berpindah dari satu negeri ke negeri lain. Dia tinggalkan kota Baghdad menuju Damaskus, lalu pindah ke kota Baitul Maqdis Palestina. Setelah itu kembali sebentar ke Damaskus, lalu pergi ke Mesir dan menetap di kota Iskandariah. Kemudian pulang sebentar ke kota kelahirannya Tus untuk menyepi dan ibadah, sebelum kembali ke kota Baghdad mengajar di Madrasah An-Nidzamiyyah untuk kedua kalinya.

Kondisi berpindah-pindah ini berakhir setelah Imam Al-Gazālī memutuskan kembali ke Kota Tus. Di sini dia mengabdikan dirinya untuk beribadah, membersihkan hati serta mengajar fiqh dan tasawwuf di madrasah yang didirikan di sebelah rumahnya. Kesibukan inilah yang dijalani Imam Al-Gazālī sampai kewafatannya pada tahun 505 Hijriyyah.10

Pernikahan dalam Syariat Islam

Nikah secara etimologi berarti bercampur ataupun bergabung. Orang Arab menyebut “nakaḥa al-matoru al-arḍo”, yang berarti air hujan bercampur dengan tanah. Juga, “tanākahat al-asyjāru”, artinya pepohonan itu saling berdempetan.

Secara istilah, ulama-ulama fiqh memberikan definisi yang berbagai terhadap pernikahan. Ulama Hanafi mengartikan nikah sebagai akad yang memberikan kepemilikan hubungan badan (aqdun yufīdu mulka al-mut’ah)11.

Kepemilikan hubungan badan artinya halalnya untuk melakukan hubungan badan dengan perempuan, selama tidak ada penghalang syar’i.

9 Gazālī, Abu Hamid Muhammad bin Ahmad, Munqīż min Ad-Dalāl (Darul Al-Andalus, t.t) hlm. 137.

10 As-Subki, Tabaqāt …, Vol. 6, hal 200.

11 Ibnu Abidin, Muhammad Amin, Rad Muhtar ‘Ala Ad-Darr Muhtar Syarh Tanwir Al-Absor: (Beirut: Dar Al-Ma’rifah, .t.t) Vol. 3, hal 403

(8)

Reno Ismanto

53 Islamitsch Familierecht Journal, Vol. 1, No. 1, Desember 2020 Sedikit lebih memperinci, mazhab maliki mendfinisikan dengan “akad semata-mata atas (kebolehan) bersenang-senang dengan perempuan, tanpa harus mendatangkan bukti (aqdun ‘ala mujjarrodi muta’ah at-talazzuz bi ādamiyah ghairu mūjibi qīmatiha bi bayyinah).12 Tambahan kata bi adamiyyah dalam definisi

mazhab ini menjadikan Jin bukan sebagai objek pernikahan.

Sedangkan menurut Syafiiyyah nikah adalah akad yang mengandung kebolehan hubungan badan dengan menggunakan lafaz nikah, zawaj atau yang lainnya (aqdun yufīdu ibāhah al-wati bilafzi an-nikāh aw tazwīj aw nahwuhu).13

Dalam mazhab hanbali, nikah didefinisikan dengan dua kata saja yaitu akad pernikahan (aqdu at-tazwīj).14

Dari beberapa definisi di atas terlihat ulama-ulama mencoba memberikan batasan-batasan agar unsur-unsur selain nikah tidak termasuk dalam definisi. Semua sepakat bahwa inti dari nikah adalah akad terhadap kebolehan melakukan hubungan badan. Penekanan ini bukan berarti pengabaian terhadap makna, hikmah dan maksud pernikahan. Dalam mendefiniskan suatu istilah tidak semua unsur nikah, sebagaimana istilah-istilah lain, seperti shalat, zakat, puasa dan lain-lain. Hikmah dari hal-hal tersebut diuraikan terpisah tanpa dimasukkan dalam definisi.

Dapat disimpulkan bahwa nikah adalah akad yang mengandung pembolehan berhubungan badan dengan perempuan dan menikmati seluruh tubuhnya selama perempuan tersebut bukan berstatus mahram, baik karena nasab, persusuan ataupun pernikahan. Bagi lelaki, akad pernikahan memberikan hak kepemilikan perempuan khusus untuknya, dalam artian setelah akad nikah, perempuan tersebut hanya halal baginya, haram bagi lelaki lain. Sementara bagi perempuan akad nikah hanya memberi hak untuk

12 Muhammad bin Abdurrahman Maghribi Hitab, Mawahib Jalil (Beirut: Dar Al-Fikri, t.t) Vol. 3, hal 404.

13 Asy-Syarbini, Syamsuddin Muhammad Al-Khatib, Mughnī Al-Muhtāj Ila Ma’rifati Ma’āni Alfāz Al-Minhāj, (Beirut: Dar Al-Fikri) Vol. 3, hal. 123.

14 Al-Maqdisi, Ibnu Qudamah Abdullah bin Ahmad, Al-Mughnī (Dar Al-Kutub Littiba’ah wa An-Nasyr wa At-Tauzi’, Cet.III: 1997) Vol. 9, hal. 339.

(9)

Maqāṣid Pernikahan Persfektif Imam Al-Gazālī

Islamitsch Familierecht Journal, Vol. 1, No. 1, Desember 2020 54 bersenang-senang, tidak kepemilikan, dengan dalil bahwa lelaki bisa menikah lebih dari satu orang perempuan.15

Dalam Islam nikah adalah salahsatu syariat dan syiar yang diagungkan. Banyak dalil yang menjelaskan bahwa nikah disyariatkan dalam Islam, secara ekplisit dan implisit. Diantaranya firman Allah swt:

ُﱠﻟﻠہٱ ُﻢِﮭِﻨ ۡﻐُﯾ َءٓاَﺮَﻘُﻓ ْاﻮُﻧﻮُﻜَﯾ نِإ ۚۡﻢُﻜِﺋٓﺎَﻣِإَو ۡﻢُﻛِدﺎَﺒِﻋ ۡﻦِﻣ َﻦﯿِﺤِﻠٰـﱠﺼﻟٱَو ۡﻢُﻜﻨِﻣ ٰﻰَﻤَٰﯾَ ۡﻷٱ ْاﻮُﺤِﻜﻧَأَو

ﻦِﻣ

ٞﻢﯿِﻠَﻋ ٌﻊِﺳ َٰو ُ ﱠﻟﻠہٱَو ۗۦِﮫِﻠ ۡﻀَﻓ

“ Dan kawinkanlah orang-orang yang belum memiliki pasangan di antara kamu, dan orang-orang yang layak (kawin) dari hamba-hamba sahaya lelaki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan Allah akan mencukupinya dengan karunia-Nya. Dan Allah maha luas (karunia-Nya) lagi maha mengetahu”16

ُ ﱠﻟﻠہٱَو

َﻞَﻌَﺟ

ﻢُﻜَﻟ

ۡﻦﱢﻣ

َﻦﱢﻣ ﻢُﻜَﻗَزَرَو ٗةَﺪَﻔَﺣَو َﻦﯿِﻨَﺑ ﻢُﻜِﺟ َٰو ۡزَأ ۡﻦﱢﻣ ﻢُﻜَﻟ َﻞَﻌَﺟَو ﺎ ٗﺟ َٰو ۡزَأ ۡﻢُﻜِﺴُﻔﻧَأ

ِۚﺖَٰﺒﱢﯿﱠﻄﻟٱ

“Dan Allah menjadikan istri-istri dari jenis kamu sendiri (manusia), menjadikan dari istri-istri kamu anak-anak serta cucu-cucu, memberi rizki kepadamu dengan rizki yang baik.”17

Bahkan dalam surat Ar-Ra’du ayat 38 Allah menyebut bahwa nikah adalah Sunnah para Nabi dan jalan memperbanyak penerus mereka serta menjaga dari terputusnya keturunan.

َٴـِﺑ َﻲِﺗۡﺄَﯾ نَأ ٍلﻮُﺳَﺮِﻟ َنﺎَﻛ ﺎَﻣَو

ۚٗﺔﱠﯾﱢرُذَو ﺎ ٗﺟ َٰو ۡزَأ ۡﻢُﮭَﻟ ﺎَﻨۡﻠَﻌَﺟَو َﻚِﻠۡﺒَﻗ ﻦﱢﻣ ٗﻼُﺳُر ﺎَﻨۡﻠَﺳ ۡرَأ ۡﺪَﻘَﻟَو

ٍﺔَﯾﺎ

ٞبﺎَﺘِﻛ ٖﻞَﺟَأ ﱢﻞُﻜِﻟ ِۗ ﱠﻟﻠہٱ ِن ۡذِﺈِﺑ ﱠﻻِإ

“Dan kam telah mengutus para Rasulu sebelummu (Muhammad) dan kami jadikan untuk mereka istri-istri dan keturunan, dan tidaklah seorang Rasul menyampaikan satu ayatpun kecuali dengan izin Allah, dan bagi setiap yang berajal ada catatan”.

Selain ayat-ayat Al-Quran, ada beberapa hadis yang menjelaskan tentang anjuran untuk menikah dan keutamaanya. Diantaranya hadis Nabi Saw.

15 Az-Zuahili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islāmi Wa Adillatuhu (Damaskus: Dar Al-Fikri, 2011) Vol. 9, hal 6513.

16 Al-Quran Surat An-Nur, Ayat: 32 17 Al-Quran Surat An-Nahl Ayat 72.

(10)

Reno Ismanto

55 Islamitsch Familierecht Journal, Vol. 1, No. 1, Desember 2020

دﻮﻌﺴﻣ ﻦﺑ ﷲ ﺪﺒﻋ ﻦﻋ

-ﮫﻨﻋ ﷲ ﻲﺿر

ًﺎﻋﻮﻓﺮﻣ

:

عﺎﻄﺘﺳا ﻦﻣ بﺎﺒﺸﻟا ﺮﺸﻌﻣ ﺎﯾ"

ﮫﯿﻠﻌﻓ ﻊﻄﺘﺴﯾ ﻢﻟ ﻦﻣو جﺮﻔﻠﻟ ﻦﺼﺣأوﺮﺼﺒﻠﻟ ﺾﻏأ ﮫﻧﺈﻓ ؛جوﺰﺘﯿﻠﻓ ةءﺎﺒﻟا ﻢﻜﻨﻣ

."ٌءﺎَﺟِو ﮫﻟ ﮫﻧﺈﻓ ؛مﻮﺼﻟﺎﺑ

Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, secara marfu’, Rasulullah saw bersabda: “Wahai para pemuda! Siapa di antara kalian mampu untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi kemaluan. Barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa dapat membentengi dirinya (dari syahwat).18

ﻢﻜﺑ ﺮﺛﺎﻜﻣ ﻲﻧﺈﻓ دﻮﻟﻮﻟا دودﻮﻟا اﻮﺟوﺰﺗ

“Nikahilah perempuan yang penyayang dan subur, karena sesungguhya Aku berbangga dengan jumlah kalian yang banyak”.19

Ayat-ayat dan hadis ini sangat jelas menyatakan bahwa nikah adalah bagian dari syariat agama Islam, sehingga lawan dari nikah yaitu tidak menikah karena tidak mau, bahkan atas alasan fokus untuk ibadah dilarang dalam Islam. Ulama-ulama sudah konsensus atas hal ini.

Definisi Maqāṣid Pernikahan

Maqāṣid dalam bahasa Arab adalah bentuk plural dari kata maqṣūd. Kata maqṣūd sendiri berakar dari kata al-qaṣd yang mempunyai beberapa makna dalam penggunaannya dalam Bahasa Arab yaitu20:

1. Konsisten. Penggunaan kata al-qasdu dengan makna ini terlihat pada firman Allah Swt Surat An-Nahl ayat: 9.

2. Bergantung, mendatangi dan mendampingi.

3. Adil atau seimbang dalam suatu hal. Adil maksudnya kondisi antara berlebihan dan pelit.

18 Muslim, Abu Husain Muslim bin Al-Hajjaj An-Naisaburi, Ṣahīh Muslim, (Beirut: Dar Ihya At-Turats Al-‘Arabi) Vol. 2, hal 1059, nomor hadis 1400. Bukhori, Muhammmad bin Ismail, Ṣahīh Al-Bukhori, (Dar Tuq An-Najat, 2001) vol. 7, hal. 3, hadis nomor 5060.

19 Abu Dawud, Sulaiman bin Asy’ats As-Sijistani, Sunan Abī Dawud, Tahqiq: Syuab Al-Arnauth (Beirut: Dar Ar-Risālah Al-‘Ālamiah, 2009) vol. 4, hlm. 395, hadis nomor 2050.

20 Ibnu Mnazur, Muhammad bin Mukarram bin Ali, Lisān Al-Arab, (Beirut: Dar As-Sadir, 1993) vol. 3, hal 353-354.

(11)

Maqāṣid Pernikahan Persfektif Imam Al-Gazālī

Islamitsch Familierecht Journal, Vol. 1, No. 1, Desember 2020 56 Imam Al-Gazālī menyinggung tentang maqāṣid ketika menguaraikan konsep maslaḥah, “Adapun maslahat, pada dasarnya adalah mengejar manfaat dan menghindari mudharrat. Tapi bukan ini yang kita maksudkan dengan itu, karena mengejar manfaat dan menghindari mudharrat adalah maqāṣidh (kehendak/tujuan) makhluk. Kebaikan makhluk adalah ketika maqāṣidhnya tercapai. Yang kita maksudkan dengan maslahat adalah menjaga kehendak-kehendak pembuat syariat. Kehendak syariat terhadap makhluk yaitu: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka. Semua yang menjamin terjaganya lima hal ini adalah maslahat. Dan semua yang merusaknya adalah mafsadah, sehingga menghindarinya adalah maslahat”.21

Secara istilah, maqāṣid bisa diartikan sebagai makna dan tujuan yang tersirat dan dapat ditangkap dalam semua atau sebagian besar hukum-hukum syariat.22 Maqāṣid juga dapat dimaknai sebagai kebaikan-kebaikan yang

dikehendaki bagi hamba, baik di kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat, dengan prinsip mengambil yang bermanfaat dan menolak yang memudarratkan.23

Dari beberapa definisi di atas bisa dikatakan bahwa maqāṣid adalah tujuan dan hikmah di balik pensyariatan hukum, untuk mewujudkan kebaikan manusia di dunia dan akhirat.

Jika disandingkan antara maqāṣid dan pernikahan, maqāṣid pernikahan dapat diartikan sebagai tujuan-tujuan syariat yang hendak dicapai melalui akad nikah, seperti menjaga ras manusia dari kepunahan, meneruskan nasab, menghadirkan ketenangan dan kesenangan dalam hidup, dan lain-lain. Tujuan-tujuan ini adalah maslahat bagi hamba yang terwujud melalui pernikahan dan sebaliknya tidak dapat terwujud jika pernikahan ditinggalkan.

Dalam kondisi pernikahan tidak dapat mewujudkan tujuan ini, misalnya terjadi konflik antara suami dan istri, maka pernikahan tidak lagi menjadi

21 Al-Gazālī, Abu Hamid Muhammad bin Ahmad, Al-Mustaṣfa fī ‘ilm Al-Uṣūl (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2000) hlm. 174.

22 Az-Zuhaili, Wahbah, Uṣūl Al-Fiqh Al-Islāmi (Damaskus: Dar Al-Fikri, 1986) vol. 2, hlm. 1017.

23 Yusuf Al-‘Alim, Al-Maqāṣid Al-‘Āmah Li Asy-Syarīah Al-Islamiyyah, (Al-Ma’had Al-‘Ālami Li Al-Fikri Al-Islāmi, 1991) hlm. 7.

(12)

Reno Ismanto

57 Islamitsch Familierecht Journal, Vol. 1, No. 1, Desember 2020 maslahat sebaliknya menjadi mudarrāt yang harus dihindari. Maka di dalam Islam ada syariat talak. Setelah terjadi talak maka pasangan yang berpisah akan mencari pasangan yang sesuai, sehingga nikah menjadi maslahat dan maqāṣid dari pernikahan dapat dicapai.

Maqāṣid Pernikahan Menurut Imam Gazālī

Dalam kitab Ihyā Ulūm Al-Dīn, Imam Al-Gazālī secara konfrehensif memamparkan anjuran menikah dan maqāṣid yang menjadi alasan kenapa agama mendorong untuk menikah.24 Di sisi lain beliau juga menjelaskan

perkara-perkara yang menjadi penghalang atau perusak pernikahan. Yang menjadi fokus dalam makalah ini adalah maqāṣid pernikahan. Karena pentingnya maqāṣid ini, Islam memposisikan pernikahan sebagai Sunnah (jalan yang harus diikuti) para Nabi dan juga Nabi Muhammad Saw.

Menurut Imam Al-Gazālī maqāṣid pernikahan ada lima yaitu mendapatkan anak, menyalurkan syahwat, jalan mendapatkan ketenangan, berbagi tugas rumah tangga dan mujāhadah memenuhi keperluan keluarga.

1. Mendapatkan Anak Keturunan

Menurut Imam Al-Gazālī inilah tujuan asli dari pernikahan. Mendapat keturunan adalah jalan untuk mengekalkan bangsa Manusia di atas bumi. Pemenuhan terhadap syahwat menjadi jalan lahirnya keturunan. Dengan cara yang sangat lembut, Allah titipkan tujuan agung ini, karena tercapainya pembuahan yang menghasilkan anak tidak terjadi kecuali melalui hubungan badan. Seperti halnya melalui burung, terjadi penyebaran benih tumbuh-tumbuhan dengan cara memakan buah lalu biji-bijinya terjatuh ke tanah dan tumbuh menjadi

24 Imam Al-Gazāli menggunakan istilah fawāid dalam menjelaskan maqāṣid atau tujuan pernikahan.

(13)

Maqāṣid Pernikahan Persfektif Imam Al-Gazālī

Islamitsch Familierecht Journal, Vol. 1, No. 1, Desember 2020 58 tanam-tanaman baru. Allah menampakkan hikmahNya, melalui hal di atas, bahwa sesuatu tercipta melalui proses. Inilah hikmah Allah yang ditunjukkannya, walaupun Allah bisa saja menjadikan semua itu tanpa harus melalui proses yang ada (ibtidaan).25

Usaha untuk mendapat keturunan melalui pernikahan, dalam kondisi tidak khawatir dengan gejolak syahwat, dalam pandangan Imam Al-Gazālī adalah ibadah (qurbah). Ada empat pijakan bahwa nikah dalam kondisi ini dinilai sebagai ibadah.26

a. Memenuhi keinginan Allah Swt. untuk menjaga keturunan manusia dari kepunahan. Bagi Imam Al-Gazālī inilah tujuan yang paling besar dari pernikahan yang justru tidak dilihat oleh kebanyak orang dan hanya mampu ditangkap oleh orang-orang yang mempunyai baṣīrah (mata hati). Manusia diciptakan oleh Allah berpasangan dan disiapkan semua fasilitas yang bisa mewujudkan tujuan agung ini, sehingga mereka yang tidak menggunakannya dianggap lalai dari kehendak Allah swt. Imam Al-Gazālī menganalogikan dengan seorang tuan yang memberi budaknya alat-alat dan semua keperluan untuk bercocok tanam dan budak tersebut mampu untuk mengerjakannya. Jika budak tadi tidak memanfaatkan fasilitas yang diberikan maka dia telah menyia-nyiakan pemberian tuannya dan layak untuk diberi hukuman.

b. Mewujudkan keinginan Rasulullah Saw yang bangga dengan jumlah pengikut yang banyak, berdanding dengan Nabi-nabi lain. Sesuai dengan hadis Nabi saw. “Nikahilah perempuan yang penyayang dan subur, karena sesunguhnya aku

25 Al-Gazālī, Abu Hamid Muhammad bin Ahmad Al-Gazālī At-Tusi, Ihya Ulumuddin, (Beirut: Dar Al-Ma’rifah, t.th) vol.2, hlm. 24.

(14)

Reno Ismanto

59 Islamitsch Familierecht Journal, Vol. 1, No. 1, Desember 2020 berbangga kepada umat-umat lain dengan banyaknya jumlah kalian”.27

c. Mencari keberkahan melalui doa anak soleh sepeninggalnya. Karena Nabi saw. menyebut bahwa semua amal anak Adam terputus dengan kematiannya kecuali tiga, salahsatunya adalah anak yang soleh. Adanya anak yang saleh dan tidak saleh tidak mengugurkan maksud ini. Karena yang ghālib (dominan) diperoleh oleh orang-orang beragama adalah anak-anak yang beriman dan saleh. Seseorang mendapatkan manfaat dari doa-doa, amal kebaikan anaknya apapun keadaan anaknya, soleh ataupun fajir (pelaku dosa) karena anaknya berasal darinya. Adapun kesalahan atau dosa tidak menjadi tanggungannya berdasarkan firman Allah swt pada surat Al-An’am ayat 164.

d. Memperoleh syafaat dari anak yang masih kecil jika lebih dahulu meninggal darinya. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang tiga anaknya meninggal sebelum baligh, Allah akan memasakkukna dia ke Syurga karena rahmat Allah terhadap mereka. Rasulullah ditanya, baagaimana jika dua orang? Rasulullah menjawab, begitu juga jika dua.”28.

2. Menyalurkan Syahwat

Maqsūd atau fāidah yang kedua dari pernikahan menurut Imam Al-Gazālī adalah sebagai banteng dari syaitan sehingga keinginan seks yang kuat dapat tersalurkan serta membantu menjaga pandangan. Imam Al-Gazālī menyebutkan hadis-hadis yang mengisyaratkan langsung maksud pernikhan yang kedua ini. Diantaranya hadis: “Menikahlah!

27 Abu Dawud, Sulaiman bin Al-Asy’ats As-Sijistani, Sunan …, vol. 4, hlm. 395, hadis nomor 2050

(15)

Maqāṣid Pernikahan Persfektif Imam Al-Gazālī

Islamitsch Familierecht Journal, Vol. 1, No. 1, Desember 2020 60 Siapa yang belum mampu maka hendaklah ia puasa, karena puasa dapat menekan syahwat”29.

Tujuan ini menurut Imam Al-Gazālī secara urutan lebih rendah dari tujuan pertama. Karena sesungguhnya syahwat yang ada pada setiap manusia berfungsi mendorong manusia melakukan hubungan yang dari sini lahirlah keturunan. Keberlangsungan keturunan inilah yang menjadi tujuan asli, bukan semata-mata syahwat.

Mengendalikan gelora syahwat dengan menikah adalah penting dalam agama, karena jika syahwat mendominasi dan tidak dikendalikan dengan ketakwaan akan membawa orang kepada perbuatan keji. Jika seseorang telah tertanam sifat takwa maka anggota tubuhnya tidak akan mengikuti hawa nafsunya, pandangannya akan ditundukkan dan kemaluannya terjaga.

Adapun menjaga hati dan pikiran menurut Al-Gazālī tidak termasuk wilayah yang mampu dikendalikan manusia. Karena pikiran tersebut akan terus ada, dan syaitan akan terus membisikkan bahkan di saat shalat. Bisikan-bisikan ini tidak bisa dihilangkan atau dilawan pada kebanyakan orang bahkan dengan selalu mengerjakan puasa. Inilah ujian yang dialami banyak orang dan sedikit yang mampu melewatinya.

3. Sebagai Hiburan bagi jiwa

Imam Al-Gazālī menilai bahwa bahwa diantara tabiat jiwa manusia adalah jemu dan menghindar dari ketaatan. Jika jiwa terus dipaksakan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan tabiat aslinya maka akan jenuh dan sakit. Tetapi jika di selang waktu diberi waktu untuk berhibur dengan kenikmatan dan kesenangan maka akan menjadi jiwa akan kuat dan bertenaga.

29 At-Tabrani, Sulaiman bin Ahmad, Al-Mu’jam al-Wasith, (Kairo: Dar Al-Haramain, 1994) Vol. 8, hlm. 137. Hadis Nomor 8203.

(16)

Reno Ismanto

61 Islamitsch Familierecht Journal, Vol. 1, No. 1, Desember 2020 Melalui pernikahan, seorang lelaki bisa mendapatkan kesempatan berhibur dengan memandang, bercanda, berbicara dan duduk-duduk dengan istrinya. Berhibur dengan istri akan menghilangkan kesusahan dan kesedihan hati. Dan sudah seharusnya jiwa orang mukmin diberi hiburan dengan perkara-perkara mubah. Inilah maksud dari firman Allah swt pada surat Al-‘Araf: 189.

4. Mengkosongkan Hati dari Memikirkan Urusan dalam Rumah30

Seseorang yang tidak menikah karena, misalnya, tidak mempunyai syahwat berhubungan badan, akan disibukkan dengan urusan rumah sehingga sebagian besar waktunya akan habis untuk hal tersebut. Dampaknya dia tidak bisa memfokuskan diri untuk ilmu dan juga amal.

Bagi Imam Al-Gazālī wanta adalah penolong lelaki dalam melaksanakan agamanya. Dengan menikah lelaki tidak lagi harus menghabiskan waktunya mengurusi urusan dalam rumah seperti memasak, menyapu, membersihkan kamar, mencuci alat-alat makan dan hal-hal lain.

Untuk menguatkan bahwa hal ini adalah salahsatu dari maqāṣid pernikahan, Imam Al-Gazālī mencantumkan beberapa hadis dan ucapan ulama. Dari ucapan ulama, Imam Al-Gazzali mengutip kata-kata Abu Sulaiman Ad-Darini, “Istri solehah bukanlah perkara duniawi, karena dia membuatmu mampu fokus untuk akhirat. Dia membuatmu fokus untuk akhirat dengan mengurusi urusan rumah dan –juga- memenuhi syahwat”. Sementara dari hadis, yaitu sabda Nabi saw.: “Hendaklah salahsatu dari kalian memiliki hati yang syukur, lisan yang senantiasa berdzikir dan istri yang beriman dan soleh yang membantunya dalam mengejar akhiratnya”31.

30 Al-Gazālī, Ihya Ulumuddin..., Vol. 3, hlm. 31.

31 Ibnu Majah, Abu Abdullah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibn Majah, tahqiq: Syua’ib al-Arnaut, (Dar Ar-Risālah Al-‘Ālamiyyah, cet. I, 2009), vol. 3, hll,. 61, hadis nomor 1856.

(17)

Maqāṣid Pernikahan Persfektif Imam Al-Gazālī

Islamitsch Familierecht Journal, Vol. 1, No. 1, Desember 2020 62

5. Mujahadah Memenuhi Keperluan Keluarga

Maqāṣid pernikahan yang kelima menurut Imam Al-Gazālī adalah wadah mujāhadah dan latihan (riyāḍah) bagi seorang lelaki. Yaitu dalam bentuk memelihara, melindungi, memenuhi hak-hak keluarga, bersabar terhadap akhlak dan sikap buruk mereka, berusaha memperbaiki, menunjukkan jalan agama, berjuang untuk memperoleh penghasilan halal dan memberikan pendidikan kepada anak-anak. Inilah amalan-amalan yang fadhilah sangat besar.32

Imam Al-Gazālī menambahkan bahwa tidak sama antara orang yang disibukkan mengurus dirinya dan orang lain, dengan orang yang hanya mengurus diri sendiri. Karena perbandingan mengurus keluarga dan anak itu setara dengan jihad di jalan Allah.

Amal-amal ini menjadi maqāṣid pernikahan, karena hanya bisa dialami oleh melalui pernikahan. Dan ada banyak hadis yang menegaskan besarnya pahala mengurus anak dan istri. Salahsatunya hadis Nabi saw, “Apa yang dinafkahkan oleh seorang lelaki kepada keluarganya adalah sedekah. Dan pasti seorang lelaki diberikan pahala dari satu suapan yang diberikan kepada istrinya”.33

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa pernikahan mempunyai maqāṣid agung yang seiring dengan fitrah manusia. Pernikahan tidak hanya sebagai jalan halal memenuhi syahwat yang Allah titipkan pada setiap manusia. Tetapi ada maqāṣid lain, sebagaimana telah diuraikan, yang jika ditunaikan dengan sempurna akan melahirkan kasih sayang, kebahagiaan serta keselamatan di dunia dan akhirat. Tertunainya maqāṣid pernikahan ini menjadi syarat tercapainya maqāṣid syariah terutama hifz nasl (menjaga keturunan).

Kesimpulan

32 Al-Gazālī, Ihya Ulumuddin…, vol.2, hlm. 31

33 Dengan lafaz yang berbeda hadis ini dimuat oleh Imam Al-Bukhori dalam Jami’ As-Sahih dalam bab keutamaan menafkahi keluarga, vol. 7, hlm. 62, hadis nomor 5354.

(18)

Reno Ismanto

63 Islamitsch Familierecht Journal, Vol. 1, No. 1, Desember 2020 Tidak ada ajaran dalam Islam yang tidak mempunyai maqāṣid atau fawāid. Islam menjadikan nikah sebagai Sunnah (jalan yang diikuti) Nabi-nabi dan Nabi Muhammad Saw karena dengan pernikahan maqāṣid yang agung tersebut dapat tercapai. Dengan pernikahan fitrah manusia untuk mendapat keturunan dan kehendak Allah untuk mengekalkan manusia di atas muka bumi dapat terwujud.

Selain itu, dengan pernikahan, seorang suami terbantu dalam mengurus keperluan rumah sehingga dapat melaksanakan perannya dalam mencari penghasilan yang halal, memperdalam ilmi, mengajarkan ilmu, serta merawat dan mendidik keluarganya. Dan dengan pernikahan juga suami istri dapat terbentengi dari bisikan-bisikan syaitan dan perkara syubhat, karena syahwatnya telah disalurkan di jalan yang halal.

Dari pandangan-pandangan Imam Al-Gazālī tentang maqāṣid pernikahan dapat disimpulkan bahwa pernikahan, istri dan keluarga bukan perkara duniawi yang harus ditinggalkan karena akhirat. Menikah, mengurus istri dan anak justru adalah ibadah. Istri dapat berperan sebagai penolong suami dalam melaksakana tugas agama dengan mengurus keperluan rumah. Dengan peranan istri ini, suami dapat fokus untuk mencari rezeki yang halal, mencari ilmu, mengamalkan dan mengajarkannya serta mendidik anak-anak.

(19)

Maqāṣid Pernikahan Persfektif Imam Al-Gazālī

Islamitsch Familierecht Journal, Vol. 1, No. 1, Desember 2020 64

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran Al-Karim

Abū Dāwud, Sulaiman bin Al-Asy’āts As-Sijistani, Sunan Abī Dāwud, Tahqiq: Syuab Al-Arnauth, Beirut: Dar Arrisalah Al-‘Alamiah, 2009.

Al-Bukhōri, Muhammmad bin Ismail, Sāḥīh Al-Bukhōri, Dar Tuq An-Najat, 2001.

At-Tabrāni, Sulaiman bin Ahmad, Mu’jam al-Wasīth, Kairo: Dar Al-Haramain, 1994.

Al-Gazālī, Abu Hamid Muhammad bin Ahmad Al-Gazālī At-Tusi, Ihya Ulumuddin, Beirut: Dar Al-Ma’rifah, t.th,

Al-Gazālī, Abu Hamid Muhammad bin Ahmad, Al-Mustashfa fi ‘ilm Al-Ushul , Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2000.

Al-Gazālī, Abu Hamid Muhammad bin Ahmad, Al-Munqīż min Ad-Dalāl, Dār Al-Andalus,t.t.

Al-Maqdisi, Ibnu Qudamah Abdullah bin Ahmad, Al-Mughini, Dār Al-Kutub Littiba’ah wa An-Nasyr wa At-Tauzi’, Cet.III: 1997.

As-Subki, Tāj Ad-Dīn, Tabaqāt ASy-Syafiiyyah Al-Kubro (Hajr Littibā’ah wa An-Nasyr wa At-Tauzi’, 1992

Asy-Syarbini, Syamsuddin Muhammad Al-Khatib, Mughnī Al-Muhtāj Ilā Ma’rifati Ma’āni Alfāz Al-Minhāj, Dar Al-Fikri: Beirut, t.th.

Az-Zuhaili, Wahbah, Uṣūl Al-Fiqh Al-Islāmi, Damaskus: Dar Al-Fikri, 1986. Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islāmi Wa Adillatuhu, Dar Al-Fikri, Damaskus,

2011.

Ibnu Abidin, Muhammad Amin, Rad Al-Muhtār ‘ala ad-darr al-muhtār syar Tanwir al-abṣōr, Dar Al-Ma’rifah: Beirut, Ct:2, t.th.

Ibnu Majah, Abu Abdullah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibn Mājah, taḥqīq: Syua’ib al-Arnaut, Dar Ar-Risālah Al-‘Ālamiyyah, cet. I, 2009.

Ibnu Manżūr, Muhammad bin Mukarram bin Ali, Lisān Al-‘Arab, Beirut: Dar As-Sadir, 1993.

Ibnul Qayyim Al-Jauziah, Abu Abdullah Muhmmad bin Abu Bakr, ‘Ilām lA-Muwaqqa’īn ‘an rabb Al-‘Ālamīn, Arab Saudi: Dar Ibnu Al-Jauzi linnasyr wa Tauzi’: 2003

(20)

Reno Ismanto

65 Islamitsch Familierecht Journal, Vol. 1, No. 1, Desember 2020 Ibn Kholkan, Syamsuddin Ahmad, Wafiyat Al-‘Ayan wa Anba Abna Al-Zaman,

Beirut: Dar At-Tsaqofah, t.th.

Muhammad bin Abdurrahman Al-Maghribi Al-Hitab, Mawāhib Al-Jalīl, Dar Al-Fikri, Beirut, t.th.

Muslim, Abu Husain Muslim bin Al-Ḥajjāj An-Naisaburi, Ṣahīh Muslim, Beirut: Dar Ihya At-Turats Al-‘Arabi.

Yusuf Al-‘Alim, Al-Maqāṣid Al-‘Āmah Li Asy-Syarīah Al-Islamiyyah, (Al-Ma’had Al-‘Ālami Li Al-Fikri Al-Islāmi, 1991

Referensi

Dokumen terkait

Membimbing karyawan dalam hal menyusun program kerja dan melaksanakan tugas sehari-hari.. Membimbing siswa dalam kegiatan ekstra kurikuler, OSIS dan mengikuti lomba

Umur bisa mempengaruhi tingkat pengetahuan pasien dimana seseorang yang berumur lebih lanjut mereka tidak akan terlalu mempertimbangkan atau memperhatikan apa yang

Saat ini kerap terjadi pelanggaran privasi di media sosial berbasis ojek online, timbulnya pelanggaran privasi pada ojek online ini karena aplikasi

Jika kit instalasi tersedia dengan ukuran kabel power yang berbeda, pilih kabel power yang paling kuat untuk meningkatkan kualitas suara dan untuk memungkinkan lebih

dan n %u %u&u &u. ;ntu& itu< &ami menghara,&an &e&urangan dan masih !auh dari &esem,urnaan.. #alah satu su% sistem &esehatan nasional

Pelaksanaan kegiatan, setelah bahan dan peralatan disiapkan, maka tahap selanjutnya adalah tahap pelaksanaan kegiatan yaitu dilakukan kegiatan berupa pengoperasian/

Puji syukur atas karunia yang Allah swt berikan, atas limpahan rahmat dan kasih sayang- Nya, atas petunjuk dan bimbingan yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan

mahasiswa praktikan untuk belajar menjadi guru yang lebih inovatif, provisional dengan gaya. mengajar yang menarik