• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISASI MORFOLOGI ITIK ALABIO (Anas Platyrhynchos Borneo) DI WILAYAH SENTRA PENGEMBANGAN KALIMANTAN SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTERISASI MORFOLOGI ITIK ALABIO (Anas Platyrhynchos Borneo) DI WILAYAH SENTRA PENGEMBANGAN KALIMANTAN SELATAN"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 551

KARAKTERISASI MORFOLOGI ITIK ALABIO (Anas Platyrhynchos

Borneo) DI WILAYAH SENTRA PENGEMBANGAN

KALIMANTAN SELATAN

Suryana1, R.R.Noor2, P.S.Hardjosworo2, L.H.Prasetyo3 dan M.Yasin1 1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan

Jl. P.Batur Barat No. 4 Banjarbaru, Kalimantan Selatan 2Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor 3Balai Penelitian Ternak

PO Box 221 Ciawi Bogor Email suryanakalsel@yahoo.com

ABSTRAK

Penelitian mengenai karakterisasi morfologi dan konformasi tubuh itik Alabio telah dilakukan untuk mengindentifikasi ukuran-ukuran tubuh yang menjadi faktor peubah pembeda fenotipik itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) yang dipelihara di peternakan rakyat di wilayah sentra pengembangan. Penelitian ini dilaksanakan di tiga lokasi, yaitu Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Ternak yang digunakan adalah itik Alabio dara sebanyak 600 ekor dengan umur berkisar antara 4,5-5 bulan, terdiri atas 75 ekor jantan dan 525 betina. Parameter yang diamati meliputi bobot badan, panjang paruh atas, panjang paruh bawah, lebar paruh, panjang kepala, tinggi kepala, panjang leher, panjang punggung, panjang paha, panjang sternum, panjang sayap, panjang ekor dan panjang tubuh total. Data dianalisis menggunakan analisis komponen utama (AKU) dan analisis korelasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa itik Alabio dari Hulu Sungai Utara memiliki rataan bobot badan (1,72±0,20 kg) lebih besar dibanding itik Alabio dari Hulu Sungai Selatan (1,56±0,26 kg) dan Hulu Sungai Tengah (1,59±0,23 kg). Berdasarkan hasil AKU diketahui bahwa ukuran tubuh itik Alabio dari Hulu Sungai Selatan memiliki nilai persamaan terbesar (panjang kepala dan panjang leher), sementara bentuk tubuh (panjang paruh atas dan bobot badan). Ukuran tubuh itik dari Hulu Sungai Tengah (tinggi kepala, panjang kepala), bentuk tubuh (panjang sternum dan lebar paruh), sedangkan itik dari Hulu Sungai Utara (panjang punggung, panjang paruh bawah dan panjang paha) serta bentuk tubuh (panjang tubuh total dan panjang paruh atas). Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa bentuk dan ukuran tubuh itik Alabio dari Hulu Sungai Selatan yang mempunyai nilai tertinggi adalah panjang kepala, panjang leher dan bobot badan, Hulu Sungai Tengah (tinggi kepala, panjang kepala, lebar paruh dan panjang sternum, serta dari Hulu Sungai Utara adalah panjang punggung, panjang paha dan panjang paruh bawah, panjang paruh atas dan panjang tubuh total. Ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio dari Hulu Sungai Selatan dan Hulu Sungai Tengah mempunyai nilai persamaan yang sama yaitu panjang kepala, sementara dari Hulu Sungai Utara adalah panjang punggung dan panjang tubuh total, sehingga dapat dijadikan sebagai faktor peubah pembeda pada itik Alabio.

(2)

Suryana et al. : Karakterisasi morfologi itik Alabio | 552

Pendahuluan

Itik merupakan jenis unggas air yang telah lama dikenal dan dimanfaatkan masyarakat sebagai salah satu sumber penghasil protein hewani, berupa telur dan daging. Jenis itik lokal yang berkembang dan dipelihara secara turun temurun di Kalimantan Selatan adalah itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo). Itik Alabio memiliki kemampuan berproduksi telur tinggi (SUSANTI dan PRASETYO, 2009), walaupun keragamannya relatif tinggi (HARDJOSWORO et al. 2001; SURYANA, 2011). Populasi itik Alabio di Kalimantan Selatan tercatat 4.354.121 ekor (DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN, 2011), dan populasi ini belum mampu berperan sebagai sumber pangan andalan (HARDJOSWORO, 1995;SOLIHAT et al., 2003), karena produktivitasnya masih rendah (NAWHAN, 1991;ROHAENI dan TARMUDJI, 1994;DIWYANTO dan INOUNU, 2000;SURYANA, 2007), terutama yang dipelihara dan dikembangkan disebagian masyarakat di tingkat lapang (SURYANA, 2011).

Dalam memperbaiki produktivitas dan meningkatkan keseragaman itik lokal dapat dilakukan seleksi dengan memanfaatkan keragaman genetik yang ada (PRASETYO dan SUSANTI, 1999/2000; SURYANA, 2013). DIWYANTO dan INOUNU (2000) menyatakan bahwa untuk memperbaiki mutu genetis itik lokal dapat ditempuh dua cara, yaitu persilangan di antara galur berbeda dan seleksi di dalam galur yang sama. Syarat seleksi adalah adanya keragaman fenotipik pada lingkungan yang relatif sama, dan menggambarkan adanya keragaman genotipik. Seleksi terhadap sifat-sifat kuantitatif dapat dilakukan apabila koefisien keragamannya di atas 20% (PRASETYO, 2000).

Itik Alabio memiliki ciri fenotipik berbeda dan performa beragam dibanding itik lokal lain di Indonesia (SUWINDRA, 1998;SUPARYANTO, 2005;SURYANA, 2011). Hal ini ditunjukkan kenyataan di lapangan, bahwa itik Alabio di beberapa daerah di Kalimantan Selatan memiliki keragaman yang bervariasi, baik sifat-sifat kualitatif maupun kuantitatif (SURYANA et al., 2010;SURYANA, 2011). Menurut SUPARYANTO (2003) terjadinya variasi fenotipik pada itik, salah satunya disebabkan karena adanya intensitas silang luar secara tidak terstruktur, meskipun salah satu sumber tetuanya masih satu keluarga. Selain itu, salah satu cara untuk mengetahui penentu karakteristik itik dapat dilakukan dengan pengukuran ukuran-ukuran bagian tubuh (morfometrik) dan identifikasi, baik sifat – sifat kualitatif maupun kuantitatif (MAHANTA et al. 1999). Penelitian tentang karakterisasi morfologi pada itik Alabio di tingkat lapang belum pernah dilakukan, sehingga informasi tentang konformasi tubuhnya belum tersedia dengan baik. MUZANI et al. (2005) menyatakan bahwa penelitian mengenai genetik untuk mengetahui ukuran-ukuran tubuh unggas dapat dilakukan dengan cara mengukur bagian-bagian tulang, sementara ISHII et al. (1996) berpendapat bahwa ukuran dan bentuk tubuh dapat digunakan untuk menentukan standar pertumbuhan dan menilai ternak (judging). Dikemukakan MULYONO dan PANGESTU (1996) bahwa keragaman fisik unggas dapat dijelaskan berdasarkan perbedaan-perbedaan ukuran dan bentuk tubuh. MANSJOER et al. (1989) mengemukakan bahwa ukuran-ukuran yang dapat digunakan sebagai penentu karakteristik unggas, antara lain bobot badan, panjang bagian-bagian kaki, panjang sayap, panjang paruh dan tinggi jengger. Konformasi tubuh akan lebih akurat jika dilakukan pengukuran terhadap tulang masing-masing individu unggas, sebagai petunjuk hubungan antara tulang yang satu dengan lainnya (BRAHMANTIYO et al., 2003. NISHIDA et al. (1982) menyatatan bahwa panjang sayap, panjang tibia dan panjang femur diketahui sangat mempengaruhi konformasi ukuran tubuh ayam hutan. Ukuran-ukuran tubuh unggas salah satunya dapat dianalisis dengan menggunakan principal component factor analysis (OGAH et al., 2009), atau menurut GASPERSZ (1992) diterjemahkan sebagai analisis komponen utama (AKU).

(3)

Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 553 Menurut EVERITT dan DUNN (1998), AKU dapat digunakan untuk penelitian keragaman ukuran-ukuran tubuh hewan, yang terdiri atas komponen utama pertama sebagai penanda ukuran, dan komponen utama kedua sebagai penanda bentuk (GASPERSZ, 1992).

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi ukuran-ukuran tubuh yang menjadi faktor peubah pembeda fenotipik itik Alabio yang dipelihara di sentra pengembangan. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu informasi dasar bagi kebijakan pemerintah daerah Kalimantan Selatan, dalam rangka pengembangan dan konservasi itik Alabio sebagai sumber plasma nutfah ternak unggas secara lestari dan berkelanjutan.

Metodologi

Kegiatan penelitian dilaksanakan di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Utara, Propinsi Kalimantan Selatan. Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah itik Alabio berjumlah 600 ekor milik peternak, diambil secara acak, terdiri atas 75 ekor jantan dan 525 ekor betina dengan umur berkisar antara 4.5-5 bulan atau sudah mencapai masak kelamin. Alat-alat yang digunakan adalah alat ukur berupa timbangan, jangka sorong yang berskala 0,05 mm, pita ukur dan alat tulis.

Pengamatan sifat-sifat kuantitatif pada itik Alabio dilakukan secara langsung pada setiap individu ternak. Data yang dikumpulkan meliputi: bobot badan (g), panjang paruh atas (cm), panjang paruh bawah (cm), lebar paruh (cm), panjang kepala (cm), tinggi kepala (cm), panjang leher (cm), panjang punggung (cm), panjang sayap (cm), panjang sternum (cm), panjang paha (cm), panjang ekor (cm) dan panjang tubuh total (cm). Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis menggunakan analisis komponen utama (AKU), untuk menjelaskan perbedaan antara bentuk dan ukuran tubuh itik Alabio yang diamati.

Pengolahan data berdasarkan pengelompokkan asal itik yaitu dari Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Utara, dengan bantuan perangkat statistik komputer minitab versi 13.0. Rumus AKU yang digunakan menurut GASPERSZ (1992) dan OGAH et al. (2009) sebagai berikut:

Yj = a1j X1 + a2jX2 + .... a13jX13

Keterangan:

Yj = Komponen utama ke-j (1=ukuran, dan 2=bentuk tubuh)

X1,2,3...X13 = Peubah ke 1,2,3 ... 13 (1=bobot badan, 2=panjang paruh atas, 3=panjang paruh bawah 4=lebar paruh, 5= tinggi kepala, 6=panjang kepala, 7=panjang leher, 8= panjang punggung, 9=panjang sternum, 10=panjang paha, 11=panjang sayap, 12=panjang ekor dan 13=panjang tubuh total)

a1j,a2j... a13j = Koefisien pembobot utama dari komponen utama ke-j atau vektor Eigen ke-ke-j (ke-j=1,2)

Hubungan korelasi antara komponen utama dan peubah yang diamati dapat dilihat dengan besarnya koefisien korelasi yang diperoleh, menurut GASPERSZ (1992), sebagai berikut:

(4)

Suryana et al. : Karakterisasi morfologi itik Alabio | 554 rZiYj = riiaij

ij

Si Keterangan:

rZiYj = Koefisien korelasi peubah ke-i dan komponen utama ke-j aij = Vektor Eigen peubah ke-i dengan komponen utama ke-j λij = Nilai Eigen (akar penciri) komponen utama ke-j (1,2) Si = Simpangan baku peubah ke-i

Hasil dan Pembahasan

Hasil pengukuran terhadap ukuran-ukuran tubuh itik Alabio yang berasal dari Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan, disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Rataan ukuran - ukuran tubuh itik Alabio

Peubah Asal itik

HSS HST HSU

Bobot badan (kg) 1,56 ± 0,26 1,59 ± 0,23 1,72 ± 0,20

Panjang paruh atas (cm) 5,69± 0,45 5,71± 0,46 5,43± 0,58 Panjang paruh bawah (cm) 5,54 ± 0,75 5,31± 0,33 5,15 ± 0,47

Lebar paruh (cm) 2,24 ± 0,21 2,19 ± 0,17 2,11± 0,10 Tinggi kepala (cm) 4,20 ± 0,55 4,02 ± 0,55 3,73 ± 0,31 Panjang kepala (cm) 5,99 ± 0,64 6,04 ± 0,70 5,69 ± 0,49 Panjang leher (cm) 22,33 ± 3,54 21,82 ± 3,59 20,54 ± 1,21 Panjang punggung (cm) 22,44 ± 2,14 21,66 ± 2,00 22,17 ± 2,09 Panjang sternum (cm) 11,83 ± 1,03 11,81 ± 1,22 11,95 ± 0,80 Panjang paha (cm) 11,34 ± 0,88 11,31 ± 0,13 11,46 ± 0,78 Panjang sayap (cm) 38,37 ± 3,93 39,33 ± 3,03 39,69 ± 1,85 Panjang ekor (cm) 12,73 ± 1,12 13,20 ± 1,07 12,82 ± 1,12 Panjang tubuh total (cm) 59,22 ± 7,46 60,88 ± 5,83 58,74 ± 3,16

Keterangan: HSS=Hulu Sungai Selatan;HST=Hulu Sungai Tengah;HSU=Hulu Sungai Utara

Itik Alabio yang berasal dari HSU memiliki bobot badan lebih besar dibandingkan dari HSS dan HST (Tabel 1). Bobot badan itik Alabio yang berasal dari HSU (1,72±0,20 kg), HST (1,59±0,23 kg) dan HSS sebesar 1,56±0,26 kg. Sebaliknya ukuran tubuh itik Alabio dari HSS memiliki ukuran tubuh lebih tinggi dibanding HST dan HSU, yaitu lebar paruh, tinggi kepala dan panjang leher berturut-turut sebesar 2,24 ±0,21 cm, 4,20±0,55 cm dan 22,33±3,45 cm. Itik Alabio dari HST yang memiliki ukuran tubuh lebih besar adalah panjang paruh atas, panjang kepala, panjang ekor dan panjang tubuh total, masing-masing sebesar 5,71±0,46 cm, 6,04±0,70 cm, 13,20±1,07 cm dan 60,88±5,83 cm. Ukuran tubuh

(5)

Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 555 terbesar pada itik Alabio dari HSU adalah panjang sternum (11,95±0,80 cm), panjang paha (11,46±0,78cm) dan panjang sayap sebesar 39,86±1,85cm.

Perbedaan tersebut diduga erat hubungannya dengan faktor lingkungan, khususnya pakan. Itik Alabio dari HSU mendapat pakan lebih lengkap dengan jenisnya beragam, antara lain terdiri atas sagu, keong rawa (kalambuai), ikan kecil, hijauan atau ganggang, ikan kering yang merupakan sumber protein tinggi dan pakan komersial, sementara pakan yang diberikan pada itik Alabio dari HSS dan HST berupa sagu, dedak, ikan kering dan sedikit pakan komersial. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat SOPIYANA et al. (2006), bahwa perbedaan bobot badan dan ukuran tubuh antara itik Tegal, Magelang dan Damiaking adalah dipengaruhi pemberian pakan yang berbeda. OGAH et al. (2009) menyatakan bahwa bobot badan yang beragam pada muscovy duck disebabkan oleh manajemen pemeliharan yang berbeda, di antaranya pemberian pakan. HETZEL (1985) menyatakan bahwa adanya kedekatan antara genetik dengan kondisi lingkungan, salah satunya adalah kandungan nutrien pakan yang diberikan berpengaruh terhadap perbedaan bobot badan yang diperoleh.

Hasil analisis komponen utama (AKU) berdasarkan persamaan ukuran dan bentuk tubuh pada itik Alabio yang berasal dari Kabupaten HSS, HST dan HSU, ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Persamaan ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio

Kab. Komponen Persamaan Keragaman

total (%) Nilai Eigen HSS Ukuran tubuh 0,332X1+0,084X2+0,337X3+0,246X4+0,198 X5+0,468X6+0,401X7+0,12X8+0,204X9+ 0,117X10 +0,150X11+0,235X12+ 0,260X13 23,2 3,02 Bentuk tubuh 0,327X1+0,366X2+0,478X3+0,305X4+0,118 X5+0,177X6+0,014X7+0,316X8+0,292X9+0, 224X10+0,198X11+0,236X12+0,227X13 12.7 12,70 1.65 1,65 HST Ukuran tubuh 0,272X1+0,351X2+0,011X3+ 0,062X4+0,402X5+0,399X6+0,300X7+0,305 X8+0,062X9+0,023X10+0,237X11+0,320X12+ 0,331X13 36,3 4,72 Bentuk tubuh 0,172X1+0,351X2+0,011X3+0,353X4+0,062 X5+0,048X6+0,279X7+0,123X8+0,549X9+0, 188X10 +0,057X11 +0,076X12 +0,093X13 9,8 1,28 HSU Ukuran tubuh 0,129X1+0,188X2+0,453X3+0,164X4+0,270 X5+0,280X6+0,317X7+0,481X8+0,279X9+0, 308X10+ 0,153X11 +0,138X12 +0,085X13 19,7 3,06 Bentuk tubuh 0,369X1+0,489X2+0,124X3+0,111X4+0,080 X5+0,148X7+0,032X8+0,250X9+0,051X10+0 ,281X11+ 0,528X12+0,030 X13 12,7 1,65

Keterangan: X1= bobot badan, X2= panjang paruh atas, X3=panjang paruh bawah, X4= lebar

paruh, X5= tinggi kepala, X6= panjang kepala, X7= panjang leher, X8= panjang

punggung, X9= panjang sternum, X10= panjang paha, X11= panjang sayap, X12=

panjang tubuh total dan X13= panjang ekor.

Berdasarkan hasil AKU diperoleh komponen utama pertama yang mewakili persamaan ukuran dan komponen utama kedua mewakili persamaan bentuk itik Alabio dari HSS dengan nilai terbesar untuk ukuran tubuh adalah panjang kepala (X6=0,486) dan

(6)

Suryana et al. : Karakterisasi morfologi itik Alabio | 556 panjang leher (X7=0,401), dengan keragaman total sebesar 23,2% dan nilai eigen sebesar 3,02 (Tabel 2). Nilai persamaan tertinggi yang diperoleh pada bentuk tubuh adalah panjang paruh bawah (X3=0,478), panjang paruh atas (X2=0,366) dan bobot badan (X1=0,327). Ukuran tubuh itik Alabio dari HST yang memilki nilai persamaan tertinggi berturut-turut adalah tinggi kepala (X5=0,402), panjang kepala (X6=0,399) dan panjang leher (X7=0,300), dengan keragaman total 36,3% dan nilai eigen sebesar 4,72, sementara bentuk tubuh yang memiliki nilai persamaan tertinggi adalah panjang sternum (X9=0,549) dan lebar paruh (X4=0,353), dengan keragaman total dan nilai Eigen masing- masing sebesar 9,8% dan 1,28. Ukuran tubuh itik Alabio dari HSU yang mempunyai nilai persamaan terbesar adalah panjang punggung (X8=0,481), panjang paruh bawah (X3=0,453) dan panjang paha (X10=0,188), dengan keragaman total sebesar 19,7% dan nilai eigen 3,06. Bentuk tubuh yang memiliki nilai persamaan terbesar adalah panjang tubuh total (X12=0,528) dan panjang paruh atas (X2=0,489), dengan keragaman total sebesar 12,7% dan nilai eigen 1,65. Perbedaan tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh nilai persamaan antara ukuran dan bentuk tubuh. Semakin tinggi atau besar nilai persamaan yang diperoleh pada masing-masing peubah, dapat dijadikan sebagai faktor pembeda itik Alabio. Hal ini sesuai dengan pernyataan WULANDARI (2005) bahwa nilai persamaan yang lebih tinggi pada bentuk dan ukuran tubuh, dapat dijadikan pembeda pada itik Cihateup yang berasal dari Garut dan Tasikmalaya, dibanding galur itik lokal lainnya.

Nilai korelasi antara ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio yang berasal dari Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Utara, disajikan pada Tabel 3 dan 4.

Tabel 3. Korelasi ukuran tubuh itik Alabio

Ukuran tubuh Nilai korelasi

HSS HST HSU

Bobot badan (kg) 0,472 0,462 0,043

Panjang paruh atas (cm) 0,457 0,554 -0,006

Panjang paruh bawah (cm) -0,153 -0,044 0,511

Lebar paruh (cm) 0,175 -0,076 -0,186 Tinggi kepala (cm) 0,266 0,690 0,301 Panjang kepala (cm) 0,464 0,755 0,409 Panjang leher (cm) 0,676 0,754 0,515 Panjang punggung (cm) 0,291 0,752 0,841 Panjang sternum (cm) -0,036 -0,101 -0,450 Panjang paha (cm) 0,213 -0,001 0,415 Panjang sayap (cm) 0,067 -0,192 0,421 Panjang ekor (cm) 0,758 0,863 0,229

Panjang tubuh total (cm) 0,389 0,503 0,177

Keterangan: HSS=Hulu Sungai Selatan; HST=Hulu Sungai Tengah;HSU=Hulu Sungai Utara

Nilai korelasi terbesar ukuran itik Alabio dari HSS adalah panjang ekor (0,758), panjang leher (0,676), bobot badan (0,472), panjang kepala (0,464) dan panjang tubuh total sebesar 0,389 (Tabel 3). Nilai korelasi terbesar yang memiliki nilai positif pada itik Alabio berasal dari HST yaitu panjang ekor (0,863), panjang kepala (0,755), panjang leher (0,754), panjang punggung (0,752), dan tinggi kepala (0,690). Itik Alabio dari HSU yang memiliki

(7)

Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 557 nilai korelasi terbesar dan positif adalah panjang punggung (0,814), panjang leher (0,515), panjang paruh bawah (0,511) dan panjang sayap (0,421). Hal tersebut mengindikasikan bahwa semakin besar nilai korelasi peubah pembeda, maka skor bentuk tubuh yang diperoleh semakin besar atau sebaliknya.

Tabel 4. Korelasi bentuk tubuh itik Alabio

Ukuran tubuh Nilai korelasi

HSS HST HSU

Bobot badan (kg) 0,406 0,437 0,274

Panjang paruh atas (cm) 0,373 0,542 0,438

Panjang paruh bawah (cm) 0,102 0,114 -0,053

Lebar paruh (cm) 0,086 -0,018 -0,036 Tinggi kepala (cm) 0,162 0,575 -0,021 Panjang kepala (cm) 0,217 0,643 0,253 Panjang leher (cm) 0,330 0,795 0,182 Panjang punggung (cm) 0,424 0,600 0,083 Panjang sternum (cm) 0,158 0,277 0,219 Panjang paha (cm) 0,288 0,122 0,051 Panjang sayap (cm) 0,263 -0,202 0,436 Panjang ekor (cm) 0,306 0,428 -0,050

Panjang tubuh total (cm) 0,816 0,668 0,920

Keterangan: HSS=Hulu Sungai Selatan; HST=Hulu Sungai Tengah;HSU=Hulu Sungai Utara

Tabel 4 dapat dikemukakan bahwa nilai korelasi terbesar pada bentuk tubuh itik Alabio yang berasal dari HSS adalah panjang tubuh total (0,816), panjang punggung (0,424) dan bobot badan (0,406). Itik Alabio dari HST panjang leher memiliki nilai terbesar (0,795), disusul panjang tubuh total (0,668), panjang kepala (0,643) dan panjang punggung sebasar 0,600, sementara dari HSU bentuk tubuh yang memiliki nilai terbesar adalah bentuk tubuh total sebesar 0,920, panjang paruh atas (0,438) dan panjag sayap (0,436). Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat MUZANI et al. (2005), bahwa beberapa ukuran dan bentuk tubuh seperti panjang leher, panjang jari ketiga, panjang tibia dan panjang femur memberi pengaruh kuat terhadap peubah pembeda jenis itik, yakni antara itik Cihateup, itik Cirebon dan itik Mojosari. BRAHMANTIYO et al. (2003) menyatakan bahwa nilai persamaaan pada ukuran-ukuran tubuh itik yang memiliki angka terbesar antara lain panjang femur, panjang tibia dan panjang jari ketiga, sehingga ketiga variabel tersebut dapat dijadikan sebagai faktor peubah pembeda pada galur itik Alabio, Khaki Campbell, Mojosari dan itik Pegagan. OGAH et al. (2009a) melaporkan hasil pengukuran pada muscovy duck betina diperoleh empat variabel pada komponen utama I yaitu panjang tubuh, lebar paruh, bobot badan dan panjang sayap dengan nilai berkisar 0,716-0,909 dan nilai keragaman sebesar 36,76%, sementara pada komponen utama II hanya membandingkan dua macam pengukuran yaitu lebar tubuh dan panjang sayap dengan nilai keragaman sebesar 16,27%.

(8)

Suryana et al. : Karakterisasi morfologi itik Alabio | 558 Gambar 1. Grafik komponen utama I (ukuran) dan II ( bentuk) itik Alabio

(9)

Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 559 Gambar 1 menyajikan secara kerumunan pada komponen utama I (ukuran) dan komponen utama II (bentuk), pada kelompok itik Alabio yang berasal dari Kabupaten HSS, HST dan HSU. Ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio yang berasal dari HSS, HST dan HSU tidak menunjukkan perbedaan nyata, bahkan relatif sama. Namun sebaliknya, bentuk dan ukuran tubuh itik Alabio yang berasal dari HSU lebih kecil dibanding dari HSS, sementara bentuk tubuh itik dari HST relatif kecil, tetapi ukuran tubuhnya lebih panjang (Gambar 2). Perbedaan di atas diduga bahwa saat pengambilan sampel yang dilakukan secara acak pada masing-masing sub populasi jumlahnya sedikit, sehingga kemungkinan terjadi perbedaan yang sangat besar. Walaupun itik Alabio dari HSU memiliki bobot badan yang lebih tinggi, namun dari segi bentuk badannya relatif langsing.

Kesimpulan

Itik Alabio dari ketiga lokasi (HSS, HST dan HSU) memiliki faktor peubah pembeda fenotipik yang sama pada ukuran dan bentuk tubuh . Secara umum ukuran tubuh itik Alabio dari HSS lebih besar dibanding HST dan HSU. Peubah pembeda fenotipik untuk bentuk tubuh itik Alabio dari HSS adalah panjang tubuh total, panjang punggung dan bobot badan, HST (panjang tubuh total, panjang punggung dan panjang leher), dan HSU adalah panjang tubuh total, panjang paruh bawah dan panjang paha. Berdasarkan hasil analisis korelasi dari ketiga lokasi sentra pengembangan itik Alabio (HSS, HST dan HSU), bentuk tubuh dominan yaitu panjang tubuh total, sementara korelasi antara ukuran tubuh dominan yaitu panjang leher. Kedua parameter tersebut dapat dijadikan sebagai faktor pembeda fenotipik pada itik Alabio yang di pelihara di sentra pengembangan di Kalimantan Selatan.

Daftar Pustaka

Brahmantiyo, B., L.H. Prasetyo, A.R. Setioko dan R.H. Mulyono. 2003. Pendugaan jarak genetik dan faktor peubah pembeda galur itik (Alabio, Bali, Khaki Campbell, Mojosari dan Pegagan) melalui analisis morfometrik. JITV 8 (1): 1-7.

Direktorat Jenderal Peternakan. 2011. Buku Statistik Peternakan Indonesia. Direktorat Jenderal Peternakan. Kementerian Pertanian R.I. Jakarta.

Diwyanto, K. dan I. Inounu. 2000. Kemajuan dan hasil-hasil pemuliaan ternak di Indonesia. Prosiding Simposium Nasional Pengelolaan Pemuliaan dan Plasma Nutfah.”Pemuliaan dan Pemanfaatan Plasma Nutfah Menuju Ketahanan Ekonomi”. Buku I. Bogor, 22-23 Agustus 2000. Kerjasama antara Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI), Badan Litbang Pertanian dan Badan Nasional Plasma Nutfah. Bogor. hlm. 105-128.

Everitt, B.S., and G. Dunn. 1998. Applied multivariate data analysis. Helsted Press, an Imprint of Jhon Wiley and Sons Inc., New York.

Gaspersz, V. 1992. Teknik Analisis dalam Penelitian. Jilid 2. PT. Tarsito Bandung. Hardjosubroto, W. 2001. Genetika Hewan. Universitas Gadjah Mada Jogjakarta.

(10)

Suryana et al. : Karakterisasi morfologi itik Alabio | 560 Hardjosworo, P.S. 1995. Peluang pemanfaatan potensi genetik dan prospek pengembangan

unggas lokal. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan. Balai Penelitian Ternak. Puslitbang Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Hardjosworo, P.S., A.R.Setioko, P.P. Ketaren, L.H. Prasetyo, A.P. Sinurat dan Rukmiasih. 2001. Pengembangan teknologi peternakan unggas air di Indonesia. Prosiding Lokakarya Unggas Air Sebagai Peluang Usaha Baru. Bogor, 6-7 Agustus 2001. Kerjasama antara Fakultas Peternakan IPB Bogor, Balai Penelitian Ternak dan Yayasan Kehati. Bogor. hlm. 22-41.

Hetzel, D.J.S. 1985. Duck breeding strategies the Indonesian example. In: Duck production science and world practice. Farrel D.J and Stapleton P.(ed). University of New England. Pp. 1-5.

Ishii T, T.Oda, K. Fukuda and Fukaya. 1996. Three dimension measuring apparatus for body form farm animal. Proc. The AAAP. Animal Science Congress. Vol. 2. Japanese Society of Zootechnical Science. Tokyo. Pp. 544-545.

Mahanta, J.D., A. Ramakrishnan and A. Jalaludeen. 1999. Biometric characteristics of two indigenous types of ducks of Kerala. Indian Vet.J. (76):1061-1094.

Mansjoer, I., S.S. Mansjoer and D. Sayuthi. 1989. Studi banding sifat-sifat biologis ayam kampung, ayam Pelung dan ayam Bangkok. Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor.

Mulyono, R.H. dan R.B. Pangestu. 1996. Analisis statistik ukuran-ukuran tubuh dan analisis genetik eksternal pada ayam Kampung, Pelung dan Kedu. Laporan Hasil Penelitian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Muzani, A., B. Brahmantiyo, C. Sumatri dan A.Tapyadi. 2005. Pendugaan jarak genetik itik Cihateup, Cirebon dan Mojosari. Med. Petern 28 (3):109-116.

Nawhan, A. 1991. Usaha peternakan itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) di Kalimantan Selatan. Orasi Ilmiah disampaikan pada Lustrum II dan Wisuda Sarjana Negara VI Universitas Islam Kalimantan (UNISKA) Muhammad Arsyad Al-Banjary. Banjarmasin, 26 Oktober 1991. 18 hlm.

Nishida, T, K.Nozawa, Y.Hayashi, T Hashiguchi and S.S. Mansjoer. 1982. Body measurment and analysis of external genetic. Characters of Indonesian native fowl. In. The origin and philogeny of Indonesian native livestock 3:85-89. Noor, R.R. 2008. Genetika Ternak. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.

Ogah, D.M., A.A. Alaga and M.O. Momoh. 2009. Use of factor analysis score in multiple ragression model for estimation of body weight from some body measurment in muscovy duck. Intl.J.Poult.Sci. 8(11):1107-1111.

Ogah, D.M., A.A. Alaga and M.O. Momoh. 2009a. Principal component factor analysis of the morphostructural traits of muscovy duck. Intl.J.Poult.Sci. 8(11):1100-1103. Prasetyo, S. 2000. Kemungkinan perbaikan mutu genetik ayam lokal Lombok melalui

program seleksi. Prosiding Simposium Nasional Pengelolaan Pemuliaan dan Plasma Nutfah. ”Pemuliaan dan Pemanfaatan Plasma Nutfah Menuju Ketahanan Ekonomi”. Buku II. Bogor, 22-23 Agustus 2000. Kerjasama antara Perhimpunan

(11)

Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 561 Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI), Badan Litbang Pertanian dan Badan Nasional Plasma Nutfah. Bogor. hlm. 630-637.

Rohaeni, E.S dan Tarmudji. 1994. Potensi dan kendala dalam pengembangan peternakan itik Alabio di Kalimantan Selatan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 16 (1): 4-6.

Setioko, A.R., S. Sopiyana dan T. Sunandar. 2005. Identifikasi sifat-sifat kualitatif dan kuantitatif serta ukuran tubuh pada itik Tegal, itik Cirebon dan itik Turi. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan Bogor. hlm. 786-79.

Solihat, S., I. Suswoyo dan Ismoyowati. 2003. Kemampuan performan produksi telur dari berbagai itik lokal. Jurnal Peternakan Tropik 3 (1):27-32.

Sopiyana, S., A.R. Setioko dan M.E. Yusnandar. 2006. Identifikasi sifat-sifat kualitatif dan ukuran tubuh pada itik Tegal, itik Magelang dan itik Damiaking. Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi dalam Mendukung Usaha Ternak Unggas Berdaya Saing. Puslitbang Peternakan. Bogor. hlm. 123-130.

Suparyanto, A. 2003. Karakteristik itik Mojosari putih dan peluang pengembangannya sebagai itik pedaging komersial. Wartazoa 13 (4): 143-150.

Suparyanto, A. 2005. Peningkatan produktivitas daging itik mandalung melalui pembentukan galur induk. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Suryana. 2007. Prospek dan peluang pengembangan itik Alabio di Kalimantan Selatan. Jurnal Litbang Pertanian 26 (3):109-114.

Suryana, R.R. Noor, P.S. Hardjosworo dan L.H. Prasetyo. 2010. Karakteristik fenotipe itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) di Kalimantan Selatan. Bul. Plasma Nutfah 17 (1) : 61- 67.

Suryana, 2011. Karakterisasi fenotipik dan genetik itik Alabio dan pemanfaatannya di Kalimantan Selatan secara berkelanjutan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Suryana, 2013. Pemanfataan keragaman genetik untuk meningkatkan produktivitas itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo). Jurnal Litbang Pertanian (in Press)

Susanti, T., dan L.H. Prasetyo. 2009. Pendugaan parameter genetik sifat-sifat produksi telur itik Alabio. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner ”Inovasi Teknologi Mendukung Pengembangan Agribisnis Peternakan Ramah Lingkungan”. Bogor, 11-12 Nopember 2008. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 588-610.

Suwindra, I. N. 1998. Uji tingkat protein pakan terhadap kinerja itik umur 16-40 minggu yang dipelihara intensif pada kandang tanpa dan dengan kolam. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Wulandari, W.A. 2005. Kajian karakteristik biologis itik Cihateup. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Gambar

Gambar 2.  Grafik ukuran dan bentuk  itik Alabio

Referensi

Dokumen terkait

Lama kerja sebagai operator ojek selain indikator waktu keberadaan ojek di suatu lokasi juga merupakan data yang akan digunakan untuk memperhitungkan rata-rata jangka waktu

Keterbatasan lain yang muncul dalam sistem informasi keuangan klasik adalah memungkinkan user untuk melakukan manipulasi dan kecurangan pada saat melakukan pengolahan laporan

Penanganan pasca panen merupakan segala kegiatan yang dilakukan untuk mempertahankan kualitas produk baik sayur maupun buah sebelum sampai pada konsumen. Penanganan pasca

Yang membedakan keduanya adalah dari macam macam kasa ada yang steril akan tetapi  perban belum kami temui sampai saat ini perban yang steril.pada pemakaiannya

Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka dalam penelitian ini dilakukan pengkajian kondisi Pemerintah Kabupaten Bengkalis yang terkait dengan komponen-komponen tata kelola

Namun yang paling penting apakah kita mengadopsi model sentralisme orde baru, atau federasi ataupun asymmetric decentralization adalah memastikan bahwa sistem

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa nilai koefisien korelasi variabel keterikatan kerja memediasi pengaruh challenge stressors terhadap komitmen afektif 0,338

Hal ini sejalan dan sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Nurwani (2016) yang menyatakan bahwa secara empiris variabel suku bunga memiliki pengaruh negatif