1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar BelakangTanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu tanaman perkebunan yang penting di Indonesia .Tanaman ini menghasilkan minyak nabati yang penting bagi keperluan industry pangan maupun untuk bahan bakar (biodiesel). Kelapa sawit menghasilkan minyak tertinggi persatuan luasnya dibandingkan dengan jenis tanaman lainnya dengan potensi minyak sekitar 6 – 7 ton/ha/tahun (Setyamidjaja,2006).
Menurut ststistik perkebunan Indonesia Komoditas Kelapa Sawit 2015 produksi kelpa sawit sebesar 29.344.479 ton angka sementara pada tahun 2014 dan pada tahun 2015 sebesar 30.948.931 ton angka estimasi. Industri ini untuk pengentasan kemiskinan melalui budaya pertanian dan pemrosesan selanjutnya. Berdasarkan angka sementara 2011 dari Direktorat Jendral Perkebunan, luas areal Kelapa Sawit di Indonesia cenderung meningkat selama tahun 2000 – 2011 Perkebunan Besar Swasta (PBS) mendominasi luas areal kelapa sawit diikuti oleh Perkebunan Rakyat (PR) dan Perkebunan Besar Negara (PBN). Tahun 2011 luas areal kelapa sawit Indonesia mencapai 8,91 juta ha, dengan rincian luas areal PBS sebesar 4,65 juta ha (52,22%), luas areal PR sebesar 3,62 juta ha (40,64%), dan luas areal PBN sebesar 0,64 juta ha (7,15%). (PUSDATIN,2013).
Pembibitan merupakan langkah awal yang sangat menentukan bagi keberhasilan pertanaman. Hal ini juga berlaku dalam budidaya tanaman kelapa sawit, dimana pertanaman kelapa sawit yang produktivitasnya tinggi selalu berasal dari bibit yang baik. Pembibitan bertujuan untuk menyediakan bibit yang baik dan sehat dalam jumlah yang cukup (Darmosarkoro, dkk, 2008).
Keberhasilan dari sistem pertanian ramah lingkungan dan berkelanjutan tidak terlepas dari ketersediaan air bagi tanaman. Sebagai komponen penyusun
2
terbesar dari jaringan tanaman, air sangat berpengaruh terhadap proses metabolisme dalam sel tanaman. Pemenuhan kebutuhan tanaman terhadap unsur hara sebagian besar diperoleh dari air. Selain itu air juga berperan penting untuk mempertahankan kelembaban dan suhu yang optimum bagi tanaman. Perkembangan dunia pengetahuan yang semakin pesat dan kesadaran masyarakat akan pentingnya makanan sehat menghendaki produk-produk pertanian yang bebas dari residu bahan kimia berbahaya. Dinamika ini mendorong upaya-upaya untuk menghasilkan inovasi-inovasi dalam teknik budidaya yang berorientasi pada kualitas hasil tanpa mengesampingkan keselarasan lingkungan.Teknik ini sering dikenal dengan Ekofarming atau sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan (Zulkarnain. 2000).
Biochar merupakan arang yang diberikan ke sistem tanah dan tanaman sebagai bahan pembenah tanah. Proses pembuatan biochar hampir sama dengan arang yang umumnya digunakan sebagai bahan bakar. Biochar dihasilkan dari proses pirolisis atau pembakaran bahan organik dalam kondisi oksigen yang terbatas. Berbeda dengan bahan organik, biochar tersusun dari cincin karbon aromatis sehingga lebih stabil dan tahan lama di dalam tanah. (Maguire dan Aglevor, 2010).
Kualitas biochar ditentukan oleh proses pembuatan dan bahan bakunya. Biochar dapat diproduksi dari berbagai bahan yang mengandung ligniselulosa, seperti kayu, sisa tanaman (jerami padi, sekam padi, tandan kosong kelapa sawit dan limbah sagu) dan pupuk kandang (Maguire dan Aglevor, 2010).
Bakteri pelaruf fosfat, yaitu bakteri yang mampu meningkatkan efisiensi pemupukan P untuk mengatasi rendahnya P tersedia dalam tanah dengan memanfaatkan kelompok mikroorganisme pelarut P sebagai pupuk hayati sehingga diserap oleh tanaman.
3
Mikroba pelarut fosfat dan bahan organik mampu menghasilkan asam organik yang berperan dalam meningkatkan ketersediaan posfor (P). Aktivitas pelarut posfor ditentukan oleh kemampuan mikroba untuk melepaskan metabolit seperti asam organik, yang melalui gugus hidroksil dan karboksilnya mengkelat kation yang terikat pada fosfat, yang terakhir diubah menjadi larut.(Sembiring dkk, 2017).
1.2. Urgensi Penelitian
Penelitian ini di laksanakan dengan harapan mampu mencari jalan keluar dalam mengatasi penggunaan tanah ultisol yang miskin unsur hara dengan melakukan penambahan Biochar dan Bakteri pelarut fosfat (Burkholderia cepacia).Untuk menaikan serapan hara P dan sebagai antibiotik bagi perakaran tanaman agar tidak teracuni oleh tingginya sifat asam dalam tanah ultisol.
1.3. Tujuan
1. Mengetahui pengaruh Biochar terhadap pertumbuhan vegetatif dan serapan hara P pada pembibitan kelapa sawit dengan media tanah ultisol. 2. Mengetahui pengaruh Bakteri pelarut fosfat (Burkholderia cepacia)
terhadap pertumbuhan vegetatif dan serapan hara P pada pembibitan kelapa sawit dengan media tanah ultisol.
3. Mengetahui pengaruh antara Biochar dan Bakteri pelarut fosfat
(Burkholderia cepacia) terhadap pertumbuhan vegetative dan serapan
hara P pada pembibitan kelapa sawit dengan media tanah ultisol.
1.4. Target Temuan
Penelitian ini di harapkan mampu menemukan perlakuan yang terbaik dalam pemberian Biochar dan Bakteri pelarut fosfat (Burkholderia cepacia) dapat memberikan hasil yang berbeda pada fase pertumbuhan vegetatif dan serapan hara P bibit kelapa sawit serta menemukan apakah kombinasi pemberian Biochar
4
dan Beberapa bakteri pelarut fosfat mampu berpengaruh secara nyata dalam pertumbuhan bibit kelapa sawit dan serapan hara P.
1.5. Kontribusi
Hasil penelitin ini di harapkan bermanfaat sebagai sumber informasi dalam pembibitan kelapa sawit dengan menggunakan Biochar dan Bakteri pelarut fosfat
(Burkholderia cepacia), maupun kombinasi dari keduanya terhadap pertumbuhan
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kelapa Sawit2.1.1. Klasifikasi Kelapa Sawit
Menurut Adi, P. 2013 klasifikasi kelapa sawit adalah sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae Klas : Monocotyledonae Ordo : Palmales
Famili : Palmae Sub Famili : Cocoideae Genus : Elaeis
Spesies : 1. Elaeis guineensis Jacq.
2. Elaeis oleifera Cortes atau Elaeis melanococca
Menurut bentuk / irisan melintang buahnya, kelapa sawit dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu Dura, Pisifera dan Tenera.
Dura : Endocarp (cangkang / tempurung) tebal antara 2 – 8 mm; mesocarp (sabut / daging buah tipis yaitu antara 20 – 65 %.
Pisifera : Tidak mempunyai endocarp, dengan endosperm (inti / kernel) kecil Tenera : Cangkang tipis (0,5 – 4 mm); mesocarp tebal (60 – 69 %),
merupakan hasil persilangan antara Dura (sebagai pohon ibu) dan Pisifera (sebagai pohon bapak).
Dura dan Pisifera adalah homozygote, tetapi Teneraadalah heterozygote.Banyak pohon Pisifera yang steril tidak menghasilkan buah, sehingga Pisifera merupakan modal yang sangat penting dalam pembiakan kelapa sawit hibrida komersial. (Wahyuni, 2007).
6 2.1.2. Botani dan Morfologi
Adapun gambaran tentang morfologi dan anatomi fisik kelapa sawit antara lain : Akar : Akar serabut tanaman kelapa sawit mengarah kebawah dan kesamping.
Selain itu juga terdapat beberapa akar napas yang tumbuh mengarah kesamping atas untuk mendapatkan tambahan aerasi. Kelapa sawit merupakan tumbuhan monokotil yang tidak memilki akar tunggang. Radikula (bakal akar) pada bibit terus tumbuh memanjang kearah bawah selama 6 bulan terus-menerus dan panjang akarnya mencapai 15 cm. Sedangkan akar primer kelapa sawit terus berkembang bisa mencapai angka 8 meter dan 16 meter secara horizontal.
Batang : Tanaman kelapa sawit umumnya memilki batang yang tidak bercabang. Pada pertumbuhan awal setelah fase muda (seedling) terjadi pembentukan batang yang melebar tanpa terjadi pemanjangan internodia (ruas). Titik tumbuh batang kelapa sawit terletak di pucuk batang, terbenam di dalam tajuk daun, berbentuk seprti kubis.Di batang kelapa sawit terdapat pangkal pelepah-pelepah daun yang melekat kukuh dan sukar terlepas walaupu daun telah kering dan mati. Pada tanaman tua, pangkalpelepah yang masih tertinggal di batang akan terkelupas, sehingga batang kelapa sawit tampak berwarna hitam beruas.
Daun : Tanaman kelapa sawit memiliki daun (frond)di bagian pangkal pelepah. Daun terbentuk dua baris duri yang sangat tajam dan keras di kedua sisinya. Anak-anak daun (foliage leaflat) tersusun berbaris dua sampai ke ujung daun. Di tengah-tengah setiap anak daun terbentuk lidi sebagai tulang daun.Setiap bulan, biasanya akan tumbuh dua lembar daun. Pertumbuhan daun awal dan daun berikutnya akan membentuk sudut 135˚.
Bunga : Pada tanaman kelapa sawit susunan bunga terdiri dari karangan buga jantan (tepung sari) dan bunga betina (putik). Bunga jantan berbentuk lonjong memanjang sedangkan bunga betina agak bulat. Tanaman kelapa sawit mengadakan penyerbukan silang (cross pollinatio). Umumnya bunga jantan
7
dan bunga betina terdapat dalam dua tandan yang terpisah. Namuzzada kala bunga jantan dan bunga betina terdapat dalam satu tandan yang sama.
Buah : Buah kelapa sawit tersusun dari kulit buah yang licindan keras (epicrap), daging buah (mesocrap) dari susunan serabut (fibre) dan mengandung minyak, kulit biji (endocrap) atau cangkang/ tempurung yang berwarna hitam dan keras, daging biji (endosperm) yang berwarna putih dan mengandung minyak, serta lembaga (embryo). Lembaga (embryo) yang keluar dari kulit biji akan berkembang kedua arah.
Arah tegak lurus ke atas ( fototropy ), disebut dengan plumula yang selanjutnya akan menjadi batang dan daun.
Arah tegak lurus ke bawah ( geotrophy ), disebut dengan radikula yang selanjutnya akan menjadi akar.
2.2. Pembibitan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq)
Pembibitan kelapa sawit merupakan langkah permulaan yang sangat menentukan keberhasilan penanaman di lapangan, sedangkan bibit unggul merupakan modal besar dari perusahaan untuk mencapai produktivitas dan mutu minyak kelapa sawit yang tinggi.Untuk memperoleh bibit yang benarbenar baik, sehat, dan seragam, harus dilakukan sortasi yang ketat (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008).
2.2.1. Tahapan Pembibitan
Sistem pembibitan yang banyak dipakai sekarang adalah pembibitan satu tahap
(single stage nursery) atau dua tahap (double stage nursery).Pada sistem satu
tahap kecambah langsung ditanam di dalam kantong plastik besar. Sedangkan pada pembibitan dua tahap kecambah ditanam dan dipelihara dulu dalam kantong plastik kecil selama 3 bulan, yang disebut juga tahap pembibitan pendahuluan
8
Tahap terakhir ini disebut juga sebagai pembibitan utama (main nursery). (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008). Pembibitan Awal (Pre Nursery).Ciri utama pembibitan tahap awal adalah penggunaan polibag kecil, sehingga jumlah bibit per ha areal pembibitan menjadi banyak. Polibag yang dipakai berukuran 15 cm (diameter), tinggi 23 cm, dan tebal 0,07 mm, berlubang - lubang sebanyak lebih kurang 20 lubang di bagian bawah, setelah diisi tanah bagian bawahnya rata. Tiap polibag berisi sekitar 1,5 kg tanah, disusun di bedengan dengan lebar deretan berisikan 12 polibag, sedang panjang bedengan sekitar 10 m. Kantong plastik disiram 2 kali selama 2 hari agar tanah dalam kantongmenjadi agak padat dan mudah di gunakan untuk penanaman bibit kelapa sawit yang akan di budidayakan (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008).
Dalam waktu 3 – 4 bulan pertama dari pertumbuhan bibit diperlukan naungan. Naungan dibuat dengan memasang tiang-tiang pancang yang biasanya terbuat dari bilah bambu setinggi 2 m, kemudian di bagian atas dibuat kerangka atap yang lalu ditutup dengan daun kelapa atau pelepah kelapa sawit, sedemikian sehingga intensitas cahaya yang diterima sekitar 40 % dari kondisi normal (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008).
Pembibitan Utama (Main Nursery).Dalam rangka pelaksanaan pembibitan utama, bibit dari pemindahan tahap awal dipindah ke kantong plastik yang lebih besar pada umur sekitar 4 bulan. Ukuran kantong plastik besar adalah 40 cm (diameter), tingginya 50 cm, dan tebalnya 0,12 mm, setelah diisi tanah bagian bawahnya datar (agar mudah berdiri tegak) agar mudah di gunakan dan memiliki lubang-lubang (perforasi) (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008).
2.2.2. Lokasi Pembibitan
Pemilihan lokasi pembibitan merupakan salah satu hal penting untuk kemudahan pelaksanaan pembibitan dan keberhasilan perawatan bibit serta menekan biaya
9
transportasi pindah bibit ke lapangan. Lokasi pembibitan akan berkaitan dengan kemudahan penggunaan air, pengawasan, dan kemudahan untuk memperoleh tanah isian polibag (Guntoro, 2010).
Beberapa syarat penentuan lokasi pembibitan sebagai berikut : Tanah / arealnya rata / datar
Dekat dengan sumber air dan airnya tersedia sepanjang masa pembibitan. Dekat dengan areal yang akan ditanami. Hal ini berguna untuk
meminimumkan biaya angkutan bibit dan sekaligus menghindari kerusakan selama transportasi.
Drainasenya baik, areal tidak tergenang. Aman dari gangguan hama.
2.2.3. Penyiraman
Air merupakan kebutuhan yang sangat mutlak diperlukan bagi tanaman.Bibit disaram 2 kali dalam sehari yaitu pagi dan sore.Tetapi apabila terjadi hujan dan curah hujan mencapai lebih dari 8 mm maka penyiraman tidak dilakukan (Guntoro, 2010).
Pada pembibitan awal (pre nursery) kebutuhan tiap bibit adalah sekitar 0,11 liter, 0,2 liter, dan 0,3 liter / hari, berturut-turut untuk bibit umur 1 bulan, 2 bulan, dan 3 bulan. Pada pembibitan utama (main nursery) kebutuhan tersebut meningkat sesuai pertambahan umur bibit kelapa sawit menjadi sekitar 1 liter, 2 liter dan 3 liter / hari untuk bibit berumur 0 – 3 bulan, 3 – 6 bulan, dan 6 – 9 bulan (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008).
2.2.4. Penyiangan / Pengendalian Gulma
Penyiangan dalam polibag harus dilakukan secara manual dengan hati-hati agar tidak sampai merusak perakaran bibit kelapa sawit di dalam polibag, sedangkan penyiangan di luar polibag berarti kegiatan mengandalikan gumagulma di antara
10
polibag yaitu dengan cara menggaruk rumput atau dicabut secara manual (Guntoro, 2010).
2.3. Biochar 2.3.1. Definisi
Biochar merupakan arang yang diberikan ke sistem tanah dan tanaman sebagai bahan pembenah tanah. Proses pembuatan biochar hampir sama dengan arang yang umumnya digunakan sebagai bahan bakar. Biochar dihasilkan dari proses pirolisis atau pembakaran bahan organik dalam kondisi oksigen yang terbatas. Berbeda dengan bahan organik, biochar tersusun dari cincin karbon aromatis sehingga lebih stabil dan tahan lama di dalam tanah (Maguire dan Aglevor, 2010).
2.3.2. Jenis
Biochar Sekam Padi
2.3.3. Cara Pembuatan Biochar Sekam Padi:
Sekam Padi dimasukkan ke dalam drum setengah bagian sambil di padatkan dan beri sedikit minyak tanah lalu bakar dengan memasukkan api kedalam pipa yang berada di dalam drum
Masukkan kembali sekam padi sampai drum terisi penuh
Kemudian sekam dibakar melalui lubang silindris dengan menggunakan pematik seperti koran bekas/ranting daun, pembakaran dapat dengan mudah berlangsung karena sekam padi dalam keadaan kering, di samping itu karena udara yang masuk ke dalam drum melalui mulut tungku naik ke atas sehingga proses pembakaran menjadi cepat.
Sekam padi yang terbakar sedikit demi sedikit akan jatuh ke bawah sambil dibalik-balik sehingga menjadi arang tandan kosong.
11
Arang sekam padi yang telah berwarna hitam dikeluarkan menggunakan sekop
Arang sekam padi tersebut disiram dengan air bersih, supaya arang sekam tadi tidak menjadi abu
Jemur arang sekam padi supaya kering, kemudian masukkan ke dalam karung/plastik dan siap digunakan.
2.3.4. Manfaat
Biochar dapat memperbaiki sifat kimia, fisik, dan biologi tanah. Pencucian pupuk N dapat dikurangi secara signifikan dengan pemberian biochar tersebut ke dalam media tanam (Steiner, 2007). Selain itu pula, di beberapa negara telah ditetapkan suatu kebijakan untuk mengembangkan biochar dalam skala industri guna meningkatkan simpanan karbon di dalam tanah. Jika dikaitkan dengan kepedulian terhadap pemanasan global yang disebabkan oleh emisi CO2 dan sumber gas rumah kaca lainnya, maka pemanfaatan bio-char sebagai bahan amelioran tanah memiliki prospek yang cukup baik. Dengan kata lain, teknologi pemanfaatan (pengolahan) biochar merupakan salah satu solusi cepat untuk mengurangi pengaruh pemanasan global yang berasal dari lahan pertanian dan juga merupakan salah satu alternatif untuk mengelola limbah pertanian dan perkebunan (Goenadi, 2008).
2.4 Bakteri Pelarut Fosfat
Bakteri pelarut fosfat merupakan bakteri tanah yang dapat melarutkan fosfat sehingga dapat diserap oleh tanaman. Selain meningkatkan fosfat dalam tanah juga dapat berperan pada metabolisme vitamin D memperbaiki pertumbuhan akar tanaman dan meningkatkan serapan hara (Wulandari, 2001). Bakteri pelarut fosfat mampu mensekresi asam organik sehingga akan menurunkan pH tanah dan memecahkan ikatan pada beberapa bentuk senyawa fosfat untuk meningkatkan ketersediaan fosfat dalam larutan tanah (Purwaningsih, 2003).
12
Salah satu upaya untuk mengatasi rendahnya fosfat tersedia dalam tanah adalah dengan memanfaatkan kelompok mikroorganisme pelarut fosfat dan bahan organik. Mikroorganisme dan bahan organik, masing-masing dapat menghasilkan asam organik yang mengkhelat logam dalam tanah sehingga fosfat menjadi tersediabagi tanaman. Pemanfaatan mikroorganisme pelarut fosfat dan bahan organik diharapkan dapat mengatasi masalah P pada tanah masam yang juga dapat menekan penggunaan pupuk anorganik dan diperlukan untuk mempertahankan kesuburan tanah dengan menjaga dan meningkatkan fungsi mikroorganisme tanah sehingga dapat meningkatkan ketersediaan hara dan juga meningkatkan efektivitas pemupukan (Sembiring, 2015).
2.4.1. Burkholderia cepacia Klasifikasi B. cepacia Kingdom : Bacteria Phylum : Proteobacteria Class : Betaproteobacteria Order : Burkholderiales Family : Burkholderiaceae Genus : Burkholderia
Spesies : B. Cepacia complex
B. cepacia kompleks, atau hanya B. cepacia, adalah sekelompok bakteri laktosa-non-produksi katalase, nonfermentasi, Gram-negatif yang terdiri dari setidaknya 20 spesies yang berbeda.
Peningkatan ketersediaan P melalui pemanfaatan mikroba pelarut fosfat dapat memberikan pengaruh terhadap peningkatan produksi tamanan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh sembiring (2015). Selain jamur, bakteri juga berperan dalam pelarutan fosfat di dalam tanah. Burkholderia cepacia, yang
13
sebelumnya dikenal dengan Pseudomonas cepacia, merupakan bakteri gram negatif yang belakangan diketahui kemampuannya dalam melarutkan fosfat di dalam tanah. Bakteri ini terdapat di dalam di daerah sekitar perakaran (rizosfer) dan dalam keadaan yang lembab. Bakteri ini mampu menjadi agen biologis dalam pengendalian penyakit tanaman karena bersifat patogenik bagi penyakit tular tanah (soil borne disease). Selain itu B. cepacia mampu mendegradasi senyawa toksik dalam tanah akibat bahan kimia dari pestisida (Holmes et all, 1998).
Beberapa bakteri tanah seperti bakteri pelarut fosfat mempunyai kemampuan untuk melarutkan P organik menjadi bentuk fosfat terlarut yang tersedia bagi tanaman. Efek pelarutan umumnya disebabkan oleh adanya produksi asam organik seperti asam asetat, asam format, asam laktat, asam oksalat, asam malat dan asam sitrat yang dihasilkan oleh mikroba tersebut. Mikroba tersebut juga memproduksi asam amino, vitamin dan growth promoting substance seperti IAA dan asam giberelin yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman (Richardson, 2001; Gyaneshwar, et al., 2002; Ponmugaran, 2006).
14
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu
Tempat Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan di Kampus STIPAP - LPP Medan. Waktu penelitian dimulai pada bulan Februari 2019 sampai dengan bulan Juli 2019.
3.2. Rancangan Penelitian
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial, faktor pertama adalah Bakteri pelarut fosfat
(Burkholderia cepacia), factor kedua adalah Biochar yang terdiri dari :
Faktor I Bakteri pelarut fosfat (B. cepacia) dengan 4 taraf perlakuan yaitu : P0 : 0 ml / polibag (kontrol).
P1 : 10 ml B.cepacia / polibag. P2 : 20 ml B.cepacia / polibag. P3 : 30 ml B.cepacia / polibag.
Faktor II Biochar dengan 3 taraf perlakuan yaitu : B0 : 0 gr / polibag (kontrol).
B1 : 100 gr Biochar / polibag. B2 : 200 gr Biochar / polibag.
Sehingga diperloleh 12 kombinasi perlakuan yang dijelaskan pada tabel di bawah ini :
Tabel 3.1 Kombinasi perlakuan.
P0B0 P1B0 P2B0 P3B0
P0B1 P1B1 P2B1 P3B1
15
Bibit yang dibutuhkan : 4 x 3 x 3 = 36 Bibit ulangan : 3 x ulangan Jumlah tanaman cadangan : 12 x 1 = 12 Jumlah bibit seluruhnya : 36+12 = 48 bibit
Model linear yang diasumsikan untuk Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial adalah :
Yi j k = μ + αi + βj + (αβ)ij + кk + εi j k Keterangan
Yi j k : hasil pengamatan utk faktor A taraf ke i, faktor B taraf ke j padakelompok ke k
Μ : nilai tengah umum
αi : pengaruh bakteri pelarut fosfat pada taraf ke i βj : pengaruh bahan organik pada taraf ke j
(αβ)ij :pengaruh interaksi AB pada taraf ke i (dari faktor A), dan taraf ke j (dari faktor B ).
Кk : pengaruh kelompok / ulangan ke k
εi j k : pengaruh acak (galat percobaan) taraf ke i (bakteri), taraf ke j (biochar) interaksi AB yang ke i dan ke j
3.3. Alat dan Bahan 3.3.1. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, timbangan ukuran 20 kg, polibag ukuran 40 x 50 cm, cangkul, botol plastik, gembor, jaring, bambu, ember, meteran, dan alat-alat lainnya yang medukung dalam pelaksanaan penelitian ini.
16 3.3.2. Bahan
Bahan-bahan dan alat yang digunakan pada penelitian ini adalah: Bakteripelarut fosfat (Burkholderia cepacia), Biochar (bahan organik), Tanah Ultisol yang berasal dari galang, Bibit tanaman kelapa sawit (varietas D x P) yang berasal dari PPKS berumur 3 bulan, Polibag, bambu, Jaring paranet dan Mulsa.
3.4. Tahapan Penelitian
3.4.1. Persiapan areal penelitian
Areal penelitian yang dipilih berada di Kampus Medan. Hal – hal yang dilakukan pada tahapan persiapan areal ini adalah mengukur tempat yang akan di jadikan areal penelitiandengan kemudian membersihkan areal yang akan di gunakan dari segala jenis gulma dan meratakan areal yang akan di gunakan.
3.4.2. Persiapan media tanam
Media tanam yang digunakan adalah media tanah ultisol, tanah yang telah di persiapkan di masukan kedalam polybag dengan diameter 40 cm dan tinggi 50 cm, di isi dengan tanah ultisol sebanyak 10 Kg / polybag dan pupuk dasar (RP) sebanyak 10 gram/polibag.
3.4.3. Menyusun polibag
Setelah semua polibag diisi dengan tanah dan di berikan pupuk dasar, maka polibag di susun di dalam lahan yang telah disediakan.
3.4.4. Aplikasi Biochar dan Burkholderia cepacia
Aplikasi Biochar dilakukan pada saat pengisian tanah pada polibag dengan cara mencampurkan biochar dengan tanah secara bersamaan. Tiga hari setelah pengaplikasian biochar dilakukan pemindahan bibit dari polibag kecil kedalam polibag utama. Aplikasi B. cepacia di lakukan seminggu setelah pemindahan bibit dengan cara membuka sedikit bagian pangkal batang hingga terlihat sedikit
17
bagian perakaran kemudian di siramkan B. cepacia pada daerah perakaran yang telah di buka terlebih dahulu. Aplikasi di lakukan pada pagi hari.
3.4.5. Penyiraman
Penyiraman bibit kelapa sawit di lakukan setiap hari pada pagi hari dan sore hari dengan menggunakan gembor.
3.4.6. Penyiangan gulma
Penyiangan gulma dilakukan secara manual dengan mencabut gulma yang ada di dalam polibag, penyiangan dilakukan disesuaikan dengan kondisi gulma yang ada di lapangan.
3.5. Parameter Pengamatan
Ada beberapa yang diamati pada masa penelitian yaitu : a. Tinggi tanaman (cm)
Peningkatan tinggi bibit di ukur setiap sebulan sekali dimana diukur dari pangkal batang sampai dengan ujung daun yang paling panjang.
b. Lingkar Batang (cm)
Pengukuran lilit batang dilakukan setiap sebulan sekali. c. Jumlah Daun (Helai)
Perhitungan jumlah daun yang tumbuh di lakukan setiap sebulan sekali. d. Berat Akar (Berat Kering dan Berat Basah)
Analisa ini dilakukan pada akhir penelitian. e. Berat Tajuk (Berat Kering dan Berat Basah)
Analisa ini dilakukan pada akhir penelitian. f. Analisa Kadar Hara P dan Serapan Hara P
Pengamatan di lakukan untuk mengetahui berapa persen biochar, bakteri pelarut fosfat (B. cepacia) yang menginfeksi akar dengan dosis yang telah di aplikasikan, pengamatan juga di lakukan terhadap pengaruh bahan
18
organik terhadap serapan hara P. Penelitin ini di lakukan pada akhir pengamatan, analisa kadar hara dilakukan pada akhir penelitian dengan menggunakan analisa laboratorium. Pengamatan ini dilakukan di PT. Socfin Indonesia.
19
Persiapan areal penelitian 3.6 Bagan Alur Penelitian
Persiapan media tanam
Pemindahan Bibit
Aplikasi Bakteri
Penyiangan
Penyiraman
Pengukuran dan pengolahan data
Pembuatan laporan penelitian