• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II MENGENAL PONDOK PESANTREN MAMBAUS SHOLIHIN. A. Sejarah Pondok Pesantren Mambaus Sholihin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II MENGENAL PONDOK PESANTREN MAMBAUS SHOLIHIN. A. Sejarah Pondok Pesantren Mambaus Sholihin"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

20

A. Sejarah Pondok Pesantren Mambaus Sholihin

Pondok Pesantren Mambaus Sholihin –selanjutnya disingkat menjadi Pon. Pes. Mambaus Sholihin- adalah salah satu institusi pendidikan agama Islam yang terletak di kabupaten Gresik Jawa Timur. Pesantren ini sekarang dipimpin oleh seorang kiai yang bernama H. Masbuhin Faqih. Pesantren ini berdiri sejak beberapa dekade yang lalu, tepatnya pada tahun 1969 M.1 Pesantren ini dirintis oleh orang tua dari kiai H. Masbuhin Faqih, yaitu kiai H. Abdullah Faqih.2 Awal mula pesantren ini hanyalah berupa pengajaran Al-Qur’an dan kitab kuning di salah satu surau desa. Santri yang ikut mengaji hanyalah anak-anak di sekitar surau itu sendiri. Seiring berjalannya waktu santri yang ikut mengaji tidak hanya anak-anak yang tinggal di sekitar surau, akan tetepi mereka datang dari desa sekitarnya.

1 Artikel dalam majalah, Yayasan Pondok Pesantren Mambaus Sholihin, al-Sirah Majalah

Tahunan (Gresik: Yayasan Pondok Pesantren Mambaus Sholihin, 2004), 5.

2 Kiai H. Abdullah Faqih lahir pada 2 Mei 1932 M. di desa Suci, kecamatan Manyar

kabupaten Gresik. Dia lahir dari pasangan Kiai H. Rofi’i Zahid dan Hj.Khodijah. Dia merupakan putra pertama dari tiga bersaudara dan dua saudaranya yang lain adalah Khozin dan Hamim. Sejak kecil kiai H. Abdullah Faqih belajar ilmu agama kepada ayahnya sendiri yang juga menguasai ilmu agama, dan selanjutnya ia, beserta saudaranya belajar kepada kiai H. Abdul hadi Zahid, pengasuh Pondok Pesantren langitan kec. Widang kab. Tuban. Selain belajar di Pon. Pes. Langitan, Kiai H. Abdullah Faqih juga belajar kepada kiai H. Baidowi, kiai H. Ma’shum, kiai H. Faturrohman, kiai H. Maftuhin, kiai H. Mansur, dan kiai H. Masduki di Pesantren Lasem selama empat tahun. Kiai H. Abdullah Faqih menikah dengan Nyai Tsuwaibah dan Nyai Rahmah dan dikaruniai dua belas putra-putri yakni, Mabuhin Faqih, Sulha, Asfihani Faqih, Syaiful Hawa, Roudhoh, Moh Fahmi, Suwaifi, Zinuq, Falel, Widad, Fitriyah dan Faizun. Wawancara dengan Ustadz Zaenal Arifin. Gresik 18 April 2018.

(2)

Pada tahun 1976 Kiai Masbuhin Faqih3 yang masih belajar di Pesantren Langitan, baru memperoleh restu dari gurunya, kiai H. Abdullah Faqih Langitan untuk berjuang di tengah masyarakat, namun beliau masih mempertimbangkan kembali untuk mendirikan sebuah pesantren. Meskipun pada saat itu semangat beliau untuk mendirikan pesantren sangat besar. Namun semangat itu kalah dominan oleh perasaan khawatir jika semangat itu justru timbul dari nafsu (h}ubb al-tala>miz\), karena mendirikan sebuah pondok baginya, harus benar-benar didasari oleh keihlasan untuk nasyr al-‘ilm (menyebarkan ilmu), bukan atas dorongan keinginan untuk mendapatkan santri yang banyak.4

Di kemudian hari, berkat dorongan dari guru-guru beliau yaitu: kiai H. Abdul Hadi Zahid Langitan, kiai H. Abdullah Faqih Langitan, kiai H. Abdul Hamid Pasuruan, kiai H. Usman Al-Ishaqi Surabaya, serta keinginan luhur beliau untuk nasyr al-‘ilm, maka didirikanlah sebuah pesantren yang kelak bernama Mambaus Sholihin. Adapun dana pertama kali yang digunakan untuk membangun pondok adalah pemberian guru

3 Kiai H. Masbuhin Faqih lahir pada 18 Shafar 1367 H./31 Desember 1947 M. Riwayat

pendidikannya dimulai dari Madrasah Ibtidaiyah/Sekolah Dasar kemudian dilanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah/Sekolah Menengah Pertama. Setelah tamat Madrasah Tsanawiyah Ia melanjutkan belajarnya di Pondok Modern Gontor kab. Ponororgo selama empat tahun, kemudian ia melanjutkan belajarnya di Pondok Pesantren Langitan Kec. Widang Kab. Tuban selama tujuh belas tahun. Kedua pesantren ini yang nantinya menjadi pijakan kiai Masbuhin Faqih dalam memimpin pesantren Mambaus Sholihin. Dari Pondok Modern Gontor, kiai Masbuhin mengadopsi bahasa arab dan bahasa inggris untuk dijadikan sebagai bahasa percakapan sehari-hari santri di pesantren Mambaus Sholihin dan untuk kitab yang diajarkan, kiai Masbuhin mengikuti pesantren Langitan. Kiai H. Masbuhin Faqih menikah dengan seorang perempuan yang bernama Hj. Mas’aini dan dikaruniai dua belas putra-putri, yaitu Fahrul Anam, Zainul Huda, Muhammad Ma’ruf, Azizah, Achmad Suhaimi, Majdudin, Musyafa’ah, Muhammad Anas, Khodijah, Muhammad (Alm), Muhammad Zakiyul Fuad dan Muhammad Ainun Na’im. Moh. Lihat Sholehuddin, Sabda Pesantren, (Gresik: HAMAM Press,2008), 94.

4 Lihat Kilas Sejarah Mambaus Sholihin (Gresik: al-Fikrah edisi 88 Januari 2016

(3)

beliau, Kiai Abdullah Faqih Langitan. Pada saat pendirian pesantren, Kiai Masbuhin masih menimba serta mendalami ilmu di Pondok Pesantren Langitan.

Sebelum pesantren Mambaus Sholihin didirikan, Kiai Abdullah Faqih Langitan sempat mengunjungi lokasi yang akan digunakan untuk membangun pesantren. Setelah menyaksikan dan mengelilingi tanah tersebut, beliau berkata kepada Kiai Masbuhin, “Yo wis tanah iki pancen

cocok kanggo pondok, mulo ndang cepet bangunen” (Tanah ini memang

cocok untuk dibangun pondok pesantren, maka dari itu cepat bangunlah). Tidak lama kemudian beberapa masya>yikh (bentuk plural dari kata bahasa arab syaikh, sebutan lain untuk kiai) dan h}aba>ib5 (bentuk plural dari kata

bahasa arab h}abi>b, sebutan untuk seseorang di anggap memiliki garis keturunan dengan nabi Muhammad) juga berkunjung ke lokasi tersebut. Di antara masya>yikh dan h}aba>ib yang hadir adalah kiai Abdul Hamid Pasuruan, kiai Usman al-Ishaqi Surabaya, kiai H. Dimyati Rois Kaliwungu, Habib al-Idrus.6

Pada tahun 1402 H atau tepatnya pada tahun 1983 M, dilakukanlah pembangunan mushala Pon. Pes. Mambaus Sholihin. Saat itu kiai Masbuhin sedang menunaikan ibadah haji yang pertama. Adapun yang menjadi modal awal kegiatan pembangunan ini berasal dari uang yang

5 Ada istilah lain untuk menyebut mereka yang memiliki garis keturunan Nabi

Muhammad seperti h}aba>ib dan z}urriyah al-rasu>l. Ada banyak sekali kelompok keluarga yang meyakini sebagai keturunan Nabi Muhammad. Di antaranya adalah keluarga Assegaf/ al-Saqqa>f, keluarga al-At}t}a>s, keluarga al-H{absyi, keluarga al-H{adda>d, dan keluarga al-Aydru>s. Dan mayoritas keluarga keturunan Nabi Muhammad di Gresik bermarga Asseggaf.

6 Lihat Kilas Sejarah Mambaus Sholihin (Gresik: al-Fikrah edisi 88 Januari 2016

(4)

konon dititipkan oleh seseorang yang tidak dikenal kepada adik kandung kiai Masbuhin Faqih, yaitu kiai H. Asfihani yang waktu itu masih menjadi santri di Pondok Pesantren Salafiyah dalam asuhan kiai Abdul Hamid di Pasuruan.

Konon ceritanya, saat itu Kiai Asfihani turun dari tangga setelah mengajar, tiba-tiba ada seseorang yang tidak dikenal memberikan sekantong uang, kemudian orang itu pergi dan menghilang. Pada pagi harinya kiai Asfihani dipanggil oleh kiai Hamid, beliau berkata, “Asfihani,

saya ini pernah berjanji untuk menyumbang pembangunan rumah santri

(ma‘had) tapi hari ini saya tidak punya uang. Yai silihono dhuwit po’o

nak! (pinjami kiai uang ya!)”. Kemudian kiai Asfihani menjawab, “tadi malam sehabis mengajar saya diberi orang sekantong uang. Sedangkan saya tidak kenal orang tersebut.” Kiai Hamid berkata, “endi saiki dhuwite ndang ayo diitung” (di mana uangnya sekarang, ayo dihitung). Lalu kiai

Asfihani mengambil uang tersebut dan kemudian dihitung. Setelah dihitung uang tersebut terkumpul sebanyak Rp. 750.000,-. Pada akhirnya, kiai Hamid memberi isyarat, bahwa yang memberikan uang tersebut adalah Nabi Khidir. Kemudian kiai Hamid berkata pada kiai Asfihani, “Nak, saiki muliyo. Dhuwit iki ke’no abahmu kongkon bangun mushola” (Nak, sekarang pulanglah dan berikan uang ini kepada ayahmu untuk membangun mushala).7

7 lihat Kilas Sejarah Mambaus Sholihin (Gresik: al-Fikrah edisi 88 Januari 2016

(5)

Suatu kisah yang juga menarik adalah suatu peristiwa yang terjadi ketika pondok induk dalam tahap penyelesaian pembangunan. Kiai Hamid waktu itu datang dan memberi sebuah lampu Neon 40 Watt 220 Volt untuk penerangan Pon. Pes. Mambaus Sholihin. Padahal saat itu listrik belum masuk ke desa Suci. Mengingat pemberinya diyakini sebagai wali Allah, maka pengasuh pesantren meyakini bahwasannya ini merupakan sebuah isyarat akan suatu hal yang belum diketahui. Ternyata tidak berselang lama, tepatnya pada tahun 1976, sampailah aliran listrik ke desa Suci. Rupanya lampu neon itu di pahami merupakan isyarat dari peristiwa tersebut, juga bisa dimaknai sebagai simbol gambaran kondisi pondok pesantren di masa mendatang, yang diharapkan mampu mencerahkan dan menerangi umat Islam dan santri-santrinya seperti halnya lampu neon itu.

Pada pembangunan tahap selanjutnya, kiai H. Agus Ali Masyhuri Sidoarjo yang telah membeli sepetak tanah dari seorang warga Suci yang terletak di samping Masjid Jami’ Suci “Roud}oh al-Sala>m”, mewakafkan tanah tersebut untuk kepentingan pesantren sebagai lahan yang bisa dikembangkan sebagai pemondokan dan lembaga penunjang pembelajaran bagi santri. Tanah tersebutlah yang menjadi cikal-bakal pengembangan pondok putra sebagaimana didapati sekarang ini yang sangat luas, besar bahkan bisa dikata cukup megah.8

Awal mula, pesantren ini diberi nama al-T{a>hiriyah, nama yang diambil dari bahasa arab yang memiliki arti “suci.” Penamaan ini

8 Lihat Kilas Sejarah Mambaus Sholihin (Gresik: al-Fikrah edisi 88 Januari 2016

(6)

disesuaikan dengan nama desa yang menjadi tempat pesantren ini, yaitu desa Suci. Namun, beberapa tahun setelahnya nama pesantren ini diganti dengan nama baru, yaitu Mambaus Sholihin. Nama yang diambil dari bahasa arab juga, yang terdiri dari dua kata, manba’ dan s}a>lihi>n yang memiliki arti sumbernya orang-orang sholeh. Nama ini diberikan oleh kiai H. Usman Al-Ishaqi Surabaya.9

Seiring bertambah besarnya pesantren ini, sekarang ia memiliki beberapa pesantren cabang yang tersebar di pulau Jawa (khususnya Jawa Timur) dan luar Jawa. Di antara pesantren cabang adalah Pon. Pes. Mambaus Sholihin II sebagai nomenklatur namanya, di ds. Sumber, kec. Sanankulon, kab. Blitar. Pesantren ini sekarang dipimpin oleh Moh. Zainul Fajri yang merupakan alumni dari Pon. Pes. Mambaus Sholihin Suci.10

Kedua adalah Pon. Pes. Mambaus Sholihin III di ds. Balungkepuh kec.

Benjeng kab. Gresik. Pesantren ini sekarang dipimpin oleh putra ke enam kiai Masbuhin Faqih, yaitu Mohammad Majdudin, Lc.11 Ketiga adalah Pon. Pes. Mambaus Sholihin IV di ds. Banda Baru, kec. Amahai kab. Masohi, Maluku Tengah. Pesantren ini dipimpin oleh Syamsul Arifin yang juga merupakan alumni Pon. Pes. Mambaus Sholihin Suci.12 Keempat adalah Pon. Pes. Mambaus Sholihin V di ds. Kedungsumber kec. Balong

9 Wawancara dengan Ustadz Zaenal Arifin. Gresik 21 April 2018.

10 Lihat Pondok Pesantren Mambaus Sholihin 2 Blitar: Sekolah Berbasis Pesantren

(Gresik: Majalah al-Fikrah edisi 88 Januari 2016 M/Rabiul Tsani 1437 H), 47-48.

11 Lihat Pondok Pesantren Mambaus Sholihin 3 Balongkepuh Benjeng Gresik (Gresik:

majalah al-Fikrah edisi 88 Januari 2016 M/Rabiul Tsani 1437 H), 41-42.

12 Lihat Lentera Islam di Timur Indonesia Pondok Pesantren Mambaus Sholihin Cabang

Masohi Maluku Tengah (Gresik: majalah al-Fikrah edisi 88 Januari 2016 M/Rabiul Tsani 1437 H),

(7)

Panggang kab. Gresik. Pesantren ini dipimpin oleh putra ke lima kiai Masbuhin Faqih, yaitu H. Achmad Suhaimi.13 Kelima adalah Pon. Pes.

Mambaus Sholihin VI di kepulauan Bali. Pesantren ini dipimpin oleh Ahmad Sariaman yang merupakan alumni Pon. Pes. Mambaus Sholihin Suci.14 Keenam adalah Pon. Pes. Mambaus Sholihin VII di Jl. Manggar,

Kampung Bugis, RT. II/RW. I, Tanjung Uban Utara kec. Bintan Utara kab. Bintan, Kepaulauan Riau. Pesantren ini dipimpin oleh Ahmad Nukhan yang merupakan alumni Pon. Pes. Mambaus Sholihin Suci. Dan yang ketujuh adalah Pon. Pes. Mambaus Sholihin VIII, pesantren cabang yang masih baru, di kecamatan Senori, kabupaten Tuban.15

B. Kondisi Sosio-Geografis Pon. Pes. Mambaus Sholihin

Pon. Pes. Mambaus Sholihin ini terletak di tengah wilayah kabupaten Gresik. Tepatnya di jalan KH. Syafi’i, No. 07 desa Suci kecamatan Manyar. Ia berada kurang lebih 3 Km dari terminal Bunder (jalur utama Surabaya-Jakarta) dan 2 Km dari pertigaan desa Tenger Sukomulyo. Pertigaan desa ini terletak di jalur pantai utara pulau Jawa. Posisinya yang strategis ini memberi akses jalan yang mudah bagi mereka yang ingin berkunjung atau datang ke pesantren ini. Santri yang belajar di pesantren ini kebanyakan dari kabupaten atau kota di sekitar Gresik,

13 Lihat Pondok Pesantren Mambaus Sholihin 5 Kedungsumber Balongpanggang Gresik

(Gresik: majalah al-Fikrah edisi 88 Januari 2016 M/Rabiul Tsani 1437 H), 45-46.

14 Lihat Menyapa Embun Pagi di Pesantren Mambaus Sholihin Cabang Bali (Gresik:

Majalah al-Fikrah edisi 88 Januari 2016 M/Rabiul Tsani 1437 H), 37-38.

(8)

seperti dari kabupaten Lamongan, kabupaten Tuban, kabupaten Bojonegoro, kota Surabaya, Madura, kabupaten Sidoarjo dll.16

Lokasi Pon. Pes. Mambaus Sholihin Gresik ini dipisah oleh Jalan KH. Syafi’i yang membentang dari arah selatan (perempatan Bunder) sampai ke arah utara (pertigaan Tenger Sukomulyo). Asrama santri putra berada di wilayah sebelah barat jalan KH. Syafi’i. Di wilayah ini terdapat beberapa asrama yang dihuni oleh santri-santri dengan dikelompokkan sesuai tingkatan sekolah formal mereka mulai, dari tingkat MTs, MA dan perguruan tinggi Inkafa. Sedangkan asrama santri putri terletak di sebelah timur Jalan KH. Syafi’i yang terbagi menjadi dua asrama. Asrama utara dan asrama selatan. Asrama utara dihuni oleh santri putri tingkat MA dan perguruan tinggi Inkafa, sedangkan asrama selatan dihuni oleh santri putri tingkat MTs. Penempatan yang disesuaikan dengan tingkatan santri memudahkan pesantren dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang telah dirancang.

16 Artikel dalam al-Sirah Majalah Tahunan (Gresik: Yayasan Pondok Pesantren

(9)

Gambar I.

Peta wilayah Pon. Pes. Mambaus Sholihin Gresik (Sumber:

https://www.google.com/maps/place/pondok+pesantren+putri+mambaus+sholihin/@-7.1450922,112.601207,388m/data=!3m1!1e3!4m5!3m4!1s0x2e77fe30dbfc17d1:0x1f43

001e0cb69554!8m2!3d-7.1455986!4d112.6024287)

Karena berada di kabupaten Gresik yang merupakan kawasan industri, banyak sekali pabrik-pabrik -baik yang kecil atau yang besar- mengelilingi pesantren ini. Pabrik besar yang berada di Gresik di antaranya adalah PT. Petro Kimia, PT. Semen Gresik, PT. Karunia Alam Segar (pabrik produksi mie instan), coklat, pakan ternak, indutri Maspion dll.17 Oleh karena itu banyak masyarkat Gresik yang bekerja di pabrik-pabrik tersebut. Hal ini tentunya mengundang masyarakat urban dari berbagai daerah di sekitar Gresik seperti Lamongan, Bojonegoro dan Tuban dll. Keberadaan pabrik yang banyak di wilayah ini memberi daya tarik kepada mereka untuk mendapatkan pekerjaan di kota ini agar bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Di sisi yang lain, kedatangan mereka di Gresik ini membawa peluang bagi pengusaha untuk membangun komplek-komplek perumahan. Karena ketika masyarakat urban bekerja di Gresik, maka sudah barang tentu mereka membutuhkan tempat tinggal. Sehingga banyak sekali pendirian komplek-komplek perumahan di desa suci dan sekitarnya.18

Adanya industri ini memberi pengaruh besar pada masyarakat Gresik. Pengaruh itu bisa dilihat dari segi sosial ekonomi dan sosial

17http://gresikkab.go.id/industri, diakses pada 23/12/2017.

18 Lihat hasil penelitian Meytha Aisyi Muniroh, Industrialisasi Dan Perkembangan

Perumahan Di Gresik (1957-1993), (Surabaya: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga,

(10)

budaya. Secara sosial budaya, adanya industri mempengaruhi pergeseran nilai budaya masyarakat, dari masyarakat tradisional yang cenderung mistis menuju masyarakat modern yang cenderung rasional, dan dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Tradisi budaya upacara keagaamaan seperti Selametan/Kenduren dianggap sebagai tradisi yang biasa dilakukan. Sehingga tradisi ini tidak lagi dianggap sesuatu kewajiban yang memiliki makna yang sakral, melainkan hanya sebagai sebuah simbol identitas belaka.19 Secara sosial ekonomi, adanya industri ini juga meningkatkan kuantitas ekonomi masyarakat. Mereka bisa mendapatkan pendapatan lebih cepat dan bahkan lebih banyak dari pendapatan yang dihasilkan dari hasil pertanian atau pertambakan yang menjadi mata pencaharian mereka sebelumnya. Dan kehidupan mereka menjadi lebih sejahtera20 Di tengah-tengah keadaan seperti itulah pesantren Mambaus Sholihin terus melaksanakan tugasnya sebagai institusi pendidikan agama Islam.

C. Visi Misi Pon. Pes. Mambaus Sholihin

Setiap lembaga pasti memiliki target maupun cita-cita yang ingin diwujudkan dalam perjalanan kedepannya. Oleh karena itu, untuk mempermudah mencapai cita-cita tersebut, setiap lembaga telah merumuskan terlebih dahulu mengenai visi maupun misi. Perumusan visi

19 Lihat lebih lanjut Nurul Maghfiroh, Dampak Industri PT Petrokimia Gresik Terhadap

Kehidupan Sosio-Kultural Masyarakat Sekitar Tahun 1980-2000, AVATARA e-Journal

Pendidikan Sejarah, Volume 6, No. 1, Maret 2018, 107.

20 Lihat lebih lanjut Made Yasa Yogiana, Pengaruh Pembangunan Industri Terhadap

Kondisi Sosial Ekonomi Petani Tambak di Kecamatan Manyar Kabupaten Gresik, Swara Bhumi

(11)

dan misi yang jelas dapat menjadi motivasi dan kesungguhan dalam mencapai sebuah tujuan. Dan hal ini tidak mengecualikan Pon. Pes. Mambaus Sholihin. Visi dan Misi Pon. Pes. Mambasu Sholihin adalah sebagai berikut:

1. Visi

Terbentuknya santri yang Alim, Sholih, dan Kafi. 2. Misi

Adapun misi dari Pon. Pes. Mambaus Sholihin adalah sebagai berikut: a. Mempersiapkan kader muslim yang intelektual.

b. Melestarikan ajaran ahlu sunnah wal jama'ah demi berlangsungnya kehidupan religius yang moderat di negara Republik Indonesia.

c. Mencetak generasi Islam yang berpegang teguh pada ajaran Al-Qur'an dan Hadis, kritis dan profesional dalam segala bidang.21 D. Sistem Pendidikan Pon. Pes. Mambaus Sholihin

Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang terhitung tua di Indonesia. Ia telah ada sebelum adanya pendidikan yang dikenalkan oleh orang barat dengan sistem kelas yanga lengkap dengan papan tulis dan meja untuk pelajarnya. Pesantren juga merupakan lembaga pendidikan tradisional di mana ilmu yang diajarkannya mengacu pada kitab-kitab keislaman klasik yang telah ditulis beberapa abad yang lalu. Kitab-kitab

21 Wawancara dengan H. Muhammad Ma’ruf, ketua Yayasan Mambaus Sholihin, tanggal

(12)

yang bersumber dari teks Al-Qur’an dan hadis.22 Ia juga memiliki metode pengajaran yang khas yang masih dipertahankan oleh kebanyakan pesantren saat ini. Bahkan hemat penulis, hal itu memang tidak bisa dipisahkan dari pesantren. Metode itu adalah –sebagaimana yang disebutkan oleh banyak sarjana, seperti Dhofier, Bruinessen- sorogan,

bandongan/wetonan dan musyawarah. 23

Ketika penjajah Belanda membuka pendidikan dengan model barat tersebut di Indonesia waktu itu, pendidikan yang mengajarkan ilmu-ilmu yang bersumber dari realitas dan rasio, maka muncul semacam respon atas hal tersebut dari kelompok pendidikan pesantren. Respon tersebut berupa penolakan atasnya.24 Akan tetapi seiring berjalannya waktu sebagian pesantren mulai menyadari bahwa model pendidikan ala barat ada baiknya juga untuk diadopsi, dan dikembangkan untuk pesantren. sehingga pesantren lambat laun menerima model pendidikan barat. Adopsi tersebut berupa sarana dan fasilitas pendidikan, pelajaran-pelajaran yang dibutuhkan oleh santri waktu itu. Pengajaran di pesantren juga mulai dibagi dalam bentuk tingkatan-tingkatan, kelas-kelas dengan dilengkapi dengan papan tulis dan meja belajar.

22 Lihat Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, cet. ke 10, (Yogyakarta: LKiS,

2010),71. Lihat juga Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren Dan Tarekat:

Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia cet. ke-3 (Bandung: Mizan, 1999) 30.

23 Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup kyai,

cet. ke-6 (Jakarta: LP3ES, 1994) 28. Lihat juga lihat Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, cet. ke 10, (Yogyakarta: LKiS, 2010), 71.

24 lihat Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam Dalam

(13)

Seiring berjalannya waktu juga, pesantren juga mulai merasa perlu untuk membuka sekolah formal, sekolah yang diakui oleh negara. Hal ini karena terkait dengan kebutuhan legalitas yang menunjang peran santri-santri yang telah terjun di masyarakat. Maka pesantren mulai membuka sekolah formal mulai dari tingkat dasar PAUD sampai perguruan tinggi. Sehingga masuklah pelajaran-pelajaran umum untuk santri disamping pelajaran agama.

Dengan demikian banyak pesantren sekarang yang membuka sekolah formal baik yang dibawah naungan mentri agama, yakni model madrasah, atau yang dibawah naungan mentri pendidikan dan budaya, yakni model SD, SMP, SMA dll.

Pon. Pes. Mambaus Sholihin masih mempertahankan pendidikannya dengan mengacu kepada kitab-kitab keislaman klasik dengan tiga metode khas pembelajarannya. Di samping itu ia juga membuka pendidikan formal yang berada di bawah naungan kementrian agama. Sehingga di Pon. Pes. Mambaus Sholihin terdapat lembaga pendidikan Raudhatul Athfal (TK), Madrasah Ibtidaiyah (SD), Madrasah Tsanawiyah (SMP), Madrasah Aliyah (SMA) dan Insititu Keislaman Abdullah Faqih (PTKI). Dengan demikian Pon. Pes. Mambaus Sholihin selain mempertahankan pendidikan tradisional ia juga mengadopsi pendidikan formal.25

25 Wawancara dengan H. Muhammad Ma’ruf, ketua Yayasan Mambaus Sholihin, tanggal

(14)

Penerapan pendidikan formal ini mempengaruhi pada pengkondisian santri di asrama mereka. Dengan begitu maka para santri terbagi sesuai jenjang dan tingkatan pendidikan mereka. Mereka ditempatkan di asrama dengan dikelompokkan sesuai jenjang dan tingkatan pendidikan mereka di lembaga formal. Hal itu juga mempengaruhi kegiatan-kegiatan yang telah dibentuk untuk para santri. Termasuk tiga sistem pengajaran tradisional. Yaitu sorogan, bandongan atau wetonan dan musyawarah.

Sistem sorogan adalah sistem pengajaran/bimbingan individual yang disampikan oleh guru kepada santri yang masih baru, baik dalam membaca Al-Qur’an atau kitab-kitab yang berbahasa arab. Dalam sistem ini, santri akan membaca Al-Qur’an atau kitab-kitab yang berbahasa arab dihadapan guru. Peran guru di sini adalah membimbing dan mengoreksi bacaan sang santri. Karena lebih mengutamakan kualitas, dalam sistem ini para guru tidak tertarik untuk mengajari santri lebih dari tiga atau empat.26 Sistem bandongan/wetonan adalah sistem pengajaran di mana sekelompok santri mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan dan menerangkan buku-buku Islam yang berbahasa arab. Setiap santri memperhatikan bukunya sendiri-sendiri dan mereka membuat catatatan-catatan baik arti maupun keterangan tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit yang telah disampaikan oleh guru. Santri yang biasanya masuk dalam sistem ini adalah mereka yang paling tidak telah belajar ilmu

26 Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup kyai,

(15)

alat (nahwu dan shorof). Karena dengan demikian, dia mudah menerima dan memahami keterangan buku yang dibacakan oleh guru. Para guru biasanya membaca dan menerjemahkan kalimat-kalimat secara cepat dan tidak menerjemahkan kata-kata yang mudah. Dengan cara ini guru dapat menyelesaikan kitab-kitab pendek dalam beberapa minggu saja. Karena ia dimaksudkan untuk santri-santri tingkat menengah dan tingkat tinggi, dan hanya bisa efektif bagi santri yang telah mengikuti sistem sorogan secara intensif.27

Sistem berikutnya adalah musyawarah. ini berbeda dengan kedua sistem sebelumnya, yakni sistem belajar-seperti namanya sendiri- dengan cara berdiskusi. Para santri membentuk kelompok untuk mendiskusikan suatu permasalahan dan dipimpin oleh seorang guru. Sistem ini lebih banyak dilaksanakan dalam bentuk tanya jawab dan merupakan latihan bagi para santri untuk menguji keterampilannya dalam menyadap sumber-sumber argumentasi dalam kitab-kitab Islam klasik. Biasanya sebelum mengahadap guru, para santri menyelenggarakan musyawarah terlebih dahulu antara mereka sendiri dan menunjuk salah seorang juru bicara untuk menyampaikan kesimpulan dari masalah yang disodorkan oleh gurunya. Mereka yang akan mengajukan pendapat diminta untuk menyebutkan sumber sebagai dasar argumentasi.28

Tiga sistem pengajaran tradisional ini juga masih diterapkan di Pon. Pes. Mambaus Sholihin, meskipun masing-masing sistem itu tidak

27 Ibid. 28-30. 28 Ibid. 31.

(16)

diterapkan untuk setiap tingkatan santri. Seperti dijelaskan di atas bahwa pembagian kelas di pendidikan formal mempengaruhi pembagian kegiatan di pesantren. Sorogan, misalnya, diterapkan pada santri tingkat Madrasah Tsanawiyah untuk kelas dua dan kelas tiga. Santri dalam sistem ini dikelompokan sesuai dengan kelas mereka saat di madrasah, dan yang memimpin sorogan ini adalah guru yang mengajarkan ilmu alat (nahwu, shorof, i’lal) di madrasah tersebut. Sorogan yang diterapkan di pesantren ini agak berbeda dengan sorogan yang dijelaskan oleh Dhofier. Peserta sorogan di pesantren ini lebih dari empat santri. Karena setiap kelas, jumlah santrinya mulai dari 25 sampai 35 anak. Kitab yang digunakan adalah Ga>yah Wa Taqri>b (kitab fiqih). Sorogan juga diterapakan untuk santri mahasiswa, yang telah ditentukan kelompoknya dengan menggunakan kitab Fath} al-Mu’i>n. Yang memimpin kegiatan sorogan tingkat santri mahasiswa ini adalah guru sekaligus dosen yang mengajar di perguruan tinggi.29

Sistem bandongan/wetonan juga masih diterapkan pada santri hampir semua tingkatan, kecuali santri kelas satu Madrasah Tsanawiyah. Karena mereka belum mampu untuk mengikuti penganjian dengan sistem ini. di antara pengajian kitab dengan sistem ini adalah kitab Safi>nah al-Naja>h (fiqih) untuk santri tingkat Madrasah Tsanawiyah kelas dua dan tiga. Kitab Bida>yah al-Hida>yah (fiqih tasawwuf) dan Ta’li>m Al-Muta’allim (akhlaq) untuk santri tingkat madrasah aliyah kelas satu. Kitab

29 Hasil wawancara dengan Ust. Abdul Rozaq, S,Pd.I., pengajar di pesantren dan di MTs.

(17)

Ta>rikh Tasyri’ (sejarah fiqih) untuk santri tingkat Madrasah Aliyah kelas dua dan kelas tiga. Kitab Fath} al-Mu’i>n (fiqih), Ih}ya’ Ulu>m al-di>n (tasawwuf), al-Iqna>’ (fiqih) dan Khas}a>is} al-Ummah untuk santri mahasiswa.

Sistem musyawarah juga diterapkan untuk santri tingkat Madrasah Aliyah kelas dua dan tiga. Kitab utama yang dipakai musyawarah adalah kitab Fath} al-Qari>b.30 Namun musyawarah yang diterapkan oleh santri kelas dua dan tiga tingkat madrasah aliyah ini agak berbeda dengan

musyawarah yang di jelaskan oleh Dhofier. Bahwa musyawarah yang

diterapkan oleh mereka tidak dipimpin oleh guru. Akan tetapi mereka melaksanakannya sendiri dengan dibagi beberapa kelompok. Mereka tidak diberi pertanyaan oleh guru untuk didiskusikan. Akan tetapi pertanyaan itu muncul dari peserta musyawarah sendiri. Sistemnya adalah dari setiap kelompok dipilih dua orang. Satu menjadi pembaca serta penjelas dan yang lain menjadi moderator. Pembaca membaca satu fas}l/sub-chapter dari kitab Fath} al-Qari>b. Setelah selesai dibaca dan dijelaskan peserta yang lain mengajukan pertanyaan kepada pembaca yang dipimpin oleh moderator. Pertanyaan biasanya berkaitan dengan gramatikal/nahwu dari bacaan pembaca dan isi dari bacaannya, atau juga pertanyaannya di luar isi bacaan, akan tetapi ada kaitannya dengan bacaan.

Disamping itu, terdapat juga sistem lain berupa pembacaan kolektif secara bergiliran dengan menggunakan kitab Shahih Al-Bukhari yang

(18)

diikuti oleh kiai, putra-putranya, para guru dan sebagain santri mahasiswa. Pembacaan ini dilaksanakan setiap bulan Rajab penuh, setiap tahunnya. Pembacaan ini tampak berbeda dengan tiga sistem pengajaran sebelumya. Pembacaan ini bisa dibilang merupakan sistem pengajara baru dalam pesantren, khususnya di Pon. Pes. Mambaus Sholihin Gresik.31

Tabel I

Sistem pengajaran, Kitab dan Objek Pengajaran.

No Sistem Kitab Tingkatan Santri

1 Sorogan Ghoyah wa

Taqrib

Fathul Mu’in

Madrasah Tsanawiyah kelas dua dan tiga

Santri Mahasiswa 2 Bandongan/wetonan Safinatun Naja

Bidayatul Hidayah Ta’lim al-Muta’allim Tarikh Tasyri’ Fathul Mu’in Ihya’ Ulumuddin Al-Iqna’ Khasha’ish al-Ummah Madrasah Tsanawiyah kelas dua dan tiga

Madrasah Aliyah kelas 1

Madarasah aliyah kelas 1

Madrasah Aliyah kelas 2 dan 3 Santri Mahasiswa Santri Mahasiswa Santri Mahasiswa Santri Mahasiswa

31 Hasil wawancara dengan Ust. Abdul Rozaq, S,Pd.I., pengajar di pesantren dan di MTs.

(19)

3 Musyawarah Fathul Qarib Madrasah Aliyah kelas dua dan tiga 4 Pembacaan kolektif secara bergiliran Shahih Al-Bukhari

Kiai, putra-putranya, guru-guru dan sebagain mahasantri

Santri yang menetap di pesantren diharuskan untuk mengikuti pendidikan formal. Sehingga pesantren ini tidak menerima santri yang tidak ingin belajar dilembaga formal (MTs, MA INKAFA). Mengapa demikian, di antaranya karena pengajaran ilmu agama mayoritas diajarkan di lembaga formal. Mulai dari Al-Qur’an, ilmu alat (nahwu, sharaf, i’lal), fiqih, hadits, akidah, akhlak, tajwid, faroid, tafsir, balaghoh, mantiq, ushul fiqih, ilmu tafsir, ilmu hadis di samping juga ilmu umum seperti Matematika, IPA, IPS, B. Inggris, B. Indonesia, Biologi, Kimia, Fisika, Seni Budaya, Sosiologi, Antropologi dll.32

Meskipun lembaga formal (RA, MI, MTs, MA dan Institut Keislaman Abdullah Faqih) telah dibuka oleh Pon. Pes. Mambaus Sholihin, akan tetapi pengajaran ilmu-ilmu agama, khususnya ilmu alat dan fiqih lebih diprioritaskan dari pada ilmu umum. Hal ini bisa terlihat dari durasi waktu pengajaran ilmu-ilmu agama lebih banyak dari pada waktu pengajaran ilmu umum. Serta standar kenaikan kelas yang menitik beratkan pada tingginya nilai ilmu-ilmu agama, disamping juga kualitas

32 Hasil wawancara dengan Ust. Abdul Rozaq, S,Pd.I., pengajar di pesantren dan di MTs.

(20)

moral. Dan yang menarik adalah bahwa ilmu agama yang diajarkan di lembaga formal oleh masing-masing pengajar juga masih menggunakan metode klasik seperti sorogan dan bandongan.33 Hal ini menunjukkan bahwa fungsi pendidikan formal hanya sebagai pendukung untuk pengajaran ilmu-ilmu agama.

Untuk meningkatkan softskill para santri, pesantren juga memberikan banyak kegiatan ekstra kulikuler untuk para santri. Di antara kegiatan adalah kursus bahasa arab dan bahasa inggris. Bahkan mereka diwajibkan untuk menggunakan kedua bahasa tersebut dalam percakapan sehari-hari. Kewajiban berbicara sehari-hari dengan menggunakan kedua bahasa tersebut dilaksanakan secara bergantian setiap seminggu. Andaikan minggu pertama santri wajib berbicara dengan bahasa arab maka minggu berikutnya santri wajib berbicara dengan bahasa inggris dan seterusnya secara bergantian. Selian itu santri juga diberikan kegiatan public speaking seperti berpidato, menjadi pembawa acara, menyampaikan ceramah. Hal ini diadopsi dari pesantren modern Darus Salam Gontor Ponorogo, di mana peraturannya mewajibkan santri-santrinya untuk berbicara hanya dengan bahasa arab dan bahasa inggris. Karena pimpinan pesantren, kiai Masbuhin Faqih dalam riwayat pendidikannya pernah belajar di pesantren Darus Salam Gontor. Ekstrakulikuler lainnya adalah kegiatan pencak silat, pelatihan qira’ah, drumb band, shalawat banjari dan lain sebagainya.34

33 Ibid.

(21)

E. Tradisi dan Budaya Pesantren

Selain mempertahankan tradisi pengajaran klasik berupa sorogan,

bandongan, dan musyawaroh dengan literatur klasik sebagai acuannya.

Pesantren juga mempertahankan tata nilai tertentu. Tata nilai yang sangat ditekankan dalam kehidupan pesantren ini adalah berupa memuliakan ibadah sebagai pengabdian dan memuliakan guru sebagai jalan untuk memperoleh pengetahuan agama yang hakiki. Tata nilai ini selanjutnya menjadi pandangan hidup para santri dalam menjalani kehidupannya, khususnya dilingkungan pesantren. Dari pandangan hidup yang pertama (memuliakan ibadah), maka pendekatan yang dipakai dalam menjalani hidup itu dengan pendekatan ukhrawi, sehingga ada kecenderungan dalam diri santri untuk melakukan tirakat.35 Di pesantren Mambaus Sholihin, shalat berjamaah diyakini menjadi tirakat para santri. Oleh karena itu santri tidak boleh shalat dengan tidak berjamaah/shalat sendiri dan apabila ia tidak melaksanakan shalat berjamaah maka ia akan mendapat

punishment. Selain itu santri diwajibkan melaksanakan shalat tahajud

setiap malam, juga diajari membaca beberapa wirid seperti wirid ra>tib al-h}adda>d dengan QS. Al-Mulk, ra>tib al-at}t}a>s dengan QS. Al-Waqiah, istiga>sah dan mana>qib syaikh Abdul Qadir al-Jailani, dala>il al-khaira>t dan lain sebagainya. Wirid ra>tib al-h}adda>d dengan QS. Al-Mulk dibaca setiap

35 Tirakat merupakan suatu kegiatan yang kontinyu, yang mengandung nilai spiritual

yang diyakani bisa membersihkan jiwa santri, sehingga ia bisa dengan mudah memahami ilmu yang dipelajari di pesantren. Tirakat bisa berupa puasa, shalat berjamaah dll.

(22)

hari setelah membaca wirid shalat maghrib, sedangkan wirid ra>tib al-at}t}a>s dengan QS. Al-Waqiah dibaca setelah membaca wirid shalat ashar.

Pandangan hidup yang kedua (memuliakan guru), juga memunculkan sikap ketundukan mutlak kepada kiai dan guru-guru di pesantren. Sehingga pandangan hidup ini memunculkan sikap ikhlas untuk mengerjakan apa saja untuk kepentingan kiai atau guru.36 Oleh karena itu, ada pemahaman sebagian santri bahwa ia tidak berani pulang (selesai belajar) sebelum diperintah pulang secara langsung oleh kiai. Pandangan hidup yang kedua ini juga diperlaus lagi, tidak hanya kepada kiai dan guru-guru pesantren, tapi juga kepada ulama’-ulama’ sebelumnya dan ulama’ yang mengarang kitab-kitab yang dipelajari oleh santri. Nabi Muhammad beserta ahl al-bait atau mereka yang memiliki garis keturunan dengan Nabi Muhammad, juga sangat dimuliakan oleh para santri bahkan menjadi objek sejumlah shalawat.37

Tata nilai penghormatan ini juga tak luput diajarkan dan diterapkan, bahkan telah membudaya di Pon. Pes. Mambaus Sholihin. Terkaiat dengan penghormatan terhadap Nabi Muhammad beserta ahl

al-bait, kiai H. Masbuhin Faqih, pengasuh pesantren ini, pernah menegaskan

sendiri saat menyampaikan taus}iyah (ceramah nasehat) kepada santri pada

36 Lihat Abdurrahman Wahid, Pendidikan Tradisional Di Pesantren dalam

Menggerakkan Tradisi, cet. Ke3 (Yogyakarta: LKiS, 2010), 71-72. Bandingkan dengan Martin

Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren Dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia cet. ke-3 (Bandung: Mizan, 1999) 18.

37 Lihat Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren Dan Tarekat: Tradisi-Tradisi

Islam Di Indonesia cet. ke-3 (Bandung: Mizan, 1999) 20. Bacaan shalawat yang dibaca di

pesantren Mambaus Sholihin sangat beragam, di antaranya adalah sholawat burdah, maulid

(23)

perayaan Maulid Nabi tahun 1428 H/2006 M. Isi taus}iyah ini berupa anjuran untuk mah}abbah (cinta) pada para z\urriyah al-rasu>l. Karena baginya, mencintai mereka sama dengan mencintai Nabi Muhammad. Beliau mendasarkan pemahaman ini pada suatu riwayat yang artinya “seseorang akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya”.38 Saat menyampaikan taus}iyah beliau juga menceritakan pengalaman pribadi beliau terkait kecintaan beliau dengan z\urriyah al-rasu>l sebagaimana berikut.

“Santri-santriku, alhamdulillah, saya sendiri sangat bersyukur kepada Allah s.w.t karena didekatkan dengan z\urriyah al-rasu>l s.a.w. bahkan saya selalu berusaha agar tetap berhubungan dengan mereka. Sehingga kalau ada acara di pesantren, saya selalu berkehendak untuk mengundang para habaib tersebut, dengan harapan ngalap (mencari) barakah dari mereka. Hal ini karena saya merasa dengan kehadiran para habaib di pesantren ini, berarti pesantren ini juga telah mendapatkan berkah yang sangat agung dari Allah s.w.t, sehingga besarnya pesantren juga termasuk berkah dari para z\urriyah al-rasu>l

s.a.w yang datang ke sini, bersilaturrahim dan mendoakannya.

Sehingga ketika mereka berkunjung ke sini saya selalu meminta doa kepada mereka agar pesantren ini menjadi pesantren yang penuh barakah dan bisa memberikan ilmu yang bermanfaat kepada santri-santri yang belajar di sini.”39

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa kiai Masbuhin Faqih sendiri sangat menghormati bahkan mencintai ahl al-bait. Penghormatan dan kecintaan itu pun diekspresikan dengan mengundang mereka pada saat ada acara di pesantrennya dengan harapan mendapat keberkahan untuk pesantren dan juga santri.

38 Teks arab nya berupa بَحَأ ْنَم َعَم ُء ْرَملا ُرَشْحُي . Lihat KH. Masbuhin Faqih, Sabda

Pesantren Kumpulan Tausyiyah KH. Masbuhin Faqih, (Gresik: HAMAM Press, 2008), 61.

39 KH. Masbuhin Faqih, Sabda Pesantren Kumpulan Tausyiyah KH. Masbuhin Faqih,

(24)

Di kabupaten Gresik sendiri, kebetulan terdapat ahl al-bait yang menetap. Mereka merupakan ahl bait yang bermarga Assegaf. Ahl

al-bait yang menetap di Gresik ini merupakan keturunan Habib Abu Bakar

Assegaf. Keluarga ahl al-bait ini yang memiliki hubungan dekat dengan dan sering diundang oleh kiai Masbuhin Faqih ketika ada acara di pesantrennya.

Acara-acara yang dilaksanakan di pesantren ini dengan mengundang ahl al-bait di antaranya adalah acara haul kiai Abdullah Faqih (orang tua kiai Masbuhin Faqih) pada malam 21 bulan Ramadhan dan haul nyai Hj. Mas’aini (istri kiai Masbuhin Faqih) yang dilaksanakan pada malam awal bulan Rajab. Juga pada acara pertemuan wali santri dan peringatan Maulid Nabi dan pada acar pembukaan dan penutupan rouhah Shahih Al-Bukhari dan Ihya’ Ulumiddin dll. Ahl al-bait yang diundang adalah Habib Abdul Qadir Assegaf, cucu Habib Abu Bakar Assegaf, Habib Husein Assegaf, Habib Ahmad Assegaf dll.40 Hal ini menunjukkan betapa pesantren ini, khususnya kiai Masbuhin Faqih begitu menghormati para ahl al-bait.

40 Hasil wawancara dengan Ust. Abdul Rozaq, S,Pd.I., pengajar di pesantren dan di MTs.

(25)

44

A. Kitab Shahih Al-Bukhari

Shahih Al-Bukhari merupakan karya kompilasi hadis-hadis nabi Muhammad yang disusun oleh salah satu ulama’ muslim klasik yang ahli di bidang hadis dan begitu terkenal di dunia Islam, yaitu Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah.1 Judul asli kitab ini adalah al-Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah}i>h} al-Mukhtas}ar min Umu>r Rasu>lillah S{alla Allah Alaihi wa Sallam wa Sunanihi wa Ayya>mihi. Melalui karyanya ini lah imam Bukhari- nama yang familiar di dunia Islam- memiliki reputasi yang tinggi dalam keilmuan Islam, khususnya dalam bidang hadis.

Dalam kitab Shahih Al-Bukhari ini terdapat 97 bab (kitab) dan 3450 sub bab. Adapun jumlah hadis di dalamnya, menurut Ibn Hajar (w. 852/1449) terdapat 9082 hadis. Jumlah ini termasuk juga hadis yang tidak lengkap sanadnya. Dari sekian banyak jumlah hadis, terdapat sekitar 4000 hadis yang

1 Ia lahir pada hari Jumat, 13 Syawal tahun 194 H./810 M. di kota Bukhara. Ia hidup

pada masa kekhilafahan dinasti Abbasiyah. Dalam usaha mencari hadis ia melakukan perjalanan jauh dari satu kota ke kota yang lain dan bertemu dengan orang –orang yang memiliki riwayat hadis. Diantara guru-gurunya yang terkenal adalah Ishaq bin Rahawayh (w. 238 H./853 M.), Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Ali bin Al-Madini, Abu Ashim Dhahhak bin Al-Nabil, Abdullah bin Zubair al-Humaidi. Tempat-tempat yang dilewatinya dalam perjalanan mencari hadis adalah Khurasan. Di kota ini ia berkunjung ke Balkh, Merv dan Naysabur. Dia juga pergi ke Iran Barat, Baghdad, Basrah, Kufah, Madinah, Makkah, Mesir dan Syiria. Karya-karya yang dihasilkan olehnya banyak sekali, diantaranya Ta>rikh Al-Kabi>r Ta>rikh Ausat}, Ta>rikh S{agi>r, Raf’ al-Yadain Fi> al-Shola>h, Khalq Af’a>l al-Iba>d dan yang lain. Shahih Bukhari merupakan masterpeace dari karya-karya Imam Bukhari. Ia meninggal pada hari Sabtu, malam hari raya tahun 256 H./872 M. Lihat Muhammad Abu Syuhbah, Fi Riha>b al-Sunnah al-Kutub al-S{ih}ah} al-Sittah, terj. Ahmad Utsman (Surabaya: Pustaka Progresif, 1993), 37-44. Bandingkan dengan Muhammad Mustafa Azami, Studies in hadith Methodology and Literature, terj. A. Yamin (Bandung: Pustaka Hidayah, 1992), 139-143.

(26)

diulang di lain sub bab. Apabila dihitung dengan tanpa pengulangan terdapat 2602 hadis. dan terdapat kira-kira 3397-4000 jumlah perawinya.2

Karya-karya yang terkait dengan bidang hadis telah begitu banyak diproduksi dan begitu beragam dengan berbagai genrenya. Di antara genre-genre kitab hadis adalah kitab ja>mi’3 kitab musnad,4 kitab sunan,5 kitab

mustakhraj,6 kitab mustadrak,7 dll. Setiap genre memiliki ciri khas dan spesifikasi sendiri-sendiri. Adapun Shahih Al-Bukhari masuk dalam kategori

2 Jonathan Brown, the Canonization of Al-Bukhari and Muslim, the formation and

function of the sunni hadith canon (Leiden: Koninklijke Briil NV, 2007) 69-70. Bandingkan

dengan Muhammad Abu Zahw, The History Of Hadith Historiografi Hadits Nabi Dari Masa Ke

Masa, terj. Abdi Pemi Karyanto dan Mukhlis Yusuf Arbi, (Depok: Keira Publising, 2015) 307.

Muhammad Mustafa Azami, Studies in hadith Methodology and Literature, terj. oleh A. Yamin, cet. ke II, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), 142. Muhammad Abu Syuhbah, Fi Rihab al-Sunnah

al-Kutub al-Sihah, al-Sittah, terj. Ahmad Utsman, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1993), 51.

3 Kitab ja<mi’ adalah genre kitab hadis, di mana pengarangnya, dalam penulisannya,

memasukkan seluruh topik yang berkaitan dengan agama Islam, seperti aqidah, hukum, adab, tafsir, manaqib, sirah dll. Ada banyak kitab hadis yang masuk dalam genre ini, seperti Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim. Lihat Ali Mustafa Yakub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), 78.

4 Kitab musnad adalah genre kitab hadis, di mana metode penulisannya hanya

memasukkan nama-nama sahabat kemudian diikuti oleh hadis-hadis yang diriwayatkan oleh mereka. Jadi penulisannya tidak berdasar topik atau tema seperti dalam kitab jami’. Kitab hadis yang masuk dalam kategori ini misalnya kitab Musnad karya Abu Dawud al-Tayalisi (w. 204 H.), Musnad karya Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H.), Musnad karya Abu Ya’la al-Maushuli (w. 307 H.). Lihat Ali Mustafa Yakub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), 77.

5 Kitab Sunan adalah genre kitab hadis di mana penulisannya berdasar pada klasifikasi

hukum Islam (Abwa>b Fiqhiyah), seperti kita>b iba>dah, mu’a>malah, jinayat, hudu>d, dll. dan mayoritas hadis yang dimasukkan adalah hadis marfu’ (hadis yang bersumber dari Nabi), adapun hadis Mauquf (hadis yang bersumber dari sahabat) dan hadis maqtu>’ (hadis yang bersumber dari ta>bi’i>n) relatif sedikit. Berbeda dengan kitab Muwat}t}a’ dan Mus}annaf yang memuat banyak hadis-hadis mauqu>f dan maqtu>’. Di antara kitab hadis yang masuk dalam kategori ini adalah sunan karya Abu Dawud al-Sijistani (w. 275 H.), Ibnu Majjah al-Qazwini (w. 275 H.), al-Nasa’i (w. 303 H.) dll. Lihat Ali Mustafa Yakub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), 79.

6 Kitab Mustakharj adalah genre kitab hadis di mana penulisnya menyalin atau mengutip

kembali matan/teks hadisnya saja dari kitab hadis lain dan kemudian memberi sanad dari dirinya sendiri. contoh kitab mustakhraj adalah Mustakhraj ala Shahih al-Bukhari karya al-Ismaili (w. 371 H.) dan karya Ibn Abi al-Dzuhl (w. 378 H.), Mustakhraj ala Shahih al-Muslim karya al-Isfirayini (w. 310 H.) dan karya Abu Hamid al-Harawi (w. 355 H.) dan Mustakhraj ala Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim karya Abu Nuaim al-Isbahani (430 H.) dan karya Ibnu al-Akhram (w. 344 H.) dll. Lihat Ali Mustafa Yakub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), 78.

7 Kitab Mustadrak adalah genre kitab hadis di mana dalam penulisannya, penulisnya

mengikuti persyaratan periwayatan hadis dari kitab hadis lain yang digunakan untuk menyeleksi dan memasukkan hadis yang belum ada di dalam kitab hadis lain tersebut. Contoh kitab

Mustadrak adalah al-Mustadrak Ala al-Sahihain karya al-Hakim. Lihat Ali Mustafa Yakub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), 78.

(27)

kitab jami’. Ini menunjukan bahwa kitab ini merupakan bagian kecil dari

begitu banyaknya kitab hadis. Dalam semua genre kitab hadis, terdapat konsensus tentang otoritas tertinggi dari kitab-kitab tersebut berdasarkan nilai ke-shahih-annya di mana otoritas ini melintasi semua genre. Sehingga memunculkan hirarki di antara mereka. Secara hirarki, kitab yang dianggap memiliki otoritas ini adalah Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasa’i, Sunan Ibnu Majjah, Musnad Ahmad bin Hanbal, Muwat}t}a’ Imam Malik, dan Sunan al-Darimi. Kitab-kitab ini terkenal dengan sebutan kutub sittah untuk enam kitab hadis awal dan kutub

tis’ah untuk seluruhnya.

Shahih Al-Bukhari memiliki posisi tertinggi dibanding kitab yang lain. ia dianggap sebagai kitab hadis yang paling shahih (otentik). Di antara argumen yang mengatakan bahwa Shahih Al-Bukhari merupakan kitab hadis paling shahih adalah karena standar/persyaratan- setelah mengalami kajian kritis oleh ulama’ hadis- yang digunakan oleh imam Bukahri lebih ketat dibanding dengan penulis kitab hadis lain. Yakni dalam aspek keterhubungan sanad. Imam Bukhari mensyaratkan, selain sezaman, harus bertemunya (liqa>’) perawi satu dengan perawi yang lain, meskipun hanya sekali. Berbeda dengan standar Imam Muslim yang lebih longgar. Baginya ketersambungan sanad cukup dengan indikasi sezaman antar perawi.8 Selain argumen metodologis, argumen lain adalah bahwa imam Bukhari hanya memasukkan hadis-hadis

8 Lihat Akram D{iya al-Umary, Buhu>s\ fi Ta>ri>kh al-Sunnah al-Musyarrofah, (Madinah:

Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, tt) 317. Bandingkan dengan M. Syuhudi Ismail, Kaedah

Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, cet. ke II,

(28)

shahih saja. Hal ini tercermin dari judul asli Shahih Al-Bukhari, yaitu

al-Jami’ al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min Umur Rasulillah Shallallahu Alaihi wa Sallam wa Sunanihi wa Ayyamihi. Hal ini sangat berpengaruh pada

resepsi dan respon orang-orang muslim atasnya. Oleh karena itu, ia menjadi rujukan yang otoritatif, khususnya bagi kelompok Sunni. Sehingga darinya, lahirlah karya-karya hadis, di mana hadisnya merujuk padanya dan kitab hadis di bawahnya. Seperti kitab Riyadhus Shalihin, Jawahir al-Bukhari,

Tajrid al-Sharih dll.

Pesantren-pesantren di Indonesia, sebagai lembaga pendidikan agama Islam tak lepas dari pengajaran hadis kepada santri-santrinya. Kitab hadis yang diajarkan di pesantren ini sangat beragam mulai dari kitab utama seperti

kutub sittah atau kitab hadis yang mengutip dari kitab hadis besar (kutub sittah dan kitab hadis yang lain). Martin Van Bruinessen dalam bukunya

mencatat kitab-kitab hadis yang dipelajari di pesantren-pesantren. Kitab-kitab hadis tersebut di antaranya adalah kitab Bulu>g al-Mar>am, Riyad} al-S}alih}in, S{ah}i>h} Al-Bukhari, S{ah}i>h} Muslim, Tajri>d al-S{ari>h, Jawa>hir al-Bukhari, S{ah}i>h} Muslim, Maja>lis al-Saniyah, Z\|urrah al-Na>s}ih}i>n, dll. Untuk kitab Shahih Al-Bukhari, Bruinessen menyebut bahwa kitab ini dipelajari oleh santri yang masuk dalam kategori Khawash di lima pesantren di Jawa Timur, tujuh pesantren di Jawa Tengah, dan enam pesantren di Jawa Barat. 9

Penjelasan Bruinessen tersebut menunjukkan bahwa kitab Shahih Al-Bukhari tidak asing di pesantren. Karena ia juga dipelajari oleh santri dan

9 Lihat Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren Dan Tarekat: Tradisi-Tradisi

(29)

yang mempelajari kitab hadis ini adalah santri yang masuk kategori khawash. Yakni santri yang bisa dikatakan sebagai santri senior, yang telah menguasai dasar-dasar ilmu agama. Dan tentunya kitab tersebut dipelajari dengan metode pembelajaran khas pesantren, metode bandongan/wetonan.

Mengingat kitabnya merupakan kitab hadis induk yang berisi ribuan hadis.

B. Proses Pelaksanaan Rouhah Shahih Al-Bukhari di Pon. Pes. Mambaus

Sholihin

Rouhah yang telah menjadi tradisi tahunan di lingkungan pesantren

Mambaus Sholihin ini dilaksanakan secara penuh di bulan Rajab dalam kalender Islam. Dalam penanggalan Islam, yang menjadi patokan pergantian hari adalah peredaran bulan. Hal ini berbeda dengan penanggalan masehi, di mana pergantian harinya mengacu pada peredaran matahari. Maka perhitungan awal hari dalam kalender Islam dimulai dari tenggelamnya matahari, karena ketika matahari tenggelam bulan mulai menampakkan dirinya. Dalam ilmu hukum Islam (fiqih), tenggelamnya matahari ini merupakan tanda waktu pelaksanaan shalat Maghrib.

Pada malam tanggal 1 Rajab ini ada beberapa rangkaian acara yang dilaksanakan dalam satu momen ini. Selain pembukaan rouhah Shahih Al-Bukhari, ada acara khataman rouhah kitab Ihya’ Ulumuddin yang telah menjadi kegiatan mingguan sebelumnya,10 juga acara haul istri kiai Masbuhin

10 Rouhah kitab Ihya’ Ulumuddin ini dilaksanakan setiap seminggu dua kali, yaitu setiap

hari Selasa dan hari Jumat. Waktu pelaksanaannya dimulai jam 17.30 wib. dan bertempat di rumah kiai Masbuhin Faqih. Berbeda dengan rouhah Shahih Al-Bukhari, di mana ia secara khusus dilaksankan pada bulan Rajab dan dilaksanakan di berbagai rumah para guru. Peserta rouhah Ihya’ ini sama seperti rouhah Shahih Al-Bukhari. Rouhah kitab Ihya’ ini dilaksanakan selama 10 bulan (bulan Ramadlan diliburkan). Ia dikhatamkan bersamaan dengan pembukaan rouhah Shahih

(30)

Al-Faqih, al-marhumah Hj. Mas’aini.11 Jadi rangkaian acaranya setelah shalat Maghrib adalah khataman rouhah kitab Ihya’ Ulumuddin, kemudian dilanjutkan dengan pembukaan rouhah kitab Shahih Al-Bukhari. Adapun acara haul dilaksanakan setelah shalat Isya’.

Pentupan dan pembukaan rouhah ini bertempat di mushala pesantren yang diikuti oleh pimpinan pesantren, kiai Masbuhin Faqih beserta para putranya, dan para guru yang mengajar di pesantren dan di lembaga-lembaganya. Selain itu para h}aba>ib (bentuk plural dari bahasa arab h}abi>b, mereka yang memiliki garis keturunan Nabi Muhammad) yang ada di kabupaten Gresik juga diundang, untuk mengikuti pembukaan rouhah ini, seperti habib Abdul Qadir Assegaf, Habib Husein Assegaf dan lain-lain. Selain mereka, para santri juga diikut-sertakan dalam pembukaan rouhah ini.12

Bukhari, yakni pada awal bulan Rajab. Kemudian rouhah kitab Ihya’ ini dimulai lagi setelah

rouhah Shahih Al-Bukhari khatam. Yakni pada awal bulan Sya’ban.

11 Pada acara haul ini, yang diundang adalah warga desa suci, serta tamu undangan

tertentu seperti para h}aba>ib dan para kiai. Tempat acara haul ini juga di mushala pesantren.

(31)

Gambar II.

Penutupan rouhah kitab Ihya’ Ulumuddin dan pembukaan rouhah kitab Shahih Al-Bukhari. (Sumber: dokumentasi panitia pelaksanaan rouhah

dan haul Hj. Mas’aini, istri kiai Masbuhin Faqih)

Dalam pembukaan rouhah ini acara dimulai dengan tawassul atau membaca al-fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi Muhammad beserta keluarga dan keturunannya, kepada pengarang kitab Shahih Al-Bukhari dan seluruh umat Islam. Kemudian dilanjutkan dengan membaca kitab Shahih Al-Bukhari dari hadis yang pertama secara bergantian.

Untuk pelaksanaan rouhah selanjutnya dilaksanakan di tempat yang telah masuk dalam jadwal pelaksanaan rouhah ini. Secara umum, tempat pelaksanaan rouhah ini dapat diklasifikasi menjadi beberapa macam. Pertama di rumah kiai sebagai pimpinan pesantren dan juga di rumah putra-putranya. Kedua di rumah para guru yang menjadi pengajar di lingkungan pesantren. Ketiga di lembaga-lembaga yang ada di pesantren dan keempat di rumah sebagian warga desa Suci.

Pada pelaksanaan rouhah bulan Rajab tahun 1439 H. seperti biasanya, pembukaannya dilakukan di mushala pesantren putra, berikutnya dilaksanakan di rumah kiai yang bertempat di lingkungan pesantren putri, kemudian di rumah ust. Abdul Malik, kemudian di rumah H. Fahrul Anam (putra ke I kiai), kemudian di rumah ust. Abdul Hafidz, kemudian di rumah bapak kepala desa Suci, kemudian di rumah ust. Mustaghfirin, kemudian di kantor Madrasah Ibtidaiyah, kemudian di rumah ust. Muhammad Najib (menantu kiai), kemudian di rumah H. Zainul Huda (putra ke II kiai),

(32)

kemudian di rumah H. Muhammad Ma’ruf (putra ke II kiai), kemudian di rumah ust. Khoirus Sobri, kemudian di rumah ust. Miftahur Rahman, kemudian di rumah ust. Abdul Muqsith (menantu kiai), kemudian di rumah ust. Ahmad Haris Fahrudi, kemudian di kantor Madrasah Aliyah, kemudian di rumah ust. Abdul Halim, kemudian di rumah ust. Azhari, kemudian di rumah ust. Humaidi Jazeri, kemudian di rumah kiai Zainul Arifin, kemudian di kantor Madrasah Tsanawiyah, kemudian di rumah ust. Mashobihul A’lam, kemudian di rumah ust. Nurul Huda, kemudian di rumah ust. Moh. Ismail, kemudian di rumah ust. Moh. Anas (putra ke VIII kiai) kemudia di rumah ust. Nur Hadi, kemudian di rumah ust. Khoirul Huda, kemudia di rumah H. Muhammad Ainun Naim (putra ke XII) kemudian di gedung Institut Keislaman Abdullah Faqih.

TABEL II

Jadwal Rouhah Kitab Shahih Al-Bukhari Pondok Pesantren Mambaus Sholihin

1 - 29 Rajab 1439 H

NO TANGGAL TEMPAT MAQRA'

1 18 Maret 2018 Musholla putra

2 19 Maret 2018 Ndalem timur

3 20 Maret 2018 ust. H. Abd malik 4 21 Maret 2018 Agus H. Fakhrul Anam, MF 5 22 Maret 2018 Ust. H. Abd Hafidz

6 23 Maret 2018 Pak Lurah

(33)

8 25 Maret 2018 Madrasah Ibtidaiyah

9 26 Maret 2018 Gus Najib

10 27 Maret 2018 Gus Huda

11 28 Maret 2018 Gus Muhammad

12 29 Maret 2018 Ust. Khoirus sobri 13 30 Maret 2018 Ust. Miftahur Rohman 14 31 Maret 2018 Ust. Abdul Muqsith 15 1 April 2018 Ust. Ah. Haris Fahrudi 16 2 April 2018 Madrasah Aliyah

17 3 April 2018 Ust. Abd Halim

18 4 April 2018 Ust. Azhari

19 5 April 2018 KH. Humaidi Jazeri 20 6 April 2018 KH. Zainul arifin 21 7 April 2018 Madrasah Tsanawiyah 22 8 April 2018 Ust. Mashobihul A'lam 23 9 April 2018 Ust. Nurul Huda 24 10 April 2018 Ust. Moh. Ismail 25 11 April 2018 Agus H. Moh. Anas M.F

26 12 April 2018 Ust. Nur Hadi

27 13 April 2018 Ust. Khoirul Huda, S.Ag 28 14 April 2018 Agus Ainun Naim M.F

29 15 April 2018 INKAFA

Sebelum pelaksanaan rouhah tiba pada waktunya, mereka, baik dari para putra kiai, para guru dan sebagian warga desa Suci, mendaftar ke panitia/penanggung jawab rouhah ketika mereka ingin menjadi tuan rumah

rouhah kitab Shahih Al-Bukhari ini. Mereka yang lebih awal mendaftarkan

(34)

jadwal tuan rumah dari rouhah ini. Karena waktu pelaksanaan rouhah ini hanya sebulan saja, tepatnya bulan Rajab yang hanya berisi dua puluh sembilan hari. Sehingga kuota daftar tuan rumah dari kegiatan ini juga terbatas hanya dua puluh sembilan tempat saja. Bahkan sering terjadi, menurut penutuan panitia, sebagian guru tidak mendapat kesempatan untuk menjadi tuan rumah, karena jadwal tuan rumah telah penuh.13 Hal ini menunjukkan bahwa begitu besar antusias para guru yang ada di lingkungan pesantren yang ingin menjadikan rumahnya sebagai tempat dari pelaksanaan

rouhah kitab Shahih Al-Bukhari ini.

Pelaksanaan rouhah kitab Shahih Al-Bukhari dilakukan setiap pukul 16.30 wib. Sampai dengan pukul 20.00 wib. Kecuali apabila rouhah bertempat di lembaga-lembaga yang ada di lingkungan pesantren seperti di Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah dan perguruan tinggi Institut Keislaman Abdullah Faqih (INKAFA). Maka rouhah dilaksanakan mulai pukul 05.30 wib atau setelah shalat Subuh sampai dengan pukul 20.00 wib. Durasi waktu rouhah lebih lama ketika dilaksanakan di lembaga-lembaga pesantren dari pada di rumah para guru. Hal ini dilakukan agar pembacaan hadis dari kitab Shahih Al-Bukhari ini bisa selesai tepat waktu di akhir bulan Rajab.14

Setiap kali rouhah dimulai, yang pertama dilakukan adalah melakukan tawassul, kemudian dilanjutkan membaca hadis yang ada di kitab

13 Wawancara dengan Ahmad Ubaidillah Mahfud, kordinator rouhah Shahih Al-Bukhari,

pada 22 April 2018.

(35)

Shahih Al-Bukhari oleh para peserta, meneruskan hadis yang sudah dibaca sebelumnya. Ketika waktu shalat Maghrib tiba, maka pembacaan kitab Shahih Al-Bukhari berhenti sejenak untuk melakasanakan shalat Maghrib terlebih dahulu. Layaknya shalat pada umumnya, adzan pun dikumandangkan oleh salah satu peserta. Pelaksanaan shalat Maghrib pun dilaksanakan di tempat rouhah tersebut dengan berjamaah. Sehingga para peserta tidak pindah tempat, baik ke mushala atau masjid. Seperti umumnya orang muslim shalat, setelah selesai melaksanakan shalat Maghrib, mereka menyambungnya dengan membaca wirid, kemudian dilanjutkan dengan shalat sunnah rawatib, kemudian dilanjutkan dengan shalat sunnah tsubutul

iman. Setelah selesai shalat sunnah tsubutul iman rouhah pun kemudian

dilanjutkan kembali. Hingga semua peserta selesai membaca. Biasanya yang menjadi pembaca pemungkas adalah kiai Masbuhin Faqih sendiri dan dilanjutkan dengan pembacaan doa olehnya. Setelah doa selesai, para peserta melakukan shalat Isya berjamaah sama seperti shalat Maghrib dengan diawali mengumandangkan adzan, kemudian melaksanakan shalat sunnah rawatib. Setelah itu iqamat dibacakan dan shalat berjamaah dimulai dengan kiai Masbuhin Faqih yang menjadi imam. Wirid pun dibaca setelah shalat rampung, dan berikutnya disambung dengan shalat sunnah rawatib dan shalat

witir. Kemudian dilanjutkan dengan ramah tamah yang telah disediakan oleh

tuan rumah. Tak jarang, tuan rumah memberi bingkisan oleh-oleh (jawa:

berkat) kepada peserta sebelum mereka pulang.15

(36)

Saat rouhah kitab Shahih Al-Bukhari, setiap peserta membaca beberapa hadits. Rata-rata, masing-masing membaca antara lima sampai sepuluh hadis secara bergantian. Ketika salah satu peserta membaca, maka biasanya peserta yang lain menyimak16 bacaan pembaca dan memberi koreksi atas bacaan yang salah dari pembaca, baik dari segi harakat dan hurufnya. Di akhir bacaan, setiap peserta menyelipkan bacaan kalimat “rad}iya Allah ‘ankum” sebagai tanda bacaanya telah selesai.

Rouhah ini tidak memberikan sesi penjelasan sama sekali atas hadis

yang dibaca kepada peserta. Hal ini bisa disamakan dengan sema’an atau pembacaan Al-Qur’an yang umumnya dilakukan oleh orang-orang muslim. Ketika ada bacaan yang salah dari pembaca, peserta yang lain juga memberi koreksi atas bacaan tersebut.17

Seperti saat pembukaan, penutupan kegiatan rouhah juga mengundang para habaib yang ada di Gresik, khusunya habib Abdul Qadir Asseggaf dan habib Husen Assegaf. Penutupan ini dilakukan pada hari terakhir bulan Rajab dengan cara seperti pelaksanaannya setiap harinya. Adapun yang membaca doa penutup adalah habib Husen Assegaf. Kemudian dilanjutkan dengan membaca shalawat mahall al-qiya>m. Di hari penutupan ini peserta yang terpilih mendapatkan semacam kupon yang nantinya ditukarkan dengan sebungkus sarung kepada panitia. Kategori yang mendapatkan kartu ini adalah peserta yang aktif mengikuti rouhah ini. peserta

16 Kegiatan mendengarkan sambil melihat teks yang dibaca oleh peserta. 17 Pengamatan penulis pada 14 April 2018.

(37)

yang aktif mengikuti rouhah ini mendapat reward berupa sarung dari panitia.18

C. Sejarah dan Geneaologi Rouhah Shahih Al-Bukhari

Tradisi rouhah yang ada di Pon. Pes. Mambaus Sholihin ini dimulai pada tahun 2012 M. Hingga sampai pada tahun 2018, rouhah ini telah berjalan selama tujuh tahun. Pelaksanaan rouhah ini awalnya memang kehendak kiai Masbuhin Faqih sendiri. Beliau ingin mengikuti rouhah yang diadakan oleh keluarga Assegaf yang menetap di Gresik. Tradisi rouhah ini diyakini sebagai tradisi ulama’ salaf yang masih dilestarikan oleh keluarga Assegaf. 19

Sehingga rouhah yang dilaksanakan di pesantren ini merupakan kegiatan yang berasal dari tradisi rouhah yang dilaksanakan oleh keluarga Assegaf.20

Hal ini termasuk bagian dari pandangan dunia pesantren yang berusaha berpegang pada, dan melestarikan tradisi tradisi ulama’ klasik baik berupa pemikiran-pemikiran yang terdapat dalam kitab-kitab klasik atau tradisi budayanya. Salah satu selogan yang mencerminkan pandangan dunia pesantren adalah al-muh}a>faz}ah ala al-qadi>m al-s}a>lih}, yang artinya melestarikan tradisi-tradisi yang baik. Adapun praktek pelaksanaan rouhah Shahih Al-Bukhari di Pon. Pes. Mambaus Sholihin telah di paparkan pada poin sebelumnya.

18 Pengamatan penulis pada 15 April 2018.

19 Menurut van den Berg orang yang berbangsa Arab mulai menetap di Gresik pada awal

abad 18 M. lihat L.W.C. van den Berg, Le Hadhramout Et. Les Colonies Arabes Dans L’Archipel

Indien, terjemah rahayu Hidayat, (Jakarta: INIS, 1989), 75.

20 Wawancara dengan kiai Masbuhin Faqih, pimpinan pesantren Mambaus Sholihin pada

(38)

Kata rouhah sendiri menurut penuturan habib Husen Assegaf, pimpinan

rouhah di keluarga Assegaf, bermakna waktu sore. Ketika makna itu

dikaitkan dengan kegiatan rouhah, maka karena pada waktu ini, kondisi diri seseorang terasa lebih segar dan lega. Kondisi lelah, penat setelah aktivitas hampir sehari telah sirna. Sehingga jiwa raga seseorang telah siap untuk melaksanakan kegiatan pembacaan Shahih Al-Bukhari atau Ihya’ Ulumuddin.21 Ketika dilacak dalam kamus bahasa arab, ditemukan bahwa

secara etimologis kata rouhah merupakan bahasa arab yang tersusun dari huruf ra’, wawu dan ha’ (حور) yang memiliki beberapa arti. Bisa berarti datang atau berangkat di waktu sore, atau angin masuk pada sesuatu. Sedangkan kata ra>h}ah, turunan dari kata حور sendiri memiliki arti kondisi diri yang sehat, segar, lega, ringan. Ia merupakan lawan kata dari lelah, penat, berat atau jenuh atau keadaan diri yang negatif. Ia bisa juga bermakna waktu sore.22

Dalam sejarahnya, yang pertama kali melaksanakan kegiatan rouhah di keluarga Assegaf ini adalah habib Abu Bakar Assegaf.23 Riwayat pendidikan

21 Wawancara dengan Habib Husen Assegaf. Pada 19 April 2018.

22 Lihat Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, tt), 1767. lihat juga A.W.

Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 545.

23 Beliau lahir di Besuki, Jawa Timur pada tahun 1285 H./1863 M. Ayahnya, Muhammad

Assegaf meninggal saat Habib Abu Bakar masih kecil. Ketika mendengar bahwa ayah Habib Abu Bakar meninggal, neneknya yang tinggal di Hadramaut meminta habib Abu Bakar untuk pergi ke Yaman sekaligus mencari ilmu. Saat itu dia berusia 8 tahun. Dia belajar kepada beberapa guru di sana. Di antara guru-gurunya adalah habib Abdillah bin Umar, pamannya sendiri, habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, Habib Abdul Qadir bin Ahmad bin Quthban dll. Pada tahun 1302 H. dalam usia kira-kira 17 tahun, dia pulang ke kampung kelahirannya di Besuki dan tiga tahun kemudian pindah ke Gresik. Setelah pulang ke Indonesia, Dia masih berguru kepada beberapa orang. Di antaranya adalah Habib Abdullah bin Muhsin al-Athas, Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Athas dll. Dia meninggal pada 1376 H./1954 M. pada usia 91 tahun. Dia dikenal sebagai seorang wali qutb pada masanya. Wali qutb merupakan merupakan bagian dari salah satu tingkatan dari tiga tingkatan dalam dunia tasawwuf. Dalam dunia tasawwuf dikenal adanya tiga tingkatan salik (orang yang menjalani tasawwuf), yaitu

Gambar

Gambar II.
TABEL II
Gambar III.
Tabel III
+2

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian berupa dokumentasi dan wawancara maka diketahui bahwa pemberdayaan yang ada di Pondok Pesantren Al-Fatah sesuai dengan

Nur Faizah, Efektifitas Metode Sorogan, Bandongan Dan Klasikal Dalam Meningkatkan Pemahaman Kitab Kuning Santri Di Pondok Pesantren Al Hidayat Lasem Rembang

Kesan-kesan yang diperoleh dari hasil kunjungan ke mancanegara dan catatan dalam kongres tersebut telah mendorong Imam Zarkasyi untuk menjadikan Pesantren Gontor

Ustad Nur Rokhim adalah santri yang sejak awal telah membantu dan mendukung gagasan KH. Nurcholis Misbah untuk mendirikan pesantren. Ustad Nur Rohim menjadi santri

Dalam keadaan seperti itu, Ibu Santoso tetap bertekad untuk memajukan pesantren yang telah dibangun oleh nenek moyang dari pada suaminya itu, akhirnya iapun

Dan yang menjadi Misi dari Pondok Pesantren Bustanu Ulum adalah ‘’Menyelenggarakan pendidikan yang berorientasi pada mutu,.. baik secara keilmuwan maupun secara moral sehingga

Pondok pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah merupakan lembaga pendidikan agama Islam swasta, maka upaya untuk pengembangan pendidikan Islam dibentuk suatu yayasan

Harta wakaf berupa tanah yang diterima dari wakif, telah digunakan untuk penyelenggaraan pendidikan agama Islam, antara lain untuk Pondok Pesantren al-Ma’unah,