• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. : Spermatophyta. : Dicotyledoneae. : Syzygium polyanthum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. : Spermatophyta. : Dicotyledoneae. : Syzygium polyanthum"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

4 A. Tinjauan Pustaka

1. Daun Salam (Syzygium polyanthum) a. Taksonomi

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Subkelas : Dialypetalae Bangsa : Myrtales Suku : Myrtaceae Marga : Syzygium

Spesies : Syzygium polyanthum (Tjitrosoepomo, 2005)

b. Habitat

Pohon salam tersebar di Asia Tenggara, mulai dari Burma, Indocina, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Pohon salam tumbuh liar di hutan, pegunungan, dan pekarangan sekitar rumah. Pohon ini dapat ditemukan di daerah dataran rendah

(2)

sampai ketinggian 1.400 m di atas permukaan air laut (Dalimartha, 2000).

c. Deskripsi Tanaman

Tinggi pohon mencapai 25 m, batang bulat dan permukaannya licin, bertajuk rimbun, dan berakar tunggang. Daun tunggal, letak berhadapan, panjang tangkai daun 0,5-1 cm. Helaian daun berbentuk lonjong sampai elips atau bundar telur sungsang, ujung meruncing, pangkal runcing, tepi rata pertulangan menyirip. Permukaan atas licin berwarna hijau tua, permukaan bawah berwarna hijau muda, panjang 5-15 cm, lebar 3-8 cm, jika diremas berbau harum. Bunga majemuk tersusun dalam malai yang keluar dari ujung ranting, berwarna putih, baunya harum. Biji bulat dengan diameter sekitar 1 cm dan berwarna cokelat. Buahnya berbentuk bulat dengan diameter 8-9 mm. Buah yang telah masak berwarna merah gelap (Dalimartha, 2000).

d. Kandungan Kimia

Daun salam (Syzygium polyanthum) mengandung saponin, triterpenoid, alkaloid, dan 0.05% minyak esensial yang terdiri dari sitral, tanin, flavonoid, lakton, dan fenol (Soedarsono, 2002). Selain itu, daun salam juga mengandung eugenol dan methyl chavicol (Hanindra, 2012).

Saponin merupakan senyawa metabolit sekunder dan merupakan kelompok glikosida triterpenoid atau steroid aglikon, terdiri dari satu

(3)

atau lebih gugus gula yang berikatan dengan aglikon atau sapogenin, dapat membentuk kristal berwarna kuning dan amorf, serta berbau menyengat. Saponin merupakan senyawa ampifilik. Gugus gula (heksosa) pada saponin dapat larut dalam air tetapi tidak larut dalam alkohol absolut, kloroform, eter, dan pelarut organik non polar lainnya (Prasetyo et al., 2011). Menurut Gunawan dan Sri (2004) saponin ditemukan di tanaman yang biasanya dikonsumsi oleh serangga. Saponin mempunyai mekanisme sebagai racun pencernaan karena dapat menurunkan aktivitas enzim pencernaan serangga. Saponin juga dapat menurunkan tegangan permukaan selaput mukosa traktus digestivus larva sehingga dinding traktus digestivus menjadi korosif (Aminah et al., 2001). Menurut Wierenga yang dikutip Lumowa dan Trani (2015), saponin mempunyai kemampuan untuk menghambat aktivitas enzim protease. Selain itu, saponin juga mempunyai sifat sitotoksik dan hemolitik (Takechi, 2003)

Tanin merupakan polifenol tanaman yang larut dalam air dan dapat menggumpalkan protein (Westendarp, 2006). Tanin secara umum bekerja sebagai racun pencernaan pada serangga. Tanin menghambat aktivitas enzim pencernaan serangga dengan cara membentuk ikatan protein-enzim yang menyebabkan substrat/makanan tidak dapat dicerna oleh serangga (Farida, 2000).

(4)

Flavonoid berasal dari kata flavon, yaitu nama dari salah satu jenis zat terbesar jumlahnya dalam tumbuhan. Flavonoid bekerja menghambat aktivitas pernafasan larva. Flavonoid memasuki tubuh larva melalui saluran pernafasan. Kemudian flavonoid ini menyerang saraf dan sistem pernafasan yang menyebabkan larva tidak dapat bernafas dan akhirnya mati (Cania, 2013).

Alkaloid merupakan metabolit basa yang mengandung nitrogen yang diisolasi dari tanaman. Alkaloid dibentuk sebagian besar dari banyak asam amino seperti lisin, ornitin, phenilalanin, tryrosin, triptofan, serta kerangka asam-asam amino. Mevalonat dan asetat merupakan prekursor dalam proses biosintesis senyawa-senyawa alkaloid-steroida (Harahap, 2011). Alkaloid dalam bentuk garam dapat mendegradasi membran sel dan merusaknya. Alkaloid juga menyerang sistem saraf dengan cara menghambat aktivitas enzim acetylcholinesterase (Cania, 2013). 2. Aedes aegypti L. a. Taksonomi Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Diptera Familia : Culicidae

(5)

Genus : Aedes

Spesies : Aedes aegypti L. (Soegijanto, 2006)

b. Morfologi dan Siklus Hidup

Nyamuk Aedes aegypti L. dewasa memiliki ukuran sedang (panjang 3-4 mm) dengan tubuh berwarna hitam kecoklatan. Tubuh dan tungkainya ditutupi sisik dengan garis-garis putih keperakan. Sisik pada nyamuk yang sudah tua mudah rontok, sehingga menyulitkan indentifikasi nyamuk. Di bagian punggung (dorsal) tubuhnya tampak dua garis melengkung vertikal di bagian kiri dan kanan yang menjadi ciri spesies ini. Aedes aegypti L. secara makroskopis memang terlihat hampir sama seperti Aedes albopticus, tetapi terdapat perbedaan pada letak morfologis pada punggung (mesonotum). Aedes aegypti L. mempunyai gambaran punggung berbentuk garis seperti lyre dengan dua garis lengkung dan dua garis lurus putih. Sedangkan Aedes albopictus hanya mempunyai satu strip putih pada mesonotum (Rahayu, 2013). Kondisi lingkungan dan nutrisi yang diperoleh nyamuk selama fase perkembangan mempengaruhi ukuran dan warna dari nyamuk jenis ini. Nyamuk jantan lebih kecil daripada nyamuk betina. (Mariaty, 2010).

Nyamuk Aedes aegypti L. dan ordo diptera lainnya, dalam siklus hidupnya mengalami metamorfosis sempurna yaitu melalui tahapan telur, larva, pupa dan nyamuk dewasa. Lama daur hidup nyamuk Aedes

(6)

aegypti L. dari telur hingga dewasa rata-rata 8-14 hari tergantung pada suhu air (300 - 400 C) (Resitarani, 2014).

1) Telur

Telur nyamuk Aedes aegypti L. mempunyai panjang 1 mm dengan bentuk bulat oval atau memanjang. Telur berwarna hitam, memiliki dinding bergari-garis dan membentuk bangunan seperti kasa. Pada awalnya telur berwarna putih dan lembut ketika pertama kali dikeluarkan induknya. Namun, kemudian telur berubah menjadi hitam dan sedikit keras. Dalam keadaan kering telur dapat bertahan berbulan-bulan pada suhu 20–420 C. Namun pada umumnya telur dapat menetas setelah 2 hari (Mariaty, 2010; Rosmayanti, 2014).

2) Larva

Telur menetas menjadi larva instar I dalam waktu 2 hari, kemudian larva akan mengalami 3 kali pergantian kulit (ecdysis) berturut-turut menjadi larva instar II, III, dan larva instar IV (Abdullah, 2003). Waktu yang dibutuhkan proses dari larva instar I hingga larva instar IV sekitar 10 hari. Terjadinya ecdysis atau munculnya pita-pita hitam di dada larva yang terbungkus sirkular, menandakan akhir dari setiap fase instar. Setiap instar mempunyai ciri masing-masing yaitu:

(7)

a) Pada instar I ukuran larva berkisar 1 mm, duri-duri (spine) pada dadanya belum jelas dan corong pernapasan (siphon) belum menghitam. Dibutuhkan waktu 1-2 hari untuk perubahan telur menjadi larva instar I

b) Larva instar II : kepala dan bagian terminal larva lebih besar dari pada larva instar I. Tubuh dan kepala semakin gelap dan lebih panjang serta silindris, spine belum jelas dan siphon sudah berwarna hitam. Dibutuhkan waktu 2-3 hari untuk mencapai instar II.

c) Larva instar III : Larva tampak lebih besar dan panjang dari sebelumnya. Dibutuhkan waktu 2-3 hari untuk mencapai instar III.

d) Larva instar IV: Larva tampak lebih besar dan gemuk karena pada fase ini terjadi pengembangan tunas imaginal dada dan akumulasi lemak di tubuh larva. Ciri khas lainnya dari larva ini adalah adanya rudiment of the pupal respiratory trumpets. Dibutuhkan waktu 2-3 hari untuk mencapai instar ini (Rosmayanti, 2014).

Menurut Khotimah (2014) larva instar I dan II belum mempunyai pertumbuhan dan perkembangan organ sebaik pertumbuhan dan perkembangan larva instar III dan IV

(8)

sehingga dapat dikatakan bahwa instar yang lebih muda lebih sensitif dari instar yang tua terhadap larvasida.

3) Pupa

Pupa Aedes aegypti L. menyerupai tanda koma karena berbentuk bengkok dengan kepala besar. Pupa sering berada di permukaan air dan mempunyai gerakan yang lambat. Pupa juga tidak makan tetapi memerlukan O2 untuk bernafas. Pernafasan pupa melalui suatu struktur seperti terompet kecil pada thorak yang disebut siphon. Pupa pada tahap akhir akan membungkus tubuh larva dan mengalami metamorfosis menjadi nyamuk Aedes aegypti L. (Mariaty, 2010).

4) Dewasa

Untuk tumbuh menjadi nyamuk dewasa, sebuah pupa membutuhkan waktu 1-3 hari sampai beberapa minggu. Nyamuk jantan menetas terlebih dahulu daripada nyamuk betina karena nyamuk betina setelah dewasa membutuhkan darah untuk dapat mengalami kopulasi. Nyamuk dewasa betina hanya kawin satu kali seumur hidupnya. Biasanya perkawinan terjadi 24-28 hari dari saat nyamuk dewasa. Tidak seperti nyamuk betina, nyamuk jantan tidak menghisap darah tetapi memakan bakal madu dan cairan-cairan tumbuhan lain. (Djakaria et al., 2011; Hiswani, 2004; Mariaty, 2010).

(9)

c. Habitat

Nyamuk Aedes aegypti L. ditemukan di negara-negara yang terletak antara 350 LU dan 350 LS pada temperatur udara paling rendah sekitar 10 0C. Spesies ini jarang ditemukan di ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut (Malar, 2006). Di Indonesia, Aedes aegypti L. tersebar luas di seluruh wilayah di hampir semua provinsi, umumnya ditemukan di pemukiman yang padat penduduk. Nyamuk Aedes aegypti L. sering berkeliaran ke rumah-rumah, biasanya hinggap di benda-benda yang menggantung seperti pakaian dan kelambu serta hinggap di tempat-tempat gelap (Rosmayanti, 2014).

Tempat perindukan utama Aedes aegypti L. adalah air bersih yang tenang dan di tempat gelap pada daerah padat penduduk yang rumahnya saling berdekatan satu sama lain. Tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti L. dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perindukan buatan dan perindukan alami. Tempat perindukan buatan meliputi tempayan/gentong tempat penyimpanan air minum, bak mandi, pot bunga, botol, drum, ban mobil yang terisi air hujan. Tempat perindukan alami berupa tempurung kelapa, tonggak bambu dan lubang pohon yang berisi air hujan (Djakaria, 2011).

d. Perilaku

Pola perilaku nyamuk Aedes aegypti L. meliputi perilaku menghisap darah, perilaku istirahat dan perilaku berkembang biak.

(10)

1) Perilaku Menghisap Darah

Nyamuk Aedes aegypti L. memiliki sifat highly anthropophilic yang artinya lebih menyukai menghisap darah manusia dari pada binatang. Nyamuk dewasa betina menghisap darah vertebra baik yang berdarah dingin maupun panas. Darah yang dihisap ini diperlukan sebagai makanan dan sebagai sumber protein untuk mematangkan telurnya. Aedes aegypti L. juga bersifat day bitter atau aktif menghisap darah pada siang hari. Untuk mendapatkan inangnya, nyamuk aktif terbang pada pagi hari yaitu pukul 08.00-10.00 dan sore hari sekitar pukul 15.00-17.00 (Rosmayanti, 2014).

2) Perilaku Istirahat

Perilaku istirahat untuk memiliki dua arti yaitu istirahat yang sebenarnya selama waktu menunggu proses perkembangan telur dan istirahat sementara yaitu pada waktu nyamuk sedang mencari darah. Pada umumnya untuk istirahat, nyamuk memilih tempat yang teduh, lembab, dan aman untuk istirahat (Mariaty, 2010). Beberapa nyamuk memilih tempat di dalam rumah (endofilik) yaitu di dinding rumah, ada pula yang memilih di luar rumah (eksofilik) yaitu tanaman, kandang binatang, dan tempat-tempat yang dekat dengan tanah (Djakaria et al., 2011).

(11)

3) Perilaku Berkembang biak

Nyamuk Aedes aegypti L. bertelur dan berkembang biak di tempat-tempat yang ada air (genangan) jernih seperti di bak mandi, genangan air dalam pot, air dalam botol, drum, baskom, ember, vas bunga, batang atau daun tanaman, dan bekas piring. Nyamuk betina Aedes aegypti L. meletakkan telurnya di dinding tempat perindukannya 1-2 cm di atas permukaan air. Telur menetas dalam 1-2 hari menjadi larva. Sekali bertelur nyamuk dapat mengeluarkan telur sebanyak 50-150 butir telur (Resitarani, 2014).

e. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan vektor adalah faktor abiotik dan biotik. Menurut Barrera et al. dalam Supartha (2008), faktor abiotik seperti curah hujan, temperatur, dan evaporasi dapat mempengaruhi kegagalan perkembangan telur, larva, dan pupa menjadi nyamuk dewasa. Demikian juga faktor biotik seperti predator, parasit, kompetitor dan makanan yang berinteraksi dalam kontainer sebagai habitat akuatiknya juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilannya menjadi nyamuk dewasa.

Faktor curah hujan mempunyai pengaruh nyata terhadap fluktuasi populasi Aedes aegypti L. Ketika cuaca berubah dari musim kemarau ke musim hujan sebagian besar barang-barang bekas (seperti kaleng bekas,

(12)

ban bekas, dan plastik) yang dibuang sembarangan bisa menjadi sarang penampung air hujan. Bila pada tempat-tempat atau barang-barang bekas itu berisi telur hibernasi maka dalam waktu singkat akan menetas menjadi larva Aedes aegypti L. yang dalam waktu (8-10 hari) menjadi dewasa. Kondisi itu dimungkinkan karena larva nyamuk tersebut dapat berkembang biak dengan volume air minimum kira-kira 0.5 sentimeter atau setara dengan satu sendok teh (Supartha, 2008)

Pertumbuhan larva Aedes aegypti L. dapat dipengaruhi oleh jenis air tempat larva tumbuh. Menurut Sayono et al. (2011) larva Aedes aegypti L. mampu bertahan hidup pada jenir air PAM dan air sumur gali (SGL) tetapi tidak mampu bertahan hidup pada jenis air comberan dan air limbah sabun mandi. Selain jenis air, pertumbuhan larva Aedes aegypti L. juga dipengaruhi oleh umurnya. Menurut Khotimah (2014) larva instar I dan II belum mempunyai pertumbuhan dan perkembangan organ sebaik pertumbuhan dan perkembangan larva instar III dan IV. Sehingga dapat dikatakan bahwa larva Aedes aegypti L. yang masih muda yaitu instar I dan II lebih rentan mati karena pengaruh luar, baik pengaruh biotik maupun pengaruh abiotik.

Menurut WHO (2005) jumlah larva tiap kontainer yang direkomendasikan pada semua penelitian mengenai larva nyamuk adalah sebesar 25 ekor. Kemudian waktu yang paling tepat untuk

(13)

mengamati hasil perlakuan/pemaparan adalah setelah 24 jam dari awal perlakuan.

3. Granul

Granul merupakan gumpalan dari partikel-partikel kecil yang umumnya berbentuk tidak rata menjadi partikel tunggal yang lebih besar. Granul mempunyai stabilitas yang lebih tinggi secara fisik dan kimia daripada serbuk. Granul tidak segera mengering atau mengeras seperti balok bila dibandingkan dengan serbuk. Hal ini disebabkan oleh karena bentuk luas granul lebih kecil daripada luasan serbuk. Granul lebih mudah dibasahi oleh pelarut daripada serbuk yang cenderung akan mengambang di atas permukaan pelarut, sehingga granul lebih disukai untuk dijadikan larutan (Ansel, 2005). Granul juga lebih stabil, lebih praktis, dan lebih mudah penyimpanannya dibandingkan dengan larutan (Syamsuni, 2006).

Proses pembentukan granul melalui mekanisme tertentu disebut granulasi. Terdapat tiga macam metode granulasi yaitu granulasi kering, granulasi basah, dan cetak langsung.

a. Granulasi Kering

Granulasi kering merupakan sebuah metode proses pembuatan granul tanpa menggunakan cairan sama sekali. Metode ini khususnya digunakan untuk bahan aditif yang tidak tahan terhadap cairan, tetapi tahan terhadap pemanasan, serta untuk bahan aktif yang mempunyai sifat aliran dan komprebilitas yang tidak baik. Dalam proses granulasi

(14)

kering kompresi bubuk dilakukan tanpa menggunakan pemanasan dan pelarut. Metode ini paling disukai di antara seluruh metode granulasi. Ada dua langkah utama dalam pembentukan suatu bubuk menjadi bahan yang lebih padat yaitu kompresi dan penggilingan untuk mendapatkan bentuk granul (Reddy, 2014).

Di dalam metode granulai kering dikenal juga proses slugging. Pada proses ini komponen-komponen granul dikompakkan dengan mesin cetak khusus. Bila campuran serbuk pertama ditekan ke dalam die yang besar dan dikompakkan dengan punch berpermukaan datar, massa yang diperoleh disebut slug. Slug kemudian diayak dan diaduk dengan bahan pelincir untuk mendapatkan bentuk granul yang daya alir dan komprebilitasnya lebih seragam dari campuran awal kemudian dicetak menjadi granul yang diinginkan (Reddy, 2014).

b. Granulasi Basah

Metode ini sangat cocok digunakan untuk zat aktif dan bahan tambahan yang tahan (tidak rusak) terhadap pemanasan dan kelembaban. Pada metode ini digunakan bahan pembasah atau pelarut pengikat sebagai pengganti pengompakkan. Setelah itu, dilakukan proses pengayakan basah yang mengubah massa lembab menjadi kasar. Massa yang telah diayak dikeringkan dengan menggunakan oven dengan tujuan untuk menghilangkan pelarut yang dipakai dan mengurangi kelembaban. Setelah dikeringkan granul diayak kembali,

(15)

kemudian ditambahkan bahan pelicir yang befungsi sebagai fase luar. Setelah semua bahan tercampur maka granul siap untuk digunakan (Reddy, 2014)

c. Cetak Langsung

Cetak langsung adalah pembuatan granul dengan mencetak langsung bahan aktif bersama bahan tambahan yang telah dicampur homogen. Keuntungan menggunakan metode ini dibandingkan metode lain adalah membutuhkan waktu yang lebih cepat dan peralatan yang digunakan lebih sedikit. Prosedur yang digunakan pada cetak langsung pada dasarnya adalah pengayakan, pencampuran dan pengempaan. Kerugian metode ini adalah zat aktif dan bahan tambahan yang akan dibuat dengan cara ini harus memiliki syarat seperti sifat aliran serbuk yang baik dan mudah dicetak (kompresibel) (Reddy, 2014).

Menurut Voight yang dikutip Khotimah (2014), pembuatan granul memerlukan bahan-bahan tambahan lainnya yang berfungsi sebagai bahan pengisi atau pengikat. Pemilihan bahan tambahan yang akan digunakan harus memperhatikan sifat-sifat bahan tambahan tersebut yaitu harus inert, tidak berbau, tidak berasa, dan jika mungkin tidak berwarna. Beberapa tambahan yang umum digunakan sebagai pengisi untuk sediaan solid antara lain:

(16)

a. Laktosa

Laktosa merupakan bahan pengisi yang paling luas digunakan dalam formulasi sediaan tablet. Bentuk hidrat biasanya digunakan dalam sistem granulasi basah dan granulasi kering. Formula laktosa biasanya menunjukkan kecepatan pelepasan zat aktif dengan baik, mudah dikeringkan dan tidak peka terhadap variasi moderat dalam kekerasan tablet pada pengempaan. Laktosa dapat memadatkan massa granul dalam granulasi basah atau metode kempa langsung (granulasi kering). Laktosa merupakan eksipien yang baik sekali digunakan dalam tablet yang mengandung zat aktif berkonsentrasi kecil karena mudah melakukan pencampuran yang homogen. Harga laktosa lebih murah daripada pengisi lainnya.

b. Pati

Tablet yang menggunakan pati dalam konsentrasi tinggi sering lunak dan sulit dikeringkan. Secara komersial pati dapat mengandung kelembaban yang beragam antara 11-14 %. Pati pada umumnya digunakan sebagai pengisi dan pengikat dalam tablet yang dibuat dengan metode granulasi basah dan kering.

c. Manitol

Pengisi yang baik untuk tablet kunyah karena rasanya enak, sedikit manis, halus, dan dingin. Dewasa ini tersedia manitol granular kempa langsung. Manitol menghasilkan granul yang lebih halus

(17)

dibandingkan sukrosa, atau dekstrosa. Manitol mempunyia sifat alir yang buruk sehingga memerlukan konsentrasi lubrikan lebih besar (3-6 kali) dan konsentrasi glidan yang lebih tinggi untuk pengempaan yang memuaskan.

d. Dekstrin

Dekstrin merupakan hasil hidrolisis pati yang tidak sempurna. Proses ini juga melibatkan alkali dan oksidator. Pengurangan panjang rantai tersebut akan menyebabkan perubahan sifat dimana pati yang tidak mudah larut dalam air diubah menjadi dekstrin yang mudah larut. Dekstrin bersifat sangat larut dalam air panas atau dingin, dengan viskositas yang relatif rendah (Syofyan, 2009)

4. Granul Ekstrak Daun Salam

Granul ekstrak daun salam terbentuk melalui tiga tahap yaitu tahap pembuatan simplisia, tahap maserasi dan tahap granulasi basah.

a. Tahap pembuatan simplisia

Menurut Prasetyo dan Entang (2013) pembuatan simplisia daun salam meliputi beberapa tahapan yaitu pengumpulan bahan, sortasi basah, pencucian, perajangan, dan pengeringan.

1) Pengumpulan Bahan

Pengumpulan bahan suatu simplisia harus dilakukan dengan baik dan benar supaya mendapatkan senyawa aktif dalam jumlah yang maksimal. Pengumpulan/pengambilan daun salam perlu

(18)

memperhatikan beberapa hal yaitu teknik pengambilan dan waktu pengambilan. Pengambilan daun salam dapat dilakukan secara langsung (pemetikan) atau menggunakan alat. Waktu yang paling tepat untuk mengambil/memanen daun salam yaitu ketika tanaman sedang berbunga dan sebelum buah menjadi masak.

2) Sortasi Basah

Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari daun salam. Sortasi basah juga berguna untuk menghilangkan daun salam yang telah rusak.

3) Pencucian Bahan

Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan kotoran lain yang melekat pada daun salam. Pencucian dilakukan dengan air bersih misalnya dari mata air, air sumur atau air PAM. Pencucian daun salam satu kali dapat menghilangkan 25% dari jumlah mikroba awal, jika dilakukan pencucian sebanyak tiga kali, jumlah mikroba yang tertinggal hanya 42%.

4) Perajangan

Perajangan daun salam dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan, pengepakan dan penggilingan. Perajangan dapat dilakukan dengan pisau atau dengan alat mesin perajang khusus sehingga diperoleh irisan tipis dengan ukuran yang dikehendaki. Penjemuran sebelum perajangan diperlukan untuk mengurangi

(19)

pewarnaan akibat reaksi antara daun salam dan logam pisau. Penjemuran ini biasanya dilakukan dengan sinar matahari selama satu hari.

5) Pengeringan

Tujuan pengeringan adalah untuk mendapatkan simplisia daun salam yang tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Pengeringan ini akan mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik yang akan mencegah penurunan mutu atau perusakan simplisia daun salam. Pengeringan daun salam dilakukan dengan menggunakan sinar matahari atau menggunakan suatu alat pengering. Hal-hal yang perlu diperhatikan selama proses pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembaban udara, waktu pengeringan dan luas permukaan bahan. Pada pengeringan daun salam tidak dianjurkan menggunakan alat dari plastik.

b. Tahap Maserasi

Maserasi merupakan proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan. Maserasi bertujuan untuk menarik zat-zat berkhasiat yang tahan pemanasan maupun yang tidak tahan pemanasan. Secara teknologi, maserasi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan.

(20)

Kelebihan cara maserasi adalah alat dan cara yang digunakan sederhana serta dapat digunakan untuk zat yang tahan atau tidak tahan pemanasan. Kelemahan cara maserasi adalah banyak pelarut yang terpakai dan waktu yang dibutuhkan cukup lama (Depkes RI, 2000). c. Tahap Granulasi Basah

Pembuatan granul ekstrak daun salam menggunakan metode granulasi basah. Granulasi basah adalah metode pembentukan granul dengan jalan mengikat serbuk dengan perekat sebagai pengganti pengompakan. Teknik ini membutuhkan larutan, suspensi atau bubur yang mengandung pengikat yang biasanya ditambahkan dalam campuran serbuk. Selain bahan pengikat, granulasi basah juga membutuhkan bahan pengisi. Pemilihan bahan pengisi yang akan digunakan harus memperhatikan sifat-sifat bahan pengisi tersebut yaitu harus inert, tidak berbau, tidak berasa, dan jika mungkin tidak berwarna. Salah satu bahan pengisi yang sering digunakan adalah laktosa. Laktosa dapat memadatkan massa granul dalam granulasi basah atau metode kempa langsung (granulasi kering). Selain itu, laktosa juga merupakan eksipien yang baik sekali digunakan dalam tablet yang mengandung zat aktif berkonsentrasi kecil karena mudah melakukan pencampuran yang homogen (Khotimah, 2014).

(21)

B. Kerangka Pemikiran C. D. E. F. G. H. I. J. K. L. M. N. O. P.

Granul Ekstrak Daun Salam (Syzygium polyanthum)

Saponin Tanin Flavonoid Alkaloid

1. Menurunkan tegangan permukaan selaput mukosa traktus digestivus larva 2. Menghambat aktivitas enzim protease 3. Bersifat sitotoksik dan hemolitik 1. Mengganggu pencernaan larva 2. Mengikat protein dalam sistem pencernaan larva 1. Merusak sistem saraf larva 2. Merusak sistem pernafasan larva 1. Mendegradasi dan merusak membran sel larva. 2. Merusak sistem saraf larva dengan cara menghambat aktivitas enzim acetylcholinester-ase

Larva Aedes aegypti L. instar III Variabel terkendali: a. Umur larva b. Kepadatan larva c. Habitat d. Volume air e. Kualitas air f. Waktu pemaparan g. Suhu dan kelembaban Variabel tak terkendali: a. Kesehatan larva Larva mati

(22)

C. Hipotesis

Granul ekstrak daun salam (Syzygium polyanthum) berpengaruh terhadap mortalitas larva Aedes aegypti L.

Referensi

Dokumen terkait

Variabel Produk Domestik Regional Bruto yang digambarkan PDRB atas dasar harga berlaku dalam puluhan ribu pada masing-masing kabupaten di D.I.Yogyakarta memiliki

Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa konsentrasi repellent ekstrak Daun Salam yang tidak berbeda secara signifikan dengan jumlah nyamuk Aedes aegypti yang

Oleh karena itu Jadikanlah lingkungan tempat tinggal menjadi lingkungan yang sehat, nyaman, dan asri dengan membuang sampah pada tempatnya... ILMU

Sebagian besar ibu bersalin di RSUD Panembahan Senopati Bantul mengalami preeklamsia ringan sebanyak 28 orang (56%)., Sebagian besar ibu bersalin di RSUD Panembahan Senopati

Kecamatan Grabag, Purworejo. Umumnya air tanah di bagian atas mempunyai kualitas air tanah payau sampai tawar yang bersifat setempat-setempat, sedangkan di bawahnya

Adapun hasil peneliti pada mahasiswi yang telah menikah terhadap anggota keluarganya tersebut karena orang tua menganggap ketika anaknya telah menikah maka sudah

Dari keseluruhan data pada pengujian kemampuan adsorpsi terhadap ion logam Cu (II) dapat diambil kesimpulan bahwa kemampuan adsorpsi tulang sapi tanpa aktivasi sudah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan asupan imunonutrisi dari vitamin A, vitamin C, vitamin E, selenium, dan zink,