• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS PENYUNTIKAN ESTRO-PLAN (PGF-2Α SINTETIS) TERHADAP PENYERENTAKAN BERAHI SAPI BALI DI KABUPATEN PINRANG SULAWESI SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EFEKTIVITAS PENYUNTIKAN ESTRO-PLAN (PGF-2Α SINTETIS) TERHADAP PENYERENTAKAN BERAHI SAPI BALI DI KABUPATEN PINRANG SULAWESI SELATAN"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS PENYUNTIKAN ESTRO-PLAN (PGF-2Α

SINTETIS) TERHADAP PENYERENTAKAN BERAHI

SAPI BALI DI KABUPATEN PINRANG

SULAWESI SELATAN

(Efficacy of Estro-plan (PGF-2α synthetic) Injection on Oestrus

Synchronization of Bali Cattle in Pinrang Regency, South Sulawesi)

MATHEUS SARIUBANG danSURYA NATAL TAMBING Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 17,5 Sudiang, Makassar

ABSTRACT

A research was conducted in Duampanua sub-district, Pinrang regency to know the effect of estro-plan injection on oestrus synchronization in Bali cattle. This on-farm research was conducted from May until December 2005 that involved farmer group “Sri Mulyo” (14 farmers) with 36 heads of Bali cow. Second parity Bali cow minimally given were use in this research. Injection of estro-plan 2 ml/head intramuscularly was conducted either once (treatment A) or twice with 11 days interval from the first injection (treatment B). T-test was used to know the difference between treatments. Results indicated that oestrus response were significantly (P < 0.05) higher in B treatment (75.0%) than A treatment (71.42%). Onset of oestrus in B treatment (62.7 hours) was significantly (P < 0.05) faster than A treatment (63.2 hours). Oestrus in B treatment (35.0 hours) was significantly (P < 0.05) longer than A treatment (32.1 hours). S/C in B treatment (1.9) was significantly (P < 0.05) smaller than A treatment (2.9). While, conception rate (CR) in B treatment (69.2%) was significantly (P < 0.05) higher than A treatment (32.27%). It was concluded that twice injection of estro-plan with 11 days interval from the first injection is effective to oestrus synchronization in Bali catte than once injection.

Key Words: Artificial Insemination, PGF-2α, Bali Cattle, Oestrus Synchronization

ABSTRAK

Suatu penelitian telah dilaksanakan di Kecamatan Duampanua, Kabupaten Pinrang untuk mengetahui pengaruh penyuntikan estro-plan terhadap keserentakan berahi pada sapi Bali. Penelitian on farm ini dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Desember 2005 yang melibatkan kelompok tani “Sri Mulyo” (sebanyak 14 petani) dengan jumlah ternak 36 ekor induk. Induk sapi Bali yang digunakan minimal telah beranak dua kali. Penyuntikan estro-plan sebanyak 2 ml/ekor secara intramuskuler dan dibagi dalam dua perlakuan, yaitu: (A) penyuntikan satu kali, dan (B) penyuntikan dua kali selang 11 hari dari penyuntikan pertama. Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan digunakan uji T. Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon estrus nyata (P < 0,05) lebih tinggi pada perlakuan B (75,0%) dibandingkan perlakuan A (71,42%). Onset estrus pada perlakuan B (62,7 jam) nyata (P < 0,05) lebih cepat dibandingkan perlakuan A (63,2 jam). Estrus pada perlakuan B (35,0 jam) nyata (P < 0,05) lebih lama dibandingkan perlakuan A (32,1 jam). Nilai S/C pada perlakuan B (1,9) nyata (P < 0,05) lebih kecil dibandingkan perlakuan A (2,9). Sedangkan angka kebuntingan yang diperoleh pada perlakuan B (69,2%) nyata (P < 0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A (32,27%). Disimpulkan bahwa penyuntikan estro-plan sebanyak dua kali selang 11 hari dari penyuntikan pertama efektif menyerentakkan berahi induk sapi Bali dibandingkan penyuntikan hanya satu kali.

(2)

PENDAHULUAN

Produktivitas sapi potong yang didominasi oleh sapi Bali di Sulawesi Selatan mengalami penurunan yang ditandai dengan penurunan populasi dari tahun ke tahun. Laporan Dinas Peternakan Propinsi Sulawesi Selatan tahun 2001 menunjukkan bahwa populasi sapi di Sulawesi Selatan mengalami penurunan pada tahun 2000 sebesar 2,79% dibandingkan tahun 1999 (ANONIMUS, 2001).

Salah satu alternatif untuk memperbaiki produktivitas sapi potong di daerah ini adalah memperbaiki mutu genetik ternak lokal melalui pemanfaatan pejantan unggul secara optimal dengan penerapan teknologi inseminasi buatan (IB). Namun demikian, keberhasilan penerapan teknologi ini pada sapi potong masih bervariasi dan kecenderungan terjadi penurunan hasil. Laporan Dinas Peternakan Propinsi Sulawesi Selatan tahun 2001 menunjukkan pencapaian CR (conception rate) dari penerapan IB pada sapi potong pada tahun 1995/1996 sekitar 31.44% dan turun menjadi 13.75% pada tahun 2000 (ANONIMUS, 2001).

Kesulitan menginseminasi ternak tepat pada waktunya yang berkaitan dengan kesulitan mendekteksi berahi di lapangan adalah salah satu faktor penyebab rendahnya hasil IB, di samping faktor kualitas semen beku rendah. Ketidakserentakannya berahi pada ternak sapi di lapangan merupakan penyebab utama rendahnya efisiensi reproduksi hasil IB. Untuk mengatasi masalah pendekteksian berahi dalam rangka optimalisasi hasil IB pada sapi potong dikembangkan suatu teknik sinkronisasi berahi dengan menggunakan hormon.

Sinkronisasi berahi adalah suatu teknik dimana seekor atau sekelompok ternak mengalami berahi secara serentak atau dalam waktu yang hampir bersamaan, dengan harapan dapat dikawinkan atau diinseminasi secara bersama-sama serta dapat ditentukan kelahirannya. Keuntungan dari teknik ini adalah dapat diperkirakan waktu berahi dan ketepatan pelaksanaan IB sehingga dapat meningkatkan efisiensi reproduksi (MACMILLAN dan BURKE, 1996), dan menunjang keberhasilan dalam program transfer embrio atau alih janin (SIANTURI et al., 1997 dalam HERDIS et al., 1999).

Estro-planTM yang mengandung hormon

prostaglandin (PGF-2α) sintetis merupakan

salah satu hormon yang digunakan dalam program sinkronisasi berahi pada ternak. Hormon ini berfungsi sebagai hormon luteolitik atau melisiskan corpus luteum (CL). Dengan lisisnya CL, mengakibatkan hambatan progesteron yang dihasilkan oleh CL terhadap gonadotropin hilang, sehingga terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel, timbul berahi dan ovulasi. Berdasarkan uraian ini, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penyuntikan estro-plan terhadap penyerentakan berahi sapi Bali.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di kelurahan Pekabata, Kecamatan Duampanua-kabupaten Pinrang dari bulan Mei sampai dengan Desember 2005. Penelitian ini bersifat partisipatif yang melibatkan peternak yang tergabung dalam kelompok tani “Sri Mulyo” sebanyak 14 orang dengan jumlah induk sapi Bali sebanyak 36 ekor (18 ekor per perlakuan). Induk sapi Bali yang digunakan ini minimal telah beranak dua kali. Pakan yang diberikan berupa rumput lapangan (80%), jerami padi fermentasi (20%) dan dedak padi 2 kg/ekor/hari serta pikuten sebanyak 10 gram/ekor/hari. Sebelum aplikasi perlakuan, diberikan obat cacing dan multivitamin, serta vaksinasi SE dan Antrax.

Penyuntikan hormon dilakukan secara intramuskuler menggunakan estro-planTM

(prostaglandin sintetis) sebanyak 2 ml/ekor dan dibagi dalam dua perlakuan, yaitu (A) penyuntikan satu kali, dan (B) penyuntikan dua kali selang 11 hari dari penyuntikan pertama. Setelah penyuntikan dilakukan pengamatan berahi setiap selang dua jam secara visual dan juga dengan bantuan pejantan pengusik. Adapun tanda-tanda visual dari estrus yang diamati adalah ada lendir transparan keluar dari vulva, vulva bengkak dan berwarna merah serta diam bila dinaiki oleh pejantan pengusik. Inseminasi dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

(1) Bila berahi muncul pada pagi hari, inseminasi dilakukan sore hari

(2) Bila berahi muncul siang hari, inseminasi dilakukan malam hari

(3)

(3) Bila berahi muncul sore hari, inseminasi dilakukan pagi hari berikutnya

Penentuan kebuntingan dilakukan 60 hari setelah inseminasi dengan cara palpasi rektal. Data yang diamati adalah respon estrus, onset estrus, lama estrus, S/C dan CR. Digunakan uji T untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. a. Respon estrus (%) = 100% x estrus tidak estrus sapi jumlah estrus yang sapi jumlah +

b. Onset estrus (jam) = dihitung mulai saat penghentian perlakuan hingga muncul tanda-tanda berahi pertama kali

c. Lama estrus (jam) = dihitung mulai saat muncul tanda-tanda berahi pertama kali sampai dengan berhentinya tanda-tanda berahi

d. S/C = jumlah pelayanan inseminasi yang diperlukan untuk mendapatkan kebuntingan e. CR =

jumlah sapi bunting dari hasil inseminasi pertama jumlah seluruh sapi yang diinseminasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan umum lokasi penelitian

Kelurahan Pekkabata sebagai bagian dari kecamatan Duampanua berada pada ketinggian 7 ml dpl dan berbatasan langsung dengan kelurahan Lanpa di sebelah utara, desa Kaliang di sebelah selatan, kelurahan Tatae di sebelah barat dan sebelah timur dengan sebagian daerah kelurahan Tatae. Luas lahannya sekitar 517 ha dengan topografi datar. Penggunaan lahan umumnya diperuntukkan untuk persawahan (345 ha) dan sisanya diperuntukkan untuk perkebunan, pemukiman, tempat rekreasi, rawa dan bangunan umum (Tabel 1).

Ternak sapi yang ada di lokasi penelitian didominasi oleh sapi Bali. Populasi sapi Bali yang ada sekitar 300 ekor, dengan status fisiologis adalah sebagai berikut: jantan dewasa 18 ekor, betina dewasa 256 ekor dan pedet (jantan dan betina) 26 ekor. Perbandingan antara jantan dewasa dan betina dewasa adalah

1 : 14. Untuk kegiatan penelitian ini digunakan sebanyak 36 ekor induk sapi Bali.

Tabel 1. Lahan dan penggunaannya di Kelurahan

Pekkabata

Tipe lahan Luas lahan (ha)

Pemukiman 52,55 Bangunan umum 1,63 Sawah 345,50 Perkebunan 106,00 Rawa 5,50 Rekreasi/olah raga 6,00 Total 517,18

Sumber: PAPAN POTENSI KELURAHAN PEKKABATA

(2005)

Tampilan reproduksi

Pengaruh penyuntikan estro-plan terhadap keserentakan berahi pada sapi Bali tertera pada Tabel 2. Nampak bahwa penyuntikan estro-plan sebanyak dua kali selang 11 hari (perlakuan B) memperlihatkan respon berahi yang lebih tinggi dibandingkan penyuntikan sati kali (perlakuan A), dengan perbedaan respon berahi sekitar 3,5%. Demikianpun munculnya berahi pertama kali lebih cepat (P < 0,05) pada penyuntikan estro-plan dua kali selang 11 hari (perlakuan B) dibandingkan penyuntikan satu kali (perlakuan A). Munculnya berahi pertama kali pada perlakuan B sekitar 62 jam setelah penghentian penyuntikan, sedangkan pada perlakuan A munculnya berahi pertama kali setelah penghentian penyuntikan sekitar 63 jam. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa berahi pada perlakuan B nyata lebih lama (P < 0,05) dibandingkan dengan perlakuan A, dengan perbedaan lama berahi diantara kedua perlakuan sekitar 3 jam.

Tabel 2. Tampilan reproduksi dari penyuntikan

estro-plan

Perlakuan Parameter

A B Respon estrus (%) 71,42a 75,0b

Onset estrus (jam) 63,2a 62,7b

Lama estrus (jam) 32,1a 35,0b a,b = huruf yang berbeda pada baris yang sama

menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05)

(4)

Tingginya respon berahi pada perlakuan B ternyata juga mempengaruhi terhadap keberhasilan kebuntingan. Hal ini ditandai (Tabel 3) dengan lebih tingginya secara signifikan angka kebuntingan yang diperoleh pada perlakuan B (69%) dibandingkan dengan perlakuan A (32%). Perbedaan hasil kebuntingan diantara kedua perlakuan sekitar 30%. Lebih tingginya kebuntingan yang diperoleh pada perlakuan B dibandingkan dengan perlakuan A, ternyata didukung pula oleh jumlah inseminasi per kebuntingan. Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa jumlah pelayanan (inseminasi) sampai terjadi kebuntingan pada perlakuan B nyata (P < 0,05) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan A. Rata-rata dibutuhkan sebanyak 1,9 kali inseminasi untuk terjadi kebuntingan pada perlakuan B, sedangkan pada perlakuan A dibutuhkan inseminasi sebanyak 2,99 kali baru terjadi kebuntingan.

Tabel 3. Hasil inseminasi dari penyuntikan

estro-plan Perlakuan Parameter A B S/C (… kali) 2,99a 1,90b CR (%) 32,27a 69,20b a,b = huruf yang berbeda pada baris yang sama

menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05)

Dari hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa penyuntikan estro-plan (PGF-2α sintetis) sebanyak dua kali selang 11 hari dari penyuntikan pertama mampu memperbaiki kinerja reproduksi induk sapi Bali dibandingkan dengan penyuntikan satu kali. Hal ini ditandai dengan tingginya respon berahi serta kebuntingan yang diperoleh serta jumlah inseminasi yang lebih rendah. Hal yang sama

dilaporkan oleh STEPHENS dan

RAJAMAHENDRAN (1998) bahwa penyuntikan PGF-2α sebanyak dua kali pada sapi potong mampu menyerentakkan berahi (90%) dengan angka kebuntingan yang lebih tinggi (62%) dibandingkan penyuntikan satu kali. ARCHBALD et al. (1993) melaporkan bahwa penyuntikan PGF-2α sebanyak dua kali pada sapi perah menghasilkan respon estrus sebanyak 91%. Sedangkan MACMILLAN et al. (1991) mengatakan bahwa penyuntikan

PGF-2α sebanyak satu kali pada fase luteal ataupun dua kali selang 11 hari tanpa memperhatikan siklus berahi hasilnya bervariasi antara 75 – 100%.

Hormon PGF-2α dan analognya telah lama digunakan dalam program sinkronisasi berahi ternak. Metode yang digunakan ada dua jenis, yaitu (1) penyuntikan satu kali, dan (2) penyuntikan dua kali selang 11 atau 12 hari. Metode pertama biasanya efektif menyerentakkan berahi ternak apabila kondisi siklus berahi ternak diketahui, terutama apabila kondisi ternak berada dalam fase luteal. Sedangkan metode kedua biasanya lebih cocok diterapkan pada kondisi lapangan dimana siklus berahi ternak sulit untuk dikontrol atau diamati. Umumnya tingkat keberhasilannya dalam menyerentakkan berahi lebih tinggi pada metode penyuntikan PGF-2α sebanyak dua kali selang 11 atau 12 hari dari penyuntikan pertama dibandingkan penyuntikan satu kali.

Terbukti dari hasil penelitian ini, dimana penyuntikan estro-plan (PGF-2α sintetis) secara intramuskuler sebanyak dua kali selang 11 hari memberikan respon berahi dan tingkat kebuntingan yang lebih tinggi dibandingkan dengan penyuntikan satu kali. Hal ini mungkin disebabkan setelah penyuntikan kedua semua ternak telah berada dalam fase luteal. Apabila ternak sudah berada dalam fase luteal berarti telah memiliki CL. Akibatnya hormon ini langsung bereaksi dengan melisiskan CL yang terbentuk. Lisisnya CL ini menyebabkan kadar progesteron menurun, yang mengakibatkan hilangnya hambatan terhadap hormon gonadotropin, yang selanjutnya diikuti dengan pertumbuhan dan pematangan folikel, timbul berahi dan ovulasi. Sebagaimana dikemukakan oleh LARSON dan BALL (1992) bahwa penggunaan hormon PGF-2α untuk program sinkronisasi berahi ternak hanya efektif bila ternak tersebut telah memiliki CL. Selanjutnya Kune (1998) mengatakan bahwa pemberian PGF-2α akan menekan konsentrasi progesteron dalam darah sehingga rasio antara konsentrasi estrogen dan progesteron meningkat, akibatnya ternak akan memperlihatkan pola tingkah laku berahi.

Rendahnya respon berahi dan tingka kebuntingan pada penyuntikan PGF-2α satu kali kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ternak belum memiliki CL dalam ovarium, ternak mengalami berahi

(5)

pendek (sub estrus) ataupun mengalami gejala hipofungsi ovarium. TOELIHERE (1981) dalam HERDIS (1999) mengatakan bahwa adanya batas ambang optimal PGF-2α dalam CL, dan bila melebihi ataupun tidak mencukupi batas ambang tersebut maka ternak tidak akan berespon terhadap penyuntikan hormon tersebut dan akibatnya pengaruh yang diharapkan gagal diekspresikan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penyuntikan estro-plan (PGF-2α sintetis) sebanyak dua kali selang 11 hari dari penyuntikan pertama efektif menyerentakkan berahi induk sapi Bali dibandingkan penyuntikan satu kali. Pada kondisi lapangan dimana sapi tidak diketahui dengan jelas berahinya, sebaiknya diserentakkan berahinya dengan menggunakan hormon estro-plan (PGF-2α sintetis) dengan metode penyuntikan sebanyak dua kali selang 11 hari dari penyuntikan pertama.

DAFTAR PUSTAKA

ANONIMUS. 2001. Statistik Peternakan Tahun 2001. Dinas Peternakan Propinsi Sulawesi Selatan, Makassar.

ARCHBALD, L.F., C. RISCO, P. CHAVATTE, S.

CONSTANT, T. TRAN, E. KLAPSTEIN and J. ELLIOT. 1993. Estrus and pregnancy rate of

dairy cows given one or two doses of prostaglandin F2 alpha 8 or 24 hours apart.

Theriogenology 40: 873 – 884.

HERDIS, M. SURACHMAN, I. KUSUMA dan E.R.

SUHANA. 1999. Peningkatan efisiensi reproduksi sapi melalui penerapan teknologi penyerentakan berahi. Wartazoa. 9(1): 1 – 6. KUNE, P. 1998. Sinkronisasi Estrus Memakai

Progesteron, Prostaglandin F2 Alfa dan Estrogen Dalam Menimbulkan Estrus dan Konsepsi pada Sapi Potong. Tesis. Program Pascasarjana-IPB, Bogor.

LARSON,L.L. and P.J.H.BALL. 1992. Regulation of estrus cycles in dairy cattle: a review.

Theriogenology. 38: 255 – 267.

MACMILLAN,K.L. and C.R.BURKE. 1996. Effect of

estrous cycle control on reproductive efficiency. J. Anim. Sci. 42 : 307-336.

MACMILLAN,K.L.,V.K.TAUFA,D.R.BARNES and

A.M. DAV. 1991. Plasma progesterone concentrations in heifers and cow treated with a new intravaginal device. Anim. Reprod. Sci. 26: 25 – 40.

STEPHENS,L.A. and R.RAJAMAHENDRAN. 1998. A comparison of two estrus synchronization methods in beef heifers. Can. J. Anim. Sci. 78: 437 – 438.

Gambar

Tabel 1.  Lahan dan penggunaannya di Kelurahan  Pekkabata
Tabel 3.  Hasil inseminasi dari penyuntikan estro- estro-plan  Perlakuan  Parameter  A B  S/C (… kali)  2,99 a  1,90 b CR (%)  32,27 a  69,20 b

Referensi

Dokumen terkait

Tentang kinerja perangkat desa dalam membantu hukum tua menginformasikan program pemerintah kepada masyarakat data yang diperoleh diketahui bahwa responden yang

Sistem informasi penjualan mengupayakan agar penyajian informasi yang dibutuhkan oleh Toko Sepeda Sederhana ini menjadi lebih cepat, akurat dan efektif

Oleh karena latar belakang diatas maka dibuatlah suatu penelitian yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas citra dengan cara memperhalus citra (image

Untuk mencapai tujuan tersebut Pemerintah Daerah Kabupaten Banjarnegara melakukan peningkatan akses perempuan dalam berbagai pengelolaan sumber daya pembangunan; manfaat

Reaksi distonia merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet yang timbul beberapa menit dan dapat pula berlangsung lama, biasanya

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa adanya pengaruh tingkat pendidikan, jaminan sosial dan pelatihan terhadap produktivitas karyawan di swalayan mitra

Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara determinan sosial demografi dengan cakupan imunisasi dasar lengkap pada bayi penerima