KAWASAN PERDESAAN DAN STRATEGI TATA KELOLA SUMBER DAYA PESISIR Fitriyandi Nur Priyatna1
1. Kebijakan otonomi desa dalam kerangka
regulasi
Pemerintah Indonesia terus berupaya
memperbaiki sistem tata kelola agar dapat mengintegrasikan kepentingan negara dan masyarakat berjalan selaras. Terbitnya Undang Undang No 6 tahun 2014 tentang Desa adalah pembuka jalan bagi pengakuan hak otonom desa yang sebelumnya masih dibawah pengaruh pemerintah daerah.
Kebijakan memuat konteks pengoptimalan potensi sumber daya berbasis lokalitas. Hak ini
tepat diberikan dengan pertimbangan
masyarakat desa memahami kebutuhan, potensi lokal dan memperhatikan aspek keberlanjutan bagi generasi mendatang. Bahkan pemerintah desa berhak untuk menentukan penerapan mitra kerja pengelolaan dan berhak menolak
disposisi program yang diberikan oleh
pemerintahan yang lebih tinggi.
Dua asas penting dalam UU Desa adalah asas rekognisi dan asas subsidiaritas yang menjadi landasan filosofis dan merupakan substansi dari lahirnya UU No 6/2014. Asas rekognisi berkaitan dengan definisi desa yang diatur pada pasal 1.
Rekognisi memberikan ruang terhadap
pengakuan desa sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang memiliki hak asal-usul2.
Selanjutnya asas subsidiaritas merupakan penegasan terhadap kewenangan lokal desa sebagai konsekuensi pengakuan terhadap hak asal-usul.
Asas rekognisi dan subsidiaritas juga sejalan dengan pasal 371 ayat 2 dan 372 ayat 1 UU 23 Tahun 2014. Pada pasal 371 ayat 2 desa 1 Research Associate, Barunastra
2 Rekognisi memberikan pengakuan terhadap keberagaman desa berdasarkan hak asal-usulnya. Asas ini menjadi akhir
dari penyeragaman model desa sebagaimana yang diatur pada regulasi tentang desa sebelumnya.
mempuyai kewenangan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan mengenai desa. Selanjutnya pada pasal 372 ayat 1 tentang kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota kepada desa untuk dapat mengurus Sebagian urusan pemerintahannya.
Kewenangan yang dimaksud bukanlah penerapan dari asas tugas pembantuan dari pemerintah pusat maupun daerah.
Beberapa pasal juga menjelaskan tentang bagaimana kewenangan desa secara praktik dalam pengelolaan sumber daya alam. Pasal 18 dan 19 UU Desa berkaitan dengan kewenangan desa dalam melaksanakan pembangunan desa dan kawasan perdesaan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam desa, termasuk sumber daya pesisir. Pengaturan tersebut bertujuan untuk menciptakan sumber mata pencaharian di desa melalui pemanfataan
sumber daya alam skala desa guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Muatan keberpihakan UU No 6 Tahun 2014 juga terdapat pada Bab IX tentang Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan. Pasal 78 mengatur tentang tujuan pembangunan desa, pasal 80 dan pasal 81 mengatur tentang kewajiban untuk melibatkan masyarakat, dan pada pasal 80 ayat 4 mengatur tentang prioritas program disusun berdasarkan kebutuhan
masyarakat desa3. Pasal 81 ayat 3 menekankan
pada pemanfaatan kearifan lokal dan sumber daya alam dalam pelaksanaan pembangunan.
Secara subtansial UU No 6 Tahun 2014 memberikan ruang kepada desa untuk turut serta dalam pengelolaan sumber daya alam secara mandiri. Tantangan yang justru dihadapi adalah ketika desa tidak mampu melakukan kontrol dan adanya benturan dengan peraturan perundang-undangan sektoral. Selain itu desa
juga diharapkan mampu untuk
mengakumulasikan dan mengaspirasikan norma dan pranata sosial menjadi suatu peraturan yang dapat dipahami dan diakui secara bersama, untuk mengakomodasi hal tersebut desa dapat membentuk peraturan desa. Lahirnya UU No 6 tahun 2014 telah menjadikan desa sebagai garda terdepan dalam pelaksanaan pembangunan nasional, maka dari itu desa dengan segala keterbatasannya perlu mendapatkan dukungan dari berbagai sektor.
Salah satu keterbatasan undang-undang desa yaitu kewenangan pengaturan hanya terbatas pada sumber daya eksklusif yang tercatat dalam wilayah administratif desa. Realitasnya, tidak sedikit basis kepemilikan sumber daya adat melewati batas administratif tersebut. Hak ini diakui oleh segenap masyarakat baik di dalam maupun luar desa secara turun-temurun. Sekat dalam ruang demarkasi juga merupakan menjadi kendala dalam bentuk pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat. Secara teoritis dan empiris, bentuk pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat seringkali dihadapkan pada potensi konflik yang bersifat inter komunitas, terutama pada ruang pengelolaan yang masih berada pada satu hamparan perairan yang sama. Hal ini semakin menjadi kompleks ketika masyarakat desa lebih heterogen dan ruang laut semakin tersekat-sekat dalam ruang demarkasi selain ruang hak adat
3Prioritas tersebut meliputi: peningkatan kualitas dan
akses terhadap pelayanan dasar; pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dan lingkungan berdasarkan kemampuan teknis dan sumber daya lokal yang tersedia; pengembangan ekonomi pertanian berskala prdouktif; pengembangan dan pemanfaatan teknologi tepat guna untuk kemajuan ekonomi; dan peningkatan kualitas ketertiban dan ketenteraman masyarakat Desa berdasarkan kebutuhan masyarakat Desa
4Ostrom and Schlager (1996)
2. Otonomi desa dan tata kelola sumber
daya pesisir: kerangka Bundle of Rights
Teori Ostromian4 menyebutkan terdapat
beberapa jenis hak kepemilikan sumber daya dari tingkatan terendah hingga tertinggi, yaitu meliputi hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan hak eksklusi dan hak pengalihan5.
Dari hak-hak tersebut akan menentukan status kepemilikan. Status kepemilikan yang paling tinggi dimiliki oleh owner, dengan memiliki seluruh hak dari hak akses hingga hak pengalihan. Hak-hak tersebut dapat dimiliki tergantung dengan rezim kepemilikan, yaitu siapa yang berhak atas kepemilikan sumberdaya alam tersebut. Apakah sumberdaya tersebut merupakan open access, state property, private property atau communal property6. Kepemilikan
desa terhadap sumber daya alam dapat
diarahkan kepada communal property.
Communal property merupakan kepemilikan oleh sekelompok orang tertentu dimana hak, kewajiban dan aturan ditetapkan dan berlaku diantara anggota kelompok tersebut.
Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak mengatur dan mengurus wilayah dan masyarakat berdasarkan hak asal-usul desa. Dalam tingkatan desa, rezim kepemilikan communal property menjadi pilihan ideal untuk
memfasilitasi masyarakat desa dalam
mengakses sumber daya. Communal property bersifat lokal dan sesuai kebutuhan masyarakat desa. Dalam pengelolaannya, memuat peraturan
pengelolaan sumberdaya berdasarkan
pengetahuan lokal secara turun temurun dan aturan tersebut sesuai dengan kondisi lokal. Karakteristik lain dari communal property adalah adanya relasi kuasa dan distribusi manfaat yang setara diantara masyarakat desa. Pihak swasta maupun individu tidak dapat menguasai sumber daya yang dimiliki secara bersama oleh 5(1) access right, yaitu hak memasuki suatu wilayah
sumber daya; (2) withdrawal right, yaitu hak melakukan kegiatan produksi atau ekstraksi sumber daya; (3)
management right, yaitu hak terlibat dalam pengelolaan
sumber daya; (4) exclusion right, yaitu hak menentukan pihak mana saja yang dapat memiliki access dan withdrawal right; dan (5) alienation right, yaitu hak menjual atau mengalihkan atau mentransfer management dan exclusion right.
masyarakat. Sehingga secara de jure UU No 1 tahun 2014 tentang azas, tujuan dan manfaat pengelolaan sumberdaya adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dapat tercapai melalui communal property.
Rezim kepemilikan communal property dapat memberikan hak dan akses atas sumber daya yang relatif sama kepada seluruh anggota masyarakat desa. Masyarakat desa sama-sama memiliki hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, dan hak eksklusi. Pertama melalui hak akses, masyarakat desa dapat masuk dan memanfaatkan sumberdaya yang berada pada wilayah yang memiliki batas-batas jelas. Kedua, pada hak pemanfaatan, masyarakat desa dapat memanfaatkan sumberdaya secara langsung. Ketiga, melalui hak pengelolaan masyarakat desa dapat menentukan aturan operasional pemanfaatan sumberdaya. Dan keempat, masyarakat dapat menentukan siapa yang boleh memiliki akses melalui hak eksklusi. Pada umumnya masyarakat menggunakan hak eksklusi dalam melarang pihak luar desa untuk mengambil manfaat sumber daya pada wilayah communal property. Masyarakat tidak memiliki hak pengalihan seperti hak untuk menjual atau
menyewakan, dikarenakan sumber daya
tersebut bukan sebagai private property dan status masyarakat terhadap sumberdaya bukan sebagai owner melainkan sebagai proprietor. Tidak adanya hak pengalihan yang dimiliki
anggota masyarakat desa, juga untuk
menghindari sumber daya dijadikan pertarungan komoditas antar internal masyarakat. Untuk
memiliki kemampuan di level kolektif,
masyarakat desa harus mendapatkan
pengakuan atau perlindungan di tingkat konstitusional (constitutional level).
Faktanya masih sedikit perairan di Indonesia yang memiliki rezim communal property dengan hak asal usul dan/atau hak tradisional yang
diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan. Untuk menjawab permasalahan tersebut, dalam UU 6 Tahun 2014 telah memberikan peluang kepada desa untuk dapat aktif sebagai subjek pembangunan yang dapat menjamin hak-hak desa terhadap penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam. Hal tersebut melalui jaminan pengakuan dan penghormatan terhadap desa melalui penetapan kewenangan
berskala lokal, pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa, dan pengakuan terhadap sistem nilai yang berlaku di masyarakat desa yang sesuai dengan sistem nilai berbangsa dan bernegara.
3. Otonomi Desa dan model pengelolaan
kolaboratif sumber daya pesisir
Bangkitnya semangat otonomi desa dan “politik kedaulatan desa” pasca terbitnya UU Desa, selain memberikan harapan positif juga dapat memberikan potensi ruang konflik yang bersifat antar desa dan antar komunitas. Potensi ruang konflik ini dapat terjadi jika semangat otonomi desa hanya dipahami sempit dan justru menegasikan upaya kerjasama antara desa, antar komunitas yang juga menjadi salah satu semangat dalam UU Desa. Hamparan sumber daya perairan pesisir umumnya berbatasan lebih dari satu atau banyak daratan yang menjadi batas demarkasi desa administrasi. Secara historis dan tradisi, ruang pesisir juga umumnya terbagi menjadi beberapa “kewenangan” masyarakat adat yang berbeda. Sementara batas wilayah desa administrasi juga seringkali berbeda dengan batas wilayah sosio historis kesatuan masyarakat adat.
Kebijakan otonomi desa merupakan agenda yang tepat untuk mengatur pengelolaan sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan. Namun hal ini perlu diimbangi dengan pendelegasian wewenang kepada pemerintahan terkecil dan keterlibatan partisipasi masyarakat sebagai syarat mutlak keberhasilan, bukan memihak pada elit-elit penguasa yang memarjinalkan masyarakat. Model pengelolaan kolaboratif (co-management) adalah bentuk ideal sebagai rekomendasi model pengelolaan sumber daya pesisir dalam kerangka otonomi desa. Konsep ini yang memberikan kewenangan pengelolaan berbasis masyarakat secara bersama, akan lebih optimal dengan integrasi multi-pengetahuan, bantuan alokasi sarana prasarana, serta pendampingan dari multipihak. Hal terpenting dalam konsep model co-management adalah tetap menempatkan masyarakat sebagai subjek kunci pengimplementasi pengelolaan. Merujuk
pemerintah dan masyarakat7, tingkat partisipasi
masyarakat minimal berada pada tahap kooperatif.
Desentralisasi pengelolaan sumber daya pesisir menuntut partisipasi masyarakat sebagai salah satu unsur pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. UU Desa No. 6 Tahun 2014 mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pesisir. Alternative development theory adalah teori pembangunan berpusat pada rakyat menyatakan bahwa proses
pembangunan harus berorientasi pada
peningkatan kualitas hidup manusia, bukan pada pertumbuhan ekonomi melalui pasar maupun
memperkuat negara8. Pembangunan yang
berpusat pada masyarakat memiliki ciri yaitu9 :
(1) Gagasan dan proses-proses dalam
pengambilan keputusan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, harus
dilakukan oleh masyarakat sendiri; (2)
Pengambilan keputusan oleh masyarakat terhadap pengelolaan sumber daya yang terdapat dalam masyarakat sendiri bertujuan
meningkatkan kemampuan masyarakat
setempat dalam melakukan pengelolaan wilayah pesisir; (3) Menyesuaikan dengan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat setempat; (4) Menekankan pada proses social learning yaitu interaksi kolaboratif antara birokrasi dan komunitas lokal; dan (5) Proses pembentukan jejaring (networking) antara birokrasi dan lembaga swadaya masyarakat
Pembangunan berbasis masyarakat dapat terlaksana jika masyarakat lokal mampu memanfaatkan potensi alam, budaya dan infrastruktur yang ada. Oleh karena itu, masyarakat perlu memahami dan sadar akan potensi serta kendala yang berkaitan dengan
pengelolaan sumberdaya laut mereka.
Penyadaran dan pemberdayaan masyarakat
dalam rangka pengelolaan sumberdaya
berbasismasyarakat dapat dilaksanakan melalui lima tingkatan yaitu: (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memberikan
alternatif usaha yang secara ekonomis
menguntungkan dan tidak merusak lingkungan; (2) memberi masyarakat akses terhadap
7Pomeroy dan Williams (1994) 8Korten (1984)
informasi sumberdaya alam, pasar dan perlindungan hukum; (3) menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti
pelestarian ekosistem pesisir/laut; (4)
menumbuhkan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menjaga dan melestarikan ekosistem pesisir dan laut; dan (5) meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengelola dan melestarikan ekosistem laut.
Untuk memberikan jaminan dan kepastian dalam pengelolaan sumber daya pesisir berbasis masyarakat maka praktik tersebut dilembagakan melalui tiga cara10: (1) Pemerintah beserta
masyarakat mengakui praktik-praktik
pengelolaan sumberdaya perikanan yang selama ini dilakukan masyarakat secara turun temurun dan merupakan adat atau budaya yang dianut selama ini; (2) Pemerintah dan masyarakat menghidupkan kembali atau merevitalisasi adat dan budaya masyarakat dalam mengelola sumberdaya perikanan. Adat dan budaya tersebut barangkali telah hilang atau tidak digunakan lagi karena berubahnya zaman dan waktu. Meski demikian, masyarakat dan pemerintah menyadari bahwa adat dan budaya itu perlu dihidupkan lagi karena ternyata hilangnya adat dan budaya tersebut tidak membuat masyarakat semakin sejahtera dan bahagia; dan (3) Pemerintah memberikan tanggung jawab sepenuhnya dan wewenang pengelolaan sumberdaya kepada masyarakat.
Selanjutnya, peran pemerintah dalam
pengelolaan SDA sangat vital, selain sebagai regulator juga bertindak sebagi pelaksana. Namun berbagai kelemahan ditemukan dalam pengelolaannya seperti adanya disharmonisasi pada beberapa regulasi, munculnya ego sektoral dalam pengelolaan SDA, dan proses administrasi yang panjang.
Pengelolaan SDA berbasis masyarakat juga
memiliki kelemahan seperti jangkauan
pengelolaan sangat bersifat lokal sehingga tidak mampu mengatasi masalah pada level antar komunitas. Dengan mengintegrasikan kedua model pengelolaan tersebut maka tanggung jawab dan wewenang berada di antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam
9Mardikanto (2012) 10Fauzi (2005)
mengelola sumberdaya perikanan. Secara teoritis terdapat tiga unsur dalam pengelolaan
sumber daya pesisir yaitu pemerintah,
masyarakat, dan kearifan lokal11. Teori ini
mengakumulasikan tiga kepentingan yaitu pemerintah sebagai regulator, masyarakat sebagai aktor yang memanfaatkan sumber daya pesisir, dan kearifan lokal sebagai nilai yang telah diwariskan secara turun temurun yang menjadi modal dalam membangun relasi dengan alam.
4. Kawasan
Perdesaan
dan
Model
Kolaboratif
Gagasan kawasan perdesaan yang tertuang dalam UU Desa12 dapat menjadi solusi bahkan
menjadi peluang pengelolaan sumber daya lokal yang lebih baik. Kawasan Perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi13. Kawasan perdesaan dapat dibentuk
berdasarkan prakarsa dari beberapa desa atau
Bupati/Walikota dengan memperhatikan
aspirasi masyarakat desa14. Direktorat
Perencanaan Pembangunan Kawasan Perdesaan menjelaskan bahwa Indonesia telah membentuk beberapa kawasan perdesaan mulai dari Propinsi Aceh hingga Papua. Kerjasama dilakukan oleh minimal dua desa, dengan memanfaatkan potensi sumber daya lokal antar desa, antara lain; berbasis Pengembangan
pariwisata, pengembangan pertanian,
perkebunan, perikanan, pembentukan ekonomi kreatif, Agrobisnis, dan sebagainya.
Model pengelolaan kolaboratif tidak hanya membuka ruang bagi “kedaulatan desa” dalam kerangka otonomi desa, namun juga membuka ruang dan semangat kerjasama antar desa dan antar komunitas. Dengan demikian, potensi ruang konflik yang menjadi kendala dalam upaya
pengelolaan sumber daya pesisir dan
pembangunan desa dapat diminimalisir.
Merujuk pada beberapa fakta empiris15 kurang
11Menski (2012).
12UU No 6 tahun 2014, tentang Desa, Pasal 1, Ayat 9 13UU No 6/2014 Pasal 1
14Permen DPDTT No 5/2016 pasal 5
berhasilnya implementasi co-management di Indonesia lebih diakibatkan oleh ketimpangan peran antara masyarakat dan pihak lainnya. Peran pemerintah masih sangat dominan dalam hal koordinasi perencanaan, penyusunan dan pengesahan rencana. Sementara masyarakat hanya berperan dalam konsultasi publik seperti
perencanaan zonasi. Tingkat partisipasi
masyarakat hanya pada tahap informatif dan hal ini sangat tidak memadai dalam prinsip partisipasi masyarakat. Hal lainnya yang kurang dipertimbangkan yaitu prinsip keterpaduan antar sektor dan stakeholders16. Beberapa
prinsip yang terpenting yaitu koordinasi dan dialog aktif serta mengakomodir berbagai kepentingan secara adil.
5. Kawasan
Perdesaan:
strategi
imlementasi dan oplimalisai kerangka
regulasi
Beberapa kerangka regulasi17 yang saat ini
tersedia sudah memberikan ruang bagi masyarakat secara bersama-sama dengan pemerintah di tingkat desa untuk secara mandiri dan otonom mengelola dan memanfaatkan sumber daya ekonomi di wilayahnya. Salah satu sumber daya ekonomi selain sumber daya lahan, juga dapat termasuk diantaranya sumber daya perairan. Khususnya bagi masyarakat yang
secara sosio historis memiliki ruang
pemanfaatan dalam bentuk wilayah adat. Langkah strategis dalam implementasi kawasan perdesaan setidaknya melalui optimalisasi kerangka regulasi yang telah tersedia saat ini
Optimalisasi kerangka regulasi tersebut
ditempuh melalui: (1) penetapan masyarakat hukum adat/masyarakat tradisional berdasarkan UU No 1/2014; (2) penetapan desa adat berdasarkan UU No 6/2014; (3) penetapan ruang laut/pesisir sebagai wilayah hukum adat/wilayah perikanan tradisional berdasarkan UU No 1/2014; (4) pencantuman/integrasi wilayah hukum adat/wilayah perikanan tradisional dalam RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil) berdasarkan UU No 15Salah satu kasus pada tata kelola kawasan konservasi
Taman Nasional Bali Barat (Mahmud, 2014)
16Clark (1992)
1/2014; (5) pembentukan, pengusulan dan penetapan kawasan perdesaan berdasarkan UU No 6/2014; dan (6) penyusunan dan penetapan rencana pengelolaan sumber daya pesisir dalam kerangka pembangunan kawasan perdesaan berdasarkan UU No 6/2014 dan UU No 1/2014.
Pasal 21 UU 1 Tahun 2014 dengan tegas menyatakan bahwa pemanfaatan ruang dan sumber daya Perairan Pesisir pada wilayah masyarakat hukum adat oleh masyarakat hukum adat menjadi kewenangan masyarakat hukum Adat setempat. Dalam pengelolaan wilayah pesisir sangat berkaitan dengan kearifan lokal masyarakat pesisir setempat. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 40 Tahun 2014 tentang peran serta masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam Peraturan Menteri KP No 40 Tahun 2014 khususnya Pasal 3 menegaskan bahwa untuk mendukung proses pembangunan wilayah pesisir maka harus
memperkuat nilai-nilai kearifan lokal.
Masyarakat hukum adat diusulkan dan ditetapkan oleh Bupati/Walikota18. Masyarakat
hukum adat yang telah ditetapkan oleh Bupati/Walikota kemudian dapat mengusulkan wilayah kelola adat kepada Gubernur sebagai kepala daerah Propinsi untuk ditetapkan dan dimasukkan ke dalam RZWP3K atau kepada Menteri KP untuk ditetapkan dan dimasukkan ke dalam RZ KSN, RZ KSNT dan RZ antar wilayah19.
Desa adat dapat dibentuk dan ditetapkan
oleh dan melalui Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota20. Desa adat memiliki
kewenangan sebagai bentuk rekognisi atas hak asal usul desa, diantaranya adalah pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli21 dan pengaturan dan pengurusan
ulayat atau wilayah adat22, termasuk di
dalamnya adalah wilayah ulayat pesisir dan laut. Kawasan perdesaan dibentuk dan dibangun
dalam kerangka pembangunan kawasan
perdesaan23 yang bertujuan untuk
pengembangan potensi dan/atau pemecahan
masalah kawasan perdesaan. Kawasan
perdesaan merupakan bentuk konkrit dari upaya 18Permen KP No 8/2018 Pasal 4 ayat 3
19Ibid, Pasal 5 ayat 1
20UU No 6/2014, Pasal 98 ayat 1 21Ibid, Pasal 103 huruf a
kerjasama antar desa dalam upaya
mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan, pengembangan ekonomi, dan/atau
pemberdayaan masyarakat desa melalui
pendekatan partisipatif dengan
mengintegrasikan berbagai kebijakan, rencana, program dan kegiatan para pihak pada Kawasan yang ditetapkan24. Kawasan perdesaan dapat
diusulkan kepada Bupati/Walikota berdasarkan inisiatif beberapa desa yang membentuk kesepakatan bersama. Dalam kerangka tata kelola sumber daya pesisir, inisiatif dari beberapa desa ini dapat terkait sebagai bentuk upaya solusi dan efektifitas pengelolaan wilayah kelola adat atau ulayat laut yang saling berbatasan. Pembentukan kawasan perdesaan
dalam kerangka pembangunan kawasan
perdesaan perikanan tradisional juga
memerlukan rencana pengelolaan perikanan
tradisional sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari kewajiban penyusunan
Rencana Pembangunan Kawasan Perdesaan sebagai bentuk rencana pembangunan jangka menengah25. Dengan demikian, baik rencana
pengelolaan sumber daya dan rencana pembangunan Kawasan merupakan bagian yang utuh dan tidak terpisahkan.
6. Kesimpulan
Bangkitnya semangat otonomi desa dan “politik kedaulatan desa” pasca terbitnya UU Desa, selain memberikan harapan positif juga dapat memberikan potensi ruang konflik yang bersifat antar desa dan antar komunitas. Potensi ruang konflik ini dapat terjadi jika semangat otonomi desa hanya dipahami sempit dan justru menegasikan upaya kerjasama antara desa, antar komunitas yang juga menjadi salah satu semangat dalam UU Desa. Pengelolaan sumber daya pesisir menjadi lebih efektif jika diimplementasikan dalam kerangka kerjasama antar desa dan antar komunitas mengingat seringkali wilayah kelola ulayat berhimpitan satu dengan lainnya. Strategi tata kelola sumber daya pesisir dapat dilakukan dalam kerangka 22Ibid, Pasal 103 huruf b
23Permen DPDTT No 5/2016 pasal 3 24Ibid
pembangunan kawasan perdesaan dan
dilakukan secara kolaboratif untuk
mengembangkan potensi dan/atau pemecahan masalah kawasan perdesaan. Strategi tata kelola sumber daya pesisir dapat mengoptimalisasikan kerangka regulasi yang saat ini tersedia.
Optimalisasi kerangka regulasi tersebut ditempuh melalui: (1) penetapan masyarakat hukum adat/masyarakat tradisional berdasarkan UU No 1/2014; (2) penetapan desa adat
berdasarkan UU No 6/2014; (3)
penetapan ruang laut/pesisir sebagai wilayah hukum adat/wilayah perikanan tradisional
berdasarkan UU No 1/2014; (4)
pencantuman/integrasi wilayah hukum
adat/wilayah perikanan tradisional dalam RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil) berdasarkan UU No 1/2014; (5) pembentukan, pengusulan dan penetapan kawasan perdesaan berdasarkan UU No 6/2014; dan (6) penyusunan dan penetapan rencana pengelolaan sumber daya pesisir dalam kerangka pembangunan kawasan perdesaan berdasarkan UU No 6/2014 dan UU No 1/2014.
Daftar Pustaka
[1] . Bromley, DW. 1991. Environment and Economy: Property Rights and Public Policy. Basil Blackwell. Inc. Belmont, California [2] . Clark, JR. 1992. Integrated Management of
Coastal Zones. FAO Fisheries Technical Paper. No. 327. Rome.
[3] . Fauzi, A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Gramedia Pustaka Utama. 2005. Jakarta.
[4] . K. orten, DC. 1984. People Centered Development. Contribution Toward Theory and
[5] . Planning Frameworks. West Harford, Conn. Kumarian Press.
[6] . Mahmud, A. 2014. Dinamika Tata Kelola Kawasan Konservasi Taman Nasional Bali Barat [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
[7] . Mardikanto, Toto, dan Soebiato, P. 2012.
Pemberdayaan Masyarakat dalam
Perspektif Kebijakan Publik. Bandung. Alfabeta.
[8] . Menski, W. 2012. Perbandingan Hukum dalam Konteks Global Sistem Eropa, Asia, dan Afrika. Bandung. Nusamedia
[9] . Ostrom, E and Schlager, E. 1996. The Formation of Property Rights in Hanna, S, Folke, C, Mäler, K.G.1996. Rights to Nature: Ecological, Economic, Cultural, and Political
Principles of Institutions for the
Environment [Editor]. Washington DC: Island Press
[10] . Pomeroy, RS and Williams, MJ. 1994. Fisheries Co-Manajemen And Small-Scale Fisheries: A Policy Brief. ICLARM
Daftar Peraturan Perundang-Undangan
[11] . Undang-Undang No 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
[12] . Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
[13] . Permen DPDTT No 5 Tahun 2016 Tentang Pembangunan Kawasan Perdesaan
[14] . Permen KP No 8 Tahun 2018 Tentang Tata Cara Penetapan Wilayah Kelola Masyarakat Hukum Adat dalam Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.