• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Pidana Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hukum Pidana Internasional"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

Hukum Pidana Internasional

P. Burgess1

Sejarah

Latar belakang konsep tanggung jawab inidividu dalam hukum internasional, yaitu ide bahwa hukum internasional dapat menimpakan tanggung jawab secara langsung terhadap individu.

Sebelum Perang Dunia II

Secara historis, hukum internasional dianggap sebagai hukum yang hanya menimbulkan hak dan kewajiban kepada negara.

Sehingga sampai Perang Dunia II (PD II), hukum internasional hanya mengharuskan negara yang ditundukkan untuk mengadili (dengan hukum nasional mereka) para tersangka penjahat perang yang disangka telah melanggar kewajiban hukum dan kebiasaan perang.

Misalnya negara yang ditundukkan harus melaksanakan pengadilan nasional (pengadilan setempat) suatu tribunal militer untuk kejahatan perang.

Lalu, sebagai kesimpulan dari PDI, berbagai traktat pengakhiran perang memasukkan ketentuan bagi pengadilan setempat atau komisi-komisi militer untuk mengadili orang- orang yang dituduh melanggar hukum dan kebiasaan perang.

mis. Traktat Versailles 1919 pasal 228: “Pemerintah Jerman mengakui hak dari pihak Sekutu dan Kekuasaan-kekuasaan terkaitnya untuk menuntut orang-orang yang dituduh melakukan tindakan pelanggaran hukum dan kebiasaan perang ke tribunal militer (Pengadilan setempat)

Pendekatan ini juga terlihat jelas pada konvensi-konvensi yang dibuat untuk mengatur perang pada saat itu, misalnya Konvensi De Hague IV dan Hague Rules 1907:

- Hague Rules termasuk juga ketentuan perilaku (code of conduct) bagi individu

- Pasal 1 dari Konvensi tersebut mewajibkan negara-negara anggota untuk mengeluarkan instruksi kepada angkatan bersenjata mereka untuk mematuhi Hague Rules.

- Pasal 56 Hague Rules- Pelanggaran atas Hague Rules harus dijadikan dasar dari Proses Hukum di pengadilan lokal (tidak harus pengadilan pidana)

- Pasal 3 dari Konvensi De Hague IV – Jika salah satu prajurit melanggar peraturan tersebut, maka negaranya lah yang harus bertanggung jawab atas hal tersebut. akan tetapi peraturan tersebut tidak secara jelas mengatur bahwa individual yang melakukan pelanggaran tersebut akan bertanggung jawab secara pidana dalam perspektif hukum internasional.

1 Beberapa bahan-bahan materi diambil dari konsep tindak pidana internasional berbasis jender yang sekarang masih

dikerjakan oleh kelompok kerja Komnas Perempuan, termasuk penulis.

(2)

Setelah Perang Dunia II

Tribunal Militer Internasional Nuremberg

Setelah berakhirnya Perang Dunia II (PD II) diputuskan untuk membentuk tribunal internasional khusus untuk mengadili pelaku kejahatan perang dibawah kekuasaan sekutu.

Pada bulan Agustus 1945 Piagam London untuk Tribunal Militer Internasional ( dikenal juga sebagai the Nuremberg Charter) disetujui.

Piagam itu memberikan yurisdiksi tribunal untuk mengadili orang-orang yang melakukan tiga jenis kejahatan :

• kejahatan terhadap perdamaian : yaitu, merencanakan, mempersiapkan, memulai atau menantang perang atau melakukan agresi, atau perang yang merupakan pelanggaran terhadap traktat internasional, perjanjian atau jaminan, atau keikutsertaan dalam rencana bersama atau permufakatan untuk terlaksananya suatu kondisi tersebut diatas;

• Kejahatan perang; yaitu, pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan perang. Pelanggaran ini termasuk namun tidak terbatas pada, pembunuhan, perlakuan kejam atau deportasi penduduk sipil di lokasi yang dikuasai untuk diperbudak, dipekerjakan atau tujuan lainnya, pembunuhan atau perlakuan kejam terhadap tahanan perang atau orang di lautan, membunuh sandera, merampas barang- barang milik publik atau pribadi, tanpa alasan menghancurkan kota atau desa, atau penghancuran yang tidak dapat dibenarkan dari sisi kebutuhan militer.

• Kejahatan terhadap kemanusiaan : yaitu, pembasmian, perbudakan, pemindahan, atatu tindakan tidak manusiawi lainnya terhadap populasi sipil, sebelum ataupun pada saat perang; atau penuntutan atas dasar politik, rasial atau keagamaan dalam eksekusi atau dalam hubungannya dengan kejahatan apapun didalam yurisdiksi tribunal, terlepas dari apakah tindakan tersebut melanggar hukum domestik dimana kejahatan tersebut terjadi.

Tribunal dilengkapi dengan hukum acara yang didasarkan kepada tradisi hukum common law.

Empat orang hakim duduk, masing-masing mewakili satu negara sekutu; terdakwa diwakili oleh pengacaranya.

Dua puluh empat orang dituntut, hanya tiga dari mereka yang dibebaskan (catatan. bahwa salah seorang terdakwa – Bormann – diadili secara in-absentia dan dihukum mati)

Proses ini juga bukan tanpa cela.

Kritik utama terhadap proses ini adalah bahwa ini menimpakan tanggung jawab secara retroraktif terhadap individu-individu atas tindakan yang pada saat terjadinya bukan merupakan tindak pidana – argumen ini khususnya diajukan dalam hal kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan terhadap perdamaian.

(3)

Sidang di Pengadilan Domestik Jerman

Selain sidang Tribunal Militer Internasional Nuremberg, sidang juga diadakan di pengadilan domestik.

Pengadilan yang paling terkenal adalan pengadilan yang dilaksanakan dibawah pengawasan Control Council law No. 10 (meskipun didang lainnya dilaksanakan di negara Eropa lainnya)

Undang-undang mengatur bahwa bagi sidang-sidang atas kejahatan yang serupa – misalnya kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan (dan juga kategori keempat dari kejahatan untuk keanggotaan pada organisasi kriminal)

Definisi kejahatan didasarkan kepada definisi pada Piagam London (meskipun tidak identik sepenuhnya identik terhadapnya)

Tribunal Militer Internasional bagi Timur Jauh

Setelah perang di Pasifik berakhir, proses yang sejenis dibentuk untuk mengadili tersangka penjahat perang jepang.

Tribunal ini dibentuk oleh Jendral McArthur (Komandan Tertinggi Tentara Sekutu) melalui proklamasi khusus pada tanggal 19 Januari 1946 (dan tribunal ini nyaris seluruhnya dikuasai oleh Amerika Serikat)

Definisi kejahatan yang dipergunakan sangat mirip dengan definisi yang digunakan pada Piagam London untuk Tribunal Nuremberg.

• kejahatan terhadap perdamaian : yaitu, merencanakan, mempersiapkan, memulai atau menantang suatu agresi perang yang telah dinyatakan atau tidak dinyatakan, atau perang yang merupakan pelanggaran terhadap traktat internasional, perjanjian atau jaminan, atau keikutsertaan dalam rencana bersama atau permufakatan untuk terlaksananya suatu kondisi tersebut diatas; • Kejahatan perang konvensional; yaitu pelanggaran terhadap hukum atau

kebiasaan perang.

• Kejahatan terhadap kemanusiaan : yaitu, pembunuhan, pembasmian, perbudakan, pemindahan, atau tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan sebelum atau selama perang. , atau penuntutan atas dasar politik, atau rasial dalam eksekusi atau dalam hubungannya dengan kejahatan apapun didalam yurisdiksi tribunal, terlepas dari apakah tindakan tersebut melanggar hukum domestik dimana kejahatan tersebut terjadi. Pemimpin, pengatur, penghasut dan kaki tangan yang terlibat dalam perumusan atau pelaksanaan dari suatu rencana bersama atau permufakatan untuk terjadinya kejahatan yang disebut diatas bertanggung jawab terhadap semua tindakan yang dilakukan oleh semua orang dalam pelaksanaan rencana tersebut.

perlu dicatat bahwa di Jepang proses untuk melaksanakan sistem sidang paralel pada pengadilan lokal tidak dilaksanakan.

Tema Umum pada Pengadilan pasca PD II

meskipun prosedur dan definisi tentang kejahatan dimana seorang individu dapat

Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007

(4)

diadili melalui proses ini bervariasi, namun suatu tema umum muncul ke permukaan :

- Konsep bahwa seorang individu dapat dinyatakan bertanggung jawab dibawah hukum internasional, meskipun pada saat tindakan tersebut dilakukan, tindakan tersebut bukanlah pelanggaran terhadap hukum domestik.

- Konsep pertanggung jawaban komando (yang sangat terkenal pada kasus

Yamashita)- ini adalah mungkin kristalisasi dari konsep yang telah

berkembang sebelumnya.

- Konsep kejahatan diatur pada hukum internasional selain kejahatan perang – khususnya kejahatan terhadap kedamaian (sekarang dikenal sebagai “agresi”) dan kejahatan terhadap kemanusiaan. [tapi perlu dicatat bahwa untuk beberapa waktu tertentu aplikasi kejahatan terhadap kemanusiaan tetap terbatas, karena konsep bahwa kejahatan tersebut hanya dapat terjadi dalam hubungannya dengan kejahatan perang, atau kejahatan terhadap keamaian- dan karena kejahatan tersebut memerlukan terjadinya konflik bersenjata, maka hal ini berarti bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan juga hanya terjadi jika ada konflik bersenjata. Pendekatan ini telah diperluas aplikasinya beberapa waktu terakhir.

- Ide bahwa perintah atasan bukanlah argumen pembelaan dalam kejahatan internasional (meskipun perlu dicatat bahwa sebagian terdakwa diperbolehkan untuk menggunakan pembelaan tentang kondisi terpaksa)

Perkembangan Selanjutnya

Beberapa perkembangan menyusul segera setelah perang berakhir :

- Setelah putusan Nuremberg : Resolusi Sidang Umum Nomor 95 pada tahun 1946 menyetujui prinsip-prinsip hukum internasional yang tercantum dalam Piagam Nuremberg dan pada putusan tribunal

“menyetujui prinsip-prinsip hukum internasional yang diakui oleh Piagam Nuremberg dan putusan dari Tribunal tersebut”

Sidang Umum memerintahkan Komisi Hukum Internasional (yang pada waktu itu diharapkan untuk dapat segera dibentuk- yang kemudian dikenal sebagai Komite Kodifikasi Hukum Internasional) untuk membuat sebuah Pernyatan Prinsip-Prinsip Hukum Internasional dari Piagam Londong dan Tribunal Nuremberg.

- Prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh Komisi Hukum Internasional sebagai jawaban terhadap Resolusi Sidang Umum Nomor 95 (I) kemudian diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum No. 488 (V) pada tahun 1950.

Prinsip-prinsip ini menetapkan, diantaranya, definisi kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

- Resolusi Sidang Umum -96(I) 11 Desember 1946 – menyatakan genosida sebagai kejahatan dalam hukum internasional.

- Pada tahun 1948 Sidang Umum mengadopsi Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman terhadap Kejahatan Genosida (Convention for the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide)

Perlu dicatat, bahwa dalam instrumen-instrumen tentang Genosida ini, instrumen yang disebut terakhir pada awalnya dianggap sebagai salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan, meskipun saat ini pendapat tersebut mulai berkurang.

(5)

Sekarang hal itu terefleksikan pada instrumen-instrumen hukum pidana utama sebagai kejahatan yang terpisah.

Pada waktu pengembangan konsep kejahatan genosida, salah satu konsep yang paling penting adalah bahwa kejahatan ini tidak hanya berlaku dalam keadaan konflik bersenjatan, namun juga di waktu damai.

- Komisi Hukum Internasional juga mempersiapkan pengembangan rancangan peraturan tentang Kejahatan terhadap Perdamaian dan Keamanan dari Manusia, dengan tujuan untuk menggunakannya sebagai hukum substansi yang dapat diaplikasikan pada tribunal Permanen Pidana Internasional yang saat itu sedang dibicarakan (Hipotesis tentang Tribunal Masa depan itu juga disinggung pada Pasal VI Konvensi Genosida)

Tribunal Ad Hoc : International Criminal Tribunal For The Former

Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal For Rwanda (ICTR)

Setelah proses hukum setelah Perang Dunia II (PD II) selesai, sampai tahun 1990an tidak ada satupun mekanisme yudisial dibuat untuk menuntut kejahatan (tindak pidana) internasional.

Beberapa penuntutan tindak pidana internasional terjadi dalam skala domestik (misalnya peradilan Eichmann di Israel) tapi sebagian besar kejahatan internasional (misalnya yang terjadi di Kamboja, Uganda, Uni Soviet, Afghanistan, China, Chile, Guatemala, Argentina, dan lain-lain- serta Indonesia dan Timor Timur) tidak dituntut.

Kondisi ini sangat memprihatinkan dan dikeluhkan banyak orang, akan tetapi kelihatannya tidak ada kemauan politik yang kuat pada saat itu untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Usaha-usaha Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk membentuk Tribunal Pidana Internasional Permanen sejak PD II belum membuahkan hasil.

Komisi Hukum Internasional PBB telah mengkaji masalah tersebut dan mencoba untuk membuat sebuah traktat internasional yang dapat diaplikasikan oleh tribunal tersebut (Kode Kejahatan Terhadap Perdamaian dan Keamanan Umat Manusia) Akan tetapi tidak tercapai kesepakatan politik atau kemauan untuk membentuk pengadilan tersebut sepanjang perang dingin.

Namun, ketika pembantaian terjadi di bekas Republik Yugoslavia, kondisi menjadi berubah.

- perang dingin telah berakhir

- perhatian media terhadap kejadian tersebut sangatlah tinggi

- kejahatan yang terjadi sangat parah dan meluas

- dan mungkin yang terpenting adalah, kejadian itu menyatukan berbagai negara, negara barat menjadi sangat prihatin terhadap apa yang terjadi di Eropa, sementara negara muslim juga prihatin, karena banyak korban adalah muslim. Meskipun Rusia pada awalnya enggan untuk terlibat, namun Dewan Keamanan mulai mengeluarkan resolusi-resolusi tentang situasi di Yugoslavia.

- bulan Juli 1992 (resolusi 764- tentang Sarajevo) menyatakan bahwa orang-orang yang melakukan atau memerintahkan terlaksananya pelanggaran berat

(6)

terhadap Konvensi Jenewa bertanggung jawab secara individual terhadap pelanggaran tersebut.

- Bulan Agustus 1992 (resolusi 771) menyerukan negara-negara dan lembaga lain untuk menyerahkan informasi penting kepada Sekretaris Jenderal PBB sehingga Sekjen PBB dapat melaporkan kepada Dewan Keamanan tentang tindakan apa yang dapat dilakukan.

- Pada bulan Oktober 1992 (resolusi 780) Dewan Keamanan menugaskan komisi ahli untuk menyelidiki dan melaporkan pelanggaran hukum humanitarian

internasional. Komisi tersebut melaporkan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap hukum humanitarian internasioal di wilayah bekas Republik Yugoslavia, termasuk pembunuhan dengan sengaja, pembersihan etnis, pembunuhan

massal, penyiksaan, pemerkosaan, penjarahan dan penghancuran barang-baran milik sipil, penghancuran bangunan-bangunan kebudayaan dan penahanan sewenang- wenang.

- Pada bulan Februari 1993 (resolusi 808) Dewan Keamanan memutuskan untuk membentuk Tribunal Pidana Internasional dan mengajukan proposal

pembentukan tribunal tersebut kepada Sekretaris Jenderal PBB.

- Pada bulan Mei 1993 (resolusi 827) dewan Keamanan mengeluarkan resolusi yang mengadopsi statuta ICTY (International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia) dan secara resmi membentuk Tribunal tersebut.

Tribunal ini merupakan tribunal internasional untuk penuntutan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan pertama sejak Tribunal Militer Internasional Nuremberg dan Tribunal Militer Internasional bagi Timur Jauh.

ICTY merupakan tribunal pertama yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili genosida. Lalu, pada tahun 1994 terjadi genosida di Rwanda.

Kemudian timbul kritik dari kalangan negara Afrika adalah bahwa hanya pembantaian yang terjadi di benua Eropa saja yang memperoleh perhatian dari Dewan Keamanan.

→ Bulan November 1994 (resolusi 955) Dewan Keamanan memutuskan untuk membentuk tribunal Internasional bagi Rwanda (statuta pembentukan tribunal tersebut dilampirkan pada resolusi ini.

Statuta ICTR memiliki banyak persamaan dengan Statuta ICTY

- Hanya beberapa perbedaan kecil – misalnya kejahatan yang dilingkupi dan definisi-definisi tentang kejahatan yang merefleksikan perbedaaan sifat kedua konflik tersebut

Hukum Acara dan Pembuktian yang berlaku adalah sama.

Pembentukan Tribunal – Aspek Hukum

Kedua Tribunal Ad Hoc tersebut dibentuk atas dasar resolusi Dewan Keamanan PBB - ICTY – Resolusi DK 827 , 25 Mei 1993

- ICTR – Resolusi DK 955, 8 Nov 1994

Yang paling penting adalah, pada kedua resolusi tersebut, Dewan Keamanan PBB menyatakan bahwa DK bertindak atas dasar Bab VII Piagam PBB – dimana bab ini berbicara tentang ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran terhadap

perdamaian dan tindakan agresi.

(7)

- Dari situ lah Dewan Keamanan memiliki kekuasaan untuk mengambil tindakan yang bersifat memaksa dan mengikat dimana dianggap bahwa terjadi kondisi yang mengancam terhadap perdamaian.

Sebelum pembentukan ICTY, Dewan Keamanan belum pernah menggunakan Bab VII sebagai dasar untuk membentuk suatu badan yudisial.

Dalam kasus pertama sebelum ICTY –Tadic- tersangka mengajukan keberatan terhadap keabsahan tribunal tersebut, dengan mengklaim bahwa Dewan Keamanan tidak memiliki kewenangan untuk membentuk tribunal dengan cara tersebut.

Lalu pada Banding, ICTY berpendapat bahwa pembentukan tribunal tersebut memang merupakan kewenangan dari Dewan Keamanan (khususnya berdasarkan pasal 41 yang memperbolehkan diambilnya tindakan-tindakan yang tidak melibatkan

penggunaan kekuatan bersenjata).

Fakta bahwa ICTY dan ICTR dibentuk oleh Dewan Keamanan atas dasar Bab VII (ketimbang melalui suatu traktat) merupakan hal yang penting, karena :

- Itu berarti bahwa persetujuan dari seluruh negara (termasuk negara yang terkena dampak langsung – misalnya Serbia) tidak diperlukan, baik tentang pembentukannya atau yurusdiksinya, bentuk dan masalah lainnya.

- Itu berarti bahwa semua negara terikat dibawah hukum internasional untuk bekerjasama dengan ICTY (sebagai disebutkan pada resolusi Dewan Keamanan, yang mengikat seluruh anggota PBB)

[beda tribunal campuran dan Pengadilan Pidana Internasional]

Yurisdiksi Tribunal

a. Limitasi yurisdiksi waktu

ICTY: yurisdiksi atas tindakan-tindakan yang dilakukan dari 1 Januari 1991 [ tanpa tanggal berakhir]

ICTR: yurisdiksi atas tindakan-tindakan yang dilakukan diantara tanggal 1 Januari sampai Desember 1994

b. Limitasi yurisdiksi geografis

ICTY: yurisdiksi atas tindakan yang terjadi pada wilayah bekas Republik Yugoslavia ICTR: yurisdiksi atas tindakan yang terjadi pada wilayah Rwanda c. Yurisdiksi prbadi – tidak terbatas – kewarganegaraan atau jabatan terdakwa

tidak relevan terhadap yurisdiksi tribunal.

d. Yurisdiksi Masalah Hukum

Yurisdiksi dari kedua tribunal tersebut adalah atas tiga kejahatan internasional: - Genosida

- Kejahatan terhadap kemanusiaan

- Kejahatan perang (pada statuta ICTY meliputi baik pelanggaran peraturan dan kebiasaan perang dan pelanggaran berat Konvensi Jenewa

Perlu dicatat bahwa

e. dalam hal tribunal ad hoc telah mengadili seseorang – maka orang tersebut

Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007

(8)

tidak dapat diadili lagi oleh pengadilan domestik

f. dalam hal pengadilan domestik telah mengadili seseorang, maka tribunal ad hoc dapat mengadili orang tersebut kembali, hanya jika:

- orang tersebut hanya diadili atas kejahatan biasa (bukan tindak pidana internasional)

- pelaksanaan pengadilan domestik bersifat memihak atau tidak independen

(meskipun begitu perlu diperhatikan bahwa tribunal akan memperhitungkan setiap hukuman yang telah dijalankan oleh terdakwa dalam menjatuhkan hukuman)

Pencapaian Tribunal

g. kontribusi luar biasa kepada pengembangan hukum pidana internasional (termasuk definisi kejahatan menurut hukum kebiasaan, pertahanan, mode tanggung jawab dan pertanyaan-pertanyaan tentang prosedur dan standar sidang yang adil)

h. ICTY telah melakukan penuntutan terhadap 161 orang. Dari jumlah ini 48 telah disidangkan dan dihukum, 5 dibebaskan/ 25 penuntutan ditarik kembali dan 11 tersangka meninggal sebelum atau pada saat persidangan. 11 orang telah dirujuk kepada pengadilan nasional untuk disidangkan. 61 persidangan masih berjalan.

i. ICTR terhitung bulan Juni 2006 telah mengeluarkan 22 putusan yang melibatkan 28 terdakwa. 25 diantaranya dihukum dan 3 dibebaskan. Pada saat itu 11 sidang lain sedang berjalan dan melibatkan 27 terdakwa.

j. Akan tetapi penting diketahui bahwa keberhasilan atau kegagalan tribunal internasional tidak hanya (bahkan tidak semata-mata) dinilai dari sisi kuantitatif, namun juga dari sisi jaminan prosedural yang dilaksanakan di persidangan, kepatuhan kepada standar hak asasi manusia, dan kualitas putusan-lah yang penting.dalam hal ini sebagian besar orang berpendapat bahwa tribunal ad hoc sebagai keberhasilan.

Masalah dengan Tribunal

k. Biaya dari anggaran awal yang berjumlah $276,000 juta (pada tahun 1993) ICTY telah berkembang ribuan kali.

Pada tahun 2006-20007 budget tahunan ICTY adalah $267,5 juta. ICTR memiliki anggaran yang sama ($270 juta kotor atau $247 juta net) Setiap tribunal memiliki lebih dari 1000 staf.

l. proses peradilan yang lambat

Saat ini telah 12 tahun sejak ICTR dibentuk dan hampir 14 tahun sejak ICTY dibentuk dan mereka masih belum menyelesaikan pekerjaan mereka.

Persidangan di tribunal dapat berjalan bertahun-tahun

Beberapa persidangan yang merupakan jumlah yang sangat banyak telah diputus dan sejumlah besar barang bukti disajukan, telah memakan waktu tahunan-contoh utama dari keadaan ini adalah kasus Milosevic (yang akhirnya berakhir dengan meninggalnya terdakwa sebelum sidang selesai)

(salah satu pendekatan terhadap masalah ini mungkin adalah untuk lebih selektif dalam perkara-perkara yang diajukan pendakwaannya, meskipun hal ini akan

(9)

berarti perlu penyeimbangan dengan pertimbangan kebijakan lain seperti pertimbangan bahwa peran Tribunal dalam membentuk suatu rekaman publik yang komprehensif tentang kejahatan dan memungkinkan korban untuk menceritakan pengalaman mereka di pengadilan)

m. ketidakmampuan untuk menyidangkan semua atau bahkan sebagian besar dari mereka yang diperkirakan telah terlibat dalam kejahatan internasional di konflik yang relevan

dalam semua kondisi dari pelanggaran hak asasi manusia massal, kejahatan yang terjadi di Rwanda dan Yugoslavia dilakukan dengan melibatkan ribuan atau bahkan puluhan ribu pelaku.

Dengan mempertimbangkan biaya dan lambatnya prosedur yang ada, cukuplah jelas bahwa hanya relatif sedikit orang yang dapat disidangkan melalui

mekanisme ini.

Ribuan atau lebih tetap tidak dapat didakwa, atau didakwa dalam peradilan domestik (yang mungkin tidak memiliki standar prosedural yang sebaik tribunal atau jenis-jenis hukuman bagi mereka yang bersalah)

n. Ketidakmampuan untuk memastikan kehadiran Terdakwa Utama

Meskupun penggunaan Bab VII oleh Dewan Keamanan untuk memastikan keterikatan dan kerjasama negara-negara dengan Tribunal, tersangka utama tetap masih belum ditangkap, misalnya Mladic dan Karadic di bekas Yugoslavia

Masa depan Tribunal?

Sekarang sejak adanya Pengadilan Pidana Internasional Permanen, maka kelihatannya sedikit sekali kemungkinan bahwa Tribunal Ad Hoc lainnya akan dibentuk, khususnya karena pertimbangan biayanya.

Bahkan diakui bahwa salah satu faktor yang pada akhirnya mendorong kepada terbentuknya kemauan politik yang cukup untuk membentuk Pengadilan Pidana Internasional Permanen adalah kepercayaan oleh banyak negara, bahwa pembentukan Tribunal Ad Hoc ini harus dihindari di masa depan.

Bahkan, dalam trend terkini, diluar Pengadilan Pidana Internasional Permanen telah dibentuk pengadilan campuran, dibanding tribunal ad hoc.

Bagaimana dengan ICTY dan ICTR?

Keduanya memiliki rencana untuk menyelesaikan pekerjaannya, meskipun sangat sulit untuk mencapai tujuan ini dalam beberapa tahun kedepan sebagaimana diharapkan.

Satu solusi yaitu meningkatnya trend kepada pemindahan ke yurisdiksi domestik- khususnya pada kasus bekas Republik Yugoslavia

→ perkara dapat dipindahkan ke negara yang

- Wilayahnya merupakan tempat dimana kejahatan terjadi; atau - Wilayahnya merupakan tempat dimana terdakwa ditangkap; atau

- Negara lain yang yurisdiksinya menurut hukum internasional mau dan dapat menerimanya.

Dalam menentukan apakah untuk memindahkanke yurisdiksi domestik, Tribunal harus mempertimbangkan bobot dari kejahatan tersebut dan tingkat pertanggungjawaban dari si terdakwa.

Jadi prosedur ini lebih dimaksudkan untuk kejahatan yang lebih ringan atau pelaku yang berada di tingkat rendah.

(10)

Tidak jelas apa yang akan terjadi jika Tribunal ‘menyelesaikan’ tugas mereka jika pelaku-pelaku senior tidak disidang atau belum berhasil ditahan.

Tribunal Pidana “Campur”

Latar Belakang

Setelah pembentukan dua mahkamah (tribunal) internasional untuk Rwanda dan bekas Yugoslavia di era 1990-an model pengadilan yang berbeda, yang melibatkan hakim, penuntut, dan penyidik baik internasional dan lokal, terbentuk di empat negara yang baru pulih dari konflik berskala besar. Di Kosovo, Timor Timur dan Kamboja, pengadilan ini merupakan bagian dari struktur pengadilan nasional, yang dimandatkan melalui dewan perwakilan nasional. Dalam kasus Sierra Leone, PBB dan pemerintah mengadakan perjanjian bilateral yang mendasari pembentukan pengadilan tersebut, yang merupakan tindak lanjut atas permintaan dari Dewan Keamanan PBB. Tribunal-tribunal ini dikenal sebagai tribunal campur (mixed) atau hibrid (hybrid).

Peranan PBB

PBB memegang peranan penting dalam setiap kasus-kasus tersebut sebagai berikut. Di Kosovo dan Timor Timur pengadilan terbentuk ketika PBB menjadi pemerintah setempat sementara, menempati posisi yang kosong setelah konflik yang berkepanjangan. Di Timor Timur pengadilan tetap melanjutkan tugasnya setelah negara tersebut mendapatkan kemerdekaannya pada bulan Mei 2002. Pada saat tulisan ini dibuat Kosovo masih belum merdeka. Sejumlah besar misi perdamaian PBB telah dikirim ke Kamboja dan sejak kedatangannya PBB masih terus memegang peranan besar dalam pembentukan sebuah tribunal untuk mengadili kejahatan internasional. Di Sierra Leone pengadilan ini terbentuk melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB.

Rationale tribunal ‘campur’

Alasan-alasan mengapa ‘campur’ dipilih dibandingkan model internasional antara lain sebagai berikut:

• Pembentukan tribunal internasional perlu mendapat persetujuan dari semua anggota tetap dewan keamanan PBB. Pada kenyataannya Rusia, China dan Amerika Serikat terus menerus menentang pembentukan tribunal baru dengan alasan-alasannya antara lain adalah bahwa di kemudian hari akan ada kemungkinan di mana situasi hak asasi dalam negeri mereka sendiri menjadi obyek dari tribunal kejahatan internasional yang akan dibentuk. • Sampai tahun 2002, biaya operasional dua tribunal kejahatan PBB telah

mencapai USD 250 juta per tahun, sekitar 15% dari keseluruhan biaya operasional PBB, dengan jumlah pegawai 2000 orang. Fakta bahwa tribunal- tribunal tersebut bertempat di luar negara-negara di mana pelangggaran- pelanggaran terjadi telah menimbulkan biaya-biaya yang sangat tinggi untuk perjalanan, akomodasi dan biaya-biaya terkait untuk para staff, saksi, penuntut, pembela dan hakim and ahli internasional lainnya.

• Banyak pemain lokal di Rwanda dan bekas Yugoslavia merasa tribunal internasional patut dipertanyakan. Tribunal-tribunal tersebut berlokasi di tempat yang jauh sekali, penduduk lokal tidak bisa datang ke persidangan, persidangan dilaksanakan oleh orang asing menggunakan bahasa asing, para korban mendapatkan sedikit akses untuk informasi sehubungan dengan persidangan. Masalah ini disebut sebagai fenomena ‘spaceship’ (pesawat ruang angkasa) – di mana orang lokal merasa tribunal merupakan hal yang asing, jauh di luar pemahaman mereka, dan berlokasi di tempat yang jauh sekali.

(11)

• Walaupun dua tribunal internasional telah memakan biaya yang luar biasa besar, hanya sedikit pelaku yang diadili. Membentuk sebuah pengadilan yang benar-benar baru dan jauh dari konteks kejahatan memerlukan sejumlah besar ‘pekerjaan awal’ dan biaya, yang berarti bahwa pada tahun-tahun pertama kegiatan operasional tribunal hanya sedikit hasil yang terlihat.

• Meskipun banyak halangan dalam pembentukan tribunal internasional, negara-negara yang timbul dari pelanggaran massa, seperti Kosovo, Timor Timur dan Kamboja merasa perlu adanya satu bentuk pertanggungjawaban atas apa yang telah terjadi. Hal ini penting untuk memenuhi hak para korban untuk mendapatkan tanggapan yang memfasilitasi penyembuhan nasional, yang menyediakan forum publik yang mana bukti sehubungan dengan kejahatan masa lalu dapat ditayangkan/disiarkan, membawa pesan yang jelas bahwa tidak akan ada pengampunan atas bentuk kejahatan serupa yang dilakukan di masa yang akan datang, dan membangun kredibilitas dan dukungan atas hukum di bawah rezim baru.

• Sistem pengadilan, penuntutan dan polisi dalam situasi pasca konflik ini menempati posisi yang sangat lemah. Agar dapat menangani kejahatan internasional yang kompleks struktur lokal memerlukan bantuan internasional yang signifikan. Hal ini juga menyediakan peluang untuk perkembangan kapasitas.

• Situasi politik dalam negeri menciptakan tantangan untuk mencapai kemerdekaan, pengadilan imparsial. Hal ini dibantu oleh partisipasi hakim- hakim internasional dan para ahli lainnya, dan oleh keterlibatan PBB.

• Dengan keikutsertaan hakim-hakim lokal dan pejabat lainnya dalam prosesnya menciptakan semangat bahwa hal ini adalah merupakan mekanisme nasional, bukan sesuatu yang dibentuk oleh dan bagi pihak asing.

Relevansi ICC (Makahman Pidana Internasional)

Setelah pembentukan ICC di tahun XX, keinginan atas tribunal kriminal internasional PBB telah surut, dikarenakan ICC sekarang berkapasitas untuk berurusan dengan kasus-kasus yang akan datang seperti yang terjadi di Rwanda and bekas Yugoslavia. Namun demikian, ICC tidak memiliki yuridiksi terhadap kejahatan- kejahatan yang dilakukan sebelum pembentukannya (sebagai contoh: tidak memiliki yuridiksi retroaktif). Sehingga, apabila tidak ada pengadilan domestik yang hendak atau bisa menangani pelanggaran-pelanggaran serius terhadap hukum internasional yang dilakukan sebelum terbentuknya ICC, penyelesaiannya bisa melalui tribunal kejahatan internasional ad hoc yang terbentuk secara spesifik dari resolusi dewan keamanan PBB.

‘Panel Khusus’ di Timor Timur

Latar Belakang:

Setelah hampir 400 tahun di bawah penjajahan Portugis, pada tahun 1960, Timor Timur menyatakan diri sebagai ‘daerah non pemerintah yang dikelola oleh Portugis di bawah resolusi sidang umum PBB. Indonesia melancarkan invasi militer ke Timor Timur pada tanggal 7 Desember 1975 dan mengumumkan Timor Timur sebagai provinsi ke 27 pada tanggal 27 Juli 1976. Sebentuk gerakan perlawanan lokal terus melakukan perjuangan untuk kemerdekaan. Setelah 24 tahun pendudukan yang lama yang dikarakterisasikan oleh sejumlah klaim atas pelanggaran-pelanggaran yang tersebar luas terjadi yang melibatkan angkatan bersenjata Indonesia, PBB mengadakan pemilu pada tanggal 20 Agustus 1999 yang hasilnya 78,5% masyarakat Timor Timur yang berpartisipasi dalam pemilihan memilih merdeka dari Indonesia.

Menurut laporan-laporan dari tim Rapateur Khusus PBB (UN Special Rapporteurs),

Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007

(12)

Komisi PBB untuk Penyelidikan Timor Timur dan Komisi untuk Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi Timor Timur (UN Commission of Inquiry into East Timor and the East Timor Commission for Reception, Truth and Reconciliation), angkatan bersenjata Indonesia dan milisia Timor Timur di bawah kontrol mereka terlibat dalam penyebarluasan pelanggaran hak asasi manusia yang sengaja dilakukan untuk mempengaruhi hasil pemilu dan kemudian ikut serta dalam pengrusakan besar- besaran, pembunuhan, pemerkosaan dan bentuk pelanggaran lainnya menyusul pengumuman hasil pemilu. Laporan Komnas HAM per 31 Januari 2000 menanyakan tentang 13 insiden yang terjadi selama periode tersebut dan memutuskan bahwa pemerintah Indonesia terlibat dalam pendanaan, penyediaan senjata dan dukungan kepada milisia Timor Timur dan bahwa TNI telah melakukan kerjasama operasi dengan mereka.

Setelah kerusakan besar-besaran pada bulan September, di mana 60 ribu rumah dan hampir semua infrastruktur dihancurkan, 500 ribu orang kehilangan hilang, kurang lebih 1.400 tewas and ratusan pemerkosaan terjadi, badan perdamaian internasional dikirim ke Timor Timur dan dewan keamanan PBB membentuk misi UNTAET pada tanggal 25 October 1999. UNTAET mendapat mandat untuk menjaga keamanan, mengurus batas wilayah dan membantu membangun kapasitas untuk pemerintahan sendiri, yang akhirnya dinyatakan pada tanggal 20 Mei 2002.

Komisi Penyelidikan untuk Timor Timur, didirikan oleh komisi hak asasi manusia PBB, merekomendasikan, pada bulan January 2002, tribunal kejahatan internasional, serupa dengan yang pernah dibentuk untuk menangani kejahatan yang terjadi di Rwanda dan bekas Yugoslavia, untuk didirikan untuk kasus di Timor Timur. Tribunal mana akan mendapat mandat di bawah Bab VII piagam PBB,termasuk kekuasaan bagi penyelidiknya untuk menyeberangi batas negara agar dengan seluruh kekuatannya dapat menangkap tersangka. (Kekuatan ini telah sering digunakan oleh ICTY)

Namun demikian, dewan keamanan sependapat dengan usulan yang menyatakan masalah mengenai tribunal tersebut akan ditunda sampai pemerintah Indonesia telah diberikan kesempatan untuk membuktikan keinginan dan kesanggupannya untuk mengadili warga negaranya yang terlibat dalam pelanggaran massa. Sebuah sistem 2 trek kemudian diciptakan, satu di Jakarta untuk menangani tersangka yang berada di dalam batas negara, satu lagi di Dili, untuk berurusan dengan tersangka yang berada di wilayah yuridiksi Timor Timur.

Tribunal Ad Hoc di Jakarta

Di Jakarta, tribunal ad hoc untuk Timor Timur didirikan pada tahun 2000 menurut UU Indonesia No. 26/200. Dari 18 orang tertuduh sebelum tribunal ad hoc, 12 orang dinyatakan tidak bersalah dan 6 orang dinyatakan bersalah setelah persidangan. Semua terdakwa naik banding. Lima dari enam putusan menang setelah banding. Hanya satu orang, Eurico Guteres dari Timor Timur yang dinyatakan bersalah dan dipenjara. Tidak ada tuduhan atas pemerkosaan atau pelanggaran-pelanggaran seksual di tribunal ad hoc ini (Baca David Cohen, Intended to Fail: the Trials before the Ad Hoc Human Rights Court in Jakarta, International Centre for Transitional Justice, Agustus 2003)

Pengadilan ‘Hibrid’ di Timor Timur

Di tahun 2000 UNTAET mengeluarkan peraturan 2000/15 yang menggagasi “panel khusus” yang merupakan bagian dari pengadilan daerah Dili , yang memiliki yuridiksi ekslusif untuk mengadili ‘pelanggaran kriminal serius’. Termasuk di dalamnya adalah pemusnahan suatu golongan bangsa (genocide), kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan kapan saja, demikian pula dengan pembunuhan, pelanggaran seksual dan penyiksaan yang terjadi antara 1 January

(13)

sampai dengan 25 Oktober 1999. Definisi-definisi dan elemen-elemen kejahatan yang digunakan dalam ‘kejahatan internasional’ pada pemusnahan suatu golongan bangsa, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan penyiksaan disalin hampir sesuai aslinya dari hukum Romawi (DEFINISI DARI PELANGGARAN SEKSUAL)

Para penyelidik dan penuntut demikian pula halnya dengan para hakim internasional yang duduk di Panel Khusus, merupakan staff PBB yang dipekerjakan khusus untuk menangani hal ini. Setiap panel khusus, yang didirikan sebagai bagian dari struktur pengadilan setempat, terdiri dari dua hakim internasional dan satu hakim Timor Timur.

Pada akhir dari masa mandatnya, unit ‘kejahatan serius’ di Dili mengeluarkan dakwaan terhadap 392 individual. 304 diantaranya diyakini berada di luar yuridiksi Indonesia. Delapan puluh empat anggota milisia dinyatakan bersalah setelah diadili. Hampir semua dari terdakwa menerima hukuman antara 7 sampai 15 tahun penjara, dan satu pemimpin milisia dihukum 33 tahun penjara. Dari angkatan bersenjata Indonesia pejabat berpangkat tertinggi yang didakwa adalah Jendral Wiranto.

Masalah-masalah yang belum ada penanganan

Beberapa badan monitor internasional terus merekomendasikan pembentukan sebuah tribunal internasional ad hoc untuk kejahatan-kejahatan yang terjadi di Timor Timur, berdasarkan hal-hal sebagai berikut:

• Tribunal ‘campur’ di Dili hanya menargetkan kepada ‘ikan kecil’ bukan kepada orang-orang yang paling bertanggung jawab yang belum berhadapan dengan keadilan. Karena itu, ada kewajiban yang berkelanjutan di bawah hukum internasional bagi masyarakat international dan pemerintah Indonesia untuk memastikan orang-orang tersebut untuk bertanggung jawab atas perbuatannya.

• Cara kerja dari tribunal ad hoc di Jakarta tidak memenuhi standar minimum internasional yang diperlukan untuk memperlihatkan kesungguhan dan kemampuan yang sebenar-sebenarnya untuk mendakwa mereka yang bertanggung jawab. Prinsip ‘double jeopardy’ oleh karenanya tidak dapat diaplikasikan kepada mereka yang sudah diadili dan divonis bebas di tribunal ad hoc. Sehingga mereka dapat diadili di pengadilan internasional lain.

• ICC tidak dapat menangani kasus Timor Timur karena sudah terjadi sebelum ICC terbentuk.

Yuridiksi Universal

Di bawah prinsip umum kedaulatan negara hukum nasional dari satu negara bagian tidak berlaku di negara bagian lain. Hukum-hukum tersebut hanya dapat berlaku terhadap:

• Perorangan (warga negara atau sebaliknya) yang secara fisik berada di wilayah geografi satu negara bagian tertentu.

• Warga negara satu negara yang berada di luar batas wilayah negaranya (hanya dalam kasus pengecualian, sebagai contoh hukum yang baru-baru ini berlaku yang melarang pelanggaran seksual terhadap anak-anak saat berada di luar negeri, dikeluarkan oleh sejumlah negara).

• Undang-undang yang bertentangan dengan hukum nasional tertentu, yang masih berlaku efektif pada waktu dan tempat di mana undang-undang tersebut dilaksanakan. (Prinsip retroaktif)

Komunitas internasional yang semakin lama semakin mengakui bahwa menyeret para pelaku ke meja hijau untuk tindak kejahatan internasional yang paling serius merupakan pengecualian atas prinsip normal seperti dinyatakan di atas. Menurut prinsip yuridiksi universal, kejahatan internasional seperti genocide, kejahatan

(14)

terhadap kemanusaian, kejahatan dan penyiksaan perang dapat diadili dengan pengadilan nasional dan internasional, tanpa mengindahkan kewarganegaraan dari si pelaku kejahatan atau waktu dan tempat di mana kejahatan terjadi.

Kewajiban negara bagian untuk mengadili mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan tersebut diakui atau diperlukan dalam sejumlah konvensi internasional seperti Hukum Romawi, Konvensi terhadap Penyiksaan dan ketentuan Pelanggaran Berat Konvensi Jenewa. Akan tetapi, walaupun banyak negara nampaknya mengakui kewajiban-kewajibannya, mereka harus mengeluarkan dan melaksanakan perundang-undangan dalam negeri yang memberi efek terhadap kewajiban- kewajiban tersebut. Perkembangan masalah ini lambat.

Namun demikian, kecenderungan terbaru termasuk pengadilan Perancis yang mengadili Jerman untuk kejahatan terhadap kemanusiaan selama Perang Dunia II (kasus Barbie, Papon dan Touvier); pengadilan Israel menjatuhkan hukuman terhadap warga negara Jerman atas tuduhan genocide yang dilakukan di luar wilayah yuridiksi Israel selama Perang Dunia II (Eichman), pengadilan Jerman mengadili bangsa Serbia atas tuduhan kejahatan internasional yang dilakukan di bekas Yugoslavia, dan pengadilan Inggris telah mengakui yuridiksi atas penyiksaan yang dilakukan di Chile, walaupun tidak ada hasil putusan sidang (kasus Pinochet) Pada umumnya, negara-negara takut mencampuri urusan dalam negeri negara lain, hal tersebut semakin menghalangi-halangi proses mencari kejelasan atas kejahatan internasional. Tetapi fakta yang menyatakan bahwa ada tuntutan kejahatan internasional yang menang di pengadilan di Spanyol, Perancis, Belgia, Inggris dan Belanda memperlihatkan bahwa ada peningkatan kemauan dari negara-negara untuk memenuhi kewajibannya.

The USA Alien Torts Act (Undang-undang Perbuatan Melawan Hukum Orang Asing)

Perbuatan melawan hukum biasanya terbatas untuk menyediakan penyembuhan terhadap warga negara yang menderita akibat pelanggaran yang dilakukan warga negara lainnya, perusahaan, dan sebagainya yang berada di negara itu. (sebagai contoh, melalui kelalaian, pengabaian yang disengaja, dll.)

Namun, di Amerika Serikat, sebuah hukum yang sangat tua, bahwa Alien Torts Claims Act (ACTA) dibuat tahun 1789, memungkinkan individual yang bukan warga negara Amerika bisa menuntut, di pengadilan federal Amerika Serikat, orang-orang yang telah membuat mereka menderita melalui pelanggaran dari “hukum negara atau sebuah perjanjian Amerika Serikat.” Pengadilan Amerika Serikat telah menterjemahkan hukum ini sehingga termasuk tindakan-tindakan genocide, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, penyiksaan, “orang hilang’, eksekusi tanpa sidang, kerja paksa dan penahanan yang secara semena-mena terus diperpanjang.

Undang-Undang Perlindungan Terhadap Korban Penyiksaan tahun 1991 (TVPA) melanjutkan hal ini dengan memperbolehkan warga negara Amerika Serikat untuk menuntut mereka yang bertanggung jawab terhadap penyiksaan dan pembunuhan tanpa diadili yang bertindak mengatasnamakan pihak penguasa atau hukum suatu negara asing.

Hukum-hukum ini bukanlah hukum kriminal dan tidak berkaitan dengan hukuman langsung terhadap pelaku kejahatan. Hukum-hukum tersebut memungkinkan para korban untuk mengklaim atas kerusakan yang terjadi seperti ganti rugi finansial dari pihak yang bertanggung jawab atas pelanggaran hukum internasional seperti tersebut di atas. Prosedur yang relevan termasuk kebutuhan para ‘tergugat’ atas secara pribadi diberitahukan tentang klaim tersebut oleh Penggugat atau agennya

(15)

dengan cara memberi dokumen klaim secara langsung. Pengadilan selanjutnya akan menjadwalkan satu pemeriksaan (hearing) terhadap masalah tersebut. Menurut prosedur pada umumnya dalam kasus-kasus sipil, apabila salah satu pihak tidak datang pada saat pemeriksaan dilaksanakan, maka pihak lawan akan mendapatkan putusan yang menguntungkan.

Dalam sejumlah kasus yang dibawakan menurut prosedur ini, ada kesempatan untuk memberi dokumen kepada tergugat yang relevan, akan tetapi sang tergugat tidak hadir dalam pemeriksaan. Dalam kasus-kasus seperti ini pengadilan telah membuat putusan yang menguntungkan bagi si penggugat, seringkali termasuk sejumlah besar ganti rugi yang harus dibayarkan kepada pihak korban baik sebagai ganti rugi atas penderitaan yang dialami dan sebagai hukuman tambahan yang dibuat untuk menghukum pihak tergugat. Perintah-perintah pengadilan seperti ini hanya dapat dilaksanakan di Amerika Serikat. Pihak tergugat yang tidak menghadiri pemeriksaan sidang dan kemudian tidak masuk ke Amerika Serikat tidak wajib membayar.

Kebanyakan korban tidak menerima pengakuan atau ganti rugi di negara mereka sendiri, dan tidak akan mendapatkan ganti rugi melalui Alien Torts Act karena pihak tergugat tidak akan masuk ke AS lagi. Namun demikian, prosesnya memberi mereka kemenangan moral, kesempatan untuk memberikan kesaksian publik sehubungan dengan aksi yang dilakukan oleh sang tergugat, dan mengirimkan pesan bagi para pelaku kejahatan di masa lalu dan yang akan datang. Praktisnya, hal tersebut mencegah tergugat untuk bisa masuk ke AS dan melakukan bisnis di sana karena ada kewajiban yang belum terpenuhi terhadap pihak korban.

Kasus-kasus yang telah dibawa melawan bekas diktator Haiti, Pemimpin Bosnia Serbia yang mengangkat dirinya sendiri, Radovan Karadzic; Menteri Pertahanan Guatemala dan bekas diktator Filipina, Ferdinand Marcos. Para korbannya telah menerima penggantian yang substansial dari aset Marcos di AS. Sebuah pengadilan AS juga memerintahkan dua purnawirawan Jendral di El Salvador yang menjalani masa pensiun di Florida untuk membayar sejumlah $54,6 juta kepada 3 korbannya.

Kewajiban perusahaan multinasional

Akhir-akhir ini sejumlah perusahaan multinasional menerima tuntutan karena keterlibatan langsung dalam suatu tindak kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah asing dan angkatan bersenjatanya. (ref: Human Rights Watch....) UNOCAL dituntut karena diduga telah menyewa militer Burma yang sangat kejam sebagai pegawai keamanan di pipanisasi gasnya dan selama disewa, mereka telah melakukan kekerasan-kekerasan terhadap para warga negara dalam rangka membela kepentingan UNOCAL. Perusahaan minyak Talisman dituntut karena diduga telah memperbolehkan masyarakat Sudan untuk menggunakan fasilitas dan logistiknya untuk kegiatan operasional yang termasuk ke dalam kekerasan terhadap warga sipil.

Kasus-kasus Indonesia

Dua orang Jenderal Indonesia telah berhasil dituntut di bawah Alien Torts Act atas aksi kejahatan mereka di Timor Timur.

Kasus Sintong Panjaitan – Santa Cruz

Pada tahun 1994 pengadilan federal AS memutuskan Mayjen Sintong Panjaitan untuk membayar AS$4 juta sebagai ganti rugi dan tambahan $10 juta ganti rugi imateriil untuk ibu dari seorang aktivis Malaysia yang terbunuh dalam pembunuhan masalah terhadap lebih dari 270 orang Timur Timur oleh angkatan bersenjata Indonesia di kuburan Santa Cruz di Dili pada tanggal 12 Nopember 1991. Todd v.

Panjaitan (No. 92-12255, slip op. (D. Mass. Oct. 26, 1994

(16)

http://www.etan.org/news/2000a/11suit.htm Kasus Johnny Lumintang – di Timor Timur 1999

Pada tahun 1999, Jend. Johnny Lumitang yang menjabat sebagai wakil chief staff Jenderal, orang nomor dua di Angkatan Darat Indonesia. Beliau secara pribadi mendapatkan panggilan dari Alien Torts Act pada 30 Maret 2000 ketika sedang berkunjung ke area Washington DC dan tidak menghadiri kelanjutan pemeriksaan sidang.

Hakim Kay memutuskan Lumintang bertanggung jawab atas kekerasan-kekerasan di Timor Timur. Bukti atas keterlibatan langsung termasuk tanda tangannya di beberapa dokumen kunci. Dia juga secara tidak langsung bertanggung jawab sebagai “komandan yang mungkin baik secara kriminal atau sipil bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan oleh anak buahnya”. Pengadilan memutuskan bahwa sebagai salah satu pimpinan tinggi TNI Lumintang mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa anak buahnya terlibat dalam pelanggaran hak yang tersistem di Timor Timur and dia gagal untuk bertindak mencegah atau menghukum pelanggaran-pelanggaran tersebut. Oleh karena itu dia secara hukum bertanggung jawab atau aksi yang dilakukan mereka.

Hakim Kay memutuskan Lumintang “...bertanggung jawab atas aksi kejahatan terhadap para penggugat dan pola yang lebih besar dari pelanggaran hak asasi manusia yang brutal, ... Beliau, bersama dengan beberapa pimpinan tinggi militer Indonesia lainnya, merencanakan, memerintahkan dan menghasut suatu tindakan yang dijalankan oleh anak buahnya untuk meneror dan menelantarkan populasi warga Timor Timur... dan menghancurkan infrastruktur di Timor Timur setelah hasil pemilu yang menyatakan keinginan untuk merdeka.”

Pengadilan memerintahkan Lumintang untuk membayar AS$66 juta termasuk ganti rugi dan ganti rugi imateriil, terhadap 6 korban atau keluarga mereka yang merupakan pihak penggugat dalam kasus ini.

http://www.etan.org/news/2001a/10lumjudg.htm.)

Perkembangan Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC)

Pada tahun 1990-an PBB mengadakan beberapa kali pertemuan dan konferensi dimana para perwakilan dari berbagai Negara bekerjasama untuk merancang suatu Statuta yang akan menciptakan suatu pengadilan pidana internasional. Setelah kerja keras yang dilakukan oleh panitia perancang internasional, pada bulan Juli 1998, suatu konferensi internasional diadakan di Roma, Italy, yang melibatkan peserta dari 160 negara. Pada akhir tahun 1998, 120 negara memilih untuk mengadopasi Statuta Roma tentang Pengadilan Pidana Internasional.

Pada waktu Statuta Roma diadopsi, telah diputuskan bahwa setelah 60 negara meratifikasi Statuta tersebut, dan oleh sebab itu setuju untuk terikat oleh ketentuan- ketentuannya, maka Pengadilan Pidana Internasional akan didirikan. Pada saat itu, hal tersebut mungkin dicapai dalam beberapa tahun. Namun sebelum 2002, jumlah minimum 60 negara yang meratifikasi terpenuhi, dan dengan demikian memungkinkan berdirinya pengadilan tersebut. Pada saat ini, lebih dari 100 negara telah meratifikasi Statuta Roma, yang menjadikan Negara-negara tersebut sebagai pihak/peserta didalam Konvensi.

Ada beberapa pengecualian-pengecualian yang dapat dicatat diantara para Negara

Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007

(17)

peserta. Amerika Serikat, India, China, Russia dan Jepang bukan merupakan peserta, namun demikian, Jepang telah mengumumkan bahwa Negara itu akan segera meratifikasi Statuta Roma. Asia secara umum tidak terlalu terwakili diantara Negara-negara peserta. Indonesia berencana untuk menjadi peserta setelah meratifikasi Statuta Roma pada tahun 1998.

Pada masa lalu, Dewan Keamanan PBB (DK PBB) telah mendirikan beberapa pengadilan pidana internasional yang bersifat ad hoc (sementara) seperti Pengadilan Pidana untuk Yugoslavia (ICTY) dan Rwanda (ICTR). Namun demikian, pengadilan- pengadilan ini hanya diberikan jurisdiksi untuk mengadili perkara atas suatu konflik tertentu dimasa lalu. Statuta Roma menciptakan suatu pengadilan pidana tetap pertama, yang memiliki kemampuan untuk mengadili individu yang melakukan kejahatan-kejahatan internasional yang paling berat.

Walaupun PBB telah mengorganisir langkah-langkah persiapan untuk terbentuknya pengadilan tersebut, tapi pengadilan tersebut bukan merupakan badan PBB. ICC merupakan badan yang independen, dengan mandat yang didasarkan pada Statutanya sendiri. Negara yang menjadi peserta Statuta Roma dengan meratifikasinya, bertanggungjawab untuk mendirikan dan menjalankan Pengadilan tersebut, bukannya PBB. Para Negara peserta telah membentuk suatu Dewan Para Negara Peserta (Assembly of State Parties) yang bertemu setiap tahunan untuk mempertimbangkan isu-isu yang terkait dengan pelaksanaan pengadilan termasuk anggarannya. Dewan ini juga bertanggungjawab atas setiap perubahan terhadap Statuta Roma, walaupun Dewan tersebut telah memutuskan bahwa perubahan tidak akan dibuat sebelum 2009.

Karena pengadilan ini bukanlah badan PBB, maka Pengadilan ini hanya memiliki kewenangan atas Negara-negara yang telah secara sukarela mengikatkan diri atas ketentuan-ketentuannya. Dengan demikian, Negara-negara yang belum meratifikasi Statuta Roma tidak berada dibawah yurisdiksi ICC, kecuali warga negaranya melakukan kejahatan didalam batas Negara yang merupakan Negara peserta dalam Statuta Roma tersebut. Lebih lanjut, hanya kejahatan-kejahatan yang dilakukan setelah suatu tanggal Negara meratifikasi Konvensi tersebut yang dapat dijadikan yurisdiksi ICC. Sebagai contoh, Indonesia meratifikasi Statuta Roma di tahun 2008, maka ICC tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili perkara sebelum tanggal ratifikasi tersebut.

ICC tidak dirancang untuk menggantikan pengadilan nasional. Bahkan pada kenyataannya, ICC dirancang untuk mendorong agar pengadilan-pengadilan nasional mengambil tanggungjawab untuk mengadili warganegaranya yang telah melakukan kejahatan-kejahatan berat. ICC hanya menangani kasus-kasus yang tidak secara tepat ditangani oleh pengadilan nasional (sehingga pengadilan ini merupakan pelengkap terhadap pengadilan nasional, dan bukan menggantikannya). ICC bukan merupakan pengadilan tingkat banding yang akan mempertimbangkan kasus-kasus yang telah diputuskan oleh pengadilan nasional. ICC hanya memiliki jurisdiksi untuk mengadili kejahatan-kejahatan yang paling berat. (diskusikan kemudian).

Sehingga, apabila Indonesia meratifikasi di tahun 2008, maka ICC hanya memiliki jurisdiksi atas kejahatan-kejahatan paling berat yang dilakukan setelah tanggal ratifikasi dan dimana pengadilan Indonesia diputuskan tidak memiliki kemawaun atau kemampuan untuk mengadili kasus-kasus tersebut.

Preambul (Pembukaan) Statuta Roma

“Mengafirmasi bahwa kejahatan-kejahatan yang paling berat yang menjadi kepedulian masyarakat internasional tidak boleh tidak dihukum dan harus diadili secara efektif dengan mengambil tindakan-tindakan di tingkat nasional dan dengan

(18)

meningkatkan kerjasama internasional.

Berkehendak untuk mengakhiri impunitas yang dinikmati oleh para pelaku kejahatan-

kejahatan ini sehingga berkontribusi pada pencegahan kejahatan.”

Struktur Pengadilan

ICC berpusat di Den Haag, Belanda, dengan struktur sebagai berikut: Presiden

Pengadilan (Judiciary) Kepaniteraan (Registry) Penuntut Umum (Prosecutor)

Ada 18 hakim yang ditunjuk berdasarkan perwakilan bagian-bagian dunia, dan bertugas selama 9 tahun.

Pada saat ini, [ ] berwarganegara Kanada, penuntut umum dari Argentina dan Panitera dari Perancis.

Pengadilan ini memiliki tiga Majelis : • Pre-trial (Pra-Sidang)

• persidangan • banding

Majelis Pra-Sidang (The Pretrial Chamber) membuat putusan-putusan terkait dengan isu-isu perintah penangkapan, menegaskan dakwaan terhadap tersangka, memastikan bahwa hak-hak korban dan terdakwa cukup diakui selama masa penyelidikan, dan memastikan adanya perlindungan yang cukup terhadap para korban dan saksi. ICC merupakan pengadilan internasional pertama dimana para korban memiliki suatu status yang diakui sebagai bagian dari persidangan.

Majelis Persidangan (Trial Chamber) bertanggungjawab atas pelaksanaan persidangan, termasuk pembuktian oleh Penuntut dan Pembela, dan setiap hal-hal yang terkait dengan keterlibatan korban selama masa persidangan. Majelis Persidangan akan mengeluarkan putusan bersalah atau tidak bersalah dan juga memutuskan hukuman. Majelis ini memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa semua hak-hak atas peradilan yang adila telah dihormati. Setelah memutuskan bersalah, Majelis ini dapat mendengar pandangan para korban mengenai upaya perbaikan dan membuat putusan atas upaya perbaikan (reparasi) tersebut).

Majelis Banding (the Appeals Chamber) akan memutuskan banding-banding terhadap putusan-putusan yang dibuat baik oleh PreTrial Chamber (Majelis Pra Persidangan) atau Trial Chamber (Majelis Persidangan). Banding tersebut dapat disampaikan oleh Penuntut ataupun Pembela. Majelis ini dapat juga mengadilan tuntutan dari para korban terkait dengan putusan reparasi yang dibuat oleh Majelis Persidangan (Trial Chamber).

Kepanitraan (The Registry) menangani masalah-masalah administrasi, dan

memberikan nasihat dan jasa hukum seperti interpretasi dan penerjemahaan, perlindungan dan dukungan terhadap korban dan saksi, dan mengawasi kasus- kasus penahanan dan pemberian jasa-jasa pengadilan.

Kantor Penuntut Umum (The Office of the Prosecutor) bertanggungjawab untuk mengumpulkan dan memeriksa informasi terkait dengan kejahatan-kejahatan, melakukan penyelidikan dan penuntutan dihadapan penahdilan. Kantor ini terdiri dari 3 divisi:

• Divisi Jurisdiksi, Complementarity dan Kerjasama yang menganalisa rujukan- rujukan dari Negara-negara dan DK PBB untuk menentukan apakah tindakan

Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007

(19)

lebih lanjut dapat dilakukan, menerima informasi mengenai kejahatan- kejahatan dari LSM-LSM, para korban dan sumber-sumber lainnya, dan berkomunikasi dengan Negara-negara mengenai tanggungjawab mereka untuk melakukan penyelidikan dan mengadili para pihak yang bertanggungjawab atas kejahatan-kejahatan.

• Divisi Penyelidikan bertanggungjawab untuk melakukan penyelidikan termasuk mengumpulkan dan memeriksa bukti-bukti, menanyakan para saksi dan korban.

• Divisi Penuntutan bertugas untuk menyiapkan dan pelaksanaan perkara- perkara dihadapan ketiga Majelis didalam Pengadilan ini.

Jurisdiksi Pengadilan

Jurisdiksi ICC dapat dipahami dari 4 aspek:2

• Kejahatan (Pasal 5-8) ICC dapat mengadili kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. [Tetapi, kejahatan agresi baru akan didefinisikan pada tahun 2009].3

• Waktu: (Pasal 11) ICC hanya memiliki jurisdiksi terhadap kejahatan yang terjadi setelah Statuta Roma berlaku, sesudah 1 Juli 2002.

• Tempat: (Pasal 12) ICC memiliki jurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah negara peserta, tanpa melihat kewarganegaraan dari pelaku. Termasuk, negara-negara yang mengakui jurisdiksi ICC atas dasar deklarasi ad hoc (misalnya, ada negara dimana terjadi kejahatan internasional dan pemerintahan negara itu mendeklarasikan bahwa negaranya mengakui jurisdiksi ICC, walaupun belum menanda-tangani Statuta Roma) dan dalam wilayah yang ditentukan, secara sepihak, oleh Dewan Keamanan.4

• Orang: (Pasal 25-26) ICC memiliki jurisdiksi terhadap orang, dan bukan terhadap entitas yang abstrak.5 Akan tetapi ICC tidak memiliki jurisdiksi terhadap pelaku yang berusia di bawah 18 tahun.

Prinsip Pelengkap (Principle of Complementarity)

Harus selalu diingat bahwa ICC didirikan oleh para Negara, dan tidak satupun dari Negara tersebut mau untuk menyerahkan kedaulatan mereka secara tidak perlu. Pengadilan ini tidak didirikan sebagai pengadilan dengan jurisdiksi untuk mengadili kejahatan-kejahatan internasional seperti kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida atau kejahatan perang kapanpun dan dimanapun mereka terjadi. Hal ini tetap merupakan tanggungjawab Negara-negara. ICC didirikan hanya untuk mengadili perkara-perkara yang sangat berat dan dimana pemerintah Negara yang bersangkutan tidak bersungguh-sungguh atau tidak mampu melakukan penuntutan

2 William A Schabas, op.cit, hlm 55.

3 Andreas Zin Mermann, Part 2 Jurisdiction, Admissibility and Applicable Law, dalam Otto Triffterer,

Commentary on the Rome Statute of the International Criminal Court, Nomos Verlagsgesellschaft,

Baden-Baden, Munich,1999, hlm 97.

4

William A Schabas, op.cit, hlm 62.

5 Kai Ambos, Individual Criminal Responsibility, dalam Otto Triffterer, Commentary on the Rome

Statute of the International Criminal Court, Nomos Verlagsgesellschaft, Baden-Baden, Munich,1999,

hlm 477.

(20)

sendiri. Dengan demikian maka Negara peserta wajib menunjukan bahwa mereka bersungguh-sungguh dan mampu untuk mengadili kasus-kasus genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Hanya ketika Negara tersebut tidak bersungguh-sungguh atau tidak mampu maka ICC mendapat jurisdiksinya.

Agar dapat mengadili kasus-kasus genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang, maka tiap Negara wajib memiliki landasan hukum nasional untuk mengadili kejahatan-kejahatan tersebut. Atas alasan inilah beberapa Negara menunda ratifikasi atas Konvensi ini hingga waktu dimana mereka dapat mengamandemen hukum nasional mereka sehingga kejahatan-kejahatan berat ini dapat secara jelas dihukum berdasarkan hukum nasionalnya. Suatu aspek menarik terkait dengan rencana Indonesia untuk meratifikasi di tahun 2008 adalah bahwa pada saat ini UU No. 26/2000 hanya mengatur jurisdiksi untuk mengadili genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, tetapi tidak meliputi kejahatan perang. Apabila Indonesia mampu menunjukan bahwa ia mampu mengadili kejahatan- kejahatan internasional ini dan dengan demikian terhindar dari kemungkinan intervensi oleh ICC setelah Indonesia menjadi Negara peserta, maka Indonesia perlu mengamandemen UU No. 26/2000 untuk memasukan kejahatan perang atau mengeluarkan suatu UU dengan ketentuan/pengaruh yang sama.

Definisi:

Unwilling –tidak bersungguh-sungguh (Pasal 17 (2))

Suatu negara dinyatakan tidak mempunyai kesungguhan dalam menjalankan pengadilan apabila:

• Pengadilan nasional dijalankan dalam rangka melindungi pelaku dari tanggung jawab pidana atas kejahatan berat tersebut

• Terjadi penundaan yang tidak konsisten dengan niat untuk mendapat keadilan

• Pengadilan dilakukan secara tidak independen dan memihak, serta tidak konsisten dengan niat untuk mendapatkan keadilan

Unable-tidak mampu (Pasal 17 (3))

Pengadilan suatu negara dinyatakan tidak mampu apabila terjadi kegagalan sistem pengadilan nasional, secara menyeluruh ataupun sebagian. Sehingga negara tersebut tidak mampu menghadirkan tertuduh atau bukti dan kesaksian yang dianggap perlu untuk menjalankan proses hukum.

Bagaimana jurisdiksi ICC dapat “diaktifkan?”

Dalam Pasal 13, disebutkan bahwa inisiatif untuk menuntut suatu kasus untuk diadili dalam ICC dapat berasal dari 3 pihak yaitu negara peserta, Dewan Keamanan PBB atau Penuntut Umum ICC.

1. Negara Peserta dapat menyerahkan suatu “situasi” dimana ada indikasi terjadi kejahatan berat yang masuk jurisdiksi ICC, dan negara tersebut merasa tidak sanggup untuk mengadili si pelaku. Ini telah terjadi dalam kasus Uganda dan Republik Demokratik Congo (DRC)

2. Dewan Keamanan PBB, bertindak atas dasar Bab VII dari Piagam PBB, dapat merujuk kasus tertentu untuk diadili oleh ICC. Misalnya, ini telah dilakukan Dewan Keamanan untuk kasus Darfur.

(21)

3. Jaksa Penuntut Umum memiliki kekuasaan untuk memulai penyelidikan terhadap

kejahatan-kejahatan berat sesuai jurisdiksi ICC, bertindak atas inisiatifnya sendiri. Ia dapat mendasarkan putusan ini berdasarkan informasi yang ia terima dari berbagai macam sumber, termasuk pemerintah, LSM, PBB, dsb.

4. Namun, ijin untuk menjalankan penyilidikan atas inisiatif sendiri harus disetujui oleh Majelis Pra-Sidang (Pasal 15).6

Bagaimanakah Penuntut Umum memutuskan kasus-kasus yang akan diadili?

Karena ICC dirancang untuk memiliki jurisdiksi hanya terhadap kejahatan internasional yang paling berat, sebagian besar atau semua kejahatan yang tercantum dalam Statuta Roma telah memilika jurisdiksi internasional berdasarkan hukum internasional. Yakni, bahwa terdapat suatu kesepakatan meluas diantara para Negara bahwa kejahatan-kejahatan berat ini wajib diadili kapanpun dan dimanapun mereka terjadi dan merupakan kewajiban semua Negara untuk melakukannya. Kewajiban untuk mengadili ini merupakan ketentuan hukum internasional yang berlaku bagi semua Negara. Namun demikian, walaupun kewajiban ini ada berdasarkan hukum internasional, banyak Negara, yang pada kenyataannya tidak bersungguh-sungguh dan tidak mampu dalam mengadili warganegaranya sendiri yang terlibat dalam kejahatan-kejahatan berat tersebut. Sebagai contoh, dibanyak contoh, para pelaku adalah individu dengan kekuasaan dan para penegak hukum dinegara tersebut tidak mau atau tidak mampu mengadili mereka secara efektif.

Dalam situasi demikian, ICC dapat memutuskan untuk menggunakan jurisdiksinya dan mulai melakukan penyelidikan atau penuntutan kasus tersebut. Dalam membuat putusan ini, Penuntut Umum wajib melihat bukti yang tersedia dan memutuskan apakah cukup alasan untuk mempercayai bahwa kejahatan internasional telah dilakukan dan apakah Negara yang terkait cukup efektif. Keputusan ini dan interaksi antar pengadilan, Penuntut Umun dan Negara terkait diatur didalam ketentuan Pasal 17 dan pasal 18 Statuta Roma.

Pasal 17 mencerminkan kebijakan bahwa ICC tidak boleh dilihat sebagai suatu pengadilan tingkat banding yang memiliki jurisdiksi untuk memutuskan apakah suatu persidangan dan hukuman yang diputuskan oleh pengadilan nasional telah cukup, dan untuk menambahkan sesuatu apabila ternyata belum cukup. Putusan yang harus diambil ICC adalah apakah Negara sudah atau telah mengambil langkah- langkah efektif atau tidak efektif untuk melakukan penyelidikan dan penuntutan. Pasal ini memuat kritera pokok untuk menentukan apakah upaya-upaya yang diambil Negara untuk membawa pelaku kemuka keadilan adalah benar-benar. Upaya tersebut dapat dinilai tidak benar-benar apabila terlihat:

• Dimaksudkan untuk melindungi seseorang dari kewajiban pidana,

• Menunjukan adanya penundaan tanpa dasar yang tidak konsisten dengan upaya untuk membawa pelaku kemuka hukum atau

• Apabila proses hukum tidak dilakukan secara independent dan tidak memihak, dan tidak konsisten dengan upaya untuk membawa pelaku kemuka hukum.

Ada beberapa tumpangtindih antara kriteria tersebut, dan ICC belum merinci ketentuan tersebut lebih lanjut, jadi tidak jelas bagaimana ketentuan tersebut berlaku. Namun demikian, berdasarkan Ketentuan-ketentuan ICC, dialog antara Penuntut Umum dan Negara peserta mungkin untuk dilakukan. Sebagai contoh,

6

William A Schabas, op.cit, hlm 98.

(22)

LSM dan Negara peserta dapat mengumpulkan bukti-bukti dari adanya suatu kejahatan internasional yang terjadi disuatu Negara, dan bukti bahwa Negara peserta tidak memenuhi kewajibannya untuk menyelidiki dan melakukan penuntutan. Untuk memenuhi uji kelengkapan, Negara wajib menunjukan kemauan untuk bertindak atau memberikan bukti ke pengadilan bahwa Negara telah mengambil tindakan. Setelah menerima budi yang telah dipersiapkan dengan baik oleh suatu LSM, Penuntut Umum dapat menghubungi Negara peserta dan Negara dimana ICC mempercayai bahwa mungkin terdapat pelaku kejahatan internasional di Negara tersebut. Penuntut Umum dapat meminta Negara peserta untuk menyelidiki perkara- perkara yang mungkin telah dilakukan oleh pelaku tersebut. Penuntut kemudian dapat menghubungi lagi Negara tersebut dalam enam bulan untuk melihat kemajuan yang telah dicapai. Berdasarkan Ketentuan-ketentuan ini, komunikasi antara Penuntut Umum dan Negara-negara harus bersifat rahasia. Apabila tidak ada kemajuan yang dicapai dalam suatu periode tertentu dimana orang dapat mengharapkan adanya suatu kemajuan, atau jika hal lain telah terjadi, Penuntut Umum dapat percaya bahwa hal ini merupakan bukti yang cukup bahwa Negara peserta tidak berlaku berdasarkan kepercayaan (good faith) dalam hal menuntut mereka-mereka yang bertanggungjawab. Ia kemudian dapat pergi ke Majelis Pra- Sidang untuk mendebat bahwa Negara tersebut tidak memenuhi kewajibannya, dan kemudian memohon persetujuan untuk memulai penyelidikan.

Namun demikian, Pasal 17 perlu dibaca berkaitan dengan Pasal 18. Ide keseluruhan dari jurisdiksi ICC berdasarkan pada prinsip pelengkap – dimana Negara harus didorong untuk mengambil tanggungjawab daripada ICC yang menangani kasusnya. Pada setiap langkah proses, Penuntut Umum wajib hadir dihadapan Majelis Pra-Sidang yang akan mengeluarkan putusan awal yang mengizinkan penuntut umum untuk melanjutkan persidangan atau tidak. Majelis Pra-Sidang akan mensyaratkan Penuntut Umum untuk menyediakan bukti-bukti yang mendukung setiap permintaan untuk melanjutkan persidangan. Jika, sebagai contoh, suatu Negara telah pada saat yang sama mengambil langkah-langkah serius untuk melanjutkan persidangan dalam jurisdiksi nasional mereka maka Majelis Pra- Sidang tidak akan mengizinkan Penuntut Umum untuk melanjutkan persidangan. Hal mendasar dari prinsip pelengkap adalah bahwa tidak boleh ada dua penyelidikan dan penuntutan yang berjalan pada saat yang bersamaan, satu dari pihak Negara peserta dan satu dari ICC. Apabila Negara peserta melakukan langkah-langkah yang wajar dan terlihat bersungguh-sungguh dan mampu, maka ICC tidak boleh mengambil tindakan apapun. Sebagai tambahan, beberapa tindakan yang dimulai oleh ICC dapat merangsang Negara peserta untuk mengambil langkah-langkah tambahan, yang berarti bahwa ICC menghentikan kegiatan-kegiatannya.

Jurisdiksi terhadap Kejahatan-Kejahatan Paling Berat

Statuta Roma mencakup empat kejahatan besar. Elemen-elemen dari tiap kejahatan tersebut dimuat didalam Annex Statuta. Keempat kejahatan ini adalah:

Agresi Genosida

Kejahatan terhadap kemanusiaan Kejahatan Perang

Mengapa Keempat Kejahatan ini?

Referensi

Dokumen terkait

Usulan Teknis dinyatakan memenuhi syarat (lulus) apabila mendapat nilai minimal 70 (tujuh puluh), peserta yang dinyatakan lulus akan dilanjutkan pada proses penilaian penawaran

siswa memiliki kemampuan berpikir dalam aspek originality artinya terjadi kenaikan kategori dari kategori rata-rata menjadi kategori sangat kreatif atau istimewa dengan

melihat diri Anda tersenyum (saya pernah lihat orang yang nonton acara komedi dengan muka yang sangat serius waktu di airport,ini entah. karena tidak mengerti atau sudah putus

Abu> Da>wud dalam sunannya tidak hanya mencantumkan hadis-hadis s{ah{ih{ semata sebagaimana yang dilakukan oleh al-Bukhari dan Muslim, tetapi ia memasukkan

Berdasarkan hasil penelitian kepada 30 responden mengenai gambaran kualitas tidur pada lansia dengan penyakit asam urat di Kampung Cilumber RT 03/RW 07, Desa Cibogo,

Kelemahan dari orang dengan kerpibadian introvert ini salah satunya yaitu keberadaan tokoh utama tersebut kurang diakui karena dia lebih cenderung untuk menutup diri

In this section, the theoretical background of this thesis is discussed in the form of a literature review. The aim of the literature review is to provide answers to the

ABSTRAK – Penelitian ini bertujuan untuk menghasillkan media preparat jaringan tumbuhan menggunakan pewarna alternatif wenter sebagai alternatif dalam pewarnaan