• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "5 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Guru sebagai salah satu faktor kunci dalam penerapan Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) di sekolah membawa dua persepsi dalam mengajarkan PLH kepada para siswanya, yaitu persepsi tentang lingkungan dan persepsi tentang penyelenggaraan PLH. Penelitian ini mengukur kedua persepsi tersebut dan berbagai faktor yang diperkirakan mempengaruhi persepsi, seperti faktor individu guru (umur, jenis kelamin, pendidikan formal dan non formal, serta pengalaman dan harapan) yang mempengaruhi persepsi guru tentang lingkungan dan penyelenggaraan PLH, serta program pengajaran PLH di sekolah sebagai faktor obyek/sasaran dan kondisi sekolah sebagai faktor situasi yang mempengaruhi persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH.

5.1 Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Guru

Persepsi individu dipengaruhi oleh faktor individu, faktor obyek/sasaran, dan faktor situasi (Robbins 2003). Faktor individu guru berkaitan dengan karakteristik pribadi guru, pendidikan dan pengalaman guru yang diuraikan sebagai karakteristik guru.

Faktor obyek/sasaran dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan penerapan PLH, yaitu kebijakan PLH dan keberadaan kurikulum PLH di sekolah, sedangkan faktor situasi dibatasi pada kondisi lingkungan sekolah dan sekitarnya yang meliputi lingkungan fisik (ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan, seperti bangunan, lahan sekolah, buku sumber/buku ajar, dan alat bantu/media pengajaran), lingkungan biologis (peluang penggunaan sumberdaya biologis yang terdapat di sekolah dan sekitarnya sebagai sumber dan media pembelajaran) dan lingkungan sosial (dukungan kepala sekolah dan sesama rekan guru). Faktor obyek/sasaran dan situasi selanjutnya dirangkum dalam satu kategori peubah, yaitu sekolah, untuk keperluan analisis statistik lebih lanjut.

5.1.1 Karakteristik Guru sebagai Faktor Individu yang Mempengaruhi Persepsi

Data yang dikumpulkan berkaitan dengan faktor individu guru adalah usia/umur, jenis kelamin, pendidikan formal terakhir, pengalaman mengajar,

(2)

pengalaman berorganisasi yang kegiatannya fokus pada alam, pendidikan PLH formal/nonformal yang pernah didapatkan, dan pengalaman guru berinteraksi dengan alam. Total jumlah guru yang menjadi responden dari keempat sekolah contoh sebesar 31 orang guru.

a. Karakteristik demografis guru

Berdasarkan usia, 51,61% guru pada sekolah contoh berusia ≤ 30 tahun dan

9,68% berusia ≥ 51 tahun, sisanya berusia antara 31 – 50 tahun. Persentase guru perempuan lebih besar daripada guru laki-laki, yaitu 54,84% guru perempuan, dan 45,16% guru laki-laki. Sebagian besar guru sekolah contoh memiliki pendidikan SMA (51,61%). Adapula guru yang berpendidikan diploma sebanyak 16,13% dan sarjana (S1) sebanyak 32,27% guru.

Tabel 2 Persentase guru berdasarkan usia, jenis kelamin, dan pendidikan

Sekolah Usia Jenis Kelamin Pendidikan

≤ 30 31 - 50 ≥ 51 L P SMA Dipl. S1 S2 SDN Gunung Sari 01 6,45 12,90 3,23 9,68 12,90 9,68 3,23 9,68 0,00 SDN Gunung Bunder 03 19,35 3,23 3,23 6,45 19,35 16,13 6,45 3,23 0,00 SDN Gunung Bunder 04 9,68 16,13 3,23 12,90 16,13 19,35 0,00 9,68 0,00 SDN Gunung Picung 06 16,13 6,45 0,00 16,13 6,45 6,45 6,45 9,68 0,00 Total 51,61 38,71 9,68 45,16 54,84 51,61 16,13 32,27 0,00 b. Pengalaman mengajar

Pengalaman mengajar guru merupakan faktor kontekstual individu guru. Pengalaman mengajar guru dilihat berdasarkan lama mengajar, kelas yang saat ini diasuh, kelas yang pernah diasuh, mata ajaran yang saat ini diasuh, mata ajaran yang pernah diasuh, dan pengalaman mengajar PLH (Tabel 3). Guru dari sekolah contoh sebagian besar (70,97%) memiliki pengalaman mengajar selama ≤ 10 tahun. Satu orang guru (3,23%) belum memiliki pengalaman mengajar pada kelas lainnya sebelumnya karena baru mengajar selama 1 tahun di sekolah tempatnya mengajar. Sebesar 54,84 % guru tidak mengasuh mata ajaran khusus karena bertugas sebagai guru kelas yang mengasuh hampir semua mata ajaran pada tingkat kelas yang diasuhnya. Namun demikian ada guru yang bertugas mengasuh mata ajaran khusus/tertentu, baik untuk semua tingkat maupun untuk tingkat kelas tertentu, seperti mata ajaran agama, matematika, bahasa Inggris, PJOK (olahraga) dan SBK (Seni Budaya dan Keterampilan).

(3)

37

Tabel 3 Pengalaman mengajar yang dimiliki guru pada sekolah contoh

Jenis Pengalaman Jumlah %

Lama mengajar

<=10 tahun 22 70,97

11 - 20 tahun 4 12,90

21 -30 tahun 4 12,90

> 30 tahun 1 3,23

Saat ini mengajar pada kelas

Kelas rendah (1 – 3 SD) 13 41,94

Kelas tinggi (4 – 6 SD) 15 48,39

Kelas rendah dan tinggi 3 9,68

Sebelumnya pernah mengajar kelas

Kelas rendah (1 – 3 SD) 10 32,26

Kelas tinggi (4 – 6 SD) 9 29,03

Kelas rendah dan tinggi 11 35,48

belum ada pengalaman 1 3,23

Mata ajaran yang saat ini diasuh

Tidak ada m.a. khusus 17 54,84

Agama 5 16,13

Olahraga 3 9,68

Bahasa Inggris 2 6,45

Lainnya 2 6,45

Agama dan Bahasa Inggris 1 3,23

Olahraga dan Lainnya 1 3,23

Mata ajaran yang pernah di asuh

Tidak ada m.a. khusus 17 54,84

Agama 3 9,68

Olahraga 3 9,68

Bahasa Inggris 3 9,68

Lainnya 3 9,68

Agama dan Bahasa Inggris 1 3,23

Agama dan Lainnya 1 3,23

Pengalaman mengajar PLH

Tidak Pernah (1) 4 12,90

(4)

Sebagian besar (87,10%) guru menyatakan pernah mengajar PLH (Tabel 3). Pengalaman mengajar PLH tersebut berupa pengalaman mengajarkan materi-materi mengenai lingkungan hidup yang terintegrasi dalam mata ajaran yang diasuh oleh guru tersebut, maupun pemberian materi mengenai lingkungan hidup yang dilaksanakan dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler Pramuka. Namun demikian ada 4 orang guru (12,90%) yang menyatakan tidak memiliki pengalaman mengajar PLH. Guru yang menyatakan tidak pernah mengajar PLH tersebut satu orang bertugas khusus mengasuh mata ajaran matematika untuk kelas 4 di SDN Gunung Sari 01, sedangkan 3 guru lainnya adalah guru agama, guru kelas 1 dan guru kelas 3 dari SDN Gunung Bunder 03.

Mata ajaran Matematika memang sangat kurang relevansinya dengan PLH sehingga sulit dijadikan wadah integrasi materi-materi PLH. Selain itu daya serap siswa terhadap mata ajaran matematika biasanya tidak terlalu tinggi. Padahal pertimbangan dalam memilih mata ajaran untuk dijadikan wadah integrasi materi-materi PLH adalah relevansi mata ajaran tersebut dengan PLH dan daya serap siswa terhadap mata ajaran tersebut tinggi, sehingga mempermudah guru mengintegrasikan materi PLH ke dalam suatu mata ajaran.

Materi PLH pada dasarnya dapat diintegrasikan ke dalam mata ajaran apapun, termasuk Matematika. Guru perlu memiliki penguasaan materi-materi PLH dan kreativitas untuk dapat mengintegrasikan materi PLH ke dalam mata ajaran inti yang diasuhnya. Relevansi mata ajaran dengan materi PLH, daya serap siswa, dan kompetensi guru diduga menjadi penyebab guru matematika tersebut tidak mengintegrasikan materi PLH ke dalam pengajarannya, sehingga menyatakan bahwa dirinya tidak memiliki pengalaman mengajar PLH.

Berkaitan dengan guru dari SDN Gunung Bunder 03, Kepala sekolah SDN Gunung Bunder 03 dalam wawancara menyatakan bahwa pelaksanaan PLH di sekolah tersebut memang belum intensif karena keterbatasan kondisi sekolah. Kepala sekolah baru sebatas memberikan himbauan kepada para guru agar menyisipkan materi-materi PLH ke dalam mata ajaran yang ada, namun belum ada dorongan yang lebih kuat agar guru memperkaya pengajarannya dengan materi-materi PLH lain. Sekolah ini juga belum pernah mendapatkan intervensi/kegiatan PLH (Environmental Education intervention) dari lembaga

(5)

39

manapun sehingga guru-gurunya belum memiliki pemahaman maupun kemampuan mengenai PLH. Selain itu, materi-materi terkait PLH pada tingkat kelas 1 dan 3 terbatas pada topik mengenai kebersihan diri, lingkungan rumah dan sekolah, yang sudah termuat dalam silabus tematik kurikulum tingkat kelas tersebut. Hal-hal tersebut diduga menjadi penyebab guru kelas 1 dan 3 pada SDN Gunung Bunder 03 tersebut merasa belum memiliki pengalaman mengajar PLH.

Penyebab lain yang membuat guru agama dari SDN Gunung Bunder 03 merasa belum memiliki pengalaman mengajar PLH berkaitan dengan kurikulum mata ajaran agama. Mayoritas siswa di sekolah beragama Islam, sehingga pengajaran yang diberikan adalah Agama Islam. Kurikulum pendidikan Agama Islam di sekolah dasar lebih menekankan pada pengetahuan-pengetahuan keagamaan dan ibadah yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah SWT. Bahasan mengenai hubungan manusia dengan alam/lingkungan memang ada namun belum menjadi fokus pengajaran dalam mata ajaran Agama Islam. Marten (2001) menyatakan bahwa Islam lebih mementingkan kehidupan setelah kematian serta hubungan manusia dengan Tuhannya dibandingkan dunia materil dan kehidupan manusia di bumi yang hanya sementara saja. Hal tersebut juga menjadi salah satu sebab guru agama di SDN Gunung Bunder 03 merasa tidak memiliki pengalaman mengajar PLH.

c. Pendidikan dan pelatihan berkaitan dengan PLH

Pelaksanaan PLH oleh guru di sekolah akan dapat lebih efektif jika guru memiliki bekal kemampuan untuk mengajarkan PLH. Guru bisa mendapatkan bekal kemampuan tersebut melalui PLH formal maupun nonformal. Guru dari sekolah-sekolah contoh sebagian besar (67,74%) belum pernah mendapatkan PLH melalui jalur pendidikan formal sebelumnya, sebaliknya PLH non formal sudah didapatkan oleh 58,06% guru melalui berbagai kegiatan (Tabel 4). Kegiatan-kegiatan PLH non formal yang pernah diikuti sebagian guru dari sekolah contoh adalah seminar PLH, pelatihan PLH, kegiatan tafakur alam saat masih SMA, Search and Rescue (SAR) Sayaga Tagana dan Karang Taruna, Pecinta Alam, kegiatan penanaman dan permainan alam dari pihak luar sekolah, serta kegiatan terkait program WSLIC (Water Sanitation for Low Income Community) dari Bank Dunia.

(6)

Tabel 4 PLH formal dan non formal yang pernah didapat guru Jenis PLH Jumlah % PLH formal Tidak ada 21 67,74 PLH formal di SD/sederajat 6 19,35 PLH formal di SMP/sederajat 2 6,45 PLH formal di SMA/sederajat 0 0,00 PLH formal di Perguruan Tinggi 2 6,45

PLH non Formal

Tidak ada 13 41,94

Seminar PLH 3 9,68

Lokakarya/Workshop PLH 0 0,00

Pelatihan PLH 2 6,45

Seminar dan Lainnya 4 12,90 Lokakarya dan Lainnya 3 9,68

Lainnya 6 19,35

d. Pengalaman organisasi yang kegiatannya fokus pada alam

Pengalaman guru mengikuti organisasi yang kegiatannya berfokus pada alam, seperti misalnya Saka Wana Bakti (organisasi Pramuka yang kegiatannya fokus pada kehutanan) dan organisasi pecinta alam, juga dapat memberikan bekal kemampuan untuk mengajarkan PLH kepada guru. Keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan organisasi tersebut dapat menumbuhkan persepsi positif terhadap lingkungan yang dapat ditransfer oleh guru kepada siswanya. Pengalaman organisasi seperti itupun dapat menumbuhkan minat dan kesenangan guru terhadap PLH.

Tabel 5 Pengalaman guru dalam organisasi yang kegiatannya berfokus pada alam

Pengalaman Organisasi Jumlah %

Tidak pernah 21 67,74

Saka Wana Bakti dan Pecinta Alam 1 3,23

Saka Wana Bakti, Pecinta Alam dan Lainnya 1 3,23

Pramuka 6 19,25

SAR 1 3,23

(7)

41

Sebagian besar guru dari sekolah contoh (67,74%) tidak memiliki pengalaman dalam organisasi yang kegiatannya fokus pada alam, sedangkan sisanya menyatakan pernah mengikuti organisasi yang kegiatannya fokus pada alam. Organisasi yang pernah diikuti oleh guru yaitu Saka Wana Bakti, Pecinta Alam, Pramuka, dan SAR (Tabel 5).

e. Pengalaman berinteraksi dengan alam

Seorang tenaga pendidik lingkungan harus memiliki kemampuan untuk mempelajari dan mengevaluasi permasalahan lingkungan serta peran serta dalam pemecahan masalah lingkungan tersebut (NAAEE 2004). Kemampuan tersebut dapat diasah dengan melakukan interaksi dengan alam/lingkungan. Pengalaman guru berinteraksi dengan alam dapat menumbuhkan kepekaan guru terhadap alam/lingkungan dan permasalahan terkait.

Tabel 6 Pengalaman guru berinteraksi dengan alam

Interaksi dengan Alam Jumlah %

Jenis Pengalaman

pengalaman positif 23 74,19

pengalaman negatif 2 6,45

pengalaman positif dan negatif 2 6,45

Tidak memberi jawaban 2 6,45

Jawaban tidak jelas 2 6,45

Waktu Mendapatkan Pengalaman

2005 – 2010 13 41,94

< 2005 3 9,68

Jawaban tidak jelas 9 29,03

Tidak memberi jawaban 6 19,35

Pengalaman positif saat berinteraksi dengan alam dinyatakan oleh 74,19% guru, sedangkan masing-masing 6,45% guru menyatakan memiliki pengalaman negatif, positif dan negatif, tidak memberikan jawaban, dan jawaban tidak jelas/tidak dapat ditentukan positif atau negatifnya. Sebesar 41,94% guru mendapatkan pengalaman pada kurun waktu 2005 – 2010 dan 9,68% mendapatkan pengalaman interaksi dengan alam pada kurun waktu sebelum 2005.

(8)

f. Harapan guru

Pelaksanaan PLH di sekolah menumbuhkan berbagai harapan pada diri guru. Harapan guru berkaitan dengan kapasitas guru untuk mengajar PLH kepada siswanya di sekolah, sarana dan prasarana pendukung kegiatan belajar mengajar PLH di sekolah, dan harapan terhadap pelaksanaan PLH secara umum di sekolah. Tabel 7 Harapan guru berkaitan dengan kapasitas guru, sarana prasarana dan

pelaksanaan PLH di sekolah

Harapan Guru Jumlah %

Berkaitan dengan Kapasitas Guru

Ada upaya peningkatan kapasitas guru 13 41,94 PLH dapat meningkatkan kapasitas siswa 10 32,26

Tidak memberi jawaban 4 12,90

Lainnya 4 12,90

Berkaitan dengan Sarana Prasarana

Ketersediaan buku ajar dan alat bantu pengajaran 3 9,68 Ketersediaan media belajar/alat bantu pengajaran 2 6,45

Ketersediaan lahan yang luas 1 3,23

Peningkatan sarana prasarana 10 32,26

Ketersediaan kurikulum, buku penunjang dan media/alat bantu pengajaran

2 6,45

Tidak memberi jawaban 4 12,90

Lainnya 9 29,03

Berkaitan dengan Pelaksanaan PLH

PLH dapat meningkatkan kapasitas guru, siswa 12 38,71 PLH membantu menciptakan lingkungan bersih, indah,

nyaman

3 9,68

Adanya peningkatan pelaksanaan PLH di sekolah 4 12,90

Ada keterlibatan pihak terkait 2 6,45

Tidak memberikan jawaban 4 12,90

Lainnya 6 19,35

Sebanyak 41,94% guru mengharapkan adanya upaya peningkatan kapasitas guru melalui berbagai kegiatan. Selain itu 32,26% guru juga mengharapkan adanya peningkatan sarana prasarana untuk mendukung kegiatan belajar mengajar

(9)

43

PLH di sekolah, tanpa menyebutkan secara spesifik sarana dan prasarana yang dimaksud. Ketersediaan buku ajar dan alat bantu pengajaran diharapkan oleh 9,68% guru, ketersediaan media belajar/alat bantu pengajaran dan ketersediaan kurikulum, buku penunjang dan media/alat bantu pengajaran masing-masing diharapkan oleh 6,45% guru (Tabel 7).

PLH diharapkan dapat meningkatkan kapasitas guru dan siswa (38,71%), membantu menciptakan lingkungan yang bersih, indah dan nyaman (9,68%). Guru juga berharap ada peningkatan pelaksanaan PLH tanpa menyebutkan secara rinci peningkatan yang diharapkannya (12,90%). Keterlibatan pihak terkait dalam pelaksanaan PLH di sekolah nampaknya dirasa masih kurang, sehingga ada 6,45% guru yang mengharapkan adanya keterlibatan pihak terkait, seperti perguruan tinggi dan instansi terkait lainnya.

Sekolah-sekolah contoh letaknya berdekatan dengan kawasan hutan yang juga menjadi kawasan wisata alam, namun sekolah-sekolah tersebut belum mendapatkan dukungan yang intensif dalam pelaksanaan dan pengembangan PLH sekolah dari pihak pengelola hutan, baik Perum Perhutani, maupun Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor sebagai instansi yang bertanggung jawab terhadap perkembangan sekolah juga masih lebih fokus pada pengembangan mata ajaran inti, sehingga belum menyentuh PLH.

PLH adalah wadah dan sarana untuk membentuk generasi penerus yang memiliki kemampuan untuk mengelola lingkungan dengan baik. Khusus untuk sekolah di sekitar hutan, PLH dapat menjadi wadah untuk membentuk generasi penerus yang memiliki kemampuan dan motivasi untuk melakukan kegiatan konservasi hutan. Para pengelola hutan dan institusi terkait seharusnya mendukung sekolah sekitar hutan secara intensif dalam pengembangan dan penyelenggaraan PLH agar sekolah dapat mengoptimalkan perannya dalam menghasilkan SDM yang berkualitas.

5.1.2 Faktor Obyek/Sasaran yang Mempengaruhi Persepsi guru tentang Penyelenggaraan PLH

Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) sebagai obyek/sasaran persepsi guru merupakan hal dan istilah yang relatif baru bagi sebagian besar guru pada sekolah

(10)

dasar contoh, meskipun pada dasarnya materi-materi mengenai lingkungan sudah sejak lama diajarkan kepada siswa di sekolah dasar. PLH sebagai suatu program pengajaran baru mulai diterapkan secara lebih intensif di sekolah-sekolah contoh tersebut setelah terbitnya SK Gubernur Jawa Barat No. 25 tahun 2007 mengenai PLH. PLH pada keempat sekolah contoh dilaksanakan dengan pendekatan kurikuler secara integratif pada berbagai mata ajaran dan pendekatan ekstrakurikuler pada kegiatan Pramuka.

a. Pelaksanaan PLH dengan pendekatan kurikuler

Integrasi/penyisipan materi PLH ke dalam berbagai mata ajaran yang ada disesuaikan dengan kurikulum yang digunakan dan relevansi mata ajaran dengan materi PLH yang akan disisipkan. Kurikulum yang digunakan untuk tingkat kelas 1 – 3 SD menggunakan model silabus tematik, sedangkan kelas 4 – 6 sudah menggunakan silabus masing-masing mata ajaran.

Materi PLH yang diberikan di keempat sekolah contoh bervariasi, mulai dari materi yang murni bersumber dari kurikulum mata ajaran inti yang sudah ada, sampai pengayaan dengan berbagai materi di luar kurikulum mata ajaran inti namun masih memiliki relevansi kuat. Guru pada SDN Gunung Bunder 03 dan Gunung Picung 06 masih mempergunakan materi yang murni bersumber dari kurikulum mata ajaran inti yang ada, namun guru SDN Gunung Sari 01 mulai memperkaya bahan ajarnya dengan mempergunakan materi dari buku ajar PLH untuk sekolah dasar, sedangkan guru SDN Gunung Bunder 04 bahkan sudah mempergunakan lebih banyak lagi buku sumber diluar buku ajar dari mata ajaran inti yang ada guna memperkaya materi pengajarannya. Guru SDN Gunung Bunder 04 juga sudah mulai menambah materi PLH pada mata ajaran inti seperti Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan (PJOK), dan Seni Budaya dan Keterampilan (SBK), contohnya guru PJOK menambahkan indikator kemampuan siswa untuk menirukan gerak binatang/satwa dalam kegiatan olahraga, dan guru SBK memperkenalkan keterampilan berwawasan lingkungan dengan mempergunakan bahan-bahan yang didapat dari lingkungan sekitar.

Metode instruksional yang sangat sesuai untuk mengajarkan PLH adalah pengamatan dan penemuan langsung di lingkungan (NAAEE 2004). Metode tersebut memungkinkan terjadinya interaksi langsung antara siswa dengan

(11)

45

lingkungan yang menjadi sumber belajarnya. Pembelajaran di alam membantu siswa memahami metode ilmiah tertentu, mendapatkan pengalaman lapang dan meningkatkan kepekaan terhadap alam/lingkungan (Kenney et al. 2003).

Guru dari sekolah contoh yang telah menggunakan metode dan media yang memberikan kesempatan bagi siswa untuk berinteraksi langsung dengan lingkungan baru sebanyak 32,26% (Tabel 8). Guru yang terbanyak menggunakan metode dan media yang memungkinkan terjadinya interaksi langsung antara siswa dengan lingkungan/alam adalah guru dari SDN Gunung Bunder 04. Keterbatasan sarana prasarana fisik bangunan dan lahan sekolah, serta lokasi sekolah SDN Gunung Bunder 04 yang sangat dekat dengan hutan, mendorong guru untuk memanfaatkan lingkungan sekitar (kawasan hutan) sebagai media dan sumber belajar bagi siswanya.

Tabel 8 Penggunaan metode dan media untuk pengajaran PLH oleh guru Metode dan Media

Persentase Guru pada Sekolah Contoh Persentase Guru Keseluruhan Gunung Sari 01 Gunung Bunder 03 Gunung Bunder 04 Gunung Picung 06

Metode dan media tidak memberikan kesempatan siswa berinteraksi langsung dengan alam

71,43 25,00 22,22 57,14 41,94

Metode dan media yang digunakan memberikan kesempatan siswa berinteraksi langsung dengan alam 14,29 37,50 44,44 42,86 32,26 Lainnya 14,29 37,50 33,33 0,00 25,81

b. Pelaksanaan PLH dengan pendekatan ekstrakurikuler

PLH juga dilaksanakan dengan pendekatan ekstrakurikuler melalui Pramuka. Pembina Pramuka pada keempat sekolah contoh adalah guru di sekolah tersebut. Pembina Pramuka di SDN Gunung Sari 01 adalah guru kelas 5 dibantu guru kelas 2 sebagai pembina putri, pembina Pramuka di SDN Gunung Bunder 03 adalah guru bidang studi Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan (PJOK/Penjaskes), pembina Pramuka di SDN Gunung Bunder 04 adalah guru

(12)

PJOK/Penjaskes dan dibantu guru kelas 3 sebagai pembina putri, pembina Pramuka di SDN Gunung Picung 06 adalah guru kelas 6 dan guru kelas 4.

Kegiatan PLH yang diintegrasikan dalam Pramuka antara lain dilaksanakan dalam bentuk kemah, pengamatan, penjelajahan dan penanaman. Peserta Pramuka yang ikut dalam kegiatan pengenalan lingkungan pada keempat sekolah contoh adalah siswa kelas 4 – 6 yang memiliki minat terhadap Pramuka, sehingga tidak semua siswa mendapatkan pengalaman yang sama. Sejak tahun 2008, Pramuka dari SDN Gunung Bunder 04 seringkali mengadakan latihan gabungan/bersama dengan pramuka dari SDN Gunung Bunder 03. Pada kegiatan tersebut terjalin kerjasama antara guru pembina pramuka dari dua sekolah yang berbeda tersebut. Kerjasama tersebut dapat terjadi karena letak kedua sekolah yang cukup berdekatan (sekitar 1 km), dan guru pembina Pramuka pada SDN Gunung Bunder 04 dan SDN Gunung Bunder 03 sama-sama mengajar pada SMP terbuka yang diselenggarakan di SDN Gunung Bunder 03.

Pada dua sekolah contoh lainnya belum ada kegiatan latihan gabungan semacam itu. Wawancara dengan Pembina Pramuka dari SDN Gunung Bunder mengungkapkan bahwa anggota Pramuka dari SDN Gunung Bunder 04 lebih sering terlibat dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan PLH dibandingkan dengan ketiga sekolah lainnya. Hal tersebut juga berkaitan dengan seringnya SDN Gunung Bunder menjadi lokasi berbagai kegiatan yang berkaitan dengan PLH non formal yang diadakan oleh pihak luar sekolah, seperti misalnya kegiatan penanaman dan permainan di alam.

5.1.3 Faktor Situasi

Faktor situasi yang membentuk/mempengaruhi persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH diidentifikasi dari kondisi fisik, biologis dan sosial sekolah. Identifikasi kondisi fisik dan biologis sekolah dibatasi pada keberadaan sarana-prasarana fisik maupun lingkungan biologis yang dapat digunakan untuk mendukung kegiatan belajar mengajar PLH. SDN Gunung Bunder 04 memiliki sarana fisik berupa bangunan sekolah dengan jumlah lokal/ruang kelas yang paling sedikit dan lahan yang paling sempit jika dibandingkan dengan ketiga sekolah contoh lainnya, namun sekolah ini terletak pada tepi jalan utama dan paling dekat dengan kawasan hutan yang sekaligus juga menjadi tempat kegiatan

(13)

47

rekreasi/wisata alam (Tabel 9). Hal tersebut membuat SDN Gunung Bunder 04 sering dilibatkan dalam berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh pihak luar sekolah, seperti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) mahasiswa, dan kegiatan permainan alam yang diadakan oleh komunitas masyarakat peduli lingkungan. Tabel 9 Kondisi umum sekolah contoh

Kondisi Sekolah Sekolah Contoh Gunung Sari 01 Gunung Bunder 03 Gunung Bunder 04 Gunung Picung 06 Perkiraan jarak dengan hutan (km) 1 2 0,8 2 Jumlah lokal/ruang kelas (ruang) 6 6 4 6

Lahan sisa Luas Agak luas Sempit Paling luas Letak sekolah Agak masuk

gang Tepi jalan utama Tepi jalan utama Masuk jauh ke dalam gang Buku sumber PLH Ada tambahan

buku PLH

Buku ajar m.a. inti

Ada tambahan beberapa buku sumber dari berbagai pihak

Buku ajar m.a. inti

Intervensi PLH Guru, sebelum 2005

Belum ada Guru, 2009 Siswa, setelah 2005 (WSLic)

Gambar 5 Kondisi sekolah contoh: (a) SDN Gunung Sari 01; (b) SDN Gunung Bunder 03; (c) SDN Gunung Bunder 04; (d) SDN Gunung Picung 06

(a) (b) (c) (d)

(14)

Faktor lingkungan sosial pada keempat sekolah diidentifikasi berdasarkan dukungan kepala sekolah dan sesama rekan guru. Dukungan kepala sekolah dilihat dari rencana pengembangan PLH yang dimiliki oleh kepala sekolah pada masing-masing sekolah contoh, sedangkan dukungan sesama guru dilihat dari kerjasama guru dalam pelaksanaan PLH.

Kepala SDN Gunung Bunder 04 memiliki semangat dan keinginan yang tinggi untuk pengembangan PLH di sekolahnya, dan memiliki rencana untuk melaksanakan PLH secara monolitik bagi siswa di sekolahnya dengan memanfaatkan cadangan waktu 2 jam pelajaran yang belum terpakai. Kepala SDN Gunung Sari 01 merupakan kepala sekolah baru, masih beradaptasi dan melanjutkan program dari kepala sekolah lama, namun memiliki keinginan untuk mengembangkan berbagai kegiatan nonkurikuler yang dapat mendukung pelaksanaan PLH di sekolah tersebut. Kepala sekolah SDN Gunung Bunder 03 dan SDN Gunung Picung 06 masih fokus pada pelaksanaan mata ajaran inti, sehingga belum memiliki rencana untuk pengembangan PLH di sekolah.

Fasilitas untuk membangun dukungan dan kerjasama sesama rekan guru sebetulnya sudah ada, yaitu berupa Kelompok Kerja Guru dan Himpunan Guru Kelas yang mempertemukan para guru dari berbagai sekolah dalam suatu forum untuk berdiskusi dan bertukar informasi dan pengetahuan, baik mengenai bahan ajar maupun metode pengajaran, namun demikian diskusi serta tukar menukar informasi dan pengetahuan yang terjadi dalam kedua forum tersebut masih terbatas pada mata ajaran inti. Forum yang ada belum dimanfaatkan untuk mendiskusikan mengenai pelaksanaan PLH.

Kerjasama dan dukungan antara sesama guru dalam pelaksanaan PLH terutama terwujud pada SDN Gunung Bunder 04 dan SDN Gunung Sari 01. Para guru menyatakan bahwa materi mengenai lingkungan hidup pada mata ajaran inti seperti Bahasa Indonesia, PKN, IPS dan Agama, biasanya diberikan dalam bentuk teori di kelas. Kesempatan praktek dan interaksi langsung dengan lingkungan terlaksana pada mata ajaran IPA, PJOK, serta Seni Budaya dan Keterampilan (SBK). Selain itu, kegiatan Pramuka juga melengkapi siswa dengan pengalaman berinteraksi dengan lingkungan melalui berbagai kegiatannya. Pelaksanaan PLH pada dua sekolah contoh lainnya masih sebatas materi yang ada pada mata ajaran

(15)

49

inti. Guru di sekolah tersebut melaksanakan pengajaran sesuai tanggung jawab masing-masing di kelas atau pada bidang studi tertentu yang diajar, belum ada kerjasama antar guru untuk saling melengkapi pengajaran PLH-nya.

Faktor obyek/sasaran dan situasi selanjutnya dirangkum dalam satu peubah untuk keperluan melakukan analisis statistik lebih lanjut. Peubah dimaksud adalah sekolah, karena keempat sekolah contoh memiliki kondisi yang berbeda-beda dalam kaitannya dengan penerapan PLH pada masing-masing sekolah.

5.2 Persepsi guru tentang Lingkungan

Persepsi guru tentang lingkungan diinterpretasikan dari gambar dan definisi yang dibuat oleh guru mengenai lingkungan. Gambar digunakan untuk mengidentifikasi model mental yang dimiliki oleh guru mengenai lingkungan, sedangkan definisi lingkungan digunakan untuk mengidentifikasi gagasan/pengetahuan yang dimiliki oleh guru mengenai lingkungan.

Analisis terhadap gambar maupun tulisan dilakukan berdasarkan konsep lingkungan North American Association for Environmental Education (NAAEE). Guideliness for the Preparation and Professional Development of Environmental Educators - Panduan untuk Persiapan dan Pengembangan Profesional Pendidik Lingkungan Hidup (NAAEE 2004) menyebutkan bahwa seorang tenaga pendidik lingkungan hidup harus dapat menjelaskan mengenai lingkungan dengan memasukkan konsep-konsep sistem, saling ketergantungan, serta interaksi diantara manusia, organisme hidup lainnya, lingkungan fisik/abiotik, dan lingkungan buatan. Analisis terhadap gambar dan tulisan dilakukan dengan melihat keberadaan keempat komponen lingkungan (manusia, biotik, abiotik dan lingkungan buatan) serta konsep interaksi dan saling ketergantungan diantara komponen tersebut, dalam gambar dan tulisan yang dibuat oleh guru.

Moseley dan Desjean-Perotta (2010) menyatakan bahwa model kognitif atau model mental dibentuk oleh setiap individu berdasarkan pengetahuan, gagasan-gagasan yang dimiliki, dan pengalaman yang dimilikinya dalam upaya menginterpretasikan dan menjelaskan peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Gambar yang dibuat oleh para guru hampir seluruhnya menunjukkan suasana pegunungan, namun ada pula yang menggambarkan hutan, pemukiman dan

(16)

sekolah. Suasana pegunungan tersebut merupakan lingkungan di sekitar sekolah tempat guru mengajar maupun lingkungan di sekitar tempat tinggal guru tersebut, suasana yang sudah lekat dalam keseharian guru sehingga membentuk model mental guru mengenai lingkungan.

Hasil analisis terhadap gambar yang dibuat oleh para guru dari sekolah contoh menunjukkan hanya ada dua gambar (6,45%) yang mencerminkan adanya pemahaman guru akan interaksi, dan hanya ada tiga gambar (9,68%) yang menggambarkan manusia (Tabel 10). Berdasarkan jumlah komponen lingkungan yang digambarkan oleh guru, ada dua gambar (6,45%) yang menunjukkan keberadaan keempat komponen lingkungan, sedangkan 70,97% gambar menunjukkan tiga komponen lingkungan.

Tabel 10 Analisis terhadap gambar yang dibuat guru

Hasil Jumlah %

Konsep lingkungan yang digambarkan

Manusia 3 9,68

Biotik 25 80,65

Abiotik 28 90,32

lingkungan buatan 24 77,42

interaksi (skor 5 - 8) 2 6,45

interaksi sistem (skor >8) 0 0,00

gambar tidak jelas 2 6,45

tidak menggambar 1 3,23

Jumlah komponen digambarkan

Satu 0 0,00

Dua 4 12,90

Tiga 22 70,97

Empat 2 6,45

Berdasarkan konsep lingkungan NAAEE, sebagian besar (83,87%) gambar yang dibuat para guru menunjukkan bahwa model mental yang dimiliki oleh guru mengenai lingkungan tidak utuh. Sebagian besar gambar yang dibuat tampak menempatkan manusia pada posisi di luar lingkungan yang digambarkan. Hal ini dikarenakan saat guru diminta untuk menggambarkan lingkungan menurut pemikirannya, maka guru melihat lingkungan sebagai sesuatu yang ada di luar dirinya, menempatkan diri sebagai pengamat yang melihat kondisi di luar.

(17)

51

Faktor penyebab lainnya karena guru kurang memiliki kemampuan untuk mengekspresikan pemikiran, gagasan ataupun persepsi yang dimilikinya mengenai lingkungan dalam bentuk gambar. Hal tersebut tampak pada saat pengambilan data, ada guru yang secara terus terang menyatakan ketidakmampuannya untuk membuat gambar dan bahkan ada guru yang tidak membuat gambar apapun. Konsekuensi dari hal tersebut adalah skor untuk gambar guru sebagian besar rendah, rata-rata skor gambar guru sebesar 3 dari total kemungkinan skor tertinggi sebesar 12. Hanya ada dua gambar yang mendapatkan skor antara 5 – 8, yang menunjukkan pemahaman guru akan adanya interaksi dalam lingkungan.

Hal berbeda terlihat pada definisi lingkungan yang dibuat oleh para guru dari keempat sekolah contoh. Jika pada gambar hanya ada tiga gambar manusia, definisi yang dibuat oleh guru menunjukkan hal sebaliknya. Manusia disebutkan pada 14 (45,16%) definisi lingkungan yang dituliskan oleh guru, dengan 6 definisi (19,35%) diantaranya menyebutkan manusia dan saling ketergantungan dengan lingkungan sekitarnya tanpa penyebutan faktor lingkungan secara spesifik (Tabel 11). Marten (2001) menyebutkan mengenai persepsi umum mengenai alam pada masyarakat tradisional yang menekankan fakta bahwa segala sesuatu di alam saling berhubungan, segala kegiatan manusia ada konsekuensinya, namun pandangan tersebut tidak menekankan pada hubungan tersebut secara rinci.

Tabel 11 Analisis terhadap definisi lingkungan yang dibuat guru

Hasil Jumlah %

Konsep lingkungan yang disebutkan:

Manusia 14 45,16

Biotik 7 22,58

Abiotik 4 12,90

lingkungan buatan 2 6,45

interaksi dan saling ketergantungan 12 38,71

jawaban tidak jelas 15 48,39

Tidak memberi jawaban 1 3,23

Jumlah komponen lingkungan yang disebutkan:

Satu 8 25,81

Dua 3 9,68

Tiga 3 9,68

(18)

Definisi yang dituliskan oleh guru 48,39% tidak jelas, sehingga keberadaan faktor/komponen lingkungan tidak dapat diidentifikasi, dan satu guru (3,23%) bahkan tidak menuliskan jawaban apapun (Tabel 11). Banyaknya jawaban guru yang tidak jelas saat diminta untuk menuliskan definisi mengenai lingkungan berdasarkan pemikirannya mengarah pada kesimpulan bahwa guru tidak memiliki pemahaman yang baik tentang lingkungan. Guru tidak menguasai konsep lingkungan secara utuh. Jika dibandingkan antara gambar dan tulisan yang dibuat oleh guru, terlihat bahwa sebagian besar guru kurang memiliki kemampuan untuk mengungkapkan gagasan, pemikiran ataupun persepsinya tentang lingkungan dalam bentuk gambar maupun tulisan. Diskusi dengan guru juga menunjukkan bahwa guru memang tidak terbiasa dan kurang mampu mengungkapkan pemikirannya dalam bentuk gambar dan tulisan.

Instrumen DAET yang digunakan untuk mengukur persepsi guru tentang lingkungan dikembangkan di negara maju yang masyarakatnya telah terbiasa mengungkapkan pemikiran, gagasan ataupun persepsi yang dimiliki dalam bentuk gambar ataupun tulisan. Penggunaan gambar dan tulisan sebagai bentuk pengungkapan gagasan, pemikiran atau persepsi belum membudaya sebagai suatu perilaku yang penting dalam dunia pendidikan di Indonesia. Masyarakat Indonesia lebih terbiasa mengungkapkan pemikirannya secara lisan. Pendidikan di Indonesia belum mendorong penggunaan bentuk ekspresi gambar dan tulisan tersebut. Hal tersebut telah membuat guru tidak dapat mengekspresikan/mengungkapkan pemahamannya mengenai konsep lingkungan dengan baik dalam DAET. Kemampuan guru untuk dapat mengungkapkan pemikiran, ide/gagasan dan persepsi dengan berbagai cara sesungguhnya akan membuka pilihan yang lebih luas bagi guru untuk menggunakan cara yang dapat lebih dipahami oleh siswanya.

Analisis statistik dengan menggunakan Spearman correlation dilakukan terhadap hasil skor persepsi dari gambar yang dibuat guru dengan menggunakan Draw-An-Environment-Test Rubric (DAET-R) untuk mengetahui keberadaan asosiasi atau hubungan antara persepsi lingkungan guru dengan peubah usia, pendidikan, masa kerja dan lama mengajar. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa tidak ada satupun nilai dari keempat peubah tersebut yang secara statistik berbeda nyata, artinya keempat peubah tersebut tidak memiliki asosiasi/hubungan

(19)

53

dengan persepsi lingkungan. Persepsi mengenai lingkungan pada guru-guru dari sekolah contoh tidak dipengaruhi oleh usia guru tersebut, pendidikan yang pernah diikuti, masa kerja maupun lama mengajar.

Uji statistik dengan Mann-Whitney dan Kruskal-Wallis dilakukan untuk melihat apakah peubah seperti tingkat pendidikan, sekolah tempat mengajar, jenis kelamin, kelas yang pernah diasuh, kelas yang saat ini diasuh, mata ajaran khusus yang pernah diasuh, mata ajaran khusus yang saat ini diasuh, tugas lainnya, pengalaman mengajar PLH, PLH formal yang pernah diikuti, PLH non formal yang pernah diikuti, pengalaman mengikuti organisasi yang kegiatannya berfokus pada alam, serta pengalaman berinteraksi dengan alam dan waktu mendapatkannya membentuk perbedaan persepsi lingkungan diantara guru. Hasil analisis menunjukkan tidak ada satupun nilai yang secara statistik berbeda nyata, sehingga dapat disimpulkan bahwa kesemua peubah tersebut tidak memberikan perbedaan persepsi lingkungan pada guru.

Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) di sekolah dilaksanakan oleh guru, sehingga semestinya guru menguasai konsep lingkungan karena konsepsi lingkungan atau persepsi lingkungan tersebutlah yang akan ditransfer kepada anak didiknya. Guru juga perlu memiliki kemampuan untuk mengungkapkan pemikirannya dengan berbagai bentuk ekspresi, yaitu lisan, tulisan, dan gambar, sehingga guru memiliki pilihan yang lebih terbuka untuk menggunakan berbagai kemampuannya bereskpresi yang dapat disesuaikannya dengan kondisi kelas dan anak didiknya. Jika yang disampaikan oleh guru adalah persepsi yang tidak utuh/terbatas, baik karena persepsi yang memang terbatas ataupun kemampuan untuk mengungkapkannya yang terbatas, maka akan membentuk persepsi yang juga tidak utuh/terbatas pada anak didik yang kemudian akan mempengaruhi perilakunya terhadap lingkungan.

Persepsi lingkungan yang kurang lengkap atau terbatas, ataupun kemampuan guru yang terbatas dalam mengungkapkan persepsinya tersebut membutuhkan perhatian dari para pihak yang berkepentingan dengan pendidikan. Tenaga pendidik lingkungan hidup harus memiliki pemahaman, keterampilan dan sikap yang berkaitan dengan literasi lingkungan (NAAEE 2004). Para guru dari sekolah contoh membutuhkan berbagai kegiatan untuk peningkatan kapasitasnya,

(20)

sehingga guru dapat memiliki pemahaman dan sikap yang baik mengenai lingkungan, serta keterampilan yang dibutuhkan untuk dapat menyampaikan pemahaman tersebut kepada para siswa/anak didiknya dengan efektif.

5.3 Persepsi guru tentang Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH)

Persepsi guru tentang Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) diidentifikasi melalui motivasi dan sikap guru terhadap PLH. Motivasi diukur pada enam subskala/peubah, sedangkan sikap terhadap PLH diukur pada dua subskala/peubah. Analisis faktor dilakukan terhadap skor yang didapat oleh guru sekolah contoh dari kedelapan subskala/peubah tersebut, sehingga didapatkan faktor baru yang secara ringkas menggambarkan persepsi guru terhadap PLH.

5.3.1 Persepsi Guru berdasarkan Motivasi Mengajar PLH

Motivasi diukur pada enam subskala/peubah, yaitu interest/enjoyment, perceived competence, effort/importance, pressure/tension, perceived choice, dan value/usefulness. Persepsi guru berdasarkan keenam peubah tersebut diuraikan sebagai berikut.

a. Minat/Kesenangan Guru terhadap PLH

Subskala interest/enjoyment (minat) digunakan untuk mengukur minat dan kesenangan guru terhadap PLH yang dapat menumbuhkan motivasi intrinsik pada guru dalam mengajarkan PLH. Subskala minat diwakili oleh pernyataan nomor 1, 7, 13 dan 19 pada kuesioner bagian motivasi.

Tabel 12 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing pernyataan dalam subskala interest/enjoyment

No. Pernyataan

Skor

5 4 3 2 1

% % % % %

1 Saya sangat menikmati kegiatan mengajar

PLH kepada siswa 35,48 51,61 9,68 3,23 0,00 7 Kegiatan mengajar PLH sangat

menyenangkan. 32,26 45,16 16,13 3,23 3,23 13 Saya rasa mengajar PLH adalah kegiatan

yang membosankan. 51,61 38,71 6,45 0,00 3,23 19 Mengajar PLH sama sekali tidak menarik

bagi saya. 74,19 25,81 0,00 0,00 0,00 Rata-rata 48,39 40,32 8,06 1,61 1,61

(21)

55

Skor 5 pada subskala interest/enjoyment yang diwakili oleh pernyataan nomor 1, 7, 13 dan 19 berturut-turut menunjukkan bahwa kegiatan mengajar PLH selalu sangat dinikmati oleh guru, selalu sangat menyenangkan bagi guru, selalu tidak membosankan bagi guru, dan selalu menarik bagi guru. Selanjutnya skor 4 menunjukkan kegiatan mengajar PLH seringkali sangat dinikmati, seringkali sangat menyenangkan, seringkali tidak membosankan dan seringkali menarik bagi guru. Skor 3 menunjukkan kegiatan mengajar PLH kadang sangat dinikmati, kadang sangat menyenangkan, kadang tidak membosankan dan kadang menarik bagi guru. Skor 2 menunjukkan bahwa kegiatan mengajar PLH seringkali tidak dapat dinikmati, seringkali tidak menyenangkan, seringkali membosankan dan seringkali tidak menarik bagi guru, dan skor 1 menunjukkan kegiatan mengajar PLH selalu tidak dapat dinikmati oleh guru, selalu tidak menyenangkan, selalu membosankan dan selalu tidak menarik.

Sebagian besar guru mendapatkan skor 5 dan 4 pada keempat nomor pernyataan subskala interest/enjoyment (Tabel 12). Hanya 8,06% guru yang mendapatkan skor 3 dan masing-masing 1,61% guru yang mendapatkan skor 2 dan 1. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar guru dapat menikmati kegiatan mengajar PLH dan merasa bahwa kegiatan tersebut sangat menyenangkan, tidak membosankan, dan menarik. Hampir semua guru dari sekolah contoh memiliki minat/kesenangan untuk mengajar PLH yang dapat menumbuhkan motivasi intrinsik guru untuk mengajar PLH. Hal tersebut berarti bahwa guru memiliki persepsi positif tentang PLH dalam hal minat/kesenangan guru untuk mengajar PLH.

b. Kompetensi yang Dirasakan Guru dalam Mengajar PLH

Subskala perceived competence (kompetensi) mengukur persepsi guru tentang kompetensi/kemampuan guru untuk mengajar PLH kepada siswanya. Subskala kompetensi diwakili oleh pernyataan nomor 2, 8, 14, 20 dan 25 dalam kuesioner bagian motivasi. Skor 5, 4, 3, 2, dan 1 pada masing-masing pernyataan tersebut berturut-turut berarti bahwa guru selalu, seringkali, kadang, seringkali tidak, dan selalu tidak merasa sangat mampu mengajar PLH, merasa kemampuannya mengajar PLH cukup baik jika dibandingkan guru lain, merasa

(22)

sangat puas dengan pengajaran PLH yang dilakukannya, merasa terampil mengajar PLH, dan merasa dapat mengajar PLH sebaik materi lainnya.

Guru yang merasa sangat mampu mengajar PLH (skor 5 dan 4) lebih sedikit persentasenya dibandingkan guru yang merasa sebaliknya (skor 2 dan 1), sedangkan persentase guru yang kadang merasa sangat mampu dan kadang sebaliknya cukup besar, yaitu 38,71% (Tabel 13). Jika diminta membandingkan kemampuannya mengajar PLH dengan guru lainnya (pernyataan nomor 8), lebih dari 50% guru merasa kemampuannya mengajar PLH tidak cukup baik. Hal tersebut berarti bahwa guru kurang percaya diri akan kemampuannya mengajar PLH dibandingkan guru lainnya.

Tabel 13 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing pernyataan dalam subskala perceived competence

No Pernyataan

Skor

5 4 3 2 1

% % % % %

2 Saya merasa sangat mampu mengajar

PLH. 3,23 25,81 38,71 25,81 6,45 8 Saya rasa kemampuan saya mengajar PLH

cukup baik jika dibandingkan dengan guru

lain. 0,00 6,45 29,03 38,71 25,81 14 Saya sangat puas dengan pengajaran PLH

yang saya lakukan. 9,68 19,35 48,39 19,35 3,23 20 Saya merasa terampil mengajar PLH. 3,23 6,45 35,48 38,71 16,13 25 Saya tidak dapat mengajar PLH sebaik

materi lainnya. 0,00 25,81 48,39 12,90 12,90 Rata-rata 3,23 16,77 40,00 27,10 12,90

Persentase guru yang mendapatkan skor 5 (9,68%) pada pernyataan nomor 14 lebih besar daripada guru yang mendapatkan skor 1 (3,23%), sedangkan guru yang mendapatkan skor 4 dan 2 sama banyak (19,35%). Persentase guru terbesar (48,39%) mendapatkan skor 3. Hal tersebut menunjukkan bahwa persentase guru yang selalu merasa sangat puas dengan pengajaran PLH yang dilakukannya lebih besar dibandingkan guru yang selalu merasa sangat tidak puas dengan pengajaran PLH yang dilakukannya. Hampir setengah jumlah guru terkadang merasa sangat puas dengan pengajaran PLH yang dilakukannya, yang juga berarti bahwa guru kadang merasa sangat tidak puas dengan pengajaran PLH yang dilakukannya. Kepuasan guru akan pengajaran PLH yang dilakukannya dapat bersumber dari

(23)

57

harapan dan upaya yang telah dilakukan dalam pengajaran PLH kepada siswa dan hasil respon siswa yang didapatkan dari upayanya tersebut. Guru yang selalu merasa sangat puas menunjukkan bahwa hasil yang didapatkan sesuai dengan harapan dan upaya yang telah dilakukannya, sebaliknya guru yang merasa tidak puas mendapatkan respon yang tidak sesuai dengan harapan dan upaya yang telah dilakukannya.

Penilaian guru terhadap keterampilannya mengajar PLH diwakili dalam pernyataan nomor 20. Persentase guru yang mendapatkan skor tinggi pada pernyataan ini lebih rendah dibandingkan guru yang mendapatkan skor rendah (Tabel 13). Persentase guru yang seringkali merasa tidak terampil mengajar PLH paling besar, yaitu sebesar 38,71%. Guru yang selalu merasa tidak terampil mengajar PLH sebesar 16,13%, persentase yang lebih besar daripada guru yang merasa terampil mengajar PLH. Ini berarti lebih banyak guru yang merasa tidak terampil mengajar PLH.

Pernyataan nomor 25 mengacu pada kemampuan guru mengajar PLH dibandingkan materi lainnya. Pada pernyataan ini persentase guru yang terbesar, yaitu 48,39%, menyatakan bahwa guru kadang dapat mengajar PLH sebaik materi lainnya. Tidak ada guru yang menyatakan selalu dapat mengajar PLH sebaik materi lainnya, namun ada 25,81% guru yang seringkali dapat mengajar PLH sebaik materi lainnya, dan masing-masing 12,90% guru menyatakan seringkali tidak dapat mengajar PLH sebaik materi lainnya dan selalu tidak dapat mengajar PLH sebaik materi lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa guru masih kurang percaya diri dengan kemampuannya mengajar PLH dibandingkan pengajaran materi lain.

Secara keseluruhan pada subskala kompetensi ini, lebih banyak guru yang merasa kemampuan/kompetensi yang dimilikinya dalam mengajar PLH masih kurang. Persepsi guru tentang kompetensi atau kemampuannya dalam mengajar PLH sesungguhnya akan mempengaruhi cara guru mengajar PLH. Guru yang merasa memiliki kemampuan akan lebih percaya diri dalam memberikan materi-materi PLH kepada siswanya dan dapat menumbuhkan kepercayaan siswa terhadap guru dan materi yang diberikannya, sehingga dapat memberikan respon yang baik dari siswa.

(24)

c. Upaya/Arti Penting PLH bagi Guru

Effort/importance (upaya/arti penting) merupakan subskala yang mengukur upaya yang dilakukan guru dalam mengajar PLH dan pandangan guru terhadap arti PLH bagi dirinya. Subskala ini diwakili oleh pernyataan nomor 3, 9, 15, 21 dan 26. Pernyataan nomor 3, 9, dan 26 merujuk pada upaya keras yang dilakukan guru untuk mengajarkan PLH kepada siswa, pernyataan nomor 21 merujuk pada energi yang harus dikeluarkan oleh guru untuk mengajarkan PLH kepada siswa, dan pernyataan nomor 15 mengacu pada arti penting pengajaran PLH bagi guru.

Sebagian besar guru (ditunjukkan oleh persentase guru yang mendapatkan skor 5 dan 4) merasa selalu atau seringkali harus berupaya keras untuk mengajarkan PLH kepada siswa, berusaha sangat keras untuk dapat mengajarkan PLH kepada siswa dan mencoba sangat keras untuk dapat mengajar PLH dengan baik (Tabel 14). Sebanyak 45,16% guru merasa harus mengeluarkan banyak energi untuk mengajarkan PLH kepada siswa. Guru juga merasakan pentingnya mengajarkan PLH dengan baik kepada siswa.

Tabel 14 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing pernyataan dalam subskala effort/importance

No Pernyataan

Skor

5 4 3 2 1

% % % % %

3 Saya harus berupaya keras untuk dapat

mengajarkan PLH kepada para siswa. 38,71 41,94 16,13 0,00 3,23 9 Saya tidak perlu berusaha sangat keras untuk

dapat mengajarkan PLH kepada para siswa. 45,16 41,94 9,68 3,23 0,00 15 Bagi saya, mengajar PLH dengan baik

adalah hal yang penting. 74,19 22,58 3,23 0,00 0,00 21 Saya tidak mengeluarkan banyak energi

untuk mengajar PLH kepada para siswa. 9,68 45,16 19,35 25,81 0,00 26 Saya mencoba sangat keras untuk dapat

mengajar PLH dengan baik. 32,26 41,94 25,81 0,00 0,00 Rata-rata 40,00 38,71 14,84 5,81 0,65

Hasil dari subskala upaya/arti penting ini menunjukkan bahwa pandangan guru mengenai pentingnya mengajarkan PLH dengan baik kepada siswa nampaknya diwujudkan oleh guru dengan mencurahkan upaya keras dan energi yang besar dalam mengajarkan PLH tersebut. Guru memiliki dorongan/motivasi

(25)

59

yang kuat dalam mengajarkan PLH kepada siswa dengan baik karena merasakan pentingnya hal tersebut bagi guru.

d. Beban/Tekanan yang Dirasakan Guru dalam Mengajar PLH

Beban/tekanan yang dirasakan guru dalam mengajar PLH diukur dengan subskala pressure/tension (beban). Subskala ini mencoba menggali apakah guru merasa bahwa mengajar PLH merupakan sebuah beban/tekanan bagi dirinya dengan berbagai pernyataan yang merujuk pada perasaan gugup, tegang, tidak tenang, gelisah dan tertekan yang dirasakan oleh guru jika harus mengajar PLH. Skor 5 dan 4 menunjukkan bahwa mengajar PLH bukan merupakan beban bagi guru. Guru selalu dan seringkali merasa tidak gugup, tidak tegang, tenang, tidak gelisah dan tidak tertekan saat mengajar PLH. Skor 2 dan 1 menunjukkan hal berlawanan, yaitu bahwa mengajar PLH merupakan beban bagi guru. Guru seringkali dan selalu merasa gugup, tegang, tidak tenang, gelisah dan tertekan saat mengajar PLH.

Tabel 15 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing pernyataan dalam subskala pressure/tension

No Pernyataan

Skor

5 4 3 2 1

% % % % %

4 Saya sama sekali tidak merasa gugup saat

mengajar PLH. 25.81 35.48 19.35 12.90 6.45 10 Saya merasa sangat tegang saat mengajar

PLH. 35.48 32.26 29.03 3.23 0.00 16 Saya merasa tenang saat mengajar PLH. 16.13 45.16 35.48 3.23 0.00 22 Saya merasa gelisah jika mengajar PLH. 38.71 32.26 25.81 0.00 3.23 27 Saya merasa tertekan jika mengajar PLH. 48.39 32.26 12.90 0.00 6.45 Rata-rata 32.90 35.48 24.52 3.87 3.23

Secara keseluruhan lebih banyak guru yang merasakan bahwa mengajar PLH bukan beban bagi dirinya, karena guru tidak merasa gugup, tegang, tidak tenang, gelisah dan tertekan saat mengajar PLH (ditunjukkan oleh persentase guru yang mendapatkan skor 5 dan 4 pada Tabel 15). Pada sekolah-sekolah tersebut pengajaran PLH masih dilaksanakan secara integratif dalam berbagai mata ajaran inti yang ada, belum menjadi sebuah program pengajaran tersendiri. Selain itu tidak ada target pencapaian kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah berkaitan

(26)

dengan PLH, sehingga guru tidak harus mengejar target pencapaian kurikulum seperti halnya pada mata ajaran inti. Kondisi tersebut menyebabkan sebagian besar guru tidak merasa pengajaran PLH menjadi suatu beban, namun ada juga sebagian guru (24,52%) yang merasa PLH kadang menjadi beban. Hal tersebut diduga berkaitan dengan kompetensi guru untuk mengajar PLH.

e. Pilihan yang Dirasakan Guru dalam Mengajar PLH

Subskala perceived choice (pilihan) mengukur pilihan yang dirasakan guru dalam mengajar PLH, sehingga dapat memberikan gambaran motivasi yang dimiliki guru untuk mengajar PLH. Ryan et al. (1991) menyatakan bahwa saat termotivasi secara intrinsik, orang akan merasakan minat/kesenangan dan pilihan terhadap sesuatu yang dilakukannya. Skor tinggi pada subskala minat (interest/enjoyment) dan subskala pilihan ini menunjukkan bahwa guru memiliki motivasi intrinsik.

Tabel 16 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing pernyataan dalam subskala perceived choice

No. Pernyataan

Skor

5 4 3 2 1

% % % % %

5 Saya percaya bahwa saya punya pilihan

dalam mengajarkan PLH. 16,13 29,03 22,58 19,35 12,90 11 Saya tidak punya pilihan dalam mengajar

PLH. 29,03 35,48 25,81 6,45 3,23 17 Saya merasakan adanya keharusan untuk

mengajar PLH. 6,45 3,23 19,35 22,58 48,39 23 Saya mengajar PLH karena saya tidak punya

pilihan lain. 58,06 25,81 9,68 6,45 6,45 28 Saya mengajar PLH karena saya ingin

melakukannya. 38,71 29,03 25,81 6,45 0,00 30 Saya mengajar PLH karena saya harus

melakukannya. 3,23 3,23 19,35 25,81 48,39 Rata-rata 25,3 21,0 20,4 14,5 19,9

Pernyataan nomor 5, 11 dan 23 mengukur pilihan yang dirasakan oleh guru dalam mengajar PLH. Pernyataan 5 dan 11 berimplikasi pada pilihan pola pengajaran PLH guru, sedangkan pernyataan 23 berimplikasi pada pilihan mengajar PLH sebagai sebuah tugas. Tabel 16 menunjukkan bahwa pada ketiga pernyataan yang berkaitan dengan pilihan tersebut persentase guru yang merasa

(27)

61

punya pilihan (skor 5 dan 4) terkait pengajaran PLH lebih besar daripada guru yang merasa tidak punya pilihan (skor 2 dan 1). Lebih banyak guru yang merasa punya pilihan dalam mengajar PLH, baik dalam kaitannya dengan pola pengajaran maupun PLH sebagai sebuah tugas.

Pernyataan nomor 17 dan 30 berkaitan dengan keharusan yang dirasakan guru dalam mengajar PLH. Pada kedua pernyataan tersebut guru yang merasakan keharusan dalam mengajar PLH (skor 2 dan 1) lebih besar persentasenya dibandingkan guru yang merasakan ketidak harusan mengajar PLH. Ryan et al. (1991) menyatakan bahwa saat orientasi seseorang dalam melakukan sesuatu bergeser dari keinginannya untuk melakukan sesuatu dengan baik menjadi keharusan untuk melakukan sesuatu dengan baik untuk mempertahankan harga dirinya, maka motivasi intrinsiknya menurun. Namun guru nampaknya merasakan keharusan untuk mengajar PLH karena memandang PLH sebagai hal yang penting untuk dilakukan, bukan semata-mata untuk mempertahankan harga diri, mengingat PLH belum dibakukan dalam kurikulum standar dengan target yang harus dikejar guru. Sebagian besar guru juga menyatakan mengajar PLH karena ingin melakukannya (pernyataan nomor 28).

Secara keseluruhan pada subskala ini, rata-rata persentase guru yang mendapatkan skor 5 dan 4 lebih besar dibandingkan persentase guru yang mendapatkan skor 2 dan 1. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan guru yang memiliki motivasi intrinsik untuk mengajar PLH lebih besar persentasenya dibandingkan guru yang tidak memiliki motivasi intrinsik.

f. Nilai/Kegunaan PLH menurut Guru

Nilai/kegunaan PLH menurut guru diukur dengan menggunakan subskala value/usefulness yang diwakili oleh pernyataan nomor 6, 12, 18, 24 dan 29. Pernyataan nomor 6 merujuk pada kepercayaan guru bahwa mengajar PLH bermanfaat bagi dirinya, pernyataan nomor 12 merujuk pada kepercayaan guru bahwa mengajar PLH berguna untuk membentuk kepedulian siswa terhadap lingkungan, pernyataan nomor 18 merujuk pada kepercayaan guru bahwa PLH penting untuk diajarkan karena dapat memberi pengaruh positif bagi siswa, pernyataan nomor 24 merujuk pada kesediaan guru untuk kembali mengajar PLH

(28)

karena dirasa bermanfaat bagi dirinya, dan pernyataan nomor 29 merujuk pada pendapat guru bahwa pengajaran PLH merupakan hal yang penting.

Ada 9,68% guru yang menyatakan bahwa pernyataan nomor 6 selalu tidak benar bagi dirinya, artinya guru tersebut merasa bahwa mengajar PLH selalu tidak bermanfaat bagi dirinya (Tabel 17). Pernyataan tersebut diberikan oleh guru yang mengajar pada tingkat kelas rendah (kelas 1 – 3 SD). Pada pernyataan nomor 12 “Saya rasa mengajar PLH berguna untuk membentuk kepedulian siswa terhadap lingkungan”, ada 3,23% guru yang menyatakan pernyataan nomor 12 kadang benar (kadang tidak benar) bagi dirinya. Selebihnya guru menyatakan dengan intensitas kebenaran berbeda (selalu benar dan seringkali benar) bagi dirinya bahwa mengajar PLH berguna untuk membentuk kepedulian siswa terhadap lingkungan.

Tabel 17 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing pernyataan dalam subskala value/usefulness

No. Pernyataan

Skor

5 4 3 2 1

% % % % %

6 Saya percaya mengajar PLH bermanfaat

bagi saya. 67,74 16,13 6,45 0,00 9,68 12 Saya rasa mengajar PLH berguna untuk

membentuk kepedulian siswa terhadap

lingkungan 74,19 22,58 3,23 0,00 0,00 18 Saya rasa PLH penting untuk diajarkan

karena dapat memberi pengaruh positif bagi

siswa. 77,42 19,35 0,00 0,00 3,23 24 Saya akan bersedia untuk mengajar PLH lagi

karena mengajarkan PLH bermanfaat bagi

saya 41,94 32,26 19,35 3,23 3,23 29 Menurut saya mengajar PLH adalah hal

yang penting 64,52 19,35 12,90 3,23 0,00 Rata-rata 65,16 21,94 8,39 1,29 3,23

Pada pernyataan nomor 18 bahwa PLH penting untuk diajarkan karena dapat memberi pengaruh positif bagi siswa, ada 3,23% guru yang menyatakan selalu tidak benar. Pernyataan tersebut diberikan oleh guru kelas 2. Pengajaran PLH yang diberikan oleh guru tersebut kepada siswa kelas 2 nampaknya belum memberikan pengaruh positif pada siswa. Pernyataan nomor 24 merujuk pada kesediaan guru untuk mengajar PLH lagi karena mengajarkan PLH bermanfaat bagi dirinya. Ada masing-masing 3,23% guru yang mendapatkan skor 1 dan 2

(29)

63

pada pernyataan tersebut. Artinya ada guru yang merasa kondisi dalam pernyataan tersebut selalu tidak benar dan seringkali tidak benar bagi dirinya. Guru yang mendapatkan skor 1 pada pernyataan tersebut adalah guru kelas 1, sedangkan guru dengan skor 2 pada pernyataan tersebut adalah guru kelas 3.

Ada 3,23% guru yang merasa mengajar PLH seringkali bukan menjadi hal yang penting (pernyataan nomor 29), yang berimplikasi bahwa ada materi pengajaran lain yang lebih penting baginya. PLH yang belum menjadi prioritas pengembangan dan pelaksanaan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor sebagai instansi yang bertanggung jawab dalam pengembangan sekolah diduga sebagai salah satu penyebab hal tersebut. Pada dinas tersebut mata ajaran inti masih menjadi fokus untuk pengembangan dan pelaksanaannya. Selain itu target kelulusan siswa dari sekolah dasar masih sepenuhnya berdasar pada mata ajaran inti sehingga guru memiliki tekanan untuk mengejar target kurikulum mata ajaran inti, yang mengakibatkan PLH tidak atau belum menjadi prioritas di sekolah, sehingga guru merasa PLH menjadi tidak penting.

Persentase guru yang berpendapat bahwa mengajar PLH memiliki nilai dan kegunaan/manfaat baik bagi dirinya maupun bagi siswanya secara keseluruhan jauh lebih besar daripada guru yang merasa bahwa mengajar PLH kurang atau tidak memiliki nilai dan kegunaan/manfaat bagi dirinya dan siswanya. Guru yang merasa kurangnya nilai/manfaat PLH baik bagi dirinya maupun siswanya merupakan guru yang mengajar tingkat kelas rendah (kelas 1 – 3 SD), pada SDN Gunung Bunder 03 dan SDN Gunung Bunder 04.

Guru merasa pengajaran PLH pada kelas rendah tidak bermanfaat dan tidak bersedia melakukan pengajaran PLH lagi dapat disebabkan beberapa hal. Pertama, pengajaran PLH pada kelas rendah masih sangat terbatas pada materi lingkungan yang terdapat dalam kurikulum mata ajaran inti yang sifatnya sederhana dan teoritis diberikan di kelas, sehingga guru pada kelas rendah tidak merasakan manfaat pengajaran PLH bagi dirinya. Kedua, pengajaran yang bersifat teoritis di kelas belum dapat memberikan respon positif pada perilaku siswa terhadap lingkungan.

Ketiga, anak usia 6 – 9 tahun (usia siswa SD pada tingkat kelas rendah, 1 – 3 SD) biasanya masih membawa perilaku masa balita yang masih sulit

(30)

memfokuskan perhatian dan mempertahankan perhatian dalam jangka waktu lama. Anak usia tersebut biasanya masih senang bermain-main, meskipun sudah mulai dapat diarahkan, karena anak usia 6 – 11 tahun (periode middle dan late childhood) mulai menguasai keahlian membaca, menulis dan menghitung serta semakin mampu mengendalikan diri (Santrock 2008). Santrock (2008) juga menguraikan tahapan perkembangan kognitif Piaget yang menyatakan bahwa anak usia 6 – 7 tahun berada pada tahap pra-operasional dan anak usia 8 – 9 tahun berada pada tahap operasional konkret. Tahap pra-operasional, yaitu masa seorang anak berpikir secara egoistis dan intuitif berdasarkan perspektif dirinya sendiri, dan memusatkan perhatian hanya pada satu karakteristik dan mengabaikan karakteristik lainnya dari sesuatu. Tahap operasional konkret adalah tahap saat pemikiran logis mulai menggantikan pemikiran intuitif, namun pada situasi konkret.

Karakteristik perkembangan siswa pada tingkat kelas rendah yang demikian menuntut guru untuk memiliki kesabaran, kesediaan mencurahkan upaya dan kemampuan mengendalikan perilaku siswa yang lebih besar. Hal tersebut dapat dirasa sebagai sesuatu yang memberatkan guru, terutama dalam pengajaran PLH yang menuntut dibukanya kesempatan bagi siswa untuk dapat berinteraksi langsung dengan alam/lingkungan. Interaksi langsung dengan alam berarti membawa siswa keluar kelas yang berarti adanya tuntutan curahan waktu dan energi lebih dari guru dalam mengarahkan siswanya, terutama guru tingkat kelas rendah tersebut. Pengajaran PLH dengan praktek interaksi langsung dengan alam pada SDN Gunung Bunder 04 diberikan pada mata ajaran PJOK yang ditangani oleh satu guru khusus, bukan oleh guru kelas, sehingga guru kelas rendah menjadi tidak merasakan manfaat pengajaran PLH bagi dirinya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru memiliki persepsi positif berdasarkan motivasinya untuk mengajar PLH, namun guru juga memiliki persepsi bahwa kompetensinya rendah untuk mengajar PLH. Sebagian besar guru memiliki pandangan bahwa mengajar PLH dapat dinikmati, menyenangkan, tidak membosankan dan menarik. Guru juga memandang PLH sebagai program yang penting dan memiliki manfaat, baik bagi dirinya, siswanya, maupun lingkungan.

(31)

65

Guru merasa memiliki pilihan dalam mengajar PLH dan tidak merasa terbebani, Persepsi tersebut berkembang karena PLH belum dibakukan dalam sebuah kurikulum standar dengan target yang harus dicapai oleh guru, sehingga guru masih memiliki kebebasan dan pilihan dalam mengajar PLH, baik berkaitan dengan materi, maupun metode yang digunakan. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa guru memiliki motivasi yang bersifat intrinsik atau otonomi yang dapat menjadi modal dasar guru untuk melaksanakan PLH yang efektif.

Selain motivasi intrinsik atau otonomi sebagai modal dasar guru, pelaksanaan PLH yang efektif juga harus didukung oleh kompetensi guru yang baik. Persepsi positif guru terhadap kompetensinya dapat lebih meningkatkan rasa percaya diri dan memperluas pilihan guru dalam mengajar PLH. Persepsi guru yang merasa bahwa dirinya kurang atau tidak kompeten dalam mengajar PLH menjadi permasalahan yang menyebabkan pengajaran PLH yang efektif menjadi sulit untuk dicapai. Assor dan Oplatka (2003) diacu dalam Roth et al. (2007) menyatakan bahwa kepala sekolah dapat membantu meningkatkan motivasi otonomi guru untuk mengajar dengan mendorong keterlibatan guru dalam pengambilan keputusan besar, mendelegasikan kewenangan, berupaya memahami kebutuhan guru, dan membantu berkembangnya struktur organisasi dan iklim yang mendukung rasa keterikatan dan kompetensi guru. Fasilitasi perlu pula dilakukan agar guru dapat mengeksplorasi identitas profesionalnya dan membentuk visi diantara guru, sehingga guru dapat mengeksplorasi nilai dan tipe pengetahuan yang ingin mereka sampaikan kepada siswa, dan materi yang mereka anggap penting dan dapat dinikmati/menyenangkan (Roth et al. 2007).

5.3.2 Persepsi Guru berdasarkan Sikap terhadap PLH

Sikap guru terhadap PLH diukur pada dua subskala, yaitu self-efficacy belief/personal EE teaching efficacy (PETE) dan outcome expectancy/EE teaching outcome expectancy (ETOE). Skor 5 pada kedua subskala tersebut menunjukkan bahwa guru sangat setuju terhadap pernyataan positif dan sangat tidak setuju terhadap pernyataan negatif, skor 4 menunjukkan bahwa guru setuju terhadap pernyataan positif dan tidak setuju terhadap pernyataan negatif, skor 3 menunjukkan bahwa guru tidak dapat menentukan kesetujuannya, skor 2 menunjukkan bahwa guru tidak setuju terhadap pernyataan positif dan setuju

(32)

terhadap pernyataan negatif, skor 1 menunjukkan bahwa guru sangat tidak setuju terhadap pernyataan positif dan sangat setuju terhadap pernyataan negatif. Skor 5 dan 4 menunjukkan bahwa guru memiliki sikap positif, skor 3 menunjukkan bahwa guru tidak dapat menentukan sikap, sedangkan skor 2 dan 1 menunjukkan bahwa guru memiliki sikap yang negatif.

a. Efektivitas Diri Guru dalam Mengajar PLH

Subskala self-efficacy belief/personal EE teaching efficacy (PETE), mengukur kepercayaan diri guru terhadap kemampuannya untuk mengajar PLH secara efektif. Subskala efektivitas diri ini diwakili 13 pernyataan, yaitu pernyataan nomor 2, 3, 5, 6, 8, 12, 17, 18, 19, 20, 21, 22, dan 23 dalam kuesioner bagian sikap.

Seluruh guru menyatakan kesetujuannya terhadap pernyataan nomor 2 dengan derajat kesetujuan masing-masing, yaitu 74,19% sangat setuju dan 25,81% setuju (Tabel 18), artinya semua guru dari sekolah contoh akan terus berusaha untuk menemukan cara yang lebih baik dalam mengajar PLH. Sebagian guru (19,35%) memperoleh skor 5 dan lebih dari setengah jumlah guru (51,84%) memperoleh skor 4 pada pernyataan nomor 3, artinya sebagian besar guru memiliki persepsi bahwa jika berusaha keras, guru akan dapat mengajar PLH sebaik pada mata ajaran lainnya. Namun adapula guru yang meragukan kemampuannya mengajar PLH akan dapat sebaik pada mata ajaran lainnya meskipun telah berusaha keras (19,35%), dan ada guru yang merasa bahwa meskipun berusaha keras tetap tidak akan dapat mengajar PLH sebaik pada mata ajaran lain (6,45%). Guru tersebut tampaknya kurang memiliki kepercayaan diri untuk mengajar PLH.

Pernyataan nomor 5 berkaitan dengan pengetahuan guru akan langkah pengajaran PLH yang efektif. Sebanyak 12,90% guru sangat setuju dan 38,71% guru setuju terhadap pernyataan tersebut. Artinya guru tersebut berpandangan bahwa dirinya tahu langkah-langkah untuk mengajar PLH secara efektif. Namun ada pula guru (45,16%) yang ragu terhadap pengetahuannya akan langkah-langkah mengajar PLH secara efektif, dan 3,23% guru yang merasa bahwa dirinya tidak tahu. Persentase guru yang ragu terhadap pengetahuannya akan langkah-langkah mengajar PLH secara efektif cukup besar, sehingga perlu mendapatkan

(33)

67

perhatian. Guru yang meragukan pengetahuannya akan sulit untuk dapat menerapkan pengajaran PLH yang efektif.

Tabel 18 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing pernyataan dalam subskala personal EE teaching efficacy (PETE)

No. Pernyataan

Persentase Guru pada Skor

5 4 3 2 1

% % % % %

2 Saya akan terus berupaya menemukan cara

yang lebih baik dalam mengajar PLH 74,19 25,81 0,00 0,00 0,00 3 Meskipun saya berusaha keras, saya tidak

akan dapat mengajar PLH sebaik pada mata

ajaran lainnya 19,35 54,84 19,35 6,45 0,00 5 Saya tahu langkah-langkah yang diperlukan

untuk mengajar PLH secara efektif 12,90 38,71 45,16 3,23 0,00 6 Saya tidak bisa melakukan kegiatan

monitoring secara efektif 0,00 41,94 45,16 6,45 6,45 8 Secara umum saya tidak dapat mengajar

PLH secara efektif 9,68 48,39 25,81 12,90 3,23 12 Saya memahami PLH dengan cukup baik

sehingga dapat mengajar PLH secara efektif 12,90 41,94 29,03 12,90 3,23 17 Saya akan menemui kesulitan untuk

menjelaskan kepada siswa mengapa percobaan ilmiah yang melibatkan topik

lingkungan dapat dilakukan 3,23 25,81 32,26 29,03 9,68 18 Biasanya saya bisa menjawab pertanyaan

siswa tentang PLH 12,90 61,29 25,81 0,00 0,00 19 Saya tidak yakin apakah saya memiliki

ketrampilan yang diperlukan untuk mengajar

PLH 3,23 38,71 51,61 3,23 3,23 20 Jika diberi pilihan, saya tidak akan meminta

kepala sekolah untuk mengevaluasi

pengajaran PLH saya 12,90 61,29 12,90 12,90 0,00 21 Jika siswa mengalami kesulitan untuk

memahami suatu konsep PLH, biasanya saya tidak tahu bagaimana cara membantu siswa

tersebut. 25,81 48,39 19,35 6,45 0,00 22 Saat mengajar PLH, biasanya saya memberi

kesempatan kepada siswa untuk bertanya 48,39 48,39 0,00 0,00 3,23 23 Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan

untuk menarik minat siswa pada PLH 6,45 51,61 29,03 6,45 6,45 Rata-rata 18,61 45,16 25,81 7,94 3,23

Kemampuan guru untuk melakukan kegiatan monitoring secara efektif dinyatakan pada pernyataan nomor 6. Sebanyak 41,94% guru setuju terhadap pernyataan tersebut, namun 45,16% guru ragu akan kemampuannya melakukan kegiatan monitoring secara efektif, dan masing-masing 6,45% guru tidak setuju

Gambar

Tabel 2  Persentase guru berdasarkan usia, jenis kelamin, dan pendidikan
Tabel 3  Pengalaman mengajar yang dimiliki guru pada sekolah contoh
Tabel 4  PLH formal dan non formal yang pernah didapat guru  Jenis PLH  Jumlah  %  PLH formal  Tidak ada  21  67,74  PLH formal di SD/sederajat  6  19,35  PLH formal di SMP/sederajat  2  6,45  PLH formal di SMA/sederajat  0  0,00
Tabel 7  Harapan  guru  berkaitan  dengan  kapasitas  guru,  sarana  prasarana  dan  pelaksanaan PLH di sekolah
+3

Referensi

Dokumen terkait

dengan ditanggapi aktif oleh peserta didik dari kelompok lainnya sehingga diperoleh sebuah pengetahuan baru yang dapat dijadikan sebagai bahan diskusi

hukum yang berjudul: PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DAN DAMPAKNYA DALAM HARTA WARISAN PADA MASYARAKAT ADAT BALI PERANTAUAN DI DKI JAKARTA..

Hasil penelitian menunjukkan rerata volume saliva sesudah mengunyah permen karet yang mengandung xylitol meningkat dengan sangat signifikan dari 0,26 mL menjadi 13,37mL

DAMPAK TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) PASIR SEMBUNG TERHADAP KUALITAS AIR TANAH DI DESA SIRNAGALIH KECAMATAN CILAKU KABUPATEN CIANJUR.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh subtitusi tepung ubi jalar sebagai pengganti gula dan tepung pada pembuatan brownies panggang dan kukus rendah kalori

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun kangkung (Ipomoea aquatica) yang dibeli di tempat yang berbeda yaitu Pasar A, Pasar B, Pasar C, dan Supermarket

Bahwa sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Ke empat Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa

Arah pembangunan Infrastruktur 2045 adalah memperkuat konektivitas, pemenuhan pelayanan dasar, pemerataan , antisipasi perubahan iklim dan infrastruktur perkotaan