• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN. Jalan Raya Pantura Jawa Tengah merupakan bagian dari sub sistem. Jalan Raya Pantai Utara Jawa yang menjadi tempat lintasan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VI KESIMPULAN. Jalan Raya Pantura Jawa Tengah merupakan bagian dari sub sistem. Jalan Raya Pantai Utara Jawa yang menjadi tempat lintasan"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

328

Jalan Raya Pantura Jawa Tengah merupakan bagian dari sub sistem Jalan Raya Pantai Utara Jawa yang menjadi tempat lintasan penghubung jaringan transportasi darat antara sentral di Surabaya pada bagian timur dan Jakarta, sentral di bagian barat. Sebagai lintasan penghubung, jalan raya ini berkembang seiring dengan perkembangan angkutan darat di Pulau Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya. Perkembangan jalan raya ini telah mendorong pertumbuhan ekonomi kota-kota yang dilintasinya.

Ada perubahan penting yang terjadi pada Jalan Raya Pantai Utara Jawa Tengah selama abad XX. Perubahan tersebut antara lain disebabkan oleh perubahan fisik jalan raya tersebut. Perubahan tersebut menyebabkan ruang Jalan Raya Pantai Utara Jawa Tengah menjadi luas sehingga terjadi perubahan geografis dari beberapa kota yang dilaluinya.

Jalan Raya Pantura Jawa Tengah secara spasial mengalami perubahan keruangan setelah tahun 1990-an. Perubahan itu ditandai dengan munculnya jalan lingkar untuk mengurai kepadatan kota yang dilalui jalur Pantura. Jalan-jalan lingkar tersebut muncul di Pemalang, Pekalongan, Weleri, Kendal, Semarang, Demak, Kudus dan Pati. Selain itu perubahan keruangan terjadi akibat munculnya jalan tol yang melintas kota Semarang. Jalan tol tersebut memecah Jalan Raya

(2)

Pantura menjadi tiga jalur yaitu melalui Krapyak-Kaligawe ke arah utara dan Krapyak-Banyumanik ke arah selatan menuju Solo dan Yogyakarta. Satu arah tersisa masuk dalam kota khusus bagi kendaraan yang bertonase kecil dan mobil pribadi.

Perubahan keruangan juga terjadi di jalur pendakian Grinsing di wilayah Batang. Di jalur tersebut Jalan Raya Pantura Jawa Tengah juga mengalami perubahan menjadi tiga rute yaitu rute tengah, rute utara dan rute selatan bukit tersebut. Perubahan keruangan tersebut menjadi gejala umum di sepanjang jalur pantai Utara Jawa karena tuntutan perkembangan kota.

Perkembangan Jalan Raya Pantura telah mendorong mobilitas horizontal penduduk di wilayah sekitarnya. Mobilitas tersebut ada yang bersifat tetap dan sementara. Akibat mobilitas itu penduduk di kota-kota Pantura mengalami perkembangan yang jauh lebih pesat dibandingkan dengan kota-kota yang berada di wilayah pedalaman Jawa Tengah.

Secara ekonomi ada beberapa kota di Pantai Utara Jawa Tengah yang mengalami perkembangan yang signifikan dibandingkan dengan kota lainnya. Titik-titik sentral perkembangan Jalan Raya Pantai Utara Jawa Tengah berada di kota Kudus, Semarang, Pekalongan, dan Tegal. Kota Semarang yang menjadi titik tengah Jalan Raya Pantura Jawa Tengah berkembang menjadi kota industri dan kota pemerintahan Provinsi sejak zaman Hindia Belanda hingga Orde Baru. Berawal dari kota Semarang, jaringan transportasi terhubung ke arah timur menuju

(3)

Kudus, Jepara, Pati, Rembang, dan tersambung dengan Jalan Raya Pantura Jawa Timur. Selain itu juga terhubung ke arah pedalaman menuju daerah Swapraja, Surakarta dan Yogyakarta.

Jalan Raya Pantai Utara Jawa Tengah mengalami pasang surut fungsi. Perubahan fungsi tersebut sebagian ditentukan oleh kebijakan pemerintah. Pada masa Mataram, Jalan Raya Pantura Jawa Tengah berfungsi sebagai sarana transportasi darat yang menghubungkan wilayah Pantai Utara dengan wilayah pedalaman, terutama wilayah Mataram dan pelabuhan-pelabuhan di Pantai Utara Jawa, seperti Semarang, Juwana, Lasem, Pekalongan, dan Tegal.

Sejak akhir abad XIX hingga awal abad XX, jalur kereta api di Jawa Tengah dibangun yang sebagian besar rutenya berhimpitan dengan rute Jalan Raya Pantura. Kondisi tersebut menjadikan Jalan Raya Pantura Jawa Tengah tidak lagi menjadi primadona jalur angkutan massal. Pengangkutan orang dan barang dalam jarak jauh sebagian besar beralih ke jalur kereta api. Pengangkutan hasil perkebunan seperti gula dan kopi menuju pelabuhan yang sebelumnya didominasi jalan raya sejak itu beralih ke kereta api. Jalan raya lebih banyak digunakan untuk mengangkut orang dalam jarak dekat dan barang-barang hasil pertanian untuk konsumsi lokal.

Perubahan penting terjadi pada awal abad XX. Auto mobil yang semula digunakan di Eropa pada akhir abad XIX diimpor ke Pulau Jawa. Hadirnya jenis alat transportasi baru ini mendorong kebijakan Pemerintah Kolonial untuk memperbaiki dan membangun jalan raya

(4)

termasuk di Pantai Utara Jawa Tengah. Akibatnya jalan raya mulai berkembang kembali menjadi jalur transportasi penting di Jawa.

Fungsi jalan raya semakin menguat ketika fungsi transportasi kereta api menurun. Pada tahun 1930-an akibat terjadinya krisis ekonomi dunia berimbas pada menurunnya permintaan produk-produk perkebunan di Hindia Belanda. Kondisi tersebut mengakibatkan produk perkebunan yang semula menjadi produk angkutan andalan berkurang dengan cukup signifikan. Selain itu, volume pergerakan kereta api juga berkurang. Ketika transportasi jalan raya menjadi primadona, kendaraan bermotor mengalami perkembangan dan pertumbuhan. Perkembangan tersebut diikuti dengan perbaikan Jalan Raya Pantura antara lain dengan dilakukan pengerasan dan pengaspalan. Kendaraan bermotor yang pada awal abad XX hanya milik golongan sosial tertentu, sejak tahun 1930-an berkembang ditandai dengan munculnya sarana transportasi publik berupa bus dan truk. Penguatan fungsi Jalan Raya Pantura Jawa ditandai juga dengan menguatnya promosi produsen kendaraan bermotor di kota-kota besar di Pulau Jawa termasuk Semarang.

Tumbangnya Pemerintah Kolonial Belanda karena pendudukan Jepang berakibat pada menurunnya fungsi Jalan Raya Pantai Utara Jawa Tengah. Kondisi itu berlangsung hingga tahun-tahun awal Revolusi Kemerdekaan. Jalan Raya Pantura Jawa Tengah tersebut menjadi tidak terpelihara dengan baik, sehingga fungsinya sebagai wahana mobilitas barang dan orang menjadi berkurang. Jalan raya

(5)

lebih banyak difungsikan untuk kepentingan militer dan pengangkutan dalam jarak dekat.

Perubahan penting terhadap Jalan Raya Pantura terjadi pada masa Orde Baru. Perubahan itu ditentukan oleh dua hal, yaitu kebijakan transportasi yang terfokus pada jalan raya sebagai jalur utama angkutan darat dan penguatan ekonomi pertanian pangan menggantikan ekonomi perkebunan.

Selain jalan-jalan raya konvensional yang menghubungkan antara Pantura dengan pedalaman, Pemerintah membangun jalan-jalan tol dan jalan arteri untuk memecah kemacetan di kota-kota besar dan membuka isolasi wilayah perbatasan kota. Pembangunan jalan tol dan jalan arteri tersebut telah memperluas wilayah jalur Jalan Raya Pantura. Pada kota-kota yang dikembangkan jalan tol dan jalan arteri tersebut ruas Pantura memiliki banyak cabang lintasan. Rute Pantura baru melalui jalan tol dan arteri dibangun di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Perubahan ini berpengaruh terhadap terintegrasinya antara kota-kota kecil dengan kota besar.

Perkembangan Jalan Raya Pantura didukung dengan pertumbuhan jalan di wilayah pedalaman. Pertumbuhan jalan-jalan penghubung ini terkait dengan kebijakan ekonomi Orde Baru yang berorientasi swassembada pangan. Sejak tahun 1970-an terjadi perubahan pola tanaman di Jawa yang semula menekankan pada tanaman perkebunan berubah menjadi tanaman pangan. Persawahan yang semula dominan menjadi lahan perkebunan tebu berubah total

(6)

menjadi lahan tanaman padi. Sentra-sentra industri gula mengalami kemerosotan sehingga jaringan kereta api yang terkait dengan industri gula mengalami penurunan total. Akibatnya jaringan kereta api sebagai pengangkut barang hasil perkebunan telah terputus. Sejalan dengan itu migrasi penduduk desa-desa di Jawa menuju kota-kota besar, terutama Jakarta, Semarang dan Surabaya semakin menguat. Seirama dengan itu, Jalan Raya Pantai Utara Jawa menjadi menguat karena menjadi penghubung antara pedalaman Jawa Tengah menuju Semarang, Jakarta atau Surabaya. Semarang menjadi titik tengah yang menghubungkan transportasi jalan raya dari Surabaya ke Jakarta atau sebaliknya. Sejak itu konsepsi Pantura yang semula dominan milik Jawa Tengah telah berubah menjadi Pantai Utara Jawa atau Pantura dan Pantai Utara Jawa Tengah hanya menjadi bagiannya.

Jalan Raya melahirkan tata nilai yang dibangun oleh pemerintah melalui sejumlah aturan yang dikeluarkan. Akan tetapi dalam implementasinya di jalan raya menghasilkan tata nilai yang berbeda yang disepakati dan saling dipahami antara sesama pengemudi dan atau petugas pengatur lalu lintas. Kesenjangan antara aturan dengan perilaku itu tergantung pada dua hal, yakni semakin padatnya angkutan yang melintas di Jalan Raya Pantura dan longgarnya proses pemberian izin pengemudi hingga pengaturan lalu lintas di jalan raya. Faktor terakhir ini berkaitan dengan perilaku korupsi yang dilakukan aparat keamanan. Pada masa Kolonial Belanda kesenjangan antara aturan dengan perilaku di jalan raya lebih tipis dibandingkan dengan

(7)

masa pascakemerdekaan. Kesenjangan tersebut semakin melebar pada masa Orde Baru.

Pertumbuhan fisik jalan dan kendaraan yang melintas di atasnya telah melahirkan budaya Jalan Raya Pantura. Jalan Raya yang semula didominasi oleh angkutan pribadi pada masa Kolonial Belanda bergeser didominasi oleh angkutan umum dan angkutan barang terutama truk setelah tahun 1970-an. Perubahan ini melahirkan budaya jalan raya yang berubah. Kriminalitas jalan raya yang semula perorangan menjadi kriminalitas yang terorganisasi dalam bentuk premanisme jalan raya. Premanisme jalan ini sebagian besar melibatkan aparat pengatur jalan raya. Korupsi menjadi “tradisi” di arena Jalan Raya Pantura Jawa Tengah sehingga dipahami oleh para pengemudi sebagai hal yang wajar. Tradisi ini berrantai mulai dari mengurus surat perizinan mengemudi hingga pelanggaran di jalan raya. Hubungan antara pengemudi dan aparat melahirkan budaya “tahu sama tahu” yang saling mereka pahami. Tradisi hubungan antara pengemudi dengan petugas lalu lintas dalam bentuk pemberian uang pelicin berkembang sejalan dengan semakin padatnya lalu lintas di Jalan Raya Pantai Utara Jawa Tengah. Kebiasaan para sopir berhenti di tempat-tempat istirahat telah melahirkan kebiasaan minum-minuman keras dan prostitusi. Pemeo yang mengatakan bahwa sopir bermakna “ngaso mampir” (kalau istirahat tinggal sejenak) memiliki makna negatif tentang perilaku sopir angkutan umum yang menggunakan layanan

(8)

prostitusi di tempat-tempat istirahat bagi angkutan kendaraan bermotor.

Jalan Raya Pantura telah melahirkan “image” masyarakat sebagai wilayah “keganasan” (wild area). Pantura diasosiasikan dengan kepadatan, kebisingan, adu kekuatan di jalan, pembantaian, kekerasan, dan hedonisme. Image tersebut muncul sejalan dengan ketidakseimbangan antara ruas jalan dengan jumlah kendaraan yang melintas di atasnya.

Referensi

Dokumen terkait

Formulir ini berisikan identitas pribadi, seperti: (No rekam medis, nama pasien, tanggal lahir, jenis kelamin, alamat lengkap, cara penerimaan, cara masuk, tanggal

Hal itu karena keefektifan komunikasi kedua belah pihak tersebut dapat meningkatkan pembelajaran siswa (Clay, 2005). Oleh sebab itu, penelitian mengenai pola

Dalam proses bleaching sangat diperhatikan jumlah NaOH yang digunakan agar mendapat hasil yang baik, dimana jika NaOH yang digunakan sedikit maka masih banyak lignin yang

pada setiap tabung reaksi tersebut, hal ini di tandai dengan tidak saling bercampurnya kedua larutan dikarenakan larutan CCl4 merupakan senyawa yang

(2000) menyatakan bahwa keasaman susu baik yang dihasilkan oleh biakan bakteri starter maupun dengan pengasaman langsung terbukti mempengaruhi aktivitas protease dalam

Salah satu rekomendasi yang akan dikembangkan adalah perancangan kap lampu dekoratif berkonsep Japandi dengan struktur tertentu untuk lampu meja, lampu dinding, dan lampu lantai

: Sekretariat Codex Contact Point Indonesia mempunyai tugas memfasilitasi pelaksanaan tugas Panitia Nasional Godex Indonesia, Kelompok Kerja Godex Indonesia,.. Mirror

- Sambil menunggu kedatangan guru berkunjung, orang tua/pendamping anak diminta untuk mengajak anak melakukan kegiatan berjalan membawa makanan berkuah dengan mangkok