• Tidak ada hasil yang ditemukan

TELAAH PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH PLURAL AGAMA. Abdulloh Fuadi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TELAAH PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH PLURAL AGAMA. Abdulloh Fuadi"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

DI SEKOLAH PLURAL AGAMA Abdulloh Fuadi

Abstrak: Pendidikan agama memiliki peran strategis untuk

mempertahankan dan mengawal nilai-nilai kemanusiaan dalam konteks kebhinnekaan dan keragaman budaya, etnis, bahasa, dan agama. Tulisan ini menawarkan sebuah alternatif lain dalam proses pembelajaran agama di sekolah, yakni pendidikan religiusitas antar-iman, yang dihajatkan untuk mengkonstruk peserta didik yang bersedia berbagi, bersama, dan menerima keberdaan ‗yang lain‘. Konsep tersebut, pertama, tema-tema yang dibahas mencerminkan keharmonisan dan kerukunan untuk bersedia berbagi tempat bersama ‗yang lain‘; kedua, guru pengajar tidak terbatas pada satu agama tertentu; ketiga, seluruh murid yang berasal dari agama dan kepercayaan apapun yang berada di sekolah tersebut dirangkul dan dikumpulkan dalam satu tempat dan waktu yang sama; kelima, peserta didik yang berasal dari agama yang berbeda itu diberikan kesempatan dan porsi yang sama untuk membagi pengalaman dan pemahaman keagamaannya terkait dengan tema yang sedang dibahas, tidak melulu ceramah, dan keenam, waktu pelaksanaan dapat mengambil satu waktu tertentu dalam satu semester, cukup sekali atau dua kali dalam satu semester.

Kata kunci: pluralitas, pendidikan agama, pendidikan religiusitas

antar-iman, sekolah.

ebuah kenyataan yang patut diapresiasi oleh siapa pun bahwa bangsa Indonesia sampai saat ini masih mampu mempertahankan kebhinekaannya dan keragamannya, baik dari sisi budaya, bahasa, etnis, maupun agama. Meskipun harus diakui masih adanya gejolak yang muncul di beberapa wilayah,

Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan PAI Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

(2)

apalagi setelah era reformasi bergulir sejak 1998 (lihat, http://crcs.ugm.ac.id/), namun secara umum kehidupan berbangsa dan bernegara penduduk Indonesia masih on the right track. Dalam arti, nilai-nilai kemanusiaan semisal saling menghormati dan menghargai antar sesama masih dijunjung tinggi dan disemai. Dalam keadaan yang plural sedemikian rupa, maka tidak mungkin bisa dihindari hidup berdampingan dengan ‗yang lain‘—secara umum tentang kebijakan Negara terkait perbedaan agama di Indonesia telah dibahas Mujiburrahman, (Al-Jami‗ah, Vol. 46, No. 1, 2008:101-124). Pertanyaannya adalah bagaimanakah kebijakan yang ditempuh selama ini dalam mengelola kehidupan besama ‗yang lain‘ itu? Bagaimana dunia pendidikan menyikapi pluralitas agama yang dianut oleh siswa-siswi di sekolah? Bagaimanakah pengajaran yang dilakukan oleh Pendidikan Islam terhadap wacana ini? Mungkinkah ada alternatif untuk memperkaya langkah-langkah pengajaran dalam rangka meningkatkan kesadaran pluralitas kehidupan beragama? Setidaknya, pertanyaan-pertanyaan inilah yang dibahas dalam tulisan ini, dengan tidak menutup pembicaraan wacana lain yang masih berkaitan dengan tema yang sedang dibicarakan.

Kebijakan Negara Terkait Pengajaran Agama

Secara singkat dapat dikutip di sini tentang kebijakan Negara terkait pengajaran agama kepada peserta didik. Sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Republik Indonesia, nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada bab V tentang Peserta Didik, Pasal 12 ayat 1 huruf a menyebutkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.

Untuk mengelola pendidikan nasional lebih lanjut, terbitlah Peraturan Pemerintah No.55/2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan dan Permendiknas No.22/2006 Tentang Standar Isi. Adapun ringkasan PP RI No.55/2007 sebagai berikut: Setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang dan jenis

(3)

pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama (pasal 3, ayat 1).

Pendidikan agama pada pendidikan formal dan kesetaraan sekurang-kurangnya diselenggarakan dalam bentuk mata pelajaran atau mata kuliah (pasal 4, ayat 1). Setiap peserta didik pada satuan pendidkan di semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik (guru) yang seagama (pasal 4, ayat 2).

Penyelenggaraan pendidikan agama bertujuan mewujudkan keharmonisan, kerukunan dan rasa hormat di antara sesama pemeluk agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain (pasal 5, ayat 4). Kurikulum pendidikan agama dilaksanakan sesuai dengan standar nasional pendidikan, dalam hal ini Permendiknas No.22/006 Tentang Standar Isi (pasal 5, ayat 1). Adapun satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan agama tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 3, ayat 1, pasal 4 ayat 2 sampai dengan ayat 7 dan pasal 5 ayat 1, dikenakan sanksi administratif berupa peringatan sampai dengan penutupan setelah diadakan pembinaan / pembimbingan oleh pemerintah dan / atau pemerintah daerah (pasal 7, ayat 1).

Setidaknya, melalui peraturan-peraturan yang disebutkan di atas, pemerintah berusaha mengelola pendidikan agama sedemikian rupa yang bertujuan mewujudkan kehidupan beragama yang harmonis dan toleran diantara sesama pemeluk agama di Indonesia. Meski demikian, dampak dari berbagai peraturan itu akan diuji di masa-masa yang akan datang, mengingat masih adanya potensi konflik dan ketegangan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Kondisi Pembelajaran PAI Saat Ini

Usaha memotret kondisi pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) yang berlaku saat ini telah dilakukan oleh beberapa kalangan, baik oleh akademisi kampus, guru sekolah, maupun pembuat kebijakan yang dalam hal ini adalah pemerintah melalui kementerian-kementeriannya. Sayangnya, hasil akhir dari berbagai

(4)

penelitian itu lebih banyak mengisi rak-rak perpustakaan dan lembaga penelitian daripada berdampak nyata yang mampu merubah proses belajar mengajar PAI. Bila melihat dan memperhatikan tema-tema yang diangkat dan dibahas oleh para peneliti, maka seakan-akan tidak ada lagi ruang untuk penelitian lebih lanjut, karena hampir semua lini telah dibahas dan diurai.

Salah satu hasil dari penelitian itu menyebutkan bahwa pembelajaran PAI pada sekolah sangat bervariasi, mulai dari hasil pembelajaran yang kurang berkualitas hingga yang sangat bermutu. Pembelajaran yang dikembangkan selama ini tampaknya selalu menempatkan guru sebagai pusat belajar sehingga target pembelajaran adalah transfer ilmu pengetahuan dari guru kepada siswa (transfer of knowledge) yang berbentuk penguasaan bahan dan selalu berorientasi pada nilai yang tertuang dalam bentuk angka-angka. Jika demikian yang terjadi maka hal itu dapat menghancurkan kreativitas, kemandirian serta orisinalitas siswa. Di samping itu, penyampaian pembelajaran lebih bersifat teks normatif. Pendidikan religiositas atau keberagamaan yang seharusnya terbentuk melalui pendidikan agama bisa terabaikan atau gagal diwujudkan (Mangunwidjaya, 1986:12).

Materi-materi Pendidikan Agama Islam yang disajikan di sekolah masih banyak terjadi pengulangan-pengulangan dengan tingkat sebelumnya. Disamping itu, materi Pendidikan agama Islam dipelajari secara tersendiri dan terkadang lepas kaitannya dengan bidang-bidang studi lainnya, sehingga mata pelajaran agama Islam tidak diterima sebagai sesuatu yang hidup dan responsif dengan kebutuhan siswa dan tantangan perubahan. Bahkan kehadiran pelajaran pendidikan agama Islam dianggap sebagai sesuatu yang membosankan dan kurang menantang.

Selain hal di atas, materi agama Islam di sekolah biasanya disampaikan oleh sebagian guru secara statis-indoktrinatif-doktriner dengan fokus utama kognitif yang sarat dengan pengetahuan dan peraturan agama. Sedangkan hal-hal yang berhubungan langsung dengan kehidupan nyata di masyarakat semisal saling menghormati antar sesama, atau peduli pada lingkungan luput dari perhatian.

(5)

Mangunwijaya pun menggugat, pelaksanaan pendidikan agama saat ini mempunyai masalah-masalah yang sangat kompleks. Tapi sayangnya tidak semua pengajar agama benar-benar sadar akan persoalan ini. Pola pendidikan pun masih mementingkan huruf dari pada ruh, lebih mendahulukan tafsiran harfiah di atas cinta kasih (Mangunwidjaya, 1986:15).

Bagaimana model pendidikan toleransi antar agama melalui Pendidikan Agama Islam selama ini? Dari segi kuantitas materi, pembahasan tentang pluralitas agama hanya disinggung dalam jumlah yang kecil yang setidaknya tersebar dalam dua materi pelajaran, yaitu Qur‘an Hadits dan Akidah Akhlak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembahasan tentang ‗yang lain‘ itu hanya bersifat umum sdan sederhana. Bahkan sangat terlihat bahwa nuansa truth claim masih sangat kental. Sikap klaim kebenaran ini muncul dari komitmen personal yang sangat kuat, dan melahirkan keterlibatan yang menyeluruh dari kehidupan seseorang untuk memperjuangkan ajaran agama yang diyakini sampai titik darh penghabisan (Abdullah, 1996:48).

Kerangka berpikir seperti di atas tentunya akan melahirkan sikap yang eksklusif, dalam pengertian penegasan yang berlebihan terhadap identitas dirinya sebagai yang berbeda secara diametral dengan orang lain. Dirinya sebagai orang yang benar, dan orang lain sebagai yang salah. Eksklusifisme ini juga bermakna penegasan identitas keagamaan sebagai berbeda dengan identitas keduniaan dan kesosialan, sehingga antara keduanya tidak hanya harus dibedakan tetapi juga harus dipisahkan.

Dalam kerangka berpikir teologi seperti di atas, dimana ada pemisahan yang tegas antara permasalahan teologi dengan permasalahan sosial, menjadi landasan dalam membangun hubungan dengan orang lain, termasuk dalam membangun hubungan dengan penganut agama lain. Konsep ini juga dikembangkan oleh pemerintah dalam membangun kerukunan hidup umat beragama di Indonesia yang mencakup tiga kerukunan, yaitu internal umat beragama, antara umat bergama, dan antara umat beragama dengan pemerintah. Dalam materi pembelajaran

(6)

PAI di sekolah, pembahasan tentang tema yang berkaitan dengan hubungan dengan ‗yang lain‘ berada dalam batas ruang lingkup kerukunan hidup umat beragama seperti ini.

Dalam nuasana eksklusifisme teologis ini tidak secara otomatis membuahkan sikap tertutup secara sosiologis. Dalam tingkat tertentu, pandangan-pandangan teologis yang dikembangkan tidak serta merta menghambat untuk berhubungan secara sosiologis (muamalah). Pergaulan yang semacam ini adalah bentuk dari tolerasi pasif. Toleransi pasif adalah sebuah bentuk hubungan antar agama yang lebih mencerminkan suatu perasaan berdiam diri dalam ketertutupan komunitas agama masing-masing, yang bertujuan untuk mengurangi kesalahpahaman. Pola hubungan yang semacam ini tentu saja sangat rapuh terhadap tekanan-tekanan eksternal, karena tidak dibangun di atas landasan yang kokoh. Pola hubungan harmonis yang berlangsung lebih didasarkan pada tata krama dan penghormatan secara lahiri semata. Sehingga kondisi optimal yang dapat tercapai hanyalah sekedar mengurangi kesalahpahaman, bukan saling mengerti dan memahami (Wahid, dalam M. Said, 1994:172).

Pendidikan Religiositas Antar Iman: Sebuah Alternatif

Secara teoritis, Pendidikan agama Islam adalah bimbingan jasmani rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian menurut ukuran-ukuran Islam. Dari pengertian ini, nampak ada dua dimensi yang akan diwujudkannya, yaitu dimensi transendental dan dimensi duniawi. Dimensi transendental (lebih dari hanya sekedar ukhrawi) berupa ketaqwaan, keimanan dan keikhlasan, sedangkan dimensi duniawi melalui nilai-nilai material sebagai sarananya, seperti pengetahuan, kecerdasan, ketrampilan dan sebagainya. Dengan demikian, pendidikan agama adalah upaya religiosisasi perilaku dalam proses bimbingan melalui dimensi transendental dan duniawi menuju terbentuknya kesalehan (religiositas).

Secara normatif pendidikan agama menciptakan sistem makna untuk mengarahkan perilaku kesalehan dalam kehidupan manusia.

(7)

Pendidikan agama harus mampu memenuhi kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan memenuhi tujuan agama yaitu memberikan kontribusi terhadap terwujudnya kehidupan religiositas. Religiositas ialah kemampuan memilih yang baik di dalam situasi yang serba terbuka. Setiap kali manusia akan melakukan sesuatu, maka ia akan mengacu pada salah satu nilai yang dipegangi untuk menentukan pilihan dari berbagai alternatif yang ada. Religiositas juga dimaknai sebagai upaya transformasi nilai menjadi realitas empiris dalam proses cukup panjang yang berawal dari tumbuhnya kesadaran iman.

Agama lebih menitik beratkan pada kelembagaan yang mengatur tata cara penyembahan manusia kepada penciptanya dan mengarah pada aspek kuantitas, sedangkan religiositas lebih menekankan pada kualitas manusia beragama. Agama dan religiositas merupakan kesatuan yang saling mendukung dan melengkapi, karena keduanya merupakan konsekuensi logis kehidupan manusia yang diibaratkan selalu mempunyai dua kutub, yaitu kutub pribadi dan kebersamaannya di tengah masyarakat. Penjelasan ini tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan Glock dan Stark yang memahami religiositas sebagai percaya tentang ajaran-ajaran agama tertentu dan dampak dari ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat (Glock and Stark, 1965:275)

Sebagai suatu kritik, religiositas dimaksudkan sebagai pembuka jalan agar kehidupan orang beragama menjadi semakin inten. Semakin orang religius, hidup orang itu semakin nyata atau semakin sadar terhadap kehidupannya sendiri. Bagi orang beragama, intensitas itu tidak bisa dipisahkan dari keberhasilannya untuk membuka diri terus menerus terhadap pusat kehidupan. Inilah yang disebut religiositas sebagai inti kualitas hidup manusia, karena ia adalah dimensi yang berada dalam lubuk hati dan getaran murni pribadi. Religiositas sama pentingnya dengan ajaran agama, bahkan religiositas lebih dari sekedar memeluk ajaran agama, religiositas mencakup seluruh hubungan dan konsekuensi, yaitu antara manusia dengan penciptanya dan dengan sesamanya di dalam kehidupan sehari- hari.

(8)

Secara operasional religiositas didefinisikan sebagai praktik hidup berdasarkan ajaran agamanya, tanggapan atau bentuk perlakuan terhadap agama yang diyakini dan dianutnya serta dijadikannya sebagai pandangan hidup dalam kehidupan. Religiositas dalam bentuknya dapat dinilai dari bagaimana sikap seseorang dalam melaksanakan perintah agamanya dan menjauhi larangan agamanya. Dengan pemaknaan tersebut, religiositas bisa dipahami sebagai potensi diri seseorang yang membuatnya mampu menghadirkan wajah agama dengan tampilan insan religius yang humanis (Burhani, 2001:123).

Religiositas harus merupakan kesatuan utuh antara iman dengan Islam (Marimba, 1986:78). Artinya, religiositas jika diamati dari sisi internal adalah iman dan dari sisi eksternalnya adalah Islam. Glock & Stark menjelaskan bahwa agama adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan, yang semuanya berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning). Menurutnya, ada lima dimensi religiositas, yaitu: Pertama, dimensi keyakinan yang berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin tersebut; Kedua, dimensi praktik agama yang mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktik-praktik keagamaan ini terdiri atas dua aspek penting, yaitu aspek ritual dan ketaatan; Ketiga, dimensi pengalaman. Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengaharapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan subyektif dan langsung, bahwa ia akan mencapai suatu kontak dengan kekuatan super natural. Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang; Keempat, dimensi pengetahuan agama yang mengacu kepada harapan bahwa orang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai

(9)

dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi;

Kelima, dimensi pengamalan. Dimensi ini mengacu pada identifikasi

akibat-akibat atau konsekuensi keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari ke hari (Glock and Stark, 1965:241-256).

Dengan memperhatikan hal-hal di atas, penulis melihat pentingnya alternatif lain dalam proses pembelajaran agama di sekolah. Alternatif ini tidak bertujuan menggantikan pengajaran agama yang selama ini telah berjalan, juga tidak bertujuan untuk menggugat peraturan negara, namun bertujuan memberikan gambaran tentang satu kegiatan yang memungkinkan untuk dilaksanakan terkait pengajaran agama. Kegiatan tersebut adalah pendidikan religiositas antar iman. Pembahasan dari berbagai sudut tentang kegiatan alternatif ini akan dicoba dipaparkan sebagai berikut:

Sisi materi: Materi dari kegiatan pendidikan religiositas antar iman ini berkenaan dengan tata kelola kehidupan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang sejatinya diakui oleh setiap agama. Tema-tema yang dibahas mencerminkan keharmonisan dan kerukunan untuk bersedia berbagi tempat bersama ‗yang lain‘. Tema-tema kemasyarakatan itu dikaitkan dengan semua ajaran agama. Hal-hal yang bisa dibahas antara lain tentang keniscayaan keragaman manusia, kepedulian kepada sesama dan lingkungan, perjuangan bersama menuju masyarakat yang bebas dari ketertindasan, baik ketertindasan ekonomi, hukum maupun sosial, dll. Sumber pembahasan tentang tema tersebut berasal dari berbagi sumber, baik sumber keagamaan, maupun disiplin ilmu tertentu. Dengan keragaman sumber referensi tersebut, maka peserta didik akan mengetahui dan memahami bahwa ajaran agama apa pun mengajarkan hal yang sama dan serupa berkaitan dengan tata kelola kehidupan masyarakat yang lebih baik.

Sisi guru dan peserta: Guru pengajar dari kegiatan pendidikan religiositas antar iman ini tidak terbatas pada satu agama tertentu. Guru yang berasal dari agama apapun bisa mengajarkannya.

(10)

Tentunya lebih baik lagi bila dilakukan sinergi antar guru agama yang berbeda. Para guru yang mempunyai latar belakang berbeda itu harus berkumpul dan berembug terlebih dahulu untuk menentukan materi dan proses kegiatan yang akan dijalani. Keberpaduan guru ini merupakan cerminan dan teladan yang terbaik bagi peserta didik bahwa perbedaan tidak menyurutkan rasa kebersamaan dan saling bekerjasama dengan ‗yang lain‘ yang berbeda. Selanjutnya dari sisi peserta didik, bahwa yang mengikuti kegiatan ini adalah seluruh murid yang berasal dari agama dan kepercayaan apa pun yang berada di sekolah tersebut. Tidak ada diskriminasi bahwa yang boleh mengikuti kegiatan ini adalah yang mayoritas atau yang minoritas saja. Namun semua latar belakang dirangkul dan dikumpulkan dalam satu tempat dan waktu yang sama. Hal ini juga mengajarkan kepada peserta didik bahwa saat berbicara tentang ajaran agama pun, ternyata bisa duduk bersama dan saling berbagi pengalaman. Para peserta didik itu sebenarnya sudah terbiasa duduk bersama dan saling berbagi, namun untuk mengikuti proses pembelajaran tentang materi umum yang tidak berkaitan dengan ajaran agama. Karena mereka pasti akan terpisah begitu memasuki periode materi pelajaran agama. Dengan mengumpulkan para peserta didik itu menjadi satu dalam kegiatan pembelajaran ajaran agama, maka hal ini akan menumbuhkan kepercayaan diri bahwa meskipun ajaran agama mereka berbeda, namun dapat saling berbagi berdasarkan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing.

Sisi proses pelaksanaan: Dalam proses pelaksanaan kegiatan pendidikan religositas antar iman ini tidak hanya melulu dengan cara ceramah, karena metode ini sangat membosankan dan menjemukan. Di awal kegiatan memang harus diberikan pencerahan kepada peserta didik. Semua guru dari latar belakang agama yang berbeda harus berbicara dan memberikan pengertian kepada semua peserta didik. Setelah itu diberikan keleluasaan kepada peserta didik untuk berpartisipasi dalam proses kegiatan ini. Beberapa cara yang bisa ditempuh adalah peserta didik yang berasal dari agama yang berbeda itu diberikan kesempatan dan porsi yang

(11)

sama untuk membagi pengalaman dan pemahaman keagamaannya terkait dengan tema yang sedang dibahas. Masing-masing diberi kebebasan penuh untuk mengungkapkan apa yang diketahuinya tanpa takut mengungkapkan pendapatnya karena sedang berada di hadapan ‗yang lain‘. Yang harus ditekankan di sini adalah bahwa pengungkapan itu bukanlah tentang indoktrinasi suatu ajaran agama, namun tentang pemahaman keagamaan dari yang bersangkutan terhadap tema kemasyarakatan tertentu. Cara yang lain adalah dengan mengelompokkan peserta didik menjadi beberapa kelompok dengan mempertimbangkan komposisi yang pas. Mereka diberikan kesempatan untuk saling berbicara antar teman. Hasil dari diskusi kelompok tersebut nantinya bisa diungkapkan dan dipresentasikan untuk diperdengarkan kepada peserta kelompok yang lain. Dua cara ini hanya sebagian kecil contoh yang bisa dilakukan. Tentunya masih banyak lagi cara lain yang elegan dan berkeadilan.

Sisi waktu: Satu persoalan besar yang dihadapi kegiatan ini adalah tentang waktu pelaksanaannya. Telah menjadi keputusan Negara sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang bahwa peserta didik berhak mendapatkan haknya untuk dididik menurut agama dan oleh guru yang seagama. Dalam pandangan penulis, hal itu tidak bisa dihindari dan diakui secara konstitusional. Namun kegiatan pendidikan religiositas antar iman ini bisa mengambil satu waktu tertentu dalam satu semester. Sehingga dengan demikian, kegiatan ini cukup dilaksanakan sekali atau dua kali dalam satu semester. Kalau pelaksanaannya sedemikian rupa, maka penulis meyakini tidak akan mengganggu proses pembelajaran agama yang selama ini telah berjalan dan juga tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang telah disahkan. Kegiatan ini tidaklah bermaksud mengganti pembelajaran agama yang telah ada, namun merupakan alternatif kegiatan pengajaran agama yang merangkul semua kalangan yang berbeda. Persoalan waktu ini bila dibicarakan dengan seksama oleh semua pihak, mulai dari pihak guru sampai pengambil kebijakan, maka tidak akan ada kendala yang berarti. Menyangkut pengambil kebijakan, maka yang paling realistis

(12)

diterobos adalah skala yang paling terkecil terlebih dahulu, yaitu pihak sekolah. Maka pembicaraan dengan kepala sekolah adalah kunci utama terlaksananya kegiatan alternatif ini. Penulis meyakini bila kegiatan ini diungkapkan dengan bahasa yang tepat, maka pengambil kebijakan tidak akan keberatan untuk mengijinkan kegiatan tersebut dilaksanakn di lingkungan yang menjadi kewenangannya.

Tentunya masih banyak lagi yang bisa dikupas terkait kegiatan alternatif ini. Penulis yakin bila kegiatan ini telah terlaksana, akan muncul-muncul ide-ide baru lagi untuk memperbaiki proses yang telah berjalan. Sekali lagi yang ingin penulis tegaskan adalah bahwa kegiatan alternatif ini tidak bertujuan menghapus proses pembelajaran keagamaan yang selama ini telah berjalan, yaitu pembelajaran agama yang harus menyesuaikan antara guru dan peserta didik, karena memang ada beberapa hal yang doktrinal dan tata cara keagamaan yang khas dan unik di masing-masing agama. Kegiatan alternatif ini justru bisa menambah wawasan dan pengetahuan serta praktek langsung bagaimana mengenal agama dan kepercayaan yang lain, sekaligus memahami dan mengerti bagaimana berinteraksi secara positif dengan ‗yang lain‘ itu.

Catatan Akhir

Pengajaran agama tidak bisa lagi berada di luar kenyataan manusia terkini yang hidup dalam masyarakat dunia yang global. Adalah sebuah keniscayaan bahwa masyarakat global ditandai dengan pertemuan dengan ‗yang lain‘. Menghadapi tantangan demikian, pengajaran agama harus mampu menjawabnya dengan cara melakukan proses pembelajaran secara nyata dan terlibat langsung dalam berkenalan dan berkomunikasi dengan ‗yang lain‘ itu, tidak hanya dalam bentuk catatan materi sebagaimana yang berjalan selama ini. Indonesia yang mayoritas berpenduduk Muslim sedang ditunggu perannya dalam menjawab tantangan masyarakat global yang plural, baik dari segi etnis dan agama/kepercayaan.

(13)

Daftar Pustaka

Abdurrahman Wahid, ―Islam dan Hubungan Antar Agama di Indonesia‖ dalam M. Said, Nahdhaltul Ulama dari Berbagai

Sudut Pandang. Jakarta: Lakspesdam, 1994.

Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT Al-Ma‘arif, 1986.

Ahmad Najib Burhani, Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin

yang Membatu. Jakarta: Kompas, 2001.

Glock and Stark, Religion and Society in Transition. Chicago: Rand Mc Nally, 1965.

M. Amin Abdullah, ―Keimanan Universal di Tengah Pluralisme Budaya: Tentang Klaim Kebenaran dan Masa Depan Ilmu Agama‖, dalam Studi Agama – Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Mujiburrahman, State Policies in Religious Diversity in Indonesia. Al-Jami‗ah, Vol. 46, No. 1, 2008 M/1429 H.

YB Mangunwidjaya, Menumbuhkan Sikap Religiusitas pada Anak. Jakarta: Gramedia, 1986.

Referensi

Dokumen terkait

Target sistem dapat memenuhi kebutuhan pengguna sistem antara lain karyawan apotek yang bertindak sebagai kasir, bagian pembelian, dan manajer, yaitu untuk: (1) meng- input

Dari besarnya koefisien attenuasi berbagai bahan perisai yang didapat terlihat bahwa bahan Timbal yang paling effektif menahan radiasi, sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin

kepercayaan (trust), komitmen (commitment), komunikasi (communication) , dan penanganan keluhan (conflict handling) yang nantinya akan dianalisis terhadap loyalitas

Penulisan hukum dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Pengguna Jasa Usaha Parkir Apabila Terjadi Kehilangan Kendaraan Bermotor”, bertujuan untuk mengetahui

Oleh karena itu penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui materi yang dianggap sulit bagi siswa kelas X dan pembelajaran yang dapat membantu siswa meningkatkan

Hasil belajar pengetahuan kesehatan, keselamatan kerja dan lingkungan hidup (K3LH) pada siswa kelas x SMK Karya Rini berdasarkan hasil analisis data dapat diketahui bahwa 22 siswa

Berdasarkan dari segala alasan di atas maka peneliti ingin mengemukakan penelitian dalam rangka meningkatkan hasil belajar siswa MIN Baruh Jaya Kecamatan Daha

Imam Al Kholaal berkata : ‘Imam Ahmad merujuk kepada hadits Malik ibnul Huwairits tentang duduk istirahat, beliau berkata’ : ‘akhbaronii Yusuf bin Musa bahwa