• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pokok Pokok Pikiran Tentang Rancangan Undang-Undang Perlindungan Saksi (versi Koalisi Perlindungan Saksi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pokok Pokok Pikiran Tentang Rancangan Undang-Undang Perlindungan Saksi (versi Koalisi Perlindungan Saksi)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Pokok–Pokok Pikiran Tentang

Rancangan Undang-Undang Perlindungan Saksi (versi Koalisi Perlindungan Saksi)

PENGANTAR

Saat ini belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur tentang perlindungan terhadap saksi. Pengaturan tentang perlindungan terhadap saksi sampai saat ini masih terpisah-pisah sesuai dengan masalahnya masing-masing.1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang juga mengatur tentang saksi - termasuk saksi korban – tidak cukup memberikan perlindungan jika dibandingkan dengan perlindungan terhadap hak-hak tersangka ataupun terdakwa.2 KUHAP lebih melihat saksi hanya sebagai bagian dari alat bukti dan kurang mengatur tentang saksi sebagai pihak yang perlu dilindungi dan - terutama korban - dipulihkan hak-haknya.

Lemahnya pengaturan dan perlindungan yuridis terhadap saksi tersebut, menjadikan pihak-pihak yang seharusnya menjadi saksi enggan untuk menjadi saksi. Persoalan yang utama adalah banyaknya saksi yang tidak bersedia menjadi saksi ataupun tidak berani mengungkapkan kesaksian yang sebenarnya karena tidak ada jaminan yang memadai terutama jaminan atas perlindungan tertentu ataupun mekanisme tertentu untuk bersaksi.3 Saksi - termasuk pelapor - bahkan seringkali mengalami ancaman atau tuntutan hukum atas kesaksian atau laporan yang diberikannya, serta tidak sedikit pula saksi akhirnya menjadi tersangka atau bahkan terpidana. Ketidakmauan saksi untuk memberikan keterangan di sidang pengadilan seringkali terjadi terutama untuk kasus-kasus seperti kekerasan terhadap perempuan, kekerasan dalam rumah tangga, korupsi, kejahatan terorganisir dan pelanggaran HAM yang berat.4

Berdasarkan kondisi di atas, penegakan hukum ataupun penyelesaian berbagai tindak kejahatan tidak berjalan dengan maksimal. Pencarian kebenaran yang seharusnya ditopang dengan kesaksian yang memadai tidak dapat tercapai. Dampak yang lebih luas adalah tidak terungkapnya kejahatan-kejahatan tertentu, misalnya kasus pelanggaran HAM yang berat, kekerasan terhadap perempuan, korupsi dan kasus lainnya. Kondisi ini telah disadari, terutama untuk penegakan hukum kasus-kasus korupsi. Ketetapan MPR No. VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme menyatakan bahwa perlu adanya sebuah undang-undang yang mengatur tentang perlindungan saksi. Undang-undang ini merupakan bagian dari beberapa undang-undang lainnya yang dimaksudkan untuk membantu percepatan dan efektivitas pelaksanaan pemberantasan dan pencegahan korupsi.

Sejalan dengan pengalaman di Indonesia berkenaan dengan perlindungan saksi, kurang memadainya instrumen yuridis tentang perlindungan saksi serta rekomendasi Ketetapan MPR No. VIII Tahun 2001 menjadikan pengaturan tentang perlindungan saksi dalam sebuah undang-undang sangat penting. Tujuannya bukan hanya semata-mata untuk mendukung proses peradilan dan penyelesaian perkara secara lebih adil dan kompeten tetapi juga

1

Pengaturan yang sifatnya terpisah ini misalnya pengaturan tentang perlindungan saksi yang berada di dalam undang-undang tertentu dan seolah-olah tidak ada keterkaitan sama sekali dengan persoalan perlindungan saksi secara keseluruhan, misalnya dalam Undang-undang tentang Pengadilan HAM, Undang-undang tentang Pencucian Uang, Undang-undang tindak pidana korupsi, Undang-undang tentang Terrorisme, Undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dll.

2

Beberapa dekade yang lalu telah dikeluhkan bahwa kepedulian pada tersangka/terdakwa telah sedemikian tingginya, sehingga menimbulkan persepsi bahwa ‘the pendulum has swung too far.’ Oleh karenanya, telah tiba saatnya perhatian yang lebih besar diberikan pula pada pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses peradilan pidana, terutama saksi --termasuk saksi korban--. Lebih lengkap, lihat Naskah Akademis RUU Perlindungan Saksi dalam Proses Peradilan Pidana, disusun oleh Sentra HAM UI dan Indonesia Corruption Watch.

3

Dalam persidangan pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus pelanggaran HAM yang berat di Timor-Timur, banyak saksi yang akhirnya memilih untuk tidak datang ke Indonesia untuk memberikan keterangan di muka pengadilan. Hal ini disebabkan adanya pengalaman dari beberapa saksi sebelumnya yang mengalami intimidasi atau tekanan psikologis selama memberikan kesaksian di muka persidangan.

4

(2)

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

menunjukkan adanya tanggung jawab negara terhadap warga negara yang telah mengalami berbagai tindak pelanggaran hukum.5

Berdasarkan Ketetapan MPR No. VIII Tahun 2001, badan legislasi DPR telah mengajukan RUU Perlindungan Saksi dan Korban pada tanggal 27 Juni 2002 dan ditandatangani oleh 40 anggota DPR dari berbagai fraksi.6 Hal ini berarti bahwa lebih dari 2 (dua) tahun yang lalu, RUU ini diserahkan dan belum dibahas karena sampai saat ini pula belum ada Amanat Presiden (Ampres) untuk pembahasan RUU Perlindungan Saksi dan Korban di DPR. Selama jangka waktu tersebut, beberapa lembaga swadaya masyarakat maupun akademisi telah membuat berbagai kegiatan dan lokakarya tentang perlindungan saksi dan korban. RUU tentang Perlindungan Saksi juga telah dibuat oleh beberapa lembaga untuk mendorong adanya Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi.

RUU tentang Perlindungan Saksi juga telah digagas oleh Koalisi Perlindungan Saksi yang terdiri dari ELSAM, Komnas Perempuan, ICW, TAPAL, PSHK, LeIP, MaPPI FH UI, KRHN, KONTRAS, JARI, JATAM, P3I, WALHI, AJI, LBH APIK, LBH JAKARTA, Solidaritas Perempuan, Mitra Perempuan, KOPBUMI dan BAKUBAE. Koalisi ini dibentuk dengan tujuan untuk lebih menguatkan jaringan advokasi untuk terbentuknya Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi. Setelah melalui berbagai pertemuan dan pembahasan, koalisi ini berhasil menyusun alternatif RUU Perlindungan Saksi (Selanjutnya disebut RUU versi Koalisi Perlindungan Saksi).

RUU versi koalisi ini kemudian didesiminasikan dengan berbagai kalangan, baik berupa diskusi terbatas dengan beberapa pakar hukum pidana dan juga melakukan Focus Group

Discussion dengan beberapa kalangan secara berkala.7 Hasil dari diseminasi ini memunculkan

beberapa rekomendasi untuk perbaikan dan usulan subtansi untuk RUU Perlindungan Saksi versi Koalisi Perlindungan Saksi. Berbagai usulan dari diskusi yang dilakukan tersebut menjadi bahan untuk melakukan perbaikan RUU versi koalisi yang telah disusun sebelumnya.

RUU yang telah mengakomodir berbagai usulan dan pendapat ini telah memasukkan beberapa hal baru termasuk pengaturan tentang hak-hak yang bersifat khusus kepada saksi, ketentuan tentang tanggung jawab pemerintah dan peran masyarakat dalam upaya perlindungan terhadap saksi. Ketentuan-ketentuan dalam RUU versi koalisi ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan RUU Perlindungan Saksi dan Korban versi badan legislasi Dewan Perwakilan Rakyat yang dijadikan usul inisiatif. RUU versi koalisi ini juga mengatur lebih detail tentang Lembaga Perlindungan Saksi dibandingkan dengan RUU Perlindungan Saksi yang telah ada.8

SUBTANSI RUU PERLINDUNGAN SAKSI

Rancangan Undang-undang Perlindungan Saksi versi koalisi ini secara subtansif berbeda dengan draft RUU usul inisiatif DPR. Perbedaan-perbedaan tersebut terutama berkaitan dengan penyesuaian atas beberapa rekomendasi dan masukan selama diseminasi draft sebelumnya dan juga perkembangan yang terjadi selama diskusi tim perumus dalam melakukan revisi atas draft sebelumnya.

Perbedaan itu terutama adalah berkaitan dengan judul dari RUU ini yaitu RUU Perlindungan Saksi dimana sebelumnya berjudul RUU Perlindungan Saksi dan Korban. Perbedaan selanjutnya adalah berkaitan dengan cakupan kewenangan perlindungan saksi yang hanya untuk kasus-kasus pidana dalam ruang lingkup peradilan umum dan peradilan

5

Lihat artikel 25 Universal Declaration of Human Rights : “ everyone has the right to…..necessary social

services, and the right to security in the event of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or other lack of livehood in circumtances beyond his control”.

6

Lihat surat penyampaian RUU usul Inisiatif DPR RI tentang Perlindungan Saksi dan Korban kepada pimpinan DPR RI, tanggal 27 Juni 2003.

7 Diseminasi ini dilakukan pada tanggal 22 April 2003 di Komisi Hukum Nasional dengan penanggap Prof Dr.

Harkristuti Harkrinowo sebagai pakar hukum pidana dan Tumbu Saraswati, SH sebagai salah seorang anggota badan Legoslasi DPR RI yang menggagas RUU Perlindungan Saksi dan Korban. Diseminasi selanjutnya adalah rangkaian

Focus Group Discussion selama 3 kali dengan berbagai kalangan yang menghasilkan beberapa rekomendasi untuk

perbaikan Draft RUU Perlindungan Saksi versi Koalisi Perlindungan Saksi.

8

Selain RUU Perlindungan Saksi dan Korban Versi badan Legislasi DPR, RUU Perlindungan Saksi dan Korban juga telah dibuat oleh Pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat dan Akademisi (ICW dan Sentra HAM UI).

(3)

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

militer sedangkan sebelumnya cakupan kewenangannya adalah untuk semua perkara hukum yang diselesaikan baik melalui proses peradilan maupun mekanisme di luar peradilan. Perubahan lain yang sebetulnya hanya merupakan penambahan adalah berkaitan dengan tata cara pemberian perlindungan terhadap saksi. Prosedur atau mekanisme pemberian perlindungan dalam draft RUU yang terbaru ini mencakup masalah prosedur permohonan perlindungan, perjanjian perlindungan baik untuk program perlindungan sementara atau penetapan atas saksi yang masuk dalam program perlindungan, mekanisme tentang prosedur penghentian perlindungan saksi juga diatur dalam ketentuan ini.

Draft RUU Perlindungan saksi juga melakukan penambahan ketentuan baru yang dalam draft sebelumnya tidak ada atau belum diatur, yaitu berkaitan dengan tanggung jawab pemerintah dan peran serta masyarakat dalam perlindungan terhadap saksi. Penambahan ketentuan ini melengkapi upaya pengaturan atas sistem perlindungan saksi yang akan dijalankan dan menjamin adanya tanggung jawab yang sungguh-sungguh dari negara dan hak masyarakat dalam berperan serta dalam perlindungan saksi.

Rancangan Undang-undang (RUU) Perlindungan Saksi versi Koalisi ini terdiri dari Sepuluh Bab yang dijabarkan dalam 64 pasal. Adapun sistematika yang diusulkan untuk RUU Perlindungan Saksi adalah sebagai berikut:

Bab I Ketentuan Umum

Bab II Kewenangan, Asas dan Tujuan Bab III Hak-Hak Saksi

Bab IV Tanggung Jawab Pemerintah Bab V Lembaga Perlindungan Saksi

Bab VI Tata Cara Program Pemberian Perlindungan Bab VII Peran Serta Masyarakat

Bab VIII Ketentuan Pidana

Bab IX Ketentuan Peralihan Bab X Ketentuan Penutup

1. Ketentuan Umum

Ketentuan Umum dalam RUU memuat beberapa pengertian yaitu mengenai saksi, pihak lain yang terkait dengan saksi, perlakuan khusus, perspektif jender, ancaman fisik, ancaman yang membahayakan jiwa, perahasiaan identitas, identitas baru, relokasi, pendamping, ancaman, perlindungan, lembaga perlindungan saksi, perwakilan lembaga perlindungan saksi, dan program perlindungan.

Pengertian tentang saksi ini mencakup seorang pelapor atau pengadu, saksi sebagai korban, saksi bukan korban, dan saksi ahli. Definisi tentang saksi yang cukup meluas ini dimaksudkan untuk dapat mengakomodir terhadap pihak-pihak yang dapat dikategorikan sebagai pihak yang dapat memberikan keterangan dalam proses peradilan pidana.9 Seorang pelapor yang mengetahui suatu tindak pidana tetapi tidak berperan sebagai saksi juga termasuk dalam pengertian saksi dalam RUU ini. Ketentuan ini mengakomodir pengaturan tentang perlindungan seorang pelapor dalam kasus-kasus korupsi.10 Demikian pula dengan seseorang yang mempunyai keahlian khusus tentang sesuatu hal dan dimintai

9 Pengertian saksi yang selama ini dikenal adalah pengertian menurut pasal 1 angka 36 Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

10

Lihat pasal 2 ayat (4) UU No. 31 tahun 1999, “Pelapor adalah orang yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana”.

(4)

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

keterangan untuk menjelaskan tentang terangnya perkara sehingga dapat diketemukan kebenaran material dalam suatu perkara pidana dapat dikategorikan dalam pengertian saksi dalam RUU Perlindungan Saksi ini.

Selain memberikan perlindungan terhadap saksi, RUU ini juga mengatur mengenai pihak lain yang terkait dengan saksi sebagai orang atau pihak yang rentan terhadap ancaman dan layak mendapatkan perlindungan. Ada lima kategori “pihak lain” dalam RUU Perlindungan Saksi yang harus mendapatkan perlindungan. Pertama, Orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan saksi dalam garis lurus ke atas dan ke bawah sampai derajat ketiga atau Orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan saksi dalam garis menyamping sampai derajat ketiga. Kedua, Orang atau pihak yang mempunyai hubungan perkawinan atau yang sudah tidak mempunyai hubungan perkawinan lagi (dalam status bercerai). Ketiga, Orang-orang yang menjadi tanggungan dari saksi, bisa dalam garis lurus ke atas dan atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga, atau bisa juga garis menyamping sampai derajat ketiga. Keempat, Orang-orang yang berada dalam pengampuan atau perwalian saksi; dan Kelima, orang lain yang mempunyai hubungan emosional yang dekat dengan saksi.

Perubahan dengan RUU sebelumnya adalah tidak dijelaskannya tentang korban karena sebagai konsekuensi atas pilihan bahwa undang-undang ini hanya akan mengatur tentang saksi termasuk saksi korban di samping bahwa istilah korban tidak tercantum dalam beberapa ketentuan dalam pasal-pasal setelahnya sehingga tidak perlu dicantumkan dalam ketentuan umum.11 Dalam ketentuan umum ini juga tidak mencantumkan tentang saksi korban, tetapi istilah ini dijelaskan dalam pasal yang mengatur tentang hak-hak saksi korban.12

Pengertian perlindungan dalam RUU ini adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. Pengertian perlindungan seperti tersebut di atas adalah perlindungan saksi dalam arti perlindungan terhadap saksi secara menyeluruh yang termasuk perlindungan yang diberikan oleh Lembaga Perlindungan Saksi maupun perlindungan terhadap hak-hak saksi yang pelaksanaannya dilakukan oleh lembaga lainnya, terutama lembaga penegak hukum dalam proses peradilan. Hal ini untuk membedakan dengan pengertian istilah program perlindungan yaitu tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan oleh lembaga perlindungan saksi untuk melindungi saksi dengan tindakan atau langkah-langkah tertentu berdasarkan undang-undang ini.

2. Kewenangan, Asas, dan Tujuan

RUU Perlindungan Saksi ini mempunyai kewenangan untuk memberikan perlindungan pada saksi dalam semua tahapan proses peradilan dan pasca peradilan dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan militer, yang bertujuan untuk memberikan rasa aman dan keadilan kepada saksi pada saat memberikan keterangan. Ruang lingkup perlindungan terhadap saksi yang hanya untuk kasus-kasus tertentu dalam ruang lingkup peradilan umum dan peradilan militer berdasarkan atas alasan-alasan bahwa regulasi ini dimaksudkan sebagai ketentuan yang spesifik dan terbatas (limitatif).

11

Draft sebelumnya menjelaskan tentang istilah korban karena undang-undangnya juga berjudul tentang perlindungan saksi dan korban, demikian pula dengan draft RUU dari berberapa pihak yang juga mencantumkan tentang korban.

12 Dengan tidak diatur tentang korban atau perlindungan khusus kepada korban menjadikan perlu ada

rekomendasi bahwa persolan perlindungan kepada korban kejahatan seharusnya juga diatur dalam undang-undang tersendiri terlepas dari pengaturan dalam undang-undang perlindungan saksi. Undang-undang perlindungan korban tersebut akan mengatur tentang berbagai mekanisme pemberian perlindungan kepada korban kejahatan termasuk mekanisme pemulihan bagi korban maupun prosedur ganti kerugian. Selama ini ketentuan mengenai perlindungan bagi korban hanya menjadi bagian dari undang-undang yang mengatur tentang kejahatan tertentu misalnya UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM yang mengatur tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM yang berat.

(5)

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Pilihan atas ruang lingkup untuk tindak pidana juga berkaitan dengan tentang hak-hak saksi yang sebagian besar adalah pengaturan hak-hak terhadap saksi selama proses peradilan berjalan, baik di tingkat penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, pemeriksaan di pengadilan bahkan sampai pada pasca putusan pengadilan. Kelemahan hukum acara (baca: KUHAP) yang tidak cukup mengakomodir perlindungan terhadap saksi jika dibandingkan dengan hak yang diberikan kepada terdakwa menjadikan pemberian hak-hak bagi saksi perlu diatur dan dipertegas lagi dengan undang-undang ini, sekaligus menjadi jembatan atas keseimbangan hak antara saksi dengan terdakwa.

Pilihan atas perlindungan hanya pada kasus pidana bukan dimaksudkan untuk menutup mata atas kenyataan bahwa dalam kasus yang lain di luar kasus pidana juga terkadang terjadi intimidasi ataupun tekanan kepada saksi. Kasus perdata dengan relasi kekuasaan yang timpang sebetulnya juga potensial untuk terjadinya tekanan kepada saksi. Demikian juga dalam penyelesaian kasus-kasus perburuhan dimana ketidakseimbangan posisi antara para pihak yang menjadikan saksi-saksi dalam pihak yang lemah memilih diam dan tidak dapat berbicara secara bebas. Pilihan atas ruang lingkup dalam tindak pidana atau kejahatan tertentu saja lebih didasarkan pada pertimbangan urgensi untuk kebutuhan perlindungan dan tingkatan potensi ancaman saksi dalam kasus-kasus tertentu.13

Perlindungan saksi yang diatur dalam undang-undang ini berasaskan pada penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, kepastian hukum, kerahasiaan, non diskriminatif, perhatian khusus kepada pihak-pihak yang rentan, dan perspektif jender. Asas-asas ini akan menjadi bingkai atau rambu-rambu dalam pelaksanaan ataupun interpretasi atas pelaksanaan ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi.

3. Hak-hak Saksi

Hak-hak saksi yang diatur dalam RUU ini adalah hak saksi secara umum dan hak-hak dalam kondisi khusus. Hak-hak-hak secara umum yaitu hak-hak-hak-hak yang diberikan kepada saksi tanpa melihat kondisi atau situasi yang menyebabkan saksi memperoleh hak yang sifatnya lebih khusus. Hak-hak ini terdiri dari hak perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik maupun psikologis dari orang lain yang berkenaan dengan keterangan yang akan, sedang atau telah diberikannya atas suatu perkara pidana, hak untuk mendapatkan bantuan hukum, hak untuk memperoleh pendampingan, hak atas kepastian hukum, hak untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara dan putusan pengadilan, hak untuk mengetahui dalam hal terpidana melarikan diri atau dibebaskan, hak untuk mendapatkan penerjemah atau penafsir, hak untuk bebas dari pertanyaan yang menjerat, hak untuk memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan, hak untuk tidak didiskriminasi berdasarkan agama, suku, jender, paham politik dan orientasi seksual dan ekonomi, dan hak untuk mendapatkan ruangan tunggu khusus di pengadilan.14

Hak-hak yang dapat diterapkan atau diberikan secara khusus kepada saksi adalah berkaitan dengan saksi mendapatkan ancaman yang membahayakan keselamatan jiwanya berhak atas perahasiaan identitas, hak untuk mendapatkan identitas baru dan hak untuk relokasi atau pindah ke tempat baru dengan tujuan untuk perlindungan kepada saksi.15 Saksi yang berada dalam ancaman atau tekanan yang sangat berat atau dalam kondisi yang tidak memungkinkan mempunyai hak untuk diperiksa tanpa hadir di tempat

13

Pandangan ini banyak didasarkan pada kenyataan bahwa sebagian besar kasus-kasus ancaman kepada saksi yang terjadi adalah kasus-kasus pidana. Ancaman dan tekanan kepada saksi ini sedemikian tingginya yang mengakibatkan kemungkinan terbongkarnya kasus-kasus tertentu sangat sulit karena minimnya saksi.

14 Hak atas ruang tunggu khusus untuk saksi ini dimaksudkan untuk memberikan ketenangan kepada saksi

selama menjalani pemeriksaan atau proses sebelumnya disamping sebagai kondisi untuk pelaksanaan ketentuan bahwa antara saksi tidak boleh saling berhubungan dan mendengarkan kesaksian sebelumnya. Hak ini mewajibkan kepada semua pengadilan untuk menyediakan ruangan khusus kepada saksi yang selama ini terabaikan.

15

Hak atas identitas baru dan hak atas relokasi adalah hak yang belum pernah diatur dalam ketentuan hukum Indonesia sedangkan hak atas perahasiaan identitas telah diberikan untuk pelapor dalam kasus korupsi dan hak untuk perlindungan saksi dan korban dalam kasus pelanggaran HAM yang berat.

(6)

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

pemeriksaan, diperiksa dengan media video conferece, memberikan kesaksian secara tertulis atau diperiksa secara tertutup dan sepihak. Kesaksian dengan cara yang demikian ini disamakan nilainya dengan pemberian kesaksian di muka persidangan.16

Kelompok saksi dalam kategori khusus yaitu saksi yang termasuk anak-anak, orang lanjut usia, orang cacat dan saksi perempuan korban tindak pidana dengan kekerasan yang mendapat hak-hak khusus berupa kemudahan dalam hal memberikan kesaksian dalam proses peradilan. Hak-hak khusus ini diberikan sesuai dengan kebutuhan saksi berdasarkan atas kondisi masing-masing saksi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah kebutuhan yang sifatnya kebutuhan atas perlindungan fisik maupun psikologis saksi.

Saksi korban juga mendapatkan hak-hak tertentu sebagai bagian dari keadilan bagi korban yang telah mengalami tindak pidana dan berakibat merugikan dan menimbulkan kerugian bagi korban. Saksi korban secara prosedural diberikan hak untuk didengar pendapatnya dalam proses penuntutan, penjatuhan pidana dan pelepasan bersyarat terdakwa atau pelaku tindak pidana dimana saksi menjadi korbannya (victim opinion

statement). Hak ini bukan untuk mempengaruhi putusan-putusan yang akan diambil oleh

pihak yang berwenang tetapi lebih pada pertimbangan keadilan terhadap korban untuk mengungkapkan pendapatnya atas keputusan-keputusan dalam proses peradilan dimana dirinya menjadi korban.17 Saksi korban yang mengalami penderitaan secara fisik dan psikologis yang berat berhak mendapatkan bantuan medis dan rehabilitasi psiko sosial yang sifatnya segera.

Saksi Korban memiliki hak atas kompensasi (hanya dalam perkara tindak pidana dengan kekerasan dan pelangaran HAM yang berat), hak atas restitusi atau ganti kerugian dan hak atas rehabilitasi. Namun hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi hanya dapat diberikan apabila saksi korban baik secara sendiri-sendiri, melalui kuasa hukumnya atau melalui Lembaga Perlindungan Saksi mengajukan ke pengadilan dan disetujui melalui keputusan pengadilan.

Hak-hak saksi dalam kondisi khusus lainnya diberikan kepada saksi yang juga merupakan terdakwa lainnya dalam perkara yang sama. Hak yang dapat dimintakan adalah mendapatkan pengurangan hukuman karena telah mau dan bekerja sama untuk memberikan kesaksian sehingga tindak pidana terdakwa lainnya dapat terbongkar. Kesaksian yang diberikan oleh saksi ini adalah kesaksian kunci dimana mustahil tanpa adanya keterangan dari saksi akan membuktikan kesalahan terdakwa. Ketentuan mengenai hak pengurangan hukuman ini hanya dapat diberikan dalam perkara atau tindak pidana yang merupakan kejahatan yang berdampak luas pada masyarakat, kejahatan yang dilakukan dengan terorganisir dan pelanggaran HAM yang berat.

Ketentuan tentang hak-hak kepada saksi ini merupakan hak-hak yang termasuk dalam hak-hak yang merupakan prosedur atau proses peradilan dan hak-hak untuk jaminan keselamatan saksi dan juga hak-hak untuk kebutuhan khusus saksi yang sifatnya pemenuhan atas langkah-lankah tertentu untuk saksi dalam kondisi khusus. Pengaturan seperti ini mempunyai konsekuensi bahwa pelaksanaan pemberian perlindungan akan dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undangnya. Dengan pengaturan seperti ini ada beberapa hal yang akan dicapai yaitu kelancaran pelaksanaan pekerjaan pihak penegak hukum karena adanya saksi yang memberikan keterangan disebabkan ada jaminan hukum dan yang lebih penting adalah

16

Bandingkan model pemeriksaan atau pemberian kesaksian secara khusus ini dengan ketentuan dalam KUHAP. Hukum acara pidana menyatakan bahwa yang bisa dijadikan alat bukti yang sah adalah keterangan saksi yang diucapkan dimuka persidangan atau keterangan saksi yang dibacakan dimuka persidangan yang telah disumpah terlebih dahulu. Kesaksian melalui teleconference meskipun belum diatur dalam hukum acara pidana tetapi dalam prakteknya telah beberapa kali digunakan dalam kasus korupsi dan pengadilan HAM ad hoc.

17

Dalam United Nation Conggress on the Prevention of Crime and The Treatment of Offenders ke VII yang temanya adalah pencegahan kejahatan untuk kebebasan, keadilan, kedamaian dan pembangunan salah satu topik yang dibahas secara mendalam adalah masalah korban kejahatan. Dalam konggres itu dihasilkan semacam draft deklarasi yang didalamnya memuat rekomendasi agar korban kejahatan diberi hak to be present and to be heard at all

critical stage of judicial proceeding. Rekomendasi semacam ini juga terdapat dalam U.S. Presidential Task Force on Victims of Crimes (USA, 19983). Lihat Muladi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 85.

(7)

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

perlindungan yang berorientasi pada saksi sebagai pihak yang harus dilindungi dan bukan pihak yang hanya digunakan untuk kepentingan pembuktian semata.18

Pemberian hak-hak kepada saksi dalam kondisi khusus adalah dalam rangka untuk mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan khusus saksi selama memberikan keterangan. Tidak ada pengaturan secara spesifik dalam hukum acara yang berlaku seperti bagaimana pihak-pihak yang dalam kondisi khusus - misalnya manusia lanjut usia - dapat memperoleh hak-hak tertentu ketika memberikan kesaksian. Beberapa pengalaman dalam proses peradilan juga memberikan gambaran bahwa saksi-saksi dalam kondisi khusus tersebut tidak diperlakukan secara berbeda sehingga menimbulkan ketidaknyamanan kepada saksi.19

4. Tanggung Jawab Pemerintah dalam Perlindungan Saksi

Ketentuan mengenai tanggung jawab pemerintah adalah jaminan atas terlaksananya perlindungan terhadap saksi dalam hal ini adalah kewajiban-kewajiban pemerintah yang berkaitan dengan pemenuhan atas kebutuhan-kebutuhan bagi perlindungan saksi. Pemerintah berkewajiban untuk melakukan langkah-langkah yang menjamin terlaksananya hak saksi, yaitu memastikan agar hak saksi dipenuhi terutama berkait dengan hak-hak saksi selama memberikan keterangan, menyediakan anggaran yang cukup untuk mendukung program perlindungan saksi, menyiapkan sumber daya manusia untuk mendukung perlindungan saksi dan menyiapkan fasilitas yang diperlukan untuk perlindungan terhadap saksi.

Berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang ini, pemerintah mempunyai kewajiban untuk mendirikan Lembaga Perlindungan Saksi dan menjamin hak masyarakat untuk berperan serta dalam memberikan perlindungan kepada saksi. Aparat penegak hukum juga mempunyai kewajiban untuk menjalankan ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap saksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pengaturan yang mewajibkan aparat penegak hukum ini berkaitan dengan pelaksanaan hukum acara yang penerapannya sangat bergantung pada tindakan-tindakan aparat penegak hukum dalam setiap tingkatan proses peradilan.

Seperti disebutkan dalam bagian tentang hak-hak terhadap saksi, baik yang sifatnya umum maupun untuk saksi dalam kondisi khusus, maka pelaksanaan dari hak-hak tersebut akan melibatkan banyak institusi dengan kewenangannya masing-masing. Ketentuan dalam undang-undang ini lebih menegaskan kembali tentang tugas dan kewenangan instansi negara dan lembaga pemerintah dalam menjalankan ketentuan undang-undang berkenaan dengan perlindungan saksi. Ketentuan tentang tanggung jawab pemerintah ini juga akan menjadi ketentuan yang menguatkan jaminan atas berlakunya undang-undang ini atau terpenuhinya perlindungan terhadap saksi.20

5. Lembaga Perlindungan Saksi

a. Kedudukan Lembaga Perlindungan Saksi

Lembaga Perlindungan Saksi adalah lembaga yang mandiri dalam arti bukan lembaga di bawah departemen atau badan negara tertentu yang sudah terbentuk

18 Pandangan seperti ini juga dinyatakan oleh Rudy Satriyo M, Komentar terhadap RUU Perlindungan Saksi

dan Korban, dalam seminar “Sosialisasi RUU Tentang Perlindungan Saksi dan Korban”, Departemen Kehakiman dan

HAM RI Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Jakarta, 12 November 2003.

19

Pengalaman Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM yang berat di Timor-timur menunjukkan bahwa beberapa kali ada saksi yang tergolong manusia lanjut usia dihadirkan sebagai saksi ahli. Tidak ada perlakuan khusus kepada saksi ini terutama untuk menjamin bahwa saksi mendengarkan pertanyaan secara jelas dan kebutuhan-kebutuhan khusus saksi lainnya. Jangka waktu pemeriksaan kepada saksi ini tidak mengacu pada usia saksi dan hanya berdasarkan atas kebutuhan para pihak untuk mengajukan kesaksian, saksi seringkali merasa kelelahan dan kondisi ini tidak pernah menjadi perhatian oleh majelis hakim.

20

Selama perumusan bab tentang tanggung jawab pemerintah ini terjadi perdebatan panjang mengingat apakah ketentuan seperti ini perlu dimasukkan karena setiap ketentuan dalam pasal secara otomatis akan memberikan kewajiban atau hak-hak tertentu kepada pihak yang diatur.

(8)

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

sebelumnya. Lembaga Perlindungan Saksi bersifat sementara21 dan menjalankan tugas dan wewenangnya dalan jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak lembaga ini berdiri. Lembaga ini berkedudukan di ibukota negara dan dapat membentuk perwakilan di ibukota provinsi atau di daerah lainnya jika anggap perlu oleh Lembaga Perlindungan Saksi itu sendiri. Lembaga bertanggung jawab kepada presiden dan membuat laporan pertanggungjawaban secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam 1 (satu) tahun kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Lembaga Perlindungan Saksi yang bersifat mandiri akhirnya menjadi pilihan setelah melihat berbagai masukan dan rekomendasi yang memandang bahwa perlindungan saksi ini akan lebih efektif jika diberikan kepada sebuah badan atau lembaga yang secara spesifik mempunyai tugas khusus. Penelusuran dalam melihat beberapa RUU Perlindungan Saksi yang ada (pemerintah, DPR RI, Sentra HAM UI-ICW) menyatakan bahwa kesemuanya merekomendasikan untuk dibentuknya lembaga yang khusus menangani perlindungan saksi.

Argumentasi perlunya lembaga yang sifatnya mandiri ini berkaitan kenyataan bahwa perlindungan terhadap saksi selama ini dilakukan secara parsial yang mengakibatkan perlindungan tidak tertangani secara maksimal. Lembaga perlindungan yang mandiri ini juga berkaitan untuk pemberian jaminan atas perlindungan saksi terutama dalam kasus-kasus yang ternyata pelakunya adalah aparat atau pejabat negara (kasus-kasus korupsi dan pelanggaran HAM berat) termasuk kekerasan yang dilakukan oleh negara (state violence).22

b. Tugas dan Kewenangan

Karena sifatnya yang sementara, tugas pertama Lembaga Perlindungan Saksi adalah mempersiapkan unit khusus perlindungan saksi di bawah Kepolisian Republik Indonesia dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun. Tugas utama lainya adalah menerima permohonan dan memberikan perlindungan kepada saksi atau pihak/orang lain yang terkait dengan saksi, melaksanakan tugas administratif menyangkut perlindungan saksi, melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang, melakukan pengumpulan data dalam rangka melaksanakan program perlindungan saksi, melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas perlindungan saksi, mensosialisasikan perlunya perlindungan saksi dan menyusun laporan tahunan dan menyampaikan kepada Presiden dan DPR.

Berdasarkan tugasnya, Lembaga Perlindungan Saksi memiliki kewenangan dalam menetapkan langkah-langkah dan tata cara tentang pembentukan unit khusus perlindungan saksi di bawah Kepolisian Republik Indonesia, menetapkan langkah dan tata cara penerapan undang-undang ini dijalankan oleh kantor perwakilannya, membuat perjanjian tentang perlindungan saksi dan perjanjian dengan orang-orang atau institusi lain dalam hal kewenangan untuk penggunaan fasilitas milik departemen lainnya dan menentukan langkah-langkah dalam hal terlaksananya undang-undang ini. Lembaga perlindungan saksi juga mempunyai kewenangan memerintahkan instansi lainnya untuk melakukan perlindungan saksi, menunjuk tempat-tempat yang akan difungsikan sebagai tempat aman, mendapatkan akses atas informasi dan dokumen dalam rangka perlindungan saksi dan meminta informasi kepada instansi terkait mengenai perkembangan perkara dimana lembaga perlindungan saksi terlibat dalam melindungi seorang saksi.

Mengenai tugas dan kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi ini dikonstruksi hanya untuk memberikan perlindungan kepada saksi dan jenis-jenis tindak pidana yang telah disebutkan. Pilihan ini untuk lebih memfokuskan pada kinerja Lembaga Perlindungan Saksi nantinya sehingga lingkup kewenangan akan lebih fokus dan

21

Pada akhirnya lembaga yang memiliki tugas dan wewenang dalam memberikan perlindungan terhadap saksi adalah Kepolisian Republik Indonesia .

22

Pandangan ini sejalan dengan pendapat Andrianus Meliala yang menyatakan jika pelakunya adalah aparat negara dan saksi takut maka seharusnya model lembaga perlidungan saksi adalah lermbaga yang mandiri. Focus

(9)

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

spesifik. Meskipun perlindungan kepada saksi oleh Lembaga Perlindungan Saksi telah ditentukan dalam hal kejahatan-kejahatan tertentu tetapi ada ketentuan yang memberikan kewenangan kepada Lembaga Perlindungan Saksi untuk dapat memberikan perlindungan kepada saksi dalam kaitan adanya urgensi atau kondisi yang nyata bahwa saksi akan mendapatkan ancaman atau tekanan berkenaan dengan keterangannya dalam sebuah perkara.23

Lembaga Perlindungan Saksi jika dilihat dalam ketentuan yang mengatur tentang tugas dan kewenangannya mempunyai beberapa fungsi yaitu pelaksanaan perlindungan, fungsi pembuatan kebijakan perlindungan dan kebijakan internal lembaga, dan fungsi pemantauan atau pengawasan. Dalam fungsi pelaksanaan perlindungan terhadap saksi maka Lembaga Perlindungan Saksi mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian, koordinasi dengan lembaga lainnya dan memutuskan bentuk perlindungan dan jangka waktu perlindungan kepada saksi. Perdebatan berkaitan dengan fungsi dalam Lembaga Perlindungan Saksi adalah dengan sedemikian banyak fungsi ini apakah akan dipisah kedalam beberapa lembaga atau dalam satu lembaga.24 Pilihan terhadap permasalahan kewenangan adalah dengan memberikan kewenangan yang cukup luas untuk Lembaga Perlindungan Saksi dalam melakukan perlindungan. Ada beberapa hal yang memang tidak bisa dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi-misalnya mengganti identitas atau relokasi- tetapi lembaga ini diberikan kewenangan untuk memerintahkan atau memberikan mandat kepada pihak lain untuk melaksanakan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dalam rangka perlindungan kepada saksi.

c. Keanggotaan, Pemilihan Anggota dan Pemberhentian sebagai Anggota

Anggota Lembaga Perlindungan Saksi terdiri dari 7 (tujuh) orang anggota yang berasal dari unsur masyarakat 4 (empat) orang dan dari unsur pemerintah 3 (tiga) orang. Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dari unsur pemerintah terdiri dari kepolisian, kejaksaan dan departemen kehakiman dan hak asasi manusia yang prosedur pemilihannya ditentukan dengan ditunjuk oleh pimpinan instansi yang bersangkutan.

Sedangkan keanggotaan yang berasal dari unsur masyarakat dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang mekanismenya diatur tersendiri oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan syarat dilakukan secara transparan dan melibatkan partisipasi masyarakat. Untuk dapat menjadi anggota Lembaga Perlindungan Saksi harus memenuhi syarat-syarat tertentu sedangkan masa jabatan untuk menjadi anggota Lembaga Perlindungan Saksi adalah 5 (lima) tahun dan dapat dilipih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.

Pemberhentian sebagai anggota Lembaga Perlindungan Saksi terjadi karena anggota tersebut telah meninggal dunia, berakhir masa jabatannya, menjadi tersangka karena melakukan tindak pidana, berhalangan tetap atau secara terus menerus selama lebih dari 3 (tiga) bulan tidak dapat melaksanakan tugasnya, mengundurkan diri atau dikenai sanksi pidana. Apabila terdapat anggota yang berhenti atau diberhentikan maka mekanisme penggantian anggota Lembaga Perlindungan Saksi dilakukan sama dengan mekanisme sebelumnya.

Dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dibantu oleh staf Lembaga Perlindungan Saksi yang karena keahliannya diangkat sebagai staf Lembaga Perlindungan Saksi. Keahlian-keahlian tersebut di antaranya yaitu keahlian yang berkaitan dengan perlindungan dan keamanan saksi, keahlian yang berhubungan dengan hukum dan administrasi,

23

Lihat pasal 20 huruf m dalam RUU Perlindungan Saksi.

24

Dalam focus group discussion juga diperdebatkan tentang fungsi lembaga perlindungan saksi akan menjadi lembaga yang sangat besar atau ada distribusi fungsi dan kewenangan dengan lembaga lainnya. Beberapa pihak dalam peserta diskusi menyetakan bahwa fungsi lembaga perlindungan saksi tidak perlu terlalau lebar karena akan terkait dengan isu pendanaan.

(10)

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

keahlian dalam masalah anak-anak yang mengalami trauma, masalah orang tua atau manusia lanjut usia, masalah orang cacat atau tidak mampu melakukan hal-hal yang tidak mampu saksi lakukan, masalah jender, pluralisme, dan keahlian penafsiran (interpretasi) dan penerjemahan. Syarat dan tata cara pengangkatan staf Lembaga Perlindungan Saksi diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.

d. Pimpinan Lembaga dan Mekanisme Pengambilan Keputusan

Pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi adalah seorang ketua dan seorang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Lembaga Perlindungan Saksi. Dalam pengambilan keputusan mengenai sesuatu hal, mekanisme pengambilan keputusan dilakukan secara musyawarah mufakat dan dalam hal pengambilan keputusan dengan cara musyawarah mufakat itu tidak tercapai maka keputusan dilakukan dengan cara pemungutan suara terbanyak.

e. Hubungan Lembaga Perlindungan Saksi dengan Instansi Pemerintah Lainnya dan Masyarakat

Lembaga Perlindungan Saksi dalam menjalankan tugas dan kewenangannya harus dibantu oleh lembaga negara atau instansi pemerintah seperti Kejaksaan Agung, Kepolisian, Departemen Kehakiman dan HAM dan lembaga atau instansi negara lainnya. Lembaga Perlindungan Saksi juga dapat dibantu oleh orang-orang atau pihak-pihak atau institusi publik (organisasi non pemerintah) yang dapat membantu pelayanan atau perlindungan terhadap saksi. Sedangkan tata cara atau bagaimana hubungan antara lembaga Perlindungan Saksi dengan lembaga-lembaga lainnya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Adanya ketentuan hubungan ini untuk menjamin bahwa perlindungan terhadap saksi akan dapat dilaksanakan secara maksimal dan bukan hanya merupakan tugas dan tanggung jawab Lembaga Perlindungan Saksi tetapi juga merupakan sebuah sistem dimana semua pihak terlibat. Ketentuan ini juga bertujuan untuk menghindari adanya lepas tanggung jawab antar lembaga yang berkompeten terhadap persoalan perlindungan saksi. Masyarakat juga dapat diberi akses untuk melakukan upaya perlindungan terhadap saksi mengingat saat ini upaya-upaya perlindungan terhadap saksi telah banyak dilakukan dan merupakan inisiatif masyarakat sehingga dengan adanya Lembaga Perlindungan Saksi tidak menjadikan persoalan perlindungan terhadap saksi ini menjadi tanggung jawab dan kewenangan mutlak Lembaga Perlindungan Saksi. Masyarakat dapat secara penuh melakukan upaya perlindungan terhadap saksi (lihat bagian peran serta masyarakat).

f. Pembiayaan

Anggaran pembiayaan Lembaga Perlindungan Saksi diperoleh dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan bantuan dari masyarakat yang tidak mengikat, baik dari luar negeri maupun dalam negeri. Tidak ada perbedaan yang cukup penting berkaitan dengan ketentuan mengenai pembiayaan Lembaga Perlindungan Saksi dan program-program perlindungan yang akan dijalankannya. Meskipun tidak ada peruban atas ketentuan ini tetapi masalah pembiayaan ini menyisakan catatan yang sangat perlu dipertimbangkan. Selama beberapa kali pertemuan dalam membahas Lembaga Perlindungan Saksi tidak pernah lepas dari persoalan anggaran yang akan dikeluarkan untuk pelaksanaan program perlindungan saksi.

Perdebatan pertama adalah berkenaan dengan sumber anggaran yang memungkinkan bantuan masyarakat yang tidak mengikat dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Ketentuan bahwa bantuan ini tidak mengikat ditujukan untuk menjaga independensi lembaga dari intervensi pihak lain dikaitkan dengan pemberian bantuan.

Masalah lain yang menjadi persoalan adalah besarnya biaya yang akan dialokosikan untuk pembiayaan program perlindungan saksi ini di tengah keadaan kesulitan ekonomi oleh negara. Pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi sendiri

(11)

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

akan menyedot banyak anggaran negara. Dengan wacana ini, beberapa pendapat menyatakan bahwa negara memang harus mengalokasikan untuk adanya biaya-biaya keadilan seperti ini, karena merupakan kewajiban negara. Jalan tengah dari problem anggaran untuk Lembaga Perlindungan Saksi adalah dengan meniadakan beberapa tugas dan kewenangan dari Lembaga Perlindungan Saksi misalnya kewenangan untuk melakukan sosialiasi dan pendidikan mengenai perlindungan saksi.25

6. Tata Cara Pemberian Perlindungan

Tata cara pemberian perlindungan saksi ini merupakan mekanisme atau proses ke arah pemberian perlindungan sehingga saksi merupakan pihak yang akan dilindungi oleh Lembaga Perlindungan Saksi. Tata cara ini berkaitan dengan prosedur permohonan perlindungan yang dilanjutkan dengan penilaian kelayakan dan keputusan tentang dapat dikabulkannya sebuah permohonan untuk perlindungan terhadap saksi. Mekanisme atau tata cara juga meliputi pengaturan tentang pemberian bantuan yang sifatnya segera, proses dan syarat mengenai perjanjian perlindungan dan perlindungan sementara sampai dengan penghentian program perlindungan terhadap saksi.

Pengaturan secara detail mengenai tata cara perlindungan ini bertujuan untuk memberikan jaminan kepada saksi yang memohonkan perlindungan dan Lembaga Perlindungan Saksi sendiri sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan permohonan. Tujuan lainnya adalah sebagai pijakan bagi Lembaga Perlindungan Saksi untuk melakukan proses perlindungan kepada saksi dengan mekanisme dan tata cara yang jelas, lengkap dan pasti. Beberapa ketentuan menunjukkan bahwa perlindungan terhadap saksi harus berdasarkan alasan-alasan yang obyektif dan keputusan atas pemberian perlindungan tersebut dengan beradasarkan alasan-alasan yang cukup, demikian pula dengan alasan penghentian atau ditolaknya permohonan perlindungan kepada saksi. Mekanisme dan prosedur perlindungan terhadap saksi oleh Lembaga Perlindungan Saksi akan diuraikan di bawah ini :

a. Permohonan Perlindungan

Syarat untuk mengajukan permohonan adalah adanya cukup alasan atau keyakinan dari saksi bahwa keselamatannya atau keselamatan orang lain yang terkait dengannya sedang dalam keadaan terancam karena kesaksiannya. Permohonan perlindungan itu disampaikan tidak hanya kepada Lembaga Perlindungan Saksi tetapi bisa disampaikan kepada pihak-pihak yang berwenang lainnya berdasarkan keadaan saksi saat itu yang memungkinkan bagi saksi untuk mengajukan permohonan perlindungan. Permohonan perlindungan itu juga dapat dilakukan oleh orang lain yang merasa yakin bahwa seorang saksi atau orang yang terkait dengan saksi sedang dalam ancaman.

Saksi yang belum dewasa dapat mengajukan permohonan perlindungan

melalui orang tuanya, wali atau pendamping saksi tetapi permohonan tersebut juga dapat dilakukan oleh saksi yang belum dewasa tersebut jika dalam kondisi-kondisi tertentu. Kondisi tersebut adalah saksi justru berhadapan dengan orang tua atau walinya tersebut berkedudukan sebagai tersangka, saksi tidak memiliki orang tua atau wali, orang tua atau walinya tidak dikenal, orang tua atau walinya tidak jelas tidak bersedia atau tidak mampu memberikan perlindungan dan Lembaga Perlindungan Saksi menganggap bahwa langkah tersebut dilakukan demi perlindungan terhadap anak.

Para pihak yang mendapatkan pengaduan permohonan perlindungan saksi harus membuat laporan secara tertulis dan menyampaikan kepada Lembaga Perlindungan Saksi. Laporan tersebut harus memuat tentang konfirmasi bahwa orang yang memohon perlindungan tersebut adalah seorang saksi, rekomendasi yang

25

Dalam Draft sebelumnya terdapat kewajiban bagi lembaga perlindungan saksi untuk melakukan pendidikan tentang pentingnya perlindungan saksi yang ditanggapi sebagai sesuatu yang “asking too much”. Pandangan ini mengemuka dalam diskusi terbatas dengan ahli pada tanggal 22 April 2003.

(12)

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

menguatkan bahwa orang tersebut layak mendapatkan perlindungan dan hal lain perlu dicantumkan untuk diperhitungkan dalam pengambilan keputusan.

b. Penilaian Kelayakan dan Keputusan

Setelah mendapatkan permohonan perlindungan, Lembaga Perlindungan Saksi wajib melakukan pemeriksaan dan mempertimbangkan kelayakan suatu permohonan perlindungan. Dalam memeriksa kelayakan, Lembaga Perlindungan Saksi harus mempertimbangkan sifat dan besarnya resiko atas keselamatan saksi dan orang lain yang terkait dengan saksi, bahaya yang mungkin menimpa komunitas/masyarakat jika saksi atau pihak yang terkait dengan saksi tidak ditempatkan dalam perlindungan, sifat dari persidangan dimana saksi telah atau sedang atau mungkin akan diminta memberi kesaksian, jika kasusnya memungkinkan. Pertimbangan lainnya adalah mengenai arti penting, relevansi dan sifat dari bukti yang telah atau akan diungkapan oleh saksi dalam persidangan tersebut, apakah saksi atau orang terkait akan mampu menyesuaikan diri dengan perlindungan, dengan mempertimbangkan ciri-ciri pribadi, lingkungan dan relasi-relasi keluarga dan lainnya yang dimiliki saksi atau orang terkait, biaya yang kiranya dibutuhkan untuk perlindungan saksi atau orang terkait lainnya, kemungkinan cara lain melindungi saksi atau orang terkait tanpa merujuk pada ketentuan-ketentuan undang-undang ini, dan faktor-faktor lain yang dianggap penting oleh Lembaga Perlindungan Saksi.

Lembaga Perlindungan Saksi harus segera mengeluarkan surat mengenai keputusan tentang diterima atau ditolaknya permohonan perlindungan paling lambat 7 (tujuh) hari atau sebelum berakhirnya masa perlindungan sementara. Jika Lembaga Perlindungan Saksi memutuskan untuk penempatan seseorang dalam perlindungan maka Lembaga Perlindungan Saksi dapat membuat rekomendasi menyangkut sifat perlindungan, jangka waktu perlindungan dan faktor-faktor khusus lain yang harus diperhatikan dalam penempatan saksi dalam perlindungan, akan tetapi jika menolak permohonan perlindungan maka Lembaga Perlindungan Saksi harus memberitahu alasan-alasan yang mendasari penolakan tersebut.

c. Perjanjian Perlindungan

Rekomendasi yang dikeluarkan oleh Lembaga Perlindungan Saksi berisi keputusan tentang dapat diterimanya permohonan dan keadaan saksi benar-benar memerlukan perlindungan maka pihak yang akan dilindungi diminta oleh Lembaga Perlindungan Saksi untuk menandatangani perjanjian perlindungan. Surat perjanjian perlindungan ini ditandatangani antara Lembaga Perlindungan Saksi dengan saksi atau orang yang terkait dengan saksi.

Isi surat perjanjian tersebut harus mencakup kesediaan saksi dan orang lain yang terkait dengan saksi untuk mentaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya, kesediaan saksi dan orang lain yang terkait dengan saksi untuk tidak berhubungan dengan cara apapun dengan orang lain selain atas persetujuan Lembaga Perlindungan Saksi selama saksi berada dalam perlindungan lembaga ini, kesediaan saksi untuk tidak memberitahukan kepada siapapun mengenai keberadaannya di bawah Lembaga Perlindungan Saksi dan kewajiban Lembaga Perlindungan Saksi untuk memberikan perlindungan sepenuhnya pada saksi, termasuk orang lain yang terkait dengan saksi.

d. Perlindungan Sementara

Perlindungan sementara dapat diakukan dalam kondisi keselamatan saksi dalam ancaman yang membahayakan, sementara proses permohonan belum dapat dilakukan atau belum adanya keputusan dari Lembaga Perlindungan Saksi untuk menolak atau menerima permohonan perlindungan terhadap saksi. Perlindungan sementara ini dapat dilakukan jika saksi menyetujui dan lamanya tidak lebih dari 14 (empat belas) hari. Perlindungan sementara tidak boleh dilakukan terhadap anak-anak

(13)

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

tanpa persetujuan orang tuanya atau wali kecuali jika Lembaga Perlindungan Saksi berpendapat bahwa terdapat keadaaan-keadaan khusus yang membolehkan.

Lembaga Perlindungan Saksi dapat membuat perjanjian perlindungan saksi sementara dengan orang yang meminta perlindungan dan setelah ada perjanjian perlindungan sementara maka selanjutnya Lembaga Perlindungan Saksi harus mempertimbangkan apakah akan memasukkan orang tersebut kedalam program perlindungan. Jika Lembaga Perlindungan Saksi memutuskan untuk mengikutsertakan orang tersebut dalam program perlindungan saksi maka Lembaga Perlindungan Saksi harus membuat perjanjian perlindungan untuk menggantikan perjanjian perlindungan sementara. Lembaga Perlindungan Saksi dalam hal tidak merekomendasikan untuk mengikutsertakan orang tersebut daam perlindungan saksi, maka pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi harus mengakhiri program perlindungan sementara berdasarkan perjanjian perlindungan dengan menyampaikan pemberitahuan kepada orang tersebut.

e. Perubahan Perjanjian Perlindungan

Perjanjian perlindungan, termasuk perjanjian perlindungan sementara, boleh diubah lewat suatu perjanjian perubahan antara Lembaga Perlindungan Saksi dengan saksi yang dilindungi yang sudah terikat dalam perjanjian. Perjanjian perubahan tersebut tidak boleh menghapuskan syarat-syarat mutlak yang sudah ada dalam perjanjian perlindungan.

Sebelum melakukan perubahan perjanjian, ketua Lembaga Perlindungan Saksi harus menyampaikan pemberitahuan kepada saksi yang dilindungi tersebut tentang perubahan yang diusulkan beserta alasannya. Perubahan perjanjian harus memberikan kesempatan yang cukup kepada saksi yang dilindungi untuk menanggapi perubahan yang diusulkan. Setelah melalui pertimbangan tetapi perubahan perjanjian tetap dilakukan maka ketua Lembaga Perlindungan Saksi menyampaikan pemberitahuan kepada saksi yang dilindungi. Perubahan perlindungan tidak boleh menghapuskan syarat-syarat mutlak yang harus ada dalam perlindungan saksi.

f. Berakhirnya Perlindungan

Lembaga Perlindungan Saksi mempunyai kewenangan untuk menangguhkan perjanjian perlindungan jika Lembaga melihat bahwa saksi telah melakukan atau bermaksud melakukan sesuatu yang tidak pantas untuk dilindungi. Penangguhan ini dapat dilakukan dalam batas waktu tertentu dengan menyampaikan kepada saksi yang dilindungi.

Saksi yang dilindungi oleh Lembaga Perlindungan Saksi dapat mengajukan pengunduran diri dari program perlindungan dengan menyampaikan pemberitahuan secara lisan kepada pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi yang kemudian dibuatkan pemberitahun secara tertulis. Lembaga Perlindungan Saksi harus mempunyai keyakinan atau memastikan bahwa pengunduran diri dari program perlindungan adalah benar-benar atas kemauan dan keinginan saksi.

Lembaga Perlindungan Saksi dapat melakukan penghentian perlindungan berdasarkan alasan-alasan yaitu atas permintaan saksi, saksi melanggar ketentuan dalam perjanjian, saksi melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam perjanjian, saksi yang dilindungi telah melanggar suatu syarat yang bisa mengakhiri perlindungan tanpa alasan yang masuk akal dan pelanggaran itu bersifat mendasar, saksi yang dilindungi telah menghentikan atau menolak bantuan yang diberikan kepadanya, orang yang dilindungi tidak selayaknya lagi diikutsertakan dalam program perlindungan, termasuk Lembaga Perlindungan Saksi berpendapat bahwa saksi tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan, saksi meninggal dunia, ada cara lain yang cukup memuaskan untuk melindungi orang tersebut sudah ada atau orang tersebut dengan sadar telah menyebabkan kerusakan serius di tempat aman dimana ia dilindungi atau terhadap suatu barang di tempat itu.

Lembaga Perlindungan Saksi harus melakukan langkah-langkah tertentu sebelum mengakhiri perlindungan dan memberitahukan penghentian perlindungan

(14)

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

kepada pihak yang dilindungi serta memberikan kesempatan kepada pihak yang dilindungi untuk menyampaikan pendapat. Penghentian perlindungan keamanan harus diberikan secara tertulis yang berisikan atas alasan mengakhiri perlindungan dan kapan perlindungan akan berakhir. Jika saksi keberatan atas pengentian perlindungan maka dapat melakukan gugatan kepada pengadilan setempat. Saksi yang menerima penghentian perlindungan tetap dilindungi sampai berakhirnya masa perlindungan sesuai dengan perjanjian perlindungan.

Ketua Lembaga Perlindungan Saksi mempunyai kewenangan untuk terus melakukan perlindungan kepada saksi jika dianggapnya perlu dan saksi masih terancam keselamatannya. Perlindungn lanjutan ini dapat diberikan meskipun persidangan telah berakhir.

7. Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Saksi

Masyarakat baik perorangan maupun kelompok mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam perlindungan kepada saksi. Hak ini dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, di antaranya hak untuk mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya pelanggaran terhadap hak-hak saksi, hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada pejabat yang berwenang atau kepada Lembaga Perlindungan Saksi. Dalam pelaksaan hak-hak untuk berpartisipasi ini juga terdapat hak untuk mendapatkan perlindungan hukum.

Masyarakat dapat melakukan perlindungan kepada saksi yang mendapat ancaman dan dalam rangka pemberian perlindungan ini dapat bekerja sama dengan pejabat yang berwenang dan atau Lembaga Perlindungan Saksi. Masyarakat juga mempunyai hak untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan pemberian perlindungan kepada saksi yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang atau Lembaga Perlindungan Saksi. Hak untuk mengawasi kinerja perlindungan terhadap saksi ini juga diimbangi dengan adanya hak untuk melakukan gugatan kepada pejabat yang berwenang atau Lembaga Perlindungan Saksi jika terjadi ketidakmauan atau kelalaian sehingga menyebabkan saksi tidak mendapatkan perlindungan.

Ketentuan mengenai peran serta masyarakat ini berkaitan dengan kenyataan bahwa selama ini program-program perlindungan kepada saksi –terutama saksi korban – telah lama dijalankan oleh kelompok-kelompok masyarakat. Dengan adanya ketentuan atau undang-undang tentang perlindungan saksi tidak akan menghapuskan langkah-langkah atau upaya yang dilakukan oleh masyarakat untuk melakukan perlindungan terhadap saksi. Individu atau kelompok masyarakat mempunyai hak untuk melakukan perlindungan kepada saksi.

Dalam ketentuan sebelumnya, kelompok masyarakat dapat bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi untuk melakukan perlindungan terhadap saksi. Kerja sama ini bukan dalam lingkup koordinasi antara Lembaga Perlindungan Saksi dengan intansi pemerintah lainnya tetapi berdasarkan atas adanya kebutuhan tertentu untuk perlu diadakan kerja sama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan masyarakat yang melakukan perlindungan.

8. Ketentuan Pidana

Ketentuan pidana memuat ancaman pidana penjara dan atau denda bagi setiap orang yang memaksakan kehendaknya atau menghalang-halangi dengan cara apapun, agar saksi tidak memberikan kesaksian. Terhadap setiap orang yang menyebabkan saksi kehilangan pekerjaan atau dikurangi hak-haknya, karena saksi memberikan kesaksian yang benar dalam proses pidana maka orang tersebut dapat diancam pidana penjara dan atau denda. Ancaman pidana juga diberikan kepada setiap orang yang memberitahukan keberadaan saksi yang tengah dilindungi dalam tempat khusus dan dirahasiakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi. Dalam RUU Perlindungan Saksi juga diatur mengenai ancaman pidana penjara dan atau denda minimal (paling sedikit sembilan bulan dan atau denda Rp. 100 juta) untuk memberikan efek jera dan menghindari diberikannya sanksi yang

(15)

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

ringan kepada pihak/orang yang memaksakan kehendak atau menghalang-halangi sehingga saksi tidak mendapatkan perlindungan atau memberikan kesaksiannya26. Sedangkan ancaman maskimal yang diatur dalam UU ini adalah 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500 juta. Ancaman tersebut diperberat sepertiganya jika perbuatan tersebut dilakukan oleh pejabat publik.

9. Ketentuan Peralihan

Jangka waktu pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi paling lambat satu tahun setelah ketentuan ini berlaku. Ketentuan ini juga berlaku bagi saksi yang tengah menjalani proses pidana yang belum mendapatkan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap pada saat berlakunya undang-undang ini. Sebelum Lembaga Perlindungan Saksi dapat berjalan secara efektif, maka upaya perlindungan saksi dijalankan sesuai dengan mekanisme yang berlaku.

10. Ketentuan Penutup

Ketentuan ini menyebutkan saat mulai diberlakukannya undang-undang ini.

26

Ketentuan ancaman pidana penjara minimal juga diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001).

Referensi

Dokumen terkait

Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan kunjungan ke alamat yang akan dijadikan calon partisipan sesuai dengan kriteria inklusi, berdasarkan informasi dari Puskesmas

Sistem keamanan ini nantinya dapat memberikan sebuah peringatan berupa bel alarm jika didalam ruangan laboratorium terdapat tindak kejahatan pencurian, sehingga petugas ataupun

Jumlah pendapatan usaha dari jasa telekomunikasi lainnya pada enam bulan pertama tahun 2005 meningkat 76,3% dari Rp 30,0 milyar pada enam bulan pertama tahun 2004 menjadi Rp

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Alex Iskandar sebagai penyidik Kepolisian Resor Kota Pekanbaru bahwa pelaksanaan penyidikan terhadap kasus pencurian arus listrik

Dalam mendukung pemanfaatan sumber daya alam, SMK memiliki beberapa beberapa bidang keahlian yang relevan dengan kebutuhan dunia industri dan sebagai upaya penyiapan keahlian

Sangat banyak masalah – masalah di sekolah terutama pada siswa itu sendiri yang tidak dapat diselesaikan dengan pengajaran oleh guru biasa di sekolah, untuk menyelesaikan masalah

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis kecacatan yang menajadi critical to quality pada pipa baja ASTM A252 dan melakukan analisa

Korelasi antara perlindungan saksi dan upaya pencegahan perusakan hutan, yakni adanya perlindungan hukum terhadap saksi, maka upaya pencegahan perusakan hutan