• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak,"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak, pemeliharaan stamina tubuh, percepatan regenerasi sel dan menjaga sel darah merah (eritrosit) agar tidak mudah pecah. Protein hewani lebih berkualitas daripada nabati karena lebih kaya akan asam amino dan banyak terkandung pada daging, susu dan telur (Setiawan, 2006). Di Indonesia, konsumsi protein hewani pada tahun 2013 mencapai rata-rata 4,32 gram/kapita/hari (Anonim, 2015). Jumlah ini tergolong sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain seperti

40 gram/kapita/hari. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat,

Prancis, Jepang, Kanada, dan Inggris, konsumsi protein hewani masya

80 gram/kapita/hari (Han, 1999).

Daging dan susu merupakan salah satu sumber protein hewani yang cukup banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia dan diproduksi oleh ternak, khususnya sapi. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, perkembangan ekonomi, perubahan gaya hidup, kesadaran gizi, perbaikan tingkat pendidikan, dan laju permintaan daging dan susu secara nasional diduga akan terus meningkat (Delgado et al., 1999). Akan tetapi, pada periode 2001 sampai 2006, populasi sapi turun sebesar 2,8% per tahun (Anonim, 2006). Berita terakhir oleh Esvandi (2013) disebutkan bahwa pada tahun 2013, populasi sapi dan kerbau di Indonesia turun hingga 15,5%. Penurunan populasi ini disebabkan oleh banyak faktor antara lain

(2)

2 teknik inseminasi buatan yang belum sepenuhnya berhasil dan pemotongan sapi betina produktif serta ternak muda (Dwiyanto et al., 2005).

Penurunan populasi sapi berakibat pada perlunya tambahan pasokan sapi (Quirke et al., 2003) untuk pemenuhan kebutuhan pasar sehingga dilakukan impor sapi oleh pemerintah (Siagian, 2008), tetapi kemudian muncul masalah baru. Sapi yang diimpor, baik perah maupun potong berpotensi sebagai sumber penularan penyakit bagi sapi-sapi lainnya. Hal ini karena berdasarkan Permentan No. 85 Tahun 2013 pasal 32 (1), pemeriksaan sapi yang akan masuk Indonesia hanya dilakukan secara visual, palpasi dan auskultasi. Pengujian lebih lanjut dilaksanakan hanya jika ditemukan gejala klinis. Padahal, virus BVD penyebab diare ganas pada sapi merupakan salah satu virus yang dapat menginfeksi tanpa menimbulkan gejala klinis (subklinis).

Bovine viral diarrhea (BVD) atau diare ganas pada sapi merupakan penyakit viral pada sapi yang disebabkan oleh bovine viral diarrhea virus (BVDV) (Paton, 1995). Virus ini termasuk genus pestivirus yang diklasifikasikan sebagai virus RNA famili Flaviviridae (Donis, 1995; OIE, 2008). Berdasarkan genotipe, virus BVD dibagi menjadi BVDV-1 dan BVDV-2, serta sitopatik dan nonsitopatik berdasarkan biotipe. Baik BVDV-1 maupun BVDV-2 memiliki biotipe yang bersifat sitopatik dan nonsitopatik (Tremblay, 1996).

Kemampuan virus terutama jenis NCP-BVDV untuk menembus plasenta sebelum trimester pertama masa kebuntingan dapat menghasilkan anakan yang imunotoleran dan terinfeksi persisten (Kampa et al., 2007). Virus jenis NCP-BVDV inilah yang menyebabkan sapi tidak memperlihatkan gejala klinis

(3)

3 sehingga jika ada sapi impor yang terinfeksi virus ini, akan sangat mungkin lolos pada saat dilakukan pemeriksaan di Indonesia. Masuknya hewan pembawa virus NCP-BVDV ke Indonesia akan berdampak buruk karena hewan tersebut bertindak sebagai sumber penularan virus ke sapi-sapi lainnya. Sapi yang terinfeksi persisten (IP) dapat tetap sehat, terlihat normal dan tumbuh dewasa, tetapi sifat imunotoleran hewan menyebabkan virus dalam tubuhnya dapat terus bereplikasi sepanjang hidupnya. Maka, hewan IP dapat mengeluarkan sejumlah besar virus BVD sehingga menjadi sumber penularan bagi hewan lainnya yang peka (Sandvik, 2005).

Infeksi transplasenta NCP-BVDV cenderung menghasilkan anakan IP, sehingga sapi betina lebih berbahaya daripada jantan. Meskipun demikian, sapi jantan dapat berperan sebagai sumber penularan virus ketika terjadi infeksi akut sehingga virus dapat disebarkan melalui sperma (Brownlie et al., 1987; Nettleton and Entrican, 1995). Infeksi transplasenta juga menjadi penyebab cacat lahir, kawin ulang, abortus, dan mumifikasi fetus (Baker, 1987).

Penyakit Bovine viral diarrhea (BVD) telah mendunia dan merupakan salah satu penyakit yang paling merugikan karena sifat subklinisnya sehingga sering tidak terdeteksi. Tujuh puluh hingga sembilan puluh persen peternakan dunia dilaporkan seropositif terhadap BVD (Smith, 1996). Kasus penyakit BVD pernah terjadi di Balai Inseminasi Buatan dan sapi pembibitan di beberapa daerah di Indonesia, antara lain: Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur dan Barat, Jawa Timur, Riau, Bengkulu, Lampung, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan (Darmadi, 1989).

(4)

4 Adanya hewan IP dalam suatu peternakan dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang besar karena secara tidak langsung berakibat pada terjadinya gangguan reproduksi, hambatan pertumbuhan, penurunan berat badan, kematian (Radostits and Littlejohn, 1988), dan penurunan produksi air susu (Baker, 1987). Lebih parah lagi, jika sapi IP yang sudah terinfeksi NCP-BVDV mengalami superinfeksi oleh CP-BVDV, akan terjadi mucosal disease yang berakibat fatal (Thiel and Moennig, 1994). Oleh karena itu, uji diagnosa untuk identifikasi hewan IP sangat penting agar penyebaran penyakit dapat dicegah. Penelitian ini bertujuan mempelajari adanya infeksi persisten BVDV dan mempelajari metode deteksi dan identifikasi dalam mencari BVDV yang menginfeksi sapi secara persisten.

1.2 Permasalahan

Di Indonesia, infeksi BVDV adalah penyakit paling merugikan bagi para peternak sapi rakyat karena berperan sebagai penyebab penurunan produksi susu dan daging, gangguan reproduksi, supresi sistem kekebalan, dan predisposisi infeksi sekunder bakteri dan virus lain. Virus BVD paling merugikan adalah jenis NCP-BVDV yang dapat menyebabkan infeksi persisten. Pada trimester pertama kebuntingan, jika sapi terinfeksi NCP-BVDV, sistem imun fetus sapi belum berkembang sehingga virus ini mampu memperbanyak diri. Sistem imun fetus menjadi bersifat imunotoleran terhadap BVDV. Maka, pedet tersebut dapat dengan mudah menularkan BVDV pada sapi-sapi lainnya yang peka. Penularan ini harus dicegah. Oleh sebab itu, uji diagnosa untuk deteksi sapi IP perlu

(5)

5 dilaksanakan agar sapi IP dapat diidentifikasi dan dimusnahkan dari kelompoknya.

1.3 Keaslian Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk identifikasi sapi yang terinfeksi secara persisten. Penelitian yang akan dilakukan ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya dan belum pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu. Perbedaan ada pada pemilihan sampel atau dari segi teknis. Sampel yang dipilih adalah sapi-sapi yang berdasarkan sejarah mengalami gangguan reproduksi.

Pada penelitian-penelitian terdahulu di Indonesia, pengujian adanya hewan IP dilakukan hanya berdasarkan uji ELISA terhadap antibodi BVDV, padahal uji ini hanya dapat digunakan untuk perkiraan seroprevalensi pada populasi sapi (Lanyon et al., 2014). Salah satu hasil penelitian Wasito dan Wuryastuti (1997) dengan uji ELISA adalah bahwa sapi-sapi pada ras Friesian Holstein dan peranakan Ongole di beberapa daerah Indonesia seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan DIY dinyatakan seropositif BVDV masing-masing sebesar 34,5% dan 14,5%.

Pengujian dengan ELISA antibodi menjadi tidak spesifik pada sapi yang baru lahir dan yang telah divaksin. Menurut hasil penelitian Lindberg et al. (2001), induk imunokompeten pembawa fetus IP akan membentuk antibodi terhadap virus dalam fetus sehingga pada 2 bulan terakhir masa kebuntingan, level antibodi meningkat secara signifikan (hiperimun). Pedet yang lahir dan menyusu induk ini akan membawa antibodi kolostrum sehingga kemungkinan besar

(6)

6 antibodi yang akan terdeteksi oleh ELISA adalah antibodi maternal, bukan milik pedet itu sendiri. Dengan demikian dapat terjadi hasil false positive. Pada populasi sapi yang telah divaksin, level antibodi yang dapat diukur bergantung pada kealamian vaksin. Vaksin MLV menghasilkan respons imun yang mirip dengan akibat infeksi alami, sedangkan vaksin inaktif menginduksi produksi antibodi terhadap protein struktural virus (Graham et al., 2003). Antibodi yang terbentuk berasal dari vaksin dan bukan dari hewan itu sendiri sehingga sangat mungkin terjadi hasil false positive jika diuji dengan ELISA. Maka, hasil pengujian ELISA antibodi BVDV saja tidak cukup untuk dapat menemukan hewan IP.

Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini terlebih dahulu dilakukan screening dengan ELISA antibodi pada semua sampel serum sapi yang berasal dari Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Jawa Timur. Kurang lebih satu atau dua bulan kemudian, sapi-sapi yang diduga penderita infeksi persisten diambil lagi darahnya dan diuji ulang. Selanjutnya, diagnosis sapi IP dilanjutkan dengan metode ELISA antibodi, antigen capture elisa (ACE) dan reverse-transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) dengan darah sapi sebagai sampel utama.

1.4 Pertanyaan Penelitian

1. Apakah ada sapi yang terinfeksi persisten pada kelompok sapi perah? 2. Bagaimanakah metode deteksi dan identifikasi dalam mencari BVDV

(7)

7 1.5 Tujuan Penelitian

1. Mempelajari adanya infeksi persisten BVDV pada kelompok sapi perah 2. Mempelajari metode deteksi dan identifikasi dalam mencari BVDV yang

menginfeksi sapi secara persisten

1.6 Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat sebagai:

1. Sumber referensi dalam mengidentifikasi sumber penyebaran virus BVD 2. Dasar ilmiah untuk mengatasi penyebaran virus BVD

Referensi

Dokumen terkait

Dari area bisnis yang ada, ditemukan beberapa hal menyangkut permasalahan yang ada, yaitu: (1) Pihak manajemen dalam melakukan perencanaan penjualan dan produksi memperoleh data dari

Hasil uji reliabilitas instrumen variabel motivasi belajar (Y) akan diukur tingkat reliabilitasnya berdasarkan interpretasi reliabilitas yang telah ditentukan pada

Sulistini. Pengelolaan Sarana Pembelajaran IPA di SMP N 1 Jepon Kabupaten Blora. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pedoman Alih Fungsi Sanggar Kegiatan Belajar Menjadi

Dengan hasil penelitian ini dapat dilihat keakuratan diagnostik potong beku, sitologi imprint intraoperasi, dan gambaran USG pada pasien dengan diagnosa tumor ovarium untuk

BILLY TANG ENTERPRISE PT 15944, BATU 7, JALAN BESAR KEPONG 52100 KUALA LUMPUR WILAYAH PERSEKUTUAN CENTRAL EZ JET STATION LOT PT 6559, SECTOR C7/R13, BANDAR BARU WANGSA MAJU 51750

Penelitian ini difokuskan pada karakteristik berupa lirik, laras/ tangganada, lagu serta dongkari/ ornamentasi yang digunakan dalam pupuh Kinanti Kawali dengan pendekatan

Dari hasil perhitungan back testing pada tabel tersebut tampak bahwa nilai LR lebih kecil dari critical value sehingga dapat disimpulkan bahwa model perhitungan OpVaR