• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP HUKUM PERBANKAN DI INDONESIA. A. Pengertian dan Sistem Hukum Perbankan Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP HUKUM PERBANKAN DI INDONESIA. A. Pengertian dan Sistem Hukum Perbankan Indonesia"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP HUKUM PERBANKAN DI INDONESIA

A. Pengertian dan Sistem Hukum Perbankan Indonesia

Pada tanggal 10 November 1998 Pemerintah Republik Indonesia telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan). Kehadiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 ini adalah untuk mengubah/mengganti/menambah beberapa pasal dari Undang-Undang Perbankan Nonor 7 Tahun 1992. Dengan demikian yang berlaku sekarang adalah Undang-undang Perbankan yang lama (Undang-Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992) yaitu terhadap pasal-pasalnya yang belum dirubah, dan Undang-undang Perbankan No. 10 Tahun 1998.

Sebelum melanjutkan pada pembahasan yang lebih intensif, penulis terlebih dahulu ingin menjabarkan mengenai apa yang dimaksud dengan bank dan hukum perbankan.

Dalam sejarah asal mula keberadaan lembaga bank di dunia, kata “bank” berasal dari bahasa Italia yaitu “banca” yang secara terminologi berarti “bence” yang artinya suatu bangku tampat duduk. Hal ini disebabkan pada zaman pertengahan, pihak bankir Italy yang memberikan pinjaman-pinjaman melakukan usahanya tersebut dengan duduk di bangku-bangku di halaman pasar.24

24

A. Abdulrahman, Ensiklopedia Ekonomi keuangan Perdagangan, (Jakarta: Pradya Paramita, 1993), hal. 80.

(2)

Dalam perkembangan dewasa ini, maka istilah “bank” dimaksudkan sebagai:25

“Suatu jenis pranata finansial yang melaksanakan jasa-jasa keuangan yang cukup beraneka ragam, seperti pinjaman, mengedarkan mata uang, mengadakan pengawasan terhadap mata uang, bertindak sebagai tempat penyimpanan bagi benda-benda berharga, membiayai usaha-usaha perusahaan.”

Dalam kamus Webster, “bank” diartikan:26

1. Menerima deposito uang, custody, menerbitkan uang, untuk memberikan pinjaman dan diskonto, memudahkan penukaran fund-fund tertentu dengan cek, notes dan lain-lain, dan juga bank memperoleh keuntungan dengan meminjamkan uangnya dengan memungut bunga.

2. Perusahaan yang melaksanakan bisnis bank tersebut.

3. Gedung atau kantor tempat dilakukannya transaksi bank atau tempat beroperasinya perusahaan perbankan.

Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1 angka 2, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Sedangkan pada Pasal 1 angka 3 Undang-Undang yang sama disebutkan bahwa bank umum adalah bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jas dalam lalu lintas pembayaran.

Ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah perbankan ini disebut dengan Hukum Perbankan (Banking Law). Munir Fuady, berpendapat bahwa hukum perbankan merupakan seperangkat kaedah hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, doktrin dan lain-lain sumber hukum, yang

25

Ibid., hal 80.

26

Noah Webster, Webster ‘s New Universal Unabriged Dictionary, (New York-USA: Simon & Schuster, 1979), hal. 146.

(3)

mengatur masalah-masalah perbankan sebagai lembaga, dan aspek kegiatannya sehari-hari, rambu-rambu yang harus dipenuhi oleh suatu bank, perilaku petugas-petugasnya, hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab para pihak yang tersangkut dengan bisnis perbankan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh bank, eksistensi perbankan, dan lain-lain yang berkenan dengan dunia perbankan tersebut.27

Adapun yang merupakan ruang lingkup dari pengaturan hukum perbankan adalah sebagai berikut :28

1. Asas-asas perbankan seperti norma efisiensi, keefektifan, kesehatan bank, profesionalisme pelaku perbankan, maksud dan tujuan lembaga perbankan, hubungan hak dan kewajiban bank;

2. Para pelaku bidang perbankan seperti dewan komisaris, direksi, dan karyawan, maupun pihak terafiliasi. Mengenai bentuk-bentuk badan hukum pengelola, seperti PT Persero, Perusahaan Daerah, Koperasi atau Perseroan Terbatas. Mengenai bentuk kepemilikan, seperti milik pemerintah, swasta, patungan dengan asing, atau bank asing;

3. Kaidah-kaidah perbankan yang khusus diperuntukkan untuk mengatur perlindungan kepentingan umum dari tindakan perbankan, seperti pencegahan persaingan yang tidak sehat, antitrust, perlindungan nasabah dan lain-lain;

4. Yang menyangkut dengan struktur organisasi yang berhubungan dengan bidang perbankan, seperti eksistensi dari Dewan Moneter, Bank Sentral dan lain-lain;

5. Yang mengarah kepada pengamanan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh bisnisnya bank tersebut, seperti pengadilan, sanksi, insentif, pengawasan, prudentbanking dan lain-lain.

B. Perkembangan Perbankan Indonesia

Perkembangan perbankan di Indonesia telah melalui beberapa kurun waktu, yaitu :29

27

Munir Fuady., Hukum Perbankan Modren, Citra Aditya Bakti, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 14.

28

Muhammad Djumhana., Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 10.

(4)

1. Perbankan zaman penjajahan Belanda 2. Perbankan zaman Jepang

3. Perbankan zaman kemerdekaan Indonesia a. Perbankan zaman Orde Lama b. Perbankan zaman Orde Baru

c. Perbankan masa pasca krisis moneter

1. Perbankan pada zaman penjajahan Belanda

Sejarah dan hukum perbankan di Indonesia dimulai sejak zaman

Vereenigde Oost-Indeische Compagnie (VOC) yang merupakan serikat

perdagangan Belanda di Indonesia, sekaligus sebagai cikal bakal penjajahan Belanda di Indonesia. Perusahaan pertama yang menjalankan fungsi bank di Indonesia adalah De Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) pada tahun 1824, yang secara resminya merupakan perusahaan dagang.

Pada tahun 1827 barulah pemerintah Hindia Belanda mendirikan sebuah bank yang bernama De Javasche Bank yang berfungsi untuk mengeluarkan uang dan mengawasi peredarannya. Bank ini sekarang menjadi Bank Indonesia, sedangkan NHM kemudian menjadi Bank Ekspor Impor Indonesia.Kemudian didirikanlah sebuah bank swasta yang pertama kali di Indonesia yang bernama NV. Escompto Bank pada tahun 1857, yang setelah dinasionalisasikan pemerintah Indonesia berganti menjadi Bank Dagang Negara.

Pada tahun 1895 didirikan beberapa koperasi simpan pinjam yang kemudian digabung menjadi satu pada tahun 1934 dengan nama Algemeene

29

(5)

Volkscrediet Bank (AVB). Selain itu pada tahun 1898 dengan bekerja sama

dengan Jawatan Pos, pemerintah Hindia Belanda mendirikan pula Post

Spaartbank, yakni semacam bank tabungan.

Selain dari bank-bank yang didirikan pemerintah Hindia Belanda dan bank-bank yang didirikan oleh swasta, maka pemerintah Hindia Belanda juga membuka kesempatan terhadap berdirinya bank-bank asing di Indonesia. Bank-bank asing yang sempat berdiri di Indonesia misalnya The Charter Bank-bank of India,

The Overseas Chinese Banking Coorporation, The Bank of China, The Bank of Taiwan, The Yokohama Specie Bank (Yokohama Shokin Ginko), The Mitsui Bank, The Hongkong & Shanghai Bank, Great Eastern Banking Cooporation, dan

lain-lain.30

Selain dari bank-bank tersebut di atas, maka di zaman pemerintahan Hindia Belanda sudah diakui keberadaan Lembaga Perkreditan Rakyat, terutama setelah keluarnya S. 1929 No. 357, tanggal 14 September 1929, yang berisikan ketentuan-ketentuan tentang Badan-badan Perkreditan Desa dalam provinsi-provinsi di Jawa dan Madura di luar wilayah kotapraja.

2. Perbankan zaman pemerintahan Jepang

Pada masa pendudukan Jepang, kebanyakan bank-bank yang sudah ada pada masa pemerintahan Belanda ditutup atau dikuasai oleh pemerintah Jepang. Satu-satunya bank yang beroperasi adalah bank yang dioperasikan putera Indonesia, yaitu Bank Rakyat Indonesia yang awalnya bernama Algemeene

30

Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan imdonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993), hal. 49.

(6)

Volkscrediet Bank (AVB). Berdasarkan ketentuan dalam Osamu Serei Nomor 8

Tahun 2602 Tahun Jepang, nama AVB diganti menjadi Syomin Ginko.31

Akan tetapi setelah pendudukan bala tentara Jepang di Indonesia, beberapa bank yang sempat ditutup oleh pemerintah Hindia Belanda, dibuka kembali. Maka dibukalah kembali Bank of Taiwan, Yokohama Bank, dan Mitsui Bank. Demikian pula halnya dengan Nanpo Kaihatsu Kinko yang pada tanggal 1 April 1943 membuka empat kantor di Jawa dan empat kantor di Sumatera. Sementara Bank Tabungan milik pemerintah Hindia Belanda yang sempat dibekukan oleh pemerintah Jepang kemudian dibuka kembali pada tanggal 1 April 1942 dengan nama Tyokin Kyoku.32

3. Perbankan zaman kemerdekaan Indonesia a. Perbankan zaman orde lama

Setelah kemerdekaan, dalam sidang Dewan Menteri tanggal 19 September 1945, pemerintah Republik Indonesia, mengambil keputusan untuk mendirikan sebuah bank sirkulasi berbentuk bank milik negara. Pelaksanaan pembentukannya dipercayakan kepada Tuan RM Margono Djojohadikusumo. Sebagai realisasinya, pada tanggal 14 Oktober 1945, dengan akta notaris RM Soerojo, notaris di Jakarta, terbentuklah Yayasan Pusat Bank Indonesia.33

Selain itu pada tanggal 17 Agustus 1946 diresmikanlah Bank Negara Indonesia 1946, yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 1946, pada tanggal 5 Juli 1946. Selain sebagai bank komersial, BNI 1946 juga berfungsi sebagai bank sentral.

31

Muhammad Djumbana, Op. cit, hal. 50.

32

Widjanarto, Op. cit, hal. 5.

33

(7)

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1946, tanggal 22 Februari 1946, pemerintah mendirikan Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang sebenarnya merupakan terusan dari De Algemeene Volkscrediet.

Peraturan mengenai perbankan dalam bentuk Undang-undang Perbankan di zaman kemerdekaan ini untuk pertama kali diatur dalam Undang-undang No.11 Tahun 1953 tentang Undang-Undang Pokok Bank Indonesia, yang kemudian dicabut dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 ini kemudian dicabut dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yang dirubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

Pada zaman Orde Lama, maka seperti juga dalam bidang perusahaan-perusahaan yang lain, perbankan juga mengalami musim nasionalisasi dari bank-bank Belanda yang ada di Indonesia. Sedangkan Bank Belanda yang pertama kali dinasionalisasi adalah Nationale Handels Bank (NHB) yang merupakan sebuah perseroan terbatas yang bergerak di bidang pembiayaan perkebunan. NHB dinasionalisasi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1959, didirikanlah Bank Umum Negara yang kemudian lebih dikenal dengan Bank Bumi Daya.

Setelah NHB, maka bank yang dinasionalisasikan berikutnya adalah

Nederlandsche Handels Maatschappij (NHM) dengan Undang-Undang Nomor

41/prp/1960. NHB yang sudah berdiri sejak tahun 1842 tersebut dinasionalisasi dengan membentuk Bank Koperasi Tani dan Nelayan. Di samping itu pemerintah juga menasinalisasi PT. Escompto Bank, yang ketika berdirinya pada tahun 1863 bernama Nederlabsche Indische Handelsbank. Untuk keperluan tersebut

(8)

pemerintah mendirikan Bank Dagang Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 13/prp/1960.

Sejak nasinalisasi terhadap bank-bank Belanda pada masa ini berdirilah Bank-bank Pembangunan Daerah (BPD) yang dimiliki dan dikelola oleh Pemerintah Daerah setempat. Bank-bank ini didirikan berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1962 tentang Ketentuan Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.

Peristiwa penting yang patut pada masa Orde Baru adalah adanya tindakan pengintegrasian bank-bank pemerintah menjadi bank tunggal dengan nama Bank Negera Indonesia, yang diprakarsai oleh Menteri Bank Sentral/Gubernur Bank Indonesia, Jusuf Muda Dalam, berdasarkan Penetapan Presiden RI Nomor 17 Tahun 1965.34

b. Perbankan zaman orde baru

Pada masa pemerintahan Orde Baru, perbankan Indonesia dapat dibagi ke dalam 2 periode, yaitu sebelum pakto 1988 dan setelah Pakto 1988.

1) Masa orde baru sebelum Pakto 1988

Pada masa ini dipergunakanlah prinsip anggaran berimbang dan lalu lintas devisa bebas. Di samping itu dilakukan pembentukan perangkat keras dan perangkat lunak terhadap perbankan, antara lain dengan membenahi peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah perbankan ini. Maka pada tahun 1967, pemerintah mengundangkan undang-undang tentang Bank Sentral dengan

34

(9)

keluarnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, yang menggantikan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia Tahun 1953.

Selanjutnya diterbitkan pula peraturan perundang-undangan yang bersifat administratif yang sebenarnya lebih merupakan deregulasi. Hal tersebut mulai dilakukan dengan deregulasi pada bulan Juni 1983. Hal penting dalam deregulasi ini adalah penghapusan pagu kredit, bank-bank negara dibebaskan untuk menetapkan tingkat suku bunga, dan pengurangan jumlah kredit likuiditas. Hal tersebut dilakukan untuk lebih menggairahkan masyarakat untuk menggunakan jasa-jasa perbankan dan mengurangi ketergantungan bank-bank kepada Bank Indonesia.35

2) Masa orde baru setelah Pakto 1988

Walaupun pada tahun 1983 telah dilakukan semacam deregulasi perbankan, akan tetapi deregulasi yang lebih fundamental dilakukan pada tahun 1988 yang dikenal dengan nama Paket Deregulasi Oktober 1988 (Pakto 1988). Paket deregulasi ini memberi kemudahan bagi pertumbuhan bagi bank-bank swasta, sehingga tidak mengherankan jika kemudian bank-bank swasta tumbuh bagaikan jamur di musim hujan Pakto 1988 ini dirasakan sangat memberi kelonggaran bagi pihak-pihak yang ingin mendirikan bank. Di antara materi yang diatur oleh Pakto 1998 adalah:36

a) Pendirian bank umum dan bank pembangunan swasta dibebaskan dengan syarat mempunyai modal disetor sebesar Rp. 50 Milyar;

35

Ibid, hal. 28.

36

http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:pxVFmdPlgCgJ:katalog.pdii.lipi.go.id/in, diakses terakhir tanggal 12 Maret 2010.

(10)

b) Seruluh bank nasional dapat membuka kantor cabangnya di seruluh wilayah Indonesia asalakan memenuhi persyaratan 24 bulan terakhir sehat; c) Perlasan kesempatan mandiri Bank Pengkreditan Rakyat;

d) Memoermudah pemberian status/pengakuan kepada bank sebagai bank devisa;

e) Mempermudah bank asing untuk membuka cabangnya di lima kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Medan, dan Ujung Pandang; dan

f) Mempermudah pendirian bank-bank patungan di lima kota besar tersebut. Ketentuan-ketentan dalam Pakto 1988 ini mengalami penyempurnaan dengan dibuatnya beberapa paket kumpulan peraturan seperti:

a) Mengenai tabungan, deposito, kantor BPR dan bank asing, dengan Paket Desember 1989 (Pakdes 1989);

b) Penyempurnaan sistem perkreditan dengan Paket 29 Januari 1990 (Pakjan 1990); dan

c) Pengawasan dan Pembinaan bank dengan Paket Februari 1991 (Pakfeb 1991).

Puncaknya adalah dengan keluarnya Undang-Undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 dan beberapa Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksananya.

Perkembangan perbankan setelah Pakto 1988 ini memang sangat pesat tetapi kurang terkontrol, sehingga menimbulkan masalah dalam perbankan, dan prinsip Prudent Banking sama sekali diabaikan. Akibatnya pada sekitar tahun 1991 bank-bank besar dan kecil mengalami berbagai kesulitan karena

(11)

tindakan-tindakan yang tidak sesuai hukum yang dilakukan oleh pemilik atau pimpinam bank. Kasus perbankan yang paling monumental pada masa ini adalah atas Bank Summa.37

c. Perbankan masa pasca krisis moneter 1997

Sebagai akibat dari kemudahan yang sangat luas bagi pendirian bank pasca Pakto 1988, maka perkembangan perbankan tidak terkontrol lagi. Apalagi ditambah dengan adanya kebijakasanaan pemerintah yang terkesan sangat tetutup dalam dunia perbankan, dan longgarnya pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral. Hal ini diperparah dengan adanya kolusi antara pihak bank dengan pihak-pihak tertentu seperti terkuak dalam kasus mega kredit Bank Bapindo dalam kasus Edi Tansil yang cukup spektakuler itu.

Keadaan dunia perbankan yang tidak menentu ini, di samping masalah-masalah regional lainnya, turut memperparah gejolak moneter di penghujung tahun1997. Kurang tangkapnya peminaan moneter di bidang ini membuat rupiah terpuruk cukup parah hingga mencapai Rp. 15.000,- per dolar Amerika.

Dalam keadan kebingungan semua pihak yang terkait dalam bidang pemulihan perekenomian Indonesia, tetapi mensyratkan antara lain pembenahan sistem perbankan. Akhirnya pemerintah terpaksa mengambil keputusan yang bagaikan petir di siang bolong bagi dunia perbankan, yaitu melikuidasi 16 bank bermasalah berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Tertanggal 1 November 1997.

37

(12)

Selain itu, pemerintah kemudian tidak mengunakan istilah likuidasi bank, tetapi menggantikannya dengan istilah Bank Beku Operasi (BBO) atau Bank Take

Over (BTO) yang pada hakikatnya sama saja dengan pembekuan operasional bank

atau pengambil alihan bank.

Selain likuidasi, langkah yang diambil pemerintah adalah memerintahkan bank-bank melakukan merger agar jumlahnya tidak terlalu banyak. Juga dengan meningkatkan modal setor bank-bank umum menjadi 1 Trillin rupiah di akhir 1998, 2 Trilliun rupiah di akhir 1999, dan 3 Trilliun di akhir tahun 2000. Tapi akhirnya jumlah ini kemudian diturunkan lagi karena dirasakan tidak realitis.

Badai krisis ini akhirnya melahirkan lagi suatu badan dalam bidang perbankan dengan dibentuknya Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) oleh pemerintah pada tahun 1997, yang berfungsi sebagai badan yang merawat bank-bank yang sakit.

C. Sumber Hukum Perbankan Indonesia

Beberapa masalah hukum, kita tidak akan dapat terlepas dari pembicaraan mengenai sumber hukum tersebut. Dalam ilmu hukum kita mengenal adanya dua jenis sumber hukum, yaitu sumber hukum formal maupun sumber hukum material.

Sumber hukum dalam arti material adalah sumber hukum yang menentukan isi hukum itu sendiri, sehingga tergantung dari sudut mana dilakukan peninjauannya, apakah dari sudut pandang ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat, dan sebagainya. Bagi kalangan hukum, hal yang terpenting dalam pelaksanaan

(13)

kehidupan hukum, adalah sumber hukum dalam arti formal. Sumber hukum dalam arti material baru diperhatikan jika dianggap perlu untuk diketahuinya asal usul kaidah hukum tersebut. Sumber Hukum Perbankan Indonesia tidak hanya terbatas pada hal-hal tertulis, dimungkinkan juga adanya sumber hukum yang tidak tertulis, seperti kebiasaan, adat istiadat dan sebagainya.

Sumber hukum formal tertinggi dalam Hukum Perbankan Indonesia adalah UUD 1945. Selanjutnya kita bisa mengurutkan sumber hukum formal mengenai perbankan tersebut, sebagai berikut:38

1. Undang-Undang Dasar 1945 (terutama Pasal 33);

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (terutama Garis-Garis Besar Haluan Negara);

3. Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;

4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral; 5. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

6. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang; 7. Pereturan Pemerintah;

8. Keptusan Presiden; 9. Instruksi Presiden;

10. Keputusan Menteri Keuangan;

11. Surat Keputusan dan Surat Edaran Bank Indonesia; dan

12. Peraturan lainnya yang berhubungan erat dengan kegiatan perbankan. Sebagai sumber hukum, perundang-undangan mempunyai kelebihan daripada norma-norma sosial yang lain, karena ia dikaitkan pada kekuasaan yang tertinggi di suatu negara dan oleh sebab itu pula memiliki kekuasaan memaksa yang besar sekali. Keadaan demikian berangkat dari pengertian undang-undang dalam arti formal atau dalam arti sempit ialah keputusan badan legislatif atau lembaga pembuat undang-undang di Indonesia, yang terdiri dari Presiden dan Dewan Perwakilan rakyat (Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945). Sedangkan dalam arti

38

(14)

material atau subtansial undang-undang adalah setiap keputusan pejabat negara yang berwenang yang menetapkan aturan-aturan hukum objektif (yang mengikat secara umum).39

Tentang berlakunya undang-undang, kita mengenal adanya beberapa asas yaitu:40

1. Undang-undang tidak berlaku surut;

2. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi juga;

3. Undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan Undang-undang yang bersifat umum;

4. Undang-undang yang belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu; dan

5. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.

39

Ibid, hal. 9.

40

Faisal Akbar Nasution., “Indentifikasi Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen dan Usul Komisi Konstitusi dan Implikasinya Terhadap Sistem Pemerintahan dan Sistem Ketatanegaraan”, Disampaikan dalam diskusi, “Menjaring Aspirasi Masyarakat Dalam Upaya Amandemen dan Menyusun Konstitusi”, yang diadakan pada hari Senin tanggal 13 Desember 2004 oleh FITRA SUMUT bekerjasana dengan PSPK Jakarta di Medan, hal. 2.

Referensi

Dokumen terkait

Membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia Kota Yogyakarta Masa Bakti Tahun 2017-2019 dengan susunan keanggotaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan

Penelitian ini menunjukkan variabel motivasi berprestasi dan pola asuh orang tua secara bersama- sama mempunyai hubungan dengan prestasi belajar IPS sebesar

[r]

Hasil penelitian : Berdasarkan uji Mann-Whitney U-Test didapatkan hasil nilai p = 0,000 (p < 0,05), dengan taraf signifikan sebesar 0,05, sehingga Ha diterima dan Ho

yang muncul yang tidak sesuai dengan izin peruntukannya serta melakukan pelanggaran terhadap surat perjanjian ini maka kami tutup dan izin usaha karni siap unhrk

pentingnya mematuhi aturan dalam kehidupan pada siswa yang belum mampu membaca indah puisi anak tentang lingkungan (dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat).. •

Studi yang dilakukan IMF pada tahun 1998 menyatakan bahwa faktor-faktor pendorong terjadinya krisis adalah defisit neraca berjalan, hutang luar negeri yang besar,

Sedangkan tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah untuk meminimalkan perilaku stereotypies dengan permainan catur modifikasi pada anak autis di SDN Bendul