• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA1

Oleh: Agus S. Primasta, S.H.2

Abstraksi

Perselisihan Hubungan Industrial yang sebelumnya diatur didalam UU No.22 tahun 1957 tidak mengakomodir seluruh permasaahan perburuhan. Kemudian diganti dengan UU

No. 2 tahun 2002 cukup mengakomodir permasalahan yang ada. Banyak perubahan aturan didalam UU No. 2 tahun 2004 baik dari segi subjek, objek maupun mekanisme penyelesaiannya termasuk didalamnya mengenai biaya perkara. Secara keseluruhan dengan segala aturan dan strategi, UU No. 2 tahun 2004 mengandung Azas cepat,

sederhana dan biaya ringan. Pendahuluan

Sebelum terbitnya UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), permasalahan perburuhan diatur dalam UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Didalam UU No. 22 Tahun 1957 menjelaskan Perselisihan Perburuhan adalah pertentangan antara majikan/ gabungan majikan dengan serikat buruh/ gabungan serikat buruh, yang dikarenakan tidak ada persesuaian paham dalam hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/ atau keadaan perburuhan. Dari pengertian tersebut maka subyek hukumnya hanya antara majikan/gabungan majikan dan serikat buruh/ gabungan serikat buruh. Sementara didalam praktiknya, perselisihan antara perseorangan dengan perusahaan juga sering terjadi.

Bila kita mengacu pengertian perselisihan perburuhan yang termaktub diperaturan diatas maka perselisihan perseorangan dengan perusahaan tidak terakomodir dalam pengertian tersebut, sehingga pada saat itu solusi penyelesaiannya agar hak-hak seorang buruh dapat diakomodir/ dilindungi adalah seorang buruh harus menunjuk serikat pekerja untuk mewakilinya. Setelah itu masih harus melewati proses Bipartit kemudian ke Pegawai Perantara terus dilanjutkan ke P4D selanjutnya baru P4P, hal mana bila dilakukan Banding Administrasi masih ke PT TUN dan kasasi ke MA. Dari uraian tersebut dapat dirasakan betapa susah dan peliknya penyelesaian perselisihan perburuhan pada saat itu, karena harus banyak melewati “pintu” dan prosedur dalam memperjuangkan hak-haknya yang berbelit-belit sehingga dirasakan betapa berat perjuangan para pekerja. Bahkan apabila ingin Fiat Executie (Pelaksanaan Putusan) maka masih dimohonkan ke Pengadilan Negeri, sebagaimana diatur dalam SEMA No. 1 Tahun 1980 dan Kep. MA No. 592 Tahun 1973yang menegaskan bahwa kewenangan Pengadilan Negeri terhadap putusan P4D/P4P diantaranya adalah Pengadilan hanya menyetujui atau menolak Fiat Executie. Selain itu juga, Menteri Perburuhan memiliki hak veto yakni hak untuk membatalkan atau menunda pelaksanaan Putusan Panitia Pusat.

1 Sumber UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI

(2)

Dari uraian diatas, ada beberapa kelemahan pengaturan Penyelesaian Perburuhan antara lain yakni Fiat Executie harus Ke Pengadilan Negeri, Masih dibawah Depnaker (Pemerintah), adanya hak veto Menteri Perburuhan, sehingga itu semua masih ada intervensi dari pihak pemerintah. Walaupun terkait biaya berperkara saat itu ditanggung oleh Negara.

Dari kelemahan-kelemahan tersebut, maka UU No. 22 Tahun 1957 tidak lagi berlaku, setelah diundangkannya Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Perselisihan hubungan industrial menurut UU No. 2 Tahun 2004 adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/ buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat dalam satu perusahaan.

Jika dibandingkan antara pengertian perselisihan perburuhan dalam UU No. 2 Tahun 2004 dengan UU No. 22 Tahun 1957, dilihat dari sisi Subyeknya, UU No. 2 Tahun 2004 telah mencakup dan mengakui perseorangan sebagai subyek hukum dalam perselisihan hubungan industrial, sehingga tidak lagi memberikan atau menunjuk Serikat Pekerja. Dilihat obyeknya, UU No. 2 Tahun 2004 telah mencakup 4 (empat) macam perselisihan yakni Perselisihan Hak, Kepentingan, PHK dan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan. Dari sisi proses/ mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrialnya pun terdapat perubahan, dimana ada pembatasan waktu dan biaya perkara yang dibebankan bagi Para pihak. Hal tersebut dilihat dari nilai gugatannya, apabila lebih dari Rp. 150.000.000,- maka dikenakan biaya perkara, sehingga ada nilai gugatan tertentu yang tidak lagi menjadi tanggungan Negara.

Berbeda dengan peraturan terdahulu sebagaimana telah diungkapkan diawal bahwa biaya perkara menurut UU 22 Tahun 1957 menjadi kewajiban Negara sepenuhnya. Kemudian timbul pertanyaan apakah masih mengenal P4D/P4P, apakah biaya perkara menjadi tanggungan negara tanpa dibatasi akan nilai gugatannya?masih adakah hak Veto dari pemerintah melalui Menteri? Oleh karena itu berdasarkan pembanding tersebut maka tulisan ini akan menguraikan tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) menurut UU No.2 Tahun 2004 dan strategi dalam menghindari biaya perkara dalam perselisihan hubungan industrial dan maksud tulisan ini mencoba memaparkan guna untuk dipahami mengenai proses beracara dalam perselisihan hubungan industrial.

Sarana Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI)

UU No. 2 Tahun 2004 telah mengubah mekanisme/ prosedur beracara maupun sistemnya dari UU No. 22 Tahun 1957. Adapun perubahannya antara lain P4D/ P4P tidak ada lagi karena dirasa tidak mencerminkan rasa keadilan. Dengan adanya kepanitiaan Pusat/ P4P yang sebagian beasar anggotanya adalah dari P4D, sehingga apabila di Daerah pihak buruh/ pekerja dikalahkan kemudian naik ke P4P kemungkinan besar putusan akan menjadi sama sehingga dirasa tidak mencerminkan rasa keadilan. Selain itu juga, dalam UU No. 2 Tahun 2004. Olehkarenanya lahirnya UU No. 2 Tahun 2004 merupakan perubahan yang positif dalam sistem peraturan perundang-undangan kita, yang menghapus intervensi Pemerintah dalam bidang judikatif.

Dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial ada beberapa sarana penyelesain perselisihan hubungan industrial, yakni sebagai berikut:

a. Di Luar Pengadilan (Non litigasi)

1. Bipartit, penyelesaian dilakukan oleh pihak pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha/gabungan pengusaha yang berselisih.

(3)

2. Arbitrase, penyelesaian perselisihan yang disepakati secara tertulis oleh para pihak dengan memilih arbiter tunggal atau mejelis arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menakertrans.

3. Konsiliasi, penyelesaian melalui musyawarah yang ditengahi seorang atau lebih konsiliator (terdaftar diinstansi ketenagakerjaan kabupaten/kota) yang netral yang dipilih atas kesepakatan para pihak.

4. Mediasi, penyelesaian perselisihan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral yang terdaftar di instansi ketenagakerjaan.

b. Di Pengadilan (Litigasi) yakni Pengadilan Hubungan Industrial.

Dalam UU No tahun 2004, tidak semua obyek perselisihan dapat diselesaikan melalui semua mekanisme Non Litigasi tersebut diatas atau tidak ada kebebasan memilih mekanisme penyelsaian oleh para pihak. Dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI telah mengaskan cara penyelesaian masing-masing perselisihan. Bahwa obyek perselisihan masing-masing penyelesaian secara non litigasi berbeda, yaitu sebagai berikut:

1. Perselisihan yang dapat diselesaikan lewat ARBITRASE hanya: a. Perselisihan kepentingan;

b. Perselisihan antar Serikat Pekerja dalam satu perusahaan. 2. Perselisihan yang dapat diselesaikan lewat KONSILIASI:

a. Perselisihan Kepentingan; b. Perselisihan Hak;

c. Perselisihan antar Serikat Pekerja dalam satu perusahaan. 3. Perselisihan yang dapat diselesaikan lewat MEDIASI:

a. Perselisihan Hak;

b. Perselisihan Kepentingan; c. Perselisihan PHK;

d. Perselisihan antar Serikat Pekerja dalam satu perusahaan.

Sehingga segala perselisihan industrial tidak begitu saja diselesaiakan dengan semua sarana penyelesaian secara non litigasi, jadi dalam hal ini kita harus menganalisa persoalan yang dihadapi tersebut terkualifikasi masuk dalam sengketa jenis apa agar pilihan sarana penyelesaian sesuai dengan kewenanganya.

Prosedur penyelesaian perselisihan

Prosedur penyelesaian perselisihan yang harus dilalui adalah terlebih dahulu menempuh upaya sebagaimana salah satu penyelesaian secara Non Litigasi. Jika tidak, maka gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) tidak akan diterima dan dikembalikan kepada Penggugat, karena dalam pengajuan gugatan di PHI mensyaratkan penyertaan risalah penyelesaian non litigasi tersebut. Adapun Prosedur PPHI Non Litigasi adalah sebagai berikut:

1. Perundingan Bipartit:

- Perundingan bipartit paling lama 30 hari sejak dimulai perundingan;

- Jika sepakat dibuat Persetujuan Bersama;

- Jika gagal perundingan dianggap gagal maka salah satu pihak mencatatkan ke Disnaker setempat (dengan melampirkan upaya perundingan yang dilakukan);

- Setelah Disnaker menerima pencatatan maka Disnaker menawarkan penyelesaian melalui Konsiliasi, Mediasi, atau Arbitrase dengan mengingat kewenangan terhadap bentuk perselisihan yang dapat diselesaikan melalaui upaya tersebut, sebagaimana yang telah diterangkan diatas;

(4)

- Jika dalam waktu 7 hari kerja para pihak tidak menetapkan pilihan maka ditempuh melalui Mediasi, kecuali Perselisihan Hak dilakukan dengan Mediasi. 2. Mediasi (Pasal 8 UUPPHI), (Kepmenakertrans No. 92/MEN/VI/2004) :

- Dalam waktu 7 hari setelah menerima penyelesaian, Mediator harus sudah mengadakan penelitian duduk perkaranya dan mengadakan sidang mediasi (Pasal 10 UU PPHI), Jika:

9 Tercapai kesepakatan: dibuat Perjanjian Bersama ditandatangani para pihak disaksikan Mediator;

9 Tidak tercapai kesepakatan:

ƒ Mediator mengeluarkan anjuran tertulis (Pasal 13 ayat 2 huruf a). Anjuran tertulis paling lambat 10 hari sejak sidang pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;

ƒ Kemudian para pihak dalam waktu 10 hari harus memberikan jawaban.

ƒ Jika terlampaui dianggap menolak anjuran, Bila para pihak menolak anjuran tertulis: para pihak dapat meneruskan perkara ke Pengadilan Hubungan Industrial melalui Gugatan oleh salah satu pihak;

ƒ Jika menerima anjuran tertulis selambat-lambatnya 3 hari Mediator harus sudah selesai menyusun Perjanjian bersama untuk didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial dan mendapat Akta Bukti Pendaftaran (dapat juga disertai Permohonan eksekusi pada Pengadilan Hubungan Industrial (Pasal 13 ayat 3 b)

- Penyelesaian melalui mediasi selambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak menerima pelimpahan.

3. Konsiliasi

- Para pihak mengajukan permintaan tertulis dan memilih konsiliator yang terdaftar;

- Dalam waktu 7 hari konsiliator harus mengadakan penelitian duduk perkara dan mengadakan sidang konsiliasi pertama (pasal 70 UUPPHI) dan Konsiliator dapat memanggil ahli (pasal 21 ayat 1 UU PPHI);

9 Tercapai kesepakatan : dibuat Perjanjian Bersama didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapatkn akta bukti pendaftaran (pasal 23 ayat 1);

9 Tidak tercapai kesepakatan : (sama dengan prosedur dalam Mediasi)

o Konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis, paling lambat 10 (sepuluh) hari telah disampaikan ke para pihak;

o Para pihak harus sudah mengeluarkan jawaban selambatnya 10 (sepuluh) hari sejak menerima anjuran;

o Tidak menjawab berarti para pihak dianggap menolak. Jika para pihak menolak anjuran tertulis maka Para pihak dapat melanjutkan ke Pengadilan Hubungan Industrial dengan mengajukan gugatan oleh salah satu pihak;

o Menyetujui anjuran tertulis, maka konsiliator selambatnya 3 hari sejak anjuran tertulis disetujui, membantu para pihak menyusun Perjanjian Bersama yang didaftarkan ke PPHI untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran;

- Konsiliator berhak mendapat honorarium dibebankan pada Negara (Pasal 28 UU PPHI);

- Konsiliator menyelesaikan tugasnya selambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permintaan penyelesaian

(5)

- Dilakukan atas kesepakatan para pihak dibuat rangkap tiga dengan surat perjanjian yang memuat:

o Nama lengkap, alamat tempat kedudukan para pihak; o Pokok persoalan;

o Jumlah arbiter yang disepakati;

o Pernyataan untuk tunduk menjalankan putusan;

o Tempat tanggal surat perjanjian dan tandatangan para pihak.

- Memilih arbiter yang berwenang yang telah ditetapkan oleh menteri. Arbiter yang ditunjuk bisa tunggal atau majelis (ganjil) dan selambatnya 7 (tujuh) hari para pihak harus sudah mencapai kesepakatan nama arbiter yang dimaksud (Pasal 33 ayat 2);

- Penunjukan arbiter dilakukan secara tertulis yaitu dituangkan dalam perjanjian penunjukan arbiter memuat : nama lengkap dan alamat para pihak dan arbiter, pokok persoalan, biaya dan honorarium arbiter, pernyataan untuk tunduk pada putusan arbiter, tempat tanggal perjanjian dibuat, pernyataan arbiter dan para pihak untuk tidak melampaui wewenang.

- Pemeriksaan harus dimulai 3 hari setelah penandatanganan penunjukan arbiter;

- Arbiter wajib menyelesaikan perselisihan selambatnya 30 hari sejak surat penunjukan arbiter;

- Berdasarkan kesepakatan para pihak arbiter berwenang memperpanjang penyelesaian satu kali selambatnya 14 hari kerja (pasal 40 ayat 3 UU PPHI);

- Pemeriksaan secara tertutup kecuali para pihak menghendaki lain (pasal 41 UU PPHI) dan sidang arbitrase para pihak dapat diwakili kuasanya (dengan Surat Kuasa Khusus) pasal 42 UU PPHI;

- Proses sidang Arbitrase:

o Proses pemanggilan patut pada para pihak jika tidak hadir walaupun telah dipanggil secara patut arbiter dapat membatalkan perjanjian penunjukan arbiter dan tugas arbiter dianggap selesai;

o Jika salah satu pihak hadir sidang pertama selanjutnya tidak hadir arbiter dapat memeriksa tanpa kehadiran salah satu pihak;

o Persidangan selalu diawali dengan upaya perdamaian;

o Jika tercapai arbiter wajib membuat akta perdamaian yang didaftarkan di Pengadilan hubungan industrial;

o Jika upaya perdamaian gagal arbiter meneruskan pemeriksaan;

o Dalam pemeriksaan para pihak berhak menjelaskan pendirian masing-masing dengan megajukan bukti yang dianggap perlu baik lisan maupun tertulis;

o Arbiter berhak meminta keterangan tambahan dalam jangka waktu yang ditentukan;

o Sebelum bersaksi dilakukan sumpah;

o Barang siapa dimintai keterangan arbiter wajib memberikan keterangan dan Arbiter wajib menjaga rahasia;

o Semua acara pemeriksaan dibuat berita acara pemeriksaan oleh arbiter atau majelis arbiter;

o Putusan arbiter ditetapkan berdasarkan Peraturan Perundangan, perjanjian, kebiasaan, keadilan, kepentingan umum.

Putusan arbitrase bersifat final dan tetap sebagaimana termaktub dalam Pasal 51 ayat (1) UU PPHI. Apabila putusan tersebut tidak dilaksanakan oleh pihak yang memiliki kewajiban, maka pihak lain yang memiliki hak dapat mengajukan permohonan fiat eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri meliputi tempat kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan tanpa mengajukan gugatan kembali. Fiat eksekusi adalah permohonan pelaksanaan eksekusi, yakni dengan

(6)

mengajukan permohonan kepada Pengadilan agar supaya membantu untuk terlaksananya putusan, sehingga eksekusi dapat berjalan sesuai prosedur hukum.

Selain itu juga dalam Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), meskipun putusan arbitrase bersifat final dan tetap, pembatalan Putusan arbitrase dimungkinkan untuk dimohonkan pembatalan yakni dengan mengajukan permohonan ke MA selambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkan, dengan syarat-syarat sebagai berikut:

1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui atau dinyatakan palsu;

2. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan;

3. Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan;

4. Putusan melampaoi kekuasaan arbiter atau;

5. Putusan bertentangan dengan peraturan Perundang-undangan.

Penyelesaian Perselisihan melalui Pengadilan Hubungan Industrial dan biaya perkara.

Sebelum kita membahas satu persatu prosedur yang harus dilakukan, alangkah bijaknya kita mengetahui dan memahami wewenang dan tugas Pengadilan Hubungan Industrial. Sebagaimana telah diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004, yang menjadi tugas dan wewenang dari Pengadilan Hubungan Industrial adalah sebagai berikut:

a. Ditingkat pertama mengenai Perselisihan Hak dan Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja(PHK);

b. Ditingkat pertama dan terakhir mengenai Perselisihan Kepentingan dan Perselisihan Antar SerikatDalam Suatu Perusahaan.

Sehingga dari uraian diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa untuk huruf (a) masih dimungkinkan untuk melakukan upaya hukum yakni melakukan upaya kasasi. Sedangkan, huruf (b) tidak lagi dilakukan upaya hukum, karena Pengadilan Hubungan Industrial merupakan tingkat pertama dan terakhir. Bagan Prosedur Penyelesaian Perselisihan melalui Pengadilan Hubungan Industrial sebagai berikut:

Keterangan: * Pengadilan Hubungan Industrial

Pada prinsipnya acara yang digunakan dalam Persidangan di Pengadilan Hubungan Industrial adalah Acara Pada Pengadilam Umum, kecuali ditentukan lain. Ketentuan lain yang bersifat khusus dalam pengadilan hubungan industrial diantaranya mengenai waktu proses sidang dan penyelesaian yang dibatasi sebagaimana yang telah diuraikan diatas, sehingga tidak bisa mengulur-ulur waktu seperti di Peradilan Umum. Lisensi beracara seorang penerima kuasa (seperti Advokat) dalam hal ini tidak menjadi syarat wajib bagi Para Pihak yang mewakilkan penyelesaian sengketa ini kepada orang lain (kuasanya) karena hanya mensyaratkan bahwa perwakilan tersebut ditunjuk dan

• 7 hari setelah permohonan diterima, KPN mengeluarkan penetapan ditolak atau dikabulkan permohonan tsb;

• Bila dikabulkan, dalam waktu 7 hari KPN tentukan Majelis, hari, tempat, dan waktu sidang tanpa prosedur pemeriksaan;

• Tenggang waktu jawab dan pembuktian masing2 pihak ditentukan tidak melebihi 14 hari (pS 98 dan 99 UU PPHI)

GUGATAN PHI*

Acara Biasa • Setelah 7 hari kerja dari penetapan Majelis Hakim,

Ketua Majelis Hakim melakukan sidang I;

• Jika dalam sidang I secara nyata pihak pengusaha tidak melaksanakan kewajibannya membayar upah dan hak lainnya selama menunggu penyelesaian PHK, Hakim Ketua segera menjatuhakn Putusan sela agar Pengusaha melaksanakan kewajibannya tersebut;

• Putusan sela tsb tidak dapt diajukan perlawanan, bila tdk dilaksanakan, maka akan ditetapkan sita jaminan;

• Selambatnya 50 hari hari kerja sejak sidang pertama, majelis hakim wajib memberkan Putusan

Acara cepat Cantumkan: - pokok2 persoalan - Identitas para pihak - Dokumen yang k tk t

(7)

mewakili Serikat Pekerja, tidak dipungut biaya perkara sepanjang nilai gugatan tidak melebihi Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).

Jurus atau Strategi Menghindari Biaya Perkara

Terkait biaya perkara dalam perselisihan hubungan Industrial, biaya perkara dalam beracara di Pengadilan Hubungan Industrial berbeda dengan beracara di Peradilan Umum yaitu harus mengeluarkan biaya kecuali permohonan prodeo. Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 58 UU PPHI, bahwa dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, pihak-pihak yang berperkara Tidak Dikenakan Biaya termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya dibawah Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah). Sehingga hal ini dapat kita ambil kesimpulan, bahwa beracara di PHI tidak dikenakan biaya apabila nilai gugatan dibawah Rp. 150.000.000,-(serataus lima puluh juta rupiah). Maka lebih dari batas itu wajib membayar. Namun dalam tataran praktik tidak selalu demikian, yang terjadi adalah “aturan dibuat untuk disimpangi”, hal tersebut dapat dilihat meskipun nilai gugatan lebih dari Rp. 150.000.000,-(serataus lima puluh juta rupiah) tetapi masih bisa beracara tanpa dikenakan biaya/ free.

Cara yang biasa digunakan para pihak bersengketa adalah dengan cara membagi-bagi nilai gugatan. Sebagai contoh, ketika nilai gugatan seluruhnya

1 milyar, seharusnya dikenakan biaya perkara, dengan cara membagi kepada 10 orang/ kelompok masing-masing mengajukan sendiri maka nilai gugatan menjadi Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Sehingga nilai tersebut masih dibawah Rp. 150.000.000,-(serataus lima puluh juta rupiah). Dengan nilai gugatan dibawah Rp. 150.000.000,- (serataus lima puluh juta rupiah) maka terbebaslah dari biaya perkara. Meski cara ini terkesan licik, namun dalam tataran praktek tersebut manjur dan tidak menjadi permasalahan.

Dikaji secara hukum, cara tersebut tidak ada aturan perintah maupun larangan dalam UU No. 2 Tahun 2004, tidak ada klausul pasal pun melarang atau mengaturnya. Disini penulis memandang hal tersebut disatu sisi menjadi kelemahan daripada UU tesebut, namun disisi lain hal tersebut merupakan jurus jitu untuk menghindar dari biaya perkara.

Secara menyeluruh, penulis berpendapat bahwa UU No.2 Tahun 2004 ini merupakan UU yang dapat dikatakan mengakomodir :”asas cepat, sederhana dan biaya ringan”, bagaimana tidak, waktu yang dibutuhkan untuk bersidang telah ditentukan secara limitative, biaya ringan, pembuktian dalam persidangan di PHI adalah sederhana, sehingga tidak perlu berlarut-larut mengingat waktu yang terbatas.

Kesimpulan

™ Bahwa dengan lahirnya dan diundangkannya UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI, menghapus proses/mekanisme yang dianut sebelumnya yakni P4D/P4P, Hak Veto Menteri Perburuhan.

™ Bahwa hukum acara yang digunakan dalam Persidangan di Pengadilan Hubungan Industrial adalah hukum acara yang berlaku di Pengadilan Umum kecuali diatur lain seperti lisensi beracara para pihak, waktu, biaya maupun proses pra persidangan merupakan specialis acara dalam beracara di Pengadilan Hubungan Industrial;

™ Bahwa dalam tataran praktek, masalah biaya perkara yang nilai gugatannya diatas Rp. 150.000.000,- dapat beracara tanpa dikenakan biaya, dengan cara membagi-bagi pada masing-masing person dalam mengajukan gugatannya agar nilai gugatan diupayakan dibawah ketentuan yakni Rp. 150.000.000,-

Referensi

Dokumen terkait

Rekonstruksi kota dalam seperti Rotterdam  kesempatan merealisasikan ide-ide baru di antaranya kombinasi kerajinan tangan + industri kecil  membawa ke arah

Pelaksanaan Survailan dan Penelitian Lapangan ini bertujuan untuk "Meningkatkan pelayanan kesehatan terutama bagi ibu dan anak melalui penyediaan informasi dan peningkatan

Perhitungan penurunan frekuensi sebagai akibat tripnya salah satu unit pembangkit dimaksudkan untuk merencanakan pelepasan beban dengan menggunakan Under Frekuensi

Pada awalnya pasien mengeluhkan nyeri kepala cekot-cekot kurang lebih dua minggu sebelum masuk rumah sakit disertai kepala terasa berputar.. Karena nyeri

Kesantunan berbahasa dari aspek penggunaan kata sapaan dan bahasa persis bukan sahaja menjadi salah satu tunjang kekuatan kepada masyarakat Melayu untuk menarik perhatian

Dengan latar belakang masalah, yaitu terdapat penurunan pertumbuhan investasi asing langsung (foreign direct investment) di Kawasan Industri Batam antara tahun

Sedangkan untuk perikanan darat, pengawetan ikan, permintaan akhirnya permintaan akhirnya mengalami perubahan mengalami perubahan output sebesar 96,01% output sebesar

Wuryanti, 10220021, Penanganan Pembiayaan Macet Dalam Perspektif Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah (Studi Kasus Di Pt. Bprs Bhakti Sumekar