• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI PENAMBAHAN ATRAKTAN DALAM PAKAN PASTA TERHADAP KONSUMSI PAKAN, RETENSI PROTEIN DAN RETENSI LEMAK PADA BELUT SAWAH (Monopterus albus) YANG DIPELIHARA DENGAN SISTEM RESIRKULASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SKRIPSI PENAMBAHAN ATRAKTAN DALAM PAKAN PASTA TERHADAP KONSUMSI PAKAN, RETENSI PROTEIN DAN RETENSI LEMAK PADA BELUT SAWAH (Monopterus albus) YANG DIPELIHARA DENGAN SISTEM RESIRKULASI"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PENAMBAHAN ATRAKTAN DALAM PAKAN PASTA TERHADAP KONSUMSI PAKAN, RETENSI PROTEIN DAN RETENSI LEMAK PADA BELUT SAWAH (Monopterus albus) YANG DIPELIHARA

DENGAN SISTEM RESIRKULASI

Oleh :

AKBAR YUSUF HASYIM RAMADHAN PROBOLINGGO – JAWA TIMUR

FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA

(2)

SKRIPSI

PENAMBAHAN ATRAKTAN DALAM PAKAN PASTA TERHADAP KONSUMSI PAKAN, RETENSI PROTEIN DAN RETENSI LEMAK PADA BELUT SAWAH (Monopterus albus) YANG DIPELIHARA

DENGAN SISTEM RESIRKULASI

Oleh :

AKBAR YUSUF HASYIM RAMADHAN NIM. 141011106

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Pembimbing Pertama Pembimbing Kedua

(3)

SKRIPSI

PENAMBAHAN ATRAKTAN DALAM PAKAN PASTA TERHADAP KONSUMSI PAKAN, RETENSI PROTEIN DAN RETENSI LEMAK

PADA BELUT (Monopterus albus) YANG DIPELIHARA DENGAN SISTEM RESIRKULASI

Oleh :

AKBAR YUSUF HASYIM RAMADHAN NIM. 141011106

Telah diujikan pada

Tanggal : 17 Juli 2014 KOMISI PENGUJI SKRIPSI

Ketua : Agustono, Ir., M.Kes.

Anggota : Dr. Woro Hastuti Satyantini, Ir., M.Si. Prayogo, S.Pi., M.P.

Muhammad Arief, Ir., M.Kes. Boedi S Rahardja, Ir., MP.

Surabaya, 18 Juli 2014 Fakultas Perikanan dan Kelautan

Universitas Airlangga Dekan,

(4)

RINGKASAN

AKBAR YUSUF H. R. Penambahan Atraktan dalam Pakan Pasta terhadap Konsumsi Pakan, Retensi Protein dan Retensi Lemak pada Belut Sawah (Monopterus albus) yang Dipelihara dengan Sistem Resirkulasi. Dosen Pembimbing Muhammad Arief, Ir., M.Kes. dan Boedi S. Rahardja, Ir., MP.

Belut sawah (Monopterus albus) merupakan ikan dari Family Synbranchoidae yang permintaannya meningkat setiap tahun (Dirjen PPHP, 2010). Selama ini budidaya belut sawah dilakukan dengan memanfaatkan lumpur sebagai media budidaya. Pada budidaya belut sawah dengan menggunakan lumpur, sintasan atau kelangsungan hidup serta pertumbuhan belut sawah sulit untuk diukur, karena itu digunakan wadah akuarium dengan sistem resirkulasi untuk mengatasi masalah tersebut.

Pada budidaya belut sawah pakan yang diberikan berupa cacing tanah maupun pasta. Harga cacing yang mahal membuat proses budidaya berjalan tidak efektif, sedangkan penggunaan pasta tidak efektif karena pakan tidak habis dimakan oleh belut sawah, oleh karena itu pakan pasta perlu ditambahkan bahan atraktan yang dapat berfungsi sebagai zat perangsang (stimulus) untuk meningkatkan konsumsi pakan belut terhadap pakan pasta. Pakan merupakan sumber energi bagi ikan. Penggunaan energi pada ikan dipengaruhi oleh jumlah pakan yang dikonsumsi. Evaluasi pemanfaatan energi pakan dapat diketahui dari perhitungan retensi protein dan retensi lemak.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penambahan atraktan pada pasta terhadap peningkatan konsumsi pakan, retensi protein dan lemak belut sawah (M. albus) yang dipelihara dengan sistem resirkulasi. Penelitian dilakukan di Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Airlangga Surabaya pada bulan April hingga Mei 2014. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5 kali ulangan. Data hasil penelitian akan dianalisis menggunakan ANOVA. Apabila menunjukkan adanya perbedaan maka dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan.

(5)

SUMMARY

AKBAR YUSUF H. R. Addition of Attractant in Pasta Feed Against Feed Consumption, Protein Retention and Fat Retention of Asian Swamp Eel (Monopterus albus) Cultured Using Recirculation System. Academic Advisor Muhammad Arief, Ir., M.Kes. and Boedi S. Rahardja, Ir., MP.

Asian swamp eel (Monopterus albus) is one of Synbranchoidae Family that increased on its demand every year (Dirjen PPHP, 2010). Up till now asian swamp eel is cultured using mud as its culture medium. On this medium, asian swamp eel survival rate and growth rate are hard to measured, therefore aquarium with recirculation system is used to settle the problem.

Worm or pasta feed are the main feed for asian swamp eel culture. The expensive price for worm made culture wasn’t effective, and using of pasta feed wasn’t effective because it wasn’t eaten by the asian swamp eel, therefore pasta feed needed an attractant that function as a stimuli to increased feed consumption of asian swamp eel. Feed is an energy source for fish. Energy using on fish is influenced by the amount of consumption of feed. Evaluation of feed energy utilization can be known by using protein and fat retention.

The purpose of this research was to find out addition of attractant in pasta feed against feed consumption, protein retention and fat retention of asian swamp eel (M. albus) cultured using recirculation system. The research was conducted in Faculty of Fisheries and Marine, Airlangga University, Surabaya in April - Mei 2014. Research design used Completely Randomized Design with 4 treatments and 5 replications. Data was analyzed using ANOVA. If it shows a difference than Duncan’s Multiple Range Test is used.

(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat serta hidayah-Nya sehingga skripsi dengan judul Penambahan Atraktan dalam Pakan Pasta terhadap Konsumsi Pakan, Retensi Protein dan Retensi Lemak pada Belut Sawah (Monopterus albus) yang Dipelihara dengan Sistem Resirkulasi dapat terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan memberikan informasi bagi semua pihak, khususnya bagi Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga guna kemajuan serta perkembangan ilmu dan teknologi dalam bidang perikanan, terutama budidaya perairan.

Surabaya, Juli 2014

(7)

Ucapan Terima Kasih

Penulis ucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Drh. Hj. Sri Subekti B. S., DEA, Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga.

2. Bapak H. Muhammad Arief, Ir., M.Kes., dosen pembimbing pertama dan Bapak Boedi S. Rahardja, Ir., MP., dosen pembimbing kedua yang telah memberikan arahan, petunjuk dan bimbingan sejak penyusunan usulan hingga selesainya skripsi.

3. Bapak Agustono, Ir., M.Kes., Bapak Prayogo, S.Pi., MP., dan Ibu Dr. Woro Hastuti Satyantini, Ir., M.Si., dosen penguji yang telah bersedia meluangkan

waktu untuk menguji serta memberikan masukan dan saran atas perbaikan laporan skripsi.

4. Bapak Yudi Cahyoko, Ir., M.Si. dan Bapak Moch. Amin Alamsjah, Ir., M.Si., Ph.D., dosen wali yang telah membimbing dan memberikan nasehat kepada penulis sejak menjadi mahasiswa.

5. Bapak/ Ibu dosen dan staf di Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga.

6. Keluarga besar tercinta yang telah memberikan dukungan yang tak terhingga. 7. Teman-teman satu tim Reza Septian, Rahmat Santoso, Fransiska Agustin dan

Ully Tri yang telah berjuang bersama dalam penelitian.

8. Teman-teman Piranha 2010 yang telah membantu dan tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... iv

SUMMARY ... v

KATA PENGANTAR ... vi

UCAPAN TERIMA KASIH ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan ... 3

1.4 Manfaat ... 3

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Belut Sawah (M. albus) ... 5

2.2 Kebutuhan Nutrien Belut Sawah ... 6

2.2.1 Protein ... 6

2.2.2 Lemak ... 7

2.2.3 Karbohidrat ... 8

2.2.4 Vitamin dan Mineral ... 8

2.3 Pakan Belut Sawah ... 9

2.4 Atraktan ... 10

2.4.1 Minyak Cumi ... 11

2.4.2 Minyak Ikan ... 11

2.4.3 Minyak Belut ... 12

2.5 Konsumsi Pakan ... 12

2.6 Retensi Protein ... 13

(9)

2.8 Sistem Resirkulasi ... 15

2.9 Kualitas Air ... 16

2.9.1 Suhu ... 16

2.9.2 pH ... 16

2.9.3 Oksigen Terlarut (DO) ... 17

2.9.4 Amoniak ... 17

III KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Konseptual ... 18

3.2 Hipotesis ... 20

IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat ... 22

4.2 Materi Penelitian ... 22

4.2.1 Alat Penelitian ... 22

4.2.2 Bahan Penelitian ... 22

4.3 Metode dan Rancangan Penelitian ... 23

4.3.1 Metode Penelitian ... 23

4.2.3 Rancangan Penelitian ... 23

4.4 Prosedur Kerja ... 24

4.4.1 Persiapan Alat ... 24

4.4.2 Persiapan Bahan ... 25

4.4.3 Pelaksanaan ... 27

4.5 Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 28

4.6 Analisis Data ... 30

V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil ... 31

5.1.1 Konsumsi Pakan ... 31

5.1.2 Retensi Protein ... 32

5.1.3 Retensi Lemak ... 34

(10)

5.2 Pembahasan ... 35

5.2.1 Konsumsi Pakan ... 35

5.2.2 Retensi Protein ... 38

5.2.3 Retensi Lemak ... 39

5.2.4 Kualitas Air ... 40

VI SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 42

5.2 Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Denah pengacakan pada penelitian ... 24

2. Kandungan nutrisi bahan pakan ... 25

3. Komposisi pakan antar perlakuan ... 26

4. Jadwal pelaksanaan penelitian ... 30

5. Konsumsi pakan rata-rata belut sawah (Monopterus albus) pada perlakuan selama pemeliharaan 35 hari ... 31

6. Retensi protein rata-rata belut sawah (Monopterus albus) pada perlakuan selama pemeliharaan 35 hari ... 33

7. Retensi lemak rata-rata belut sawah (Monopterus albus) pada perlakuan selama pemeliharaan 35 hari ... 35

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Perhitungan Pakan Uji ... 47

2. Data Tingkat Konsumsi Belut Sawah ... 49

3. Hasil Analisis Proksimat Awal dan Akhir Penelitian Belut Sawah ... 50

4. Data Berat, Jumlah Protein dan Lemak Tubuh Belut Sawah ... 51

5. Data Jumlah Protein dan Lemak Pakan yang Dikonsumsi Belut Sawah ... 52

6. Data Retensi Protein dan Lemak Belut Sawah serta Transformasinya ... 53

7. Hasil Analisis SPSS Tingkat Konsumsi ... 54

8. Hasil Analisis SPSS Retensi Protein Transformasi Akar Y ... 55

9. Hasil Analisis SPSS Retensi Lemak Transformasi Akar Y ... 56

10. Perhitungan Tingkat Konsumsi Belut Sawah ... 57

11. Perhitungan Retensi Protein Belut Sawah ... 58

12. Perhitungan Retensi Lemak Belut Sawah ... 59

13. Alat dan Bahan Penelitian ... 60

14. Hasil Analisis Belut Awal ... 61

15. Hasil Analisis Belut Akhir ... 62

(14)

I PENDAHULUAN

1.2 Latar Belakang

Belut sawah (Monopterus albus) merupakan ikan dari Family Synbranchoidae yang dapat ditemukan di Cina, India, Malaysia dan Indonesia (Tan and He, 2007). Pengembangan budidaya belut sawah secara intensif di Indonesia belum banyak dilakukan, padahal permintaan belut sawah terus meningkat setiap tahun. Pada tahun 2007 volume ekspor belut sawah mencapai 2.189 ton sedangkan pada tahun 2008 meningkat menjadi 2.676 ton dan pada tahun 2009 menjadi 4.744 ton (Dirjen PPHP, 2010).

Pada lingkungan alami, belut sawah hidup di dalam lumpur dan membuat sebuah lubang pada pematang sawah atau pinggir sungai (Sunarma dkk., 2009). Selama ini budidaya belut sawah dilakukan dengan memanfaatkan lumpur sebagai media budidaya. Pada budidaya belut sawah dengan menggunakan lumpur, sintasan atau kelangsungan hidup serta pertumbuhan belut sawah sulit untuk diukur, karena itu perlu adanya media lain yang dapat digunakan untuk budidaya belut sawah (Sunarma dkk., 2009).

(15)

Hal lain yang mempengaruhi kehidupan belut selain habitat adalah pakan. Pada budidaya belut sawah pakan yang diberikan berupa cacing tanah maupun pasta sebanyak 5% dari biomas. Harga cacing yang mahal membuat proses budidaya membutuhkan biaya yang besar, sedangkan penggunaan pasta tidak efisien karena pakan tidak habis dimakan oleh belut sawah. Pakan pasta perlu ditambahkan bahan atraktan yang dapat berfungsi sebagai zat perangsang (stimulus) untuk meningkatkan konsumsi pakan belut terhadap pakan pasta. Peningkatan konsumsi pakan biasanya dilakukan dengan menyemprot pasta menggunakan larutan minyak, cairan ikan yang kental, atau jaringan ikan yang telah dihaluskan (Afrianto dan Liviawaty, 2005).

Pakan merupakan sumber energi bagi ikan. Penggunaan energi pada ikan dipengaruhi oleh jumlah pakan yang dikonsumsi. Energi diperoleh dari perombakan ikatan kimia melalui proses reaksi oksidasi sehingga dapat diserap oleh tubuh untuk digunakan atau disimpan (Afrianto dan Liviawaty, 2005). Evaluasi pemanfaatan energi pakan dapat diketahui dari perhitungan retensi protein dan retensi lemak. Buwono (2000) menyatakan bahwa retensi protein merupakan gambaran dari banyaknya protein yang diberikan, yang dapat diserap atau dimanfaatkan untuk membangun maupun memperbaiki sel-sel tubuh yang rusak serta dimanfaatkan tubuh ikan bagi metabolisme sehari-hari. Retensi lemak menggambarkan kemampuan ikan dalam menyimpan dan memanfaatkan lemak pakan (Haryati dkk., 2007)

(16)

pada belut sawah, khususnya penyerapan protein dan lemak, sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan belut sawah. Pada penelitian Yudiarto (2012) penambahan atraktan berpengaruh positif terhadap retensi lemak pada ikan sidat, sedangkan pada penelitian Halimatusadiah (2009) penambahan atraktan berpengaruh positif terhadap retensi proteinpada ikan kerapu bebek.

1.3Rumusan Masalah

1. Apakah penggunaan atraktan dapat meningkatkan konsumsi pakan pada belut sawah (M. albus) yang dipelihara dengan sistem resirkulasi?

2. Apakah penggunaan atraktan dapat meningkatkan retensi protein pada belut sawah (M. albus) yang dipelihara dengan sistem resirkulasi?

3. Apakah penggunaan atraktan dapat meningkatkan retensi lemak pada belut sawah (M. albus) yang dipelihara dengan sistem resirkulasi?

1.4 Tujuan

1. Mengetahui penggunaan atraktan terhadap peningkatan konsumsi pakan pada belut sawah (M. albus) yang dipelihara dengan sistem resirkulasi. 2. Mengetahui penggunaan atraktan terhadap peningkatan retensi protein

pada belut sawah (M. albus) yang dipelihara dengan sistem resirkulasi. 3. Mengetahui penggunaan atraktan terhadap peningkatan retensi lemak pada

belut sawah (M. albus) yang dipelihara dengan sistem resirkulasi.

1.5 Manfaat

(17)
(18)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Belut Sawah (M. albus)

Klasifikasi belut sawah menurut Saanin (1968) adalah sebagai berikut : Filum : Vertebrata

Kelas : Pisces Sub Kelas : Teleostei Ordo : Synbranchoidea Famili : Synbranchoidae Genus : Monopterus Spesies : Monopterus albus

Belut sawah memiliki bentuk tubuh silindris memanjang dan tidak bersisik (Gambar 1.). Kulit berwarna kecoklatan, mulut dilengkapi dengan gigi runcing kecil berbentuk kerucut dengan bibir berupa lipatan kulit yang lebar (Astiana, 2012).

Pada lingkungan alami, belut sawah hidup di dalam lumpur dan membuat sebuah lubang pada pematang sawah atau pinggir sungai (Sunarma dkk., 2009), selain itu belut sawah juga hidup di perairan dangkal dan berlumpur, kanal, serta danau dengan kedalaman kurang dari 3 meter (Astiana, 2012). Belut sawah merupakan kelompok air breathing fishes, yaitu ikan yang memiliki kemampuan

Gambar 1. Belut sawah (Monopterus albus)

(19)

untuk mengambil oksigen langsung dari atmosfer sehingga dapat bertahan lama pada kondisi air yang terbatas (Tay et al., 2003). Belut sawah diketahui memiliki alat pernapasan tambahan berupa kulit tipis berlendir yang terdapat di rongga mulut (Sarwono, 2003) dan juga memiliki toleransi yang tinggi terhadap temperatur (Nico and Fuller, 2009) serta mampu melewati tanah basah untuk berpindah tempat (Hill and Watson, 2007). Belut sawah beraktivitas pada malam hari (nocturnal) dan cenderung bersembunyi di lubang atau di celah-celah tanah liat.

2.2 Kebutuhan Nutrien Belut sawah

Pertumbuhan belut sawah sangat dipengaruhi oleh pakan yang berkaitan erat dengan kebiasaan makan dan jenis pakan yang diberikan. Pemberian pakan diatur sesuai dengan sifat hewan untuk memacu pertumbuhan dan meningkatkan produksi.

Belut sawah merupakan hewan karnivor yang memakan jasad renik ketika masih benih dan memakan larva serangga, cacing, siput, berudu, maupun benih ikan lain (Wirosaputro, 1978). Prok (2000) melaporkan bahwa belut sawah yang berukuran satu meter atau lebih merupakan predator dan pemakan hewan akuatik kecil termasuk ikan dan avertebrata.

2.2.1 Protein

(20)

zat makanan yang sangat dibutuhkan untuk pemeliharaan tubuh (Cowey and Sargent, 1972).

Kebutuhan ikan akan protein dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain suhu dan kualitas air perairan, serta ukuran dan jenis ikan (Halver et al., 1973). Pakan untuk belut sawah membutuhkan kandungan protein yang cukup tinggi, menurut Yang et al. (2000) protein merupakan faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan belut sawah dengan nilai optimum 35,7 %. Protein merupakan zat makanan yang sangat dibutuhkan untuk pemeliharaan tubuh, pembentukan jaringan, penggantian jaringan tubuh yang rusak serta penambahan protein tubuh dalam pertumbuhan (Cowey and Sargent, 1972). Halver et al. (1973) menyatakan bahwa protein merupakan bagian terbesar dari daging ikan, oleh karena itu dalam menentukan kebutuhan nutrisi ikan kebutuhan protein perlu dipenuhi terlebih dahulu.

2.2.2 Lemak

Lemak memberikan energi lebih besar daripada protein dan karbohidrat (Surakhman, 2004). Ikan mensintesa lemak untuk menghasilkan energi (Halver et al., 1973), memelihara bentuk dan fungsi membran (fosfolipid) serta sebagai

cadangan energi untuk kebutuhan energi jangka panjang selama periode yang penuh aktivitas atau selama periode tanpa makanan (Zonneveld et al., 1991).

(21)

(Buwono, 2000). Kebutuhan belut sawah terhadap lemak cukup sedikit yaitu sebesar 3-4 % (Yang et al., 2000).

2.2.3 Karbohidrat

Kebutuhan karbohidrat berkaitan dengan aktivitas protein, karena apabila terjadi kekurangan karbohidrat dalam ransum pakan, protein akan dapat diubah menjadi energi (Buwono, 2000). Karbohidrat merupakan salah satu sumber energi yang penting untuk ikan. Karbohidrat dapat berperan sebagai pemicu berbagai metabolisme internal yang produknya dibutuhkan untuk pertumbuhan, misalnya asam amino non esensial dan asam nukleat (Yudiarto, 2012). Karbohidrat di dalam tubuh disimpan di hati dan otot dalam bentuk glikogen sebagai cadangan makanan (Afrianto dan Liviawaty, 2005).

Kombinasi penggunaan karbohidrat dan lemak dapat mengurangi penggunaan protein sebagai sumber energi yang dikenal dengan istilah protein sparing effect (Yudiarto, 2012). Kebutuhan belut sawah akan karbohidrat yaitu sebesar 24-33 % (Yang et al., 2000).

2.2.4 Vitamin dan Mineral

Vitamin dan mineral merupakan komponen mikro-nutrien yang tidak memiliki energi sebagaimana makro-nutrien. Vitamin dan mineral merupakan komponen yang terlibat dalam berbagai aktivitas enzimatik dan hormonal yang terjadi di dalam tubuh, sehinga kebutuhannya mutlak diperlukan.

(22)

penurunan pertumbuhan, penyimpangan bentuk tulang, munculnya berbagai jenis penyakit nutrisional dan bahkan kematian (Subandiyono, 2009). Kebutuhan belut sawah terhadap Vitamin A 14.000 IU/kg, Vitamin C 2.200 mg/kg, Vitamin D3 5.000 IU/kg dan Vitamin E 120 mg/kg (Tan and He, 2007), sedangkan kebutuhan akan mineral sebesar 3% (Yang et al., 2000).

2.3 Pakan Belut Sawah

Protein, lemak dan karbohidrat merupakan zat gizi dalam pakan yang berfungsi sebagai sumber energi tubuh. Dalam tubuh ikan, energi berasal dari pakan dipergunakan dalam kegiatan pemeliharaan hidupnya, yaitu untuk tumbuh, berkembang, dan bereproduksi (Buwono, 2000). Karbohidrat merupakan sumber energi yang relatif murah. Menurut Buwono (2000), kebutuhan karbohidrat berkaitan dengan aktivitas protein. Protein merupakan nutrien yang sangat dibutuhkan ikan untuk pertumbuhan. Kandungan protein yang optimal di dalam pakan akan menghasilkan pertumbuhan yang maksimal bagi ikan yang mengkonsumsinya. Ikan menggunakan protein secara efisien sebagai sumber energi, selain itu protein yang diserap oleh ikan akan digunakan untuk pertumbuhan. Lemak pada pakan mempunyai peranan penting bagi ikan, karena berfungsi untuk memelihara bentuk dan fungsi membran (fosfolipid) serta sebagai cadangan energi untuk kebutuhan energi jangka panjang selama periode yang penuh aktivitas atau selama periode tanpa makanan (Zonneveld et al., 1991).

(23)

sedangkan bila berukuran dewasa belut sawah akan memakan larva serangga, cacing, siput, berudu maupun benih ikan lain (Wirosaputro, 1978). Pada kegiatan budidaya belut sawah diberikan pakan berupa cacing tanah maupun pasta sebanyak 5% dari biomas belut sawah. Pasta merupakan pakan yang memiliki tekstur lunak serta sebelum diberikan perlu ditambahkan air terlebih dahulu. Afrianto dan Liviawaty (2005) menyatakan bahwa pakan berbentuk pasta memiliki kelemahan yaitu sering mengendap di dasar kolam sehingga tidak termakan.

2.4 Atraktan

Pengambilan makanan pada ikan dipengaruhi oleh bahan kimia yang terdifusi dari makanan ke dalam air dan merangsang sel kemosensori ikan. Kebiasaan makan ikan dipengaruhi oleh campuran bahan kimia yang terdapat dalam pakan sehingga sel-sel kemosensori pada ikan harus dirangsang agar menimbulkan respon terhadap pakan (Halimatusadiah, 2009).

Atraktan merupakan suatu bahan aroma yang ditambahkan selama proses pembuatan pakan (Afrianto dan Liviawaty, 2005). Penggunaan bahan atraktan yang tepat dalam pakan dapat meningkatkan penyerapan makanan secara cepat, mengurangi waktu pencampuran nutrisi pakan dengan air saat pakan berada dalam air, dan pada saat yang sama memberikan nutrisi tambahan untuk protein dan metabolisme energi (Polat and Beklevik, 1999).

(24)

yang kental, atau jaringan ikan yang telah dihaluskan (Afrianto dan Liviawaty, 2005), betaine (Polat dan Beklevik, 1999), daun kemangi (El-Dakar, et al., 2008), serta dimethyl-β-propiothetin (Nakajima, et al., 1988).

Penambahan atraktan pada pakan dilakukan untuk merangsang ikan mendekati dan mengkonsumsi pakan yang diberikan (Afrianto dan Liviawaty, 2005). Tingkat penerimaan ikan dapat diindikasikan dengan banyaknya pakan yang dikonsumsi. Penambahan atraktan dengan jenis dan jumlah yang tepat akan meningkatkan konsumsi pakan yang berdampak terhadap peningkatan pertumbuhan (Afrianto dan Liviawaty, 2005).

2.4.1 Minyak Cumi

Minyak cumi merupakan salah satu bahan yang dapat dijadikan sebagai atraktan pada pakan ikan. Minyak cumi juga memiliki kandungan asam lemak EPA 13,4%-17,4% dan DHA 12,8%-15,6% (Watanabe, 1998). Cumi-cumi mempunyai prosentase relatif kandungan asam lemak n-3 yang cukup besar, yaitu sebesar 41 % (Wahyudin, 2005). Hal ini disebabkan karena cumi-cumi merupakan kelas moluska dengan kandungan lemak yang cukup tinggi dan kebanyakan lipidnya berupa fosfolipid (Herlijoso, 1994 dalam Wahyudin, 2005). Kandungan asam lemak tak jenuh dalam daging cumi-cumi yang paling bermanfaat adalah asam lemak n-3 (Marlina, 1998 dalam Wahyudin, 2005).

2.4.2 Minyak Ikan

(25)

sangat tinggi (Rusmana, dkk, 2010). Minyak ikan juga mengandung EPA dan DHA sebanyak 58,418 mg/gr yang berfungsi mencegah penyumbatan pembuluh darah, precursor pembentukan tromboksan serta meningkatkan jumlah oksigen dalam darah (Rusmana, 2008).

2.4.3 Minyak Belut

Kandungan lemak pada belut cukup tinggi, yaitu mencapai 27 gram per 100 gram bahan (Surwono, 2003). Kandungan minyak belut pada fillet jaringan antara 0,50–1,06% tiap 100 gram dan pada jaringan kepala 0,40–0,78% tiap 100 gram. Asam lemak utama dalam minyak belut adalah palmitat, oleat, arakidonat dan dokosaheksaenoat. Secara keseluruhan minyak belut memiliki persentase asam arakidonat sebesar 10,17 persen dan DHA 7,16 % (Razak et al, 2001).

2.5 Konsumsi Pakan

(26)

2.6 Retensi Protein

Protein merupakan zat makanan yang sangat dibutuhkan untuk pemeliharaan tubuh (Cowey and Sargent, 1972) dan merupakan sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. Protein merupakan sumber energi yang utama bagi ikan (Gusrina, 2008), sementara sumber energi lainnya adalah lemak dan karbohidrat. Protein sebagai pembentuk energi akan menghasilkan 3,5 kkal tiap gram protein (Surakhman, 2004). Mengingat harga protein relatif lebih mahal dibandingkan lemak dan karbohidrat, maka diusahakan agar protein hanya dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan penggantian jaringan yang rusak.

(27)

2.7 Retensi Lemak

Lemak memiliki peran penting di dalam nutrisi ikan. Ikan mensintesa lemak untuk menghasilkan energi (Halver et al., 1973), memelihara bentuk dan fungsi membran (fosfolipid) serta sebagai cadangan energi untuk kebutuhan energi jangka panjang selama periode yang penuh aktivitas atau selama periode tanpa makanan (Zonneveld et al., 1991). Lemak juga berfungsi sebagai pengangkut vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A, D, E dan K (Robinson and Li, 1996). Nilai energi untuk lemak adalah sebesar 8.1 kkal per gram lemak (Surakhman, 2004), sehingga lemak memberikan energi lebih besar daripada protein dan karbohidrat. Bagi ikan karnivora lemak memegang peranan penting sebagai sumber energi dalam pakan.

Craig and Helfrich (2009) menyatakan bahwa pada umumnya ikan membutuhkan asam lemak dari golongan omega 3 dan 6 (n-3 dan n-6). Ikan air tawar tidak membutuhkan HUFA berantai panjang, tapi hanya membutuhkan asam linolenat, kadarnya berkisar antara 0,5-1,5% dalam pakan kering. Ikan-ikan air tawar mampu mengubah asam linolenat menjadi n-3 HUFA berantai panjang yaitu EPA dan DHA, yang dibutuhkan dalam metabolisme dan sebagai komponen membran sel (Craig and Helfrich, 2002).

(28)

Retensi lemak menggambarkan kemampuan ikan dalam menyimpan dan memanfaatkan lemak pakan (Haryati dkk., 2007), oleh karena itu komposisi lemak tubuh sangat dipengaruhi oleh pakan ikan yang mengandung lemak (Gusrina, 2008). Tingginya lemak yang dikonsumsi ikan dan yang tidak digunakan sebagai sumber energi kemudian disimpan sebagai lemak tubuh (Haryati dkk., 2011).

2.8 Sistem Resirkulasi

Sejauh ini upaya budidaya belut sawah yang sudah dilakukan masih harus menggunakan campuran lumpur dengan bahan organik lainnya sebagai media pemeliharaan belut. Pada teknik budidaya seperti itu, kontrol pertumbuhan dan kelangsungan hidup belut sulit dilakukan karena belut hidup di dalam lumpur sehingga upaya intensifikasi budidaya belut sulit dilakukan sehingga produksi belut relatif sulit diprediksi. Menurut Sunarma dkk. (2009) belut dapat dibudidayakan pada media air menggunakan wadah happa maupun akuarium, namun perlu dijaga agar kualitas airnya tetap optimal bagi kehidupan belut. Belut yang dipelihara dalam media air tidak menunjukkan respon stress berdasarkan indikasi warna tubuh maupun kadar glukosa darah.

(29)

seluruhnya (resirkulasi tertutup), sehingga air tersebut menjadi layak untuk digunakan kembali dalam proses budidaya.

2.9 Kualitas Air

Air sebagai media tempat hidup ikan sangat berpengaruh pada kehidupan ikan dan pertumbuhan ikan, oleh sebab itu air yang digunakan dalam budidaya harus mempunyai kondisi yang optimal, baik mengenai kualitas maupun kuantitas. Kualitas air diantaranya dipengaruhi oleh, suhu, pH, oksigen terlarut (DO) dan juga kadar amoniak.

2.9.1 Suhu

Suhu perairan merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi organisme perairan karena dapat berpengaruh terhadap proses metabolisme yang nantinya berakibat pada pertumbuhan. Suhu air dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari pada perairan, selain itu menurut (Yudiarto, 2012) suhu air dipengaruhi oleh kecepatan reaksi kimia, baik dalam media luar maupun cairan dalam tubuh ikan. Suhu optimal untuk budidaya belut adalah pada 25-34 0C (Tay et al., 2003).

2.9.2 pH

(30)

2.9.3 Oksigen Terlarut (DO)

Konsentrasi oksigen terlarut dalam perairan tergantung pada faktor fisika dan biologi. Suhu dan salinitas yang tinggi dapat menyebabkan konsentrasi oksigen terlarut menjadi rendah. Ikan memerlukan oksigen guna pembakaran nutrisi dalam proses metabolisme tubuh untuk menghasilkan aktivitas biologis maupun fisiologis seperti berenang, pertumbuhan dan reproduksi (Yudiarto, 2012). Kandungan oksigen terlarut yang baik bagi reproduksi maupun pertumbuhan ikan adalah lebih besar dari 4 ppm. Kadar oksigen terlarut optimal pada belut sawah belum diketahui, namun belut sawah diketahui dapat mengambil oksigen langsung dari atmosfer sehingga kadar oksigen terlarut yang rendah dalam perairan masih dapat ditoleransi oleh belut sawah.

2.9.4 Amoniak

(31)

III KONSEPTUAL PENELITIAN DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konseptual

Belut sawah (M. albus) merupakan salah satu komoditas perikanan yang permintaannya terus meningkat setiap tahun. Pada tahun 2007 volume ekspor belut sawah mencapai 2.189 ton sedangkan pada tahun 2008 meningkat menjadi 2.676 ton dan pada tahun 2009 menjadi 4.744 ton (Dirjen PPHP, 2010).

Selama ini budidaya belut sawah dilakukan dengan memanfaatkan lumpur sebagai media budidaya. Pada budidaya belut sawah dengan menggunakan lumpur, sintasan atau kelangsungan hidup serta pertumbuhan belut sawah sulit untuk diukur. Berdasarkan hal tersebut maka perlu adanya media lain yang lebih efisien untuk budidaya belut sawah.

Menurut Sunarma dkk. (2009) belut dapat dibudidayakan pada media air menggunakan wadah happa maupun akuarium. Pada budidaya menggunakan media air perlu memperhatikan kualitas air dan pemberian pakan yang sesuai. Kualitas air harus tetap dijaga dengan melakukan manajemen kualitas air, sedangkan pemberian pakan yang sesuai diperlukan untuk menjaga pertumbuhan optimum serta kelangsungan hidup belut sawah.

(32)

pakan belut terhadap pakan pasta. Peningkatan konsumsi pakan biasanya dilakukan dengan menyemprot pasta menggunakan larutan minyak, cairan ikan yang kental, atau jaringan ikan yang telah dihaluskan (Afrianto dan Liviawaty, 2005).

(33)

Gambar 2. Kerangka konseptual penelitian

3.2 Hipotesis Penelitian

H1 Penggunaan atraktan berpengaruh terhadap peningkatan laju konsumsi pada belut sawah (M. albus) yang dipelihara dengan sistem resirkulasi.

H2 Penggunaan atraktan berpengaruh terhadap peningkatan retensi protein pada belut sawah (M. albus) yang dipelihara dengan sistem resirkulasi.

Peningkatan permintaan belut sawah

Intensifikasi dengan sistem resirkulasi

Mahalnya pakan alami belut sawah

Peningkatan konsumsi belut sawah terhadap pakan pasta Penggunaan pakan pasta

Peningkatan penyerapan nutrisi pakan

Retensi protein dan lemak meningkat

(34)
(35)

IV METODOLOGI

4.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga. Pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada bulan April – Mei 2014. Analisis proksimat bahan pakan, analisis proksimat ikan awal dilakukan di Unit Layanan Pemeriksaan Laboratoris Konsultasi dan Pelatihan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga, sedangkan analisis proksimat akhir penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Universitas Muhammadiyah Malang.

4.2Materi Penelitian 4.2.1 Alat Penelitan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20 buah akuarium untuk pemeliharaan belut, mesin giling, baskom, alat pengukus, alat filtrasi, thermometer, pH paper, ammonia test kit, DO test kit, timbangan digital, sprayer,

penggaris serta satu set peralatan analisis proksimat.

4.2.2 Bahan Penelitian

(36)

4.3 Metode dan Rancangan Penelitian 4.3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental. Kusriningrum (2008) menyatakan bahwa eksperimen dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan yang dibatasi dengan nyata dan dapat dianalisis hasilnya. Pengambilan data penelitian dilakukan berdasarkan hasil uji proksimat tubuh belut sawah pada awal sebelum diberikan perlakuan dan setelah perlakuan. Penelitian eksperimental digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel tertentu terhadap suatu kelompok dalam kondisi yang terkontrol. Desain eksperimen terdiri dari kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok kontrol dimaksudkan sebagai pembanding hingga terjadi perubahan akhir berbagai variabel eksperimen tersebut. Variabel eksperimen dalam penelitian meliputi variabel bebas, variabel tergantung dan variabel kendali (Nasution, 2003). Variabel eksperimen dalam penelitian ini adalah :

1. Variabel bebas, yaitu atraktan.

2. Variabel tergantung, yaitu konsumsi pakan, retensi protein dan retensi lemak belut sawah.

3. Variabel kendali terdiri atas keseragaman berat belut sawah serta kualitas air yang dinyatakan dengan suhu, pH, DO dan amoniak.

4.3.2 Rancangan Penelitian

(37)

atraktan. Perlakuan kedua (B) adalah pakan pasta ditambahkan 8% minyak cumi, perlakuan ketiga (C) adalah pakan pasta ditambahkan 8% minyak ikan dan perlakuan keempat (D) adalah pakan pasta ditambahkan 8% minyak belut. Tiap perlakuan terdiri dari 10 ekor belut sawah. Denah pengacakan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Denah pengacakan pada penelitian

A5 B4 A1 C1 C3 D4 B3 D1 A2 D2

D3 D5 C4 A3 A4 B1 C5 B5 B2 C2

4.4 Prosedur Kerja 4.4.1 Persiapan Alat

(38)

4.4.2 Persiapan Bahan

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah belut sawah dengan berat 6,0-7,0 gram berjumlah 200 ekor. Belut sawah yang digunakan berasal dari Pasar Ikan Gunungsari, Surabaya. Masing-masing akuarium diisi 10 ekor belut sawah. Belut sawah diadaptasikan terlebih dahulu dengan penambahan substrat berupa tanaman air. Selama satu minggu dilakukan adaptasi pakan dari cacing tanah ke pakan pasta. Padat tebar optimal untuk belut sawah adalah 5 ekor untuk setiap 400 cm2 (Perdana, 2013). Pakan uji yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pakan pasta yang dibuat sendiri. Bahan pakan yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan nutrisi bahan pakan

No. Bahan Pakan

Hasil analisis (%) BK Protein Lemak Serat

Kasar BETN

1. Tepung ikan 93,24 39,65 11,91 6,52 3,47

2. Bungkil kedelai 91,35 44,74 5,16 3,13 23,33

3. Dedak padi 93,24 10,36 7,94 21,29 36,61

4. Tepung tapioka 92,09 3,07 1,56 0,60 86,80

5. Premix - - - - -

6. Multivitamin - - - - -

7. Minyak cumi - - - - -

8. Minyak ikan - - - - -

9. Minyak belut - - - - -

Keterangan : Hasil analisis proksimat Unit Layanan Pemeriksaan Laboratoris Konsultasi dan Pelatihan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga (2013).

(39)

(Samsudin dan Nainggolan, 2009). Priyono (2009) menyatakan bahwa penggunaan atraktan dalam pakan sebaiknya tidak lebih dari 10% sehingga pakan tidak mudah tengik. Perlakuan pakan yang digunakan adalah :

A. Pemberian pakan pasta tanpa atraktan B. Pemberian pakan pasta + 8% minyak cumi C. Pemberian pakan pasta + 8% minyak ikan D. Pemberian pakan pasta + 8% minyak belut

Protein pada pakan pasta ditentukan sebesar 35,7%. Pakan untuk belut sawah membutuhkan kandungan protein yang cukup tinggi, menurut Yang et al. (2000) protein merupakan faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan belut sawah dengan nilai optimum 35,7 %. Penghitungan pakan uji dilakukan dengan metode bujur sangkar (Lampiran 1.). Hasil perhitungan pakan uji dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi pakan antar perlakuan

No. Bahan pakan

Jumlah dalam pakan (%)

(40)

9.

BETN1 : Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen

GE2 : Energi total, dengan nilai 1 gr protein = 5,5 kkal GE, 1 gr lemak = 9,1 kkal GE, 1 gr karbohidrat = 4,1 kkal GE (Jauncey and Ross, 1982)

DE3 : Energi yang dapat dicerna, dengan nilai 1 gr protein = 4 kkal DE, 1 gr lemak = 8,1 kkal DE, 1 gr karbohidrat = 5 kkal DE (NRC, 1993)

4.4.3 Pelaksanaan

Belut sawah yang akan digunakan untuk penelitian ditimbang untuk mengetahui berat awal guna mengetahui jumlah pakan yang akan diberikan. Belut sawah kemudian dianalisis kandungan protein dan lemaknya. Pakan diberikan sebanyak dua kali sehari sebanyak 3% dari biomass total ikan uji dengan perbandingan 40% pada pagi hari dan 60% pada malam hari. Penyesuaian jumlah pakan dilakukan setiap 7 hari sekali.

(41)

Gambar 3. Diagram alir penelitian 4.5 Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Pemberian atraktan dilakukan dengan cara penyemprotan bahan atraktan ke dalam pakan pasta.

Analisis kandungan protein dan lemak awal Analisis berat tubuh awal

Belut sawah (Monopterus albus)

Pemberian pakan perlakuan

Analisis berat tubuh serta kandungan protein dan lemak akhir

Parameter utama : Konsumsi pakan, retensi protein

dan retensi lemak

Menyusun data penelitian

Analisis data

Parameter penunjang : Kualitas air (suhu, pH, DO dan

amoniak)

(42)

2. Konsumsi pakan menggunakan metode yang dirumuskan oleh Halimutasadiah (2009) :

Konsumsi Pakan = Bobot Pakan yang Diberikan – Bobot Sisa Pakan 3. Retensi protein menggunakan metode yang dirumuskan oleh Buwono

(2000) :

RP = JPS akhir (g) – JPS awal (g) x 100% JPB (g)

Keterangan :

JPS akhir = Jumlah Protein yang Disimpan dalam tubuh ikan pada akhir penelitian (g)

JPS awal = Jumlah Protein yang Disimpan dalam tubuh ikan pada awal penelitian (g)

JPB = Jumlah Protein yang Diberikan (g)

JPS akhir = Kadar Protein Akhir (%) x Bobot Tubuh Akhir (g)

100 %

JPS awal = Kadar Protein Awal (%) x Bobot Tubuh Awal (g)

100 %

JPB = Kadar Protein Pakan (%) x Jumlah Pakan yang Dikonsumsi (g)

100 %

4. Retensi lemak menggunakan metode yang dirumuskan oleh Buwono (2000) dengan sedikit penyesuaian :

RL = JLS akhir (g) – JLS awal (g) x 100% JLB (g)

Keterangan :

JLS akhir = Jumlah Lemak yang Disimpan dalam tubuh ikan pada akhir penelitian (g)

JLS awal = Jumlah Lemak yang Disimpan dalam tubuh ikan pada awal penelitian (g)

(43)

JLS akhir = Kadar Lemak Akhir (%) x Bobot Tubuh Akhir (g)

100 %

JLS awal = Kadar Lemak Awal (%) x Bobot Tubuh Awal (g)

100 %

JLB = Kadar Lemak Pakan (%) x Jumlah Pakan yang Dikonsumsi (g)

100 %

4.6 Analisis Data

(44)

V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil

5.1.1 Konsumsi Pakan

Data rata-rata konsumsi pakan belut sawah yang diberi perlakuan pakan kontrol dan ditambah atraktan terdapat pada Tabel 5., sedangkan data konsumsi pakan belut sawah selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2.

Berdasarkan hasil uji statistik (Lampiran 7) diketahui bahwa pemberian atraktan terhadap pakan pasta menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) terhadap konsumsi pakan pakan belut sawah. Hasil yang berbeda sangat nyata tersebut menunjukkan bahwa pada masing-masing perlakuan memiliki pengaruh yang berbeda terhadap konsumsi pakan belut sawah.

Berdasarkan hasil Uji Jarak Berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test) maka diketahui bahwa konsumsi pakan tertinggi berturut-turut adalah

perlakuan D (79,44), B (79,26) dan C (78,98), sedangkan konsumsi pakan terendah adalah perlakuan A (77,12).

Tabel 5. Konsumsi pakan rata-rata belut sawah (Monopterus albus) pada perlakuan selama pemeliharaan 35 hari

Perlakuan Konsumsi Pakan ± SD

A belut; SD = Standar Deviasi

Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan terdapat perbedaan (p<0,05)

(45)

5.1.2 Retensi Protein

Data nilai rata-rata retensi protein belut sawah pada masing-masing perlakuan terdapat pada Tabel 6., sedangkan data retensi protein belut sawah selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6.

Berdasarkan hasil uji statistik (Lampiran 8) diketahui bahwa pemberian atraktan yang berbeda pada pakan pasta menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (p<0,01) terhadap nilai rata-rata retensi protein pada belut sawah. Hasil yang berbeda sangat nyata tersebut menunjukkan bahwa pada masing-masing perlakuan memiliki pengaruh yang berbeda terhadap retensi protein belut sawah.

Berdasarkan hasil Uji Jarak Berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test) maka diketahui bahwa perlakuan C (7,92%), D (7,75%) dan B (7,23%)

berturut-turut merupakan perlakuan dengan nilai rata-rata retensi protein tertinggi, sedangkan perlakuan A (4,48%), yaitu kontrol merupakan perlakuan terendah. Tabel 6. Retensi protein rata-rata (%) belut sawah (Monopterus albus) pada perlakuan selama pemeliharaan 35 hari

Perlakuan Retensi Protein ± SD Transformasi √Y ± SD A belut; SD = Standar Deviasi

Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan terdapat perbedaan (p<0,05)

(46)

5.1.3 Retensi Lemak

Data retensi lemak belut sawah rata-rata pada masing-masing perlakuan terdapat pada Tabel 7., sedangkan data retensi lemak belut sawah selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6.

Berdasarkan hasil uji statistik (Lampiran 9) diketahui bahwa pemberian atraktan yang berbeda pada pakan pasta tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05) terhadap rata-rata retensi lemak pada belut sawah. Hasil yang tidak berbeda nyata tersebut menunjukkan bahwa pada masing-masing perlakuan tidak memiliki pengaruh yang berbeda terhadap retensi lemak belut sawah. Perlakuan D (13,38%) merupakan perlakuan dengan nilai rata-rata retensi lemak tertinggi yang tidak berbeda nyata dengan semua perlakuan, A (13,00%), B (13,33%) dan C (13,30%) (p>0,05). Perlakuan A (13,00%) merupakan perlakuan dengan nilai rata-rata retensi lemak terendah yang tidak berbeda nyata dengan semua perlakuan.

Tabel 7. Retensi lemak rata-rata (%) belut sawah (Monopterus albus) pada perlakuan selama pemeliharaan 35 hari

Perlakuan Retensi Lemak ± SD Transformasi √Y ± SD A belut; SD = Standar Deviasi

5.1.4 Kualitas Air

(47)

Tabel 8. Nilai kisaran kualitas air selama penelitian belut sawah (Monopterus albus) selama pemeliharaan 35 hari

Parameter Kisaran

Suhu (oC) pH DO (mg/L) Amoniak (mg/L)

29-33 7-8 4-6 0-0,5

5.2 Pembahasan 5.2.1 Konsumsi pakan

Konsumsi pakan dapat digunakan sebagai parameter tingkat penerimaan ikan terhadap suatu pakan. Konsumsi pakan dapat diketahui dengan menghitung jumlah pakan yang dikonsumsi selama masa pemeliharaan ikan (Surakhman, 2004).

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pemberian atraktan terhadap pakan pasta menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) terhadap konsumsi pakan pakan belut sawah. Hal ini diduga dikarenakan pada perlakuan A (77,12) yaitu pakan kontrol tidak ditambahkan dengan atraktan, sehingga pakan kurang direspon oleh belut sawah.

Berdasarkan hasil Uji Jarak Berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test), maka diketahui bahwa konsumsi pakan tertinggi berturut-turut adalah

(48)

Tingginya konsumsi pakan belut sawah disebabkan karena pakan yang diberikan sebelumnya telah ditambahkan atraktan, yaitu minyak cumi, ikan dan belut untuk meningkatkan respon belut sawah terhadap pakan, sedangkan rendahnya nilai konsumsi pakan pada perlakuan karena tidak adanya bahan atraktan yang membantu meningkatkan respon belut sawah terhadap pakan. Hal ini sesuai pendapat Halimatusadiah (2009) yang menyatakan bahwa pengambilan makanan pada ikan dipengaruhi oleh bahan kimia yang terdifusi dari makanan ke dalam air dan merangsang sel kemosensori ikan, sehingga sel-sel kemosensori pada ikan harus dirangsang agar menimbulkan respon terhadap pakan. Afrianto dan Liviawaty (2005) juga menyatakan bahwa penambahan atraktan pada pakan dilakukan untuk merangsang ikan mendekati dan mengkonsumsi pakan yang diberikan.

Jenis ikan yang aktif di malam hari (nocturnal) akan menyukai pakan yang memiliki bau yang kuat (Baskoro dan Efendy, 2006). Bau yang kuat dapat dihasilkan dari kandungan kimia dalam pakan, diantaranya lemak. Lemak akan mengalami degradasi autolisis karena air sehingga menimbulkan aroma amis yang disukai oleh ikan dan menyebar pada media air.

(49)

pakan yang menunjukkan bahwa olfaktori (indra penciuman) dan gustatori (indra perasa) sensitif terhadap bahan makanan yang mirip dengan makanan alaminya (Halimatusadiah, 2009).

Perlakuan terendah adalah perlakuan A (77,12) yang merupakan perlakuan kontrol atau pakan tanpa penambahan atraktan. Rendahnya konsumsi pakan pada perlakuan ini disebabkan tidak adanya bahan atraktan dalam pakan serta kadar lemak yang terendah bila dibandingkan perlakuan lainnya. King (1986) menyatakan bahwa pakan dengan lemak yang lebih tinggi direspon lebih baik oleh ikan daripada pakan dengan lemak yang rendah.

Perlakuan B, yaitu penambahan pakan dengan minyak cumi lebih baik daripada perlakuan C, penambahan pakan dengan minyak ikan karena minyak cumi mengandung EPA 13,4%-17,4% dan DHA 12,8%-15,6% (Watanabe, 1998) yang lebih tinggi dibandingkan EPA dan DHA minyak ikan sebesar 5,84% (Rusmana, 2008), sehingga menghasilkan konsumsi pakan yang lebih tinggi juga. Rantai kimia pada asam lemak bila terpotong akan menghasilkan komponen yang menyebabkan bau sehingga dapat meningkatkan aroma pakan (Fitri, 2008)

5.2.2 Retensi Protein

(50)

protein belut sawah. Pada perlakuan C, D dan B menunjukkan bahwa penambahan atraktan berupa minyak belut (D) dan minyak cumi (B) pada pakan memiliki pengaruh yang sama dengan pakan yang ditambahkan minyak ikan (C) terhadap penyimpanan protein dalam tubuh belut sawah. Perlakuan A (4,48%), yaitu kontrol atau pakan tanpa penambahan atraktan menunjukkan pengaruh paling rendah dari perlakuan lainnya terhadap penyimpanan protein dalam tubuh belut sawah.

Penambahan minyak dalam pakan yang berfungsi sebagai atraktan menunjukkan tingkat respon yang baik terhadap penciuman dan penerimaan ikan terhadap pakan (Lampiran 2). Tingginya konsumsi pakan mengindikasikan semakin banyak nutrisi pakan yang dikonsumsi. Terpenuhinya kebutuhan energi belut sawah dari nutrisi selain protein menyebabkan protein yang dicerna akan disimpan dalam tubuh. Halver et al. (1973) menyatakan bahwa protein merupakan bagian terbesar dari daging ikan. Penggunaan karbohidrat dan lemak (nutrisi selain protein) dalam memenuhi kebutuhan energi dikenal dengan istilah protein sparing effect (Gusrina, 2008).

(51)

sawah. Pada perlakuan A (4,48%) nilai rata-rata retensi protein rendah dikarenakan rendahnya konsumsi pakan pada perlakuan ini sehingga protein yang ada sebagian digunakan dalam memenuhi kebutuhan energi pada belut sawah.

5.2.3 Retensi Lemak

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan D (13,38%) merupakan perlakuan dengan nilai rata-rata retensi lemak tertinggi yang tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan semua perlakuan, A (13,00%), B (13,33%) dan C (13,30%). Perlakuan A (13,00%) merupakan perlakuan dengan nilai rata-rata retensi lemak terendah yang tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan semua perlakuan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa penambahan atraktan berupa minyak tidak berpengaruh terhadap peningkatan retensi lemak belut sawah. Penambahan minyak dalam pakan yang berfungsi sebagai atraktan menunjukkan tingkat respon yang baik terhadap penciuman dan penerimaan ikan terhadap pakan (Lampiran 2). Lemak yang dikonsumsi oleh belut sawah akan digunakan sebagai protein sparing effect bersama-sama dengan karbohidrat untuk kebutuhan energi. Hasil dari

(52)

sehingga lemak lebih banyak disimpan dan meningkatkan retensi lemak pada belut sawah.

5.2.4 Kualitas Air

Kualitas air yang baik dalam media pemeliharaan akan sangat mendukung pertumbuhan ikan yang dipelihara. Suhu selama penelitian berkisar antara 29-33oC. kisaran suhu ini merupakan suhu optimal dalam budidaya belut karena menurut Tay et al., (2003) suhu optimal untuk budidaya belut adalah pada 25-34 o

C.

pH selama penelitian berada pada kisaran 7-8. Kisaran pH tersebut sudah termasuk ke dalam kisaran pH optimal pada budidaya belut sawah karena menurut Mashuri dkk., (2012) nilai pH optimum pada budidaya belut sawah berkisar antara 7-8. Nilai pH yang melebihi atau kurang dari kisaran optimum dapat menurunkan pertumbuhan, dan pada kondisi ekstrim dapat mengganggu kesehatan ikan.

Oksigen terlarut (DO) selama penelitian adalah sebesar 4-6 mg/L. Kandungan oksigen terlarut yang baik bagi reproduksi maupun pertumbuhan ikan adalah lebih besar dari 4 ppm, sehingga kandungan oksigen terlarut selama penelitian dapat dikatakan sudah sesuai untuk pemeliharaan ikan.

(53)
(54)

VI SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian tentang penambahan atraktan pada pakan pasta terhadap konsumsi pakan serta retensi protein dan lemak belut sawah (Monopterus albus) yang dipelihara dengan sistem resirkulasi, dapat disimpulkan bahwa :

1. Penambahan atraktan pada pakan pasta memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap peningkatan konsumsi pakan pada belut sawah (M. albus) yang dipelihara dengan sistem resirkulasi.

2. Penambahan atraktan pada pakan pasta memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap peningkatan retensi protein pada belut sawah (M. albus) yang dipelihara dengan sistem resirkulasi.

3. Penambahan atraktan pada pakan pasta tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan retensi lemak pada belut sawah (M. albus) yang dipelihara dengan sistem resirkulasi.

6.2 Saran

(55)

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E., dan E. Liviawaty. 2005. Pakan Ikan. Kanisius : Yogyakarta. Hal 9-77.

Astiana, I. 2012. Perubahan Komposisi Asam Amino dan Mineral Belut Sawah (Monopterus albus) Akibat Proses Penggorengan. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. Hal 3.

Baskoro, S. M. dan A. Effendy. 2005. Tingkah Laku Ikan : Hubungannya Dengan Metode Pengoperasian Alat Tangkap Ikan. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor Buwono, I. D. 2000. Kebutuhan Asam Amino Essensial dalam Ransum Pakan

Ikan. Kanisius : Yogyakarta. Hal 24-39.

Cowey, C. B. and J. R. Sargent. 1972. Fish Nutrition. Advances in Marine Biology. 10: 303-477.

Craig, S and L. A. Helfrich. 2009. Understanding fish nutrition, feeds and feeding. Virginia Cooperative Extension. Yorktown. 4 p.

Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. 2010. Warta Pasar Ikan : Belut dan Sidat Permintaanya Semakin Meningkat. Edisi April Vol. 80. Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal 28-29. El-Dakar, A. Y., G. D. Hassanien, S. S. Gad and S. E. Sakr. 2008. Use of Dried

Basil Leaves as a Feeding Attractant for Hybrid Tilapia, Oreochromis niloticus X Oreochromis aureus, Fingerlings. Mediterranean Aquaculture Journal 1 (1) : 35-44.

Fitri, A. D. P. 2008. Respon penglihatan dan penciuman ikan kerapu terhadap umpan terkait dengan efektivitas penangkapan. Sekolah Pascarasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal 74-93.

Gusrina, 2008. Budidaya ikan. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. Departemen Pendidikan Nasional. Hal 167-249.

Halimatusadiah, S. S. 2009. Pengaruh Atraktan untuk Meningkatkan Penggunaan Tepung Darah pada Ikan Kerapu Bebek Cromileptes altivelis. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor. Hal 6-18.

(56)

Nat. Acad.Sc., Washington D.C., Nat Res. Counc. Comm. Anim, Nutr., Ser. No. 11. 57 p.

Haryati, E. Saede dan A. Pranata. 2011. Pengaruh Tingkat Substitusi Tepung Ikan dengan Tepung Maggot Terhadap Retensi dan Efisiensi Pemanfaatan Nutrisi pada Tubuh Ikan Bandeng (Chanos chanos Forsskal). Skripsi. Universitas Hasanudin. Makasar. Hal 7-8.

Hill, J. E. and C. A. Watson. 2007. Diet of the Nonidigenous Asian Swam Eel in Tropical Ornamental Aquaculture Ponds in West-Central Florida. North American Journal of Aquaculture, 69 : 139-146.

Kadarini, T., S. Subandiyah, S. Rohmy dan E. Kusrini. 2010. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur : Adaptasi dan Pemeliharaan Ikan Hias Gurame Coklat (Spaerychthys ophronomides) dengan Penambahan Daun Ketapang. Balai Riset Budidaya Ikan Hias Depok. Jakarta. Hal 809-814 Khan, N. H., and H. T. B. Ngan. 2010. Current practices of rice field eel

Monopterus albus (Zuiew, 1793) culture in Viet Nam. Aquaculture Asia Magazine, XV (3) : 26-29.

King, M. G. 1986. The Fisheries Resources of Pacific Island Countries part I : Deep Water Shrimp. School of Fisheries. Australian Maritime College. Tasmania. Australia. 45 p.

Kusriningrum, R.S. 2008. Buku Ajar Perancangan Percobaan. Dani Abadi Cetakan Pertama. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya. Hal 5-98.

Mashuri, Sumarjan dan Z. Abidin. 2012. Pengaruh Jenis Pakan yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Belut Sawah (Monopterus albus Zuieuw). Jurnal Perikanan Unram, 1 (1) : 1-7.

Nakajima, K., A. Uchida and Y. Ishida. 1989. A New Feeding Attractant, Dimethyl-β-propiothetin, for Freshwater Fish. Nippon Suisan Gakkaishi 55 (4), 689-695.

Nico, L., and P. Fuller. 2008. Monopterus albus : USGS Nonindigenous Aquatic Species Database. Gaineville. Florida. 1 p.

Perdana, B. P. 2013. Kinerja Produksi Belut Monopterus albus pada Media Budidaya yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal 3.

(57)

Mediterranean Region: Recent Advances in Research and Technology Zaragoza (Brufau, J. nd Tacon, A. Eds), CIHEAM, IAMZ. Spain. 217-220 p.

Priyono, E. 2009. Alternatif Penambahan Suplemen Hayati untuk Meningkatkan Pertumbuhan Udang Lobster Air Tawar (cherax quadricarinatus). Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. 132 Hal. Prok, J. 2000. Asian Swamp Eel Invasion in Southeast. Aquatic Nuisance Species

Digest 4 (1) : 5.

Puspita, F. M. 1990. Pengaruh Frekuensi Pemberian Pakan terhadap Pertumbuhan Benih Ikan Koan (Ctenopharyngodon idella C.V.). Karya Ilmiah. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. Hal 7.

Robinson, E. H. and Li, M. H. 1996. A Practical Guide to Nutrition, Feeds and Feeding of Catfish. Mississippi Agricultural and Forestry Experiment Station, Mississippi State University. 7-8 p.

Rusmana, D. 2008. Minyak Ikan Lemuru sebagai Imunomodulator dan Penambahan Vitamin E untuk Meningkatkan Kekebalan Tubuh Ayam Broiler. Tesis. Sekolah Pascarasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal 7-10.

Rusmana, D., D. Natawiharja dan Happali. 2010. Pengaruh Pemberian Ransum Mengandung Minyak Ikan Lemuru dan Vitamin E terhadap Kadar Lemak dan Kolesterol Daging Ayam Broiler. Hal 1.

Saanin, H. 1968. Taksonomi dan Kunci Identifikasi. Jakarta : PT Penebar Swadaya. 218 hal.

Samsudin, A. A. W., dan A. Nainggolan. 2009. Efek Penambahan Campuran Vitamin pada Pakan Buatan terhadap Pertumbuhan Larva dan Perkembangan Sidat, Anguilla bicolor bicolor. Jurnal Ilmiah Universitas Satya Negara Indonesia. Vol 2 (1) : 62-68

Samsudin, R., N. Suhenda, dan M. Sulhi. 2010. Evaluasi Penggunaan Pakan dengan Kadar Protein Berbeda Terhadap Pertumbuhan Benih Ikan Nilem (Oeteochilus hasseltii). Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. Bogor. Hal 700.

(58)

Suprayudi, M. A. dan Setiawati, M. 2003. Kebutuhan Ikan Gurame (Osphronemus gouramy Lac.) Akan Mineral Fosfor. Jurnal Akuakultur Indonesia, 2 (2) : 67-71.

Surakhman, A. 2004. Pengaruh Lemak Patin dalam Pakan Terhadap Pertumbuhan Ikan Mas (Cyprinus carpio). Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal 4-6.

Tan, Q. and R. He. 2007. Effect of Dietary Supplementation of Vitamin A, D3, E, and C on Yearling Rice Field Eel, Monopterus albus : Serum Indices, Gonad Development, and Metabolism of Calcium and Phosphorus. Journal of the World Aquaculture Society. Vol. 38, No 1. 146-153.

Tay, A. S. L., S. F. Chew, Y. K. Ip. 2003. The Swamp Eel Monopterus albus Reduces Endogenous Ammonia Production and Detoxifies Ammonia to Glutamine during 144 h of Aerial Exposure. The Journal of Experimental Biology, 206: 2473-2486.

Wahyudin. 2005. Pengaruh Rotifera yang Diperkaya dengan Beberapa Jenis Sumber Lemak Terhadap Kelangsungan Hidup Larva Udang Vannamei Litopenaues vannamei. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal 6-7.

Watanabe, T. 1988. Fish Nutrition and Mariculture. Japan International Coorporation Agency (JICA). 233 p.

Wilson, R. P. and W. E. Poe. 1987. Apparent Inability of Channel Catfish to Utilize Dietary Mono and Dissacharides as Energy Sources. Journal of Nutrition, 117: 280-285.

Wirosaputro, S. 1978. Percobaan Budidaya Ikan Belut (Monopterus albus Z.) di dalam Bak. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Hal 2.

Yang, D., F. Chen, D. Li, and B. Liu. 2000. Requirements of Nutrients and Optimum Energy-Protein Ratio in the Diet for Monopterus albus. Journal of Fisheries of China/ Shuichan Xuebao 24:259-262.

Yudiarto, S. 2012. Pengaruh Penambahan Atraktan yang Berbeda dalam Pakan Pasta Terhadap Retensi Protein, Lemak dan Energi Benih Ikan Sidat (Aguilla bicolor) Stadia Elver. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Airlangga. Surabaya. Hal 10-21.

(59)

Lampiran 1. Perhitungan Pakan Uji

No. Bahan Pakan

Hasil analisis (%) BK Protein Lemak Serat

Kasar BETN

1. Tepung ikan 93,24 39,65 11,91 6,52 3,47

2. Bungkil kedelai 91,35 44,74 5,16 3,13 23,33

3. Dedak padi 93,24 10,36 7,94 21,29 36,61

4. Tepung tapioka 92,09 3,07 1,56 0,60 86,80

5. Premix - - - - -

6. Minyak cumi - - - - -

7. Minyak ikan - - - - -

8. Minyak belut - - - - -

No % Bahan Pakan Kebutuhan (Kg) Protein

1. Tepung Ikan

2. 55 Bungkil Kedelai 0,55 0,55x44,74/1 = 24,607

3. 5 Dedak Padi 0,05 0,05x10,36/1 = 0,518

4. Tepung Tapioka

5. 4 Premix 0,04 -

TOTAL 0,64 = 25,125

Kekurangan kebutuhan = 1 – 0,64 = 0,36 Kekurangan protein = 35,7 – 25,125 = 10,575 % Kekurangan protein = 10,575/0,36x1 = 29,375

39,65 26,305

3,07 10,275 +

(60)

Tepung Ikan = 26,305/36,58x0,36 = 0,26 Tepung Tapioka = 10,275/36,58x0,36 = 0,10

(61)

Lampiran 2. Data Tingkat Konsumsi Belut Sawah (gram)

(62)

Lampiran 3. Hasil Analisis Proksimat Awal dan Akhir Penelitian Belut Sawah

Kode Sampel Protein Kasar (PK) Lemak Kasar (LK)

(63)

Lampiran 4. Data Berat, Jumlah Protein dan Lemak Tubuh Belut Sawah

Kode Sampel

Berat Tubuh Berat Protein Berat Lemak

(64)

Lampiran 5. Data Jumlah Protein dan Lemak Pakan yang Dikonsumsi Belut Sawah (gram)

Kode Sampel Pakan

(65)

Lampiran 6. Data Retensi Protein dan Lemak Belut Sawah serta Transformasinya

(66)
(67)
(68)
(69)

Lampiran 10. Perhitungan Tingkat Konsumsi Belut Sawah

Konsumsi Pakan = Bobot Pakan yang Diberikan – Bobot Sisa Pakan Contoh :

Konsumsi Pakan A1

Konsumsi Pakan = 86,52 g – 7,93 g = 78,59 g

(70)

Lampiran 11. Perhitungan Retensi Protein Belut Sawah JPS akhir = Kadar Protein Akhir (%) x Bobot Tubuh Akhir (g)

100 %

JPS awal = Kadar Protein Awal (%) x Bobot Tubuh Awal (g) 100 %

JPB = Kadar Protein Pakan (%) x Jumlah Pakan yang Dikonsumsi (g) 100 %

Retensi Protein = JPS Akhir (g) x JPS Awal (g) x 100% JPB (g)

Contoh :

Retensi Protein A1

JPS Akhir (A1) = 14,508 % x 97,8 g 100 % = 14,1888 g

JPS Awal (A1) = 17,6453 % x 72,3 g 100 %

= 12,7576 g

JPB (A1) = 34,7222 % x 78,59 g 100%

= 27,2882 g

Retensi Protein = 14,1888 g - 12,7576 g x 100% 27,2882

= 5,2450 %

(71)

Lampiran 12. Perhitungan Retensi Lemak Belut Sawah JLS akhir = Kadar Lemak Akhir (%) x Bobot Tubuh Akhir (g)

100 %

JLS awal = Kadar Lemak Awal (%) x Bobot Tubuh Awal (g) 100 %

JLB = Kadar Lemak Pakan (%) x Jumlah Pakan yang Dikonsumsi (g) 100 %

Retensi Protein = JLS Akhir (g) x JLS Awal (g) x 100% JLB (g)

Contoh :

Retensi Lemak A1

JLS Akhir (A1) = 1,1553 % x 97,8 g 100 % = 1,4409 g

JLS Awal (A1) = 1,4733 % x 72,3 g 100 % = 0,8353 g

JLB (A1) = 5,8117 % x 78,59 g 100% = 4,5674 g

Retensi Lemak = 1,4409 g - 0,8353 g x 100% 4,5674

= 13,2593

(72)

Lampiran 13. Alat dan Bahan Penelitian

(a) (b)

(c) (d)

(e) Keterangan :

a. Belut

b. Alat pengukur kualitas air (termometer, pH paper, ammonia test kit dan DO test kit)

c. Bahan pakan

d. Atraktan (minyak cumi, minyak ikan dan minyak belut)

(73)
(74)
(75)
(76)
(77)

Gambar

Tabel
Gambar
Gambar 1. Belut sawah (Monopterus albus) (http://nas.er.usgs.gov/fishes/accounts/synbranc/mo_albus.html)
Gambar 2. Kerangka konseptual penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan skenario moderat dan skenario optimis menunjukan bahwa investasi ini layak dijalankan serta skenario pesimis menunjukkan sebaliknya maka kesimpulan dari hasil studi

Laporan akhir ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kecepatan akses, kualitas gambar dan suara saat melakukan video conference dengan Skype di sebuah gedung yang

Penelitian tentang Budidaya Ternak Babi Sebagai Pendorong Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Intan Jaya dimaksudkan untuk mewujudkan kesinambungan pengembangan komoditi

Mendorong Pemprov di seluruh Indonesia untuk menerbitkan Perda/Pergub untuk melindungi usaha kecil &amp; menegah, melalui pendekatan, audiensi dan pertemuan dengan pemerintah

Melalui pengelolaan konflik dengan cara kolaborasi, diharapkan akan meningkatkan efektifitas baik untuk individu ataupun bagi tim, dimana efektifitas ini akan

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara perilaku asertif dan tingkat stres kerja pada karyawan.. Subjek penelitian adalah karyawan

Dengan adanya etika maka seseorang dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, pada PT PLN (Persero) UIP RING SUM I, masih banyak Sekretaris menggunakan kata- kata

Baja (St.42) adalah baja yang mempunyai kekuatan atau tegangan tarik maksimum lebih kurang 42 N/mm 2 .Penelitian ini bertujuan untuk menemukan perubahan kekuatan