• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II STUDI PUSTAKA. kapasitas dan waktu perjalanan pada suatu jaringan jalan, khususnya di daerah - daerah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II STUDI PUSTAKA. kapasitas dan waktu perjalanan pada suatu jaringan jalan, khususnya di daerah - daerah"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II STUDI PUSTAKA 2.1 Persimpangan

Persimpangan jalan dapat didefinisikan sebagai daerah umum dimana dua jalan atau lebih bergabung atau bersimpangan, termasuk jalan dan fasilitas tepi jalan untuk pergerakan fasilitas di dalamnya (AASHTO, 2001).

Persimpangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari semua sistem jalan. Persimpangan- persimpangan merupakan faktor yang paling penting dalam menentukan kapasitas dan waktu perjalanan pada suatu jaringan jalan, khususnya di daerah - daerah perkotaan. Ketika berkendara di dalam kota, orang dapat melihat bahwa kebanyakan jalan di daerah perkotaan biasanya memiliki persimpangan, di mana pengemudi dapat memutuskan untuk jalan terus atau berbelok dan pindah jalan.

Lalu-lintas pada masing-masing kaki persimpangan bergerak secara bersama-sama dengan lalu-lintas lainnya. Oleh karena persimpangan dipergunakan setiap orang, maka persimpangan tersebut harus dirancang dengan hati-hati, dengan mempertimbangkan efisiensi, keselamatan, kecepatan, biaya operasi, dan kapasitas. Pergerakan lalu-lintas yang terjadi dan urutan-urutannya dapat ditangani dengan berbagai cara, tergantung pada jenis persimpangan yang dibutuhkan.

Menurut Khisty (2003), persimpangan dibuat dengan tujuan untuk mengurangi potensi konflik diantara kendaraan (termasuk pejalan kaki) dan sekaligus menyediakan kenyamanan maksimum dan kemudahan pergerakan bagi kendaraan. Secara umum terdapat tiga jenis persimpangan, yaitu persimpangan sebidang, pembagian jalur jalan tanpa ramp, dan simpang susun atau interchange. Persimpangan sebidang (intersection at grade) adalah persimpangan di mana dua jalan atau lebih bergabung pada satu bidang

(2)

datar, dengan tiap jalan raya mengarah keluar dari sebuah persimpangan dan membentuk bagian darinya.

Sedangkan menurut Hobbs (1995), terdapat tiga tipe umum pertemuan jalan, yaitu pertemuan jalan sebidang, pertemuan jalan tak sebidang, dan kombinasi antara keduanya.

2.2 Lampu Lalu-lintas

Satu metode yang paling penting dan efektif untuk mengatur lalu-lintas di persimpangan adalah dengan menggunakan lampu lalu-lintas. Menurut Khisty (2003), lampu lalu-lintas adalah sebuah alat elektrik (dengan sistem pengatur waktu) yang memberikan hak jalan pada satu arus lalu-lintas atau lebih sehingga aliran lalu-lintas ini bisa melewati persimpangan dengan aman dan efisien.

Oglesby (1999) menyebutkan bahwa setiap pemasangan lampu lalu-lintas bertujuan untuk memenuhi satu atau lebih fungsi-fungsi yang tersebut di bawah ini:

1. Mendapatkan gerakan lalu-lintas yang teratur.

2. Meningkatkan kapasitas lalu-lintas pada perempatan jalan. 3. Mengurangi frekuensi jenis kecelakaan tertentu.

4. Mengkoordinasikan lalu-lintas di bawah kondisi jarak sinyal yang cukup baik, sehingga aliran lalu-lintas tetap berjalan menerus pada kecepatan tertentu.

5. Memutuskan arus lalu-lintas tinggi agar memungkinkan adanya penyeberangan kendaraan lain atau pejalan kaki.

6. Mengatur penggunaan jalur lalu-lintas.

7. Sebagai pengendali ramp pada jalan masuk menuju jalan bebas hambatan (entrancefreeway).

(3)

Oglesby (1999) juga menyebutkan bahwa terdapat hal-hal yang kurang menguntungkan dari lampu lalu-lintas, antara lain adalah:

1. Kehilangan waktu yang berlebihan pada pengemudi atau pejalan kaki.

2. Pelanggaran terhadap indikasi sinyal umumnya sama seperti pada pemasangan khusus. 3. Pengalihan lalu-lintas pada rute yang kurang menguntungkan.

4. Mengurangi frekuensi kecelakan, terutama tumbukan bagian belakang kendaraan dengan pejalan kaki.

Permasalahan yang sering muncul dalam penanganan masalah pengaturan sinyal lampu lalu-lintas adalah arus belok kanan yang cukup besar. Apabila tidak disediakan fase tersendiri untuk gerakan belok kanan maka dapat mengakibatkan pengurangan kapasitas persimpangan dan juga meningkatkan kemungkinan terjadinya kecelakaan lalu-lintas. Untuk itu Manual Kapasitas Jalan Indonesia Tahun 1997 memberikan suatu kriteria batasan besar arus lalu-lintas belok kanan yang harus menggunakan fase tersendiri yaitu apabila melampauhi 200 smp/jam.

Upaya yang sering dilakukan dalam menangani belok kanan adalah dengan menggunakan fasilitas early cut-off, late-start, dan kombinasi keduanya.

1. Early cut-off : waktu hijau dari kaki simpang pada arah berlawanan diberhentikan beberapa saat lebih cepat untuk memberi kesempatan kendaraan belok kanan (webster, 1996). Fasilitas ini diberikan kepada kaki persimpangan yang jumlah kendaraan belok kanan cukup besar. Adanya fasilitas early cut-off mengakibatkan sinyal untuk pergerakan kedua arah berlawanan tidak sama.

2. Late start (late release) : menunda beberapa detik waktu hijau dari arah berlawanan untuk memberikan kesempatan kendaraan belok kanan. Adanya fasilitas ini mengakibatkan sinyal hijau untuk pergerakan kedua simpang tidak sama.

(4)

3. Kombinasi early cut-off dengan late start : biasanya digunakan apabila pada kedua arah jumlah kendaraan yang belok kanan cukup besar. Biasanya early cut-off digunakan pada kaki simpang yang memiliki jumlah belok kanan yang lebih besar dari arah yang berlawanan, sedangkan untuk yang lebih ringan digunakan fasilitas late start.

2.3 Area Traffic Control System (ATCS)

Penataan ritme lalu lintas akan lebih baik apabila pemerintah kota menerapkan teknologi Area Traffic Control System (ATCS) pada semua persimpangan lalu lintas yang ada di kota tersebut. ATCS adalah sebuah sistem pengaturan lalu lintas bersinyal terkoordinasi yang diatur mencakup satu wilayah secara terpusat. Dengan ATCS maka dapat dilakukan upaya manajemen rekayasa lalu lintas yang mengkoordinasikan semua titik-titik persimpangan bersinyal melalui pusat kontrol ATCS, sehingga diperoleh suatu kondisi pergerakan lalu lintas secara efisien. Teknologi ATCS sendiri telah banyak diterapkan di berbagai kota-kota besar di negara-negara maju.

Dengan ATCS, penataan siklus lampu lalu lintas dilakukan berdasar input data lalu lintas yang diperoleh secara real time melalui kamera CCTV pemantau lalu lintas pada titik-titik persimpangan. Penentuan waktu siklus lampu persimpangan dapat diubah berkali-kali dalam satu hari sesuai kebutuhan lalu lintas paling efisien yang mencakup keseluruhan wilayah tersebut.

Untuk itu maka pengoperasian ATCS diatur dengan sebuah sistem kontrol terpadu yang melibatkan beberapa komponen berupa :

 Pengatur arus persimpangan berupa lampu lalu lintas  Penginput data lalu lintas berupa kamera CCTV pemantau

(5)

 Software sistem ATCS

 Ruang kontrol (Central Control Room) ATCS plus operatornya

Beberapa penelitian berhasil membuktikan bahwa penerapan ATCS dapat berpengaruh secara signifikan dalam memecahkan masalah-masalah lalu lintas di perkotaan. Indikator perbaikan kinerja persimpangan dapat dilihat dengan adanya penurunan waktu tundaan, panjang antrian, derajat kejenuhan dan waktu tempuh perjalanan yang lebih singkat. Sekalipun demikian sistem ATCS tetap memiliki kelemahan berupa biaya investasi, perawatan dan operasional yang relatif mahal terlebih jika mengingat beberapa kebiasaan buruk kalangan masyarakat kita yang kurang merawat bahkan suka menjahili perlengkapan fasilitas-fasilitas umum.

2.4 Koordinasi Simpang Bersinyal

Koordinasi sinyal antar simpang diperlukan untuk mengoptimalkan kapasitas jaringan jalan karena dengan adanya koordinasi sinyal ini diharapkan tundaan (delay) yang dialami kendaraan dapat berkurang dan menghindarkan antrian kendaraan yang panjang. Kendaraan yang telah bergerak meninggalkan satu simpang diupayakan tidak mendapati sinyal merah pada simpang berikutnya, sehingga dapat terus berjalan dengan kecepatan normal. Sistem sinyal terkoordinasi mempunyai indikasi sebagai salah satu bentuk manajemen transportasi yang dapat memberikan keuntungan berupa efisiensi biaya operasional (Arouffy dalam Sandra Chitra Amelia 2008 ).

Upaya sering dibuat untuk menempatkan sinyal lalu lintas pada sistem terkoordinasi sehingga pengemudi menemukan lintasan panjang lampu hijau. Perbedaan antara sinyal terkoordinasi dan sinyal disinkronisasi sangat penting. Disinkronkan sinyal perubahan semua pada waktu yang sama dan hanya digunakan dalam kasus khusus. Sistem

(6)

terkoordinasi dikendalikan agar kendaraan dapat melanjutkan melalui serangkaian terus menerus dari lampu hijau. Sebuah representasi grafis pada bidang dua sumbu jarak terhadap waktu jelas menunjukkan "band hijau" yang telah ditetapkan berdasarkan jarak simpang bersinyal dan kecepatan kendaraan yang diharapkan. Di beberapa negara sistem digunakan untuk membatasi kecepatan di daerah tertentu. Lampu dihitung sedemikian rupa sehingga pengendara dapat melewati tanpa berhenti jika kecepatan mereka lebih rendah dari batas yang diberikan, sebagian besar 50 km/jam (30 mph) di daerah perkotaan.

Dalam modern sistem sinyal terkoordinasi, adalah mungkin bagi pengemudi untuk melakukan perjalanan jarak jauh tanpa menghadapi lampu merah. Koordinasi ini dilakukan dengan mudah hanya pada jalan satu arah dengan tingkat yang cukup konstan lalu lintas. Jalan dua arah sering diatur agar sesuai dengan jam-jam sibuk untuk mempercepat arah volume yang lebih berat. Kemacetan sering dapat membuang koordinasi apapun, namun di sisi lain beberapa sinyal lalu lintas yang terkoordinasi untuk mencegah pengemudi dari serangkaian lampu merah. Praktek ini menghambat volume lalu lintas yang tinggi dengan menginduksi delay belum mencegah kemacetan. Kecepatan diatur dalam sistem sinyal terkoordinasi, pengemudi bepergian terlalu cepat akan tiba pada indikasi merah dan akhirnya berhenti, pengemudi bepergian terlalu lambat tidak akan tiba di sinyal berikutnya dalam waktu untuk memanfaatkan indikasi hijau.

Baru-baru ini metode canggih telah digunakan. Lampu lalu lintas kadang-kadang terpusat dikendalikan oleh monitor atau komputer untuk memungkinkan mereka untuk dikoordinasikan secara real time untuk menangani perubahan pola lalu lintas. Video kamera, atau sensor terkubur di trotoar dapat digunakan untuk memonitor pola lalu lintas di seluruh kota. Non-terkoordinasi sensor sesekali menghambat lalu lintas dengan mendeteksi jeda dan memerah seperti mobil tiba dari sinyal sebelumnya. Hal ini

(7)

mengurangi kebutuhan untuk langkah-langkah lain (seperti jalan baru) yang bahkan lebih mahal. Manfaat koordinasi meliputi:

 Meningkatkan kapasitas simpang.

 Mengurangi tabrakan, baik kendaraan dan pejalan kaki. Mendorong perjalanan dalam atas kecepatan untuk memenuhi lampu hijau.

 Mengurangi berhenti tidak perlu dan akan mengurangi konsumsi bahan bakar, polusi udara, kebisingan.

 Mengurangi waktu perjalanan.  Mengurangi frustrasi pengemudi.

Menurut Taylor dkk (1996), koordinasi antar simpang bersinyal merupakan salah satu jalan untuk mengurangi tundaan dan antrian. Adapun prinsip koordinasi simpang bersinyal menurut Taylor ditunjukan dalam Gambar 2.1 di bawah. Gambar 2.1, menjelaskan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengkoordinasikan sinyal, yaitu: 1. Waktu siklus pada sinyal tiap simpang diusahakan sama, hal ini untuk mempermudah

menentukan selisih nyala sinyal hijau dari simpang yang satu dengan simpang berikutnya.

2. Sebaiknya pola pengaturan simpang yang dipergunakan adalah fixed time signal, karena koordinasi sinyal dilakukan secara terus menerus.

(8)

Gambar 2.1: Prinsip Koordinasi Sinyal dan Green Wave Sumber : Taylor dkk (1996)

Sistem koordinasi sinyal dibagi menjadi empat macam sebagai berikut ini:

1. Sistem serentak (simultaneous system), semua indikasi warna pada suatu koridor jalan menyala pada saat yang sama.

2. Sistem berganti-ganti (alternate system), sistem dimana semua indikasi sinyal berganti pada waktu yang sama, tetapi sinyal atau kelompok sinyal pada simpang di dekatnya memperlihatkan warna yang berlawanan.

3. Sistem progresif sederhana (simple progressive system), berpedoman pada siklus yang umum tetapi dilengkapi dengan indikasi sinyal jalan secara terpisah.

4. Sistem progresif fleksibel (flexible progressive system), memiliki mekanisme pengendali induk yang mengatur pengendali pada tiap sinyal. Pengendalian ini tidak hanya memberikan koordinasi yang baik diantara sinyal-sinyal tetapi juga memungkinkan panjang siklus dan pengambilan siklus pada interval di sepanjang hari.

(9)

Pola pengaturan waktu yang sering dilakukan untuk koordinasi lampu lalu-lintas adalah sebagai berikut:

1. Pola pengaturan waktu tetap (Fixed Time Control). Pola pengaturan waktu yang diterapkan hanya satu, tidak berubah-ubah. Pola pengaturan tersebut merupakan pola pengaturan yang paling cocok untuk kondisi jalan atau jaringan jalan yang terkoordinasikan. Pola-pola pengaturan tersebut ditetapkan berdasarkan data-data dan kondisi dari jalan atau jaringan yang bersangkutan.

2. Pola pengaturan waktu berubah berdasarkan kondisi lalu-lintas (Vihicle Responsive System). Pola pengaturan waktu yang diterapkan tidak hanya satu tetapi diubah-ubah sesuai dengan kondisi lalu-lintas yang ada. Biasanya ada tiga pola yang diterapkan yang sudah secara umum ditetapkan berdasarkan kondisi lalu-lintas sibuk pagi (morning peak condition), kondisi lalu-lintas sibuk sore (evening peak condition), dan kondisi lalu-lintas di antara kedua periode waktu tersebut (off peak condition).

3. Pola pengaturan waktu berubah sesuai kondisi lalu-lintas (traffic responsive system). Pola pengaturan waktu yang diterapkan dapat berubah-ubah setiap waktu sesuai dengan perkiraan kondisi lalu-lintas yang ada pada waktu yang bersangkutan. Pola-pola tersebut ditetapkan berdasarkan perkiraan kedatangan kendaraan yang dilakukan beberapa saat sebelum penerapannya. Sudah tentu metode ini hanya dapat diterapkan dengan peralatan-peralatan yang lengkap.

2.4.1 Syarat Koordinasi Sinyal

Pada situasi di mana terdapat beberapa sinyal yang mempunyai jarak yang cukup dekat, diperlukan koordinasi sinyal sehingga kendaraan dapat bergerak secara efisien melalui kumpulan sinyal-sinyal tersebut. Pada umumnya, kendaraan yang keluar dari suatu

(10)

sinyal akan tetap mempertahankan grupnya hingga sinyal berikutnya. Ada beberapa pendapat tentang kriteria yang digunakan untuk menentukan bahwa dua simpang bersebelahan perlu dikoordinasikan atau tidak, yaitu :

1. Berdasarkan panjang ruas.

2. Berdasarkan nilai couple index yaitu perbanding besar arus dengan panjang ruas.

Kriteria yang berdasarkan panjang ruas yaitu apa bila jarak antara dua simpang kurang dari 800 meter, maka lampu lalu lintas yang dipasang sebaiknya dikordinasikan (Mc. Shane, 1990). Kriteria yang berdasarkan nilai couple index yaitu apabila nilai I ≥ 0,5 maka kedua simpang bersinyal tersebut perlu dikoordinasikan. Besar couple index dapat dihitung dengan persamaan :

𝐼 =𝑄 𝐷

dimana: I = couple index

Q = volume lalu lintas pada dua arah (kend/jam) D = jarak antara dua persimpangan bersinyal (ft)

Pendapat lain (McShane dan Roess, 1990), untuk mengkoordinasikan beberapa sinyal, diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu:

1. Jarak antar simpang yang dikoordinasikan tidak lebih dari 800 meter. Jika lebih dari 800 meter maka koordinasi sinyal tidak akan efektif lagi.

2. Semua sinyal harus mempunyai panjang waktu siklus (cycle time) yang sama.

3. Umumnya digunakan pada jaringan jalan utama (arteri, kolektor) dan juga dapat digunakan untuk jaringan jalan yang berbentuk grid.

4. Terdapat sekelompok kendaraan (platoon) sebagai akibat lampu lalu-lintas di bagian hulu.

(11)

Taylor, dkk (1996) juga mengisyaratkan bahwa fungsi dari system koordinasi sinyal adalah mengikuti volume lalu-lintas maksimum untuk melewati simpang tanpa berhenti dengan mulai waktu hijau (green periods) pada simpang berikutnya mengikuti kedatangan dari kelompok (platoon).

Semua pendapat yang disebut di atas hanyalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan hasil penelitian pada lokasi tertentu. Namun yang terpenting adalah bentuk arus yang terjadi ketika memasuki suatu persimpangan, apabila yang keluar dari satu persimpangan dan saat memasuki persimpangan dihilir masih berbentuk pleton, maka kedua persimpangan tersebut sebaiknya dikoorsinasikan. Demikian sebaliknya, apabila arus saat tiba pada simpang di hilir berbentuk seragam (tidak berbentuk pleton) maka kedua persimpangan tidak perlu dikoordinasikan. Jadi ada kemungkinan kriteria yang disebutkan di atas tidak berlaku pada jalan tertentu. Hal ini terbukti dengan adanya pendapat yang menyatakan bahwa untuk jarak yang lebih besar dari 800 meter hingga 1200 meter dinilai masih lebih efektif bila dikoordinasikan.

2.4.2 Koordinasi Sinyal Pada Jalan Satu Arah

Koordinasi sinyal pada jalan satu arah lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan dua arah. Karena arah pergerakannya hanya satu arah maka penentuan offset akan lebih mudah. Dengan mengamati kecepatan rata-rata melintasi masing-masing ruas maka offset dapat diperoleh yaitu panjang ruas dibagi dengan kecepatan. Contoh koordinasi sinyal pada jalan satu arah diperlihatkan pada gambar 2.2. Apabila kendaraan bergerak dengan kecepatan tertentu sehingga kendaraan dalam batas bandwidth, maka diharapkan kendaraan tersebut tidak mengalami tundaan akibat sinyal merah.

(12)

Trajectory of last vihicle Trajectory of first vihicle Effective green Effective red Distance Time

Gambar 2.2 : Prinsip Koordinasi Sinyal Pada Jalan Satu Arah

2.4.3 Koordinasi Sinyal Pada Jalan Dua Arah

Mengkoordinasikan sinyal lampu lalu-lintas pada jalan dua arah lebih sulit dilakukan. Beberapa factor penyebab lebih sulit adalah :

 Jarak antar persimpangan tidak seragam.  Volume lalu-lintas tidak sama pada kedua arah.

 Kecepatan kendaraan mungkin berbeda pada kedua arah.

 Lama lampu hijau untuk keseluruhan lampu yang dikoordinasikan tidak sama.  Adanya disperse pleton.

Secara berturut-turut gambar 2.3 dan gambar 2.4 menunjukkan koordinasi sinyal untuk panjang ruas yang seragam dan tidak seragam.

Bandwit h

(13)

Gambar 2.3. Koordinasi sinyal lampu lalu-lintas pada jalan dua arah dengan jarak persimpangan seragam

Gambar 2.4. Koordinasi sinyal lampu lalu-lintas pada jalan dua arah dengan jarak persimpangan tidak seragam

Arus lalu-lintas dua arah dan jarak antar simpang perempatan tidak sama, maka situasinya lebih kompleks, seperti terlihat pada gambar 2.4. Dengan sistem laju yang

(14)

fleksibel, waktu siklus pada setiap persimpangan adalah tetap tetapi indikasi hijau digantikan agar cocok dengan kecepatan jalan yang dipilih dan merupakan suatu kompromi yang didasarkan pada arus searah, jarak sinyal, dan kebutuhan lalu-lintas persilangan jalan (Hobbs, 1995).

2.5 Metode Koordinasi Sinyal Pada Jalan Dua Arah

Sesuai dengan kasus dilapangan bahwa persimpangan bersinyal yang ditinjau adalah jalan dua arah, maka metode koordinasi yang digunakan adalah koordinasi sinyal pada jalan dua arah. Dalam metode ini, hal yang harus diperhatikan adalah Green Bandwidth dan Offset.

2.5.1 Metode Maksimasi Green Bandwidth

Metode maksimasi Green Bandwidth adalah salah satu metode yang umum digunakan dalam mengkoordinasikan sinyal persimpangan pada jalan dua arah. Dalam metode ini offset diatur sedemikian sehingga diperoleh suatu jalur hijau (Green Bandwidth) untuk jalur inbound dan outboud. Untuk lebih jelasnya lihat gambar 3.1. Asumsi yang diambil dalam metode ini adalah :

1. Kendaraan bergerak dalam pleton yang bersamaan. 2. Tidak ada disperse pleton.

3. Volume lalu-lintas yang rendah (undersaturated).

4. Tidak ada atau sedikit kendaraan yang masuk jalan arterial dari jalan samping.

Kondisi seperti yang diasumsikan pada gambar 2.5 jarang dijumpai. Walaupun demikian konsep pendekatan ini sangat sering digunakan karena Green Bandwidth mudah

(15)

dilihat secara visual dan hasil yang baik dapat diperoleh secara manual, yaitu dengan cara coba-coba (McShane and Roess, 1990).

Ukuran effisiensi pada metode ini didefinisikan sebagai perbandingan bandwidth terhadap panjang siklus, yang biasanya dinyatakan dalam persentase:

efesiensi = bandwidth

panjang siklus x 100% ………(3.1)

Gambar 2.5. Bandwidth pada diagram time-space (McShane and Roess, 1990)

System koordinasi dikatakan baik, apabila efesiensi berkisar dari 40-50 % (McShane, 1990). Nilai efesiensi yang besar akan memberikan volume kendaraan yang dapat lewat tanpa henti yang besar pula. Besar volume ini dapat dihitung dengan persamaan berikut:

nonstop volume =3600 BW (L)

h (C) ………(3.2)

dimana: BW = bandwidth yang ada (sec)

(16)

h = headway dalam pergerakan pleton (sec/veh) C = panjang siklus (sec)

Perhitungan offset untuk koordinasi sinyal dengan metode ini dapat dilakukan dengan cara manual dan dengan program komputer. Perhitungan manual dapat dilakukan secara grafis dengan cara coba-coba untuk mendapatkan bandwith yang paling besar. Sedangkan, perhitungan dengan program komputer telah dibuat algoritmanya.

Kelemahan metode ini adalah:

1. Tidak memperhitungakan adanya dispersi pleton. 2. Tidak memperhitungkan volume lalulintas.

3. Besar saturation flow rate untuk setiap simpang dianggap sama.

2.5.2 Metode Minimasi Perbedaan offset aktual dan offset ideal

Metode ini adalah mencari offset aktual yang mana perbedaan offset aktual dan offset ideal memberikan hasil yang minimal. Metode ini hampir sama dengan metode maksimasi Green Bandwidth, perbedaannya adalah dalam hal perhitungannya. Sasarannya adalah mendapatkan jalur hijau maksimum dikedua arah. Asumsi yang diambil sama dengan metode maksimasi Green Bandwidth. Perbedaan utama konsep ini dengan metode maksimasi Green Bandwidth adalah turut diperhitungkannya volume lalu-lintas dalam perhitungannya.

Offset aktual adalah offset yang mana jumlah offset inbound dan outbound pada satu ruas sama dengan bilangan bulat. Untuk lebih jelasnya lihat gambar 2.6 dan 2.7. Secara umum hubungan antara offset aktual arah inbound dengan offset aktual arah outbound adalah sebagai berikut:

(17)

dimana: tNB = offset aktual arah north bound (inbound) tSB = offset aktual arah south bound (outbound) n = bilangan bulat

C = panjang siklus

Pendekatan yang diambil adalah mengasumsikan bahwa kendaraan yang melintasi sejumlah simpang bersinyal bergerak dalam bentuk pleton. Pleton kendaraan tersebut dalam pergerakannya melintasi ruas mengalami dispersi sehingga bertambah panjang. Prinsip metode koordinasi yang diusulkan ini mencoba untuk mengatur offset sinyal sedemikian sehingga pleton dapat melintasi sejumlah persimpangan bersinyal dengan tundaan total paling kecil. Dalam kajian ini data masukan yang diasumsikan sudah diketahui adalah :

Gambar 2.6 : Waktu offset untuk satu siklus

(18)

1. Waktu hijau masing-masing simpang

2. Saturation flow rate untuk masing-masing simpang 3. Kecepatan rata-rata lalu lintas dikedua arah

4. Besar arus lalu lintas

Pada simpang kedua, jumlah kendaraan belok kanan cukup besar. Oleh sebab itu, perlu diberikan fasilitas late start, yaitu menunda beberapa detik waktu hijau dari arah berlawanan untuk memberikan kesempatan kendaraan belok kanan. Adanya fasilitas ini mengakibatkan sinyal hijau untuk pergerakan kedua simpang tidak sama. Waktu hijau simpang pertama lebih duluan dari simpang kedua. Maka terlebih dahulu dilakukan analisa persimpangan untuk mengetahui panjang siklus optimum berdasarkan data geometrik dan arus lalu lintas. Kemudian diambil panjang siklus koordinasi yaitu panjang siklus optimum terbesar dari kedua simpang. Selanjutnya dihitung kembali alokasi waktu hijau berdasarkan panjang siklus koordinasi tersebut untuk kedua simpang. Analisa dilakukan dengan cara manual sesuai dengan metode pada Manual Kapasitas Jalan Indonesia tahun 1997.

Semua metode koordinasi umumnya sasaran akhirnya adalah untuk mendapat offset antar dua simpang bersinyal yang bersebelahan. Offset merupakan waktu (dalam detik) antara permulaan fase lampu hijau di satu persimpangan dengan permulaan lampu hijau di persimpangan berikutnya (Khisty, 2003).

McShane (1990), memberikan beberapa pengertian offset diantaranya : 1. Perbedaan waktu munculnya sinyal hijau antara dua sinyal bersebelahan. 2. Perbedaan waktu munculnya sinyal merah antara dua sinyal bersebelahan. 3. Perbedaan munculnya tengah-tengah hijau antara sinyal bersebelahan.

(19)

Ketiga defenisi di atas memberikan hasil besaran yang berbeda, namun tujuannya sama yaitu untuk menyatakan offset dalam detik atau dapat pula dinyatakan sebagai persentase terhadap panjang siklus. Besar offset yang diberikan akan berpengaruh terhadap besar tundaan (delay) yang terjadi. Besar offset dipengaruhi oleh panjang ruas dan kecepatan rata-rata kendaraan.

Menurut James (2002), bandwidth adalah perbedaan waktu dalam lintasan paralel sinyal hijau antara lintasan pertama dan lintasan terakhir. Keduanya berada dalam kecepatan yang konstan dan merupakan platoon yang tidak terganggu sinyal merah sama sekali.

Untuk lebih jelasnya, offset dan bandwidth dapat dilihat pada gambar 2.8, diagram koordinasi empat simpang di bawah ini.

Gambar 2.8 : Offset dan Bandwidth dalam Diagram Koordinasi 2.5.3 Diagram Waktu Jarak

Konsep koordinasi pengaturan lampu lalu-lintas biasanya dapat digambarkan dalam bentuk Diagram Waktu-Jarak (Time Distance Diagram) seperti diperlihatkan pada Gambar 2.8. Diagram waktu-jarak adalah visualisasi dua dimensi dari beberapa simpang yang terkoordiansi sebagai fungsi jarak dan pola indikasi lampu lalu-lintas di masing-masing simpang yang bersangkutan sebagai fungsi waktu.

(20)

2.6 Keuntungan dan Efek Negatif Sistem Terkoordinasi

Menurut Pedoman Sistem Pengendalian Lalu-lintas Terpusat No.AJ401/1/7/1991 Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengkoordinasikan lalu-lintas dalam perkotaan, beberapa diantaranya adalah keuntungan dan efek negatif dari penerapan sistem tersebut. Dalam penerapan sistem pengaturan terkoordinasi, beberapa keuntungannya adalah:

 Diperolehnya waktu perjalanan total yang lebih singkat bagi kendaraan-kendaraan dengan karakteristik tertentu.

 Penurunan derajat polusi udara dan suara.  Penurunan konsumsi energi bahan bakar.  Penurunan tundaan.

Di samping keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh dari penerapan system pengaturan lalu-lintas terkoordinasi ini, perlu pula diperhatikan akibat negatifnya, seperti:  Kemungkinan terjadi waktu perjalanan yang lebih panjang bagi lalu-lintas kendaraan

yang karakteristik operasinya berbeda dengan karakteristik operasi kendaraan yang diatur secara terkoordinasi.

 Manfaat penerapan sistem ini akan berkurang jika mempertimbangkan jenis lalu-lintas lain seperti pejalan kaki, sepeda, dan angkutan umum. Umumnya, keuntungan lebih besar akan diperoleh jika sistem ini diterapkan di suatu jaringan jalan arteri utama dibandingkan dengan jaringan jalan yang memiliki banyak hambatan.

 Koordinasi lampu lalu-lintas pada jalan arteri utama akan efektif jika satu simpang dengan simpang yang lain berjarak kurang lebih 800 meter. Jika jarak lebih dari itu, maka keefektifannya akan berkurang.

(21)

2.7 Teori MKJI

2.7.1 Karakteristik Sinyal Lalu-lintas

Penggunaan sinyal dengan lampu tiga warna (hijau, kuning, merah) diterapkan untuk memisahkan lintasan dari gerakan-gerakan lalu-lintas yang saling bertentangan dalam dimensi waktu.

1. Fase Sinyal

Pemilihan fase pergerakan tergantung dari banyaknya konflik utama, yaitu konflik yang terjadi pada volume kendaraan yang cukup besar. Menurut MKJI (1997), jika fase sinyal tidak diketahui, maka pengaturan dengan dua fase sebaiknya digunakan sebagai kasus dasar. Pemisahan gerakan-gerakan belok kanan biasanya hanya dilakukan berdasarkan pertimbangan kapasitas kalau gerakan membelok melebihi 200 smp/jam. 2. Waktu Antar Hijau (intergreen) dan Waktu Hilang

Waktu antar hijau adalah periode kuning dan merah semua antara dua fase yang berurutan, arti dari keduanya sebagai berikut ini:

a. Panjang waktu kuning pada sinyal lalu-lintas perkotaan di Indonesia menurut MKJI 1997 adalah 3,0 detik.

b. Waktu merah semua pendekat adalah waktu dimana sinyal merah menyala bersamaan dalam semua pendekat yang dilayani oleh dua fase sinyal yang berurutan. Fungsi dari waktu merah semua adalah memberi kesempatan bagi kendaraan terakhir (melewati garis henti pada akhir sinyal kuning) berangkat sebelum kedatangan kendaraan pertama dari fase berikutnya. Waktu hilang (lost time) adalah jumlah semua periode antar hijau dalam siklus yang lengkap. Waktu hilang dapat diperoleh dari beda antara waktu siklus dengan jumlah waktu hijau dalam semua fase.

(22)

Ketentuan waktu antar hijau berdasarkan ukuran simpang menurut MKJI (1997) dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 : Waktu Antar Hijau Ukuran Simpang Lebar Jalan

Rata-rata (meter)

Nilai Normal Waktu Antar Hijau

(detik/fase)

Kecil 6 - 9 4

Sedang 10 - 14 5

Besar > 15 >6

3. Waktu Siklus dan Waktu Hijau

Waktu siklus adalah urutan lengkap dari indikasi sinyal (antara dua saat permulaan hijau yang berurutan di dalam pendekat yang sama). Waktu siklus yang paling rendah akan menyebabkan kesulitan bagi pejalan kaki untuk menyeberang, sedangkan waktu siklus yang lebih besar menyebabkan memanjangnya antrian kendaraan dan bertambahnya tundaan, sehingga akan mengurangi kapasitas keseluruhan simpang.

a. Waktu siklus sebelum penyesuaian

C = (1,5 x LTI + 5) / (1 - ∑FRcrit) (detik) ………..(2.2) di mana:

C = Waktu siklus sinyal (detik)

LTI = Jumlah waktu hilang per siklus (detik) FR = Arus dibagi dengan arus jenuh (Q/S)

FRcrit = Nilai FR tertinggi dari semua pendekat yang berangkat pada suatu fase sinyal.

IFR = (FRcrit) = Rasio arus simpang = jumlah FRcrit dari semua fase pada siklus tersebut.

(23)

Terdapat waktu siklus yang layak sesuai dengan jumlah fasenya dalam MKJI, yaitu : 40-80 detik untuk 2 fase, 50-100 detik untuk 3 fase, 80-130 detik untuk 4 fase. Rumus waktu siklus yang disesuaikan berdasarkan waktu hijau yang diperoleh dan telah dibulatkan dan waktu hilang:

C = ∑g + LTI (detik) ………(2.3)

b. Waktu hijau (gi)

Waktu hijau untuk masing-masing fase :

gi = (C-LTI) x PRi (detik) ………(2.4)

Dengan : gi = tampilan waktu hijau pada fase i PRi = Rasio fase FR/ ΣFR

LTI = ∑ (merah semua + kuning) c. Waktu siklus yang disesuaikan (c)

c = Σg+ LTI (detik) ………(2.5)

2.7.2 Arus lalu-lintas (Q)

Arus lalu-lintas (Q) untuk setiap gerakan (kiri QLT, lurus QST dan belok-kanan QRT) dikonversi dari kendaraan per-jam menjadi satuan mobil penumpang (smp) per-jam dengan menggunakan ekivalen kendaraan penumpang (emp) untuk masing-masing pendekat terlindung dan terlawan. Nilai faktor smp pada persimpangan adalah seperti pada tabel berikut :

Tabel 2.2 : Nilai Ekivalen Mobil Penumpang

Jenis kendaraan Terlindung Terlawan

Kendaraan ringan (LV) 1,0 1,0

Kendaraan berat (HV) 1,3 1,3

(24)

Dalam penentuan waktu sinyal dipersimpangan terdapat dua macam tipe pendekat, yaitu :

 Tipe Pendekat Terlindung, yaitu arus berangkat tanpa konflik dengan lalu lintas dari arah berlawanan.

 Tipe Pendekat Terlawan, yaitu arus berangkat dengan konflik dengan lalu lintas dari arah berlawanan

2.7.3 Kapasitas Simpang

Kapasitas simpang adalah jumlah maksimum kendaran yang dapat melewati kaki persimpangan tersebut. Besarnya dipengaruhi oleh arus jenuh yang tergantung kepada jumlah yang lepas pada saat hijau dan waktu hijau serta waktu siklus yang telah ditentukan.

C = S x g/c ………..……..(2.6)

(25)

C = Kapasitas (smp/jam) S = Arus jenuh (smp/jam) c = Waktu siklus (detik) g = Waktu Hijau (detik) Lebih rinci mengenai faktor tersebut adalah : a. Arus Jenuh (S)

Pada saat awal hijau, kendaraan membutuhkan beberapa waktu untuk memulai pergerakan dan kemudian sesaat setelah bergerak sudah mulai terjadi antrian pada kecepatan normal. Keadaan ini disebut arus jenuh.Waktu hijau tiap fase adalah waktu untuk melewatkan arus jenuh menerus. Sebagai ilustrasi mengenai arus jenuh menurut MKJI adalah sebagai berikut :

Gambar 2.9 : Arus Jenuh – MKJI 1997

Arus jenuh mempunyai apa yang disebut arus jenuh dasar seperti halnya Webster, tetapi besarnya sangat tergantung pada tipe pedekat.

 Tipe P (arus terlindung), maka So = 600 We (smp/jam)

 Tipe O (arus terlawan), besarnya So dipengaruhi oleh adanya pendekat yang mempunyai lajur belok kanan atau tanpa lajur belok kanan.

Selanjutnya untuk mendapatkan besarnya arus jenuh, menggunakan rumus sebagai berikut:

(26)

S = So x Fcs x Fsf x Fg x Fp x Frt x Flt ………..……..(2.7) Dimana :

So = Arus jenuh dasar = 600 x We Fcs = Faktor penyesuaian ukuran kota

Fsf = Faktor penyesuaian tipe lingkungan jalan, hambatan samping, dan kendaraan tak bermotor

Fg = Faktor penyesuaian untuk kelandaian Fp = Faktor penyesuaian

Frt = Faktor penyesuaian belok kanan Flt = Faktor penyesuaian belok kiri We = Lebar efektif

a. Pengaruh ukuran kota (Fcs)

Faktor ini mengikuti jumlah penduduk kota seperti pada table 2.3 berikut, untuk tipe O maupun tipe P.

Table 2.3 : Pengaruh Ukuran Kota Jumlah penduduk

(juta)

Faktor ukuran kota (Fcs) Ukuran kota (cs) >3,0 1,05 Sangat besar 1,0-3,0 1,00 Besar 0,5-1,0 0,94 Sedang 0,1-0,5 0,83 Kecil <0,1 0,82 Sangat kecil

(27)

b. Pengaruh Hambatan Samping (Fsp)

Pengaruh ini merupakan fungsi dari jenis lingkungan jalan, tingkat hambatan samping dan rasio kendaraan tidak bermotor. Jika hambatan samping tidak diketahui, maka dianggap tinggi.

c. Pengaruh Kelandaian (Fg)

Merupakan fungsi dari kelandaian jalan seperti tercatat dalam data geometrik jalan. Simbol (+) adalah tanjakan dan (-) adalah turunan.

d. Akibat Pengaruh Belok Kanan (Frt)

Faktor penyesuian ini dipakai apabila pendekat bertipe P/terlindung, tanpa media jalan 2 arah lebar efektif ditentukan oleh lebar masuk, dengan ketentuan :

Frt = 1,0 + Prt x 0,26 …………..……..(2.8) e. Pengaruh Belok Kiri (Flt)

Faktor ini hanya berlaku pada pendekat tipe P, tanpa LTOR, lebar efektif ditentukan oleh lebar masuk, dengan ketentuan :

Flt = 1,0 – Plt x 0,16 …………..……..(2.9)

f. Pengaruh Kendaraan Parkir (Fp)

Pengaruh parkir merupakan fungsi jarak dari garis henti sampai kendaraan yang diparkir pertama dan lebar pendekat. Faktor ini tidak perlu diperhitungkan apabila lebar efektif ditentukan oleh lebar keluar. Parkir dapat dihitung dengan rumus :

Fp = { Lp/3 – (WA - 2) x (Lp/3 - g) / WA } /g …………(2.10) Dimana :

(28)

WA = lebar pendekat g = waktu hijau pendekat 2.7.4 Derajat Kejenuhan :

DS = Q/C ………….……….(2.11)

Dengan :

DS = derajat kejenuhan

Q = arus lalu-lintas pada pendekat tersebut (smp/jam) C = kapasitas

2.7.5 Panjang Antrian

Panjang Antrian adalah panjang antrian kendaraan dalam suatu pendekat dan antrian dalam jumlah kendaraan yang antri dalam suatu pendekat.

Untuk menghitung jumlah antrian smp (NQ1) : 1. Untuk DS > 0.5 maka :

………..(2.12) Dengan :

NQ1 = jumlah smp yang tertinggal dari fase hijau sebelumnya (smp) 2. Untuk DS ≤ 0.5 maka NQ1 = 0

Untuk menghitung antrian smp yang datang selama fase merah (NQ2) : ………..(2.13)

Dimana : NQ2 = jumlah smp yang datang selama fase merah (smp) GR = rasio hijau

c = waktu siklus

(29)

Penyesuaian arus:

Qpeny = Σ(Qmasuk –Qkeluar) (smp/jam)  Jumlah kendaraan antrian:

NQ = NQ1 + NQ2 (smp) ……….(2.14)

 Panjang antrian:

……….(2.15)  Kendaraan terhenti:

Angka henti (NS) masing-masing pendekat :

………(2.16)  Jumlah kendaraan terhenti (Nsv) masing-masing pendekat:

Nsv = Q x NS (smp/jam) ……….(2.17)

 Angka henti seluruh simpang:

……….(2.18)

2.7.6 Tundaan

Tundaan adalah waktu tempuh tambahan yang diperlukan untuk melewati simpang bila dibandingkan dengan situasi tanpa simpang.

1. Menghitung tundaan lalu-lintas

Tundaan lalu-lintas rata-rata untuk setiap pendekat akibat pengaruh timbal balik dengan gerakan-gerakan lainnya pada simpang berdasarkan MKJI 1997 sebagai berikut :

(30)

dengan :

DT = tundaan lalu-lintas rata-rata untuk pendekat j C = waktu siklus yang disesuaikan (det)

A = ……….(2.20)

A = Konstanta

2. Menentukan tundaan geometri rata-rata (DG)

Tundaan geometri untuk masing-masing pendekat akibat pengaruh perlambatan dan percepatan ketika menunggu giliran pada suatu simpang atau ketika dihentikan oleh lampu merah.

………(2.21) dengan :

DGj = tundaan geometri rata-rata untuk pendekat j Psv = rasio kendaraan terhenti pada suatu pendekat

3. Menghitung tundaan geometri gerakan belok kiri langsung (LTOR).

Tundaan lalu-lintas dengan belok kiri langsung (LTOR) diasumsikan tundaan geometri rata-rata = 6 detik

4. Menghitung tundaan rata-rata (det/jam)

Tundaan rata-rata dihitung dengan menjumlahkan tundaan lalu-lintas (DT) dan tundaan geometri rata-rata untuk pendekat j (DGj)

5. Menghitung tundaan total

Tundaan total dalam detik dengan mengalihkan tundaan rata-rata dengan arus lalu-lintas.

6. Menghitung tundaan rata-rata untuk seluruh simpang (D1)

(31)

tundaan dengan jumlah arus total (Qtot) dalam smp/jam.

……….(2.22)

2.8 Penelitian Sejenis 1. Tesis

Judul : Pengembangan Model Analisis Performansi Koordinasi Sinyal Lalu-lintas Pada Suatu Jalan Dua Arah

Peneliti : Nusa Sebayang Lokasi : Bandung

Universitas/Tahun : Institut Teknologi Bandung, 1998

Pembahasan : Membahas model koordinasi sinyal lampu lalu-lintas yang dipasang pada suatu jalan dua arah. Model koordinasi sinyal yang dikembangkan hanya berlaku pada kondisi arus tidak jenuh (undersaturated) dan panjang siklus seluruh simpang sama besar. Data yang diperlukan adalah waktu hijau masing-masing simpang, besar pemutusan hijau dan perlambatan hijau, parameter disperse pleton pada masing-masing ruas, besar arus jenuh pada masing simpang, kecepatan rata-rata arus lalu lintas pada masing-masing ruas, dan panjang masing-masing-masing-masing ruas. Koordinasi simpang dilakukan dengan mengasumsikan arus masuk dan keluar masing-masing simpang berbentuk pleton persegi panjang tunggal. Pleton kendaraan tersebut mengalami disperse saat bergerak melintasi ruas. Metode ini dilengkapi dengan program komputernya.

Kesimpulan : Koordinasi simpang memberikan hasil yang lebih baik apabila dalam perhitungan turut diperhitungkan disperse pleton sesuai kondisi lapangan.

(32)

Perubahan volume mengakibatkan perubahan offset optimum. Offset optimum dan tundaan total dipengaruhi oleh faktor kecepatan rata-rata kendaraan, panjang ruas dan besar arus, dan parameter disperse.

2. Skripsi

Judul : Analisa dan Koordinasi Sinyal Antar Simpang Pada Ruas Jalan Diponegoro Surabaya

Peneliti : Emal Zain MTB Lokasi : Surabaya

Universitas/Tahun : Institut Teknologi Sepuluh November, 2010

Pembahasan : Terdapat empat simpang yang berada dalam jarak 930 meter pada ruas Jalan Diponegoro. Permasalahan yang terjadi adalah kendaraan yang terkadang harus berhenti pada tiap simpang karena selalu mendapat sinyal merah. Tentu saja hal ini menimbulkan ketidaknyamanan pengendara. Pengumpulan data dilakukan dengan cara survey langsung pada keempat simpang. Adapun data yang diambil adalah volume kendaraan yang melalui tiap simpang, waktu sinyal, kecepatan tempuh kendaraan yang melalui keempat simpang, dan geometrik simpang. Data yang diperoleh digunakan untuk mendapatkan kondisi eksisting terjenuh yang akan menjadi acuan dalam merencanakan waktu siklus baru dengan memperhatikan teori koordinasi. Kinerja terbaik pada setiap simpang kemudian dikoordinasikan menggunakan waktu offset antar simpang. Dari hasil analisa, diketahui bahwa keempat simpang pada ruas Jalan Diponegoro belum terkoordinasi. Untuk itu, dilakukanlah beberapa perencanaan untuk melakukan koordinasi sinyal antar simpang pada

(33)

keempat simpang tersebut. Perencanaan yang dilakukan adalah menentukan waktu siklus baru yang sama untuk semua simpang.

Kesimpulan : Dari tujuh perencanaan, didapatkan waktu siklus baru sebesar 130 detik. Waktu siklus semua simpang disamakan untuk mempermudah koordinasi sinyal. Dari kecepatan rencana sesuai regulasi batas maksimum kendaraan dalam kota sebesar 40 km/jam, didapatkan waktu offset sebesar 84 detik untuk kedua arah. Sedangkan untuk bandwidth yang dihasilkan dari diagram koordinasi, didapat bandwidth sebesar 56 detik arah dari Utara dan 33 detik dari arah Selatan.

3. Skripsi

Judul : Koordinasi Persimpangan Signal Lalu Lintas pada Suatu Kawasan di Kota Medan Peneliti : Sahat Situmorang

Lokasi : Ruas Jalan Ir. Juanda - Medan

Universitas/Tahun : Universitas Sumatera Utara, 2000

Pembahasan : Pada simpang-simpang yang jaraknya berdekatan pengaturan lampu lalu lintas dengan pengkoordinasian diharapkan dapat melewatkan dengan semaksimal mungkin arus lalu lintas, sehingga mengurangi tundaan dan antrian yang terjadi. Pengkoordinasian dilakukan pada jalan dua arah dengan membentuk system yang saling berhubungan antar masing-masing lampu simpang dalam satu atau lebih pengaturan.

Kesimpulan : Hasil pengkoordinasian menurunkan derajat kejenuhan rata-rata sebesar 15,4 %, tundaan 65,77%, antrian 49,4%.

Gambar

Gambar 2.1: Prinsip Koordinasi Sinyal dan Green Wave  Sumber : Taylor dkk (1996)
Gambar 2.2 : Prinsip Koordinasi Sinyal Pada Jalan Satu Arah
Gambar 2.3. Koordinasi sinyal lampu lalu-lintas pada jalan dua arah dengan jarak  persimpangan seragam
Gambar 2.5. Bandwidth pada diagram time-space (McShane and Roess, 1990)
+7

Referensi

Dokumen terkait

1) Dapat memberikan informasi dan pemahaman yang bermanfaat dan penting bagi masyarakat khususnya Bangka Belitung dan memberikan manfaat kepada seluruh Mahasiswa

196 S1AW10QD PMS GV KPP BEA CUKAI 107 / PEMATANGSIANTAR WILAYAH I / MEDAN Jl. Sisingamangaraja No.66 Pematangsiantar Kota Pematangsiantar Sumatera Utara 197 S1AW10QF SIM

Hasilnya adalah terjadi perubahan berat badan pada anak- anak yang mengalami gizi buruk, yakni berubah menjadi gizi kurang, dan seluruh anak yang diberi suplementasi gizi

Menurut peneliti, parodi yang terkandung pada percakapan antartokoh dalam novel Lintang Kemukus Dini hari ini merupakan salah satu bentuk ciri khas kebahasaan untuk

Berdasarkan hal tersebut, peneliti tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi perihal: (1) perancangan dan pengembangan model MAP berbasis

Tindakan yang dilakukan untuk memecahkan permasalahan agar dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa serta performansi guru adalah dengan menerapkan metode field trip

didapatkan bahwa dari 46 (76,7%) siswa yang akan menghadapi ujian semester genapmengalami kecemasan sedang didapatkan sebanyak 31 (51,7%) siswa sering

Dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini tidak lepas dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima