1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan pokok terpenting bagi manusia yang harus dipenuhi agar bisa bertahan hidup. Perkembangan pertanian sangat dibutuhkan
untuk memenuhi kebutuhan manusia akan pangan dan menunjang berbagai aktivitas industri yang juga ditujukan untuk melengkapi kebutuhan sehari-hari
manusia. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat terutama pada negara berkembang menjadikan penerapan berbagai teknologi dan inovasi pertanian
menjadi suatu keharusan, agar produksi dapat menunjang permintaan pangan yang tinggi. Peningkatan produktivitas pertanian menjadi target kegiatan pertanian pada berbagai negara. Namun, penggunaan teknologi dan inovasi pada kegiatan
pertanian terkadang sering mengenyampingkan aspek lingkungan. Lingkungan seharusnya menjadi kunci keberlanjutan pertanian agar peningkatan produktivitas
pertanian masih dapat dirasakan pada generasi mendatang.
Feder (1998) dalam Herry (2006), pertanian dunia abad 21 akan berlangsung dalam tekanan tantangan yang terus meningkat. Salah satu penyebab utamanya adalah pertumbuhan penduduk, yang pada tahun 2025 diperkirakan
akan mencapai 8,5 milyar. Sebagian besar dari jumlah tersebut berada di negara-negara berkembang. Pertumbuhan penduduk yang besar memerlukan produksi
pangan dengan kenaikan yang sangat memadai.
Hubungan tekanan penduduk dengan upaya pemenuhan kebutuhan pangan
2
pertumbuhan produksi. Pada setiap tahunnya jumlah penduduk Indonesia juga
mengalami peningkatan, hal ini sangat berpengaruh pada jumlah permintaan pangan yang semakin tinggi, terutama padi atau beras yang merupakan makanan
pokok masyarakat.
Tabel 1. Produksi Padi Sawah (Ton) di Pulau Jawa, Indonesia 2006-2010
Provinsi Tahun
2006 2007 2008 2009 2010*
DKI Jakarta 6.197 8.002 8.352 11.013 11.760 Jawa Barat 9.103.490 9.562.990 9.757.168 10.924.508 11.192.812 Jawa Tengah 8.551.232 8.443.250 8.946.784 9.380.495 9.828.016 DI Yogyakarta 559.890 570.991 628.321 662.368 653.696 Jawa Timur 8.999.771 9.029.176 10.071.560 10.758.398 10.864.321 Banten 1.659.640 1.727.047 1.710.894 1.740.951 1.916.231 Sumber : Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2010
* : Angka Ramalan
Tabel di atas menunjukkan jumlah produksi padi sawah di Pulau Jawa.
DKI Jakarta memiliki angka produksi yang paling kecil, hal ini dikarenakan lahan pertanian di Jakarta yang sempit. Jika dilihat pada tabel dari tahun 2006 hingga
2009 produksi padi sawah Provinsi DKI Jakarta mengalami peningkatan, selisih peningkatannya yaitu 4.816 ton (77,71 %) dan angka ramalan pada tahun 2010
juga menunjukkan peningkatan produksi padi yaitu 6,78 % dari produksi 2009. Produksi terbesar dihasilkan Provinsi Jawa Barat, tabel tersebut menunjukkan bahwa pada setiap tahunnya produksi padi sawah juga mengalami peningkatan,
jumlah peningkatan dari tahun 2006 hingga 2009 yaitu 1.821.018 ton (20 %), sedangkan angka ramalan 2010 menunjukkan angka produksi 11.192.812 atau
meningkat 2,46 % dari produksi 2009.
3
2010 pada Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
dan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan tahun 2010, keseluruhan produksi padi sawah di Indonesia mengalami peningkatan yaitu mencapai angka 61.171.223 ton
pada tahun 2009 atau meningkat sekitar 18,44 % dari tahun 2006, dan angka ramalan 2010 menunjukkan produksi sebesar 62.576.347 ton atau meningkat sekitar 2,3 % dari tahun 2009. Namun, pertumbuhan produksi tersebut tentu saja
juga diiringi dengan pertumbuhan penduduk Indonesia yang berdasarkan data Badan Pusat Statistik mencapai angka 237.641.326 jiwa (angka sementara) pada
tahun 2010 atau meningkat sekitar 15,21 % dari jumlah penduduk tahun 2000. Dampak dari pertumbuhan penduduk tersebut adalah meningkatnya jumlah peningkatan permintaan pangan pada masyarakat, terutama padi atau beras yang
masih menjadi makanan pokok sebagian masyarakat Indonesia.
Berbagai tahapan kegiatan pertanian akan menentukan kualitas output
yang akan dihasilkan. Oleh karena itu seharusnya penerapan teknologi dan inovasi diperhatikan agar setiap kegiatan yang dilakukan tidak akan menimbulkan dampak negatif baik pada lingkungan maupun kesehatan manusia. Tahapan yang
tidak bisa ditinggalkan dari kegiatan pertanian yaitu proses pemupukan, kegiatan ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan unsur hara pada tanaman. Dewasa ini
pertanian organik menjadi wacana yang mulai dikembangkan pada pertanian di Indonesia. Sumber bahan pembuatan pupuk pada pertanian organik yang terbuat
dari limbah pertanian atau peternakan menjadikan keunggulan bagi penggunaan pupuk organik dibandingkan pupuk kimia karena dapat mengurangi dampak pencemaran limbah-limbah terhadap lingkungan. Selain itu menurut Sutanto
4
dan tanah yang berkecukupan bahan organik mempunyai kemampuan mengikat
air yang lebih besar daripada tanah yang kandungan bahan organiknya rendah. Limbah adalah bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu aktivitas
manusia atau proses alam yang tidak atau belum mempunyai nilai ekonomi, tetapi justru memiliki dampak negatif. Dampak negatif yang dimaksud adalah proses pembuangan dan pembersihannya memerlukan biaya serta efeknya dapat
mencemari lingkungan. Pengomposan berarti mengubah bahan organik yang kurang atau tidak bermanfaat menjadi lebih berguna. Salah satu keuntungannya
adalah kompos yaitu bisa dikomersilkan. Alasan inilah yang menarik perhatian peternak, pengolah limbah, departemen teknis, dan ahli lingkungan dalam memanfaatkan kompos (Djaja, 2008).
Output yang dihasikan dari kegiatan pertanian yang mengarah pada pertanian organik dipercaya memiliki kualitas yang lebih baik dari sisi kesehatan
dibandingkan pertanian anorganik. Sedangkan pada tanaman, menurut Djuarnani, dkk, (2005), pupuk organik memiliki beberapa keunggulan dibandingkan pupuk anorganik diantaranya adalah mengandung unsur hara makro dan mikro yang
lengkap walaupun jumlahnya sedikit, dapat memperbaiki struktur tanah, beberapa tanaman yang menggunakan kompos lebih tahan terhadap serangan penyakit,
menurunkan aktivitas mikroorganisme tanah yang merugikan.
Penerapan kegiatan pertanian organik memerlukan adaptasi, baik terhadap
perilaku petani yang telah terbiasa menggunakan pupuk atau bahan kimia lainnya pada kegiatan pertanian, maupun adaptasi pada kondisi lahan pertanian. Petani yang telah terbiasa menerapkan suatu sistem tertentu pada kegiatan pertanian
5
mengubah kebiasaannya menggunakan bahan-bahan kimia untuk beralih
menggunakan bahan organik secara utuh. Kondisi lahan yang telah terbiasa menggunakan pupuk kimia juga tidak secara langsung bisa beradaptasi
menggunakan pupuk organik secara utuh. Menurut Sutanto (2002), pada tahap awal penerapan pertanian organik masih perlu dilengkapi pupuk kimia atau pupuk mineral, terutama pada tanah yang miskin hara. Pupuk kimia masih sangat
diperlukan agar supaya takaran pupuk organik tidak terlalu banyak yang nantinya akan menyulitkan pada pengelolaannya. Sejalan dengan proses pembangunan
kesuburan tanah menggunakan pupuk organik, secara berangsur kebutuhan pupuk kimia yang berkadar tinggi dapat dikurangi.
Berdasarkan teori diatas maka dapat dilihat nilai positif dari pemanfaatan
pupuk organik dan bahan organik lainnya bagi kegiatan pertanian. Namun, harga output yang cenderung lebih tinggi dibandingkan output pertanian anorganik
menjadikan output dari pertanian organik ini belum dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat, hingga saat ini hasil pertanian organik hanya masih menarik minat sebagian masyarakat pada lapisan menengah ke atas. Pada beberapa daerah
penerapan pertanian organik belum bisa dilakukan secara utuh dengan alasan daya adaptasi lahan yang masih harus disesuaikan jika harus menggunakan bahan
organik sepenuhnya dan secara umum mayoritas status petani di beberapa daerah masih sebagai petani penggarap yang diharuskan untuk membagi hasil kepada
pemilik lahan sehingga belum mampu mengarahkan pertaniannya pada sistem pertanian organik secara utuh karena takut mengalami kerugian akibat penurunan produksi hasil pertanian. Hal tersebut menjadikan pertanian organik belum dapat
6
petani yang mulai mencari jalan tengah dari persoalan tersebut yaitu menerapkan
sistem pertanian yang mengurangi pemakaian pupuk kimia, kemudian mensubtitusikannya dengan menggunakan pupuk organik dan membebaskan
lahan pertanian mereka dari pemakaian pestisida kimia. Harapannya bahwa di masa mendatang pemakaian pupuk kimia dapat dilepaskan seutuhnya dan terjadi peningkatan tingkat kesuburan tanah.
Pendapatan merupakan unsur yang terpenting untuk dipertimbangkan dalam berbagai kegiatan termasuk pertanian. Oleh karena itu, penelitian ini
mencoba menelaah kelayakan dan besarnya nilai perbedaan pendapatan antara petani anorganik dengan petani semi organik atau petani yang telah mengurangi pemakaian pupuk kimia dan mensubtitusikannya menggunakan pupuk organik.
Penelitian ini juga akan melihat faktor-faktor yang mendorong petani untuk mengurangi pemakaian pupuk kimia dan menggunakan pupuk organik tersebut.
1.2. Perumusan Masalah
Pertumbuhan permintaan pertanian organik dunia mencapai 15 - 20 % pertahun, namun pangsa pasar yang mampu dipenuhi hanya berkisar 0,5 - 2 % dari keseluruhan produk pertanian. Meskipun di Eropa penambahan luas areal
pertanian organik terus meningkat dari rata-rata dibawah 1 % (dari total lahan pertanian) pada tahun 1987 menjadi 2 - 7 % di tahun 1997, namun tetap saja
belum mampu memenuhi pesatnya permintaan. Inilah kemudian yang memacu permintaan produk pertanian organik dari negara-negara berkembang (Suyono
dan Hermawan, 2006).
7
menghormati alam, potensi pertanian organik sangat besar. Pasar produk
pertanian organik dunia meningkat 20 % per tahun, oleh karena itu pengembangan budidaya pertanian organik perlu diprioritaskan pada tanaman bernilai ekonomis
tinggi untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik dan ekspor.1
Perkembangan pertanian organik sedang mendapat perhatian yang besar dari masyarakat. Banyak masyarakat yang sengaja beralih untuk mengkonsumsi
pangan yang diproduksi menggunakan sistem pertanian organik. Perkembangan informasi mengenai pertanian organik juga sedang ditingkatkan diantara para
petani di Indonesia, agar pertanian Indonesia bisa menerapkan sistem pertanian yang berkelanjutan dan tetap menghasilkan produksi yang baik pada masa mendatang. Kecamatan Cigombong merupakan daerah di Kabupaten Bogor yang
memiliki luas lahan pertanian cukup besar. Hasil komoditasnya berupa padi, palawija, sayur-sayuran dan buah-buahan. Pertanian yang mengarah kepada
pertanian berkelanjutan mulai diterapkan pada Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong. Usahatani padi sawah pada desa ini masih ditunjang oleh pemakaian pupuk kimia, namun kadar pemakaiannya dalam proses produksi dikurangi secara
bertahap dan memasukkan input pupuk organik pada usahatani tersebut untuk memperbaiki unsur hara dalam tanah, diharapkan kedepannya ketergantungan
lahan pada pupuk kimia dapat dihilangkan sepenuhnya. Penggunaan berbagai pestisida yang membahayakan dilarang pada usahatani ini dan digantikan dengan
penggunaan pestisida nabati. Komoditas padi di desa ini telah menghasilkan produk dengan merk SAE (Sehat, Aman, Enak). Jumlah komoditas padi sawah
1
8
yang dihasilkan pada Kecamatan Cigombong selengkapnya dapat dilihat pada
tabel berikut ini:
Tabel 2. Jumlah Produksi Padi Sawah Kecamatan Cigombong tahun 2008
No Desa Luas Panen (Ha) Hasil per Hektar (Ton/Ha) Produksi (Ton)
Tabel diatas menggambarkan jumlah produksi padi sawah yang dihasilkan Kecamatan Cigombong tahun 2008. Total kesuluruhan produksi dari seluruh desa pada tahun tersebut yaitu 6.510 ton. Produksi terbesar dihasilkan oleh Desa
Ciadeg dengan total produksi 1.667 ton dengan luas panen 324 ha dan produksi terendah yaitu 92 ton pada Desa Wates Jaya dengan luas panen 13 ha. Desa
Ciburuy dengan luas panen sebesar 88 ha mampu menghasilkan produksi padi sawah sebesar 555 ton, sedangkan Desa Cisalada dengan luas panen sebesar 197 ha menghasilkan produksi padi sawah sebesar 1.256 ton.
Peralihan sistem pertanian yang digunakan petani dari sistem anorganik menjadi semi organik juga mempengaruhi besaran pendapatan yang dihasilkan oleh petani. Berdasarkan hal tersebut, tujuan penelitian ini mengkaji apakah
penerapan usahatani semi organik dapat meningkatkan keuntungan yang dilihat dari indikator pendapatan yang dihasilkan para petani. Menurut Sutanto (2002),
9
Dalam sistem usahatani, tanah dapat ditingkatkan produktivitasnya melalui
penggunaan bahan organik yang berasal dari tumbuhan maupun hewan, konservasi sumberdaya tanah dan air serta dihindarkan dari terjadinya
pencemaran. Sistem usahatani harus direncanakan dan disusun sesuai dengan kebutuhan unsur hara dan selanjutnya akan membantu dalam mempertahankan produktivitas tanah.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka perumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1) Apakah sistem usahatani padi semi organik atau anorganik petani penggarap yang lebih layak diusahakan petani?
2) Bagaimana tingkat biaya dan pendapatan usahatani padi semi organik dan
anorganik petani penggarap?
3) Apa faktor-faktor yang mendorong petani untuk mengurangi pemakaian
pupuk kimia?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan
penelitian ini adalah:
1) Menganalisis kelayakan sistem usahatani padi semi organik dan anorganik
petani penggarap.
2) Mengkaji tingkat biaya dan pendapatan usahatani padi semi organik dan
anorganik petani penggarap.
10
1.4. Manfaat penelitian
Manfaat yang diharapkan penulis dalam penelitian ini adalah:
1. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan.
2. Bagi pembaca, sebagai informasi tambahan mengenai perbedaan sistem pertanian semi organik dan anorganik untuk bahan pembanding penelitian
berikutnya.
3. Bagi petani dan pemerintah, sebagai informasi perbandingan antara sistem
usahatani semi organik dan anorganik.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Ciburuy dan Desa Cisalada, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Analisis usahatani pada petani semi organik dan
anorganik dengan komoditas padi sawah. Ruang lingkup penelitian yaitu:
1) Petani yang diwawancarai adalah petani yang lahan usahataninya
menggunakan sistem usahatani semi organik dan anorganik. 2) Komoditas yang dianalisis terbatas yaitu hanya padi sawah.
3) Suku bunga yang digunakan adalah suku bunga pinjaman dan deposito
rata-rata.
4) Biaya yang diperhitungkan yaitu hanya biaya yang termasuk biaya tunai atau
11
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Pertanian
Menurut Mubyarto (1995), pertanian dalam arti luas mencakup pertanian
rakyat atau pertanian dalam arti sempit disebut perkebunan (termasuk didalamnya perkebunan rakyat dan perkebunan besar), kehutanan, peternakan, dan perikanan (dalam perikanan dikenal pembagian lebih lanjut yaitu perikanan darat dan
perikanan laut). Indonesia masih merupakan negara pertanian, artinya pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini
dapat ditunjukkan dari banyaknya penduduk yang hidup atau bekerja pada sektor pertanian atau dari produk nasional yang berasal dari pertanian.
Kerisauan umat manusia mengenai ketersediaan bahan pangan dan ledakan
jumlah penduduk dunia serta ketersediaan sumberdaya alam yang terbatas melahirkan ajaran Malthusianisme dan Neomalthusianisme serta tumbuhnya
kesadaran pada pelestarian fungsi lingkungan dan sumberdaya alam sehingga melahirkan pemikiran baru pembangunan berwawasan lingkungan dan konsep pembangunan berkelanjutan (Herry, 2006).
Menurut Nasution (1995) dalam Salikin (2003), pertanian berkelanjutan merupakan kegiatan pertanian yang berupaya untuk memaksimalkan manfaat
sosial dari pengelolaan sumberdaya biologis dengan syarat memelihara produktivitas dan efisiensi produksi komoditas pertanian, memelihara kualitas
lingkungan hidup dan produktivitas sumberdaya sepanjang masa. Menurut Soekartawi (1995) dalam Salikin (2003), terdapat tiga alasan mengapa pembangunan pertanian Indonesia harus berkelanjutan yaitu: sebagai negara
12
masih dominan. Kontibusi sektor pertanian terhadap produk domestik bruto
adalah sekitar 20 % dan menyerap 50 % lebih tenaga kerja di pedesaan. Kedua, agrobisnis dan agroindustri memiliki peranan yang sangat vital dalam mendukung
pembangunan sektor lainnya. Ketiga, pembangunan pertanian berkelanjutan menjadi keharusan agar sumberdaya alam yang ada sekarang ini dapat terus dimanfaatkan untuk waktu yang relatif lama. Sektor pertanian tetap menduduki
peran vital yang mendukung kelangsungan kehidupan bangsa Indonesia.
2.2. Usahatani
Pertanian merupakan kegiatan yang dilakukan oleh manusia pada suatu lahan tertentu, dalam hubungannya antara manusia dengan lahan yang disertai pertimbangan tertentu. Ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berhubungan
dengan kegiatan manusia dalam melakukan pertanian disebut ilmu usahatani (Suratiyah, 2006).
Menurut Mubyarto (1995), dalam ilmu ekonomi dikatakan bahwa petani membandingkan antara hasil yang diharapkan diterima pada hasil panen (penerimaan/revenue) dengan biaya (cost) yang harus dikeluarkannya. Hasil yang
diperoleh petani pada saat panen disebut produksi dan biaya yang dikeluarkan disebut biaya produksi. Usahatani yang baik biasa disebut sebagai usahatani yang
produktif atau efisien. Usahatani yang produktif berarti memiliki produktivitas tinggi. Pengertian produktivitas ini sebenarnya merupakan penggabungan antara
konsepsi efisiensi usaha (fisik) dengan kapasitas tanah. Efisiensi fisik mengukur banyaknya hasil produksi (output) yang dapat diperoleh dari satu kesatuan input. Secara teknis produktivitas merupakan perkalian antara efisiensi (usaha) dan
13
maka usahatani yang lebih dekat dengan pasar mempunyai nilai lebih tinggi
karena produktivitas ekonominya lebih besar.
2.2.1. Usahatani Semi Organik
Von Uexkull (1984) dalam Sutanto (2002), memberikan istilah membangun kesuburan tanah. Strategi pertanian organik adalah memindahkan hara secepatnya dari sisa tanaman, kompos dan pupuk kandang menjadi biomassa
tanah yang selanjutnya setelah mengalami proses mineralisasi akan menjadi hara dalam larutan tanah. Unsur hara didaur ulang melalui satu atau lebih tahapan
bentuk senyawa organik sebelum diserap tanaman. Hal ini berbeda dengan pertanian anorganik yang memberikan unsur hara secara cepat dan langsung dalam bentuk larutan sehingga segera diserap dengan takaran dan waktu
pemberian yang sesuai dengan kebutuhan tanaman.
Akhir-akhir ini isu pertanian organik mencuat ke permukaan. Sebagian
orang mendukung gagasan pengembangan pertanian organik dan sebagian lainnya tidak setuju, masing-masing dengan argumentasi yang sama-sama rasional. Argumentasi kelompok pro pertanian organik bertitik tolak dari keprihatinannya
terhadap keamanan pangan, kondisi lingkungan pertanian dan kesejahteraan petani secara mikro. Sementara kelompok yang kontra bertitik tolak dari
kekhawatirannya terhadap keberlanjutan ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan petani secara menyeluruh2.
Menurut Sutanto (2002), pada tahap awal penerapan pertanian organik masih perlu dilengkapi pupuk kimia atau pupuk mineral, terutama pada tanah yang miskin hara. Pupuk kimia masih sangat diperlukan agar supaya takaran
2
14
pupuk organik tidak terlalu banyak yang nantinya akan menyulitkan pada
pengelolaannya. Sejalan dengan proses pembangunan kesuburan tanah menggunakan pupuk organik, secara berangsur kebutuhan pupuk kimia yang
berkadar tinggi dapat dikurangi.
Menurut Salikin (2003), sistem pertanian berkelanjutan dilakasanakan dengan beberapa model sistem, salah satu diantaranya yaitu dengan menggunakan
sistem LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture), prinsipnya yaitu bahwa hasil produksi yang keluar dari sistem harus diimbangi dengan tambahan
unsur hara yang dimasukkan kedalam sistem tersebut. Dengan model LEISA, kekhawatiran penurunan produktivitas secara drastis dapat dihindari, sebab penggunaan input luar masih diperkenankan dan masih menjaga toleransi
keseimbangan antara pemakaian input internal dan eksternal, misalnya penggunaan pupuk organik diimbangi dengan pupuk TSP.
Pertanian organik meliputi dua definisi, yaitu pertanian organik dalam definisi sempit dan pertanian organik dalam definisi luas. Dalam pengertian sempit, pertanian organik adalah pertanian yang tidak menggunakan pupuk kimia
ataupun pestisida kimia, yang digunakan adalah pupuk organik, mineral dan material alami. Sedangkan pertanian organik dalam arti luas adalah usahatani
yang menggunakan pupuk kimia pada tingkat minimum, dan dikombinasikan dengan penggunaan pupuk organik dan bahan-bahan alami (Hong, 1994).
2.2.2. Usahatani Anorganik
Schaller (1993) dalam Winangun (2005), memberikan penjelasan mengenai beberapa dampak negatif dari sistem pertanian anorganik yaitu sebagai
15
1. Pencemaran air tanah dan air permukaan oleh bahan kimia sintesis dan
sedimen.
2. Ancaman bahaya bagi kesehatan manusia dan hewan, baik karena pestisida
maupun bahan aditif pakan.
3. Pengaruh negatif aditif senyawa kimia sintetis tersebut pada mutu dan kesehatan pangan.
4. Penurunan keanekaragaman hayati termasuk sumber genetik flora dan fauna yang merupakan modal utama pertanian berkelanjutan.
5. Perusakan dan pembunuhan satwa liar, lebah madu dan jasad berguna lainnya. 6. Peningkatan daya tahan organisme pengganggu terhadap pestisida.
7. Peningkatan daya produktivitas lahan erosi, pemadatan lahan dan
berkurangnya bahan organik.
8. Ketergantungan yang semakin kuat terhadap sumberdaya alam tidak terbaruhi.
9. Munculnya resiko kesehatan dan keamanan manusia pelaku pekerjaan pertanian.
2.3. Perbedaan Pupuk Organik dan Anorganik
Nilai positif yang dapat diterima dari penggunaan pupuk organik sangat
banyak. Namun menurut Sutanto (2002), penggunaan pupuk organik mempunyai kelemahan diantaranya adalah: diperlukan dalam jumlah yang sangat banyak
untuk memenuhi kebutuhan unsur hara dari suatu pertanaman, bersifat ruah baik dalam pengangkutan dan penggunaannya di lapangan dan kemungkinan akan
16
dan bahan organik lainnya mempunyai potensi yang tinggi dalam meracuni
kesehatan manusia.
Pupuk organik atau kompos memiliki beberapa keunggulan dibandingkan
dengan pupuk anorganik. Berikut ini merupakan beberapa perbedaan antara pupuk organik (kompos) dan pupuk anorganik (Djuarnani, dkk, 2005):
Tabel 3. Perbedaan Sifat Pupuk Organik (Kompos) dan Pupuk Anorganik
No. Sifat Pupuk Organik atau Kompos Sifat Pupuk Anorganik 1 Mengandung unsur hara makro
dan mikro yang lengkap walaupun jumlahnya sedikit
Hanya mengandung satu atau beberapa unsur hara tetapi dalam jumlah banyak
2 Dapat memperbaiki struktur tanah Tidak dapat memperbaiki struktur tanah tetapi justru penggunaan dalam menunjukkan peningkatan produksi beras berperan penting dalam pemenuhan
kecukupan konsumsi gizi rumah tangga dan ketahanan pangan nasional. Sekitar 90 % produksi beras nasional dihasilkan dari sawah terutama di Jawa. Peningkatan produktivitas padi terutama disebabkan oleh peningkatan produktivitas usahatani yang dilakukan melalui berbagai program intensifikasi.
17
Akhir-akhir ini laju peningkatan produktivitas padi semakin lambat sehingga
pertumbuhan produksi padi juga menurun, kondisi ini menyebabkan kekurangan beras di masa yang akan datang. Secara agronomis, peningkatan produktivitas
padi disebabkan oleh dua faktor yaitu meningkatnya penggunaan varietas padi berdaya hasil hasil tinggi dan semakin membaiknya mutu usahatani yang dilakukan petani seperti cara pengolahan tanah, penanaman dan pemupukan.
Menurut Prasetiyo (2002) bahwa proses pencapaian swasembada beras tidak lepas dari penerapan dan inovasi teknologi yang dikembangkan pemerintah,
misalnya dalam penggunaan benih unggul, teknologi pemupukan, pengendalian organisme pengganggu, pengolahan tanah, dan lain sebagainya. Akhir-akhir ini proses produksi beras menghadapi berbagai kendala yang cukup serius, antara
lain:
1. Cuaca atau iklim makin sulit diramal dengan tepat, misalnya mundurnya musim
hujan, musim kemarau yang panjang, dan bencana kekeringan.
2. Eksplosi serangga hama akibat belum sepenuhnya diterapkan teknik budidaya yang baik, seperti tanam serempak.
3. Semakin langkanya budidaya tenaga kerja dalam budidaya padi sawah, misalnya tenaga pengolah lahan.
4. Sektor industri yang tumbuh pesat tampak lebih menarik untuk digeluti serta memberikan harapan lebih baik daripada menjadi buruh mencangkul.
18
6. Alternatif pengolahan tanah yang menggunakan traktor belum dapat dijangkau
seluruh petani.
2.5. Hasil Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian Herdiansyah (2005) menunjukkan bahwa kegiatan usahatani padi organik memiliki perbedaan dengan usahatani padi anorganik. Hasilnya perhitungannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 4. Perbedaan Pendapatan Rata-Rata Usahatani Padi Organik dan Anorganik per Musim Tanam per Hektar dari Penelitian
- Pendapatan atas biaya tunai 1.542.665,8 1.740.738,5 1.796.242,8 - Pendapatan atas biaya non tunai -1.982.334,2 695.738,5 -68.757,2 Usahatani Padi Anorganik
- Pendapatan atas biaya tunai 4.441.071,4 -12.441,2 1.131.261,4 - Pendapatan atas biaya non tunai -83.928,6 -1.857.441,2 -968.738,6 Pendapatan atas biaya tunai petani padi organik dengan petani pemilik penggarap Rp 1.542.665,8 dan pendapatan non tunai yaitu Rp -1.982.334,2. Pada
petani padi anorganik pendapatan non tunai yang diperoleh Rp -83.928,6 dan pendapatan tunai yaitu Rp 4.441.071,4. Pendapatan atas biaya non tunai petani
penyakap padi organik yaitu Rp 695.738,5, sedangkan pendapatan atas biaya tunai yaitu Rp 1.740.738,5. Pada padi anorganik pendapatan tunai sebesar Rp -12.441,2 dan pendapatan bersih atau atas biaya non tunai yaitu Rp -1.857.441,2.
Pendapatan petani penyewa non tunai Rp -68.757,2 dan pendapatan tunai yaitu sebesar Rp 1.796.242,8. Sedangkan pendapatan bersih padi anorganik atas biaya
19
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Analisis Kelayakan
Merret (1989) dalam Sutojo (2006), mengungkapkan bahwa NPV adalah
jumlah present value seluruh net cash flows tahunan selama masa tertentu dan
salvage value proyek, dikurangi jumlah investasi proyek. Dengan demikian, suatu
proyek dikatakan layak atau bermanfaat untuk dilaksanakan jika NPV proyek tersebut sama atau lebih besar dari nol. NPV sama dengan nol, maka proyek akan
mendapat modalnya kembali setelah diperhitungkan discount rate yang berlaku. Apabila NPV proyek tersebut lebih besar dari nol maka proyek dapat dilaksanakan dengan memperoleh keuntungan sebesar nilai NPV, sedangkan
apabila NPV lebih kecil dari nol maka sebaiknya proyek tersebut tidak dilaksanakan dan mencari alternatif proyek lain yang pasti menguntungkan.
Gray (1985), menyebutkan terdapat dua cara perhitungan yang digunakan untuk menentukan B/C ratio yaitu net benefit cost ratio (Net B/C) yang dihitung dengan membandingkan jumlah semua NPVB-C yang bernilai positif dengan
jumlah semua NPVB-C yang bernilai negatif dan gross benefit cost ratio (Gross
B/C ratio) dimana nilainya merupakan perbandingan NPV manfaat dan NPV biaya sepanjang umur proyek. Kegiatan investasi layak jika mempunyai nilai B/C
20
3.1.2. Biaya dan Penerimaan Usahatani
Menurut Lipsey (1995), biaya produksi merupakan semua pengeluaran yang dilakukan oleh perusahaan untuk memperoleh faktor-faktor produksi dan
bahan-bahan mentah yang akan digunakan untuk menciptakan barang-barang yang diproduksinya. Apabila jumlah suatu faktor produksi yang digunakan selalu berubah-ubah, maka biaya produksi yang dikeluarkan juga berubah-ubah nilainya.
Namun, apabila jumlah suatu faktor produksi yang digunakan adalah tetap, maka biaya produksi yang dikeluarkan untuk memperolehnya tidak berubah nilainya.
Dengan demikian keseluruhan jumlah biaya produksi yang dikeluarkan produsen dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu biaya tetap dan biaya variabel (biaya yang berubah-ubah).
Menurut Soekartawi (1995), penerimaan usahatani merupakan perkalian antara produksi dan harga jual. Macam penerimaan usahatani bisa lebih dari satu
tergantung tanaman yang diusahakan. Oleh karena itu, dalam menghitung total penerimaan usahatani perlu dipisahkan antara analisis parsial usahatani dengan analisis keseluruhan usahatani.
3.1.3. Inovasi Pengurangan Pemakaian Pupuk Kimia
Perkembangan sistem usahatani baik dalam bentuk teknologi maupun
inovasi sangat diperlukan untuk memajukan pertanian dalam hal peningkatan produktivitas nasional dan pendapatan pada petani. Tidak semua perkembangan
pertanian dapat diterima dengan mudah oleh petani, mereka membutuhkan adaptasi atas sistem usahatani yang baru mereka terima karena kebiasaan mereka dalam menerapkan sistem pertanian yang telah terbiasa mereka lakukan.
21
sistem usahatani sangat baik dilakukan untuk membangun tingkat kesuburan
tanah. Namun, tidak semua petani bersedia melakukan kegiatan tersebut, meskipun dalam jangka panjang hal ini akan berdampak positif bagi lahan
pertanian mereka dan diharapkan pupuk kimia dapat dikurangi penggunaanya secara bertahap hingga lahan bisa meninggalkan pemakaian pupuk kimia seutuhya.
Pembuatan model dalam situasi adopsi dan difusi inovasi adalah beragam sekali tergantung dari permasalahan yang diteliti, perlu dilakukan identifikasi
permasalahan yang ada dan tujuan akhir bagi petani dalam melakukan
pengambilan keputusan adopsi dan difusi inovasi (Soekartawi, 2005). Jones (1975) dalam Soekartawi (2005), lima kategori aspek penting yang perlu
diperhatikan dalam identifikasi permasalahan yang ada yaitu aspek-aspek seperti situasi lokal (luas usahatani), personal (umur, tingkat pendidikan, pendapatan),
psikologis (sikap, motivasi), sosiologis (norma, kepercayaan, status sosial), aspek makro (kebijaksanaan pemerintah tentang pertanian, situasi ekonomi).
Y= Ln
1− = 0+ 1�1+ 2�2+⋯+ �
Faktor-faktor yang diduga berpengaruh akan diregresikan menggunakan
regresi logit persamaan diatas merupakan persamaan logistik atau logit, dimana P merupakan kemungkinan bahwa Y=1. X1, X2 serta Xk adalah variabel
22
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional
Aktivitas pertanian pada petani sangat berpengaruh terhadap ketahanan pangan masyarakat, maka pertanian berkelanjutan sangat perlu direalisasikan agar
produktivitas pertanian mampu dipertahankan atau ditingkatkan mengingat semakin meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia dari tahun ke tahun. Penduduk yang meningkat akan menyebabkan permintaan pangan bertambah
besar. Pertanian anorganik yang diterapkan pada petani di Indonesia menimbulkan keprihatinan karena dampak negatif jangka panjang yang ditimbulkan dari
pemakaian zat-zat kimia pada lahan pertanian. Atas dasar keprihatinan tersebut pertanian organik mulai disosialisasikan pada petani di Indonesia, bahkan Kementerian Pertanian telah membuat program “Go Organic 2010”. Proses
sosialisasi ini membutuhkan kesabaran mengingat sulitnya mengubah pola perilaku petani dalam menjalani kegiatan pertaniannya.
Petani di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Bogor, telah mencoba menerapkan sistem pertanian yang mengarah pada pertanian organik pada komoditas padi sawahnya meskipun tidak secara penuh. Sistem usahatani padi
yang dijalankan yaitu dengan mengurangi pemakaian pupuk kimia, menambahkan input pupuk organik pada usahatani dan bebas pestisida kimia. Berdasarkan studi
kasus tersebut maka penelitian ini mencoba menelaah perbedaan usahatani semi organik tersebut dengan anorganik, hasil kedua nilai pendapatan pada sistem
23
Keputusan petani untuk mengurangi pemakaian pupuk kimia dan
mengkonversinya dengan pemakaian pupuk organik akan dinalisis menggunakan regresi logistik. Sistem usahatani yang telah diterapkan pada beberapa wilayah di
Indonesia ini dipercaya mampu mewujudkan pertanian yang sejalan dengan prinsip-prinsip konservasi lingkungan dan diharapkan dalam jangka mendatang pertanian organik bisa benar-benar diterapkan agar kondisi kesuburan lahan dapat
dikonservasi lebih baik lagi.
Gambar 1. Alur Kerangka Pemikiran Operasional
24
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Ciburuy dan Desa Cisalada, Kecamatan
Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian dipilih secara tertuju (purposive) berdasarkan pertimbangan bahwa Desa Ciburuy merupakan daerah yang telah mencoba melakukan penerapan usahatani padi
sawah dengan mengurangi pemakaian pupuk kimia, menggunakan pupuk organik dan bebas pestisida kimia. Petani di desa ini telah menghasilkan produk padi
sawah dengan merk SAE (Sehat, Aman, Enak). Usahatani padi semi organik ini akan dibandingkan dengan beberapa petani padi anorganik di Desa Cisalada. Desa ini dipilih karena terdapat dalam satu wilayah serta memiliki karakteristik yang
hampir sama dengan Desa Ciburuy. Khusus untuk pengambilan data primer di lapang dilaksanakan di bulan Juni - Juli 2011.
4.2. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian meliputi data time series dan
cross section. Sumber data yang digunakan dalam penelitian meliputi data primer
dan sekunder. Data primer merupakan data yang didapat dari sumber pertama seperti hasil wawancara atau hasil pengisian kuesioner yang biasanya dilakukan
oleh peneliti (Umar, 2005). Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan responden yang dilakukan pada petani, baik yang menerapkan sistem usahatani
25
sekunder merupakan data primer yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan baik
oleh pihak pengumpul data primer atau oleh pihak lain misalnya dalam bentuk tabel-tabel atau diagram-diagram (Umar, 2005). Data sekunder diperoleh dari
instansi dan literatur yang terkait dengan penelitian seperti Badan Pusat Statistik, Kementerian Pertanian, Kantor Desa dan literatur lain yang terkait dengan penelitian.
4.3. Metode Pengambilan Data
Pengambilan responden dilakukan melalui teknik purposive sampling
(dilakukan secara tertuju). Banyaknya jumlah respoden atau petani yang akan diwawancarai untuk analisis pendapatan dan logit yaitu 30 orang, terdiri dari 15 petani semi organik dan 15 petani padi anorganik. Penentuan pengambilan
responden berdasarkan jumlah standar minimal penelitian survei yaitu 30 orang pada populasi menyebar normal. Pengambilan beberapa responden usahatani
anorganik diambil dari Desa Cisalada karena jumlah petani anorganik di Desa Ciburuy sangat sedikit dan tidak mencukupi jumlah responden yang diinginkan. Pengambilan responden untuk analisis kelayakan diwakili oleh satu orang petani
baik semi organik dan anorganik. Pemilihannya didasarkan bahwa petani tersebut menanam varietas padi yang sama dan telah menjalani usahataninya dengan baik.
Responden dipilih berdasarkan keterangan awal dari ketua kelompok tani mengenai jumlah petani yang terdapat dalam desa, selanjutnya dipilih secara
26
4.4. Metode Analisis Data
Pada tabel 5 akan diuraikan matrik analisis data yang digunakan untuk menjawab tujuan-tujuan dalam penelitian ini. Data yang diperoleh dalam
penelitian ini akan dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif. Pengolahan data dilakukan secara manual dan komputer yaitu menggunakan software Microsoft office Excel 2007, SPSS 16 dan Minitab Release 14.
Tabel 5. Matrik Metode Analisis Data
4.4.1. Analisis Kelayakan Usahatani Semi Organikdan Anorganik
Analisis NPV, Gross B/C ratio dapat dituliskan untuk menjelaskan kriteria layak atau tidaknya suatu usahatani. Menurut Soeharto (2001), NPV didasarkan
atas konsep pendiskontoan seluruh arus kas ke nilai sekarang, dengan mendiskontokan semua arus kas masuk dan keluar selama umur investasi ke nilai sekarang kemudian menghitung angka bersihnya dan akan diketahui selisihnya
dengan memakai dasar yang sama. Berarti sekaligus dua hal telah diperhatikan yaitu faktor nilai waktu dari uang dan selisih besarnya arus kas masuk dan keluar.
Suatu proyek dinyatakan layak jika NPV > 0, yang artinya proyek tidak rugi. Menurut Soekartawi (1995), secara matematis NPV dituliskan sebagai berikut:
No. Tujuan penelitian Sumber data Analisis data
1 Menganalisis kelayakan 2 Mengkaji tingkat biaya dan
27
Analisis Gross Benefit-cost ratio (B/C) yaitu perbandingan (nisbah) antara penerimaan dengan biaya. Gross B/C ratio dalam kegiatan investasi dikatakan
B = manfaat usahatani pada tahun ke-t C = biaya usahatani pada tahun ke-t
i = suku bunga (%)
t = tahun kegiatan usahatani (t= 0,1,2,…,n)
n = umur usahatani
4.4.2. Tingkat Biaya dan Pendapatan Usahatani Semi Organik dan
Anorganik
Biaya usahatani adalah semua pengeluaran yang dipergunakan dalam usahatani, diklasifikasikan menjadi dua yaitu biaya tetap yang didefinisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan walaupun
produksi yang diperoleh banyak atau sedikit, jadi besarnya biaya tetap ini tidak tergantung pada besar kecilnya produksi yang diperoleh. Biaya variabel yang
didefinisikan sebagai biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh. Contohnya biaya produksi, jika menginginkan produksi yang tinggi maka tenaga kerja perlu ditambah, pupuk juga perlu ditambah, dan lain
28
Tabel 6. Struktur Biaya Usahatani Padi Sawah
No. Biaya Rincian Biaya Biaya (Rp)
1 Biaya Tetap Iuran pengairan/irigasi, alat pertanian, sewa traktor/kerbau.
2 Biaya Variabel Bibit/benih, pupuk, obat-obatan, biaya panen, tenaga kerja, bagi hasil.
Total Biaya
Biaya total merupakan penjumlahan antara biaya tetap dan biaya variabel,
maka berdasarkan pernyataan tersebut rumus total cost dapat dituliskan sebagai berikut:
TC = TFC + TVC Keterangan:
TC = Total biaya (Rp) TFC = Total biaya tetap (Rp) TVC = Total biaya variabel (Rp)
Soekartawi (1995) mengatakan bahwa pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya, perumusuannya adalah sebagai berikut:
Pd = TR – TC Keterangan:
Pd = Pendapatan Usahatani (Rp)
TR = Total Penerimaan (Rp) TC = Total biaya (Rp)
Total penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi dengan harga jual. Rumus penerimaan kegiatan pertanian adalah sebagai berikut:
29
Keterangan:
TR = Penerimaan usahatani (Rp) Q = Hasil produksi (kg)
P = Harga jual produk per unit (Rp/kg)
Besarnya pendapatan yang diperoleh dalam perhitungan akan diuji menggunakan statistika dengan menggunakan SPSS 16. Uji beda pendapatan
dilakukan dengan uji nilai tengah rata-rata pendapatan usahatani padi semi organik dan anorganik per hektar per musim tanam dan pendapatan per kilogram
output per musim tanamnya. Asumsi yang digunakan pada pengujian ini adalah sampel menyebar secara normal. Hipotesis H0 akan ditolak apabila P value < α,
sehingga dapat dikatakan bahwa pendapatan usahatani padi semi organik lebih
tinggi dibandingkan dengan pendapatan usahatani padi anorganik. Hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
H0 : Pendapatan petani padi organik = Pendapatan petani padi anorganik
H1 : Pendapatan petani padi organik > Pendapatan petani padi anorganik
Menurut Lipsey (1995), biaya total rata-rata adalah biaya total untuk
menghasilkan sejumlah output tertentu dibagi dengan jumlah output tersebut. Biaya total rata-rata dibagi menjadi dua, yaitu biaya tetap rata-rata dan biaya
variabel rata-rata. Biaya tetap rata-rata sama dengan biaya total per satuan produk yang dapat diperoleh dengan cara membagi biaya tetap dengan kuantitas produksi,
sedangkan biaya variabel rata-rata menggambarkan besarnya biaya variabel per satuan produk dan dapat diperoleh dengan membagi biaya variabel total dengan kuantitas produksinya. Biaya total rata-rata dapat dihitung dengan rumus:
30
Keterangan:
ATC = Biaya total rata-rata (Rp/kg) AFC = Biaya tetap rata-rata (Rp/kg)
AVC = Biaya variabel rata-rata (Rp/kg)
Biaya rata-rata menggambarkan besarnya biaya per satuan produk. Biaya tetap rata-rata ini akan semakin menurun dengan semakin banyaknya output yang
dihasilkan. Besarnya biaya tetap rata-rata per satuan produk (AFC) dapat dihitung dengan rumus:
AFC = TFC / Q Keterangan:
AFC = Biaya tetap rata-rata (Rp/kg)
TFC = Biaya tetap total (Rp) Q = Output yang dihasilkan (kg)
Biaya variabel rata-rata yang akan semakin menurun nilainya dengan semakin banyaknya output yang dihasilkan. Biaya variabel rata-rata adalah sebagai berikut:
AVC = TVC / Q Keterangan:
AVC = Biaya variabel rata-rata (Rp/kg) TVC = Biaya variabel total (Rp)
31
4.4.3. Estimasi Faktor-Faktor yang Mendorong Petani untuk Mengurangi
Pemakaian Pupuk Kimia
Faktor-faktor yang mendorong penerapan sistem usahatani organik akan ditentukan dalam penelitian ini. Tingkat pendidikan akan berpengaruh pada
keputusan inovasi pertanian pengurangan pupuk kimia ini, dimungkinkan bahwa hubungannya berpengaruh positif artinya semakin tinggi pendidikan petani maka respon penerimaan informasi oleh petani akan manfaat pengurangan pupuk kimia
juga semakin baik. Hal tersebut akan mendorong petani untuk mengurangi pemakaian pupuk kimia. Luas usahatani dimungkinkan akan berpengaruh positif
terhadap keputusan petani untuk mengurangi pemakaian pupuk kimia, semakin besar luasan lahan yang dimiliki petani maka semakin mudah bagi petani untuk menerima inovasi ini.
Semakin muda petani biasanya mempunyai semangat untuk mencari informasi apa yang belum mereka ketahui, sehingga dengan demikian mereka
berusaha untuk lebih cepat melakukan adopsi inovasi, maka diharapkan umur memberikan pengaruh yang negatif. Pendapatan merupakan faktor yang penting untuk penerimaan inovasi baru bagi petani. Nilai pendapatan yang tinggi akan
memudahkan petani untuk mengadopsi inovasi pertanian untuk mengurangi pemakaian pupuk kimia karena ketersediaan modal yang mereka miliki, maka
diharapkan faktor ini akan berpengaruh positif.
Faktor berikutnya yaitu biaya pupuk, petani biasanya lebih mengarah pada
usahatani yang memberikan nilai pupuk lebih efisien dari segi biaya. Oleh karena itu besaran biaya pupuk diduga akan mempengaruhi keputusan petani menerapkan pengurangan pemakaian pupuk kimia. Keberadaan informasi diperlukan untuk
32
pengurangan pemakaian pupuk kimia sehingga memberikan peluang kepada
mereka untuk mengadopsi sistem tersebut. Pemberian informasi diidentifikasi dari pernah atau tidak petani mengikuti penyuluhan tentang manfaat pengurangan
bahan kimia termasuk pupuk kimia dan penambahan input pupuk organik dalam lahan pertanian.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut maka model logit yang digunakan
adalah sebagai berikut (Juanda, 2009):
PDDKN LLHN UMR PDPT BPK d IFRM
P
Pi = peluang kesediaan petani mengurangi pemakaian pupuk kimia
1-Pi = peluang ketidaksediaan petani mengurangi pemakaian pupuk kimia
Zi = keputusan petani
β1 = intersep
βi = parameter peubah Xi
PDDKN = lama pendidikan formal (tahun) LLHN = luas lahan (ha)
33
pilihan-1 (mengurangi pemakaian pupuk kimia) dan pilihan-0 (tidak mengurangi
pemakaian pupuk kimia).
1. Uji Likelihood Ratio
Setelah dugaan model diperoleh, langkah selanjutnya adalah menguji apakah model logit tersebut secara keseluruhan dapat menjelaskan keputusan pilihan kualitatif (Juanda, 2009). Hipotesis statistik yang diuji dalam hal ini
adalah :
H0: 2 3 ...k(model tidak dapat menjelaskan)
H1: minimal ada j 0, untuk j = 2, 3,…, k (model dapat menjelaskan)
Statistik uji yang digunakan adalah dengan likelihood ratio, yaitu rasio
fungsi kemungkinan modelUR (lengkap) terhadap fungsi kemungkinan modelR (H0
benar). Statistik uji-G dibawah ini menyebar menurut sebaran Khi-kuadrat dengan derajat bebas (k-1).
Jika menggunakan taraf nyata α, hipotesis H0 ditolak (model signifikan),
jika statistik G > χ2
α,k-1. Jika H0 ditolak maka dapat disimpulkan bahwa minimal
ada j 0.
2. Uji Wald
Untuk menguji faktor mana (j 0) yang berpengaruh nyata terhadap
34
H0: j 0, untuk j = 2, 3,…, k (peubah Xj tidak berpengaruh nyata)
H1: j 0(peubah Xj berpengaruh nyata)
Statistik uji yang digunakan adalah : W = β j
Keterangan:
= koefisien regresi
= standard error of β(galat kesalahan dari β)
3. Odds Ratio
Setelah diperoleh dugaan model logit yang dianggap cocok dan dugaan
koefisiennya (pengaruh peubahnya) signifikan secara statistik, maka kita dapat menarik kesimpulan-kesimpulan praktis dari koefisien dalam model. Salah satu
ukuran asosiasi yang dapat diperoleh melalui analisis regresi logistik adalah odds ratio (Juanda, 2009). Secara matematis dapat dilihat seperti di bawah ini:
� =
(1− )
Keterangan:
Pi = peluang kejadian yang terjadi
35
V. GAMBARAN UMUM
5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Desa Ciburuy dan Desa Cisalada, kedua desa
tersebut merupakan desa yang terdapat di Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Potensi pertanian kedua desa cukup besar, hal ini dapat dilihat dari luas sawah yang mereka usahakan untuk usahatani padi dan
menjadikan sektor tersebut sebagai mata pencaharian masyarakat.
Gambar 2. Peta Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Bogor
Gambaran umum Desa Ciburuy dan Desa Cisalada akan dijelaskan meliputi topografi, kependudukan, mata pencaharian masyarakat dan
fasilitas-fasilitas penunjang kegiatan masyarakat. Gambaran umum lokasi penelitian di dua desa tersebut adalah sebagai berikut:
5.1.1. Gambaran Umum Desa Ciburuy
Desa Ciburuy merupakan salah satu desa yang termasuk dalam wilayah
Kecamatan Cigombong dengan luas wilayah sebesar 200,67 ha. Batas wilayah Desa Ciburuy yaitu sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Desa
36
berbatasan dengan Desa Srogol, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa
Cisalada. Desa Ciburuy merupakan wilayah yang termasuk dataran rendah, berbukit-bukit dan terletak di daerah bantaran sungai. Tingkat kemiringan tanah di
desa Ciburuy yaitu 16 derajat. Tabel berikut menjelaskan luas wilayah menurut penggunaannya:
Tabel 7. Luas Wilayah Menurut Penggunaan di Desa Ciburuy Tahun 2010
Peruntukan Lahan Luas wilayah (ha)
Luas permukiman 50
Jumlah penduduk Desa Ciburuy secara keseluruhan yaitu berjumlah
12.005 jiwa. Penduduk di desa ini didominasi oleh penduduk berjenis kelamin laki-laki yaitu berjumlah 6.153 jiwa (51,25 %) sedangkan jumlah penduduk yang berjenis kelamin perempuan yaitu 5.852 jiwa (48,75 %) dari total penduduk.
Jumlah kepala keluarga di Desa Ciburuy yaitu 2.480 kepala keluarga dengan kepadatan penduduk 75,03 per km.
Penduduk di wilayah ini yang memiliki mata pencaharian pada sektor pertanian berjumlah total 415 jiwa yang terdiri dari 135 jiwa petani dan 280 jiwa sebagai buruh tani. Mayoritas mata pencaharian penduduk yaitu sebagai karyawan
37
sebanyak 47 jiwa dan sisanya sebagai pengrajin, pedagang, pensiunan, TNI, Polri,
pertukangan, bidan dan dokter.
Fasilitas dibangun untuk menunjang kegiatan masyarakat desa. Adapun
salah satu fasilitas yang terdapat dalam desa ini yaitu ruang terbuka publik yang terdiri dari taman bermain seluas 2.000 m2, taman desa seluas 1.000 m2, taman kas desa seluas 2.000 m2. Prasarana kesehatan terdiri dari puskesmas pembantu
sebanyak satu unit, poliklinik sebanyak empat unit, posyandu sebanyak 10 unit, rumah bersalin sebanyak sebanyak dua unit dan balai kesehatan ibu dan anak
sebanyak satu unit. Prasarana terpenting di Desa Ciburuy yaitu sarana pendidikan yang terdiri dari gedung SLTA sebanyak dua buah, gedung SLTP sebanyak empat buah, gedung SD sebanyak delapan buah, gedung TK sebanyak tiga buah dengan
status lahan sewa dan jumlah lembaga pendidikan agama sebanyak tujuh buah, dua buah sewa dan yang lainnya dalam status milik. Selain itu dalam desa ini juga
terdapat sarana dan prasarana wisata, olahraga serta kebersihan.
5.1.2. Gambaran Umum Desa Cisalada
Desa Cisalada merupakan desa yang terletak di Kecamatan Cigombong
dan memiliki luas wilayah sebesar 168,75 ha. Adapun batas wilayah desa ini yaitu sebelah utara berbatasan dengan Desa Pasir Jaya, sebelah selatan berbatasan
dengan Desa Tugu Jaya, sebelah barat berbatasan dengan Desa Pasir Jaya, sebelah timur berbatasan dengan Desa Ciburuy. Wilayah administratif Desa Cisalada
38
Tabel 8. Luas Wilayah Menurut Penggunaan di Desa Cisalada Tahun 2010
Peruntukan Lahan Luas wilayah (ha)
Luas prasarana umum lainnya 15,25
Tanah fasilitas umum 8,5
Total luas 168,75
Sumber: Monografi Desa Cisalada, 2010
Jumlah penduduk Desa Cisalada secara keseluruhan berjumlah 7.019 jiwa,
dengan penduduk terbanyak berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 3.586 jiwa atau sekitar 51,09 % dari total penduduk, sedangkan penduduk berjenis kelamin
perempuan berjumlah 3.433 jiwa atau sekitar 48,91 % dari total penduduk Desa Cisalada. Mayoritas agama penduduk Desa Cisalada beragama islam, hanya dua jiwa penduduk yang berkeyakinan lain yaitu menganut agama protestan. Terdapat
tiga jiwa yang berwarga negara asing, sedangkan sisanya yaitu 7.016 jiwa penduduk berwarga negara Indonesia. Jumlah penduduk yang produktif yaitu
4.126 jiwa, rata-rata kepadatan penduduk yaitu 300 jiwa/km2 dan rata-rata penyebaran penduduk yaitu 500 jiwa/km2.
Tingkat pendidikan penduduk Desa Cisalada bervariasi yaitu mulai dari
tingkat SD hingga S3, pada desa ini juga masih terdapat penduduk yang buta huruf. Tingkat pendidikan akhir penduduk didominasi oleh tamatan sekolah dasar
yaitu berjumlah 3.168 jiwa atau sekitar 45,99 %. Pada Desa Cisalada terdapat penduduk dengan lulusan sarjana, yaitu 98 jiwa (1,42 %) lulusan S1, tiga jiwa
39
D3 sebanyak 87 jiwa (1,26 %). Keterangan selengkapnya mengenai kategori
penduduk berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 9. Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Desa Cisalada Tahun 2010
Tingkat Pendidikan Jumlah (Jiwa) Persentase (%)
Buta huruf 116 1,68
Belum sekolah 587 8,52
Tidak tamat SD 102 1,48
Tamat SD 3.168 45,99
Tamat SLTP 1.319 19,15
Tamat SMU 1.106 16,05
Tamat D1 163 2,37
Tamat D2 139 2,02
Tamat D3 87 1,26
Tamat S1 98 1,42
Tamat S2 3 0,04
Tamat S3 1 0,01
Jumlah 6889 100
Sumber: Monografi Desa Cisalada, 2010
Mata pencaharian penduduk Desa Cisalada didominasi pada sektor pertanian, jumah penduduk yang bekerja sebagai petani yaitu sebanyak 3.462 jiwa (60,17 %) yang terdiri dari 2.150 jiwa petani pemilik, 285 jiwa petani penggarap,
dan 1.027 jiwa buruh tani. Mayoritas mata pencaharian penduduk berikutnya yaitu buruh sejumlah 1.255 (21,81 %). Pekerjaan pada sektor tersebut sering menjadi
pemicu kelangkaan generasi penerus pertanian karena kebanyakan remaja lebih memilih bekerja di pabrik-pabrik sebagai buruh daripada menjalani aktivitas
40
Tabel 10. Penduduk Menurut Pekerjaan Desa Cisalada Tahun 2010
Jenis Pekerjaan Jumlah (Jiwa) Persentase(%)
Petani 3.462 60,17
Pengusaha kecil menengah 47 0,82
Pengrajin 3 0,05
Buruh 1.255 21,81
Bengkel/pencucian mobil dan motor 7 0,12
Penjahit 8 0,14
Pensiunan TNI/POLRI/PNS 13 0,23
Anggota DPRD Kabupaten 1 0,02
Jumlah 5.754 100
Sumber: Monografi Desa Cisalada, 2010
Fasilitas yang terdapat dalam Desa Cisalada terdiri dari beberapa sarana
dan dibangun untuk memudahkan penduduk menjalani aktivitas keseharian mereka. Sarana terpenting dalam Desa Cisalada yaitu sarana pendidikan yang
merupakan tempat penduduk usia pelajar untuk menuntut ilmu. Pertanian di Desa Cisalada ini didukung oleh keberadaan dua buah prasarana irigasi. Sarana lainnya yang terdapat di Desa Cisalada yaitu sarana keagamaan, sarana wilayah, sarana
perekonomian, sarana perhubungan, sarana air bersih, sarana kesehatan dan sarana aparatur desa.
5.2. Gambaran Umum Budidaya Padi Semi Organik dan Anorganik
Pada dasarnya budidaya tanaman padi dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu antara lain: persiapan benih dan persemaian, persiapan lahan, penanaman,
41
lahan. Pengurangan dosis pemakaian pupuk kimia dilakukan secara bertahap, hal
itu dilakukan untuk menghilangi ketergantungan petani terhadap pupuk kimia dalam melakukan kegiatan usahatani mereka. Pemakaian pestisida kimia pada
lahan pertanian padi semi organik sudah tidak diperkenankan lagi. Petani yang tergabung dalam keanggotaan Gapoktan Silih Asih di Desa Ciburuy diharuskan mematuhi aturan yang terdapat dalam SOP gapoktan seperti jenis varietas dan
jumlah benih yang akan ditanam, cara pembuatan dan pemakaian pupuk organik serta pestisida nabati, aturan tanam, pemakaian pupuk kimia, serta penjualan dan
pembinaan petani oleh Lembaga Pertanian Sehat, Dinas Pertanian dan Gapoktan itu sendiri. Adapun proses budidaya pada kedua usahatani baik semi organik maupun anorganik akan diuraikan sebagai berikut:
1. Persiapan Benih dan Persemaian
Pemilihan jenis varietas yang akan digunakan pada kedua usahatani padi
sangat diperhatikan. Pertimbangannya yaitu memilih varietas atas dasar ketahanan benih terhadap serangan hama dan penyakit tanaman padi. Varietas yang digunakan biasanya telah diuji mutu dan produksinya dari pemerintah. Mayoritas
petani menggunakan benih berlabel biru yang tahan terahadap penyakit tungro, contohnya yaitu Ciherang, Bondoyudo, Situbagendit dan Inpari. Benih yang
dipilih yang bersifat bernas, pemilihannya dengan menggunakan bahan desinfektan (larutan garam atau abu dapur). Benih yang ada direndam dalam
larutan garam atau abu dan dilanjutkan proses pemeraman, dengan dosis setiap satu liter air harus dicampur dengan satu sendok garam atau tiga sendok abu. Benih yang dipilih adalah benih yang tenggelam. Setelah hal tersebut dilakukan
42
tersebut bertujuan menekan penyakit dan merangsang pengecambahan benih
secara merata pada tanaman padi. Setelah benih yang bernas telah terpilih, langkah selanjutnya yaitu membuat lahan persemaian.
Gambar 3. Lahan Persemaian Benih Padi
Beberapa petani juga menyediakan benih sendiri dengan cara memilih benih yang bernas dari lahan pertanian mereka, hal ini dapat menghemat
pengeluaran biaya produksi pertanian. Lahan yang dipilih untuk persemaian merupakan lahan yang aman dan mudah pemeliharaannya. Bibit yang akan ditanam merupakan bibit yang telah berumur 12-20 hari dan telah siap ditanam
pada lahan yang telah melalui proses pengolahan lahan. Petani semi organik menambahkan pupuk kompos untuk melengkapi proses pembibitan benih padi.
Tabel 11. Perbandingan Penggunaan Benih pada Usahatani Padi Semi Organik dan Anorganik Petani Penggarap
No Usahatani Padi Jumlah Benih (kg/ha)
1. Semi Organik 40,86
2. Anorganik 49,79
Sumber : Data primer, 2011
Jumlah benih yang digunakan pada usahatani padi anorganik lebih besar yaitu sejumlah 49,79 kg/ha dibandingkan usahatani padi semi organik yang hanya
43
2. Pengolahan Lahan
Tujuan pengolahan lahan pada dasarnya agar gulma yang ada bisa mati dan membusuk, menggemburkan tanah, memperbaiki aerasi tanah, memudahkan
pengaturan air dan mengatur jarak tanam. Pengolahan lahan dibagi menjadi beberapa tahapan, diantaranya yaitu:
- Mopokan (perbaikan pematang), yaitu melakukan pembongkaran pematang
sampai dasar lahan dengan menggunakan cangkul, kemudian dilakukan
penimbunan kembali dengan tanah yang sudah diolah sehingga pematang kembali rapi. Hal tersebut mencegah kebocoran saluran air dan menutup lubang hama yang ada.
- Ngongkolongan, yaitu mencangkul batas petakan yang berbatasan dengan
petakan sebelah atas, posisi mencangkul membujur dengan petakan tanah dicangkul dan dipindahkan ke bagian tengah petakan. Hal tersebut dilakukan agar kegiatan membajak lebih mudah dilakukan.
- Bajak, yaitu melakukan pembajakan sawah yang biasa dilakukan dengan
bantuan traktor atau kerbau. Hal ini tergantung dimana posisi lahan petani, jika lahannya mudah dijangkau oleh traktor maka petani biasanya melakukan proses pembajakan ini dengan bantuan alat tersebut. Jika sulit dijangkau
maka alternatif bantuannya yaitu menggunakan bantuan kerbau. Bajak akan mempercepat proses pembusukan sisa tanaman.
- Nampingan dan mengaru, yaitu melakukan perapian pada pematang bagian
dalam petakan untuk memperluas areal tanam, serta melakukan penghalusan
tanah olahan agar sistem perakaran sempurna dan kedap air.
44
- Nyorongan, yaitu melakukan perataan permukaan sawah agar sistem
pengairan usahatani merata. Prosesnya dengan menggunakan bantuan alat pertanian berupa sorongan.
- Pembuatan drainase, yaitu membuat parit pengaturan air dalam petakan agar
memudahkan proses pengaturan air.
Tahapan pengolahan tanah diatas diperoleh dari informasi standar operasional prosedur budidaya padi sehat (semi organik) pada Gapoktan Desa
Ciburuy. Pada dasarnya pengolahan lahan pada budidaya padi anorganik hampir sama dengan tahapan proses pengolahan lahan padi semi organik ini,
perbedaannya hanya terletak pada pemberian pupuk kompos yang diberikan dengan dosis kurang lebih dua ton/ha, dan petani semi organik biasanya juga
melakukan penyebaran jerami sebelum pengolahan lahan yang nantinya akan mengalami proses pembusukan dengan sendirinya di lahan.
Gambar 4. Tahapan Proses Pengolahan Tanah yaitu Mengatur Jarak Tanam (Kiri) dan Perataan Permukaan Sawah atau Nyorongan (Kanan)
3. Penanaman
Bibit yang akan ditanam dalam proses ini berumur sekitar 12-20 hari. Langkah awal yang dilakukan adalah menyaplak, dengan bantuan alat yang
45
dan 50 cm pada setiap kelompok barisan. Sistem tanam seperti itu disebut legowo
yang manfaatnya antara lain yaitu memudahkan dan mengefisienkan penggunaan pupuk pada lahan, serta mendapatkan jumlah anakan yang lebih banyak pada
tanaman padi. Penggunaan sistem tanam dengan teknik legowo mulai di adopsi oleh petani anorganik, walaupun masih sangat sedikit petani anorganik yang mengunakan cara tanam ini. Bibit yang telah disemai sebelumnya akan dipindah
tanamkan pada lahan yang telah melalui proses pengolahan lahan. Bibit padi ditanam secara dangkal dan tunggal pada setiap titik temu garis caplak. Jumlah
bibit yang ditanam pada usahatani semi organik mayoritasnya berkisar antara dua hingga tiga rumpun, sedangkan usahatani anorganik umumnya berkisar antara tiga hingga lima rumpun padi.
Gambar 5. Sistem Tanam Acak Usahatani Padi Anorganik (Kiri) dan Sistem Tanam Legowo Usahatani Padi Semi Organik (Kanan)
4. Perawatan dan Pemeliharaan
Proses perawatan dan pemeliharaan tanaman padi terdiri dari penyiangan dan penyulaman, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit tanaman, babad
pematang dan pengaturan air atau irigasi.
- Penyiangan dan penyulaman, yaitu menyiangi rumput pengganggu disekitar
46
keadaan macak-macak dan saluran air dalam petakan sawah juga ditutup. Hal
ini dilakukan untuk menekan pertumbuhan gulma, laju kompetisi pemanfaatan unsur hara tanaman, penyinaran matahari yang merata pada
tanaman padi. Penyulaman merupakan penanaman kembali bibit dalam barisan tanaman yang hilang agar populasi tanaman tetap optimal. Adapun pada usahatani semi organik proses penyiangan dan penyulaman biasanya
dilakukan dua kali yaitu saat padi berumur 20-25 HST dan 35-40 HST.
- Pemupukan tanaman padi pada usahatani semi organik dilakukan sebanyak
tiga kali. Pemupukan dasar dilakukan dengan menggunakan pupuk kompos, dosisnya kurang lebih dua ton/ha. Petani menyediakan pupuk kompos dengan
cara membelinya dari toko pertanian atau koperasi, atau petani juga bisa memproduksinya sendiri dengan menggunakan limbah peternakan dan
pertanian yang melimpah di daerah pertanian mereka. Pemupukan selanjutnya yaitu dengan memberikan tunjangan unsur hara yang diperoleh dari kombinasi pemakaian pupuk kimia seperti TSP, Urea, NPK, KCL dan
Ponska. Biasanya petani mengkombinasikan dua hingga tiga jenis pupuk tersebut atau hanya menggunakan pupuk NPK saja, hal itu tergantung
kebutuhan dan kebiasaan petani dalam menjalani usahataninya. Pemupukan susulan pertama dilakukan pada saat umur padi sekitar 20-25 HST. Pemupukan susulan kedua dilakukan pada umur 45-50 HST atau pada waktu
yang disebut masa pramoria (umur varietas padi dikurangi 65 hari). Pada usahatani anorganik pemupukan hanya dilakukan dua kali dengan
47
usahatani semi organik. Adapun jumlah pemakaian pupuk kimia petani
penggarap pada kedua usahatani dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 12. Perbandingan Penggunaan Rata-Rata Pupuk Kimia pada Usahatani Padi Semi Organik dan Anorganik Petani Penggarap
Berdasarkan tabel di atas maka dapat terlihat penggunaan pupuk kimia pada usahatani padi semi organik lebih sedikit dibandingkan anorganik. Hal
tersebut dikarenakan usahatani padi semi organik telah melakukan pengurangan penggunaan pupuk kimia pada usahataninya.
- Pengendalian hama dan penyakit pada usahatani semi organik meliputi empat
kultur yaitu: kultur teknis merupakan pengendalian hama dan penyakit
dengan cara perbaikan teknis dalam melakukan usahatani, seperti bertanam dengan teknik legowo. Hal tersebut memiliki banyak manfaat diantaranya
mengefisienkan pemberian pupuk saat pemupukan, memudahkan petani melakukan kontrol tanpa menginjak-injak tanaman padi mereka, pergerakan hama seperti tikus dapat terlihat sehingga menciptakan lingkungan yang tidak
cocok untuk perkembangan OPT (Organisme Pengganggu tanaman). Kultur yang kedua yaitu kultur mekanis, merupakan pengendalian hama dengan
menggunanakan agency hayati. Kultur selanjutnya adalah kultur biologis, yaitu contohnya dengan menggunakan varietas padi yang tahan penyakit
48
dengan bahan alami yang bisa didapat dari alam seperti daun picung, daun
mimba, kacang babi, daun tuba dan lain sebagainya. Hal ini berbeda dengan cara pengendalian hama yang dilakukan petani anorganik. Mereka cenderung
memanfaatkan pestisida kimia seperti Decis, Furadan, Dusban, dan lainnya. Pada dasarnya pengendalian hama dan penyakit secara alami lebih diperkenankan karena tidak menimbulkan dampak negatif pada
penggunaannya.
- Babad pematang merupakan kegiatan pembersihan rumput yang terdapat di
pinggir petakan sawah. Biasanya dilakukan bersamaan pada setiap penyiangan yaitu dua kali setiap satu musim tanam.
- Pada dasarnya pengairan yang dilakukan kedua usahatani adalah sama.
Tanaman padi membutuhkan pengaturan air pada saat tanam, penyiangan, pemupukan dan panen. Pada saat tanam, air tergenang di saluran tengah dan pinggir petakan. Kegiatan penyiangan dan pemupukan mengharuskan
pengeringan air atau kondisi air dalam keadaan macak-macak, saluran masuk keluarnya air harus ditutup. Kapasitas air sebaiknya diperbanyak pada saat
tanaman padi sedang dalam masa bunting. Terakhir yaitu panen, air diusahakan dalam keadaan kering terhitung dari masa 20 hari sebelum panen.
5. Pemanenan
Pemanenan padi pada kedua usahatani dapat dilakukan sebanyak lima kali setiap dua tahun. Pemanenan dilakukan pada waktu yang tepat sesuai dengan
49
karung yang baik agar tidak bocor saat memasukkan gabah hasil panen. Hal
tersebut dilakukan untuk mengurangi resiko kerugian saat panen, diakibatkan dari berat gabah yang berkurang karena terbuang saat proses ini dilakukan. Pada petani
semi organik, penjemuran gabah hingga prosesnya menjadi padi dilakukan oleh Koperasi, bahkan proses packaging juga dilakukan dengan baik oleh Koperasi yang dikelola di Desa Ciburuy ini. Adapun produksi, produktivitas dan harga jual
rata-rata yang dihasilkan kedua usahatani yaitu:
Tabel 13. Perbandingan Produksi, Produktivitas dan Harga Jual Rata-Rata pada Usahatani Padi Semi Organik dan Anorganik Petani
Semi Organik 2313,33 5960,84 2489,29
Anorganik 1876,67 5448,89 2220
Sumber : Data primer, 2011
Jumlah produksi atau produktivitas usahatani padi semi organik lebih
tinggi dari anorganik. Nilai harga jual output pada usahatani padi semi organik juga sedikit lebih besar dari anorganik. Kedua hal tersebut nantinya akan mempengaruhi tingkat penerimaan usahatani padi ini.
5.2. Karakteristik responden
Karakteristik responden akan dijelaskan menurut usahatani yang mereka
usahakan yaitu usahatani padi semi organik dan anorganik. Jumlah keseluruhan responden yaitu 30 orang, yang terdiri dari 15 orang petani padi semi organik dan 15 orang petani anorganik. Karakteristik umum responden dijelaskan dari
beberapa karakteristik yaitu: jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, status kepemilikan lahan yang digunakan untuk kegiatan usahataninya, luas lahan yang