• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS EKONOMI USAHATANI PADI SEMI ORGANIK DAN ANORGANIK PADA PETANI PENGGARAP

DAFTAR LAMPIRAN

1.1. Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan pokok terpenting bagi manusia yang harus dipenuhi agar bisa bertahan hidup. Perkembangan pertanian sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan manusia akan pangan dan menunjang berbagai aktivitas industri yang juga ditujukan untuk melengkapi kebutuhan sehari-hari manusia. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat terutama pada negara berkembang menjadikan penerapan berbagai teknologi dan inovasi pertanian menjadi suatu keharusan, agar produksi dapat menunjang permintaan pangan yang tinggi. Peningkatan produktivitas pertanian menjadi target kegiatan pertanian pada berbagai negara. Namun, penggunaan teknologi dan inovasi pada kegiatan pertanian terkadang sering mengenyampingkan aspek lingkungan. Lingkungan seharusnya menjadi kunci keberlanjutan pertanian agar peningkatan produktivitas pertanian masih dapat dirasakan pada generasi mendatang.

Feder (1998) dalam Herry (2006), pertanian dunia abad 21 akan berlangsung dalam tekanan tantangan yang terus meningkat. Salah satu penyebab utamanya adalah pertumbuhan penduduk, yang pada tahun 2025 diperkirakan akan mencapai 8,5 milyar. Sebagian besar dari jumlah tersebut berada di negara- negara berkembang. Pertumbuhan penduduk yang besar memerlukan produksi pangan dengan kenaikan yang sangat memadai.

Hubungan tekanan penduduk dengan upaya pemenuhan kebutuhan pangan dibahas dalam teori Malthus, disebutkan bahwa pertumbuhan penduduk menyerupai sebuah deret ukur sementara peningkatan produksi menyerupai deret hitung artinya pertumbuhan penduduk jauh lebih cepat dibandingkan

2

pertumbuhan produksi. Pada setiap tahunnya jumlah penduduk Indonesia juga mengalami peningkatan, hal ini sangat berpengaruh pada jumlah permintaan pangan yang semakin tinggi, terutama padi atau beras yang merupakan makanan pokok masyarakat.

Tabel 1. Produksi Padi Sawah (Ton) di Pulau Jawa, Indonesia 2006-2010

Provinsi Tahun 2006 2007 2008 2009 2010* DKI Jakarta 6.197 8.002 8.352 11.013 11.760 Jawa Barat 9.103.490 9.562.990 9.757.168 10.924.508 11.192.812 Jawa Tengah 8.551.232 8.443.250 8.946.784 9.380.495 9.828.016 DI Yogyakarta 559.890 570.991 628.321 662.368 653.696 Jawa Timur 8.999.771 9.029.176 10.071.560 10.758.398 10.864.321 Banten 1.659.640 1.727.047 1.710.894 1.740.951 1.916.231 Sumber : Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2010

* : Angka Ramalan

Tabel di atas menunjukkan jumlah produksi padi sawah di Pulau Jawa. DKI Jakarta memiliki angka produksi yang paling kecil, hal ini dikarenakan lahan pertanian di Jakarta yang sempit. Jika dilihat pada tabel dari tahun 2006 hingga 2009 produksi padi sawah Provinsi DKI Jakarta mengalami peningkatan, selisih peningkatannya yaitu 4.816 ton (77,71 %) dan angka ramalan pada tahun 2010 juga menunjukkan peningkatan produksi padi yaitu 6,78 % dari produksi 2009. Produksi terbesar dihasilkan Provinsi Jawa Barat, tabel tersebut menunjukkan bahwa pada setiap tahunnya produksi padi sawah juga mengalami peningkatan, jumlah peningkatan dari tahun 2006 hingga 2009 yaitu 1.821.018 ton (20 %), sedangkan angka ramalan 2010 menunjukkan angka produksi 11.192.812 atau meningkat 2,46 % dari produksi 2009.

Keseluruhan data produksi padi sawah di Pulau Jawa diatas mengalami peningkatan kecuali pada Provinsi Jawa Tengah yang mengalami penurunan produksi pada tahun 2007, Provinsi Banten di tahun 2008 dan angka ramalan

3

2010 pada Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan tahun 2010, keseluruhan produksi padi sawah di Indonesia mengalami peningkatan yaitu mencapai angka 61.171.223 ton pada tahun 2009 atau meningkat sekitar 18,44 % dari tahun 2006, dan angka ramalan 2010 menunjukkan produksi sebesar 62.576.347 ton atau meningkat sekitar 2,3 % dari tahun 2009. Namun, pertumbuhan produksi tersebut tentu saja juga diiringi dengan pertumbuhan penduduk Indonesia yang berdasarkan data Badan Pusat Statistik mencapai angka 237.641.326 jiwa (angka sementara) pada tahun 2010 atau meningkat sekitar 15,21 % dari jumlah penduduk tahun 2000. Dampak dari pertumbuhan penduduk tersebut adalah meningkatnya jumlah peningkatan permintaan pangan pada masyarakat, terutama padi atau beras yang masih menjadi makanan pokok sebagian masyarakat Indonesia.

Berbagai tahapan kegiatan pertanian akan menentukan kualitas output yang akan dihasilkan. Oleh karena itu seharusnya penerapan teknologi dan inovasi diperhatikan agar setiap kegiatan yang dilakukan tidak akan menimbulkan dampak negatif baik pada lingkungan maupun kesehatan manusia. Tahapan yang tidak bisa ditinggalkan dari kegiatan pertanian yaitu proses pemupukan, kegiatan ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan unsur hara pada tanaman. Dewasa ini pertanian organik menjadi wacana yang mulai dikembangkan pada pertanian di Indonesia. Sumber bahan pembuatan pupuk pada pertanian organik yang terbuat dari limbah pertanian atau peternakan menjadikan keunggulan bagi penggunaan pupuk organik dibandingkan pupuk kimia karena dapat mengurangi dampak pencemaran limbah-limbah terhadap lingkungan. Selain itu menurut Sutanto (2002), tanah yang dibenahi dengan pupuk organik mempunyai struktur yang baik

4

dan tanah yang berkecukupan bahan organik mempunyai kemampuan mengikat air yang lebih besar daripada tanah yang kandungan bahan organiknya rendah.

Limbah adalah bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu aktivitas manusia atau proses alam yang tidak atau belum mempunyai nilai ekonomi, tetapi justru memiliki dampak negatif. Dampak negatif yang dimaksud adalah proses pembuangan dan pembersihannya memerlukan biaya serta efeknya dapat mencemari lingkungan. Pengomposan berarti mengubah bahan organik yang kurang atau tidak bermanfaat menjadi lebih berguna. Salah satu keuntungannya adalah kompos yaitu bisa dikomersilkan. Alasan inilah yang menarik perhatian peternak, pengolah limbah, departemen teknis, dan ahli lingkungan dalam memanfaatkan kompos (Djaja, 2008).

Output yang dihasikan dari kegiatan pertanian yang mengarah pada pertanian organik dipercaya memiliki kualitas yang lebih baik dari sisi kesehatan dibandingkan pertanian anorganik. Sedangkan pada tanaman, menurut Djuarnani, dkk, (2005), pupuk organik memiliki beberapa keunggulan dibandingkan pupuk anorganik diantaranya adalah mengandung unsur hara makro dan mikro yang lengkap walaupun jumlahnya sedikit, dapat memperbaiki struktur tanah, beberapa tanaman yang menggunakan kompos lebih tahan terhadap serangan penyakit, menurunkan aktivitas mikroorganisme tanah yang merugikan.

Penerapan kegiatan pertanian organik memerlukan adaptasi, baik terhadap perilaku petani yang telah terbiasa menggunakan pupuk atau bahan kimia lainnya pada kegiatan pertanian, maupun adaptasi pada kondisi lahan pertanian. Petani yang telah terbiasa menerapkan suatu sistem tertentu pada kegiatan pertanian biasanya akan sulit untuk mengubah pola perilakunya mereka, termasuk jika harus

5

mengubah kebiasaannya menggunakan bahan-bahan kimia untuk beralih menggunakan bahan organik secara utuh. Kondisi lahan yang telah terbiasa menggunakan pupuk kimia juga tidak secara langsung bisa beradaptasi menggunakan pupuk organik secara utuh. Menurut Sutanto (2002), pada tahap awal penerapan pertanian organik masih perlu dilengkapi pupuk kimia atau pupuk mineral, terutama pada tanah yang miskin hara. Pupuk kimia masih sangat diperlukan agar supaya takaran pupuk organik tidak terlalu banyak yang nantinya akan menyulitkan pada pengelolaannya. Sejalan dengan proses pembangunan kesuburan tanah menggunakan pupuk organik, secara berangsur kebutuhan pupuk kimia yang berkadar tinggi dapat dikurangi.

Berdasarkan teori diatas maka dapat dilihat nilai positif dari pemanfaatan pupuk organik dan bahan organik lainnya bagi kegiatan pertanian. Namun, harga output yang cenderung lebih tinggi dibandingkan output pertanian anorganik menjadikan output dari pertanian organik ini belum dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat, hingga saat ini hasil pertanian organik hanya masih menarik minat sebagian masyarakat pada lapisan menengah ke atas. Pada beberapa daerah penerapan pertanian organik belum bisa dilakukan secara utuh dengan alasan daya adaptasi lahan yang masih harus disesuaikan jika harus menggunakan bahan organik sepenuhnya dan secara umum mayoritas status petani di beberapa daerah masih sebagai petani penggarap yang diharuskan untuk membagi hasil kepada pemilik lahan sehingga belum mampu mengarahkan pertaniannya pada sistem pertanian organik secara utuh karena takut mengalami kerugian akibat penurunan produksi hasil pertanian. Hal tersebut menjadikan pertanian organik belum dapat diterima secara menyeluruh oleh petani di Indonesia. Pada tahap awal banyak

6

petani yang mulai mencari jalan tengah dari persoalan tersebut yaitu menerapkan sistem pertanian yang mengurangi pemakaian pupuk kimia, kemudian mensubtitusikannya dengan menggunakan pupuk organik dan membebaskan lahan pertanian mereka dari pemakaian pestisida kimia. Harapannya bahwa di masa mendatang pemakaian pupuk kimia dapat dilepaskan seutuhnya dan terjadi peningkatan tingkat kesuburan tanah.

Pendapatan merupakan unsur yang terpenting untuk dipertimbangkan dalam berbagai kegiatan termasuk pertanian. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba menelaah kelayakan dan besarnya nilai perbedaan pendapatan antara petani anorganik dengan petani semi organik atau petani yang telah mengurangi pemakaian pupuk kimia dan mensubtitusikannya menggunakan pupuk organik. Penelitian ini juga akan melihat faktor-faktor yang mendorong petani untuk mengurangi pemakaian pupuk kimia dan menggunakan pupuk organik tersebut.

1.2. Perumusan Masalah

Pertumbuhan permintaan pertanian organik dunia mencapai 15 - 20 % pertahun, namun pangsa pasar yang mampu dipenuhi hanya berkisar 0,5 - 2 % dari keseluruhan produk pertanian. Meskipun di Eropa penambahan luas areal pertanian organik terus meningkat dari rata-rata dibawah 1 % (dari total lahan pertanian) pada tahun 1987 menjadi 2 - 7 % di tahun 1997, namun tetap saja belum mampu memenuhi pesatnya permintaan. Inilah kemudian yang memacu permintaan produk pertanian organik dari negara-negara berkembang (Suyono dan Hermawan, 2006).

Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya hayati tropika yang unik, kelimpahan sinar matahari, air dan tanah, serta budaya masyarakat yang

7

menghormati alam, potensi pertanian organik sangat besar. Pasar produk pertanian organik dunia meningkat 20 % per tahun, oleh karena itu pengembangan budidaya pertanian organik perlu diprioritaskan pada tanaman bernilai ekonomis tinggi untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik dan ekspor.1

Perkembangan pertanian organik sedang mendapat perhatian yang besar dari masyarakat. Banyak masyarakat yang sengaja beralih untuk mengkonsumsi pangan yang diproduksi menggunakan sistem pertanian organik. Perkembangan informasi mengenai pertanian organik juga sedang ditingkatkan diantara para petani di Indonesia, agar pertanian Indonesia bisa menerapkan sistem pertanian yang berkelanjutan dan tetap menghasilkan produksi yang baik pada masa mendatang. Kecamatan Cigombong merupakan daerah di Kabupaten Bogor yang memiliki luas lahan pertanian cukup besar. Hasil komoditasnya berupa padi, palawija, sayur-sayuran dan buah-buahan. Pertanian yang mengarah kepada pertanian berkelanjutan mulai diterapkan pada Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong. Usahatani padi sawah pada desa ini masih ditunjang oleh pemakaian pupuk kimia, namun kadar pemakaiannya dalam proses produksi dikurangi secara bertahap dan memasukkan input pupuk organik pada usahatani tersebut untuk memperbaiki unsur hara dalam tanah, diharapkan kedepannya ketergantungan lahan pada pupuk kimia dapat dihilangkan sepenuhnya. Penggunaan berbagai pestisida yang membahayakan dilarang pada usahatani ini dan digantikan dengan penggunaan pestisida nabati. Komoditas padi di desa ini telah menghasilkan produk dengan merk SAE (Sehat, Aman, Enak). Jumlah komoditas padi sawah

1

8

yang dihasilkan pada Kecamatan Cigombong selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 2. Jumlah Produksi Padi Sawah Kecamatan Cigombong tahun 2008

No Desa Luas Panen (Ha) Hasil per Hektar (Ton/Ha) Produksi (Ton)

1. Tugu Jaya 190 5,20 1.244 2. Cigombong 27 5,10 183 3. Wates Jaya 13 5,00 92 4. Srogol 37 5,00 247 5. Ciburuy 88 4,90 555 6. Cisalada 197 5,10 1.256 7. Pasir Jaya 86 4,50 468 8. Ciburayut 146 4,50 798 9. Ciadeg 324 4,00 1.667 Jumlah 1.108 5,88 6.510

Sumber: BPS Kabupaten Bogor, 2009

Tabel diatas menggambarkan jumlah produksi padi sawah yang dihasilkan Kecamatan Cigombong tahun 2008. Total kesuluruhan produksi dari seluruh desa pada tahun tersebut yaitu 6.510 ton. Produksi terbesar dihasilkan oleh Desa Ciadeg dengan total produksi 1.667 ton dengan luas panen 324 ha dan produksi terendah yaitu 92 ton pada Desa Wates Jaya dengan luas panen 13 ha. Desa Ciburuy dengan luas panen sebesar 88 ha mampu menghasilkan produksi padi sawah sebesar 555 ton, sedangkan Desa Cisalada dengan luas panen sebesar 197 ha menghasilkan produksi padi sawah sebesar 1.256 ton.

Peralihan sistem pertanian yang digunakan petani dari sistem anorganik menjadi semi organik juga mempengaruhi besaran pendapatan yang dihasilkan oleh petani. Berdasarkan hal tersebut, tujuan penelitian ini mengkaji apakah penerapan usahatani semi organik dapat meningkatkan keuntungan yang dilihat dari indikator pendapatan yang dihasilkan para petani. Menurut Sutanto (2002), sistem usahatani yang berkelanjutan dapat diukur berdasarkan keuntungan yang diperoleh dan resiko yang mungkin terjadi dapat ditekan seminimal mungkin.

9

Dalam sistem usahatani, tanah dapat ditingkatkan produktivitasnya melalui penggunaan bahan organik yang berasal dari tumbuhan maupun hewan, konservasi sumberdaya tanah dan air serta dihindarkan dari terjadinya pencemaran. Sistem usahatani harus direncanakan dan disusun sesuai dengan kebutuhan unsur hara dan selanjutnya akan membantu dalam mempertahankan produktivitas tanah.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka perumusan masalah dari penelitian ini adalah:

1) Apakah sistem usahatani padi semi organik atau anorganik petani penggarap yang lebih layak diusahakan petani?

2) Bagaimana tingkat biaya dan pendapatan usahatani padi semi organik dan anorganik petani penggarap?

3) Apa faktor-faktor yang mendorong petani untuk mengurangi pemakaian pupuk kimia?

Dokumen terkait