• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENENTUAN SKALA PRIORITAS PENANGANAN JALAN KABUPATEN DI KABUPATEN BANGLI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENENTUAN SKALA PRIORITAS PENANGANAN JALAN KABUPATEN DI KABUPATEN BANGLI"

Copied!
167
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

PENENTUAN SKALA PRIORITAS

PENANGANAN JALAN KABUPATEN

DI KABUPATEN BANGLI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2011

(2)

TESIS

PENENTUAN SKALA PRIORITAS

PENANGANAN JALAN KABUPATEN

DI KABUPATEN BANGLI

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2011

I DEWA AYU NGURAH ALIT PUTRI NIM : 0791561055

(3)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan Kehadapan Ida Shang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Maha Esa, atas karunia dan rakhmat-Nya maka penulis dapat menyusun Tesis dengan judul “Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan

Kabupaten Di Kabupaten Bangli” Penyusunan Tesis ini bertujuan untuk

memenuhi salah satu persyaratan bagi mahasiswa untuk menyelesaikan studi strata dua Program Megister Teknik Sipil Universitas Udayana. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak I Putu Alit Suthanaya, ST.,MEng,Sc.,Ph.D, selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Ir. Dewa Ketut Sudarsana, MT selaku Dosen Pembimbing II, yang dengan sabar membimbing dan memberikan petunjuk dalam penyusunan Tesis ini. Terimakasih kepada Bapak Kadis Bina Marga DPU Kab.Bangli, Kabid Bina Marga DPU Kab.Bangli dan Bapak Ketua Bappeda Kab.Bangli yang sangat membantu dalam penyelesaian Tesis ini. Terimakasih kepada rekan-rekan kuliah dan karyawan Program Magister Teknik Sipil Universitas Udayana atas dukungan bantuan dan kerjasamanya. Terimakasih yang tak ternilai kepada ayah dan ibu serta saudara yang telah memberikan dukungan dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini. Terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu atas bantuannya dalam penyusunan Tesis ini.

Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih banyak kekurangan-kekurangan dan masih jauh dari sempurna, untuk itu masih perlu mendapatkan masukan, kritik dan saran dari pembaca atas tulisan ini sehingga menjadi sempurna.

(4)

PENENTUAN SKALA PRIORITAS PENANGANAN JALAN KABUPATEN DI KABUPATEN BANGLI

ABSTRAK

Jalan Kabupaten merupakan prasarana transportasi yang penting dalam pertumbuhan pembangunan sosial dan ekonomi. Kabupaten Bangli yang merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Bali, terdiri atas 4 (empat) kecamatan dan memiliki panjang jalan kabupaten 73.823 Km dan terbagi dalam 369 ruas jalan. Dengan keterbatasan dana sulit menentukan prioritas penanganannya, sehingga banyak ditemukan ketimpangan seperti banyaknya jalan yang belum mendapat penanganan dan wilayah Bangli timur hanya sebagian kecil yang mendapat penanganan. Dengan demikian perlu mengkaji metode penetapan prioritas penanganan jalan sesuai kebutuhan masyarakat.

Pada penentuan prioritas dengan berdasarkan SK No. 77 Dirjen Bina Marga, Tahun 1990, dapat diperoleh bahwa urutan prioritas tertinggi adalah jalan dengan nilai LHR dan NPV tertinggi demikian sebaliknya nilai LHR rendah dengan NPV yang rendah akan memperoleh hasil perhitungan skala prioritas dengan urutan rendah. Sedangkan penentuan skala prioritas dengan bantuan metode Analytical Hierarcy Process (AHP) dilakukan dengan mengkombinasikan berbagai faktor yaitu : kondisi jalan, volume lalu lintas, manfaat ekonomi, kebijakan dan aspek tata guna lahan. Berdasarkan penentuan urutan/skala prioritas penanganan jalan dengan metode AHP diperoleh tingkat kepentingan dengan bobot masing-masing kriteria yang dipakai untuk menentukan prioritas penanganan jalan. Adapun bobot masing-masing kriteria diurut berdasarkan urutannya yaitu : kondisi jalan (23,9%), volume lalu lintas (22,9%), ekonomi (22,8%), tata guna lahan (15,3%) dan kebijakan (15,1%). Perolehan urutan prioritas penanganan jalan dengan metode AHP pada penelitian ini berbeda hasilnya dengan menggunakan SK No.77 Dirjen Bina Marga, Tahun 1990. Hal ini disebabkan tidak hanya mengutamakan nilai NPV tetapi adanya kombinasi beberapa faktor kriteria. Beberapa perubahan tersebut terlihat pada ruas jalan yang LHRnya kecil, dengan nilai NPV rendah tetapi dibutuhkan masyarakat memperoleh urutan skala prioritas tinggi.

(5)

Berdasarkan hasil perbandingan dari kedua metode, metode AHP disarankan untuk digunakan karena beberapa aspek dan kriteria dapat dikombinasikan sehingga urutan prioritas dapat menggambarkan kebutuhan masyarakat dengan baik.

Kata kunci : Jalan kabupaten, prioritas penanganan, metode AHP.

DETERMINATION OF REGENCIAL ROAD HANDLING PRIORITY IN BANGLI REGENCY

ABSTRACT

Regencial road is an important transport infrastructure to support social and economic development. Bangli Regency is one of the regencies in Bali Proivince, wich consists of 4 ( four) district and has 73.823 km length of regencial road, divided into 369 road section. It is difficult to determine road handling priority because of limited availability of funding. Unbalance road development was found such as lack of road development in the eastern of Bangli. Therefore, it is required to study suitable method that can be applied to determine road handling priority.

In determining road handling priority based on SK No.77 Dirjen Bina Marga 1990, it was found that road section wich has hight priority is the road with the highest AADT and NPV value and vice versa. In determining road handling priority based on AHP method, several factors were considered such as road condition, traffic volume, economic benefid, policy and land use factor. Determination of road handling priority based on AHP method, it was found the weighting of each criteria i.e road condition (23,9%), traffic volume (22,9%), economic (22,8%), land use (15,3%) and Policy (5,1%). It was found that the road handling priority based on AHP Method, 1990 because was different from Sk No.77 Dirjen Bina Marga. Considering several factors as mentioned above. It was found that although having low AADT and NPV values, several road section had a high priority because required by the communities.

Based on the comparison of the two methods, it is recommended to use AHP method because several aspects and criterias can be combined. Therefore the rank of priority obtained may closely represent community requirement.

(6)

Keyword : regencial road, handling priority, AHP Method.

DAFTAR ISI

Hal

Sampul Dalam ... i

Prasyarat Gelar ... ii

Lembar Persetujuan... ... iii

Lembar Panitia Penguji Tesis ... iv

Ucapan Terima Kasih ... v

Abstrak... vi

Abstract ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR... ix

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN... ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... ... 1

1.2 Rumusan Masalah... 5

1.3 Tujuan Penelitian... ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 7

1.6 Sistematika Penulisan... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 10

2.1 Pengertian Jalan... ... 10

(7)

2.2.1 Klasifikasi Jalan Menurut Fungsinya ... 10

2.2.2 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Muatan Sumbu ... 11

2.2.3 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Administrasi Pemerintahan . 12

2.3 Volume Lalu Lintas... 14

2.4 Penanganan Jalan ... 15

2.4.1 Pekerjaan Berat... 16

2.4.2 Pemeliharaan Jalan ... 17

2.2.3 Pekerjaan Penyangga dan Pekerjaan Darurat Jalan ... . 18

2.5 Sumber Dana Penanganan Jalan ... 19

2.6 Kebijakan Penanganan Jalan ... 19

2.6.1 Metode-Metode Dalam Pengambilan Keputusan ... 21

2.7 Tata Guna Lahan ... 23

2.8 Penentuan Skala Prioritas Berdasarkan SK. No.77, Tahun 1990.... 25

2.9 Penentuan Skala Prioritas dg Metode Analytical Hierarcy Process. 25

2.9.1 Penentuan Prioritas... 31

2.9.2 Proses-proses dalam Metode Analytical Hierarcy Process... 32

2.9.3 Matrik Perbandingan Berpasangan... 33

2.9.4 Perhitungan Bobot Elemen... 34

2.9.5 Perhitungan Konsistensi... 36

2.9.6 Pembobotan Kriteria Total Responden... 39

2.9.7 Model Matematis... 39

2.10 Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel... 40

2.10.1 Teknik Sampling Dalam Pengambilan Sampel... 41

2.11 Kuisioner... 45

2.11.1 Petunjuk Pembuatan Kuisioner... 45

2.11.2 Isi Pertanyaan... 46

2.11.3 Jenis Pertanyaan... 47

2.11.4 Skala Pengukuran Kuisioner... 47

(8)

BAB III METODE PENELITIAN... 50

3.1 Tahapan Penelitian... 50

3.2 Studi Pendahuluan ... 52

3.3 Latar Belakang dan Rumusan Masalah... 53

3.4 Tujuan Penelitian... 54

3.5 Pengumpulan Data... 54

3.5.1 Pengumpulan Data Sekunder... 55

3.5.2 Pengumpulan Data Primer... 58

3.6 Variabel Penelitian... 59

3.7 Analisis Data ... 61

BAB IV DESKRIPSI DATA... 62

4.1 Gambaran Umum dan Letak Geografis... 62

4.2 Prasarana Jalan... 62

4.3 Hasil Penilaian Responden... 63

4.3.1 Jawaban Terhadap Penilaian pada Level 2 (Kriteria)... 65

4.3.2 Jawaban Terhadap Penilaian pada Level 3 (Sub Kriteria)... 66

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN... 74

5.1 Penyusunan Hirarki dan Bobot... 74

5.1.1 Struktur Hirarki Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten... 74

5.1.2 Bobot Penilaian Kriteria... 76

5.1.3 Perhitungan Bobot Sub Kriteria... 82

5.1.3.1 Perhitungan Bobot Sub Kriteria Kondisi Jalan... 82

5.1.3.1 Perhitungan Bobot Sub Kriteria Volume Lalulintas. 86

5.1.3.1 Perhitungan Bobot Sub Kriteria Ekonomi... 89

5.1.3.1 Perhitungan Bobot Sub Kriteria Kebijakan... 91

5.1.3.1 Perhitungan Bobot Sub Kriteria Tata Guna Lahan.... 94

(9)

5.2.1 Data Kondisi Jalan... 99

5.2.2 Data Volume Lalu Lintas... 101

5.2.3 Data Ekonomi... 101

5.2.4 Data Kebijakan... 102

5.2.5 Data Tata Guna Lahan... 103

5.3 Penerapan Bobot Sub Kriteria untuk Penanganan Jalan... 104

5.3.1 Penerapan Bobot Sub Kriteria Kondisi Jalan... 104

53.2 Penerapan Bobot Sub Kriteria Volume Lalu Lintas... 106

5.3.3 Penerapan Bobot Sub Kriteria Ekonomi... 108

5.3.4 Penerapan Bobot Sub Kriteria Kebijakan... 109

5.3.5 Penerapan Bobot Sub Kriteria Tata Guna Lahan... 104

5.3.6 Perhitungan Skal Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten dengan Metode AHP... 112

5.4 Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten Berdasarkan SK. No.77, Dirjen Bina Marga Tahun 1990... 115 5.5 Perbandingan Hasil Skala/Urutan Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten antara Berdasarkan SK. No.77, Tahun 1990 dengan Metode AHP... 116

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN... 119

6.1 Simpulan... 119

6.2 Saran... 124

(10)

LAMPIRAN... 127 LAMPIRAN A PETA WILAYAH STUDI... 127 LAMPIRAN B KUISIONER... 129 LAMPIRAN C DATA SEKUNDER

( Data Penganganan Jalan Kabupaten di Kab. Bangli)... 150 LAMPIRAN D ANALISIS DATA

(Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten di Kabupaten Bangli)... 159

(11)

DAFTAR GAMBAR

Hal

Gambar 2.1 : Abstraksi Susunan Hirarki Keputusan... 32

Gambar 2.2 : Konsistensi Matrik... 37

Gambar 3.1 : Langkah-langkah Penelitian... 52

Gambar 3.2 : Penyusunan Level Hirarki Penanganan Jalan... 61

Gambar 5.1 : Hirarki Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten... 75

Gambar 5.2 : Matrik Nilai Eigen Maximum ”Kriteria”... 80

Gambar 5.3 : Matrik Nilai Eigen Maximum ”Kondisi Jalan”... 84

Gambar 5.4 : Matrik Nilai Eigen Maximum ”Volume Lalu Lintas”... 88

Gambar 5.5 : Matrik Nilai Eigen Maximum ”Ekonomi”... 90

Gambar 5.6 : Matrik Nilai Eigen Maximum ”Kebijakan”... ... 93

Gambar 5.7 : Matrik Nilai Eigen Maximum ”Tata Guna Lahan... 96

Gambar 5.8 : Bobot Hirarki Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten... 98

Gambar A.1 : Peta Wilayah Studi... 127

(12)

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 2.1 : Perbandingan Matrik Perbandingan Berpasangan... 32

Tabel 2.2 : Perbandingan Kriteria Berpasangan... 34

Tabel 2.3 : Matrik Perbandingan Berpasangan Bobot Elemen... 35

Tabel 2.4 : Matrik Perbandingan Berpasangan Intensitas Kepentingan... 35

Tabel 2.5 : Random Indeks... 38

Tabel 4.1 : Jumlah Ruas Jalan dan Panjang Jalan Kabupaten Bangli... 63

Tabel 4.2 : Rekapitulasi Jawaban Responden tentang ”Kriteria”... 65

Tabel 4.3 : Rekap. Jawaban Resp.Sub Kriteria ”Kondisi Jalan”... 67

Tabel 4.4 : Rekap. Jawaban Resp.Sub Kriteria ”Volume Lalu Lintas ... 69

Tbel 4.5 : Rekap. Jawaban Resp.Sub Kriteria ”Ekonomi”... 70

Tabel 4.6 : Rekap. Jawaban Resp.Sub Kriteria ”Kebijakan”... 71

Tabel 4.7 : Rekap. Jawaban Resp.Sub Kriteria ”Tata Guna Lahan”... 72

Tabel 5.1 : Skala Perbandingan Penilaian ”Kriteria”... 77

Tabel 5.2 : Matrik Awal Sub ”Kriteria”... 79

Tabel 5.3 : Nilai Eigen Vektor Skala Prioritas ”Kriteria”... ... 80

Tabel 5.4 : Bobot Kriteria Penanganan Jalan Kabupaten... 81

Tabel 5.5 : Skala Perbandingan Penilaian ”Kondisi Jalan”... 82

Tabel 5.6 : Matrik Awal Sub ”Kondisi Jalan”... 84

Tabel 5.7 : Nilai Eigen Vektor Skala Prioritas ” Kondisi Jalan ”. ... 84

Tabel 5.8 : Bobot Sub Kriteria Kondisi Jalan ... 85

Tabel 5.9 : Skala Perbandingan Penilaian ”Volume Lalu Lintas”... 86

Tabel 5.10 : Matrik Awal Sub ” Volume Lalu Lintas ”... 87

Tabel 5.11 : Nilai Eigen Vektor Skala Prioritas ” Volume Lalu Lintas”... 87

(13)

Tabel 5.13 : Skala Perbandingan Penilaian ”Ekonomi”... 89

Tabel 5.14 : Matrik Awal Sub ” Ekonomi ”... 90

Tabel 5.15 : Nilai Eigen Vektor Skala Prioritas ” Ekonomi”... 90

Tabel 5.16 : Bobot Sub Kriteria Ekonomi ... 91

Tabel 5.17 : Skala Perbandingan Penilaian ”Kebijakan”... 92

Tabel 5.18 : Matrik Awal Sub ”Kebijakan”... 92

Tabel 5.19 : Nilai Eigen Vektor Skala Prioritas ”Kebijakan”... 93

Tabel 5.20 : Bobot Sub Kriteria Kebijakan ... 94

Tabel 5.21 : Skala Perbandingan Penilaian ”Tata Guna Lahan”... 95

Tabel 5.22 : Matrik Awal Sub ”Tata Guna Lahan”... 95

Tabel 5.23 : Nilai Eigen Vektor Skala Prioritas ”Tata Guna Lahan”... 96

Tabel 5.24 : Bobot Sub Kriteria Tata Guna Lahan ... 97

Tabel 5.25 : Penilaian Tingkat Keerusakan Jalan Kabupaten ... 100

Tabel B.1 : Daftar Peserta Responden... 149

Tabel C.1 : Penuntun Manfaat Lalu Lintas Rendah... 150

Tabel C.2 : Penuntun Manfaat Lalu Lintas Tinggi... 151

Tabel C.3 : Data Penanganan Jalan Kabupaten (Kondisi Baik)... 152

Tabel C.4 : Data Penanganan Jalan Kabupaten (Kondisi Sedang)... 154

Tabel C.5 : Data Penanganan Jalan Kabupaten (Kondisi Rusak)... 158

Tabel D.1 : Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten Berdasarkan SK No.77/BM/1990 (Kondisi Baik)... 159

Tabel D.2 : Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten Berdasarkan SK No.77/BM/1990 (Kondisi Sedang)... 161

Tabel D.3 : Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten Berdasarkan SK No.77/BM/1990 (Kondisi Rusak)... 165

Tabel D.4 : Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten dengan Metode AHP (Kondisi Baik)... 166

Tabel D.5 : Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten dengan Metode AHP (Kondisi Sedang)... 168 Tabel D.6 : Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten

(14)

dengan Metode AHP (Kondisi Rusak)... 172

Tabel D.7 : Perbandingan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten antara Metode SK No.77 dengan Metode AHP (Kondisi Baik)... 173 Tabel D.8 : Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten

dengan Metode AHP (Kondisi Sedang)... 175 Tabel D.9 : Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diterbitkannya Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemerintahan Daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah. Pemberian kewenangan yang luas tersebut memerlukan koordinasi dan pengaturan yang lebih mengharmoniskan dan menyelaraskan pembangunan, baik pembangunan nasional, pembangunan daerah maupun pembangunan antar daerah. Hal ini merupakan respon pemerintah terhadap aspirasi yang muncul baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah dengan tujuan agar pelaksanaan otonomi daerah semakin baik. Salah satu penyerahan wewenang tersebut sebagai pendukung Peraturan Pemerintah yang terdahulu yaitu PP No. 14 Tahun 1988 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang Pekerjaan Umum kepada daerah.

Dengan adanya penyerahan sebagian urusan pemerintahan khususnya di bidang Pekerjaan Umum, Pemerintah Kabupaten Bangli telah mengadakan berbagai usaha untuk melaksanakan otonomi daerah sebaik mungkin, salah satunya adalah perbaikan prasarana transportasi jalan, dimana Kabupaten Bangli

(16)

memiliki 369 ruas jalan jalan kabupaten, dengan panjang jalan keseluruhan 731.823 km yang tersebar di 4 (empat) kecamatan.

Dalam perkembangan pembangunan selanjutnya di Kabupaten Bangli perlu dilakukan pemerataan pembangunan di segala bidang, sehingga sangat diperlukan faktor-faktor pendukung seperti tersedianya jalan yang stabil dan selalu mendapat penanganan, karena bila kondisi jalan tidak ditangani secara tepat tidak akan mencapai umur rencana.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bangli Tahun 2006-2010, penanganan jalan saat ini dilakukan terhadap jalan Kabupaten sepanjang 238.799 km. Adapun beberapa program yang dicanangkan yaitu: pemeliharaan, pembangunan dan peningkatan serta rehabilitasi jalan dan jembatan. Untuk melaksanakan RPJMD tersebut, sangat diperlukan penentuan skala prioritas penanganan jalan yang tepat dan perhitungan yang matang, agar tujuan dapat tercapai serta tidak mengurangi kualitas pekerjaan.

Adapun pelaksanaan program prasarana jalan yang telah dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Bangli periode Tahun Anggaran 2008 sampai dengan 2010 secara keseluruhan sepanjang 178.939 km sebanyak 201 ruas. Pelaksanaan kegiatan tersebut sebagian besar terletak di Kecamatan Kintamani dan di Kecamatan Bangli.

(17)

Dengan memperhatikan pelaksanaan penanganan jalan di Kabupaten Bangli, banyak terjadi ketimpangan–ketimpangan, seperti: banyaknya jalan yang belum mendapat penanganan baik pemeliharaan maupun peningkatan, aspirasi masyarakat melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di

tingkat desa dan kecamatan hanya sebagian kecil yang direalisasikan dalam APBD dan penentuan skala prioritas yang telah dilakukan selama ini masih didominasi kebijaksanaan pengambil keputusan dalam menetapkan kebijakan yaitu memprioritaskan penanganan proyek jalan yang belum mendapat penanganan dengan mengesampingkan kriteria teknis, manfaat dan biaya.

Pedoman perencanaan jalan selama ini yang digunakan dalam penentuan skala prioritas penanganan jalan kabupaten berdasarkan SK.No.77, Dirjen Bina Marga, Tahun 1990, yaitu berdasarkan data Lalu Lintas Harian Rata (LHR) dan Nilai Net Present Value (NPV) saja. Hal ini kurang tepat karena hasil prioritas penanganan jalan yang dilaksanakan selama ini menyimpang dari hasil prioritas sebagaimana prioritas penanganan jalan yang didapat dari Surat Keputusan. No.77, Dirjen Bina Marga yang telah ditetapkan. Hal ini disebabkan karena kompleksnya permasalahan di lapangan yang dipengaruhi oleh berbagai aspek seperti: kondisi jalan (yang ditentukan berdasarkan hasil survey Bidang Bina Marga), lalu lintas harian rata-rata (LHR), kebijakan (kewenangan kepala daerah yang dilakukan saat Musrenbang Kabupaten maupun saat pengesahan di provinsi serta Anggaran Biaya Tambahan/ABT), aspirasi masyarakat (pemerataan

(18)

penanganan jalan di tiap-tiap kecamatan), dana anggaran (besaran biaya yang dibutuhkan dalam penanganan jalan) dan aspek tata guna lahan.

Maka dari itu diperlukan sebuah metode yang dapat menampung semua aspek tersebut dan dapat mengantisipasi ketimpangannya. Selanjutnya diharapkan dapat mengurangi permasalahan dan disusun urutan penanganan jalan yang sesuai

kebutuhan, sebagaimana hasil perumusan terhadap penentuan prioritas penanganan jalan kabupaten yang telah dilaksanakan di Kabupaten Badung (Suyasa, 2007) dan di Kabupaten Gianyar (Karya, 2004).

Pada penelitian yang telah dilakukan oleh Suyasa (2007), yang bertujuan untuk menentukan skala prioritas penanganan jalan kabupaten di Kabupaten Badung dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Adapun faktor kriteria yang digunakan ada 4 (empat) faktor kriteria yaitu kondisi jalan, volume lalu lintas, ekonomi dan kebijakan. Adapun hasil yang didapat dari penelitian yang dilakukan dalam penentuan skala prioritas jalan secara hirarki diharapkan akan memberikan hasil yang lebih representatif.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Suyasa(2007) dan Karya (2004) dalam penentuan skala prioritas penanganan jalan kabupaten dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) maka dalam penelitian ini, akan dikaji skala prioritas penanganan jalan kabupaten di Kabupaten Bangli dengan metode AHP. Berbeda dengan dengan penelitian sebelumnya, dalam penentuan skala prioritas penanganan jalan kabupaten selain faktor kondisi jalan, faktor volume lalu lintas, faktor ekonomi dan faktor kebijakan juga disertakan

(19)

fakor tata guna lahan. Hasil analisis penentuan skala prioritas penanganan jalan dari metode AHP akan dibandingkan dengan analisis berdasarkan pedoman perencanaan jalan kabupaten yaitu SK No.77 KPTS/Db/1990 Dirjen Bina Marga. Dari hasil perbandingan kedua metode tersebut diharapkan akan diperoleh suatu kesimpulan metode mana yang lebih representaif yang dapat digunakan dalam penentuan skala prioritas penanganan jalan kabupaten di Kabupaten Bangli di masa yang akan datang.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan kondisi seperti yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimanakah urutan prioritas penanganan jalan di Kabupaten Bangli berdasarkan SK.No.77/KPTS/Db/1990 Dirjen Bina Marga ?

2. Bagaimanakah urutan prioritas penanganan jalan di Kabupaten Bangli berdasarkan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) ?

3. Bagaimanakah perbandingan urutan prioritas penanganan jalan kabupaten di Kabupaten Bangli berdasarkan SK.No.77/KPTS/Db/1990 Dirjen Bina Marga dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) ?

4. Bagaimanakah kelebihan dan kelemahan penentuan skala prioritas penanganan jalan kabupaten berdasarkan SK.No.77/KPTS/Db/1990 Dirjen Bina Marga dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) ?

(20)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk :

1. Menentukan urutan prioritas penanganan jalan kabupaten di Kabupaten Bangli berdasarkan SK.No.77/KPTS/Db/1990 Dirjen Bina Marga.

2. Menentukan urutan prioritas penanganan jalan kabupaten di Kabupaten Bangli dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP).

3. Membandingkan hasil urutan prioritas penanganan jalan kabupaten berdasarkan SK.No.77/KPTS/Db/1990 Dirjen Bina Marga dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP).

4. Mengetahui kelebihan dan kelemahan penentuan skala prioritas penanganan jalan kabupaten berdasarkan SK.No.77/KPTS/Db/1990 Dirjen Bina Marga dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP).

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini dapat dibedakan atas 2 (dua) sudut pandang yaitu sudut pandang pemerintah dan sudut pandang masyarakaat.

1. Dari sudut Pemerintah Kabupaten Bangli sebagai acuan dalam manentukan skala prioritas penanganan jalan kabupaten.

(21)

2. Dari sudut masyarakat dapat memberi gambaran yang jelas tentang penanganan jalan kabupaten di Kabupaten Bangli dan diharapkan dapat mengoptimalkan partisipasi masyarakat.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi dengan tujuan memberi arah yang lebih baik dan jelas. Dalam hal ini batasan permasalahan adalah sebagai berikut :

1. Data jalan kabupaten yang digunakan pada penelitian tesis ini adalah data jalan kabupaten di Kabupaten Bangli tahun anggaran 2008-2010.

2. Penentuan skala prioritas dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dan metode SK.No.77 Dirjen Bina Marga Tahun 1990.

1.6 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini meliputi : 1. Bab I Pendahuluan :

Pada Bab I Pendahuluan, akan diuraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan, manfaat penelitian, ruang lingkup dan sistematika penulisan.

(22)

Pada Bab II atau pada Tinjauan Pustaka, akan diuraikan tentang teori, atau pendekatan teori, proposisi dan konsep yang relevan untuk digunakan dalam menyelesaikan masalah yang telah dirumuskan, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

3. Bab III Metode Penelitian :

Pada Bab III atau pada Metode Penelitian, akan diuraikan tentang rancangan dan diagram alir penelitian, lokasi dan objek penelitian, sumber data, serta responden penelitian.

4. Bab IV Deskripsi data :

Pada Bab IV atau pada Deskripsi Data, akan diuraikan tentang data yang akan diperlukan/dipergunakan, proses pengumpulan data tersebut, serta hasil pengumpulan data dalam bentuk rekapitulasi dan kompilasi data sesuai kebutuhan data dalam gambar dan tabel. Khusus hasil pengumpulan data yang ditampilkan dalam bentuk gambar dan tabel yang tidak dapat ditampilkan pada 1 (satu) halaman yang tersedia maka data tersebut akan ditampilkan pada bagian lampiran.

5. Bab V Analisis Data dan Pembahasan :

Pada Bab V atau pada Analisis Data dan Pembahasan ini, akan diuraikan tentang proses penyelesaian rumusan masalah yang telah dirumuskan untuk mencapai tujuan dengan menggunakan teori, atau

(23)

pendekatan teori, propisisi, konsep yang telah diuraikan pada Bab II (Tinjauan Pustaka) dan Bab III (Metode Penelitian) dengan data masukan sebagaimana yang diuraikan, direkapitulasi dan dikompilasi pada Bab IV (Deskripsi Data). Sebagaimana halnya pada Bab IV, bilamana ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar yang mana hasil analisis penelitian dalam bentuk gambar dan tabel yang tidak dapat ditampilkan pada 1 (satu) halaman yang tersedia maka hasil penelitian tersebut akan ditampilkan pada bagian lampiran.

6. Bab VI Simpulan dan Saran :

Pada Bab VI atau pada Simpulan dan Saran, akan diuraikan intisari dari hasil penelitian yang telah dianalisis dan dibahas. Simpulan dalam penelitian ini merupakan rangkuman jawaban atas rumusan masalah. Sedangkan saran dalam penelitian ini merupakan anjuran tentang prospek dari hasil penelitian dalam penerapannya dimasyarakat sebagai hasil yang bersifat applicable.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Jalan

Menurut Undang–Undang RI No.22 Tahun 2009 yang dimaksud dengan jalan adalah seluruh bagian jalan, termasuk bangunan pelengkapnya yang diperuntukan bagi lalu lintas umum, yang berada dibawah permukaan tanah, diatas pemukaaan tanah, dibawah permukaan air, serta diatas pemukaan air,

(24)

kecuali jalan rel dan jalan kabel. Jalan mempunyai peranan untuk mendorong pembangunan semua satuan wilayah pengembangan, dalam usaha mencapai tingkat perkembangan antar daerah. Jalan merupakan satu kesatuan sistem jaringan jalan yang mengikat dan menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah lainnya.

2.2 Klasifikasi Jalan

Berdasarkan UU RI No.22 Tahun 2009, jalan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

2.2.1 Klasifikasi Jalan Menurut Fungsinya

Pengelompokan jalan menurut fungsinya dapat dibedakan atas : 1. Jalan Arteri

Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi dengan berdaya guna.

2. Jalan Kolektor

Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.

3. Jalan Lokal

Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.

(25)

2.2.2 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Muatan Sumbu

Untuk keperluan pengaturan penggunaan jalan dan pemenuhan kebutuhan angkutan, jalan dibagi dalam beberapa kelas yaitu :

1. Jalan Kelas I

Yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 mm, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 mm, ukuran paling tinggi 4.200 mm dan muatan sumbu terberat sebesar 10 ton.

2. Jalan Kelas II

Yaitu jalan arteri, kolektor, lokal dan lingkungan yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 mm, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 mm, ukuran paling tinggi 4.200 mm dan muatan sumbu terberat sebesar 8 ton.

3. Jalan Kelas III

Yaitu jalan arteri, kolektor, lokal dan lingkungan yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 mm, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 mm, ukuran paling tinggi 3.500 mm dan muatan sumbu terberat sebesar 8 ton.

(26)

Yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2.500 mm, ukuran panjang melebihi 18.000 mm, ukuran paling tinggi 4.200 mm dan muatan sumbu terberat lebih dari 10 ton. Disebutkan pula bahwa volume lalu lintas adalah jumlah kendaraaan yang melewati suatu titik pengamatan dalam satuan waktu (hari, jam, menit). Satuan volume yang umum digunakan dalam perhitungan LHR (Lalu lintas harian rata-rata) adalah smp.

2.2.3 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Administrasi Pemerintahan

Pengelompokan jalan dimaksudkan untuk mewujudkan kepastian jalan berdasarkan wewenang Pembinaan Jalan. Menurut PP No.26 tahun 1985 tentang jalan, pengelompokan berdasarkan wewenang tersebut adalah sebagai berikut :

1. Jalan Nasional

Adalah jalan menghubungkan antar ibukota provinsi, yang memiliki kepentingan strategis terhadap kepentingan nasional di bawah pembinaan menteri atau pejabat yang ditunjuk, diantaranya:

a. Jalan arteri primer, berfungsi melayani angkutan utama yang merupakan tulang punggung transportasi nasional yang menghubungkan pintu gerbang utama (pelabuhan utama dan Bandar udara kelas utama).

b. Jalan kolektor primer yang menghubungkan antar provinsi. c. Jalan yang mempunyai nilai strategis kepentingan nasional. 2. Jalan Provinsi

(27)

Adalah jalan dibawah pembinaan provinsi atau instansi yang ditunjuk, diantaranya adalah jalan kolektor primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kotamadya.

3. Jalan Kabupaten

Adalah jalan dibawah pembinaan kabupaten atau instansi yang ditunjuk diantaranya :

a. Jalan kolektor primer yang tidak termasuk dalam jalan nasional atau provinsi.

b. Jalan lokal primer.

c. Jalan yang memiliki strategis untuk kepentingan kabupaten. 4. Jalan Kotamadya

Adalah jalan dibawah pembinaan kotamadya, diantaranya jalan kota dan sekunder dalam kota.

5. Jalan Desa

Adalah jalan dibawah pembinaan desa yaitu : jalan sekunder yang ada di desa.

6. Jalan Khusus

Adalah jalan dibawah pembinaaan pejabat atau instansi yang ditunjuk yaitu jalan yang dibangun secara khusus oleh instansi atau kelompok.

(28)

2.3 Volume lalu lintas

Menurut Pedoman Pengumpulan data lalu lintas jalan Direktorat Jendral Perhubungan Darat Departemen Perhubungan (1999), Pada moda transportasi darat pergerakan lalu lintas dikelompokkan berdasarkan atas beberapa hal, diantaranya berdasarkan jenis kendaraan yang digunakan akan ada pergerakan dengan kendaraan bermotor dan tanpa kendaraan bermotor. Pergerakan dengan kendaraan bermotor dikelompokkan atas beberapa hal diantarannya berdasarkan kepemilikannya yang dikelompokan menjadi pergerakan dengan kendaraan pribadi dan kendaraan umum. Berdasarkan jenis muatan yang dipindahkan akan ada pergerakan angkutan barang dan pergerakan angkutan orang.

Dalam survey tahunan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bangli dilakukan survey terhadap jumlah volume lalu lintas masing-masing kendaraan diantaranya : truk ringan, truksedang/berat, kendaraan roda empat dan sepeda motor. Adapun salah satu tujuan dalam survey tahunan tersebut adalah untuk mendapatkan volume lalu lintas harian rata-rata (LHR).

2.4 Penanganan Jalan

Menurut SK No. 77 Dirjen Bina Marga, Tahun 1990 (modul 1. Gambaran umum, halaman 6), jaringan jalan dibagi dalam 2 (dua) bagian yaitu :

1. Jalan dengan kondisi yang mantap (stabil ) adalah jalan yang selalu dapat diandalkan untuk dilalui kendaraan roda 4 sepanjang tahun, terutama yang kondisinya sudah baik/sedang yang hanya memerlukan pemeliharaan.

(29)

2. Jalan dengan kondisi tidak mantap adalah jalan yang tidak dapat diandalkan untuk dilalui kendaraan roda 4 sepanjang tahun, terutama kondisinya rusak/rusak berat yang memerlukan pekerjaan berat (rehabilitasi, perbaikan, konstruksi) termasuk jalan tanah yang saat ini tidak dapat dilewati kendaraan roda 4.

Pada prinsipnya, semua kondisi jalan yang mantap setiap tahunnya harus mendapat prioritas untuk ditangani dengan pemeliharaan rutin dan berkala. Untuk itu informasi survei terbaru diperlukan dalam menentukan kebutuhan teknis yang tepat, yang biasanya disebut survei tahunan. Survei tahunan sangat perlu dilakukan untuk memperbaharui informasi inventarisasi jalan sebagai bagian dari prosedur perencanaan pemeliharaan tahunan.

Untuk keperluan perencanaan dan penyusunan program, menurut SK No.77 pembagian pekerjaan bila ditinjau dari nilainya, dapat dibedakan sebagai berikut :

1. Pekerjaan Berat, meliputi: pembangunan baru, peningkatan dan rehabilitasi.

2. Pekerjaan Ringan, meliputi: pemeliharaan, penyangga, dan darurat.

2.4.1 Pekerjaan Berat

Pekerjaan berat dimaksudkan untuk meningkatkan jalan yang sesuai dengan tingkat lalu lintas yang diperkirakan dengan membangun kembali perkerasan. Pekerjaan berat ini dapat berupa pembangunan jalan baru, peningkatan jalan dan rehabilitasi jalan. Peningkatan dan rehabilitasi dengan umur

(30)

rencana paling sedikit 10 tahun, diperkirakan hampir menyerap semua dana yang tersedia setelah dikurangi dengan biaya pemeliharaan.

1. Pembangunan Jalan Baru

Pada umumnya terdiri atas pekerjaan untuk meningkatkan jalan tanah atau jalan setapak agar dapat dilalui kendaraan roda 4, kondisi jalan yang berat ini memerlukan biaya yang besar dan pekerjaan tanah yang besar pula.

2. Peningkatan Jalan

Peningkatan ini dapat dikatakan sebagai usaha untuk meningkatkan standar pelayanan jalan yang ada, baik membuat lapisan permukaan menjadi lebih halus, seperti pengaspalan jalan yang belum diaspal atau dengan menambah Lapis Tipis Aspal (Laston) atau Hot Roller Sheet (HRS) kepada jalan yang menggunakan Lapis Penetrasi (Lapen), atau menambah lapisan struktural yang berarti menambah kekuatan perkerasan atau memperlebar lapisan perkerasan yang ada.

3. Rehabilitasi Jalan

Diperlukan bila pekerjaan pemeliharaan rutin yang secara teratur harus dilaksanakan itu diabaikan atau pemeliharaan berkala (pelapisan ulang) terlalu lama ditunda sehingga keadaan permukaan lapisan semakin memburuk. Yang termasuk katagori ini adalah perbaikan terhadap kerusakan lapisan permukaan seperti lubang–lubang dan kerusakan struktural seperti amblas atau kerusakan tersebut kurang dari (15 – 20)% dari seluruh perkerasan yang berkaitan dengan lapisan aus baru.

(31)

Pembangunan kembali secara total biasanya diperlukan apabila struktural sudah tersebar luas sebagai akibat dari diabaikannya pemeliharaan, atau kekuatan desain yang tidak sesuai, atau karena umur rencana tidak terlampaui.

2.4.2 Pemeliharaan Jalan

Pemeliharaan jalan merupakan kegiatan penanganan jalan yang berkondisi baik/sedang yang harus mendapat prioritas untuk ditangani, agar jalan dapat berfungsi sesuai dengan yang diperhitungkan dan menjaga agar permukaan ruas jalan mendekati kondisi semula. Pemeliharaan yang dilakukan disini dibagi menjadi dua bagian yaitu pemeliharaan rutin jalan dan pemeliharaan berkala jalan.

a. Pemeliharaan Rutin Jalan

Pemeliharaan rutin jalan adalah pekerjaan yang skalanya cukup kecil dan dikerjakan tersebar diseluruh jaringan jalan secara rutin. Dengan melaksanakan pemeliharaan rutin diharapkan tingkat penurunan nilai kondisi struktural perkerasan akan sesuai dengan kurva kecenderungan yang diperkirakan pada tahap desain.

b. Pemeliharaan Berkala Jalan

Pemeliharaan berkala dibedakan dengan pemeliharaan rutin dalam hal ini periode waktu antar kegiatan pemeliharaan yang diberikan.

(32)

Pemeliharaan berkala dilakukan dalam selang waktu beberapa tahun, sedangkan pemeliharaan rutin di lakukan beberapa kali atau terus menerus sepanjang tahun. Pemeliharaan dilakukan secara berkala tersebut adalah pemberian lapisan aus menyeluruh dan lapisan tambahan fungsional.

2.4.3 Pekerjaan Penyangga dan Pekerjaan Darurat Jalan

Pekerjaan penyangga jalan adalah pekerjaan tahunan dengan biaya rendah yang diperlukan untuk perbaikan jalan agar kondisi jalan tidak semakin memburuk atau semakin parah. Hal ini dilakukan bila pekerjaan berat (peningkatan/rehabilitasi) yang harus dilakukan tidak dibenarkan karena tingkat lalu lintas yang melintasi jalan tersebut rendah atau dana yang tersedia untuk melaksanakan pekerjaan berat seperti rahabilitasi atau peningkatan tidak mencukupi. Dana yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan penyangga jalan ini perlu selalu dicadangkan dengan jumlah dana yang cukup. Sedangkan pekerjaan darurat adalah pekerjaan yang sangat diperlukan untuk membuka kembali jalan yang baru saja tertutup untuk lalu lintas kendaraan roda empat karena mendadak terganggu, misalnya akibat tebing longsor. Dana pekerjaan darurat tidak dapat disiapkan sebelumnya, tetapi perlu dicadangkan dalam jumlah yang cukup.

(33)

Sumber dana penanganan jalan, baik itu dana pemeliharaan rutin, pemeliharaan berkala, rehabilitasi maupun peningkatan jalan diperoleh dari beberapa sumber antara lain :

a. Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) seperti : DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus) b. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Provinsi (APBD Prov.)

c. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kabupaten (APBD Kab.) termasuk PAD (Pendapatan Asli daerah)

d. Bantuan Luar Negeri (BLN)

2.6 Kebijakan Penanganan Jalan

Secara umum kebijakan adalah suatu proses akomodasi dari suatu perbedaan agar menjadi bersamaan yang dapat diemplementasikan yang merupakan kewenangan Kepala Daerah.

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan Surat Edaran bersama antara Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan Nomor 18/M.PPN/02/200.050/244/SJ tanggal 14 Pebruarai 2006 tentang Musrenbang, Pemerintah daerah dalam hal ini Pemerintah Daerah Bangli perencanaan pembangunan jalan diwujudkan dalam bentuk usulan pengajuan program penanganan jalan pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah yaitu Musrenbang Kecamatan, Musrenbang Kabupaten, Musrenbang Provinsi, dan Anggaran Biaya Tambahan (ABT).

(34)

Dalam penentuan usulan kegiatan yang lolos Musrenbang Kecamatan didasarkan atas hasil musyawarah di kecamatan dengan diikuti oleh wakil–wakil masyarakat desa yang dikirim ke kecamatan. Hasil dari musyawarah kecamatan dibawa ke kabupaten dan disaring kembali oleh pihak kabupaten melalui wakil-wakil masyarakat di tingkat kabupaten. Sehingga akhirnya dilakukan musyawarah di provinsi terhadap hasil Musrenbang Kabupaten ditingkat provinsi, yang selanjutnya disebut Musrenbang Provinsi.

Pada beberapa kegiatan yang belum 100% selesai dipandang perlu oleh pemerintah untuk dilanjutkan pembangunannya diperlukan biaya tambahan untuk penyelesaian kegiatan tersebut melalui Anggaran Biaya Tambahan (ABT).

2.6.1 Metode-Metode Dalam Pengambilan Keputusan

Ada beberapa metode pengambilan keputusan yang digunakan dan diterima oleh banyak kalangan secara umum yaitu (Mulyono, 2006) :

1. Metode Rasional Komprehensif

Metode Rasional Komprehensif adalah metode pengambilan keputusan dimana pembuatan keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu yang dapat dibedakan dari masalah-masalah lain atau setidaknya dinilai sebagai masalah-masalah yang dapat diperbandingkan satu sama lain (dapat diurutkan menurut prioritas masalah). Adapun kriteria-kriteria pengambilan keputusaan dengan metode ini adalah sebagai berikut:

(35)

a. Tujuan–tujuan, nilai-nilai dan sasaran yang menjadi pedoman pembuat keputusan sangat jelas dan dapat diuraikan prioritas-prioritasnya.

b. Bermacam-macam alternatif untuk memecahkan masalah diteliti secara seksama.

c. Asas biaya manfaat atau sebab akibat digunakan untuk menentukan prioritas.

d. Setiap alternatif dan implikasi yang menyertainya dipakai untuk membandingkan dengan alternatif lain.

e. Pembuat keputusan akan memilih alternatif terbaik untuk mencapai tujuan, nilai dan sasaran yang ditetapkan.

Metode pengambilan keputusan ini menuntut hal-hal yang tidak rasional dalam diri pengambilan keputusan. Asumsinya adalah seorang pengambilan keputusan memiliki cukup informasi mengenai berbagai alternatif sehingga mampu meramalkan secara tepat akibat-akibat dari pilihan alternatif yang ada. Pengambil keputusan sering memiliki komplik kepentingan antara nilai-nilai sendiri dengan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat. Karena metode ini mengasumsikan bahwa fakta-fakta dan nilai-nilai yang ada dapat dibedakan dengan cara mudah akan tetapi kenyataannya sulit membedakan antara fakta dilapangan dengan nilai-nilai yang ada. Ada beberapa masalah diberbagai negara berkembang seperti di Indonesia untuk menerapkan metode rasional komprehensif ini karena beberapa alasan yaitu informasi dan data yang tidak lengkap sehingga tidak bisa dipakai

(36)

sebagai dasar pengambilan keputusan. Kalau dipaksakan maka akan terjadi sebuah keputusan yang kurang akurat.

1. Metode Inkremental

Adalah metode pengambilan keputusan dengan cara menghindari banyak masalah yang harus dipertimbangkan dan merupakan model yang sering ditempuh oleh pejabat-pejabat pemerintah dalam pengambilan keputusan. Dasar pengambilan Keputusan dengan metode ini adalah pemilihan tujuan atau sasaran dan analisis tindakan emperis yang diperlukan untuk mencapainya merupakan hal yang saling terkait.

Kelemahan penerapan metode Inkremental adalah :

a. Keputusan-keputusan yang diambil akan lebih mewakili atau mencerminkan kepentingan dari kelompok yang kuat/mapan, sehingga kepentingan kelompok lemah terabaikan.

b. Keputusan yang diambil lebih ditekankan pada keputusan jangka pendek dan tidak memperhatikan berbagai macam alternatif lain.

2.7 Tata Guna Lahan

Tata Guna Lahan (land use) adalah suatu upaya dalam merencanakan pembagian wilayah dan merupakan kerangka kerja yang meliputi lokasi, kapasitas dan jadwal pembuatan jalan, jaringan air bersih dan pusat-pusat pelayanan serta fasilitas umum lainnya. Pembagian wilayah dibagi berdasarkan fungsi-fungsi kawasan diantaranya kawasan permukiman, industri , pariwisata dan lainnya.

(37)

Adapun maksud dari perencanaan tata guna lahan kawasan adalah sebagai pedoman untuk :

1. Penyusunan rencana rinci tata ruang kota

2. Perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan dan pengendalian ruang diwilayah kota.

3. Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan kesinambungan perkembangan antar kawasan wilayah kota serta keserasian antar sektor.

4. Penetapan lokasi investasi yang dilaksanakan pemerintah dan masyarakat.

5. Pelaksanaan pembangunan dalam memanfaatkan ruang bagi kegiatan pembangunan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Dalam pengelolaan lahan yang berkelanjutan sangat perlu dipahami dalam melihat permasalahan pengelolaan sumber daya lahan di indonesia. Pada dasarnya penggunaan lahan dibedakan atas dua kelompok yaitu untuk kawasan terbangun dan kawasan tidak terbangun. Untuk kawasan terbangun digunakan untuk perumahan dan fasilitas umum ( http://tata-guna-lahan/html, 2008).

Menurut Peraturan Bupati Bangli No.6 tahun 2006, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bangli, tata guna lahan atau peruntukan wilayah Daerah Bangli dibedakan atas 4 (empat) peruntukan yaitu :

1. Bidang Pertanian, mencakup kawasan pertanian dalam arti luas yaitu pertanian tanaman pangan lahan basah dan lahan kering.

(38)

2. Bidang Pendidikan, mencakup kawasan pendidikan untuk pembangunan sekolah-sekolah.

3. Bidang Sosial – Budaya, mencakup tempat tinggal, tempat suci dan obyek wisata.

4. Perdagangan – Jasa, mencakup pasar dan pusat perbelanjaan serta usaha jasa.

2.8 Penentuan Skala Prioritas Jalan berdasarkan SK.No.77 Dirjen Bina Marga, Tahun 1990

Metode SK No 77/KPTS/Db /1990 dari Dijen Bina Marga adalah merupakan pedoman perencanaan jalan kabupaten yang diterbitkan oleh Dirjen Bina Marga sebagai acuan dalam menentukan urutan prioritas penanganan jalan kabupaten (Dirjen Bina Marga, 1990). Pada persiapan program tahunan dijelaskan beberapa kriteria peringkat prioritas penanganan jalan (SK No.77, Th.1990 pada modul 6 : tugas 5, hal. 5E-1 sampai 5E-2 ) yaitu :

1. Kriteria pokok yang dipakai untuk pemilihan prioritas adalah NPV/Km, dengan memberikan prioritas pertama pada proyek yang NPV/Km-nya tertinggi.

(39)

2. Kode evaluasi proyek juga diberikan pada proyek-proyek dengan tanda kisaran NPV/Km untuk petunjuk pemilihannya, dengan petunjuk pemilihan adalah sebagai berikut :

a. Berikan prioritas pada kelompok proyek-proyek yang mempunyai kelayakan tertinggi.

b. Berikan prioritas terendah kepada kelompok proyek-proyek berkelayakan rendah.

c. Berikan prioritas kepada proyek-proyek luncuran, terutama penyelesaian proyek yang pelaksanaannya dipisah (split) atau proyek yang pelaksanaannya secara bertahap. Penyelesaian proyek-proyek sampai pada panjang yang telah direncanakan semula atau sesuai rencana desain awal, akan sangat penting untuk memberikan manfaat secara penuh atas investasinya.

d. Hindari proyek yang sangat panjang (umumnya proyek yang panjangnya lebih dari 15 km) harus sudah dihindari pada tahap penentuan proyek.

e. Berikan prioritas pada ruas-ruas jaringan jalan strategis yang telah ditentukan

f. Berikan prioritas pada proyek-proyek yang memenuhi sasaran pembangunan kabupaten dan provinsi (namun proyek-proyek tersebut harus tetap distudi dan hasilnya layak berdasarkan prosedur standar).

(40)

Analytical Hierarchy Process (AHP) atau Proses Hirarki Analitik dalam buku “ Proses Hirarki Analitik Dalam Pengambilan Keputusan Dalam Situasi yang Kompleks”(Saaty, 1986), adalah suatu metode yang sederhana dan fleksibel yang menampung kreativitas dalam ancangannya terhadap suatu masalah. Metode ini merumuskan masalah dalam bentuk hierarki dan masukan pertimbangan– pertimbangan untuk menghasilkan skala prioritas relatif.

Dalam penyelesaian persoalan dengan metode AHP dalam buku Saaty (1986) tersebut, dijelaskan pula beberapa prinsip dasar Proses Hirarki Analitik yaitu :

1. Dekomposisi. Setelah mendifinisikan permasalahan, maka perlu dilakukan dekomposisi yaitu memecah persoalan utuh menjadi unsur-unsurnya sampai yang sekecil kecilnya.

2. Comparative Judgment. Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkatan diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen.

3. Synthesis of Priority. Dari setiap matriks pairwise comparison vector eigen-nya mendapat prioritas lokal, karena pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk melakukan global harus dilakukan sintesis diantara prioritas lokal. Prosedur melakukan sintesis berbeda menurut bantuk hirarki.

3. Logical Consistency. Konsistensi memiliki dua makna yang pertama bahwa obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai keragaman

(41)

dan relevansinya. Kedua adalah tingkat hubungan antar obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu.

Beberapa keuntungan menggunakan AHP sebagai alat analisis adalah :

1. Dapat memberi model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk beragam persoalan yang tak berstruktur.

2. Dapat memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persolan kompleks.

3. Dapat menangani saling ketergantungan elemen–elemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.

4. Mencerminkan kecendrungan alami pikiran untuk memilah–milah eleman-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat belaian dan mengelompokan unsur-unsur yang serupa dalam setiap tingkat.

5. Memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk mendapatkan prioritas.

6. Melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.

7. Menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebijakan setiap alternatif.

8. Mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka.

9. Tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil representatif dari penilaian yang berbeda-beda.

(42)

10.Memungkinkan orang memperluas definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan serta pengertian mereka melalui pengulangan.

AHP dapat digunakan dalam memecahkan berbagai masalah diantaranya untuk mengalokasikan sumber daya, analisis keputusan manfaat atau biaya, menentukan peringkat beberapa alternatif, melaksanakan perencanaan ke masa depan yang diproyeksikan dan menetapkan prioritas pengembangan suatu unit usaha dan permasalahan kompleks lainnya (http://www.itelkom.ac.id/ahp/library/1998).

Hirarki adalah alat yang paling mudah untuk memahami masalah yang kompleks dimana masalah tersebut diuraikan ke dalam elemen-elemen yang bersangkutan, menyusun elemen-elemen tersebut secara hirarki dan akhirnya melakukan penilaian atas elemen tersebut sekaligus menentukan keputusan mana yang diambil. Proses penyusunan elemen secara hirarki meliputi pengelompokan elemen komponen yang sifatnya homogen dan menyusunan komponen tersebut dalam level hirarki yang tepat. Hirarki juga merupakan abstraksi struktur suatu sistem yang mempelajari fungsi interaksi antara komponen dan dampaknya pada sistem. Abstraksi ini mempunyai bentuk yang saling terkait tersusun dalam suatu sasaran utama (ultimate goal) turun ke sub-sub tujuan, ke pelaku (aktor) yang memberi dorongan dan turun ke tujuan pelaku, kemudian kebijakan-kebijakan, strategi-strategi tersebut. Adapun abstraksi susunan hirarki keputusan seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.1. berikut ini :

Level 1 : Fokus/sasaran/goal Level 2 : Faktor/kriteria

(43)

Level 3 : Alternatif/subkriteria

Gambar 2.1 Abstraksi Susunan Hirarki Keputusan

Sumber : Saaty (1986)

Sedangkan kelemahan metode AHP adalah : ketergantungan model AHP pada input utamanya. Input utama ini berupa persepsi seorang ahli sehingga dalam hal ini melibatkan subyektifitas sang ahli selain itu juga model menjadi tidak berarti jika ahli tersebut memberikan penilaian yang keliru.

Beberapa contoh aplikasi AHP adalah sebagai berikut: 1. Membuat suatu set alternatif.

2. Perencanaan, merancang system. 3. Menentukan prioritas.

4. Memilih kebijakan terbaik setelah menemukan satu set alternatif. 5. Alokasi sumber daya dan memastikan stabilitas sistem.

6. Menentukan kebutuhan/persyaratan. Goal

Kriteria 1 Kriteria 2 Kriteria 3 Kriteria 4

(44)

2.9.1 Penentuan Prioritas dalam Metode AHP

Dalam pengambilan keputusan hal yang perlu diperhatikan adalah pada saat pengambilan data, dimana data ini diharapkan dapat mendekati nilai sesungguhnya. Derajat kepentingan pelanggan dapat dilakukan dengan pendekatan perbandingan berpasangan. Perbandingan berpasangan sering digunakan untuk menentukan kepentingan relatif dari elemen dan kriteria yang ada. Perbandingan berpasangan tersebut diulang untuk semua elemen dalam tiap tingkat. Elemen dengan bobot paling tinggi adalah pilihan keputusan yang layak dipertimbangkan untuk diambil. Untuk setiap kriteria dan alternatif kita harus melakukan perbandingan berpasangan (Pairwise comparison) yaitu membandingkan setiap elemen yang lainnya pada setiap tingkat hirarki secara berpasangan sehingga nilai tingkat kepentingan elemen dalam bentuk pendapat kualitatif.

Untuk mengkuantitifkan pendapat kualitatif tersebut digunakan skala penilaian sehingga akan diperoleh nilai pendapat dalam bentuk angka (kualitatif). Menurut Saaty (1986) untuk berbagai permasalahan skala 1 sampai dengan 9 merupakan skala terbaik dalam mengkualitatifkan pendapat, dengan akurasinya berdasarkan nilai RMS (Root Mean Square Deviation) dan MAD (Median Absolute Deviation). Nilai dan difinisi pendapat kualitatif dalam skala perbandingan Saaty seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.1.

(45)

Tabel 2.1 Skala Matrik Perbandingan Berpasangan

Intensitas Definisi Penjelasan

Kepentingan

1 Elemen yang sama pentingnya dibanding dg elemen yang lain (Equal importance)

Kedua elemen menyumbang sama besar pd sifat tersebut. 3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dari

pada elemen yg lain (Moderate more importance)

Pengalaman menyatakan sedikit berpihak pd satu elemen

5 Elemen yang satu jelas lebih penting dari pada elemen lain (Essential, Strong more importance)

Pengalaman menunjukan secara kuat memihak pada satu elemen

7 Elemen yang satu sangat jelas lebih penting dari pada elemen yg lain (Demonstrated importance)

Pengalaman menunjukan secara kuat disukai dan dominannya terlihat dlm praktek

9

Elemen yang satu mutlak lebih penting dari elemen yg lain ( Absolutely more

importance)

Pengalaman menunjukan satu elemen sangat jelas lebih penting

2,4,6,8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai ruang berdekatan (grey area)

Nilai ini diberikan bila diperlukan kompromi

Sumber : Saaty (1986)

2.9.2 Proses-proses dalam Metode Analytical Hierarchy Process (AHP)

Adapun Proses-proses yang terjadi pada metode AHP adalah sebagai berikut (Saaty, 1986) :

1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan.

2. Membuat struktur hirarki yang diawali tujuan umum dilanjutkan dengan kriteria dan kemungkinan alternatif pada tingkatan kriteria paling bawah.

(46)

3. Membuat matrik perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap kriteria yang setingkat di atasnya.

4. Melakukan perbandingan berpasangan sehingga diperoleh judgment (keputusan) sebanyak n x ((n-1)/2)bh, dengan n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan.

5. Menghitung nilai eigen dan menguji konsistensinya jika tidak konsisten maka pengambilan data diulangi lagi.

6. Mengulangi langkah 3,4 dan 5 untuk setiap tingkatan hirarki.

7. Menghitung vector eigen dari setiap matrik perbandingan berpasangan. 8. Memeriksa konsistensi hirarki. Jika nilainya lebih dari 10 persen maka

penilaian data judgment harus diperbaiki.

2.9.3 Matrik Perbandingan Berpasangan

Skala perbandingan berpasangan didasarkan pada nilai–nilai fundamental AHP dengan pembobotan dari nilai 1 untuk sama penting sampai 9 untuk sangat penting sekali sesuai dengan Tabel 2.1 (Skala Matrik Perbandingan Berpasangan). Dari susunan matrik perbandingan berpasangan dihasilkan sejumlah prioritas yang merupakan pengaruh relatif sejumlah elemen pada elemen di dalam tingkat yang ada diatasnya. Perhitungan eigen vector dengan mengalikan elemen-elemen pada setiap baris dan mengalikan dengan akar n, dimana n adalah elemen. Kemudian melakukan normalisasi untuk menyatukan jumlah kolom yang diperoleh. Dengan membagi setiap nilai dengan total nilai pembuat keputusan

(47)

bisa menentukan tidak hanya urutan ranking prioritas setiap tahap perhitungannya tetapi juga besaran prioritasnya. Kriteria tersebut dibandingkan berdasarkan opini setiap pembuat keputusan dan kemudian diperhitungkan prioritasnya. Perbandingan Kriteria berpasangan seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Perbandingan Kriteria Berpasangan

PK Kriteria A Kriteria B Kriteria C Kriteria D Kriteria E Prioritas Kriteria A 1,00 Kriteria B 1,00 Kriteria C 1,00 Kriteria D 1,00 Kriteria E 1,00 Sumber : Saaty (1986)

2.9.4 Perhitungan Bobot Elemen

Perhitungan bobot elemen dilakukan dengan menggunakan suatu matriks. Bila dalam suatu sub sistem operasi terdapat ‘n” elemen operasi yaitu elemen-elemen operasi A1, A2, A3, ...An maka hasil perbandingan secara berpasangan elemen-elemen tersebut akan membentuk suatu matrik pembanding.

Perbandingan berpasangan dimulai dari tingkat hirarki paling tinggi, dimana suatu kriteria digunakan sebagai dasar pembuatan perbandingan. Bentuk matrik perbandingan berpasangan bobot elemen seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.3.

(48)

Tabel 2.3 Matrik Perbandingan Berpasangan Bobot Elemen

Sumber : Saaty (1986)

Bila elemen A dengan parameter i, dibandingkan dengan elemen operasi A dengan parameter j, maka bobot perbandingan elemen operasi Ai berbanding Aj dilambangkan dengan Aij maka :

a(ij) = Ai / Aj, dimana : i,j = 1,2,3,...n ... Pers. (2.1)

Bila vektor-vektor pembobotan operasi A1,A2,... An maka hasil perbandingan berpasangan dinyatakan dengan vektor W, dengan W = (W1, W2, W3....Wn) maka nilai Intensitas kepentingan elemen operasi Ai terhadap Aj yang dinyatakan sama dengan aij.

Dari penjelasan tersebut diatas maka matrik perbandingan berpasangan (pairwise

comparison matrik), dapat digambarkan menjadi matrik perbandingan preferensi seperti diperlihatkan pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Matrik Perbandingan Berpasangan Intensitas Kepentingan

W1 W2 …….. Wn W1 W1/W1 W1/W2 …….. W1/Wn W2 W2/W1 W2/W2 …….. W2/Wn …… …… …… …….. …….. …… …… …… …….. …….. Wn Wn/W1 Wn/W2 …….. Wn/Wn Sumber : Saaty (1986) A1 A2 …….. An A1 A11 Ann …….. A1n A2 A21 A22 …….. A2n …… …… …… …….. …….. An An1 An2 …….. Ann

(49)

Nilai Wi/Wj dengan i,j = 1,2,…,n dijajagi dengan melibatkan Responden yang memiliki kompetensi dalam permasalahan yang dianalisis. Matrik perbandingan preferensi tersebut diolah dengan melakukan perhitungan pada tiap baris tersebut dengan menggunakan rumus :

Wi = n√(ai1 x ai2 x ai3,….x ain) ……….....…Pers. (2.2)

Matrik yang diperoleh tersebut merupakan eigen vector yang juga merupakan

bobot kriteria. Bobot kriteria atau Eigen Vektor adalah ( Xi), dimana :

Xi = (Wi / Σ Wi) ...Pers. (2.3)

Dengan nilai eigan vector terbesar (λmaks) dimana :

λmaks = Σ aij.Xj ………...Pers. (2.4)

2.9.5 Perhitungan Konsistensi Dalam Metode AHP

Matrik bobot yang diperoleh dari hasil perbandingan secara berpasangan tersebut harus mempunyai hubungan kardinal dan ordinal sebagai berikut:

1. Hubungan Kardinal : aij – ajk = aik

2. Hubungan ordinal : Ai > Aj, Aj > Ak maka Ai > Ak Hubungan diatas dapat dilihat dari dua hal sebagai berikat :

a. Dengan melihat preferensi multiplikatif misalnya keselamatan lalu lintas lebih penting 4 kali dari kerusakan jalan, dan kerusakan jalan lebih penting 2 kali dari kemacetan maka keselamatan lalu lintas lebih penting 8 kali dari kemacetan.

(50)

b. Dengan melihat preferensi trasitif, misalnya keselamatan lalu lintas lebih penting dari kerusakan jalan dan kerusakan jalan lebih penting dari kemacetan, maka keselamatan lalu lintas lebih penting dari kemacetan. Pada keadaan sebenarnya akan terjadi beberapa penyimpangan dari hubungan tersebut, sehingga matrik tersebut tidak konsisten sempurna. Hal ini dapat terjadi karena tidak konsisten dalam preferensi seseorang, contoh konsistensi matrik sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 2.2

i

j

k

i

1

4

2

A =

j

1/4

1

1/2

k

1/2

2

1

Gambar 2.2 Konsistensi Matrik Sumber : Saaty (1986, hal.86)

Matrik A tersebut konsisten karena : aij x ajk = aik ---- = 4 x ½ = 2 aik x akj = aij ---- = 2 x 2 = 4 ajk x aki = aji ---- = ½ x ½ = ¼

Permasalahan di dalam metode Analytical Hierarchy Process (AHP) pengukuran pendapat terhadap responden, karena konsistensi tidak dapat dipaksakan. Pengumpulan pendapat antara satu kriteria dengan kriteria yang lain adalah bebas satu sama lain, dan hal ini dapat mengarah pada tidak konsistennya jawaban yang diberikan.

(51)

Pengulangan wawancara pada sejumlah responden dalam waktu yang sama kadang diperlukan apabila derajat tidak konsestennya atau penyimpangan terhadap konsistensi dinilai besar.

Penyimpangan terhadap konsistensi dinyatakan dengan indeks konsistensi didapat rumus :

λ maks. – n

CI = ...Pers. (2.5) n -1

Dimana, λmaks = Nilai Eigen Vektor Maksimum,

n = Ukuran Matrik.

Matrik random dengan skala penilaian 1 sampai dengan 9 beserta kebalikannya sebagai Indeks Random (RI). Dengan Indeks Random (RI) setiap ordo matriks seperti diperlihatkan pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5 Random Indek

Ordo

Matrik 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

RI 0 0 0,58 0,9 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49

Sumber : Saaty (1986)

Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan 500 sampel, jika keputusan numerik diambil secara acak dari skala 1/9, 1/8, ..,1, 2, …,9 akan memperoleh rata-rata konsistensi untuk matriks dengan ukuran berbeda. Perbandingan antara CI dan RI untuk suatu matriks didefinisikan sebagai Ratio Konsistensi (CR).

(52)

Untuk model AHP matrik perbandingan dapat diterima jika nilai ratio konsisten tidak lebih dari 10% atau sama dengan 0,1

CI

CR = ≤ 0,1 (OK) ... Pers. (2.6) RI

2.9.6 Pembobotan Kriteria Total Responden

Pembobotan kriteria dari masing-masing responden telah diperoleh perhitungan dan dilanjutkan dengan menjumlahkan tiap kriteria pada masing-masing responden. Nilai ini kemudian dirata-ratakan dengan cara membaginya dengan jumlah responden, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6 Rekapitulasi Bobot Seluruh Responden

Kriteria Resp.1 Resp.2 Resp.3 Resp.n

A B C D E Sumber : Saaty (1986) 2.9.7 Model Matematis

Model matematis adalah suatu system persamaam matematik yang digunakan untuk meyelesaikan suatu permasalahan, sehingga penyelesaiannya lebih sederhana.

(53)

Dari pembobotan kriteria total responden diatas setelah dihitung rata-ratanya selanjutnya dihitung prioritasnya dengan sistem persamaan matematis menurut Brodjonegoro (1991) adalah :

Y= A (a1 x bobot a1 + …….+ a6 x bobot a6 + ……+D(d1 x bobot d1 + … + d5 x bobot d5) ...……….….. Pers. (2.7)

Dimana :

Y = Skala prioritas

A s/d D = Bobot Alternatif level 2 (berdasar analisa responden)

a1, a2, , ….d4, d5 = Bobot Alternatif level 3 (berdasar analisa responden) bobot a1, bobot a2, …., bobot d5 = Bobot Alternatif level 3 (berdasarkan analisis data)

2.10 Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel

Pengertian populasi secara sederhana dapat dikatakan bahwa populasi adalah semua obyek penelitian. Nilai populasi adalah semua nilai baik hasil perhitungan maupun pengukuran, baik kuantitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifatnya (Hasan, 2003).

Ditinjau dari banyaknya anggota populasi, menurut Usman (1996) maka populasi dapat dibagi menjadi: populasi terbatas (terhingga) dan populasi tak terbatas (tak terhingga). Namun dalam kenyataannya populasi terhingga selalu

(54)

menjadi populasi yang tak hingga. Ditinjau dari sudut sifatnya, maka populasi dapat bersifat homogen dan populasi heterogen.

2.10.1 Teknik Sampling Dalam Penelitian

Menurut Sugiyono (2009), Teknik Pengambilan Sampel adalah suatu teknik untuk mendapatkan sampel pada suatu penelitian agar sampel tersebut representatif terhadap populasi yang mewakilinya. Teknik sampling dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu :

1. Probability Sampling, yaitu teknik pengambilan sampel yang mana memberikan peluang yang sama untuk setiap unsur/anggota populasi (untuk penelitian kuantitafif) yang dijadikan sebagai sampel. Teknik ini terdiri dari : a. Sampling Random Sampling :

Sampel yang diambil pada teknik ini dilakukan secara acak dan tanpa ada strata/tingkatan karena anggota/unsur dalam populasi pada teknik ini dianggap homogen.

b. Proportionate Stratified Random Sampling :

Sampel yang diambil pada teknik ini dilakukan secara acak secara proporsional pada strata/tingkatan tertentu. Pada teknik ini populasi memiliki strata/tingkatan tertentu dan bersifat homogen pada suatu strata/tingkatan memiliki peluang yang sama pada tingkat yang sama. c. Disproportionate Stratified Random Sampling :

Sampel yang diambil pada teknik ini dilakukan secara acak secara proporsional pada strata/tingkatan dengan unsur/anggota dengan jumlah

(55)

yang banyak dan diambil secara keseluruhan pada strata/tingkatan dengan unsur – unsur yang sangat kecil, sehingga pada setiap tingkatan tidak bersifat proporsional.

d. Area/Cluster Sampling :

Merupakan suatu teknik pengambilan sampel berdasarkan pembagian suatu wilayah, karena lokasi penelitian terletak pada wilayah yang cukup luas dengan karakteristik wilayah yang satu tidak sama dengan karakteristik wilayah yang lain.

2. Non Probability Sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang mana memberikan peluang yang tidak sama untuk setiap unsur/anggota populasi (untuk penelitian kuantitafif) untuk menjadi sampel. Teknik pengambilan sampel ini terdiri dari :

a. Sistematis Sampling :

Merupakan teknik pengambilan sampel berdasarkan nomor urut tertentu dari anggota populasi yang telah diberi nomor urut tertentu.

b. Sampling Kuota :

Merupakan teknik pengambilan sampel pada suatu populasi yang telah memenuhi jumlah unsur/anggota tertentu.

Gambar

Gambar 2.1 Abstraksi  Susunan Hirarki Keputusan
Tabel 2.2  Perbandingan Kriteria Berpasangan
Tabel  2.4  Matrik Perbandingan Berpasangan Intensitas Kepentingan
Tabel 2.5  Random Indek  Ordo
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk menetapkan skala prioritas alternatif proyek pembangunan jalan di propinsi Kabupaten Banggai Kepulauan, dengan menentukan faktor-faktor

Mengingat bahwa hingga saat ini belum terlihat penelitian mengenai Penentuan Skala Proiritas Pemeliharaan Berkala Jalan di Kabupaten Malang, oleh karena itu penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menetapkan skala prioritas alternatif proyek pembangunan jalan di propinsi Kabupaten Banggai Kepulauan, dengan menentukan faktor-faktor

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis penentuan prioritas dalam penanganan ruas jalan nasional Panton Labu/Simpang – Langsa – batas SUMUT dengan menggunakan

“Studi Pene ntuan Prioritas Penanganan Ruas Jalan Dengan Metode Analytical Hierarchy Process (Studi Kasus Pada Jalan Provinsi Di Provinsi Sumatera Utara)”.. Tesis

Mengingat bahwa hingga saat ini belum terlihat penelitian mengenai Penentuan Skala Proiritas Pemeliharaan Berkala Jalan di Kabupaten Malang, oleh karena itu penelitian

Berdasarkan hasil skala prioritas menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk penanganan 16 (enam belas) ruas jalan di Propinsi Kalimantan Timur

Penentuan prioritas penanganan jalan menggunakan metode AHP dengan kriteria aksesibilitas, mobilitas, arus lalu lintas jalan, kondisi ruas jalan, pengembangan