• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

19

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1.

Kondisi Daerah Penelitian

Daerah aliran sungai (DAS) Saba secara geografik terletak pada 8O10’30” – 8O20’30” LS dan

114O55’30” – 115O4’30” BT dan termasuk pada zona 50S UTM. DAS Saba termasuk dalam Wilayah

Sungai (WS) Bali-Penida dan termasuk dalam Sub Satuan Wilayah Sungai (SWS) 03.01.09 dengan DAS Banyuaras dan DAS Gemgem. DAS Saba memiliki luas sebesar ±14,393.20 ha dan merupakan DAS yang mendominasi pada Sub SWS 03.01.09. Secara administratif, DAS Saba berada di Kabupaten Buleleng. DAS Saba termasuk ke dalam beberapa desa, yaitu Desa Umeanyar, Desa Seririt, Desa Patemon, Desa Ringdikit, Desa Ularan, Desa Rangdu, Desa Bestala, Desa Busungbiu, Desa Titab, Desa Gunungsari, Desa Pelalpuan, Desa Kekeran, Desa Kedis, Desa Banyatis, Desa Subuk, Desa Puncaksari, Desa Gobleg, Desa Tinggarsari, Desa Munduk, Desa Kayuputih, Desa Bengkel, Desa Gesing, Desa Umejero, Desa Pujungan, Desa Sengganan, Desa Pancasari, Desa Mayong, dan Desa Bantiran. Lokasi DAS Saba dapat dilihat pada pada Gambar 10.

Gambar 10. Posisi DAS Saba (sumber: peta Bakosurtanal tahun 2000)

Pada penelitian ini, outlet yang digunakan adalah outlet yang berada di Desa Kalopaksa. Desa Kalopaksa merupakan daerah yang berbatasan dengan Laut Bali sebagai hilir dari DAS Saba.

Data debit observasi diperoleh dari hasil record AWLR pada tahun 2009.

Berdasarkan peta tanah tinjau Pulau Bali skala 1:250.000 terdapat beberapa jenis tanah yang dominan di DAS Saba yaitu Latosol, Andosol, dan Regosol. Masing-masing jenis tanah tersebut dapat diurai menurut karakteristiknya sebagai berikut:

(2)

20

1. Latosol

Tanah latosol berwarna merah kecoklatan, memiliki profil tanah yang dalam, mudah menyerap air, memiliki pH 6-7 (netral) hingga asam, memiliki zat fosfat yang mudah bersenyawa dengan unsur besi dan alumunium, dan kadar humusnya mudah menurun.

2. Andosol

Istilah andosol berasal dari kata Jepang ando yang berarti hitam atau kelam. Tanah

andosol adalah tanah yang berwarna hitam kelam, sangat jarang (porous), mengandung bahan

organik dan lempung (clay) tipe amorf, terutama alofan serta sedikit silica, alumina atau

hidroxida besi. Tanah ini tersebar di daerah vulkanik sekitar Samudra Pasifik, mulai dari kepulauan Jepang, Filipina, Indonesia, Papua Nugini, Selandia Baru, Pantai Barat Amerika Selatan, Amerika Tengah, kepulauan Hawaii, sampai Alaska (Darmawijaya, 2009).

3. Regosol

Jenis tanah regosol umumnya belum jelas membentuk diferensiasi horizon meskipun

pada tanah regosol tua, horizon sudah mulai membentuk horizon A1 lemah berwarna kelabu,

mengandung bahan yang belum atau masih baru mengalami pelapukan. Tekstur tanah biasa kasar, struktur keras, atau remah, konsistensi lepas sampai gembur pada pH 6-7. Makin tua umur tanah, struktur dan konsistensi padat, bahkan seringkali membentuk padas dengan drainase dan prositas terhambat. Umumnya jenis tanah ini belum membentuk agregat sehingga peka terhadap erosi. Umumnya cukup mengandung unsure P dan K yang masih segar dan belum siap diserap tanaman tapi kekurangan unsur N (Darmawijaya, 2009).

Jenis tanah yang ada pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan peta yang diperoleh dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Bali dengan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Udayana Tahun 1970. Jenis tanah dan proporsi luasnya pada DAS Saba dapat dilihat pada Tabel 1. Sebaran jenis tanah yang berada di DAS Saba berdasarkan hasil simulasi MW-SWAT dapat dilihat pada Gambar 11.

Tabel 1. Jenis Tanah di DAS Saba

No. Jenis Tanah

Luas

ha %

1 Latosol Coklat Kekuningan 2798 19

2 Latosol Coklat Kemerahan 3127 22

3 Latosol Coklat 3013 21

4 Andosol Coklat Kelabu 4158 29

5 Regosol Kelabu 1297 9

(3)

21

Gambar 11.

Jenis Tanah di DAS Saba (sumber: hasil simulasi MW-SWAT)

Hasil overlay antara peta batas DAS dengan peta DEM pada proses deliniasi, maka

ketinggian DAS saba ada pada ketinggian 1 m sampai dengan 2248 m di atas permukaan laut. Besarnya nilai elevasi pada tiap daerah DAS dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Hasil Delineasi DAS Saba menggunakan MWSWAT

Keadaan topografi pada daerah DAS Saba didominasi oleh kelas lereng landai hinga curam. Dimana kelas lerengnya adalah datar dengan slope kemiringan 0-3% (6.33% dari luas DAS hasil deliniasi), agak landai dengan kemiringan 3-8% (11.41% dari luas DAS hasil deliniasi), landai dengan slope 8-15% (19.04% dari luas DAS hasil deliniasi), agak curam dengan kemiringan 15-30%

(4)

22

(35.61% dari luas DAS hasil deliniasi), curam dengan kemiringan 30-45% (17.32% dari luas DAS hasil deliniasi), dan sangat curam dengan kemiringan >45% (10.29% dari luas DAS hasil deliniasi).

Berdasarkan pengolahan dengan menggunakan SWAT di DAS Saba hasil deliniasi, maka DAS tersebut didominasi oleh perkebunan, sawah, dan hutan Berdasarkan hasil simulasi SWAT yang dilakukan, terdapat delapan jenis tutupan lahan pada DAS Saba, yaitu tubuh air sebesar 150.92 ha

(1.05% watershed), hutan sebesar 1811.94 ha (12.59% watershed), semak belukar sebesar 995.27 ha

(6.91% watershed), rumput/tanah kosong sebesar 28.51 ha (0.20% watershed), perkebunan sebesar

8256.43 ha (57.36% watershed), ladang/tegalan sebesar 680 ha (4.72% watershed), sawah sebesar

1831.22 ha (12.72% watershed), dan permukiman 638.92 ha (4.44% watershed). Sebaran land use

yang berada di DAS Saba seperti terlihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Peta Penggunaan Lahan di DAS Saba (sumber: hasil simulasi MW-SWAT) Secara umum kondisi cuaca dan iklim daerah Bali sangat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti interaksi laut-atmosfer, aktivitas konvergensi, pertemuan massa udara dari belahan bumi utara dan selatan, tumbuhnya pusat tekanan rendah dan pengaruh kondisi lokal setempat. Berdasarkan data

rata-rata curah hujan bulanan, daerah Bali memiliki pola curah hujan monsoon. Pola monsoon terjadi

akibat proses sirkulasi udara yang berganti arah setiap enam bulan sekali yang melintas di wilayah Indonesia, yang dikenal dengan monsoon barat dan monsoon timur. Monsoon barat umumnya menimbulkan banyak hujan (musim hujan) yang terjadi sekitar bulan Januari, monsoon timur umumnya menyebabkan kondisi kurang hujan (musim kemarau) yang terjadi sekitar bulan Agustus (Laporan KLHS Bali).

Berdasarkan klasifikasi Schmidt-Ferguson, daerah Bali khususnya daerah DAS Saba mempunyai sebaran tipe iklim dari tipe iklim C sampai F. Masing-masing tipe iklim diklasifikasikan

(5)

23

berdasarkan nilai Q yaitu perbandingan antara bulan kering (BK) dan bulan basah (BB) dikalikan 100% (Q=BK/BB x 100%). Dari persamaan tersebut, dapat digolongkan iklim sebagai berikut:

0 ≤ Q < 0.143 ……… A = sangat basah, 0.143 ≤ Q < 0.333 ……… B = basah, 0.333 ≤ Q < 0.600 ……… C = agak basah, 0.600 ≤ Q < 1.000 ……… D = sedang, 1.000 ≤ Q < 1.670 ……… E = agak kering, 1.670 ≤ Q < 3.000 ……… F = kering, 3.000 ≤ Q < 7.000 ……… G = sangat kering, 7.000 ≤ Q < - ……… H = luar biasa kering.

Unsur iklim yang digunakan sebagai input dari software MW SWAT yang mempengaruhi transformasi hujan menjadi debit dalam siklus hidrologi adalah curah hujan, temperatur, kelembaban udara, radiasi matahari, dan kecepatan angin. Data iklim yang digunakan untuk simulasi debit pada penelitian ini yaitu tahun 2009 berupa data curah hujan harian (.pcp) dan temperatur harian (.tmp). Stasiun atau pos pengamatan yang digunakan yaitu stasiun Busungbiu.

Gambar 14. Curah Hujan stasiun Busungbiu Tahun 2009

Curah hujan maksimum diperoleh sebesar 90 mm/hari dengan curah hujan minimum sebesar

0 mm/hari dan suhu harian maksimum rata-rata diperoleh sebesar 30.65OC dan suhu harian minimum

rata-rata sebesar 24.29OC. Grafik curah hujan pada stasiun Busungbiu dapat dilihat pada Gambar 14.

Untuk weather generator (.wgn), data iklim yang digunakan yaitu data iklim selama empat tahun

periode 2005-2008 berupa data curah hujan, temperatur, kelembaban udara, kecepatan angin, dan radiasi surya. Stasiun atau pos pengamatan yang digunakan yaitu stasiun Ngurah Rai. Curah hujan maksimum harian selama empat tahun diperoleh sebesar 133.1 mm/hari dengan curah hujan minimum

harian sebesar 0 mm/hari. Suhu harian maksimum rata-rata sebesar 30.17OC dengan suhu harian

minimum rata-rata sebesar 24.30OC. Radiasi surya rata-rata tahunan sebesar 15 MJ/m2/hari, kecepatan

angin rata-rata tahunan sebesar 2,78 m/dt, dan kelembaban udara rata-rata tahunan sebesar 91%.

4. 2.

Pembentukan HRU

MapWindow merupakan software aplikasi untuk Sistem Informasi Geografis (SIG) yang

berbasis open source. MapWindow dapat digunakan untuk mendistribusikan data ke bentuk lain dan

untuk mendefinisikan sistem proyeksi. Dalam menjalankan MWSWAT, peta yang digunakan adalah

peta penggunaan lahan dan peta jenis tanah dalam bentuk Tagged Image File (TIF) yang telah digrid

(6)

24

yang dilakukan dalam menjalankan MWSWAT adalah Proses DEM (Watershed Delineation),

Pembentukan HRU, dan SWAT Setup dan Run.

1) Proses DEM (Watershed Delineation)

Pada tahap ini, pengolahan DEM dan batas DAS Saba untuk delineasi DAS Saba secara otomatis akan diperoleh pehitungan topografi secara lengkap, peta jaringan sungai, peta batas DAS, peta sub DAS dan outlet yang pada tahap ini harus dipastikan bahwa unit elevasi dalam satuan meter.

Gambar 15. Hasil Delineasi DAS Saba dengan Model MW-SWAT

Hasil delineasi dengan menggunakan peta DEM yang berasal dari SRTM (US Geological Survey) dengan penambahan satu titik outlet yakni di koordinat pengukuran debit aktual, maka terbentuk 228 Sub-DAS dengan total luasan sebesar ±14,393.20 Ha. Pada penelitian ini, digunakan DEM SRTM ukuran 90 m x 90 m. Semakin kecil resolusi DEM yang digunakan, maka akan meningkatkan ketelitian. Akan tetapi, pada DEM ukuran 30 m 30 m yang telah dilakukan, diperoleh hasil yang sebaliknya sehingga digunakan DEM ukuran 90 m x 90 m. Outlet yang digunakan pada penelitian ini yaitu outlet yang berada di Desa Kalopaksa yang berbatasan dengan Laut Bali sebagai hilir DAS Saba. Pada Gambar 15, outlet DAS Saba terletak pada Sub-DAS 228.

2) Pembentukan HRU

Untuk mendapatkan Hidrological Response Unit (HRUs) sebagai unit analisis

dilakukan tumpang tindih (overlay) antara peta penggunaan lahan dengan peta tanah. Jumlah

HRU yang terbentuk oleh model dengan menggunakan threshold by percentage. Pada

penelitian ini digunakan Network Delineation by Threshold Method sebesar 29 sehingga

(7)

25

Gambar 16. Pembentukan HRU (sumber: hasil simulasi MW-SWAT)

HRU merupakan unit analisis hidrologi yang mempunyai karakteristik tanah dan penggunaan lahan yang spesifik, sehingga dapat dipisahkan antara satu HRU dengan HRU yang lainnya. Dari hasil HRU yang dibentuk, diketahui bahwa oulet DAS Saba berada di

subbasin 228 dan pada subbasin 228 terbentuk 5 HRU. Terbentuknya HRU berdasarkan

perbedaan landuse, jenis tanah, dan kemiringan (slope). HRU yang terbentuk oleh model

untuk Sub-DAS 228 pada DAS Saba dapat dilihat pada Tabel 2.

4. 3.

Debit Sungai

Sebelum perkiraan debit sungai, dilakukan penggabungan antara data tanah, landuse,

kemiringan, dan iklim untuk menentukan waktu simulasi. Pada tahap ini juga ditentukan jenis sungai dan metode perhitungan evapotranspirasi. Waktu simulasi dimulai dilakukan dari tanggal 1 Januari sampai tanggal 31 Desember 2009. Pemilihan waktu simulai ini berdasarkan iklim yang digunakan yaitu tahun 2009. Hal ini bertujuan untuk mengetahui jumlah debit simulasi yang dapat dihasilkan dari

kondisi tanah, landuse, dan kemiringan yang ada serta dibandingkan dengan debit aktual pada tahun

yang sama.

Untuk memperoleh output yang diinginkan, stasiun iklim (stnlist.txt) yang terdiri dari file

harian .pcp dan .tmp. File .pcp yang digunakan merupakan data dari stasiun Busungbiu sedangkan .tmp merupakan data dari stasiun Ngurah Rai. Hal ini disebabkan pada pos hujan yang berada di DAS Saba tidak melakukan pengukuran temperatur. Data iklim lainnya berupa data radiasi surya, kelembaban, dan kecepatan angin juga dibutuhkan dalam SWAT yang dibangkitkan dengan

(8)

26

Tabel 2. Contoh karakteristik HRU pada subbasin 228

Area [ha] %Watershed %Subbasin

Subbasin 228 50.31 0.35

Tataguna lahan RICE 37.73 0.26 75

URMD 12.58 0.09 25 Tanah Lck-2-7003 50.31 0.35 100 Kemiringan 0-3 35.22 0.24 70 3-8 14.25 0.1 28.33 8-15 0.84 0.01 1.67 HRU 2317 URMD/Lck-2-7003/0-3 5.87 0.04 11.67 2318 URMD/Lck-2-7003/3-8 6.71 0.05 13.33 2319 RICE/Lck-2-7003/0-3 29.35 0.2 58.33 2320 RICE/Lck-2-7003/3-8 7.55 0.05 15 2321 RICE/Lck-2-7003/8-15 0.84 0.01 1.67

Sumber : Hasil simulasi MW-SWAT

Setelah dilakukan simulasi, lalu digunakan SWAT Plot and Graph untuk menampilkan grafik debit hasil simulasi MWSWAT pada tahapan-tahapan sebelumnya. Untuk menampilkan plot debit

pada outlet, dipilih reach 228 dan FLOW_OUT pada SWAT plot sehingga akan menghasilkan grafik

debit pada outlet. Grafik debit (m3/dt) hasil simulasi MWSWAT dan curah hujan dapat dilihat pada

Gambar 17.

Berdasarkan pengelolaan lahan menggunakan peta Bakosurtanal tahun 2000, diperoleh

besarnya debit maksimum harian hasil simulasi sebesar 109.8 m3/dt dan debit minimum harian sebesar

0 m3/dt dengan debit rata-rata harian selama satu tahun sebesar 4.54 m3/dt. Sebagian besar tataguna

lahan yang digunakan pada DAS Saba yaitu sebagai lahan pertanian seperti perkebunan, sawah, dan hutan. Tataguna lahan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi siklus hidrologi pada DAS Saba selain curah hujan dan faktor iklim lainnya, sehingga perlu dilakukan pengelolaan lahan yang baik agar debit yang dihasilkan optimal untuk mengairi lahan pertanian di sekitar DAS tersebut..

Besarnya koefisien determinasi (R2) antara debit simulasi dan debit observasi sebesar 0.0218

seperti terlihat pada Gambar 18 dan grafik hubungan antara debit simulasi dan debit observasi sebelum kalibrasi dapat dilihat pada Gambar 19. Dari grafik tersebut terlihat bahwa nilai debit observasi rata-rata lebih besar daripada nilai debit simulasi. Debit maksimum harian hasil observasi

diperoleh sebesar 77.74 m3/dt dan debit minimum harian sebesar 12.05 m3/dt dengan debit harian

rata-rata selama satu tahun sebesar 19.48 m3/dt. Jumlah debit yang dihasilkan berbanding lurus dengan

curah hujan dan besarnya air yang dapat disimpan tergantung pada jenis tanah, penggunaan lahan, dan tataguna lahan.

(9)

27

Gambar 17.

Grafik hasil debit simulasi dan curah hujan

(10)

28

Gambar 18. Koefisien determinasi (R2) sebelum kalibrasi

Gambar 19. Grafik debit simulasi dan debit observasi sebelum kalibrasi

4. 4.

Kalibrasi

Kalibrasi pada model SWAT dilakukan dengan mengunakan software SWAT CUP 2009 v4.3.7. Kalibrasi model dilakukan dengan cara membandingkan debit harian hasil observasi DAS Saba yang keluar dari outlet dengan debit harian hasil simulasi model SWAT. Kalibrasi digunakan pada tahun 2009.

Kalibrasi perlu dilakukan pada model MW-SWAT karena banyaknya keterbatasan pada model hidrologi tersebut. Keterbatasan dapat terjadi karena adanya penyederhanaan yang mengakibatkan banyaknya kejadian alam pada daerah aliran sungai yang tidak dapat diwakili oleh model. Beberapa keterbatasan yang tidak dapat diwakili oleh model MW-SWAT adalah longsor, efek

y = 0.1042x + 19.011 R² = 0.0218 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 Deb it O b serv a si (m 3 /d et ik )

Debit Simulasi (m3/detik)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 0 100 200 300 400 D e b it (m 3/d e tik) Hari ke-Simulasi Observasi

(11)

29

konstruksi besar seperti jembatan, jalan, dan bendungan yang mengakibatkan sedimentasi, serta pembuangan limbah pabrik ke aliran sungai.

Project type yang digunakan pada SWAT CUP 2009 yaitu metode kalibrasi Sufi2. Beberapa

bagian penting pada software ini adalah Calibration Inputs, Executable Files, dan Calibration

Outputs. Calibration Inputs merupakan kumpulan data yang digunakan sebagai masukan proses

kalibrasi, terdiri dari par_inf.txt, SUFI2_swEdit.def, File.Cio, Absolute_SWAT_Values.txt,

Observation, Extraction, Objective Function, dan No Observation. Executable Files berisi file-file

yang digunakan untuk memberikan perintah melakukan proses kalibrasi, terdiri dari SUFI2_pre.bat,

SUFI2_run.bat, SUFI2_post.bat, dan Sufi2_Extract.bat. Hasil dari proses kalibrasi kemudian dapat

dilihat pada Calibration Ouputs yang terdiri dari 95ppu.plot, 95ppu-No-Observed plot, Dotty Plots,

Best_Par.txt, Best_Sim.txt, Goal.txt, New_pars.txt, dan Summary_Stat.txt.

Parameter-parameter yang bisa digunakan sebagai masukan proses kalibrasi hanya parameter

yang ada pada file Absolute_SWAT_value.text seperti yang terlihat pada Lampiran 1. Dalam file

tersebut terdapat pula range nilai absolut dari setiap parameter. Range nilai tersebut digunakan

sebagai nilai awal dari parameter masukan kalibrasi. Menurut Kohnke dan Bertrand (1959) dalam Soesanto (1995), air yang keluar dari suatu DAS dapat terdiri dari bermacam bentuk yaitu: limpasan

permukaan (surface runoff), limpasan bawah permukaan (subsurface runoff), aliran air bawah tanah

(groundwater flow) dan akan berkumpul menjadi aliran sungai atau stream flow. Dalam sistem Hidrologi suatu DAS, jumlah limpasan yang terjadi terdiri curah hujan di atas permukaan sungai (channel precipitation), aliran permukaan (overland flow), aliran bawah permukaan (interflow), dan

aliran bawah permukaan tanah (groundwater flow). Oleh karena itu, parameter-parameter yang

digunakan sebagai masukan kalibrasi adalah parameter yang berkaitan dengan limpasan permukaan (surface runoff), limpasan bawah permukaan (subsurface runoff), aliran air bawah tanah (groundwater

flow). Karakteristik tanah DAS juga digunakan sebagai parameter masukan kalibrasi. Struktur dan

tekstur tanah merupakan faktor-faktor yang menentukan kapasitas infiltrasi, maka karakteritik limpasan sangat dipengaruhi oleh jenis tanah daerah pengaliran. Parameter-parameter yang digunakan

pada proses kalibrasi sebanyak 11 parameter dengan range maksimum dan minimum nilai awal sesuai

dengan yang ada pada file Absolute_SWAT_value.txt. Parameter-parameter tersebut dikumpulkan

dalam file Par_inf.txt. Setelah proses iterasi akan diperoleh range nilai parameter yang baru. Range

nilai yang baru ini digunakan sebagai range nilai masukan untuk proses iterasi selanjutnya untuk

mendapat R2 yang optimum. Range nilai parameter yang baru ini dapat dilihat pada Calibration

Outputs pada bagian New_pars.txt.

Jumlah parameter masukan dapat dikurangi sesuai dengan nilai sensitifnya. Hanya

parameter-parameter yang dianggap sensitif mempengaruhi nilai output yang akan digunakan sebagai

parameter masukan pada iterasi selanjutnya. Nilai sensitifitas parameter masukan dapat dilihat pada

Sensitivity analysis. Data debit harian hasil observasi tahun 2009 juga digunakan sebagai masukan

kalibrasi. Data tersebut dimasukan ke dalam Observation pada Observed_rch.txt. data hasil observasi

ini digunakan sebagai data pembanding data debit harian simulasi SWAT-CUP sehingga nilai

koefisien determinasi (R2) dapat diperoleh. Pada penelitian ini, satu kali iterasi dilakukan sebanyak

500 kali simulasi.

Setelah dilakukan kalibrasi, diperoleh besarnya nilai koefisien determinasi (R2) antara debit

simulasi dan debit observasi sebesar 0.4025, sehingga menghasilkan hasil yang lebih baik dari sebelumnya seperti terlihat pada Gambar 20. Hasil dari proses kalibrasi data debit tahun 2009

menggunakan SWAT-CUP 2009 dapat dilihat pada calibration outputs. Untuk melihat data debit

(12)

30

Tabel 3. Parameter-parameter pada proses kalibrasi

No Parameter Definisi Rentang Nilai Nilai yang

digunakan

1 r__CN2.mgt SCS curve number 37.240784 - 89.466850 83.251945

2 v__ALPHA_BF.gw Faktor alfa untuk aliran

permukaan (hari) -0.095531 - 0.355429 0.104244

3 v__GW_DELAY.gw Perlambatan aliran

bawah tanah (hari) -45.527283 - 311.210846 165.304947

4 v__GWQMN.gw

Kedalaman ambang air pada akuifer dangkal yang dibutuhkan agar terjadi arus balik (mm)

-1736.220825 - 30.460083 977.791748

5 v__GW_REVAP.gw Koefisien revap air

bawah tanah 0.111733 - 0.197309 0.124142

6 v__ESCO.hru Faktor pergantian

evaporasi tanah 0.117036 - 0.583384 0.466331

7 v__CH_N2.rte Nilai manning “n”

untuk saluran utama 0.142612 - 0.240486 0.177945

8 v__CH_K2.rte

Konduktivitas hidrolik

efektif pada saluran

utama (mm/hari)

109.137283 - 206.157089 128.638260

9 r__SOL_AWC().sol Kapasitas air pada

lapisan tanah (mm) -0.122988 - 0.362176 -0.003152

10 r__SOL_K().sol Konduktivitas hidrolik

saat jenuh (mm/hari) 149.602936 - 1303.833008 1011.812805

11 r__SOL_BD().sol Moist bulk density

(Mg/m3 atau g/cm3) 1.129770 - 1.853514 1.393937

Grafik hubungan antara debit simulasi dan debit observasi setelah kalibrasi dapat dilihat pada Gambar 21 dan terlihat bahwa nilai debit observasi rata-rata lebih besar daripada nilai debit simulasi. Fluktuasi debit setelah kalibrasi tidak sebesar seperti data debit sebelum kalibrasi. Debit maksimum

harian pada debit simulasi diperoleh sebesar 13.1 m3/dt dan debit minimum harian sebesar 0.0032

m3/dt dengan debit rata-rata harian selama satu tahun sebesar 4.83 m3/dt. Debit maksimum harian

pada debit observasi diperoleh sebesar 77.74 m3/dt dan debit minimum harian sebesar 12.05 m3/dt,

dengan debit harian rata-rata selama satu tahun sebesar 19.48 m3/dt.

Gambar 20. Koefisien determinasi (R2) setelah kalibrasi

y = 1.1202x + 14.075 R² = 0.4025 0 10 20 30 40 50 60 70 0 10 20 30 40 50 60 70 Deb it O b serv a si (m 3 /d et ik )

(13)

31

Gambar 21. Grafik debit simulasi dan debit observasi setelah kalibrasi

Dari 500 simulasi yang dilakukan, simulasi nomor 133 pada iterasi 3 dianggap simulasi terbaik menghasilkan nilai debit paling mendekati dengan nilai debit hasil observasi. Pada iterasi pertama rentang nilai parameter-parameter merupakan rentang nilai maksimum yang ada pada file

Absolute_SWAT_value.txt. Kemudian pada iterasi selanjutnya rentang nilai parameter masukan yang

digunakan berasal dari New_pars.txt yang berasal dari proses iterasi sebelumnya. Rentang nilai

parameter-parameter masukan pada iterasi 3 yang digunakan pada proses kalibrasi dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 4. Parameter-parameter pada proses kalibrasi setelah dilakukan koreksi

No Parameter Definisi Rentang Nilai Nilai yang

digunakan

1 r__CN2.mgt SCS curve number 37.240784 - 89.466850 32.397461

2 v__ALPHA_BF.gw Faktor alfa untuk aliran

permukaan (hari) 0.000000 - 0.355429 0.119069

3 v__GW_DELAY.gw Perlambatan aliran

bawah tanah (hari) 0.000000- 311.210846 238.698715

4 v__GWQMN.gw

Kedalaman ambang air pada akuifer dangkal yang dibutuhkan agar terjadi arus balik (mm)

0.000000- 1330.460083 243.474197

5 v__GW_REVAP.gw Koefisien revap air

bawah tanah 0.111733 - 0.197309 0.181135

6 v__ESCO.hru Faktor pergantian

evaporasi tanah 0.117036 - 0.583384 0.520427

7 v__CH_N2.rte Nilai manning “n”

untuk saluran utama 0.142612 - 0.240486 0.173834

8 v__CH_K2.rte

Konduktivitas hidrolik

efektif pada saluran

utama (mm/hari)

109.137283 - 206.157089 183.163391

9 r__SOL_AWC().sol Kapasitas air pada

lapisan tanah (mm) 0.040000 – 0.210000 0.121090

10 r__SOL_K().sol Konduktivitas hidrolik

saat jenuh (mm/hari) 149.602936 - 1303.833008 817.902161

11 r__SOL_BD().sol Moist bulk density

(Mg/m3 atau g/cm3) 1.129770 - 1.853514 1.330247 0 10 20 30 40 50 60 70 0 100 200 300 400 D e b it (m 3/d e tik) Hari ke-Simulasi Observasi

(14)

32

Setelah dilakukan kalibrasi, koreksi dilakukan terhadap nilai-nilai parameter yang dimasukan

pada proses kalibrasi. Nilai-nilai yang berada diluar dari range yang telah ada diperbaiki sehingga

berada pada range yang sesuai atau berdasarkan literatur yang ada. Nilai-nilai parameter yang telah

dikoreksi dapat dilihat pada Tabel 4. Setelah dilakukan koreksi, besarnya nilai koefisien determinasi

(R2) antara debit simulasi dan debit observasi sebesar 0.4114 seperti terlihat pada Gambar 22 dan

grafik hubungan antara debit simulasi dan debit observasi hasil koreksi dapat dilihat pada Gambar 23.

Debit maksimum harian hasil simulasi diperoleh sebesar 13.83 m3/dt dan debit minimum harian

sebesar 0.0034 m3/dt dengan debit rata-rata harian selama satu tahun sebesar 5.0046 m3/dt. Besarnya

debit harian yang dihasilkan oleh DAS Saba dapat dilihat pada Lampiran 2.

Gambar 22. Koefisien determinasi (R2) setelah dikoreksi

Gambar 23. Grafik debit simulasi dan debit observasi setelah dikoreksi

Berdasarkan hasil kalibrasi yang didapat, grafik hubungan antara debit simulasi dan debit observasi yang dihasilkan kurang memuaskan. SWAT CUP tidak dapat memasukkan nilai-nilai parameter secara manual, sehingga mempengaruhi debit yang dikalibrasikan. Nilai-nilai parameter yang dihasilkan oleh SWAT kurang sesuai akan respon DAS terhadap curah hujan, sehingga tidak

menghasilkan runoff yang sesuai terhadap debit DAS Saba. Oleh karena itu, SWAT CUP tidak dapat

digunakan pada penelitian ini.

y = 1.0672x + 14.144 R² = 0.4114 0 10 20 30 40 50 60 70 0 10 20 30 40 50 60 70 D e b it Ob ser vasi (m 3/d e tik)

Debit Simulasi (m3/detik)

0 10 20 30 40 50 60 70 0 50 100 150 200 250 300 350 400 D e b it (m 3/d e tik) Hari ke-Simulasi Observasi

Gambar

Gambar 10. Posisi DAS Saba (sumber: peta Bakosurtanal tahun 2000)
Tabel 1. Jenis Tanah di DAS Saba
Gambar 12. Hasil Delineasi DAS Saba menggunakan MWSWAT
Gambar 13. Peta Penggunaan Lahan di DAS Saba (sumber: hasil simulasi MW-SWAT)
+7

Referensi

Dokumen terkait

perspektif pembelajaran – pertumbuhan : semangat kerja dan produk- tifitas karyawan tinggi; kinerja dari perspektif proses bisnis internal : tingkat ketersediaan obat

Data yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu dilakukan dengan teknik

Kartu Perkalian Senilai ini merupakan salah satu media pembelajaran yang didesain sesuai dengan tujuan dalam meningkatkan kemampuan perkalian di antaranya: (a) meningkatkan kemampuan

Sehingga para guru perlu juga menerapkan berbagai macam bentuk strategi pembelajaran yang efektif juga jitu pada saat pelaksanaannya, selain itu model pembelajaran seperti Cards

Hal ini menunjukkan bahwa secara umum guru-guru geo- grafi SMA di Kota Yogyakarta termasuk dalam kategori baik dalam memahami dan melaksanakan program pembe- lajaran di

Suatu bidang-banyak (polyhedron) adalah gabungan dari sejumlah terhingga (finite) daerah-daerah segibanyak, sedemikian, sehingga: setiap sisi dari suatu daerah segibanyak

1) Lokasi Jembatan Alternatif 1 : terletak di Desa Purwokerto (Kab. Blitar) – Desa Rejotangan (Kab.Tulungagung). Pada alternatif 1 ini, lokasinya terletak pada dermaga yang

Saat ini telah tersedia berbagai modifikasi ventilator yang dapat memberikan tekanan positif pada jalan nafas dengan cara menggunakan masker yang melekat erat dengan wajah