• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimasi suhu dan waktu ektraksi dalam proses digesti herba rumput mutiara (Hedyotis corymbosa (L.) Lamk) dengan aplikasi desain faktorial - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Optimasi suhu dan waktu ektraksi dalam proses digesti herba rumput mutiara (Hedyotis corymbosa (L.) Lamk) dengan aplikasi desain faktorial - USD Repository"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMASI SUHU DAN WAKTU EKSTRAKSI DALAM PROSES DIGESTI HERBA RUMPUT MUTIARA (Hedyotis corymbosa (L.) Lamk)

DENGAN APLIKASI DESAIN FAKTORIAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Lilia Cresensia Yuniarty Rogan

NIM : 088114167

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

OPTIMASI SUHU DAN WAKTU EKSTRAKSI DALAM PROSES DIGESTI HERBA RUMPUT MUTIARA (Hedyotis corymbosa (L.) Lamk)

DENGAN APLIKASI DESAIN FAKTORIAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Lilia Cresensia Yuniarty Rogan

NIM : 088114167

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

(6)
(7)
(8)

vii PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat, berkat, cinta,

ijin, dan penyertaanNya yang begitu besar, sehingga penulis dapat menyelesaikan

penelitian dan penyusunan skripsi berjudul “Optimasi Suhu dan Waktu Ekstraksi

dalam Proses Digesti Herba Rumput Mutiara (Hedyotis corymbosa (L.) Lamk)

Dengan Aplikasi Desain Faktorial”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi

persyaratan dalam meraih gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) di Fakultas Farmasi,

Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis tidak henti-hentinya

mendapatkan banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,

penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Yohanes Dwiatmaka, M.Si. selaku dosen pembimbing atas kesabaran dan

waktunya memberikan koreksi, pengarahan, dan masukan selama persiapan,

penelitian, sampai penyusunan skripsi ini di tengah kesibukan beliau yang

sangat padat.

3. Rini Dwiastuti, M.Sc., Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan

waktu, kesempatan, masukan, dan bimbingan selama penyelesaian skripsi ini.

4. Jeffry Julianus, M.Si. selaku dosen penguji dan dosen pendamping akademik,

atas waktu, masukan, dan semangat selama penyelesaian skripsi ini, dan atas

pendampingan dan perhatiannya terhadap perkembangan saya selama masa

(9)

viii

5. Sri Hartati Yuliani, M.Si., Apt. yang telah berkenan memberikan baku asam

ursolat untuk penelitian ini serta memberikan ide, bimbingan, dan bantuan

bagi penelitian ini.

6. Christine Patramurti, M.Si. atas waktu yang diluangkan untuk memberikan

masukan dan semangat selama penyusunan skripsi ini.

7. Bapak, Mama, Yohan, Yuda, Bulik, Dik Jati, dan Dik Dian, atas pengertian,

dukungan, doa, kesabaran, kasih, teguran, canda tawa, serta perhatian yang

selalu mengalir tanpa henti.

8. Seluruh dosen Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta atas

ilmu, pengalaman, semangat, dan persahabatan berharga yang diberikan.

9. Seluruh staf laboratorium, staf kebersihan, dan staf keamanan Fakultas

Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Terutama Mas Bimo, Pak

Musrifin, Pak Parlan, Mas Kunto, Pak Wagiran, Mas Otok, dan Pak Ketul

yang telah membantu kelancaran penulis dalam melakukan penelitian.

10.Elisa Aster Nugroho, sebagai partner selama kuliah dan skripsi. Terima kasih

atas kesabaran, kerja sama, masukan, persahabatan, dan semangat selama ini.

11.Sahabat-sahabat terbaik saya, Melisa Darmawan dan Eka Riusinta Wati.

Terima kasih untuk semua kasih sayang, perhatian, tawa, canda,

kebersamaan, pengalaman baru, bantuan, masukan, dan semangat di kala

sedih.

12.Felicia, Sari Tambunan, Prasilya, Regina Clarissa, Pius, Asti, Dian, dan

(10)

ix

13.Teman-teman Grup Antistres: Paul, Hepi, Adi, Velly, Vica, Rosi, Dhimas,

Usie, Sasa, Satya, Elisa, Novie, Ike, sebagai teman seperjuangan mengerjakan

skripsi di Laboratorium Analisis Instrumental. Terima kasih atas diskusi,

semangat, cerita, canda-tawa, masukan, dan kebersamaan selama kita bekerja

bersama.

14.Teman-teman kelompok praktikum C2: Usie, Sasa, Satya, Asti, Dian, Tika,

Seco, atas kekompakkan, kebersamaan, dan kerja sama selama kuliah,

praktikum, dan di luar itu.

15.Teman-teman angkatan 2008 yang bersedia mengisi sebagian cerita hidupku.

Terima kasih atas semua kebersamaan, bantuan selama perkuliahan, dan

pengalaman yang tak terlupakan. Semoga kita bisa berhasil lewat cara kita

masing-masing.

16.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, atas segala bantuan,

semangat, dan doa yang menyertai penulis dari awal penelitian sampai akhir

terselesaikannya penulisan skripsi.

Penulis menyadari adanya kekurangan dalam penyusunan skripsi oleh

karena keterbatasan wawasan dan kemampuan. Penulis membuka diri untuk

menerrima saran yang membangun dari semua pihak. Dengan segala kerendahan

hati, penulis mengharapkan skripsi ini memberi manfaat bagi pembaca. Akhir

kata, penulis mempersembahkan skripsi ini bagi majunya ilmu pengetahuan

farmasi.

(11)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

INTISARI ... xviii

ABSTRACT ... xix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Keaslian Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Tujuan Penelitian ... 6

1. Tujuan umum ... 6

(12)
(13)

xii

2. Pembuatan simplisia rumput mutiara ... 32

3. Pembuatan ekstrak rumput mutiara ... 32

4. Penetapan kandungan triterpen total ... 33

5. Analisis hasil ... 37

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

A. Determinasi Tanaman ... 38

B. Pengumpulan Bahan dan Pembuatan Serbuk Simplisia ... 38

1. Pengumpulan bahan ... 38

2. Sortasi basah ... 40

3. Pencucian ... 40

(14)

xiii

5. Sortasi kering ... 41

6. Pembuatan serbuk ... 42

C. Defatisasi ... 43

D. Digesti ... 45

E. Pengeringan Ekstrak Rumput Mutiara ... 49

F. Analisis Kualitatif dengan KLT ... 52

1. Pengamatan nilai Retardation Factor (Rf) asam ursolat ... 55

2. Perbandingan pola spektra baku asam ursolat dengan sampel ... 58

G. Analisis Kuantitatif dengan KLT-Densitometri ... 59

1. Penetapan panjang gelombang maksimum (λmaks) ... 59

2. Validasi metode ... 60

3. Kurva baku ... 68

4. Penetapan kandungan triterpen total dalam sampel secara KLT-Densitometri ... 70

H. Analisis Hasil Kadar Triterpen Total ... 72

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 78

A. Kesimpulan ... 78

B. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 79

LAMPIRAN ... 84

(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel I. Rancangan percobaan desain faktorial dengan dua faktor dan

dua level ... 25

Tabel II. Perbandingan suhu dan waktu digesti ... 33

Tabel III. Rendemen ekstrak ... 51

Tabel IV. Harga Rf masing-masing bercak dengan eluen toluen-aseton-asam asetat (90:10:0,07) dan fase diam silika gel 60 F254 ... 56

Tabel V. Data % recovery baku asam ursolat ... 61

Tabel VI. Data % CV baku asam ursolat ... 63

Tabel VII. Nilai r seri baku asam ursolat ... 63

Tabel VIII. Perbandingan nilai Rf baku dan sampel, serta nilai resolusi ... 65

Tabel IX. Data recovery dan CV baku asam ursolat dalam matriks ekstrak ... 68

Tabel X. Data seri konsentrasi baku asam ursolat dengan AUC baku asam ursolat ... 69

Tabel XI. Kadar triterpen total dalam ekstrak pada setiap kondisi dan replikasi ... 71

Tabel XII. Kondisi desain faktorial dan respon yang dihasilkan ... 73

Tabel XIII. Nilai efek dari faktor suhu, waktu, dan interaksinya terhadap respon kadar triterpen total ... 73

(16)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Rumput mutiara (Hedyotis corymbosa (L.) Lamk) ... 9

Gambar 2. Struktur kimia asam oleanolat dan asam ursolat ... 12

Gambar 3. Grafik orientasi waktu ekstraksi ... 48

Gambar 10. Interaksi asam ursolat dengan fase gerak toluen-aseton-asam asetat (90:10:0,07) ... 57

Gambar 11. Perbandingan pola spektra ekstrak adisi dengan baku asam ursolat ... 58

Gambar 16. Kromatogram ekstrak tanpa adisi baku asam ursolat ... 67

Gambar 17. Kromatogram ekstrak dengan adisi baku asam ursolat ... 67

(17)

xvi

Gambar 19. Profil KLT penetapan kadar triterpen total dalam ekstrak

etanolik herba rumput mutiara dilihat secara visual dengan

cahaya biasa ... 71

Gambar 20. Grafik hubungan suhu dan waktu ekstraksi terhadap kadar

(18)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Keterangan Determinasi ... 85

Lampiran 2. Certificate of Analysis Baku Asam Ursolat ... 86

Lampiran 3. Data Penimbangan Bahan ... 87

Lampiran 4. Sistem Kromatografi Lapis Tipis Densitometri yang Digunakan ... 88

Lampiran 5. Spektrum Baku Asam Ursolat pada 200-700 nm ... 89

Lampiran 6. Data Orientasi Waktu Ekstraksi ... 90

Lampiran 7. Validasi Metode ... 91

Lampiran 8. Perhitungan Kadar Triterpen Total ... 94

Lampiran 9. Data Rendemen Ekstrak ... 97

Lampiran 10. Notasi Desain Faktorial dan Percobaan Desain Faktorial ... 98

Lampiran 11. Data Desain Faktorial ... 98

Lampiran 12. Optimasi Fase Gerak ... 100

Lampiran 13. Kromatogram Kurva Baku Asam Ursolat Replikasi 3 ... 103

Lampiran 14. Kromatogram Akurasi dan Presisi Metode ... 104

Lampiran 15. Kromatogram Akurasi dan Presisi dalam Matriks Sampel ... 107

Lampiran 16. Kromatogram Penetapan Kadar ... 110

(19)

xviii INTISARI

Rumput mutiara (Hedyotis corymbosa (L.) Lamk) merupakan tanaman yang memiliki banyak manfaat untuk pengobatan, dengan kandungan utamanya adalah asam ursolat. Asam ursolat merupakan suatu senyawa triterpenoid yang telah diketahui memiliki banyak fungsi biologis seperti antikanker, antibakteri, hepatoprotektif, imunomodulator, antiproliferatif, inflamasi, dan anti-angiogenik. Salah satu tahapan dalam proses isolasi asam ursolat adalah ekstraksi. Pada penelitian ini dilakukan ekstraksi terhadap serbuk herba rumput mutiara secara digesti dengan perbedaan suhu dan waktu ekstraksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi proses digesti herba rumput mutiara yang dapat memberikan kadar triterpen total yang optimal pada level yang diteliti.

Penetapan kadar triterpen total menggunakan metode KLT-Densitometri dengan fase diam silika gel 60 F254 dan fase gerak toluen – aseton – asam asetat

(90:10:0,07). Analisis hasil dilakukan dengan metode desain faktorial dua faktor dan dua level menggunakan software ubuntu-10.04-DesFaktor-0,9® by ubuntu R OpenOffice.org (www.molmod.org).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu digesti merupakan faktor yang diprediksi dominan dan signifikan mempengaruhi perolehan kadar triterpen total, sedangkan waktu ekstraksi diprediksi berpengaruh signifikan terhadap perolehan kadar triterpen total namun bukan merupakan faktor yang diprediksi dominan. Tidak diperoleh area prediksi proses digesti yang optimum untuk memperoleh kadar triterpen total pada level yang diteliti.

(20)

xix ABSTRACK

Rumput mutiara (Hedyotis corymbosa (L.) Lamk) is a plant which has many benefit for medicinal treatment, with ursolic acid as its main compound. Ursolic acid is a triterpenoid which has been known has a lot of biological effects including antitumoral, antibacterial, hepatoprotective, immunomodulatory, antiproliferative, anti-inflammatory, and anti-angiogenic activities. One step in the isolation process of ursolic acid is extraction. This research shows an extraction process of rumput mutiara herb powder use digestion with different of temperature and time of extraction. The aim of this research is to know condition of digestion process of rumput mutiara herb which produce optimum concentration of total triterpenoid on the level studied.

Determination of total triterpenoid concentration use TLC-Densitometry method, with silica gel 60 F254 as stationary phase and toluene – acetone – acetic

acid (90:10:0,07) as mobile phase. Analysis of the results use factorial design method with two factors and two levels, use software ubuntu-10.04-DesFaktor-0,9® by ubuntu R OpenOffice.org (www.molmod.org).

The analysis result show that digestion temperature is the predicted dominant factor which influences the achievement of total triterpenoid concentration significantly, while time of extraction is predicted to affect the achievement of total triterpenoid concentration significantly too, but not an predicted dominant factor. There are no providable predicted optimum digestion process area to get total triterpenoid on the level studied.

(21)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kanker merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah

kesehatan masyarakat, baik dunia maupun di Indonesia. Di dunia, 12% dari

seluruh kematian disebabkan oleh kanker. Kanker adalah pembunuh nomor 2

setelah penyakit kardiovaskular. WHO dan Bank Dunia, pada tahun 2005,

memperkirakan setiap tahunnya 12 juta orang di seluruh dunia menderita kanker

dan 7,6 juta di antaranya meninggal dunia. Prevalensi kanker di Indonesia adalah

4,3 per 1000 penduduk. Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS)

tahun 2007, kanker payudara menempati urutan pertama pada pasien rawat inap di

seluruh rumah sakit di Indonesia (16,85%), disusul kanker leher rahim (11,78%),

sedangkan kasus kanker bronkus dan paru pada pasien rawat inap sebesar 5,8%

dari seluruh jenis kanker (Depkes RI, 2011). Hal ini menyebabkan kebutuhan

akan senyawa antikanker semakin tinggi.

Telah banyak dilakukan penelitian terhadap senyawa-senyawa antikanker,

terutama yang berasal dari alam, salah satunya adalah asam ursolat. Asam ursolat

(3b-hydroxy-urs-12-en-28-oic acid) merupakan suatu senyawa triterpenoid

pentasiklik, anggota famili cyclosqualenoid. Dari hasil penelitian, senyawa ini

telah diketahui memiliki banyak fungsi biologis selain sebagai antikanker, antara

lain aktivitas antibakteri, hepatoprotektif, imunomodulator, antiproliferatif,

anti-inflamasi, dan anti-angiogenik (Cardenas, Quesada, and Medina, 2004). Dalam

(22)

hasil bahwa asam ursolat berpotensi untuk dikembangkan menjadi agen

co-kemoterapi. Sedangkan menurut Yamaguchi, Noshita, Kidachi, Umetsu, Hayashi,

dan Komiyama (2008), asam ursolat dapat menjadi suatu agen antitumor yang

menjanjikan, karena bekerja spesifik pada sel tumor dan menyebabkan kerusakan

yang sangat kecil pada sel normal.

Asam ursolat dapat ditemukan pada cukup banyak jenis tanaman obat. Salah

satu tanaman yang mengandung asam ursolat adalah rumput mutiara (Hedyotis

corymbosa (L.) Lamk). Rumput mutiara termasuk ke dalam famili Rubiaceae.

Gentry (1993) menyebutkan bahwa anggota suku Rubiaceae merupakan salah satu

sumber obat etnis. Di Indonesia tumbuhan ini belum dimanfaatkan secara optimal

dalam pengobatan. Rumput mutiara sendiri telah diketahui memiliki banyak

manfaat untuk pengobatan, seperti hepatoprotektif (Sadasivan, Latha, Sasikumar,

Rajashekaran, Shyamal, and Shine, 2006), antitumor (Liang et al., 2008),

menghilangkan panas dan toksik, antiradang, diuretik, menyembuhkan bisul

(anticarbuncular), dan mengaktifkan sirkulasi darah (Hariana, 2006). Rumput

mutiara sangat mudah ditemukan ataupun dibudidayakan di Indonesia,

menyebabkan tanaman ini berpotensi untuk dikembangkan menjadi salah satu

tanaman obat tradisional. Menurut Liang et al. (2008), asam ursolat dan asam

oleanolat merupakan kandungan utama dari rumput mutiara, oleh karenanya

digunakan sebagai marker bagi tanaman tersebut. Kandungan asam ursolat sendiri

lebih banyak dibandingkan asam oleanolat. Kedua senyawa tersebut merupakan

isomer dengan struktur kimia yang sangat mirip, menyebabkan keduanya sangat

(23)

Yamaguchi et al. (2008) mengekstraksi asam ursolat dari kulit buah apel

menggunakan pelarut kombinasi n-heksana, kloroform, dan metanol sedangkan

Haryanti et al. (2009) mengekstraksi asam ursolat dari rumput mutiara

menggunakan pelarut etanol 96%. Schneider, Hosseiny, Szczotka, Jordan, dan

Schlitter (2008) menyebutkan bahwa pelarut alkohol, seperti metanol dan etanol

memberikan hasil yang tinggi dalam ekstraksi asam ursolat dari tanaman. Hasil

penelitian Xia, Wang, Xu, Zhu, Song, dan Li (2011) menunjukkan bahwa pelarut

etanol memberikan hasil ekstraksi asam ursolat terbanyak dibandingkan pelarut

metanol dan air dalam ekstraksi dengan metode Microwave-Assisted Extraction.

Dalam penelitian tersebut, disebutkan pula bahwa asam ursolat dapat terdegradasi

dalam waktu tertentu, menyebabkan menurunnya hasil ekstraksi, sehingga perlu

dilakukan optimasi lama waktu ekstraksi. Wang dan Weller (2006) menyebutkan

bahwa secara umum, suhu ekstraksi dapat mempengaruhi perolehan senyawa

aktif. Peningkatan suhu medium ekstraksi dapat meningkatkan kemampuan

berdifusi pelarut ke dalam sel dan akibatnya meningkatkan kelarutan senyawa.

Oleh karena itu, perlu dilakukan optimasi suhu dan lama waktu ekstraksi untuk

mendapatkan hasil yang optimum.

Kandungan asam ursolat yang cukup banyak dalam rumput mutiara dan

sifatnya yang mudah larut dalam larutan penyari (etanol 96%) menyebabkan

ekstraksi dengan metode digesti sangat sesuai. Selain itu, metode ini

menggunakan peralatan yang sederhana dan mudah dilakukan. Pemisahan asam

ursolat dan asam oleanolat sangat sulit untuk dilakukan sehingga dalam penelitian

(24)

bahwa asam ursolat merupakan kandungan triterpen terbanyak dalam rumput

mutiara (Liang et al., 2008). Kadar triterpen total yang diperoleh dari setiap

kondisi ekstraksi akan dihitung dengan KLT-Densitometri. Terdapat banyak

keuntungan dari penggunaan Kromatografi Lapis Tipis (KLT), dimana salah satu

keuntungan utamanya adalah mampu memisahkan beberapa sampel secara

bersamaan, yang lebih menguntungkan dibandingkan Kromatografi Cair Kinerja

Tinggi (KCKT) (Watson, 2009). Densitometri merupakan metode analisis

instrumental yang didasarkan pada interaksi radiasi elektromagnetik dengan analit

yang merupakan bercak pada Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Densitometri

dimaksudkan untuk analisis kuantitatif analit dengan kadar kecil, yang

sebelumnya dilakukan pemisahan dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

(Gandjar and Rohman, 2009).

Penelitian ini dimulai dengan preparasi herba rumput mutiara meliputi

sortasi kering, pencucian, pengeringan, dan penyerbukan. Ekstraksi dilakukan

secara digesti dengan variasi suhu dan waktu ekstraksi. Analisis kuantitatif

kandungan triterpen dilakukan dengan metode KLT-Densitometri. Optimasi

proses digesti dengan variasi suhu dan waktu ekstraksi menggunakan aplikasi

desain faktorial dan dilanjutkan dengan uji ANOVA (taraf kepercayaan 95%).

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software

ubuntu-10.04-DesFaktor-0,9® by ubuntu R OpenOffice.org (www.molmod.org). Kadar triterpen

total yang diperoleh dari tiap variasi suhu dan waktu ekstraksi akan dihitung dan

dianalisis menggunakan desain faktorial untuk menentukan faktor dominan,

(25)

menentukan signifikansi faktor, dan pembuatan contour plot untuk memperoleh

area optimum suhu dan waktu ekstraksi yang menghasilkan kadar triterpen total

paling optimum pada level yang diteliti.

Tujuan penelitian ini adalah mencari area optimum kondisi proses digesti

dengan variasi suhu dan waktu ekstraksi sehingga dapat memberi solusi dalam

pengadaan ekstrak rumput mutiara yang memiliki kandungan triterpen yang

optimum.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah perbedaan suhu dan waktu ekstraksi pada proses digesti herba rumput

mutiara berpengaruh terhadap kadar triterpen total yang diperoleh?

2. Manakah faktor antara suhu, waktu ekstraksi, dan interaksi keduanya yang

paling dominan berpengaruh pada proses digesti herba rumput mutiara

sehingga diperoleh kadar triterpen total yang optimum?

3. Apakah diperoleh area suhu dan waktu ekstraksi yang optimum pada digesti

herba rumput mutiara terbatas pada level yang diteliti?

C. Keaslian Penelitian

Sejauh pengetahuan penulis, penelitian tentang optimasi suhu dan waktu

ekstraksi dalam proses digesti herba rumput mutiara terhadap kadar asam ursolat

maupun triterpen dengan aplikasi desain faktorial belum pernah dilakukan oleh

peneliti lain. Sejauh peneliti mengetahui, penetapan kadar asam ursolat pernah

(26)

Hedyotis corymbosa (L.) Lamk) dengan metode HPLC (Liang et al., 2009).

Dalam penelitian tersebut juga dilakukan validasi dan optimasi ekstraksi, dimana

pelarut yang digunakan adalah aseton dan metode penetapan kadarnya

menggunakan HPLC-DAD. Selain itu, pernah juga dilakukan isolasi terhadap

asam ursolat dari kulit apel (Yamaguchi et al., 2008), dan Ixora coccinea (Latha

et al., 2001), serta kuantifikasi asam ursolat dalam tanaman Ocimum sanctum

(Anandjiwala et al., 2006).

D. Manfaat Penelitian

Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk menambah informasi dalam

ilmu kefarmasian, khususnya mengenai pengaruh perbedaan suhu dan waktu

ekstraksi terhadap kadar triterpen total yang dihasilkan pada proses digesti serbuk

herba rumput mutiara.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan data mengenai

suhu dan waktu ekstraksi yang paling optimal untuk mendapatkan ekstrak herba

rumput mutiara yang paling optimum.

E. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menambah informasi mengenai

kondisi proses digesti yang optimal untuk memperoleh kadar triterpen total yang

(27)

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui pengaruh perbedaan suhu dan waktu ekstraksi pada proses

digesti herba rumput mutiara terhadap kadar triterpen total yang

diperoleh.

b. Mengetahui faktor antara suhu, waktu ekstraksi, dan interaksi keduanya

yang paling dominan berpengaruh pada proses digesti herba rumput

mutiara sehingga diperoleh kadar triterpen total yang optimum.

c. Mengetahui area suhu dan waktu ekstraksi yang optimum pada digesti

(28)

8 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Rumput Mutiara

1. Keterangan botani

Rumput mutiara (Hedyotis corymbosa (L.) Lamk) termasuk dalam familia

Rubiaceae. Tanaman ini memiliki sinonim Oldenlandia corymbosa L. dan nama

daerah rumput siku-siku, bunga telor belungkas (Indonesia); daun mutiara,

rumput mutiara (Jakarta); katepan, urek-urek polo (Jawa); dan pengka (Makasar)

(Wijayakesuma, 1992).

2. Morfologi

Rumput mutiara merupakan rumput yang tumbuh rindang berserak, agak

lemah, tinggi 15-35 cm, tumbuh subur pada tanah yang lembab, mempunyai

banyak percabangan. Batang bersegi, daun berhadapan bersilang, tangkai daun

pendek/hampir duduk, panjang daun 2-3,5 cm, ujung runcing, tulang daun di

tengah. Ujung daun mempunyai rambut yang pendek. Bunga keluar dari ketiak

daun, bentuknya seperti payung berwarna putih, berupa bunga majemuk 2-5,

tangkai bunga (induk) keras, panjangnya 5-10 mm. Buah bulat, ujungnya

pecah-pecah (Wijayakesuma, 1992). Buahnya bulat kukuh dan dihiasi oleh 4 helai daun

kelopak (de Voogd, 1950).

3. Kandungan kimia

Herba rumput mutiara memiliki kandungan kimia berupa asam ursolat,

asam oleanolat, stigmasterol, β-sitosterol, dan glikosida flavonoid

(29)

Gambar 1. Rumput mutiara (Hedyotis corymbosa (L.) Lamk)

4. Bagian yang dapat digunakan

Bagian tanaman yang dapat digunakan dalam pengobatan adalah seluruh

bagian dari tanaman baik dalam keadaan segar atau yang telah dikeringkan

(Wijayakesuma, 1992).

B. Terpenoid

Terpen merupakan senyawa hasil kondensasi linier asam asetat dengan dua

atom karbon. Asam asetat melalui berbagai cara akan menjadi asam malonat yang

akhirnya menjadi beberapa senyawa terpen. Terpen merupakan senyawa

hidrokarbon jenuh atau tak jenuh dengan jumlah atom C merupakan kelipatan

lima. Selanjutnya senyawa terpen digolongkan atas dasar jumlah atom C

penyusunnya. Istilah terpen diganti dengan terpenoid mengingat senyawa

hidrokarbon tersebut mempunyai gugus fungsional yang mengandung atom O,

dan diketahui bahwa biosintetik terpenoid merupakan polimerisasi senyawa

isoprena. Terpenoid digolongkan menjadi:

a. Monoterpenoid dengan jumlah atom C = 10

(30)

c. Diterpenoid dengan jumlah atom C = 20

d. Sesterpenoid dengan jumlah atom C = 25

e. Triterpenoid dengan jumlah atom C = 30

f. Tetraterpenoid dengan jumlah atom C = 40 (Mursyidi, 1990).

Secara kimia, terpenoid umumnya larut dalam lemak dan terdapat di dalam

sitoplasma sel tumbuhan. Biasanya terpenoid diekstraksi dari jaringan tumbuhan

dengan memakai eter minyak bumi, eter, atau kloroform, dan dapat dipisahkan

secara kromatografi pada silika gel atau alumina memakai pelarut di atas. Tetapi,

sering ada kesukaran sewaktu mendeteksi dalam skala mikro karena tidak

berwarna dan tidak ada pereaksi kromogenik semesta yang peka. Sering kali kita

harus mengandalkan cara deteksi yang nisbi tidak khas pada plat KLT, yaitu

penyemprotan dengan asam sulfat pekat, diteruskan dengan pemanasan (Harbone,

1987).

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam

satuan isopren dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik,

yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang nisbi rumit, kebanyakan

berupa alkohol, aldehida, atau asam karboksilat. Semua jenis triterpenoid

dipisahkan dengan cara yang serupa, terutama didasarkan kepada KLT dan KGC

(Harbone, 1987).

C. Asam Ursolat dan Asam Oleanolat

Asam ursolat, 3β-hydroxyurs-12-en-28-oic acid; urson; prunol;

micromerol; malol. C30H48O3; berat molekul 456,68 g/mol (C 78,90%, H 10,59%,

(31)

(bearberry), Vaccinium macrocarpon Art (cranberry), Rodhodendron

hymenanthas Makino, Ericaceae. Terdapat juga pada lapisan pelindung seperti

minyak pada apel, pir, prem, dan buah-buah lainnya. Larut pada suhu 15oC. 1

bagian larut dalam 88 bagian metanol, 178 bagian alkohol, 140 bagian eter, 388

bagian kloroform, 1675 bagian karbon disulfida. Cukup larut dalam aseton. Larut

dalam asam asetat glasial panas dan dalam NaOH 2% dalam alkohol. Tidak larut

dalam aquadest dan petroleum eter. Titik lebur 285o-288oC (Budavari, O`Neil,

Smith, and Heckelman, 1989).

Asam ursolat merupakan triterpenoid pentasiklik, anggota famili

cyclosqualenoid, ditemukan di banyak tanaman obat. Asam ursolat diketahui

dapat menghambat replikasi DNA, aktivitas tirosin kinase, dan ekspresi

lipoksigenase, siklooksigenase-2, menginduksi sintesis nitrit oksida, dan matriks

metalloproteinase-9. Semua efek molekuler ini dapat menyebabkan efek biologis

pleiotropis, termasuk aktivitas antibakteri, hepatoprotektif, imunomodulator,

antiproliferasi, antitumor, antiinflamasi, dan anti-angiogenik (Cardenas et al.,

2004).

Asam oleanolat, 3-hydroxyolean-12-en-28-oic acid; oleanol; caryophyllin.

C30H48O3; berat molekul 456,71 g/mol (C 78,90%, H 10,59%, O 10,51%). Berupa

serbuk halus, kristal berbentuk jarum.Titik lebur 310oC. K = 3x10-7. Tidak larut

dalam aquadest. Larut dalam 65 bagian eter, 106 bagian alkohol 95%, 35 bagian

alkohol 95% panas, 118 bagian kloroform, 180 bagian aseton, 235 bagian metanol

(32)

Asam ursolat dan asam oleanolat adalah isomer dengan struktur kimia

yang mirip, dan akibatnya sulit untuk dipisahkan (Liang et al., 2009).

Perbedaannya hanya pada konfigurasi gugus metil pada cincin E (Du and Chen,

2008).

.

Gambar 2. Struktur kimia asam oleanolat dan asam ursolat (Gbaguidi, Accrombessi, Moudachirou, and Quetin-Leclercq, 2005)

D. Pembuatan Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang

belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain simplisia

merupakan bahan yang dikeringkan. Simplisia dapat berupa simplisia nabati,

simplisia hewani, dan simplisia pelikan. Simplisia harus memenuhi persyaratan

minimal untuk menjamin keseragaman senyawa aktif, keamanan maupun

kegunaannya. Faktor yang berpengaruh adalah bahan baku simplisia, proses

pembuatan simplisia termasuk cara penyimpanan bahan baku simplisia dan cara

pengepakan dan penyimpanan simplisia (Depkes RI, 1986).

1. Pengumpulan bahan baku

Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia berbeda-beda, antara lain

tergantung pada :

(33)

a. Umur tanaman yang dipanen. Umur tanaman yang dipanen berpengaruh

pada kadar senyawa aktif. Apabila umur tanaman pada saat panen sama,

maka mutu simplisia yang dihasilkan juga akan sama.

b. Lingkungan tempat tumbuh. Lingkungan tempat tumbuh yang berbeda

dapat mengakibatkan perbedaan kadar kandungan senyawa aktif.

Pertumbuhan tanaman dipengaruhi tinggi tempat, keadaan tanah, dan cuaca.

c. Waktu panen. Waktu panen sangat erat hubungannya dengan pembentukan

senyawa aktif di dalam bagian tanaman yang akan dipanen. Waktu panen

yang tepat adalah pada saat bagian tanaman tersebut mengandung senyawa

aktif dalam jumlah yang terbesar. Panen dapat dilakukan dengan tangan,

menggunakan alat atau mesin. Dalam hal ini ketrampilan pemetik

diperlukan, agar diperoleh simplisia yang benar, tidak tercampur dengan

bagian lain dan tidak merusak tanaman induk. Alat atau mesin yang

digunakan untuk memetik perlu dipilih yang sesuai. Alat yang terbuat dari

logam sebaiknya tidak digunakan bila diperkirakan akan merusak senyawa

aktif simplisia seperti fenol, glikosida, dan sebagainya (Depkes RI, 1986).

2. Sortasi basah

Dalam proses pembuatan simplisia, setelah bahan baku dikumpulkan,

kemudian dilakukan sortasi basah terhadap bahan baku tersebut. Sortasi basah

dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing lainnya

dan bahan simplisia. Misalnya pada simplisia yang dibuat dari akar suatu

tanaman obat, bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil, rumput, batang daun,

(34)

bermacam-macam mikroba dalam jumlah yang tinggi, oleh karena itu

pembersihan simplisia dari tanah yang terikut dapat mengurangi jumlah mikroba

awal (Depkes RI, 1986).

3. Pencucian

Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya

yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih,

misalnya air dari mata air, air sumur, atau air PAM. Bahan simplisia yang

mengandung zat yang mudah larut dalam air yang mengalir, pencucian agar

dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin. Pencucian sayur-sayuran 1 kali

dapat menghilangkan 25% dari jumlah mikroba awal. Jika dilakukan pencucian

3 kali, jumlah mikroba yang tertinggal hanya 42% dari jumlah mikroba awal.

Pencucian tidak dapat membersihkan semua mikroba karena air pencucian yang

digunakan biasanya mengandung sejumlah mikroba juga (Depkes RI, 1986).

4. Pengeringan

Tujuan pengeringan ialah untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah

rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Dengan

mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik maka penurunan mutu

atau perusakan simplisia dapat dicegah. Air yang masih tersisa dalam simplisia

pada kadar tertentu dapat merupakan media pertumbuhan kapang dan jasad renik

lainnya. Pengeringan simplisia dilakukan dengan menggunakan sinar matahari

atau menggunakan suatu alat pengering. Hal-hal yang perlu diperhatikan selama

proses pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran udara,

(35)

Suhu pengeringan tergantung pada bahan simplisia dan cara

pengeringannya. Bahan simplisia dapat dikeringkan pada suhu 30-90oC, tetapi

suhu yang terbaik adalah tidak melebihi 60oC (Depkes RI, 1986).

5. Sortasi kering

Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir pembuatan

simplisia. Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda asing seperti

bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotor-pengotor lain yang masih

ada dan tertinggal pada simplisia kering (Depkes RI, 1986).

E. Penyarian

Penyarian (ekstraksi) merupakan kegiatan penarikan zat yang dapat larut

dari bahan yang tidak dapat larut dengan cairan penyari. Pada proses penyarian

terjadi perpindahan masa zat aktif yang semula berada di dalam sel akan ditarik

oleh cairan penyari. Hasil penyarian akan semakin baik apabila ukuran serbuk

semakin halus, karena permukaan serbuk simplisia yang bersentuhan dengan

cairan penyari semakin luas, tetapi dalam pelaksanaannya tidak selalu demikian,

karena penyarian masih tergantung juga pada sifat fisik dan kimia simplisia yang

bersangkutan. Simplisia yang terlalu halus akan memberikan kesulitan pada

proses penyaringan. Serbuk yang terlalu halus akan mempersulit penyaringan,

karena butir-butir halus tadi membentuk suspensi yang sulit dipisahkan dengan

hasil penyarian. Hasil penyarian tidak murni lagi tetapi tercampur dengan

partikel-partikel halus tadi. Penyerbukan yang terlalu halus menyebabkan banyak dinding

sel yang pecah, sehingga zat yang tidak diinginkan pun ikut ke dalam hasil

(36)

Pada pengeringan tumbuhan segar maka protoplasma akan mengkerut.

Mengalirnya bahan pelarut ke dalam ruang sel juga menyebabkan protoplasma

membengkak, dan bahan kandungan sel akan terlarut sesuai dengan kelarutannya.

Bahan kandungan sel berpindah, sejauh bahan tersebut terlarut molekuler,

mengikuti difusi melalui ruang antarmiselar. Faktor pendorong yang bekerja

adalah adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan cairan

penyari yang mula-mula masih tanpa bahan aktif yang mengelilinginya. Bahan

kandungan sel akan mencapai ke dalam cairan di sebelah luar selama difusi

melintasi membran sampai terbentuknya suatu keseimbangan konsentrasi antara

larutan di sebelah dalam dan di sebelah luar sel (Voigt, 1994).

1. Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair yang dibuat dengan

menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok (Depkes RI,

1979). Menurut Voigt (1994), ekstrak dikelompokkan menurut sifat-sifatnya

menjadi:

a. Ekstrak encer (extractum tenue). Sediaan ekstrak encer ini memiliki

konsistensi madu dan mudah dituang.

b. Ekstrak kental (extractum spissum). Sediaan ekstrak kental ini memiliki

konsistensi liat dalam keadaan dingin dan tidak dapat dituang serta

kandungan airnya berjumlah sampai 30%.

c. Ekstrak kering (extractum siccum). Sediaan ekstrak kering ini memiliki

konsistensi kering dan mudah digosokkan dengan kandungan lembab tidak

(37)

d. Ekstrak cair (extractum fluidum). Pada ekstrak cair memiliki konsistensi cair

dan mudah dituang.

Ekstrak kering adalah ekstrak dimana semua pelarutnya diuapkan sampai

semua pelarut menguap (Sumaryono, 2004).

2. Cairan penyari

Pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi harus memenuhi syarat

berikut:

a. Memiliki selektivitas tinggi terhadap zat yang akan diekstraksi.

b. Tidak bereaksi dengan zat yang akan diekstraksi dan dengan zat lain yang

ada dalam tanaman.

c. Murah.

d. Tidak berbahaya bagi manusia dan lingkungan.

e. Mudah menguap.

Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol, atau

pelarut lainnya. Penyarian pada perusahaan obat tradisional masih terbatas pada

penggunaan cairan penyari air, etanol, atau air-etanol. Etanol dipertimbangkan

sebagai penyari karena lebih selektif, kapang dan kuman sulit tumbuh dalam

etanol 20% ke atas, tidak beracun, netral, absorbsinya baik, etanol dapat

bercampur dengan air pada segala perbandingan, panas yang diperlukan untuk

pemekatan lebih sedikit (Depkes RI, 1986).

Etanol mengandung tidak kurang dari 92,3% b/b dan tidak lebih dari

93,8% b/b, setara dengan tidak kurang dari 94,9% v/v dan tidak lebih dari 96%

(38)

tidak berwarna. Bau khas dan menyebabkan rasa terbakar pada lidah. Mudah

menguap walaupun pada suhu rendah dan mendidih pada suhu 78oC. Bercampur

dengan air dan praktis larut dengan semua pelarut organik (Depkes RI, 1995).

3. Digesti

Digesti adalah cara maserasi dengan menggunakan pemanasan lemah,

yaitu pada suhu 40o-50oC. Cara maserasi ini hanya dapat dilakukan untuk

simplisia yang zat aktifnya tahan terhadap pemanasan. Dengan pemanasan akan

diperoleh keuntungan antara lain:

a. Kekentalan pelarut berkurang, yang dapat mengakibatkan berkurangnya

lapisan-lapisan batas.

b. Daya melarutkan cairan penyari akan meningkat, sehingga pemanasan

tersebut mempunyai pengaruh yang sama dengan pengadukan.

c. Koefisien difusi berbanding lurus dengan suhu absolut dan berbanding

terbalik dengan kekentalan, hingga kenaikan suhu akan berpengaruh pada

kecepatan difusi. Umumnya kelarutan zat aktif akan meningkat bila suhu

dinaikkan (Depkes RI, 1986).

Pada proses maserasi, cairan penyari akan menembus dinding sel dan

masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan

karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di luar sel dan di

dalam sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut

berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar dan di

dalam sel. Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol

(39)

Pengadukan diperlukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir

serbuk simplisia, sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya

derajat perbedaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di dalam sel

dengan larutan di luar sel. Penggunaan mesin pengaduk yang berputar

terus-menerus dapat mempersingkat waktu proses ekstraksi menjadi 6 sampai 24 jam

(Depkes RI, 1986).

4. Penguapan

Penguapan merupakan proses terbentuknya uap dari permukaan cairan.

Kecepatan terbentuknya uap tergantung pada difusi uap melalui lapisan batas di

atas cairan yang diuapkan. Kecepatan penguapan tergantung pada kecepatan

pemindahan panas. Oleh karena itu luas permukaan penguapan harus seluas

mungkin dan lapisan batas dikurangi (Depkes RI, 1986).

F. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi adalah cara pemisahan zat khasiat dan zat lain yang ada

dalam sediaan dengan jalan penyarian berfraksi, penyerapan, atau penukaran ion

pada zat berpori, menggunakan cairan atau gas yang mengalir. Kromatografi lapis

tipis (KLT) digunakan untuk pemisahan senyawa secara cepat, dengan

menggunakan zat penjerap berupa serbuk halus yang dilapiskan rata pada

lempeng kaca (Depkes RI, 1979).

Campuran yang akan dipisahkan, berupa larutan, ditotolkan berupa bercak

atau pita. Setelah plat atau lapisan ditaruh di dalam bejana tertutup rapat yang

berisi fase gerak yang cocok, pemisahan terjadi selama pengembangan.

(40)

Fase diam dibuat dari salah satu penjerap yang khusus digunakan untuk

KLT yang dihasilkan oleh berbagai perusahaan. Panjang lapisan tersebut 200 nm

dengan lebar 200 atau 100 mm. Untuk analisis, tebalnya 0,1-0,3 mm, biasanya 0,2

mm. Sebelum digunakan, lapisan disimpan dalam lingkungan yang tidak lembab

atau bebas dari uap laboratorium (Stahl, 1985).

Fase diam yang umum ialah silika gel, aluminium oksida, kieselgur,

selulosa dan turunannya, dan lain-lain. Silika gel paling banyak digunakan (Stahl,

1985). Silika gel GF254 artinya silika tersebut mengandung gypsum (CaSO4½H2O)

yang merupakan pengikat, dengan cara meningkatkan gaya adhesi antara partikel

senyawa dengan silika dan juga meningkatkan gaya adhesi antar partikel silika.

F254 adalah indikator fosforesensi pada panjang gelombang 254 nm yang berarti

silika tersebut dapat berfosforesensi pada panjang gelombang 254 nm (Jork,

1990).

Fase gerak ialah medium angkut dan terdiri atas satu atau beberapa pelarut.

Pelarut bergerak di dalam fase diam, yaitu suatu lapisan berpori, karena ada gaya

kapiler. Pelarut yang digunakan hanyalah bertingkat mutu analitik dan bila

diperlukan, sistem pelarut multikomponen ini harus berupa suatu campuran

sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum tiga komponen (Stahl, 1985).

Bercak ditotolkan pada jarak 15 mm dari tepi lapisan bawah. Jarak suatu

bercak awal, yang berukuran 3-5 mm, ke bercak awal lainnya dan jarak antara

bercak paling pinggir dengan tepi samping sekurang-kurangnya 10 mm. Lapisan

fase diam tidak boleh rusak selama penotolan cuplikan itu. Biasanya ditotolkan

(41)

mikropipet berujung runcing, khusus berskala 1 µL dan bervolume 10 µL (Stahl,

1985).

Di samping larutan cuplikan, selalu ada suatu campuran pembanding yang

dikembangkan pada waktu bersamaan. Campuran ini terdiri atas 1-5 senyawa

yang diketahui, dengan konsentrasi yang telah diketahui pula. Bila mungkin,

senyawa pembanding ini sama dengan senyawa yang terdapat dalam larutan

cuplikan (Stahl, 1985).

Bejana harus dapat menampung plat 200 x 200 mm dan harus tertutup

rapat. Untuk kromatografi dalam bejana yang jenuh, secarik kertas saring bersih

yang lebarnya 18-20 cm dan panjangnya 45 cm ditaruh pada dinding sebelah

dalam bejana berbentuk U dan dibasahi dengan pelarut pengembang. Tingkat

kejenuhan bejana mempunyai pengaruh yang nyata pada pemisahan dan letak

bercak (Stahl, 1985).

Proses kerja dengan KLT yaitu dengan menempatkan pada dua sisi bejana

kromatografi, 2 helai kertas saring, tinggi 18 cm, lebar sama dengan panjang

bejana. Larutan fase gerak dimasukkan kurang lebih 100 mL ke dalam bejana

kromatografi hingga tinggi pelarut 0,5 cm sampai 1 cm, kemudian ditutup rapat

dan kertas saring harus basah seluruhnya. Pada dasar bejana, kertas saring harus

tercelup ke dalam pelarut. Tahap selanjutnya yaitu dilakukan penotolan larutan

sampel dan standar, menurut cara yang tertera pada masing-masing monografi

dengan jarak kira-kira 1,5-2 cm dari tepi bawah lempeng, biarkan kering. Bejana

kemudian ditutup rapat dan dibiarkan hingga pelarut merambat 10-15 cm di atas

(42)

Terdapat berbagai kemungkinan untuk deteksi senyawa tak berwarna pada

kromatogram. Deteksi paling sederhana adalah jika senyawa menunjukkan

penyerapan di daerah UV 254 nm atau jika senyawa itu dapat dieksitasi ke

fluorosensi radiasi UV 365 nm. Selain itu, senyawa juga dapat dideteksi dengan

pereaksi semprot dan pemanasan (Stahl, 1985).

Identifikasi senyawa pada lempeng KLT dinyatakan dengan harga Rf.

Angka ini diperoleh dengan membagi jarak yang ditempuh oleh totolan cuplikan

dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut. Keduanya diukur dari titik awal, dan

harga Rf beragam mulai dari 0 sampai 1 (Gritter, 1985). Penilaian visual

kromatogram diperoleh dengan pengamatan 2 bercak dengan harga Rf dan ukuran

yang hampir sama (Depkes RI, 1979). Selain itu, beberapa sifat, misalnya

fluorosensi atau pemadaman fluorosensi, dan terutama warna hasil reaksi warna

juga dapat dijadikan penilaian visual. Informasi mengenai identitas seringkali

dapat juga diperoleh dengan membandingkan perubahan warna pada pemanasan,

dan selanjutnya pada penyimpanan plat (Stahl, 1985).

Dengan menggunakan KLT, pemisahan senyawa yang amat berbeda

seperti senyawa organik alam dan senyawa organik sintetik, kompleks

anorganik-organik, dan bahkan ion ananorganik-organik, dapat dilakukan dalam beberapa menit dengan

biaya yang tidak terlalu mahal. Kelebihan KLT yang lain ialah pemakaian pelarut

dan cuplikan yang jumlahnya sedikit (Gritter, 1985).

G. Densitometri

Densitometri merupakan salah satu metode analisis KLT kuantitatif.

(43)

dipisahkan, dibandingkan dengan kerapatan bercak senyawa standar yang dielusi

bersama-sama. Syarat-syarat senyawa standar adalah murni, inert, dan stabil

(Hardjono, 1983).

Alat densitometri mempunyai sumber sinar yang bergerak di atas bercak

pemisahan pada lempeng kromatografi yang akan ditetapkan kadar komponennya.

Lazimnya lempeng itu digerakkan menyusuri berkas sinar tersebut. Bercak yang

kecil dan intensif akan menghasilkan suatu puncak kurva absorbsi yang sempit

dan tajam, sebaliknya bercak yang lebar akan menghasilkan puncak kurva

absorbsi yang melebar dan tumpul (Sudjadi, 1988).

Banyak sinar yang direfleksikan akan ditangkap oleh suatu alat yang

disebut reflection photomultiplier yang akan diteruskan ke pencatat atau rekorder

untuk diubah menjadi suatu puncak atau kromatogram. Luas puncak atau tinggi

puncak sesuai dengan konsentrasi senyawa pada noda yang dukur kerapatannya

(Mintarsih, 1990).

Penelusuran bercak akan mendapatkan hasil yang baik apabila dilakukan

pada panjang gelombang maksimum, karena perubahan konsentrasi pada bercak

sedikit saja sudah dapat terdeteksi. Pengukuran dilakukan dengan menelusuri

bercak yang akan ditetapkan kadarnya pada kisaran panjang gelombang zat

tersebut (Mintarsih, 1990).

Plat yang digunakan untuk KLT-densitometri sebaiknya digunakan plat

buatan pabrik karena pada plat buatan sendiri fase diamnya kurang kompak,

sehingga akan mempengaruhi hasil penelusuran dengan densitometri yaitu berupa

(44)

fase diam sedangkan puncak yang kasar disebabkan permukaan plat yang kurang

rata (Mintarsih, 1990).

Teknik pengukuran dapat didasarkan atas pengukuran intensitas sinar yang

diserap (absorbansi), intensitas sinar yang dipantulkan (reflaktansi), atau intensitas

sinar yang difluorosensikan. Teknik pengukuran berdasarkan refleksi dimana sinar

datang sebagian diserap dan sebagian lagi dipantulkan (Mintarsih, 1990).

Ada dua cara penetapan kadar dengan alat densitometer. Pertama, setiap

kali penetapan ditotolkan sediaan baku dari senyawa yang bersangkutan dan

dielusi bersama dalam satu lempeng, kemudian AUC (luas daerah di bawah

kurva) sampel dibandingkan dengan harga AUC zat baku. Yang kedua, dengan

membuat kurva baku hubungan antara jumlah zat baku dengan AUC. Kurva baku

diperoleh dengan membuat totolan zat baku pada plat KLT dengan

bermacam-macam konsentrasi (minimal 3 bermacam-macam konsentrasi). Bercak yang diperoleh dicari

AUC nya dengan alat densitometer. Dari kurva baku diperoleh persamaan y = bx

+ a, dimana x adalah banyaknya zat yang ditotolkan dan y adalah AUC

(Supardjan, 1987).

H. Desain Faktorial

Metode desain faktorial adalah sistem desain eksperimental dimana

faktor-faktor yang terlibat dalam suatu reaksi atau proses dapat dievaluasi secara

simultan dan mengukur efek dari faktor-faktor tersebut. Teknik ini bisa diterapkan

dalam masalah farmasi, dan menjadi dasar bagi berbagai macam percobaan atau

(45)

Desain faktorial sederhana salah satunya adalah dengan dua faktor pada

dua level (rendah dan tinggi). Hal ini berarti ada dua faktor yang masing-masing

faktor diuji pada dua level yang berbeda, yaitu pada level rendah dan tinggi

(Bolton, 1990).

Optimasi campuran dua bahan (berarti ada dua faktor) dengan desain

faktorial (two level factorial design) dilakukan berdasarkan:

Y = bo + b1X1 + b2X2 + b12X1X2

Pada desain faktorial dua level dan dua faktor diperlukan empat percobaan

(2n = 4, dengan 2 menunjukkan level dan n menunjukkan jumlah faktor).

Penamaan formula untuk 4 percobaan adalah formula (1) untuk percobaan I,

formula a untuk percobaan II, formula b untuk percobaan III, dan formula ab

untuk percobaan IV (Bolton, 1990).

Rancangan percobaan desain faktorial sebagai berikut:

Tabel I. Rancangan percobaan desain faktorial dengan dua faktor dan dua level

Percobaan Faktor A Faktor B Interaksi

1 - - +

(46)

Percobaan a = faktor A level tinggi, faktor B rendah Percobaan b = faktor A level rendah, faktor B tinggi

Percobaan ab = faktor A level tinggi, faktor B tinggi (Bolton, 1997).

Efek masing-masing faktor dan interaksinya dapat dihitung sebagai

rata-rata selisih antara respon pada level rendah dengan respon pada level tinggi. Efek

dan interaksi faktor yang diteliti dapat dirumuskan menjadi persamaan berikut :

Efek faktor A = ( + )−( + 1)

2

Efek faktor B =( ) ( )

Interaksi = ( 1+ )−( + )

2 (Bolton, 1997).

Desain faktorial memiliki beberapa keuntungan. Metode ini memiliki

efisiensi yang maksimum untuk memperkirakan efek yang dominan dalam

menentukan respon. Keuntungan utama desain faktorial adalah bahwa metode ini

memungkinkan untuk mengidentifikasi efek masing-masing faktor, maupun efek

interaksi antar faktor. Metode ini ekonomis, dapat mengurangi jumlah penelitian

jika dibandingkan dengan meneliti dua efek faktor secara terpisah (Bolton, 1997).

I. Landasan Teori

Rumput mutiara memiliki kandungan kimia utama berupa asam ursolat

dan asam oleanolat (Liang et al., 2008). Asam ursolat memiliki banyak fungsi

antara lain antibakteri, hepatoprotektif, imunomodulator, antiproliferasi,

antitumor, antiinflamasi, dan anti-angiogenik (Cardenas et al., 2004). Satu bagian

asam ursolat larut dalam 178 bagian etanol (Budavari et al., 1989). Dalam

(47)

(2008) disebutkan bahwa pelarut alkohol, seperti metanol dan etanol memberikan

hasil yang tinggi dalam ekstraksi asam ursolat dari tanaman.

Asam ursolat dan asam oleanolat adalah isomer dengan struktur kimia

yang mirip, dan akibatnya sulit untuk dipisahkan (Liang et al., 2009). Oleh karena

itu, dalam penelitian ini, kadar triterpen total yang akan dihitung sebagai kadar

asam ursolat.

Optimasi pada penelitian ini dilakukan pada faktor suhu dan waktu

ekstraksi sebab kedua faktor ini merupakan faktor yang berpengaruh dan dapat

dikendalikan dalam proses digesti, untuk mendapatkan kadar triterpen total yang

optimum. Kedua faktor ini penting untuk dioptimasi sebab dalam penelitian yang

dilakukan oleh Xia et al. (2011), disebutkan bahwa asam ursolat dapat

terdegradasi dalam waktu tertentu, menyebabkan menurunnya hasil ekstraksi,

sehingga perlu dilakukan optimasi lama waktu ekstraksi. Selain itu, Wang dan

Weller (2006) menyebutkan bahwa secara umum, suhu ekstraksi dapat

mempengaruhi perolehan senyawa aktif. Peningkatan suhu medium ekstraksi

dapat meningkatkan kemampuan berdifusi pelarut ke dalam sel dan akibatnya

meningkatkan kelarutan senyawa, namun tidak semua senyawa tahan terhadap

suhu yang tinggi.

J. Hipotesis

Hipotesis yang dapat diajukan pada penelitian ini antara lain:

1. Perbedaan suhu dan waktu ekstraksi pada proses digesti herba rumput mutiara

(48)

2. Dapat diketahui faktor antara suhu, waktu, atau interaksi keduanya yang

diprediksi paling dominan berpengaruh pada proses digesti herba rumput

mutiara sehingga diperoleh kadar triterpen total yang optimum.

3. Diperoleh area prediksi suhu dan waktu ekstraksi yang optimum pada digesti

(49)

29 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental ganda karena ada

intervensi atau perlakuan terhadap subyek uji, dengan dua faktor yaitu suhu dan

waktu ekstraksi, menggunakan aplikasi desain faktorial.

B. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas

Suhu dan waktu ekstraksi, masing-masing dengan 2 macam level. Suhu

ekstraksi yang digunakan untuk level rendah adalah 30oC sedangkan untuk level

tinggi adalah 60oC. Waktu ekstraksi untuk level rendah adalah 2 jam sedangkan

untuk level tinggi adalah 4 jam.

2. Variabel tergantung

Kadar triterpen total dalam ekstrak.

3. Variabel pengacau

a.Variabel pengacau terkendali. Varietas tumbuhan, kecepatan pengadukan,

lingkungan tempat tumbuh, waktu panen.

b.Variabel pengacau tidak terkendali. Umur tumbuhan.

C. Definisi Operasional

1. Simplisia adalah bahan tanaman yang belum mengalami pengolahan apapun

(50)

2. Simplisia rumput mutiara yang dimaksud ialah serbuk simplisia dari herba

rumput mutiara (Hedyotis corymbosa (L.) Lamk) yang telah mengalami

pencucian, sortasi basah, pengeringan selama 5 hari pada suhu 60oC, sortasi

kering, penyerbukan, dan pengayakan dengan ayakan no. mesh 12 dan 50.

3. Digesti adalah suatu metode ekstraksi dengan cara merendam dan mengaduk

dengan stirrer simplisia rumput mutiara dalam cairan penyari etanol 96% dan

perbandingan simplisia dan cairan penyari (1:10), dengan menggunakan

variasi suhu dan waktu ekstraksi.

4. Ekstrak yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah ekstrak kering yang

diperoleh dari digesti simplisia rumput mutiara yang sebelumnya telah

didefatisasi dengan petroleum eter (40o-60oC), yang telah disaring dengan

kertas saring dan dibantu dengan vacuum, serta diuapkan cairan penyarinya,

pertama-tama dengan waterbath hingga kental lalu dilanjutkan dengan oven

hingga bobot tetap.

5. Cairan penyari yang digunakan dalam penelitian ini adalah etanol 96%.

6. Faktor adalah besaran yang mempengaruhi respon, dalam penelitian ini

digunakan 2 faktor, yaitu suhu dan waktu ekstraksi.

7. Level yang dimaksud adalah nilai dari faktor. Terdiri dari level rendah dan

level tinggi. Level rendah suhu digesti adalah 30oC dan level rendah waktu

digesti adalah 2 jam. Level tinggi suhu digesti adalah 60oC dan level tinggi

(51)

8. Respon adalah besaran yang akan diamati perubahan efeknya. Dalam

penelitian ini respon yang diamati adalah kadar triterpen total dalam ekstrak

yang ditentukan secara KLT-Densitometri.

D. Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah herba rumput

mutiara yang dikumpulkan dari lingkungan Kampus III Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta pada bulan Juni - Agustus 2011, baku asam ursolat

(Sigma-Aldrich, No. Lot BCBD0299V, kemurnian 99,0 %), etanol 96% teknis (Brataco

Chemica), metanol p.a. (E. Merck), toluen p.a. (E. Merck), aseton p.a. (E. Merck),

asam asetat glasial p.a. (E. Merck), petroleum eter p.a. (E.Merck, b.p. 40-60oC),

asam sulfat p.a. (E. Merck), plat KLT silika gel 60 F254 (E. Merck).

E. Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat

KLT-Densitometri (Camag TLC Scanner 3 CAT. No. 027.6485 SER. No.

160602), autosampler (Linomat 5 No. 170610), mikropipet Scorex, lemari

pengering, blender, ayakan dengan no. mesh 12 dan 50 (Retsch), neraca analitik

(Mettler Toledo AB204), termometer, waterbath (Gerhardt), hotplate magnetic

stirrer (Cenco Instrumenten b.v.), vacuum, oven (Marius Instrumenten), dan

(52)

F. Tata Cara Penelitian

1. Determinasi rumput mutiara

Determinasi tumbuhan rumput mutiara dilakukan dengan mencocokan

ciri-ciri tumbuhan dengan kunci determinasi menurut Backer dan van Der Brink

(1965).

2. Pembuatan simplisia rumput mutiara

a.Pengumpulan bahan. Rumput mutiara dikumpulkan dari lingkungan

sekitar Kampus III Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada bulan Juni –

Agustus 2011.

b.Sortasi Basah. Sortasi basah dilakukan dengan cara dipisahkan dari

benda-benda asing seperti bagian tumbuhan yang tidak diinginkan (akar, ranting kering,

dan daun kering) dan juga dari pengotor lain yang masih tertinggal.

c.Pencucian. Pencucian dilakukan dengan air mengalir hingga bersih.

d.Pengeringan. Pengeringan awal dilakukan dengan mengangin-anginkan

hingga tidak ada lagi air sisa pencucian di permukaan tanaman. Pengeringan

dilanjutkan dalam lemari pengering dengan suhu 60oC selama 5 hari.

e.Pembuatan serbuk. Pembuatan serbuk dilakukan dengan menggunakan

blender lalu diayak dengan ayakan no. mesh 12-50.

3. Pembuatan ekstrak rumput mutiara

a. Defatisasi serbuk simplisia. Serbuk simplisia dipisahkan dari

senyawa-senyawa non polar menggunakan pelarut petroleum eter dengan maserasi selama

1 jam, dengan perbandingan serbuk-penyari 1:10 dan kecepatan pengadukan 250

(53)

kemudian dioven pada suhu 60oC untuk menguapkan petroleum eter. Residu

sampel kering siap diekstraksi.

b. Optimasi kondisi pembuatan ekstrak rumput mutiara. Sebanyak 5 gram

serbuk simplisia yang telah didefatisasi dimasukkan masing-masing ke dalam 4

Erlenmeyer bertutup. Etanol 96% dengan volume 50 mL ditambahkan ke dalam

masing-masing Erlenmeyer.

Tabel II. Perbandingan suhu dan waktu digesti Suhu (oC) Waktu (jam)

hingga tanda batas. Sebanyak 5 mL filtrat diuapkan di atas waterbath (suhu 70oC)

hingga didapatkan ekstrak kental. Penguapan dilanjutkan di dalam oven dengan

suhu 80oC hingga bobot tetap.

4. Penetapan kandungan triterpen total

a. Pembuatan fase gerak. Dibuat campuran toluen – aseton – asam asetat

(90:10:0,07 v/v).

b. Pembuatan pelarut. Dibuat campuran metanol dan kloroform dengan

perbandingan 4:1.

(54)

d. Pembuatan larutan baku asam ursolat

1) Pembuatan larutan stok asam ursolat 1000 ppm

Sejumlah lebih kurang 10,0 mg baku asam ursolat ditimbang seksama

kemudian dilarutkan dalam pelarut hingga volume tepat 10,0 mL.

2) Pembuatan larutan baku asam ursolat

Sebanyak 0,500 mL; 1,000 mL; 1,500 mL; 2,000 mL; dan 2,500 mL;

larutan stok asam ursolat diambil dan dimasukkan ke dalam labu ukur 5

mL kemudian diencerkan dengan pelarut hingga tanda, sehingga diperoleh

konsentrasi 100 ppm, 200 ppm, 300 ppm, 400 ppm, dan 500 ppm.

e. Penetapan panjang gelombang serapan maksimum. Seri larutan baku

konsentrasi 100 ppm, 300 ppm, dan 500 ppm masing-masing ditotolkan dengan

volume penotolan 2 µL pada plat KLT dengan fase diam silika gel 60 F254 dan

setelah kering dikembangkan dalam bejana kromatografi yang telah dijenuhi

dengan fase gerak. Setelah mencapai jarak rambat 10 cm, plat dikeluarkan dari

bejana dan dikeringkan. Pengembangan dengan cara yang sama dilakukan

sebanyak 3 kali. Selanjutnya, bercak ditampakkan dengan menggunakan reagen

pendeteksi yang dilanjutkan dengan pemanasan dalam oven suhu 110oC selama 3

menit. Plat KLT discanning panjang gelombang serapan maksimumnya dengan

densitometer.

f. Pembuatan kurva baku, pengamatan nilai Retardation Factor (Rf) asam

ursolat, dan penentuan linearitas. Seri larutan baku konsentrasi 100 ppm, 200

ppm, 300 ppm, 400 ppm, dan 500 ppm, diperlakukan seperti poin 4e. Plat KLT

(55)

dilakukan sebanyak 3 kali dan pilih persamaan kurva baku yang paling baik.

Selain itu dilihat pula nilai Rf dari masing-masing seri baku asam ursolat dan

linearitas metode (dilihat dari harga r (koefisien korelasi) hasil pengukuran seri

baku asam ursolat).

g. Penentuan recovery, resolusi, Coefficient of Variations (CV), dan range.

Seri larutan baku konsentrasi 100 ppm, 300 ppm, dan 500 ppm diberi perlakuan

seperti pada poin 4.e. Replikasi dilakukan sebanyak 3 kali. Selanjutnya kadar

terukur dihitung dengan menggunakan persamaan kurva baku. Berdasarkan data

ini dapat ditentukan:

4) Penentuan range. Range merupakan interval konsentrasi analit yang

memenuhi persyaratan linearitas, akurasi, dan presisi.

h. Penentuan recovery dan Coefficient of Variations (CV) baku dalam

matriks sampel.

1) Preparasi larutan sampel (LS). Ekstrak kering dilarutkan dengan pelarut

hingga 10 mL. Kemudian 3,5 mL larutan tadi diambil dan dimasukkan ke

(56)

2) Pembuatan larutan sampel dengan adisi (LSAU). Sebanyak 3,5 mL larutan

sampel (LS) diambil dan dimasukkan ke dalam labu takar 5 mL. Larutan

tersebut ditambah dengan 0,5 mL larutan stok asam ursolat 1000 ppm dan

diencerkan dengan pelarut hingga tanda sehingga diperoleh kadar ± 375

ppm.

3) Pengembangan dan pengukuran. LS dan LSAU diberi perlakuan seperti pada

poin e.4. Setelah itu dihitung kadar baku asam ursolat dalam sampel. Kadar

baku asam ursolat dalam sampel adalah selisih kadar LSAU dengan kadar LS.

Selanjutnya dihitung recovery dan CVnya.

% recovery = ( + ) − x 100%

i. Analisis kualitatif. Ekstrak kering dilarutkan menggunakan pelarut

kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL dan ditambahkan pelarut hingga

tanda batas. Larutan ekstrak bersama baku asam ursolat (300 ppm), diperlakukan

seperti poin 4e. Setelah proses derivatisasi tersebut, bercak diamati di bawah

cahaya biasa. Analisis kualitatif juga dilakukan dengan cara menghitung Rf tiap

bercak dibandingkan dengan harga Rf baku asam ursolat serta membandingkan

pola spektra bercak yang memiliki Rf identik dengan baku dengan pola spektra

baku.

j. Analisis Kuantitatif. Ekstrak kering dilarutkan menggunakan pelarut

kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL dan ditambahkan pelarut hingga

tanda batas. Larutan ekstrak diperlakukan seperti poin 4e. Plat KLT diukur AUC

(57)

5. Analisis hasil

Kadar triterpen total (% b/b) dalam sampel dari setiap kondisi dan setiap

replikasi yang didapat, kemudian dianalisis dengan menggunakan aplikasi desain

faktorial menggunakan software Ubuntu-10.04-DesFaktor-0.9® by Ubuntu R

OpenOffice.org (www.molmod.org). Pendekatan desain faktorial yang digunakan

untuk menghitung koefisien a, b, ab, sehingga didapatkan persamaan Y = b0 +

b1(XA) + (b2(XB) + b12(XA)(XB). Dari persamaan ini dapat dibuat suatu profil yang

menggambarkan profil kadar triterpen total (% b/b) dari hasil digesti herba rumput

mutiara dengan adanya perbedaan kondisi perlakuan antara suhu dan waktu

ekstraksi yang digunakan. Hasil profil yang diperoleh berdasarkan rumus

digunakan untuk menentukan kombinasi antara suhu dan waktu ekstraksi yang

menghasilkan kadar triterpen total (% b/b) yang paling optimum. Penentuan

(58)

38 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Determinasi Tanaman

Determinasi tanaman dilakukan untuk mendapatkan kepastian kebenaran

tanaman yang diselidiki sesuai dengan yang dimaksud dalam penelitian.

Determinasi dilakukan oleh Laboratorium Farmakognosi Fitokimia, Fakultas

Farmasi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dengan mencocokkan ciri-ciri

tanaman dengan kunci determinasi yang ada dalam buku Flora of Java (Backer

and van Der Brink, 1965). Hasil determinasi menunjukkan bahwa tanaman yang

digunakan dalam penelitian ini adalah Hedyotis corymbosa (L.) Lamk (Lampiran

1).

B. Pengumpulan Bahan dan Pembuatan Serbuk Simplisia

1. Pengumpulan bahan

Herba rumput mutiara yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari area

Kampus III Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada bulan Juni - Agustus

2011. Tanaman ini belum dibudidayakan sehingga faktor umur tanaman tidak

dapat dikendalikan. Dalam penelitian ini, faktor yang dikendalikan adalah waktu

panen, lingkungan tempat tumbuh dan varietas tanaman.

Waktu panen sangat erat hubungannya dengan pembentukan senyawa aktif

di dalam bagian tanaman yang akan dipanen. Waktu panen yang tepat adalah pada

saat bagian tanaman tersebut mengandung senyawa aktif dalam jumlah yang

Gambar

Gambar 20. Grafik hubungan suhu dan waktu ekstraksi terhadap kadar
Gambar 1. Rumput mutiara (Hedyotis corymbosa (L.) Lamk)
Gambar 2. Struktur kimia asam oleanolat dan asam ursolat (Gbaguidi,
Tabel I. Rancangan percobaan desain faktorial dengan dua faktor dan dua level
+7

Referensi

Dokumen terkait

Volume Penjualan merupakan hasil akhir yang dicapai perusahaan dari penjualan produk yang dilakukan oleh salesman dan tenaga penjual lainnya. Volume Penjualan

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa produksi perekat sepatu kanvas dari kopolimer lateks karet alam-MMA ( NRL-g-PMMA ) yang meliputi optimasi proses kopolimerisasi

Jenis penelitian yang digunakan adalah desain penelitian tindakan kelas. Dimana dalam model ini digambarkan bahwa penelitian tindakan kelas adalah penelitian yang

Berdasarkan hasil sidik ragam, perlakuan waktu pemberian bokashi (B) berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman umur 15 hari, umur 30 hari, umur 45 hari,

Demikianlah berita acara serah terima barang ini di perbuat oleh kedua belah pihak, adapun barang-barang tersebut dalam keadaan baik dan cukup, sejak

Informasi yang diminta dalam metadata mencakup metode yang digunakan untuk estimasi erosi tanah dan jenis penggunaan lahan dimana data yang

1.. Huruf Awal, Tengah, dan Akhir.. Penulisan kata-kata Arab dilakukan dengan menggabungkan huruf-huruf Arab sesuai dengan kedudukan masing-masing huruf yang terdiri dari

Hasil penelitian menunjukan bahwa hambatan yang terjadi pada rantai nilai Tembakau Kasturi berdasarkan temuan lapang dapat didentifikasi sebagai berikut: Kurangnya penerapan