1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wisata yang sering dikenal dengan istilah traveling kini telah menjadi semakin dikenal oleh masyarakat, bukan hanya sebagai kegiatan jalan-jalan atau rekreasi, namun
kini telah menjadi bagian dari gaya hidup atau lifestyle. Data dari Pusdatin
Kemenparekraf dan BPS memperlihatkan sebanyak 250an juta perjalanan dilakukan oleh wisatawan nusantara pada tahun 2013 lalu, dengan total pengeluaran 177,84 triliun rupiah. Purnomo (2014) menyebutkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia, yaitu mencapai 253.609.643 jiwa per 2014 (berdasarkan biro sensus AS, dikutip dari www.finance.detik.com). Dengan begitu, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk mendapat pemasukan devisa yang
tinggi dari pariwisata apabila memaksimalkan kunjungan oleh wisatawan nusantara.
Antusiasme masyarakat Indonesia terhadap gaya hidup traveling dapat dilihat dari
maraknya acara wisata yang saat ini sangat banyak ditayangkan di televisi, diterbitkannya buku-buku panduan, majalah, dan jurnal wisata. Media internet juga diramaikan dengan website resmi, portal pribadi, maupun grup traveler di sosial media yang memberikan informasi tentang perjalanan ke tempat-tempat wisata sehingga informasi dapat dengan mudah diakses semua orang. Dengan mudahnya akses dan pertukaran informasi, merancang suatu perjalanan sendiri tanpa bantuan agen perjalanan menjadi hal yang lazim dilakukan. Jenis kegiatan wisata seperti itu disebut traveling
mandiriatau independent traveling, termasuk di dalamnya backpacking.
Backpacking saat ini telah menjadi tren wisata sehingga turis dengan karakteristik
makna dari kata backpacker itu sendiri, mereka membawa tas punggung atau backpack
sebagai alat angkut perlengkapan wisata mereka. Pearce (1990) membedakan
backpacker dengan traveler lain menggunakan lima kriteria, yaitu (1) preferensi akomodasi dengan budget rendah, (2) penekanan pada pentingnya bersosialisasi dengan
traveler lain, (3) jadwal perjalanan yang diorganisasi secara mandiri dan fleksibel, (4) jangka waktu yang lebih lama dari liburan biasa, dan (5) penekanan pada aktivitas liburan informal dan partisipatori (dalam Toxward, 1999). Vaals (2012) menyatakan bahwa sebagian besar backpacker di dunia berasal dari Barat (Eropa Barat, Amerika Utara, Australia, dan Selandia Baru). Rata-rata lama waktu yang mereka habiskan untuk
backpacking adalah 60 hari, walaupun hal itu tergantung oleh pekerjaan pendapatan, dan
gaya perjalanan backpacker (Richards dan Wilson, 2004).
Fenomena backpacking muncul di Indonesia baru satu dekade terakhir sementara
perkembangan backpacking di Eropa tercatat dimulai pada abad ke 17 dengan adanya
Grand Tours (Filep, 2009). Studi mengenai backpacker dari negara Barat dan Australia telah lama dikaji secara komprehensif dan menghasilkan kerangka pemikiran tentang
kegiatan backpacking, namun budaya backpacking yang berkembang di Indonesia
sedikit berbeda sehingga diperlukan adanya studi awal.
Berdasarkan studi preliminari berupa wawancara singkat dengan beberapa
backpacker Indonesia, ditemukan bahwa terdapat perbedaan jumlah waktu yang
dihabiskan backpacker Indonesia dengan jumlah waktu yang dihabiskan backpacker
Barat. Meskipun begitu, lama waktu perjalanan yang dihabiskan backpacker di
Indonesia menurut subjek memang seharusnya lebih lama daripada rata-rata jumlah waktu yang dihabiskan wisatawan pada umumnya. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Vaals (2012) bahwa backpacker merupakan traveler yang melakukan
umumnya. Dalam studi preliminari juga ditemukan bahwa 60% backpacker
menghabiskan waktu 3 hari-1 minggu untuk melakukan perjalanan mereka, dan 21% menghabiskan 1 minggu-2 minggu. Meskipun jangka waktu tersebut jauh lebih singkat
jika dibandingkan dengan backpacker Barat yang biasa mencapai hitungan bulan hingga
1 tahun, durasi perjalanan backpacker lebih lama dibandingkan dengan wisatawan yang
biasa menghabiskan akhir pekan untuk berwisata selama 1 atau 2 hari.
Para ahli psikologi umumnya memberi perhatian pada perilaku dan pengalaman individu dan berusaha menggambarkan, dan kalau mungkin, menjelaskan setiap pola yang diamati dalam perilaku dan pengalaman tersebut, sehingga kajian ilmu psikologi di bidang pariwisata dapat berkisar antara apakah wisatawan benar-benar banyak belajar dari perjalanan yang dilakukannya, dan kalau ada, apa yang dipelajari oleh traveler
dalam perjalanan mereka sehingga mereka termotivasi untuk mendapatkan pengalaman
traveling yang lebih banyak lagi (Ross, 1998).
Kegiatan backpacking sendiri telah dilihat sebagai gaya hidup karena para
backpacker dianggap memiliki identitas sosial mereka sendiri (Vaals, 2012). Dengan
begitu, backpacking menjadi topik yang terbuka luas untuk dibahas dari berbagai macam
disiplin ilmu, salah satunya psikologi. Travel psychlogy merupakan salah satu bidang dalam kajian mengenai positive psychology yang juga masih terhitung sebagai kajian
baru dalam perkembangan studi ilmu psikologi.Travel psychology belum berkembang
di Indonesia karena pembahasan mengenai traveler sebagai individu dan bukan
konsumen bidang pariwisata masih sangat langka ditemui. Hal itu dapat mempengaruhi
persepsi masyarakat mengenai kegiatan backpacking sebagai kegiatan yang semata
leisure dan merupakan bagian dari penunjang perekonomian Indonesia saja. Penelitian
tentang motivasi perjalanan backpacker diharapkan dapat menjadi studi dasar
dapat dilihat tidak hanya dari sisi ekonomisnya saja, tetapi juga dari dinamika psikologis yang mempengaruhi motivasi perilakunya sehingga. Dengan mengetahui motivasi yang
menyebabkan individu melakukan perjalanan backpacking, dapat diketahui kebutuhan
apa yang mendasari dilakukannya perjalanan mereka, kegiatan apa yang membuat para
backpacker tertarik untuk lakukan selama perjalanan backpacking, dan lebih lanjut lagi bahkan apa yang bisa dikontribusikan kegiatan tersebut kepada perkembangan individu
backpacker.
Motivasi backpacking merupakan topik yang paling mendasar dan telah dipelajari
secara ekstensif dalam literatur penelitian tentang backpacker. Beberapa studi motivasi
menunjukkan kesamaan motif backpacker dalam melakukan kegiatan backpacking.
Hasil penelitian Godfrey (2011) pada backpacker di New Zealand menunjukkan bahwa
motivasi backpacker yang mendorong mereka untuk pergi dari rumah adalah (1) untuk
mengeksplorasi dunia luar, (2) untuk bertemu orang-orang baru, (3) isu yang berkaitan dengan pengembangan diri dan identitas diri, (4) untuk mendapatkan status, (5) sebagai rehat atau pelarian diri dari rumah, dan (6) sebagai kulminasi mimpi yang telah lama dipendam.
Newlands (2004) menggunakan studi Backpacker Research Group di New
Zealand, dan mengembangkan empat faktor motivasi yaitu tantangan fisik-mental, kemampuan bertanggung jawab secara sosial, waktu menyenangkan bersama teman, dan relaksasi. Keempat faktor tersebut dikembangkan menjadi item-item motivasi dan menghasilkan empat motivasi yang paling penting bagi responden, secara berurutan yaitu; untuk mengeksplorasi budaya lain, berinteraksi dengan masyarakat lokal, meningkatkan pengetahuan, dan relaks secara mental.
Penelitian Nigel dan Benson (2008) pada backpacker di Afrika Selatan
menemukan hal baru, memperluas pengetahuan tentang dunia, melarikan diri dari pekerjaan sehari-hari, dan bersenang-senang dengan teman. Temuan penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa motivasi untuk menemukan hal yang baru (novelty) dan memperluas pengetahuan merupakan motivasi utama yang secara konsisten muncul di berbagai penelitian.
Backpacker oleh Filep (2009) digambarkan sebagai wisatawan dalam kelompok umur 18-35 tahun. Dengan kata lain, backpacker dapat dikategorikan sebagai dewasa
muda (Papalia, Olds, dan Feldman, 2009). Dewasa muda merupakan masa dimana
seorang individu mengalami transisi dari mahasiswa penuh waktu (full-time student) menjadi profesional muda. Maoz dan Bekerman (2010, dalam Vaals, 2012) mengklarifikasi bahwa backpacker berada di fase transisi dalam hidup mereka, atau
disebut juga sebagai gap year atau tahun jeda. Sebagian besar backpacker melakukan
perjalanan mereka dilakukan setelah lulus, menikah/bercerai, sebelum berganti pekerjaan, atau sebelum menetap (Vaals, 2012). Richards dan Wilson (2004)
menyatakan bahwa pengalaman perjalanan backpacker bertambah seiring dengan
pertambahan usia, dan dengan semakin bertambah pengalaman, maka semakin banyak pula tempat yang dikunjungi (dalam Paris, 2010). Ide tersebut mendukung secara tidak
langsung teori motivasi Travel Career Ladder (TCL).
Loker-Murphy (1996) meneliti motivasi para backpacker melakukan perjalanan
mereka menggunakan teori Travel Career Ladder atau Jenjang Karir Perjalanan. Teori
TCL menggunakan adaptasi dari lima set kebutuhan dalam hierarki kebutuhan dasar Maslow (1970 dalam Paris, 2010), yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan sosial, self-esteem dan self-actualization. Kelima kebutuhan dasar ini mendasari munculnya berbagai macam perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Hierarki kebutuhan untuk perjalanan tersebut dikombinasikan dengan ide tentang karir perjalanan karena pengalaman perjalanan seseorang akan meningkatkan motivasi
mereka dalam melakukan suatu perjalanan, sehingga individu yang memiliki low travel
experience atau level pengalaman perjalanan rendah, akan memiliki motivasi berbeda
dengan yang memiliki high travel experience atau level pengalaman perjalanan tinggi.
Teori TCL kemudian berkembang menjadi teori Travel Career Pattern yang terdiri dari
14 dimensi motivasi perjalanan. Dalam studi Pearce dan Lee (2005) ditemukan bahwa motivasi yang paling penting adalah bersantai/melarikan diri (relax/escape), hal yang baru (novelty), hubungan (relationship), dan perkembangan diri (self development). Penelitian ini menjelaskan konsep utama teori TCP, dimana motivasi perjalanan berkembang selama karir perjalanan. Penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa meskipun motivasi perjalanan bersifat dinamis dan multi-level, terdapat inti dari motivasi-motivasi TCP tersebut, dimana tiga motivasi perjalanan utama tidak memiliki perbedaan yang signifikan antara kelompok level pengalaman perjalanan yang tinggi dengan yang rendah. Penelitian Pearce dan Lee (2005) diperbarui dalam penelitian Paris (2010) menggunakan pernyataan motivasi yang lebih banyak dan telah teruji secara empiris (Richards dan Wilson, 2004; Newlands, 2004 dalam Paris, 2010). Pearce dan Lee (2005) juga menyarankan untuk dilakukannya lebih banyak studi pada budaya berbeda untuk memverifikasi pengaplikasian TCP dalam studi motivasi.
Oleh karena itu peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian kuantitatif guna
mengungkap bagaimana motivasi perjalanan para backpacker Indonesia apabiladitinjau
dari perbedaan level pengalaman backpacking yang mereka miliki.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat pertanyaan yakni apakah terdapat
perbedaan motivasi perjalanan backpacking yang dimiliki backpacker apa bila ditinjau
dari pengalaman perjalanan?
C. Tujuan Penelitian
Melalui penelitian ini, peneliti ingin mengetahui beberapa hal sebagai berikut:
1. Penjelasan deskriptif mengenai motivasi backpacking yang dirasa paling penting
menurut para backpacker Indonesia.
2. Dimensi pokok motivasi backpacking para backpacker Indonesia.
3. Perbedaan motivasi perjalanan backpacking para backpacker apabila ditinjau
dari banyak atau sedikitnya pengalaman yang dimiliki.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik dari segi teoritis maupun praktis.
a. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah agar dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan psikologi, terutama di bidang psikologi sosial melalui studi motivasi fenomena sosial yang sedang berkembang di Indonesia.
b. Manfaat praktis dari penelitian adalah agar dapat memberikan manfaat bagi para mahasiswa maupun bukan mahasiswa yang menggemari atau sekadar berminat pada kegiatan dan sektor pariwisata, terutama backpacking, sehubungan dengan masih minimnya penelitian tentang backpacker sebagai subjek individu pelaku kegiatan
penelitian ini dapat memberikan informasi empiris mengenai wisata atau traveling