RIZKA SITANGGANG
366 HARI
BERJALAN LEBIH JAUH
Sahabat ada (bukan) karena terikat,
tapi karena diuji
366 HARI BERJALAN LEBIH JAUH
Oleh:
Rizka Sitanggang
Copyright © 2016 by
Rizka Sitanggang
Penerbit
Nulisbuku.com
www.nulisbuku.com
admin@nulisbuku.com
Desain Sampul:
Rizka Sitanggang
Diterbitkan melalui:
www.nulisbuku.com
Kumpulan tulisan di buku ini adalah catatan harianku.
Tentang pertemuan yang tidak biasa.
Tentang merepotkan orang lain tanpa izin.
Tentang kesediaan direpotkan tanpa diminta.
Terima kasih sudah menyempatkan diri di waktu-waktumu.
Untuk sekedar menemani perjalananku.
Untuk sekedar menjadi lawan bicaraku.
Lalu, tidak sekedar menjadi penyemangat.
Melainkan membantuku merintis cita-citaku.
366 hari yang lalu.
Tidak pernah menyangka bisa mengenal sedekat ini.
Kalau Bapak masih ada, setiap malam aku akan cerita.
Hari-hari yang selalu diukir dengan impian-impian konyol.
Kadang bingung wujudkannya mau gimana.
Cita-cita kita suka ketinggian, tapi enggak apa-apa.
Mudah-mudahan Allah selesaikan target itu dengan indah.
Meski ada titik tidak nyaman yang harus dilewati.
366 hari yang lalu.
Ayo, berjalan lebih jauh.
Dua rima yang kujadikan sajak.
Iqbal - Abil.
Salam sayang,
Rizka Sitanggang
(Eceknya) Daftar Isi
Catatan Harian... 5
My ‘Psycho-Dude’ Abil... 6
My ‘Silent-Dude’ Iqbal... 15
Blog Diaries... 23
Kita (Bukan) Transparan... 24
Selamat Ulang Tahun, Rizka... 31
Malam Minggu – Sabtu Malam... 45
Resensi Perjalanan Rizka Bersama Mereka... 55
Serdadu Batubara... 64
Kata Mereka... 69
Kisah Trio Kwek-Kwek (Masita Khairani)... 70
Pena, Panah, Pedang (Suci Ramadhani Harahap)... 76
Cerita Tidak Berjudul (Retno Pratiwi)... 94
Sang Pembuka Pintu (Muhammad Rizqy)... 101
366 Hari... 107
12 Bulan (Abil Abbas Habibi)... 108
Seleksi Alam – Keluarga, Sahabat, Teman (Muhammad Iqbal Lubis)... 110
Catatan 1 Tahun (Rizka Sitanggang)... 114
Tentang Kami... 123
Abil Abbas Habibi... 124
Muhammad Iqbal Lubis... 125
CATATAN
HARIAN
MY “PSYCHO-DUDE” ABIL
(Catatan Harian)
Ribet mikirin soal ujian siang itu, akhirnya aku memutuskan pulang lebih dulu. Usai kelas tanpa mikir panjang, aku langsung menuju parkiran sepeda motor. Motor BK 6467 ADG jadi tumpangan langgananku. Hahaha iyalah, namanya motor sendiri. Seorang teman minta tebengan. Berhubung memang enggak ada jadwal kemana-mana, jadilah aku iyakan saja permintaannya.
“Riz, nebeng ya”, pintanya padaku dengan masih setengah tergopoh-gopoh abis lari ngejar aku ke parkiran.
“Oh iya iya boleh. Sampai mana?”, tanyaku sambil mengencangkan ikatan helm.
“Pintu 4 aja hehehe”, jawabnya lagi. Aku mengangguk, “yaudah naik deh”.
Sepanjang perjalanan menuju pintu 4 kampus USU, kebiasaanku yang suka celoteh tetap kebawa-bawa. Suka merepet sih, jadinya begini deh. Yasudahlah ya, harap maklum hehehe.
“Eh pintu 4 macet lagi. Kebiasaan nih kalau lagi musim ujian”, kataku tiba-tiba.
“Yaaah macet lagi-lagi. Yaudah riz, aku turun di depan aja deh ya”, pinta temanku. Aku menggangguk kemudian.
Sembari menunggu momen untuk nyelip, aku menoleh ke kiri dan kanan. Kulihat ada laki-laki yang tidak asing. Dari
Aku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya waktu itu. Tapi kalau dilihat dari garis matanya, kelihatannya dia menyeringai. Kelopak matanya bagian bawah naik ke atas jadi matanya kelihatan lebih sipit daripada dugaanku sebelumnya. Namanya juga baru lihat dari foto BBM doang. Apalagi dari Line, malahan aku pikir bakal kenalan sama anak ‘cen-cen’.
Hari itu (lupa tanggalnya, apalagi harinya), aku ketemu pertama kali dengan Abil. Di kondisi yang enggak mengenakkan sama sekali. Ya, setidaknya enggak sia-sia. Ada hikmahnya, kalau kecurigaanku tentang ke’cen-cen’an Abil, itu salah.
***
Mengawali pesan-pesan moral yang akan terasa sampai ke ubun-ubun di buku ala-ala ini hahaha, aku mulai dari pertemuan konyol itu. Bukan hanya pertemuannya yang konyol, tapi orang yang lagi ketemuan juga konyol. Mengapa akhirnya bisa kenal sama Abil ? Hemm, aku tidak akan buka cerita dulu ya karena di bagian-bagian berikutnya akan dijelaskan kok. Ssstt.. cekidot lah yaaa hahaha.
Ohiya, ngomong-ngomong mengapa aku buat judul “My Psycho-Dude Abil”. Catet, di kata “Psycho” itu bukan berarti Abil orang yang punya kelainan psikologi. Haduh, jangan berpikiran aneh dulu ya hehe. Kata “psycho” itu menggambarkan bahwa seorang Abil merupakan pribadi yang kental dengan dunia psikologi. Alias, dia memahami psikologi orang lain secara kasat mata. Matanya tajam. Karena sipit loh ya, bukan karena apa-apa.
***
Abil, orang pertama yang aku temui sebelum bertemu dengan satunya lagi. Anak nomor dua dari tiga bersaudara ini, kerap menjadi alasanku emosi. Pasalnya, Abil cukup dikatakan menyebalkan. Aku yang pada bawaannya agak kelaki-lakian ini, hampir setiap bertemu Abil rasanya pengen nendang ini orang. Ada sebabnya juga, mungkin efek punya golongan darah yang sama denganku. Ya, kita punya golongan darah B. Rata-rata, anak dengan golongan darah B akan cenderung lebih aktif, memahami situasi kondisi, kritis, suka melanggar peraturan apabila tidak sesuai dengan pemikirannya, tidak sistematis alias agak berantakan, cuek, dan tidak bisa berpenampilan rapi alias suka-suka hatinya aja selama itu menurutnya enak dan nyaman.
Abil merupakan salah satu relawan yang ada di sebuah yayasan kepemudaan di kota Medan. Dia juga yang mengajakku bergabung di dalam yayasan itu. Unik bisa dikatakan. Orang-orang yang tidak sengaja dipertemukan kepadaku melalui perantara Abil, punya jiwa kekeluargaan dan solidaritas yang tinggi. Jarang aku temui seperti ini. Ya, bisa dibilang ini kali pertama.
Beranjak waktu demi waktu, Abil terlihat tidak begitu membuka diri dengan rekan-rekan sekerjanya di yayasan itu. Iya, Abil lebih banyak diam. Tidak tahu, diam karena sedang ada yang dipikirkan atau sedang menemukan sebuah solusi.
***
Kedekatanku dimulai dari sebuah tawaran untuk menulis buku dari yayasan tersebut. Aku yang memang hobi menulis, menganggap ini sebagai suatu tantangan baru. Pasalnya, harus mengerjakan sebuah buku dalam waktu 3 bulan. Gila memang. Tapi, mudah-mudahan itu semua tidak berakhir hanya dalam sebuah tulisan.
Abil, aku memang belum mengenal lebih jauh tentang Ayahmu, Mamamu, abangmu, dan adik perempuanmu. Yang sedikit aku tahu, bahwa abangmu bernama Iqbal dan sedang bekerja di suatu provinsi luar Sumatera, dan adik perempuanmu yang tengah menempuh pendidikan di pesantren. Aku masih ingat kalau aku ingin sekali mendalami ilmu bahasa Arab. Kebetulan, aku bisa sedikit saja di bagian dasar. Aku dengar, adik perempuanmu itu lihai melantunkan ungkapan-ungkapan dalam bahasa Arab. Buat aku iri hehehe. Beberapa kali adik perempuanmu pulang dari pesantren, ada saja agendaku yang tidak bisa aku tinggalkan. Jadi, keinginan untuk bertemu dan mengenal dekat adik perempuanmu, masih belum terwujud hehe. Insya Allah, ada nanti waktunya ya, Bil.
Mengenai Ayah dan Mamamu, sungguh aku ingin sesekali mengobrol ringan. Terakhir kali aku bertemu dengan Mamamu, pada saat kau mengundangku untuk menghadiri pesta pernikahan saudara sepupumu.
Aku datang dengan mengenakan gaun putih dan jilbab merah muda, kemudian datang memberi salam kepada Mamamu. Aku perhatikan, Abil lebih mirip ke wajah Mamanya. Tapi tidak tahu juga pastinya ya hehe. Karena aku belum bertemu langsung dengan Ayahnya Abil.
Pernah suatu waktu Abil menunjukkan sebuah foto dengan formasi lengkap satu keluarga. “Jarang-jarang nih Ka bisa ada momen kayak gini”, katanya di sebuah obrolan kami waktu itu.
Aku pernah cerita bahwa di rumahku ada beberapa pajangan foto dan lukisan. Lalu, Abil bilang, “sebenarnya Ka dalam Islam itu tidak dibenarkan ada pajangan-pajangan di dinding apalagi wajah diri. Makanya di rumahku itu gak ada yang namanya foto-foto apalagi lukisan”, tambah Abil lagi.
Kesimpulannya, Abil merupakan anak dari latar belakang orang tua yang paham tentang hukum agama Islam. Berbeda tentunya denganku yang lahir dari seorang Ayah mualaf dan Ibu yang memang sudah muslim sejak lahir tetapi tidak begitu memahami hukum-hukum Islam secara mendalam. Tapi, aku bersyukur. Ini berarti kesempatan kepadaku untuk belajar lebih banyak lagi dengan Abil. Mencuri ilmu agamanya sedikit demi sedikit, menjadikan motivasi kepadaku tahap demi tahap, hingga akhirnya aku mulai memahami itu secuil demi secuil.