• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA TENTANG EUTHANASIA. 1. Pengaturan Euthanasia dalam Hukum Pidana Indonesia (KUHP)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA TENTANG EUTHANASIA. 1. Pengaturan Euthanasia dalam Hukum Pidana Indonesia (KUHP)"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA TENTANG EUTHANASIA

1. Pengaturan Euthanasia dalam Hukum Pidana Indonesia (KUHP)

Dilihat dari segi perundang-undangan dewasa ini, belum ada pengaturan yang baru dan lengkap tentang euthanasia. Akan tetapi, masalah euthanasia

merupakan masalah yang menyangkut masalah keselamatan jiwa manusia, maka harus ada pengaturan atau pasal yang mengaturnya atau setidaknya pengaturan atau pasal yang mendekati unsur-unsur euthanasia tersebut. Oleh karena itu satu-satunya pasal ataupun pengaturan yang dapat dipakai sebagai landasan hukum bagi euthanasia yaitu yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia khususnya pasal-pasal yang membicarakan masalah kejahatan yang menyangkut jiwa manusia. Dan pasal yang mendekati dengan masalah euthanasia

adalah yang terdapat dalam Buku ke II Bab IX Pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.62

Secara singkat, dari sejarah pembentukan KUHP dapat diketahui bahwa pembentuk undang-undang pada saat itu juga menganggap bahwa jiwa manusia adalah milik manusia yang paling berharga. Oleh sebab itu, setiap perbuatan apapun motif dan coraknya sepanjang perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan jiwa manusia tersebut, maka hal itu dianggap sebagai kejahatan yang besar oleh Negara. Masalah keselamatan jiwa warga Negara selalu

62

(2)

dilinduungi oleh Negara. Dalam hal ini adanya dua kepentingan yaitu kepentingan masyarakat dan kepentingan yang dituntut.

“Kepentingan masyarakat, bahwa seseorang yang telah melanggar suatu peraturan hukum pidana, harus mendapatkan hukuman yang setimpal dengan kesalahannya,guna keamanan masyarakat, dan kepentingan orang yang dituntut, bahwa ia harus diperlakukan sedemikian rupa sehingga jangan sampai orang yang tidak berdosa mendapat hukuman, atau kalau memang ia berdosa, jangan sampai ia mendapat hukuman terlalu berat, tidak seimbang dengan kesalahannya”63

Dalam pasal 344 KUHP disebutkan bahwa:”Barang siapa yang menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”. Dari bunyi pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak diperbolehkan melakukan pembunuhan terhadap orang lain, walaupun pembunuhan itu dilakukan dengan alasan atas dasar permintaan si Pandangan dari pembentuk undang-undang Hindia Belanda itu rupanya masih tetap dianut oleh pemerintah sampai dengan sekarang. Ini terbukti bahwa dalam KUHP sendiri, perihal keselamatan dan keamanan jiwa manusia masih dijamin tanpa adanya perubahan sedikitpun. Tanpa membedakan agama, ras, warna kulit, dan idiologi tentang keselamatan dan keamanan jiwa manusia dijamin oleh undang-undang. Hal ini juga merupakan pencerminan dari prinsip

equality before the law yang tentunya harus juga diterapkan terhadap keamanan dan keselamatan jiwa manusia.

63 Ibid

(3)

korban sendiri. Sulit rasanya membayangkan seseorang sampai hati “membunuh” atau “merampas nyawa” orang lain apalagi yang perlu pertolongan.64

1. Keterangan saksi

Dalam hal diatas, kalimat “permintaan sendiri” yang dinyatakan dengan “kesungguhan hati” haruslah mendapatkan perhatian, karena unsur inilah yang akan menentukan apakah orang yang melakukannya dapat dipidana berdasarkan pasal 344 KUHP atau tidak. Supaya unsur tersebut tidak disalah gunakan maka dalam menentukan besar tidaknya seseorang telah melakukan pembunuhan ini, unsur permintaan yang tegas (unitdrukkelijk) dan unsur sungguh (ernstig),

haruslah dapat dibuktikan baik dengan adanya saksi ataupun oleh alat-alat bukti yang lainnya, sebagaimana disebutkan dalam pasal 184 KUHAP sebagai berikut :

2. Keterangan ahli 3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan terdakwa

Apabila diperhatikan lebih lanjut yaitu pasal 338 KUHP, pasal 340 KUHP, dan pasal 344 KUHP, ketiga-tiganya adalah mengandung makna larangan untuk membunuh.

Pasal 338 KUHP merupakan aturan umum daripada perampasan nyawa orang lain. Pasal 338 KUHP menyatakan bahwa “barangsiapa sengaja merampas

64

(4)

nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.

Pasal 340 KUHP merupakan aturan khususnya, karena adanya unsur “dengan rencana lebih dahulu” yang menyebutkan bahwa “barangsiapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan rencana (moord),dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”. Oleh karena itu, pasal 340 KUHP dapat dikatakan pasal pembunuhan berencana. Kalau diperhatikan unsur pasal 340 KUHP ini, maka pasal ini tidak dapat diterapkan, walaupun perbuatan dokter merupakan suatu tindakan untuk mengakhiri hidup pasien namun hal tersebut bukanlah atas keinginan si dokter tetapi atas permintaan si pasien sendiri ataupun keluarganya.

Begitu pula jika diperhatikan lebih lanjut, bahwa pasal 344 KUHP pun merupakan aturan khusus daripada pasal 338 KUHP. Hal ini, karena disamping pasal 344 KUHP adanya makna perampasan nyawa atau pembunuhan sebagaimana diatur dalam pasal 338 KUHP, namun dalam pasal 344 terdapat unsur “permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati”. Jadi masalah euthanasia dapat menyangkut 2 aturan hukum yaitu pasal 338 KUHP dan pasal 344 KUHP. Dalam hal ini, terdapat apa yang disebut sebagai concursus idelis, yang merupakan sistem pemberian pidana yang masuk dalam beberapa

(5)

perraturan hukum. Concursus idealis ini diatur dalam pasal 63 KUHP yang menyebutkan bahwa:65

1. Jika suatu perbuatan pidana masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat

2. Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum diatur pula dalam aturan pidana yang khusus maka hanya yang khusus tersebutlah yang digunakan

Pasal 63(2) ini mengandung asas Lex Specialis de rogat lex Generalis, yaitu bahwa peraturan-peraturan yang khusus akan mendesak atau mengalahkan peraturan-peraturan yang sifatnya umum.

Dimaksud sebagai peraturan yang sifatnya khusus disini adalah: “peraturan pidana yang mempunyai atau memuat unsur-unsur yang termuat dalam peraturan pidana yang umum, akan tetapi juga memuat peraturan-peraturan pidana yang tak termuat dalam peraturan pidana umum”.

Dengan adanya hal-hal tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa masalah

euthanasia menyangkut dua aturan hukum yaitu Pasal 338 KUHP dan Pasal 344 KUHP maka yang diterapkan adalah Pasal 344 KUHP. Apabila tidak terdapat asas

lex specialis de rogat Lex Generalis yang disebutkan dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP tersebut, maka aturan pemidanaan yang dipakai adalah Pasal 338 KUHP. Hal ini disebabkan karena ancaman pidana penjara pada pasal 338 KUHP adalah

65

(6)

lima belas tahun (15 tahun) lebih berat daripada ancaman pidana penjara yang terdapat pada pasal 334 KUHP yang hanya dua belas tahun (12 tahun). Hal ini dapat dimengerti karena dalam concursus idealis akan diterapkan system absorbs,

sebagaimana disebutkan dalam pasal 63 ayat (1) KUHP, yang memilih ancaman pidananya yang terberat. Oleh sebab itu, di dalam KUHP hanya ada satu pasal saja yang mengatur masalah euthanasia yaitu pasal 344 KUHP.

Jadi euthanasia tetap dilarang di Indonesia. Larangan ini terdapat dalam pasal 344 KUHP yang sampai sekarang masih berlaku. Akan tetapi, perumusan dalam pasal 344 KUHP yang sekarang ini, dapat menimbulkan kesulitan bagi jaksa untuk menerapkannya atau mengadakan penuntutan berdasarkan ketentuan tersebut. Oleh karena itu, maka sebaiknya bunyi pasal 344 KUHP tersebut dapatlah kiranya untuk dirumuskan kembali berdasarkan kenyataan-kenyataan yang terjadi sekarang, dan telah disesuaikan dengan perkembangan medis dewasa ini. Rumusan baru ini diharapkan dapat memungkinkan atau memudahkan untuk mengadakan penuntutan terhadap kasus yang bersangkutan dengan masalah

euthanasia.66

2. Pengaturan Euthanasia dalam Konsep RUU KUHP Indonesia

Dalam RUU KUHP tahun 2010 ada dua pasal yang mengatur masalah

euthanasia yaitu terdapat pada Bab XXII mengenai tindak pidana terhadap nyawa. Adapun pasal yang mengaturnya adalah Pasal 575 RUU KUHP 2010 dan Pasal 576 RUU KUHP 2010. Pasal 575 RUU KUHP 2010 menyatakan bahwa : ”Setiap orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang lain

66

(7)

tersebut yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati atau atas permintaan keluarganya dalam hal orang lain tersebut tidak sadar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun.”.

Sedangkan pasal 576 RUU KUHP 2010 menyatakan bahwa “Dokter yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 575 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.67

Di dalam penjelasan pasal 575 RUU KUHP 2010 dinyatakan bahwa ketentuan dalam pasal ini mengatur tindak pidana yang dikenal dengan

”euthanasia aktif”. Bentuk euthanasia pasif” tidak diatur dalam ketentuan ini karena masyarakat maupun dunia kedokteran tidak menganggap perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang dilarang. Namun pada kenyataannya justru

euthanasia pasif yang sering terjadi di masyarakat maupun di dunia kedokteran yang tidak tersentuh hukum. Meskipun euthanasia aktif dilakukan atas permintaan orang yang bersangkutan itu sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati, namun perbuatan tersebut tetap diancam pidana. Hal ini didasarkan pada suatu pertimbangan karena perbuatan tersebut dinilai bertentangan dengan moral dan agama. Di samping itu juga untuk mencegah terjadinya kemungkinan yang tidak dikehendaki misalnya oleh si pembuat tindak pidana justru diciptakan suatu keadaan yang sedemikian rupa sehingga timbul permintaan untuk merampas nyawa dari yang bersangkutan. Ancaman pidana disini tidak ditujukan terhadap kehidupan seseorang, tetapi ditujukan kepada

67

(8)

penghormatan kehidupan manusia pada umumnya, meskipun dalam kondisi orang tersebut menderita baik jasmani maupun rohani. Jadi motif pembuat tidak relevan untuk dipertimbangkan dalam tindak pidana. Pengertian “tidak sadar” dalam ketentuan pasal 575 RUU KUHP 2010 ini harus diartikan sesuai dengan perkembangan dalam dunia kedokteran. Sedangkan dalam pasal 576 RUU KUHP 2010 merupakan pemberatan dari pasal 575 RUU KUHP 2010 yang apabila melakukan hal tersebut adalah seorang dokter.68

68

Ibid

Jadi jika dibandingkan dengan pasal 344 KUHP, maka hukuman terhadap

euthanasia lebih ringan lagi, yaitu yang tadinya dalam pasal 344 KUHP dihukum pidana penjara dua belas tahun (12 tahun) menjadi sembilan tahun (9 tahun) dalam pasal 575 RUU KUHP 2010. Hukuman untuk euthanasia juga pada akhirnya dipakai pasal 575 RUU KUHP 2010 karena pada pasal 572 RUU KUHP yang mengatur tentang pembunuhan (perampasan nyawa orang lain) hukumannya lebih berat yaitu dipidana penjara paling singkat tiga tahun (3 tahun) dan paling lama lima belas tahun (15 tahun). Jadi peraturan dalam RUU KUHP ini berbeda dengan KUHP, dimana KUHP tidak mengatur masalah euthanasia yang dilakukan oleh seorang dokter dengan tindak pidana pemberatan dengan hukuman dua belas tahun (12 tahun) penjara yang lebih ringan dibanding dengan pasal 575 RUU KUHP yang mengatur hukuman euthanasia yang dilakukan orang yang bukan dokter hanya dihukum dengan pidana penjara sembilan tahun (9 tahun). Jadi dalam RUU KUHP terdapat dua pasal yang mengatur masalah euthanasia

(9)

3. Penerapan Ketentuan Euthanasia di Indonesia

Munculnya permintaan euthanasia dewasa ini menunjukkan bahwa masyarakat belum memahami dengan baik euthanasia. Perlu dipertimbangkan dampak hukum, moral, agama, dengan tidak selalu menduga, permintaan muncul karena keluarga pasien tak sanggup membiayai pengobatan si pasien. Namun, alasan itu tidak bisa diterima begitu saja. Seharusnya keluarga pasien dan pihak rumah sakit dapat duduk bersama-sama untuk melakukan negosiasi mengenai biaya pengobatan pasien.

Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya.

Di lain pihak, hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan tidak menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat pasal-pasal dalam undang-undang dalam KUHP.

(10)

Kemudian SK PB IDI no.336/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter Indonesia tentang Mati”. Sayangnya SKPB IDI ini tidak atau belum tersosialisasikan dengan baik di kalangan IDI ( Ikatan Dokter Indonesia) sendiri maupun di kalangan pengelola rumah sakit. Sehingga, tiap dokter dan rumah sakit masih memiliki pandangan dan kebijakan yang berlainan.69

Pada prinsipnya, hak untuk hidup merupakan hak fundamental atau hak asasi dari setiap manusia. Konstitusi kita yakni UUD 1945 melindungi hak untuk hidup ini dalam Pasal 28A

berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Jika dikaitkan dengan pasal 28 A UUD 1945, tentu saja euthanasia

dilarang terjadi di Negara kita. Namun walaupun demikian masih banyak praktek

euthanasia yang masih tidak tersentuh oleh hukum.

Pengaturan euthanasia sendiri terdapat dalam pasal 344 KUHP yang menyatakan bahwa :“ Barang siapa yang menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun.”

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengisyaratkan kepada kalangan medis bahwa bahwa perbuatan euthanasia adalah perbuatan yang melanggar hukum dan dapat diancam dengan pidana. Hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 344 KUHP tersebut. ada 3 (tiga) pokok permasalahan dalam hukum pidana yaitu tentang perbuatan yang dilarang, orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tersebut, dan adanya ancaman pidana, untuk menelaah perbuatan euthanasia

69

Indonesia diakses tanggal 2 April 2012

(11)

masuk kedalam perbuatan pidana harus mengacu pada tiga pokok permasalahan diatas.

Jika dilihat dari pasal 344 KUHP tersebut, euthanasia yang diatur merupakan euthanasia yang sifatnya aktif dan sukarela. Maksudnya, permintaan untuk melakukan euthanasia itu sendiri berasal dari orang atau si pasien tersebut dan dinyatakan dengan sungguh-sungguh sehingga dalam prakteknya, pasal 344 KUHP ini sulit diterapkan untuk menyaring perbuatan euthanasia sebagai perbuatan pidana sebab euthanasia yang sering terjadi di Negara ini adalah jenis

euthanasia pasif seperti memulangkan pasien yang dalam keadaan sekarat atau tidak melakukan tindakan medis apapun terhadap pasien yang dalam keadaan sekarat atau koma karena si dokter berpikir tidak ada gunanya lagi memberikan pengobatan terhadap si pasien tersebut.70

Namun walaupun demikian untuk mencegah kemungkinan yang tidak dikehendaki, misalnya oleh si pembuat justru diciptakan suatu keadaan yang demikian rupa sehingga timbul permintaan untuk merampas nyawa dari orang yang bersangkutan. Ancaman pidana disini tidak ditujukan terhadap kehidupan Sedangkan pengaturan pasal 344 KUHP yang ada mengatur euthanasia

aktif dan sukarela. Tidak dirumuskan bentuk euthanasia pasif, oleh karena kedokteran dan masyarakat tidak menganggap hal itu sebagai perbuatan anti sosial. Meskipun ada kata-kata “atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati”.

70

Hasil wawancara Dr.Linda Zahara,dokter umum disalah satu rumah sakit umum, pada hari Minggu 20 Mei 2012, pukul 20.00wib

(12)

seseorang, melainkan ditujukan terhadap penghormatan kehidupan manusia pada umumnya, Meskipun dalam kondisi pasal ini, orang tersebut sangat menderita baik secara fisik maupun secara rohani. Jadi motif dari si pembuat tidaklah ada hubungannya (relevan) untuk dipertimbangkan disini.71

Pengaturan tentang euthanasia pada dasarnya belum ada diatur secara khusus dan lebih rinci dalam Kitab Undang-Undang hukum Pidana Indonesia. Namun pasal 344 KUHP inilah yang dianggap mendekati perbuatan euthanasia

tersebut. perbuatan euthanasia sendiripun jarang sampai dibawa ke pengadilan. Hal tersebut dikarenakan sulitnya pembuktian untuk menjerat kasus euthanasia

tersebut sebagai perbuatan/tindak pidana. Oleh karena itu penerapan terhadap pasal 344 KUHP tersebut belum begitu efektif.

Selain itu, dalam pengaturan pasal 344 KUHP euthanasia yang dilarang adalah jenis euthanasia aktif. Hal itu dikarenakan pada jenis euthanasia aktif dokter mengambil peranan yang cukup aktif dan penting untuk mempercepat proses kematian pasien oleh karena itu pasal 344 KUHP ini dianggap pengaturan terhadap euthanasia aktif. Sedangkan dalam prakteknya perbuatan euthanasia

baik aktif maupun pasif jarang sampai pada tahap pengadilan, hal tersebut dikarenakan sulitnya bagi jaksa untuk melakukan pembuktian. Selain itu perbuatan euthanasia yang sering dilakukan di kalangan masyarakat sendiri adalah euthanasia pasif sehingga penerapan ketentuan pasal 344 KUHP tidak menjangkau pada pebuatan euthanasia pasif tersebut.

71

Leden Marpaung,2000,Tindak Pidana Terhadap Nyawa Dan Tubuh,Sinar Grafika,Jakarta,hal 45

(13)

BAB IV

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA TENTANG EUTHANASIA PASIF

1. Perkembangan Euthanasia Pasif di Indonesia

Euthanasia merupakan kasus yang kontroversial yang masih banyak diperdebatkan oleh berbagai pihak. Banyaknya gejolak permasalahan yang dihadapi tak hayal membuat berbagai pihak merasa bigung apakah euthanasia

diperbolehkan atau tidak.

Jika melihat penjelasan di awal tentang euthanasia sendiri, banyak pro dan kontra terhadap pelaksanaan euthanasia. Apalagi jika tindakan yang dilakukan adalah euthanasia aktif. Banyak kalangan yang mengecam tindakan tersebut karena menganggap euthanasia aktif merupakan perbuatan yang sangat kejam dan tak bermoral. Beda halnya dengan euthanasia pasif. Dalam dunia kedokteran atau dunia medis sendiri, tanpa disadari sudah banyak masyarakat melakukan tindakan

euthanasia pasif ini.

Yang dimaksud dengan euthanasia pasif adalah tindakan yang dilakukan dimana dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup si pasien.72

72

(14)

Istilah euthanasia ini merupakan istilah yang tabu (jarang) didengar di masyarakat sendiri. Namun dalam prakteknya euthanasia pasif ini sudah sering terjadi di masyarakat Indonesia.

Perbuatan euthanasia pasif ini terjadi tanpa disadari oleh pasien yang menderita suatu penyakit dimana dokter ataupun tenaga medis telah berupaya semampunya untuk menyembuhkan penyakit si pasien namun tidak memberikan kesembuhan bagi si pasien sehingga orang yang bertanggung jawab kepada pasien meminta dokter untuk menghentikan tindakan medis. Atau dalam dokter sudah berupaya semampunya untuk menyembuhkan si pasien namun tidak membuahkan hasil sehingga sehingga dokter tidak melakukan upaya untuk kesembuhan si pasien sehingga si pasien dibiarkan bergantung pada alat-alat kedokteran untuk menopang kehidupannya. Biasanya, ini dilakukan jika si pasien dalam keadaan

comma (tidak sadarkan diri) untuk jangka waktu yang lama. Atau dapat juga jika si pasien menderita suatu penyakit stadium akhir yang tidak bisa untuk disembuhkan lagi dan si pasien meminta kepada di dokter untuk menghentikan atau tidak melakukan perbuatan medis kepadanya.

Tak hayal dalam situasi seperti ini baik pasien sendiri meminta hak menentukan nasib sendiri atau orang yang bertanggung jawab terhadap pasien tersebut seperti keluarga si pasien tersebut memohon kepada dokter untuk melakukan tindakan euthanasia pasif.

(15)

Hak untuk menentukan nasib sendiri yang juga disebut “the right to self-determination” adalah hak atas keamanan pribadi yang menyangkut mengenai hidup, bagian tubuh, kesehatan, kehormatan, serta hak atas kebebasan pribadi73

Dalam masyarakat demokratis belum terdapat adanya satu kesatuan pendapat mengenai batasan ruang lingkup fungsi manusia sebagai individu dalam mencapai tujuannya dalam hidup bermasyarakat.

74

Memang tak dapat disangkal bahwa dalam masyarakat yang berwatak kolektivitas tidak sama luas lingkup hak dasar ini dibanding dengan apa yang berlaku bagi warga Negara masyarakat yang individualitas. Jadi, dapat disimpulkan disini otonomi manusia merupakan fundamen eksistensinya sebagaimana yang tercantum dalam deklarasi internasional hak-hak asasi manusia. Dengan kata lain, hak menentukan nasib sendiri sebagai salah satu hak asasi manusia diperoleh karena ia manusia. Hak ini asli dan murni, tidak diberikan kepada manusia oleh negara atau masyarakat, sekalipun tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam Negara dan masyarakat terdapat pembatasan-pembatasan tertentu terhadap hak-hak asasi manusia.75

Apabila ditinjau dari segi pendekatan yuridis sosiologis dan dikaitkan dengan hak untuk menentukan nasib sendiri maka jelas bahwa dalam instansi terakhir manusia sebagai individu mempunyai hak untuk menentukan hari depan bagi dirinya. Hak untuk menentukan nasib sendiri itu baru mempunyai efek apabila manusia sebagai individu mendapat kesempatan secara mandiri untuk

73

Hermien Hadiati Koeswadji,1984,Hukum dan Masalah Medik,Airlangga University Press,Surabaya,hal 47

74

Ibid

75

(16)

bebas dan atas tanggung jawab sendiri memutuskan apa yang menjadi tujuan hidupnya dan untuk memenuhi tujuan hidupnya.76 Namun jika dilihat dari pendekatan filosofis terhadap hak menetukan nasib sendiri bertolak dari pemikiran bahwa manusia mempunyai kebebasan dan otonomi untuk menentukan kehendaknya sendiri.77

Apabila kembali pada pemasalahan hak untuk menentukan nasib sendiri yang lahir dari hubungan antara pasien dan dokter yang merupakan suatu fase dimana tidak perlu diragukan lagi bahwa setiap gangguan terhadap individualitas seseorang yang memerlukan bantuan medis, pengakuan kedewasaan terhadap siapa yang diberi pertolongan medis tersebut merupakan kesempatan yang selalu ada (terbuka). Disamping itu harus juga dipertimbangkan bahwa pasien bebas untuk menyerahkan semua keputusan yang seharusnya diputuskan olehnya itu kepada dokternya, bila dokter tersebut juga menyetujuinya. Dari hubungan kepercayaan yang tibul antara dokter dan pasien yang seperti itu mungkin saja keadaan semacam itu tumbuh dan berkembang setidak-tidaknya kenyataan dalam masyarakat menunjukkan bahwa kebanyakan pasien menyerahkan hal tersebut kepada dokter begitu saja tanpa alasan-alasan mengapa hal itu dilakukan.

78

Sering kali pasien menjadi objek bagi sesuatu yang seharusnya diputuskan berdasarkan alasan-alasan yang semi ilmiah tanpa menyadari apa motif dan konsekuensi dari keputusan yang diambilnya itu, bahkan tanpa adanya kesempatan baginya untuk ikut serta memikirkan alternatif serta resiko apa yang

76

Hermien Hadiati Koeswadji, Op.cit hal 48

77

Freddy Tengker,Loc.cit

78

(17)

mungkin dihadapinya untuk dipertimbangkan. Pasien seharusnya mendapatkan informasi untuk dapat dipergunakan sebagai bahan dalam memepertimbangkan dan kemudian memutuskan segala sesuatu yang menyangkut kepentingannya. Dalam kenyataannya dokter dan pasien melihat suatu keadaan yang nyata dalam sudut pandang yang berbeda. Apabila cara pendekatan dari kedua belah pihak dapat dipertemukan, sehingga merupakan suatu keputusan yang bertolak dari suatu prinsip yaitu untuk kepentingan si pasien. Dokter melakukan apa yang seharusnya ia lakukan untuk penyakit si pasien dengan segala upaya perawatan-perawatan medis yang menurutnya sudah merupakan upaya optimal yang dimilikinya.79

Dalam hal demikian, sebenarnya pasien sendirilah yang paling dapat menentukan, karena pasien tersebutlah yang merasakan rasa sakit yang dideritanya. Setelah dipertimbangkannya dengan dokter barulah ia dapat memutuskan tindakan ato langkah apa yang akan dilakukan terhadap dirinya setelah memepertimbangkan segala kerugian dan resiko yang akan dialaminya. Pasienlah satu-satunya orang yang dapat memberikan dan mengambil keputusan terakhir sehingga dengan demikian dia perlu dan berhak atas informasi akan segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakitnya sehingga pada akhirnya ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Mungkin saja pertimbangan dari segi kepentingan pasien akan berbeda, atau bahkan bertentangan dengan pertimbangan objektif dari segi analisa medis dokter. Untuk itu pasien juga harus mengetahui

79

(18)

batas-batas kemampuan dokter ditinjau dari segi ilmu kedokteran, karena dokterpun manusia yang mungkin juga dapat membuat kesalahan (analisa).80

Begitu juga halnya jika dalam pengambilan keputusan medis dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab terhadap pasien tersebut. Tentu saja tidak

Dengan demikian agar dokter dapat menganggap pasien tersebut sebagai bagian daripadanya dan dengan demikian dapat pula menempatkan dirinya dalam keadaan dan kedudukannya sehingga akhirnya dapat diajak bersama-sama untuk mencari jalan keluar dalam mengatasi permasalahannya. Hal ini tidak harus diartikan bahwa setiap perkembangan diagnosa yang dilakukan oleh dokter harus diberitahukan kepada si pasien. Karena hal itu akan mengakibatkan gangguan psikis terhadap si pasien tersebut dalam hal menentukan nasib sendiri yang harus dipikirkannya secara dewasa tanpa ada timbulnya keragu-raguan. Dengan demikian maka hak untuk menentukan nasib sendiri mengharuskan adanya hak atas informasi. Hak untuk menentukan nasib sendiri baru dapat terlaksana jika si pasien dapat memperoleh informasi yang berhubungan langsung dengan kepentingan jasmani dan rohaninya.

Hak untuk menentukan nasib sendiri inilah yang biasanya menjadi alasan bagi si pasien untuk meminta kepada dokter agar pengobatan terhadap dirinya tidak dilakukan lagi. Namun walaupun demikian dokter tidak dapat langsung menyetujui keinginan si pasien tersebut. Terlebih dahulu dokter harus menjelaskan informasi yang berhubungan dengan sakit yang diderita si pasien.

80

(19)

mudah mengambil suatu keputusan dimana keputusan tersebut menyangkut nyawa orang lain. Tentu saja dihadapkan dilema yang sangat besar. Segala usaha telah dilakukan untuk menyembuhkan si pasien dan dokter telah berupaya semampunya untuk melakukan tindakan-tindakan yang terbaik terhadap si pasien namun hal itu tidak membantu memberikan penyembuhan kepada si pasien.

2. Beberapa Contoh Perbuatan yang Dikategorikan sebagai Euthanasia Pasif

Seperti yang dikemukakan di atas tadi, bahwa tanpa disadari banyak masyarakat sudah melakukan euthanasia pasif ini. Namun terkadang mereka tidak menyadari telah melakukan euthanasia pasif tersebut.

Seperti halnya yang dilakukan oleh keluarga Bapak Yoe Anto terhadap orang tua perempuan (ibu) yang pada saat itu mengalami suatu penyakit yang merupakan efek dari penyakit ibunya yang sebelumnya. Dimana pada saat itu ibunya menginap penyakit cancer serviks (kanker mulut rahim) yang pada saat itu sudah stadium akhir. Banyak usaha yang sudah dilakukan keluarganya dari mulai berobat kerumah sakit terbaik yang ada di Medan hingga kerumah sakit yang ada di luar negri. Setelah berusaha melakukan pengobatan yang terbaik untuk ibunya akhirnya penyakit tersebut dapat disembuhkan. Namun beberapa tahun kemudian orang tua perempuan dari ibu Yoe Anto kembali mengalami penyakit sehingga perlu dilakukan pengobatan kembali. Awalnya dokter di Medan tidak menemukan apa sebab penyakit yang diderita. Tidak puas dengan hasil yang diberikan dokter akhirnya keluarga memutuskan untuk memberikan pengobatan keluar negri. Setelah diperiksa, orang tua operempuan dari Bapak Yoe Anto tersebut menderita

(20)

kebocoran lambung yang disebabkan dari efek pengobatan yang dilakukan terhadap penyakit ibunya yang sebelumnya. Makin hari makin lama kondisi ibunya menurun dan pihak dokter sudah memvonis bahwa umur ibunya sudah tidak lama lagi. Setelah melakukan diskusi yang sangat panjang antara pihak keluarga dengan si dokter diambil suatu keputusan untuk tidak lagi memberikan pengobatan kepada ibunya dengan beberapa pertimbangan seperti pengobatan yang dilakukan tidak memberikan kesembuhan kepada si pasien, menyiksa si pasien yang terus menerus diberikan pengobatan sedangkan tubuhnya tidak sanggup lagi menerima pengobatan tersebut. Akhirnya si pasien dibawa pulang kembali ke Medan dengan surat rekomendasi dari dokter.81

Tindakan yang diambil oleh keluarga Bapak Yoe Anto tersebut tanpa disadari merupakan tindakan euthanasia pasif. Hal itu seperti yang dikemukakan oleh Dr.Linda Zahara Khairiza yang menyatakan bahwa salah satu bentuk dari

euthanasia pasif adalah dengan mengizinkan pasien yang tidak bisa disembuhkan lagi untuk dipulangkan ke rumah si pasien.82

Tindakan yang dilakukan oleh keluarga Bapak Yoe Anto tersebut sangat sering terjadi di masyarakat kita. Tak jarang hal itu merupakan keputusan akhir yang harus diambil bagi si pasien dengan beberpa alasan seperti pengobatan yang dilakukan tidak memberikan kesembuhan bagi si pasien justru akan menyiksa tubuh si pasien. Selain itu keputusan untuk memulangkan si pasien juga terjadi

81

Hasil Wawancara dengan Bapak Yoe Anto, pada hari Selasa tanggal 22 Mei 2012, pukul 18.30wib

82

Hasil wawancara dengan Dr.Linda Zahara,dokter umum disalah satu rumah sakit umum, pada hari Minggu 20 Mei 2012, pukul 20.00wib

(21)

berdasarkan keputusan dari si pasien tersendiri seperti yang diungkapkan oleh Eintin yang salah satu anggota keluarganya mengalami penyakit cancer. Dokter juga sudah memvonis bahwa penyakitnya tidak bisa disembuhkan lagi karena sudah sampe stadium akhir dan si pasien telat melakukan pengobatan. Setelah mengetahui hasil vonis dari dokter tersebut si pasien meminta kepada si dokter untuk tidak melakukan pengobatan lagi karena akan membuatnya tersiksa. Setelah melakukan perundingan dan diberikan beberapa pandangan-pandangan oleh dokter bahwa keputusan yang diambil itu merupakan keputusan yang sadar dan bukan keputusan yang diambil karena emosi sesaat si pasien dan keluarga, maka tetap pada pendirian untuk tidak melakukan pengobatan lagi. Dengan alasan bahwa si pasien mau mengunakan sisa hidupnya untuk berkumpul bersama keluarga dan meningkatkan kehidupan kerohaniannya kepada Tuhan.83

Lain halnya dengan yang dilakukan oleh keluarga bapak Atan yang salah satu anggota keluarganya yang mengidap suatu penyakit parah. Setelah dilakukan beberapa upaya pengobatan bagi si pasien namun tetap juga tidak ada hasil ataupun kemajuan yang ditunjukkan terhadap pengobatan yang dilakukan maka keluarga pasien memutuskan untuk tidak memberikan pengobatan lagi kepada pasien dengan alasan tidak memiliki biaya lagi.84

83

Hasil wawancara dengan Ibu Eintin, pada hari Selasa, 22 Mei 2012, pukul 13.00wib

84

Hasil wawancara dengan Bapak Atan, pada hari Senin, 21 Mei 2012, pukul 20.00wib

Hal itu seperti juga yang dikemukan oleh Dr Kartika br Karo yang mengatakan bahwa setelah semua usaha telah dilakukan baik dari pasien ataupun keluarga pasien dan dokter tidak menunjukkan adanya peningkatan terhadap kesembuhan si pasien sementara biaya

(22)

yang dikeluarkan semakin tinggi, pihak keluarga meminta untuk menghentikan semua penunjang kehidupan bagi pasien dan hal inilah yang sering terjadi.85

1. Memulangkan pasien dengan alasan pengobatan yang dilakukan tidak berguna lagi bagi kesembuhan pasien

Dari beberapa kasus yang sering diatas, masih banyak lagi kasus-kasus

euthanasia pasif yang sangat sering terjadi masyarakat kita. Banyak faktor-faktor yang menyebabkan pasien, keluarga pasien ataupun pihak dokter sendiri mengambil tindakan euthanasia pasif.

Beberapa diantaranya seperti yang dialami oleh Bapak Yoe Anto, Ibu Eintin dan Bapak Atan yang sangat sering terjadi di praktik kehidupan masyarakat kita. Beberapa perbuatan yang bisa dikategorikan sebagai perbuatan euthanasia

pasif diantaranya yaitu :

2. Memulangkan pasien dengan alasan si pasien menolak menerima pengobatan yang dilakukan oleh pihak dokter

3. Memulangkan pasien dengan alasan pasien ingin disisa waktunya untuk berkumpul bersama keluarga dan meningkatkan kerohaniannya kepada Tuhan

4. Menghentikan pengobatan kepada pasien dengan alasan tidak memiliki biaya lagi

5. Menghentikan pengobatan si pasien dengan alasan bahwa si pasien tersiksa luar biasa dengan penyakitnya tersebut dan sudah tidak ada

85

Hasil wawancara dengan Dr.Kartika br Karo, Salah seorang dokter di RS Columbia Asia/RMO,pada hari Rabu 09 Mei 2012

(23)

harapan untuk kesembuhannya dan permintaan itu berasal dari pasien ataupun orang yang bertanggung jawab terhadap pasien tersebut seperti keluarga terdekat dari pasien tersebut

6. Membiarkan pasien tanpa melakukan pengobatan-pengobatan dengan alasan pengobatan yang dilakukan tidak memberikan penyembuhan bagi si pasien dan penghentian pengobatan tersebut atas ppersetujuan dari orang yang bertanggung jawab terhadap pasien tersebut seperti keluarga terdekat pasien tersebut

Hal-hal tersebut diatas beberapa perbuatan-perbuatan yang dikatakan

euthanasia pasif yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat kita.

Menurut para pemuka agama, tentu saja permintaan untuk melakukan

euthanasia dilarang. Hal itu dikarenakan mencabut nyawa seseorang walaupun atas izin dari orang tersebut merupakan perbuatan yang mendahului kehendak Tuhan. Hal itu dapat ditarik kesimpulan dari beberapa pemua agama dimana semua masalah yang terjadi di dalam hidup baik berupa sakit penyakit terlebih dahulu melakukan usaha untuk menyembuhkannya. Manusia diberi kemampuan untuk mengupayakan segala usaha untuk penyembuhan terhadap penyakitnya. Karena urusan kematian merupakan kehendak Tuhan. Manusia hanya boleh berusaha dan berusaha untuk melakukan segala upaya untuk menyembuhkan penyakitnya.86

86

(24)

Dalam pandangan agama manapun perbuatan euthanasia tersebut dilarang baik dalam ajaran agama Islam maupun Kristen. Namun ada saat-saat dimana pengobatan yang dilakukan harus dihentikan jika dalam hal pasien yang tidak sadarkan diri dan sudah mendekati ajalnya dalam hal ini biasanya dokter mengetahui jika seorang pasien sudah mendekati ajalnya87

3. Kebijakan hukum Pidana tentang Euthanasia Pasif saat ini dan yang akan datang

Munculnya pro dan kontra seputar masalah euthanasia menjadi beban tersendiri bagi komunitas hukum. Sebab, pada persoalan “legalitas” inilah persoalan legalitas akan bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana hukum pidana positif memberikan pengaturan terhadap persoalan euthanasia akan sangat membantu masyarakat.

Secara yuridis, dalam hukum positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia) yaitu yang diatur dalam Pasal 344 KUHP yang menyatakan bahwa “Barang siapa yang menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”

Dari pasal 344 KUHP diatas dapat disimpulkan bahwa pembunuhan atas permintaan si pasien tersebut tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan

87

(25)

demikian, dalam konteks hukum hukum positif di Indonesia tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikatakan sebagai tindak pidana yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melakukannya.

Namun dalam pasal 344 KUHP ini juga tidak bisa menyaring perbuatan

euthanasia termasuk dalam tindak pidana hal itu dikarenakan perbuatan

euthanasia yang sering terjadi di Indonesia adalah euthanasia pasif. Namun walaupun demikian tetap saja euthanasia pasif masih sering terjadi di Negara kita dengan berbagai alasan-alasan maupun pertimbangan-pertimbangan yang berasal dari pasien ataupun keluarga pasien dan bisa berasal dari dokter tersebut.

Keputusan-keputusan tersebut juga diambil berdasarkan pemikiran yang betul-betul dianggap yang terbaik bagi si pasien. Susahnya perbuatan euthanasia

pasif dibawa ke pengadilan dikarenakan euthanasia pasif tersebut dilakukan atas permintaan dan pasien sendiri ataupun dari orang yang bertanggung jawab atas pasien tersebut. Hal itu disebabkan adanya hak untuk menentukan nasib sendiri yang dipegang oleh si pasien dan hak tersebut tidak dapat dihindari baik oleh dokter sekalipun.

Karena dalam melakukan tindakan medis baik oleh dokter maupun rumah sakit sendiri harus meminta ijin kepada si pasien tersbut ataupun kepada orang yang bertanggung jawab kepada pasien tersebut. Apabila dalam hal ini si pasien ataupun orang yang bertanggung jawab menolak untuk melakukan tindakan medis tentu saja itu diluar kemampuan dokter ataupun rumah sakit. Namun terlebih

(26)

dahulu baik dokter ataupun pihak medis memberikan informasi mengenai penyakit yang diderita si pasien.

Pengaturan tentang euthanasia pasif ini belum begitu jelas pengaturannya. Pengaturan terhadap euthanasia sendiri hanya dikenal yaitu pada pasal 344 KUHP dimana pada pasal tersebut lebih mengatur kepada euthanasia aktif. Yang jika dibandingkan dengan yang terjadi di Indonesia perbuatan yang sering dilakukan adalah euthanasia pasif.

Dalam pembentukan RUU KUHP tahun 2010 juga belum terdapat pengaturan terhadap euthanasia pasif yang lebih spesifik masih mengatur

(27)

BAB V

PENUTUP

1. Kesimpulan

Dari penulisan skripsi ini dapat ditarik kesimpulan yaitu :

a. Perkembangan euthanasia dewasa ini terus berkembang dikalangan masyarakat sendiri. Ada beberapa pengertian untuk mendeskripsikan apa itu euthanasia, namun pada dasarnya yang dimaksud dengan euthanasia

itu adalah sebuah tindakan yang dilakukan untuk mengakhiri penderitaan pasien yang disebabkan oleh penyakit yang dideritanya dengan jalan kematian yang tenang tanpa adanya penderitaan terhadap si pasien tersebut.

Tindakan yang dilakukan tersebut dapat berupa tindakan langsung ataupun tindakan tidak langsung. Tindakan langsung dapat berupa pemberian morfin (penghilang rasa sakit) menghilangkan rasa sakit yang menyebabkan si pasien menderita dalam dosis yang berlebihan yang dapat menyebabkan si pasien meninggal dunia. Sedangkan perbuatan tidak langsung adalah pasien yang dalam keadaan comma yang oleh dokter tidak dilakukan upaya penyembuhan kepada si pasien. Dokter membiarkan pasien yang hanya bertahan dengan menggunakan alat bantu penunjang kehidupannya dan apabila terjadi kematian, kematian tersebut terjadi dengan sendirinya tanpa ada campur tangan dokter didalamnya.

(28)

Biasanya perbuatan euthanasia ini atas permintaan dari si pasien sendiri ataupun dari orang yang bertanggung jawab atas pasien tersebut. Permintaan yang diminta oleh si pasien atas dasar adanya hak untuk menentukan nasib sendiri yang diberikan kepada pasien dalam melakukan tindakan medis. Baik pihak dokter ataupun pihak rumah sakit harus menghormati hak untuk menentukan nasib sendiri ini karena dalam melakukan setiap tindakan medis seorang dokter harus memberitahukan terlebih dahulu kepada si pasien atau orang yang bertanggung jawab kepada si pasien dan jika disetujui maka tindakan medis tersebut dapat dilakukan begitu juga sebaliknya.

Euthanasia ini juga dibagi-bagi menurut cara melaksanakannya, dari sudut pemintaannya, dan ada juga beberapa pendapat beberapa ahli yang membagi jenis-jenis euthanasia tersebut. Namun pada umumnya

euthanasia tersebut dibagi dalam 2 jenis. Pertama adalah euthanasia aktif yaitu tindakan yang sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga medis untuk memperpendek hidup pasien. Sedangkan jenis euthanasia yang kedua

adalah euthanasia pasif yaitu dimana dokter atau tenaga medis secara sengaja tidak lagi memberikan bantuan medis untuk memperpanjang kehidupan pasien.

Adapun perbedaan dari kedua jenis euthanasia ini adalah terletak dari peran dokter dalam melakukan tindakan medis terhadap pasien. Didalam

euthanasia aktif peran dokter sangat aktif dalam memperpendek umur si pasien walaupun tindakan tersebut atas sepengetahuan dari pasien ataupun

(29)

orang yang bertanggung jawab terhadap pasien tersebut. sedangkan dalam

euthanasia pasif, dokter tidak berperan langsung dalam memperpendek umur si pasien misalnya pasien yang dalam keadaan comma dokter tidak membuat agar si pasien tersebut sadar dari commanya, dokter membiarkan pasien bergantung pada alat-alat yang melekat di tubuh pasien yang menunjang kehidupannya, atau pasien yang divonis dokter yang hidupnya tidak akan lama lagi karena suatu penyakit atas permintaan si pasien agar dokter tidak melakukan tindakan medis apa-apa atau mengijinkan si pasien untuk pulang kerumah dan berkumpul bersama keluarganya merupakan salah satu contoh dari euthanasia pasif. Tindakan euthanasia ini juga dikenal di berbagai Negara. Ada Negara yang sudah melegalkan perbuatan

euthanasia ini seperti halnya di Belanda dan Swiss. Sedangkan Negara yang tidak menyetujui perbuatan euthanasia ini dilakukan seperti halnya Indonesia.

Masyarakat lebih sering menggunakan euthanasia pasif dibanding dengan

euthanasia aktif. Hal ini dipandang bahwa euthanasia pasif merupakan tindakan terakhir yang dilakukan setelah semua usaha dan upaya untuk kesembuhan pasien sudah dilakukan, Selain itu masyarakat lebih memandang kalau euthanasia pasif lebih manusiawi dan dapat dilakukan dibanding dengan euthanasia aktif. Selain itu euthanasia pasif juga dipandang dapat meringankan penderitaan yang dialami si pasien yang sakit dan dapat juga meringankan beban keluarga misalnya dalam hal biaya pengobatan bagi si pasien.

(30)

b. Kebijakan hukum pidana tentang pengaturan euthanasia itu sendiri belum jelas. Hal itu disebabkan juga karena sulitnya pembuktian yang dilakukan terhadap euthanasia ini. karena pada dasarnya tindakan euthanasia

tersebut dilakukan atas permintaan oleh si pasien tersebut ataupun orang yang bertanggung jawab atas pasien tersebut. Namun walaupun demikian harus ada suatu pengaturan yang memberi kepastian hukum terhadap perbuatan euthanasia ini agar tidak disalah gunakan oleh orang-orang tertentu. Adapun pengaturan yang mendekati perbuatan euthanasia ini adalah pasal 344 KUHP yang menyatakan ”Barang siapa yang menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang disebutkan dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.” Namun tentunya pengaturan ini juga memiliki suatu kelemahan dimana pasal ini lebih mengatur terhadap

euthanasia aktif sedangkan di kalangan masyarakat dan dokter sendiri

euthanasia pasiflah yang sering terjadi.

Dalam RUU KUHP tahun 2010 juga belum ditegaskan pengaturan tentang

euthanasia. Namun terdapat perubahan-perubahan dalam RUU KUHP tahun 2010 misalnya dalam hal jangka waktu pemidanaan.

c. Kebijakan Hukum pidana tentang euthanasia pasif juga belum ada pengaturannya. Didalam hukum pidana Indonesia yang mengatur masalah euthanasia adalah pasal 344 KUHP. Namun, pada pasal itu lebih mendiskripsikan pengaturan euthanasia aktif, sedangkan dalam prakteknya euthanasia pasif yang lebih sering terjadi di kalangan masyarakat. Salah

(31)

satu yang mungkin menjadi dasar belum diaturnya pengaturan mengenai euthanasia pasif ini adalah karena dikalangan masyarakat perbuatan ataupun tindakan euthanasia pasif ini masih lebih manusiawi dibanding dengan euthanasia aktif. Disatu sisi dilakukannya euthanasia pasif ini atas permintaan pasien sendiri yang tidak tahan atas sakit yang dideritanya ataupun karena karena pasien tersebut sudah mengetahui vonis dokter yang umurnya tidak akan lama lagi lebih menginginkan untuk berkumpul bersama keluarganya dan meningkatkan kerohaniannya kepada Tuhan. Selain itu di satu sisi juga permintaan euthanasia pasif ini diminta juga oleh keluarga pasien dikarenakan biaya rumah sakit yang begitu tinggi. 2. Saran

Adapun saran yang diharapkan pada penulisan skripsi ini adalah :

a. Perlu adanya perhatian pemerintah yang lebih lagi terhadap perkembangan euthanasia ini. Perhatian tersebut dapat berupa pengaturan yang lebih jelas dan lebih rinci lagi terhadap euthanasia ini.

b. Selain itu pemerintah lebih lagi memberikan bantuan berupa peringanan dana terhadap masyarakat dari golongan yang kurang mampu agar biaya bukan merupakan alasan dilakukannya euthanasia.

c. Jika memang euthanasia pasif merupakan keputusan yang harus diambil maka seharusnya ada beberapa syarat-syarat yang harus diberikan terhadap pasien ataupun orang yang bertanggung jawab terhadap pasien tersebut jika akan melakukan euthanasia khususnya euthanasia pasif . Beberapa persyaratan itu misalnya:

(32)

1. Jika pasien yang menderita suatu penyakit dan di vonis dokter hidupnya tidak akan bertahan lama maka tindakan euthanasia terutama euthanasia

pasif diminta oleh pasien yang bersangkutan bukan oleh keluarganya. 2. Permintaan itu dilakukan jika memang dokter sendiri telah melakukan

segala upaya dan usaha untuk menyembuhkan penyakit yang diderita pasien namun penyakit tersebut tidak dapat sembuh dan sudah ada vonis dokter kalau hidupnya tidak akan lama lagi.

3. Permintaan itu dilakukan karena tubuh pasien tidak sanggup lagi menerima segala pengobatan yang akan dilakukan dan akan beresiko pada organ-organ tubuh yang lainnya

4. Permintaan yang dilakukan oleh pasien tersebut juga atas persetujuan anggota keluarganya setelah diberi beberapa pandangan ataupun dampak positif atau negatif dari pengambilan keputusan tersebut

5. Harus jelas apa alasan permintaan tersebut dilakukan, bukan karena paksaan atau karena putus asa atau karena adanya motif-motif lain yang berhubungan terhadap pengambilan keputusan itu

6. Dokter dapat menolak permintaan dilakukannya euthanasia pasif tersebut jika dokter merasa alasan-alasan yang diberikan oleh pasien atau orang yang bertanggung jawab atas pasien tersebut tidak sesuai dengan kenyataan.

7. Jika dalam kondisi pasien tidak sadarkan diri oleh karena itu pengambilan keputusan tersebut dilakukan oleh kerabat terdekat pasien tersebut dan ada

(33)

pernyataan tertulis bahwa permintaan tersebut memang disetujui oleh kerabat terdekat pasien

8. Diharapkan juga dalam pengambilan ketusan tersebut pasien ataupun orang yang bertanggung jawab kepada pasien mendengarkan pandangan-pandangan dari beberapa dokter bukan hanya kepada satu dokter aja. Karena jika hanya mendengarkan hanya dari seorang dokter saja bisa terjadi salah vonis atau human error oleh karena itu diharapkan dalam pengambilan keputusan tersebut pasien ataupun orang yang bertanggung jawab terhadap pengambilan keputusan itu bertanya kepada beberapa dokter yang ahli dibidangnya.

Referensi

Dokumen terkait

Increasing the value of critical cohesive traction increases the extent of plastic zone at the crack tip which causes the fatigue crack growth to retard.. Plastic materials

[r]

Ada lima langkah yang dilakukan dalam proses evaluasi, Yang pertama adalah mengidentifikasikan para ahli, yang kedua adalah persetujuan para ahli untuk melakukan evaluasi,

Candra et al., "Simulation of Metal Flow to Investigate the Application of Antilock Brake Mechanic System in Deep Drawing Process of Cup", Advanced Materials Research, Vol.

 Penelitian  kualitatif  secara  etnografi  ini  menggunakan  teknik  wawancara  dan

The simulation results showed that the application of antilock brake mechanic system improves the ability to control the material flow during the drawing

[r]

Tulislah jawaban Saudara pada lembar jawaban ujian yang disediakan dengan cara dan petunjuk yang telah diberikan oleh petugas.. Untuk keperluan coret-mencoret dapat menggunakan