• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMBAHASAN A. PROBLEMATIKA PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG- menjadi penentu dalam menjaga kebersisteman norma.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV PEMBAHASAN A. PROBLEMATIKA PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG- menjadi penentu dalam menjaga kebersisteman norma."

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

PEMBAHASAN

A. PROBLEMATIKA PENGUJIAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Pemisahan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di Indonesia memiliki beberapa problematika hukum. Melalui konsep pemisahan kewenangan tersebut maka sama halnya pemisahan hirarki norma yang tersusun secara vertikal tersebut. Mengenai objek batu uji di Mahkamah Konstitusi dipandang sebagai penjaga dan pengawal konstitusi dan Mahkamah Agung sebagai pengawal undang-undang. Kedua lembaga tersebut menjadi penentu dalam menjaga kebersisteman norma.

Konsekuensi yuridis tersebut menimbulkan permasalahan dan kendala pada kelembagaan secara institusional maupun tujuan peradilan yaitu menegakkan kepastian hukum dan keadilan. Kelembagaan yang berfungsi menguji peraturan perundang-undangan bukanlah sistem yang ideal dan rawan terjadinya perbedaan pelaksanaan fungsi antar lembaga tersebut, perbedaan putusan, dan perbedaan konstruksi tafsir pertentangan norma. Berikut beberapa problematika yang terjadi dalam pengujian peraturan perundang-undangan secara dua atap. Melalui problematika pengujian, pada akhirnya memberikan kesimpulan bahwa sentralisasi kewenangan pengujian dalam peraturan perundang-undangan adalah keniscayaan dalam kerangka supremasi konstitusi.

(2)

1. Problematika Kelembagaan Formil Pengujian Peraturan Perundang-Undangan

Pasal 55 UU No 8 tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menentukan, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan MA wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian MK. Pemisahan kewenangan tersebut mendapatkan kendala efektivitas dan kepastian hukum terhadap proses pengujian di kedua lembaga. Dari segi keberlakuan norma, maka norma yang lebih tinggi peraturan perundang-undangan harus lebih diutamakan dalam penilaian tingkat validitas maupun konstitusionalitasnya. MK memiliki kewenangan tersebut terhadap undang-undang yang menjadi sumber hukum bagi peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Jika undang-undang telah dinyatakan tidak bertentangan dengan norma konstitusi , maka penentuan nilai validitas norma pada peraturan perundang di bawah undang terhadap undang-undang dapat dilakukan pengujian karena undang-undang-undang-undang tersebut sudah dinyatakan konstitusional. Hubungan MA dan MK dalam penyelenggaraan pengujian peraturan perundang-undangan melihat pada batu uji antar lembaga dimana konstitusi yang merupakan sumber hukum bagi peraturan perundang-undangan lebih diutamakan.

Kasus konkrit yang pernah terjadi dimana Pemohon yang merupakan pekerja pabrik menguji Pasal 55 UU MK terkait MA yang tak dapat menguji Peraturan Pemerintah (PP) jika UU yang menjadi dasar pengujian sedang diuji di MK. Pemohon menjelaskan pihaknya hendak menguji Pasal 44 PP Nomor 78

(3)

Tahun 2015 tentang Pengupahan terhadap UU Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan ke MA. Namun Pemohon berkaca dari pengalaman terkait putusan serupa, maka permohonannya akan bernasib sama yakni ditolak MA. Pemohon menjelaskan MA sudah memutus perkara lain menyangkut PP Nomor 78 Tahun 2015. Hasilnya perkara ditolak karena dasar pengujiannya, UU Nomor 13 Tahun 2013, sedang diuji di MK1. Dalam putusan terhadap permohonan ini dinyatakan permohonan tidak dapat diterima. Dengan demikian pada pokoknya permohonan belum masuk pada substansi permohonan tetapi memasuki tahap penilaian kompetensi kewenangan MA terhadap permohonan. Dalam Putusan No 67 P/HUM/2015 tanggal 24 November 2016 halaman 71 paragraph kedua, Mahkamah Agung berpendapat :

“Menimbang, bahwa oleh karena Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dijadikan dasar dalam permohonan a quo sedang dalam proses pengujian di Mahkamah Konstitusi dengan register perkara Nomor 99/PUU-XIV/2016, berdasarkan ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan: “Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada Putusan MK maka permohonan hak uji materiil ke Mahkamah Agung yang diajukan oleh Pemohon menjadi prematur (belum waktunya). Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah Agung belum waktunya menguji objek permohonan uji materiil a quo, maka permohonan keberatan hak uji materiil Pemohon tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard)”2

Problematika dalam Pasal 55 tersebut diajukan permohonan ke MK. Sejak adanya permohonan tersebut di MK, putusan MK Nomor 93/PUU-XV/2017

1Nano Tresna Arfana, Humas Mahkamah Konstitusi:“ Pemeriksaan Uji Materi di MA

Wajib Ditunda Saat UU Diuji MK”, 20 Maret 2018, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id, dikunjungi pada tanggal 25 Mei 2018 pukul 03.21.

2

(4)

dinyatakan konstitusional bersyarat dan pada pokoknya menambahkan suatu frasa untuk menghilangkan frasa multitafsir dan menjamin kepastian hukum pada pasal 55. Hasil putusan tersebut terhadap pasal 55 UU MK menjadi berbunyi :3

“Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung ditunda pemeriksaanya

apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada Putusan MK”

Terhadap putusan MA yang menyatakan tidak dapat diterima, permohonan dapat diajukan kembali setelah adanya putusan MK. Hal tersebut juga dapat dimaknai bahwa MA tidak boleh ikut dalam pihak yang berperkara dalam proses pengujian di MK. Pengujian di MK lebih dahulu diutamakan untuk meminimalisir pertentangan putusan atau penafsiran yang berbeda. Sementara itu proses pengujian MA harus sudah diputus dengan waktu selama 14 hari sejak permohonan keberatan didaftarkan (Pasal 31 ayat (4) UU MA). Terpantau data sejak tahun 2017 - Februari 2018 perkara yang sedang di uji di Mahkamah Agung dan pada saat bersamaan juga di uji di Mahkamah Konstitusi. Pada tahun 2017 perkara HUM yang UU nya sedang di uji di MK ada 7 perkara sedangkan di tahun 2018 sampai Februari 2018 terdapat 2 perkara.4 Melihat dari perspektif efektivitas proses pengujian maka penyelenggaraan dua atap tidak efektif dan tidak efisien.

Penanganan pengujian peraturan perundang-undangan ditinjau dari hukum acara yang terdiri atas asas-asas hukum beracara. Salah satu asas penting lainnya yang dipakai dalam peradilan adalah asas sederhana, cepat dan murah dengan prinsip semacam itu tidak dapat terealisasi secara maksimal. Pasal 2 ayat (4)

3 Putusan MK Nomor 93/PUU-XV/2017 4Putusan MK No 93/PUU-XV/2017

(5)

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana,cepat dan biaya ringan. Penjelasan atas ayat (4) tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif. Asas tersebut akan maksimal jika pengujian dilakukan dengan sistem sentralisasi di satu Mahkamah.

Menurut analisis data dalam disertasi Zainal Arifin Hoesein menilai efektifitas dan kefektifan penanganan perkara pengujian MA berjalan sangat tidak efektif, karena rata-rata perkara yang diselesaikan per tahun antara 1-2 (gugatan) dan 3 perkara (permohonan). Sebaliknya, Mahkamah Konstitusi justru lebih produktif, karena hanya dalam 1 (satu) tahun 1 (satu) bulan dapat menyelesaikan 22 (dua puluh dua) perkara.5 Disamping itu, permohonan keberatan di MA mewajibkan biaya permohonan yang dibebankan terhadap permohonan keberatan sementara permohonan MK dibebankan kepada negara. Bahkan MA berencana membuat 5 (lma) kali lipat biaya perkara yang dibebankan melalui revisi Perma No 1 tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil.6

Disamping asas cepat, murah dan sederhana, permasalahan efektif dan efisien penanganan perkara, dari segi formil pengujian di MA dalam pemeriksaan dilakukan secara tertutup dan terbatas kembali membuka kelemahan pengujian di MA. Undang-Undang Kekuasan Kehakiman dalam Pasal 13 ayat (1) menentukan bahwa sidang pengadilan terbuka untuk umum kecuali undang-undang menentukan lain. Hal ini berlaku secara universal dan berlaku di semua

5 Safi’, Urgensi Penyatuatapan…, Op.Cir.,h.223 6

www.hukumonlie.com, MA Berencana Naikkan Biaya Judicial Review 5 Kali Lipat,10 April 2018, dikunjungi 12 Juli 2018,pukul 18.50

(6)

lingkungan peradilan. Persidangan harus terbuka untuk umum merupakan satu asas yang lahir dari kebutuhan social control, maka dalam hukum acara yang secara umum berlaku terdapat pengecualian terhadap asas tersebut. KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) mengatur atas terdakwa anak-anak pemeriksaan dilakukan secara tertutup. Demikian pula pemeriksaan kesusilaan dan perkara perceraian.

Prof Sudikno Mertokusumo menjelaskan prinsip keterbukaan sidang pengaidilan tersebut berarti bahwa setiap orang diperbolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Tujuan dari pada asas ini tidak lain untuk memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta untuk lebih menjamin objektivitas peradilan dengan mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair, tidak memihak serta putusan yang adil kepada masyarakat. Secara formil asas ini membuka kesempatan untuk

social control.

Kemudian ketentuan yang memperkuat justifikasi sidang yang harus terbuka untuk umum ada dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman serta Pasal 40 ayat (2) UU MA menyatakan sidang pemeriksaan maupun sidang pengucapan putusan dalam perkara kasasi, perkara PK, dan perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang harus dilakukan dalam sidang yang sifatnya terbuka untuk umum. Dengan demikian pemeriksaan pengujian MA seharusnya dapat dilakukan secara terbuka. Asas terbuka untuk umum harusnya dapat diberlakukan dalam pengujian di MA mengingat objek yang diuji adalah berupa peraturan (regelling) yang bersifat abstrak dan umum yang berlaku mengikat pada masyarakat secara umum (erga

(7)

omnes) sehingga dapat dipertanggungjawabkan transparansi dan akuntabilitas nya. Penggunaan kata permohonan dalam pengujian menjadikan pentingnya asas erga omnes tersebut. Perma No.1 Tahun 2011 tidak lagi menggunakan istilah gugatan seperti dalam Perma No.1 Tahun 1993. Melalui perubahan ini dapat dilihat adanya perubahan paradigma terhadap hak uji. Kata permohonan juga digunakan MK sehingga dapat dimaknai apabila perubahan ini menunjukkan muatan kepentingan publik.

Mengenai sifat terbuka dan tertutup pernah dilakukan pengujian di MK. Dalam putusan MK No. 30/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa ketentuan pasal 31A ayat (4) huruf h UU MA tidak bertentangan dengan UUD 1945. Alasan pemberlakuan sidang pemeriksaan secara tertutup bahwa batas waktu penyelesaian sampai pada penetapan putusan hanya diberi waktu 14 hari maka dengan menghadirkan para pihak, pihak terkait dan keterangan ahli lainnya membutuhkan waktu yang lebih lama dan tidak dapat menjamin ketentuan mengenai batas waktu tersebut dapat dijalankan dalam praktiknya.

Pasal 31A ayat (4) menentukan :

Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Mahkamah Agung paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan

Mahkamah menilai apabila para Pemohon mengharapkan perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum dan dihadiri oleh para pihak, maka MA harus diberikan waktu yang cukup, serta sarana dan prasarana yang memadai. Hal

(8)

tersebut menurut Mahkamah, merupakan kewenangan pembentuk undang-undang (legislative power) dan bukan merupakan konstitusionalitas norma.7

Perbedaan dalam hukum formil pengujian peraturan perundang-undangan juga ditemukan dalam putusan. Pada Putusan MA “telah membaca surat-surat yang bersangkutan”. Hal ini dimaknai bahwa Mahkamah menilai berdasarkan

keterangan dalam surat-surat yang diterima dari pemohon maupun termohon. Sedangkan dalam Putusan MK penilaian berdasarkan banyak faktor yang dilakukan baik membaca atau mendengar dari pemohon, termohon, pihak terkait, keterangan ahli yang dihadirkan, perwakilan pemerintah dan DPR. Dari segi hukum acara kedua lembaga dapat dipahami bahwa hukum acara di MK memiliki keunggulan dalam transparansi dan akuntabilitas terhadap pengujian perundang-undangan.

Secara konseptual asas sidang terbuka untuk umum adalah keharusan bagi peradilan (mandat undang) terkecuali ditentukan lain dalam undang-undang terhadap perkara-perkara tertentu. Tidak ada ketentuan yang mengatur bahwa pemeriksaan dilakukan secara tertutup untuk menilai legalitas peraturan perundang-undangan terhadap undang-undang. Sehingga ketentuan yang berlaku adalah Pasal 13 ayat 1 dan 2 UU Kekuasaan Kehakiman tersebut yang mengharuskan untuk sidang terbuka untuk umum tidak hanya pada pembacaan putusan namun proses formil pemeriksaan dalam persidangan. Hal tersebut berbeda dengan pemberlakuan pengujian undang-undang terhadap UUD yang

7Yusti Nurul Agustin, “MK : Mekanisme Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Di

MA Konstitusional”, 01 Juni 2016, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id, dikunjungi Pada Tanggal 25 Mei 2018 Pukul 03.30

(9)

dilakukan oleh MK yang dalam hukum acara MK (formil) menganut sidang terbuka untuk umum.

2. Problematika Perbedaan Penafsiran atau Putusan Bertentangan

Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya.8Putusan pengadilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan dapat menyatakan bertentangan atau tidak bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tingkatannya. Sifat dari putusan MA dan MK dalam pengujian tidak hanya berlaku bagi para pemohon namun putusannya berlaku umum bagi siapa pun yang terikat dalam putusan tersebut (erga omnes). Berbeda halnya dengan problematika yang telah disebutkan sebelumnya yang muncul pada saat proses pengujian, dalam hal putusan MA dan MK yang bersifat final and binding. Dikatakan final karena terhadap putusan tersebut tidak dapat lagi dilakukan upaya hukum dan dikatakan mengikat karena putusan Mahkamah Konstitusi tersebut seketika dibacakan di hadapan sidang yang terbuka untuk umum, maka langsung mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi seluruh subjek hukum. Putusan MA dan MK adalah dua yurisdiksi yang berbeda dalam penanganan permohonan pengujian peraturan perundang-undangan. Untuk objek pengujian yang sama, pemohon berpeluang menguji peraturan perundang-undangan di MA dengan alasan ketidakpuasan pada tafsir undang-undang, maka pemohon melalukan pengujian undang-undang tersebut terhadap tafsir konstitusi di MK. Karena tidak adanya hubungan antara

8

Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Edisi 2, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, h. 201.

(10)

MA dan MK dalam hal penetapan putusan, maka putusan MK yang memiliki tafsir terhadap konstitusi memiliki daya mengikat yang lebih kuat padahal sifat dari putusan kedua lembaga tersebut adalah final dan binding. Dengan beberapa kasus menentukan bahwa putusan MK seperti memiliki daya mengikat terhadap putusan MA. Hal ini membuktikan perbedaan penafsiran atau putusan yang bertentangan. Peristiwa hukum yang pernah terjadi terangkum dalam beberapa kasus yang menjadi perhatian dalam putusan MA dan MK. Komparasi ditentukan berdasarkan kategori Putusan MA dan Putusan MK atau sebaliknya dan Putusan MK yang kedudukannya sama dengan undang-undang mengikat MA.

a. Putusan MA No. 15/P/HUM/2009 dan Putusan MK Nomor 110-111-112-113/PUU VII/2009

Kronologis perkara dalam Putusan MA No 15/P/HUM/2009 yakni mulai dari adanya Peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 15 Tahun 2009, tanggal 16 Maret 2009 tentang Pedoman Tekhnis Penetapan Dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum, Tata Cara Penetapan Perolehan Kursi, Penetapan Calon Terpilih Dan Penggantian Calon Terpilih Dalam Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, Dan DPRD Kabupaten/ Kota Tahun 2009. Dari pemberlakuan Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 tersebut, Calon Anggota DPR RI dari Partai Demokrat (Zaenal Ma’arif, SH, Yosef B Badeoda, SH.MH., Drs. H.M.Utomo A.Karim T, SH dan Mirda Rasyid, SE.MM.) selaku pemohon.9 Peserta Pemilu 2009 merasa dirugikan kepentingannya terhadap Putusan MA No. 15 P/HUM/ 2009 bahwa Mahkamah menilai Pasal 22 huruf c dan pasal 23 ayat 1 dan 3 dalam

(11)

Peraturan itu bertentangan dengan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu pasal 205 ayat 4.

Pasal 205 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 menentukan : “Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap kedua dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari BPP DPR

Pasal 22 huruf c Peraturan KPU No 15 tahun 2009 :

“Apabila dalam penghitungan sebagaimana dimaksud pada huruf a, Partai Politik yang bersangkutan masih memiliki sisa suara tersebut akan diperhitungkan dalam penghitungan kursi tahap berikutnya”

Pasal 23 ayat (1)

“ Tahap Kedua penghitungan perolehan kursi Partai Politik peserta Pemilu Anggota DPR di setiap daerah Pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dilakukan dengan :

1. Menentukan kesetaraan 50% (lima puluh perseratus) suara sah dari angka BPP, yaitu dengan cara mengalikan angka 50% (lima puluh perseratus) dengan angka BPP di setiap daerah pemilihan Anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) ;

2. Apabila hasil perkalian tersebut menghasilkan angka pecahan, makaangka pecahan 0,5 atau lebih dibulatkan ke atas dan angka pecahan dibawah 0,5 dihapuskan ;

3. Membagikan sisa kursi pada setiap daerah pemilihan Anggota DPR kepada Partai Politik peserta Pemilu Anggota DPR, dengan ketentuan:

a. Apabila suara sah atau sisa suara partai politik peserta PemiluAnggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf d mencapai sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dariangka BPP, maka Partai Politik tersebut diberikan 1 (satu) kursi;

b. Apabila suara sah atau sisa suara partai politik peserta PemiluAnggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf d tidakmencapai sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dariangka BPP dan masih terdapat sisa kursi, maka :

1. Suara sah Partai Politik yang bersangkutan, dikategorikansebagai sisa suara yang akan diperhitungkan dalampenghitungan kursi Tahap Ketiga, dan

2. Sisa suara partai politik yang bersangkutan, akan diperhitungkan dalam penghitungan kursi Tahap Ketiga “

Pasal 23 ayat (3) :

“ Apabila terdapat Partai Politik pesertaPemilu Anggota DPR yang memiliki suara sah atau sisa suara sama, maka untuk menetapkan Partai

(12)

Politik yang berhak atas sisa kursi terakhir dilakukan dengan cara diundi dalam rapat pleno KPU terbuka”

Para Pemohon mendalilkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2009 Pasal 22 huruf c dan Pasal 23 ayat (1) dan (3) adalah bertentangan dengan Pasal 205 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, yang mengakibatkan Para Pemohon sebagai caleg dari Partai Politik peserta Pemilu tidak mendapatkan keadilan sehubungan dengan pembagian sisa kursi pada tahap II (kedua).10 Dalam putusan MA No. 15 P/HUM/ 2009, Mahkamah menilai Pasal 22 huruf c dan pasal 23 ayat 1 dan 3 dalam Peraturan itu bertentangan dengan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu pasal 205 ayat 4. MA dalam putusan Nomor 15P/HUM/ 2009 meminta KPU membatalkan pasal-pasal tentang penetapan calon terpilih pada tahap kedua tersebut. KPU juga diharuskan merevisi Keputusan KPU No259/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang penetapan perolehan kursi.

Mensikapi putusan MA tersebut sejumlah pemohon perwakilan dari sejumlah partai politik mengajukan permohonan pengujian undang-undang (UU No 10 tahun 2008 tentang Pemilu) dengan pengujian konstitusionalitas dan penafsiran suatu ketentuan dalam norma ke Mahkamah Konstitusi. Pada pokoknya hakim MK menyatakan pasal 205 ayat 4 dan pasal 212 ayat 3 UU Pemilu dinyatakan konstitusional bersyarat yang artinya konstitusional sepanjang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam putusan MK. Pasal 205 ayat 4 yang dipersoalkan dalam dasar pengujian di MA, dalam praktiknya harus menjalankan ketentuan putusan MK. Hal yang tampak berbeda dari kedua putusan adalah double counting (perhitungan suara

(13)

ganda) yang dilegalkan oleh putusan MA namun ketentuan putusan MK

double counting tidak terjadi dengan dalil upaya sistem proporsional dalam pemilu dapat dicapai maksimum. Disamping itu tafsir MK memberikan kepastian hukum pada frasa “suara” pada penghitunganperolehan kursi tahap kedua dalam pasal 205 ayat 4 UU 10 tahun 2008 tentang Pemilu.

Penafsiran konstitusi yang dilakukan MK memberikan kepastian hukum sehingga telah menghilangkan frasa yang multitafsir untuk pasal a quo dan memberikan keadilan bagi sistem demokrasi dalam pemilu. Dalam putusannya MK menilai dalam penilaian perspektif sistem proporsional,

“Cara yang dipilih dalam penetapan perolehan kursi untuk partai politik peserta pemilu adalah cara yang menimbulkan deviasi paling kecil sebagaimana penghitungan yang telah diterapkan dalam pemilu sistem proporsional yang berlaku pada pemilu sebelum tahun 2009. Agar deviasi yang ditimbulkan oleh cara penetapan perolehan kursi untuk partai politik 103 peserta pemilu menjadi kecil, sesuai dengan tujuan sistem proporsional, maka “suara” pada Pasal 205 ayat (4) UU 10/2008 harus dimaknai sebagai:

a) Sisa suara yang diperoleh partai politik setelah dipergunakan untuk memenuhi BPP;

b) Suara yang belum dipergunakan untuk penghitungan kursi sepanjang mencapai 50% dari BPP.11

Kendati alasan penafsiran hukum oleh MK yang memberikan kepastian, KPU akhirnya memilih mengikuti dan melaksanakan putusan MK tersebut dan mengabaikan Putusan MA. Dari perspektif kekuatan hukum dan daya mengikat, putusan MA dalam perkara ini kehilangan kekuataan daya hukumnya karena dasar hukum pengujian dinyatakan konstitusional bersyarat oleh MK.

11

(14)

b. Putusan MK RI Nomor. 4/PUU-V/2007 dan Putusan MA RI Nomor.1110 K/Pid.Sus/2012

Putusan pengadilan (yurisprudensi) adalah salah satu sumber hukum dalam sistem hukum Indonesia. Hirarki peraturan perundang-undangan mengharuskan adanya hubungan dengan putusan pengadilan atas pengujian terhadap peraturan perundang-undangan dan memaksa putusan tersebut harus sejalan dengan prinsip yang ada dalam hirarki norma. Dengan demikian prinsip yang dipakai adalah putusan uji materil peraturan yang lebih rendah tingkatanya harus sesuai atau selaras dengan putusan peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Namun demikian karena secara yuridis kedudukan MA dan MK tidak memiliki hubungan secara konseptual karena masing-masing memiliki fungsi dan kewenangan yang berbeda. Namun dalam hal konsep hirarki norma maka mengharuskan putusan MK mengikat kepada MA. Dalam kasus ini justru Putusan MK menjadi referensi atau acuan dalam putusan MA sehingga maknanya putusan MK tersebut setara dengan undang-undang (negative legislator) yang dapat dijadikan batu uji dalam pelaksanaan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Bahkan Titon Slamet Kurnia menyebutkan bahwa judicial law making melalui putusan MK adalah konstitusi yang berpotensi menjadi salah satu cara yang sah dalam “amandemen” konstitusi melalui intepretasi konstitusi yang dilakukannya. Dengan konsep demikian maka Putusan MK dapat disebut sebagai

(15)

konstitusi.12 Hal tersebut tidak terlepas dari fungsi dan kedudukan kekuasaan kehakiman dalam melakukan penegakan hukum maupun penemuan hukum.

Putusan MK RI Nomor. 4/PUU-V/2007 , para pemohon mendalilkan Pasal 37 Ayat (2), Pasal 75 Ayat (1), Pasal 76, Pasal 79 huruf a, Pasal 79 huruf c UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431) karena dipandang bertentangan dengan UUD 1945. Namun Makamah hanya mengabulkan sebagian permohonan. Terhadap Pasal 75 ayat (1) dan Pasal 76 dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.

Pasal 75 ayat (1)

“Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”

Pasal 76

Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktek kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah)”

Pasal 79

“Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang :

a. dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1);

b. dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1); atau

c. dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.

12

Titon Slamet Kurnia, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia: Sang Penjaga HAM (The Guardian of Human Rights), FH UKSW, Salatiga, 2013, h. 191-192.

(16)

Pasal 36

“Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki Surat Izin Praktik”

Penilaian Mahkamah dalam putusan tersebut menentukan bahwa ancaman pidana tidak tepat diberikan karena hukum pidana harus humanis dan memberikan perspektif proporsional terhadap kode etik profesi.

Mahkamah berpendapat bahwa ancaman pidana berupa pidana penjara dan pidana kurungan adalah tidak tepat dan tidak proporsional karena pemberian sanksi pidana harus memperhatikan perspektif hukum pidana yang humanistis dan terkait erat dengan kode etik. Dengan demikian, menurut Mahkamah: (i) ancaman pidana tidak boleh dipakai untuk mencapai suatu tujuan yang pada dasarnya dapat dicapai dengan cara lain yang sama efektifnya dengan penderitaan dan kerugian yang lebih sedikit, (ii) ancaman pidana tidak boleh digunakan apabila hasil sampingan (side effect) yang ditimbulkan lebih merugikan dibanding dengan perbuatan yang akan dikriminalisasi, (iii) ancaman pidana harus rasional, (iv) ancaman pidana harus menjaga keserasian antara ketertiban, sesuai dengan hukum, dan kompetensi (order, legitimation, and competence), dan (v) ancaman pidana harus menjaga kesetaraan antara perlindungan masyarakat, kejujuran, keadilan prosedural dan substantif (social defence, fairness, procedural and substantive justice“13

Melalui pandangan tersebut Mahkamah memutuskan ketentuan “penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau” dan Pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata“kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau” bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam Putusan MA RI Nomor.1110 K/Pid.Sus/2012 yang sekaligus membatalkan putusan pengadilan pada tingkat pertama yaitu putusan Pengadilan Negeri Kota Madiun No. 79/Pid.Sus/ 2011/PN.Kd.Mn tanggal

(17)

06 Oktober 2011 menyatakan bahwa terdakwa dr. BAMBANG SUPRAPTO, Sp.B.M.Surg dinyatakan bersalah dan dihukum satu tahun enam bulan penjara dan denda sebesar Rp 100.000.000,00 yang didasarkan pada Pasal 76 UU Praktik Kedoktekteran tersebut. Pandangan Mahkamah bahwa terdakwa dengan sengaja melakukan praktek kedokteran tanpa memiliki surat ijin praktik dan tidak memenuhi kewajibannya memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. Namun pasal 76 telah dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang mengenai hukuman pidana penjara bagi terpidana yang pernah diputus MK sebelumnya telah menjadi yurisprudensi. Dalam putusan MA juga tidak ditemukan satu kausal hubungan atau acuan pada putusan tersebut yang menyangkutkan pada putusan MK terhadap pasal tersebut. Tentu hal ini menjadi kontradiksi dengan putusan MK yang terikat pada penyelenggara negara dan warga negara. Putusan final and binding putusan MK mengikat penyelengara negara dan warga negara meskipun sifatnya deklaratif. Seperti hasil putusan MK No. 79/PUU-XV/2017 yang pada pokoknya mendalilkan bahwa putusan MK mengikat Mahkamah Agung dan menambahkan ketentuan tersebut dalam norma.

Putusan diumumkan dalam Berita Negara dalam jangka waktu 30 hari setelah diucapkan. Dengan dimuat dalam berita negara maka seluruh penyelenggara negara dan warga negara terikat untuk tidak menerapkan dan melaksanakan lagi norma hukum yang oleh Mahkamah telah dinyatakan bertentangan dengan uud 1945 (inkonstitusional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karena itu jika terdapat suatu perbuatan yang dilakukan atas dasar undang-undang yang oleh Mahkamah telah dinyatakan baik seluruhnya maupun sebagian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum

(18)

mengikat maka perbuatan tersebut dapat dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum.”14

Dengan demikian dapat dipahami dengan fungsi dan kewenangan yang dimiliki MK maka putusan yang dikeluarkan mengikat pula kepada penyelenggara negara termasuk Mahkamah Agung. Dengan sifat mengikat tersebut maka jaminan akan kepastian hukum dan keadilan akan terwujud.

c. Putusan MK No 78/PUU-XV/2016 dan Putusan MA No 37/HUM/2017

Dalam kasus ini ditemukan kembali hal tidak memiliki daya mengikat Putusan MK terhadap MA dalam pengujian peraturan perundang-undangan. Peraturan Menteri Perhubungan RI No PM.26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam Trayek terhadap UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (selanjutnya disebut UU LLAJ). Kasus tersebut mempermasalahkan keharusan penyelenggara angkutan online harus berbadan hukum.

Sebelumnya telah ditetapkan putusan MK terhadap pasal 139 ayat (4) UU LLAJ,

Penyedia Jasa Angkutan Umum dilaksanakan oleh badan usaha milik Negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”

Bahwa dengan berlakunya pasal a quo, para pemohon sebagai pengemudi angkutan berbasis online menganggap hak konstitusionalnya untuk mendapatkan hak atas pekerjaan yang layak dirugikan karena akan

(19)

merasa kesulitan jika usaha angkutan online harus disamakan dengan BUMN, BUMD ataupun badan hukum dan mendalilikan bahwa ketentuan tersebut tidak mengakomodir dari perorangan. Namun MK memperkuat pasal 139 ayat (4) tersebut yang mengartikan bahwa eksistensi ketentuan tersebut konstitusional. Mahkamah menilai dengan adanya keharusan berbadan hukum demikian apabila terjadi sengketa, mekanisme penyelesaiannya menjadi lebih jelas. Demikian pula halnya bagi pengguna jasa angkutan online akan menjadi lebih pasti apabila ada keluhan atau tuntutan yang harus diajukan manakala merasa dirugikan.

Kontradiksi kembali ditemukan dalam putusan MA Nomor 37/P/HUM/2017 yang pada intinya menyatakan Pasal 5 ayat (1) huruf e, Pasal 19 ayat (2) huruf f dan ayat (3) huruf e, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 huruf a, Pasal 30 huruf b, Pasal 35 ayat (9) huruf a angka 2 dan ayat (10) huruf a angka 3, Pasal 36 ayat (4) huruf c, Pasal 37 ayat (4) huruf c, Pasal 38 ayat (9) huruf a angka 2 dan ayat(10) huruf a angka 3, Pasal 43 ayat (3) huruf b angka 1 sub huruf b, Pasal 44 ayat (10) huruf a angka 2 dan ayat (11) huruf a angka 2, Pasal 51 ayat (3),dan Pasal 66 ayat (4) Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM.26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam Trayek banyak mengatur kewajiban harus berbadan hukum justru dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. MA menilai terdapat 14 pasal dalam PM 26 Tahun 2017 dinyatakan bertentangan dengan UU No 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah serta UU LLAJ. Putusan MK yang ada sebelumnya yang

(20)

menegaskan konstitusionalnya dalam hal kewajiban berbadan hukum harus mengikat pula bagi MA untuk dapat dijalankan. Dalam hal ini putusan MK menjadi hal penting selain undang-undang yang dapat menjadi batu uji dalam pengujian di MA.

3. Pertentangan Norma dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Mengenai Hak Asasi Manusia (HAM)

Secara umumnya UUD NRI 1945 mencakup mengenai struktur pemerintahan, pembagian kekuasaan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Materi muatan HAM menjadi hal yang pokok dalam pembahasan sub bab ini yang membahas salah satu problematika hukum terhadap dualisme kewenangan pengujian perundang-undangan. Bagian ini ingin menjustifikasi bahwa dualisme kewenangan tersebut melupakan esensi dan eksistensi muatan HAM dalam perundang-undangan. Produk peraturan perundangan-undangan adalah produk politik yang dapat saja disertai berbagai kepentingan politik didalamnya. Secara instititusional produk hukum tersebut dapat dilakukan dengan kontrol normatif oleh MA dan MK. Namun mekanisme kontrol perundang-undangan tidak seluruhnya mengikat pada UUD NRI 1945. Produk politik Undang-Undang dapat dinilai konstitusionalitasnya melalui pengujian di MK namun tidak ada landasan yuridis terhadap mekanisme pengujian konstitusionalitas perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap konstitusi. Hal ini dikarenakan MA tidak memiliki tafsir konstitusi (the fimal interpreter of constitution) terhadap objek pengujiannya. MK adalah lembaga tunggal penafsir konstitusi.

(21)

Dalam kaitan dengan HAM negara memiliki kewajiban to respect, to protect dan to fulfill.15 Orientasi pengertian pelanggaran HAM yang digunakan lebih spesifik, yaitu tindakan legislator menghasilkan undang-undang yang substansinya bertentangan dengan HAM dimana sebagian telah dianumerasikan oleh Bab XA UUD NRI 1945. Penerapan ketentuan pembatasan HAM merupakan kewenangan inheren negara dalam rule making namun tetap disertai pembatasan-pembatasan yang tidak dapat dilakukan sewenang-wenang dan tetap menghormati dan memberikan pengakuan hak asasi manusia orang lain (Pasal 28 J ayat 1 dan 2 UUD NRI 1945). Negara tidak boleh melakukan pembatasan hak alamiah manusia baik melalui regelling maupun beschikking dengan alasan apapun. Negara dalam hal pembentukan produk hukum harus memperhatikan HAM. Pasal 2 Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menentukan bahwa,

Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peringatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.16

Dalam hal perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah. Sebagian contoh bukti bahwa kesewenangan penguasa yang memiliki legitimasi pembentukan perundang-undangan adalah masih ditemui Perda ataupun Peraturan Pemerintah sebagai delegasi norma dari norma diatasnya tidak mencerminkan perlindungan terhadap HAM. Terlebih lagi terdapat putusan MK yang menyatakan pembatalan

15

Titon Slamet Kurnia, Interpretasi Hak-Hak…,Op.Cit.,h.130.

(22)

perda oleh pemerintah dengan mekanisme (executive review) semakin membiarkan produk politik perundang-undangan bertentangan atau menyimpang dari kostitusi yang memuat banyak mengenai materi HAM. Untuk itu pada bagian ini dapat dibuktikan bahwa HAM merupakan hal pokok dalam perundang-undangan dan perlunya mekanisme dalam penilaian materi HAM terhadap konstitusi. Sebagai contoh riil karena merupakan daerah otonom maka tiap daerah memiliki kewenangan dalam pembentukan Perda, namun tidak sedikit perda-perda yang bernuansa perda-perda syariah, perda-perda diksriminatif dan produk perundang-undangan dibawah undang-undang lainnya yang berpotensi secara implisit melanggar atau menyimpangi HAM yang hanya dapat dilakukan pengujian MK melalui batu uji konstitusi.

Dengan melihat berbagai problematika hukum diatas, sangat terlihat dampak yang terjadi jika hal seperti ini terus terjadi dan seharusnya dalam negara hukum yang demokratis ini harus dilakukan upaya penataan pembangunan hukum yang mencerminkan konsep negara hukum yang berkeadilan dan berkepastian hukum. Beberapa masalah yang disebutkan tersebut sudah menggambarkan potensi atau peluang terjadinya perbedaan penafisiran atau putusan yang bertentangan pada konsep pemisahan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan. Pemberlakuan konsep hirarki norma idealnya tidak menggunakan sistem dua atap namun dilakukan dengan sentralisasi dan mengintegrasikan pengujian peraturan perundang-undangan pada satu Mahkamah yang memiliki legitimasi menilai atau menafsirkan norma pada kedudukan norma yang paling tinggi atau puncak hirarki yaitu konstitusi (UUD NRI 1945). Dengan

(23)

melihat dari konseptual kelembagaan maka sudah tepat dan ideal penanganan perkara permohonan pengujian peraturan perundang-undangan adalah satu Mahkamah yang memiliki kemampuan dalam menilai peraturan perundang-undangan nasional atau dengan kewenangan MK untuk mengadili permohonan konstitusional (constitutional complaint) atas upaya perlindungan hak-hak konstitusional warga negara seperti diberlakukan oleh beberapa lainnya seperti Jeman, Austria, Rusia.

B. REKONSTRUKSI (PENYATUATAPAN) PENGUJIAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN

Setelah mengkaji latar belakang, pengaturan pengujian peraturan undangan dan implikasi kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan secara dua atap, maka dalam bab ini akan memberikan gagasan penataan yang membangun kembali atau rekonstruksi terhadap kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan di masa yang akan datang dengan melihat pada realitas pengujian yang berlaku saat ini. Langkah-langkah reformasi hukum tidak hanya dimulai dengan mereformasi substansi hukum (legal substances) saja, seperti perbaikan pada kualitas peraturan perundang-undangan, namun juga diikuti dengan perbaikan institusi kekuasaan kehakiman. Setelah mengkaji dan menganalisis berbagai macam persoalan dan implikasinya pembagian kewenangan dalam dualisme kewenangan terhadap stuktur kesatuan norma yang idealnya tidak dapat dipisahkan. Maka sebuah gagasan fundamental untuk memperkuat lembaga kekuasaan kehakiman dengan menyatuatapkan atau sentralisasi kewenangan sebagai lembaga tunggal dalam pengujian peraturan

(24)

perundang-undangan oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian terdapat peralihan dan perluasan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-udang MA kepada MK yang bersifat konstitusional yaitu penuangan dalam konstitusi (UUD NRI 1945). Untuk itu perubahan terhadap Pasal 24 A ayat 1 dan Pasal 24 C ayat 1 UUD NRI 1945 dan aturan turanannya adalah keniscayaan.

1. Mahkamah Konstitusi Berwenang Menguji Peraturan Perundang-Undangan

Secara historis pola penyatuatapan pengujian peraturan perundang-undangan sudah ada dalam pembahasan pembentukan Undang-Undang Dasar. Melalui perdebatan antara Soepomo dan Moh. Yamin terdapat kesimpulan bahwa penyatuatapan pernah menjadi gagasan dalam pengujian peraturan perundang-undangan.

Secara historis dilihat dari niat para penyusun UUD, legitimasi pengujian undang-undang penting untuk dikaji. Pentingnya isu ini karena sejarah penyusunan UUD masa lalu ketika dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berlangsung tepatnya pada tanggal 15 Juli 1945. Moh.Yamin mengusulkan dengan menyatakan bahwa Agar Balai Agung (istilah yang digunakan Yamin untuk Mahkamah Agung) tidak hanya melaksanakan bagian kekuasaan kehakiman, melainkan juga menjadi badan yang membanding (menguji) apakah undang-undang yang dibuat oleh DPR tidak melanggar UUD atau bertentangan dengan hukum adat yang diakui ataukah tidak bertentangan dengan syariah agama Islam. Pendapat Moh.Yamin kemudian ditanggapi oleh Soepomo yang pada intinya tidak menyetujui kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD diberikan kepada MA, melainkan diberikan kepada peradilan khusus yang namanya Constitutioneelhof, Cekoslawakia seperti Jerman...17

(25)

Namun gagasan tersebut harus terkendala pada sistem pemisahan kekuasaan yang belum secara tegas seperti masih diberlakukannya lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara serta pakar hukum dan konstitusi yang masih terbilang minim. Dengan demikian dapat dipahami bahwa urgensi penyatuatapan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan sudah ada sejak pembentukan UUD 1945 itu berlangsung. Dasar filosofis judicial review hanya diberlakukan oleh MA yang menguji perundangan dibawah undang-undang. Hanya saja MA dibentuk tidak memiliki tafsir konstitusional tehadap norma karena masih diberlakukannya undang-undang yang tidak dapat diganggu gugat.

Pada perubahan UUD NRI 1945 (1999-2002) dengan terbentuknya Mahkamah Konstitusi maka konsep pengujian menjadi bersifat dualistik. Pemisahan kewenangan pengujian perundang-undangan dilakukan MA dan MK dengan kewangan yang dimilikinya. Padahal dalam prinsip hirarki norma, maka pengujian terhadapnya harus monistik, karena UUD adalah puncak hirarki norma yang menjadi sumber bagi seluruh perundang-undangan. Karenanya pengujian tidak boleh dilakukan secara terputus atau terbelah. Hirarki norma adalah kesatuan nilai yang mengharuskan pengujiannya dilakukan secara tersentralisasi. Gagasan menyatuatapkan pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi menjustifikasi bahwa dengan mekanisme pengujian tersentralisasi maka akan tegaknya prinsip supremasi konsitusi.

Secara substantif tidak ada relevansinya memisahkan objek pengujian peraturan perundang-undangan pada dua lembaga negara yang menganut prinsip hirarki norma dan supremasi konstitusi. Hal ini dikarenakan esensial dari

(26)

menanisme pengujian adalah untuk menjaga harmonisasi normatif sekaligus kontrol normatif supaya sistem norma konsisten, sinkron secara vertikal serta menjaga tertib hukum. Keduanya memiliki kewenangan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan namun dengan tingkatan yang berbeda dalam tatanan hirarkis. Saldi Isra mengatakan bahwa jika hendak menempatkan MA dan MK sebagai dua lembaga pelaku kekuasaan kehakiman dengan persinggungan kewenangan yang sangat tipis, tentunya kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan sepenuhnya mesti diberikan kepada MK, sedangkan penyelesaian sengketa seperti sengketa hasil pemilihan umu sebagai bagian dari kerja court of justice sepenuhnya juga diserahkan kepada MA. Dengan pembagian demikian tentunya persinggungan kewenangan yang potensial tidak memunculkan masalah dalam pelaksanaannya yang terjadi.18 Pada pokoknya MK berfungsi menjaga dan menafsirkan konstitusi yang kemudian memiliki kontrol normatif terhadap perundang-undangan. Disisi lain MA sejatinya berfungsi sebagai institusi kekuasaan kehakiman yang menerapkan hukum termasuk diantaranya perundang-undangan dalam menyelesaikan perkara yang bersifat konkrit. MA tidak perlu dilibatkan dalam pengujian perundang-undangan.

Mekanisme pengujian yang diberlakukan Indonesia saat ini mengadopsi pengujian perundang-undangan model Korea Selatan dengan membedakan pengujian oleh MA dan MK, pemberlakuan tersebut mengalami beberapa problematika hukum yang sangat krusial. MPR perlu menjadikan diskurus penyatuatapan pengujian judicial review serta merumuskan kembali model pengujian sebagaimana yang dipraktikkan di negara Federal Jerman dengan

(27)

kombinasi yang sesuai dengan sistem hukum di Indonesia. Demikian hal nya dasar gagasan Kelsen mengenai pembentukan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa,

Berpandangan norma konstitusi sebagai landasan bagi validitas seluruh norma hukum dalam suatu tata hukum atau tertib hukum tertentu. Konsep dasar ini mengandung konsekuensi logis yang bersifat fundamental berupa kebutuhan akan adanya suatu organ negara yang menjamin tegaknya konstitusi, yaitu untuk menyelesaikan masalah inkonsistensi seluruh norma hukum, baik yang lebih spesifik maupun umum, dengan norma-norma yang lebih tinggi tingkatannya yang menjadi landasannya dan pada tahap terakhir dengan norma konstitusi.19

Jimly Asshiddiqie menyampaikan dalam Orasi dan Diskusi Ilmiah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. dengan tema: "Konstitusi Sosial dan eksistensi masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya", dalam Simposium Masyarakat Adat ke-2 dalam menjawab pertanyaan atas problematika konstitusionalitas peraturan perundang-undangan dibawah undang-udang yang menyatakan,

“Saya sudah usulkan harus terintegrasi semua di MK, semuanya tapi karena di MA sudah mengangani (pengujian peraturan dibawah undang-undang terhadap undang-undang), maka ini orang (MPR) males mikir. Jadi diundanglah Ketua MK seperti Jerman,Afrika Selatan Austria termasuk diantaranya Korea Selatan. Pas Korea Selatan bicara dia jelaskan sejarah MA disana yang tetap menguji peraturan dibawah undang-undang,… maka pragmatis saja Mahkamah Agung menangani pengujian peraturan dibawah undang-undang”20

Gagasan atas peralihan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dilakukan oleh MK maka judicial review

terhadap hirarki norma dengan batu uji konstitusi menjadi konstitusionalitas. Pengujian terhadap norma adalah judicial review suatu produk hukum atau norma

19I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional…,Op.Cit.,h.188.

20Orasi dan Diskusi Ilmiah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. dengan tema: "Konstitusi

Sosial dan eksistensi masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya", dalam Simposium Masyarakat Adat ke-2 di Universitas Pancasila, 16-17 Mei 2016, https://www.youtube.com , dikunjungi pada 6 Juni 2018 pukul 11.00

(28)

terhadap konstitusi. Melalui peralihan kewenangan dengan bangunan konstitusionalitas tersebut maka harus mengubah ketentuan dalam UUD NRI 1945 terkhusus mengenai ketentuan mengenai pengujian peraturan perundang-undangan di MK. Peraturan perundang-perundang-undangan yang diuji adalah peraturan yang diatur dalam pasal 7 ayat 1 dan pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang diuji berdasarkan Undang-Undang Dasar NRI 1945. Sebagaimana hal tersebut gagasan tersebut merupakan perwujudan dari prinsip supremasi konstitusi dan menjadikan konstitusi yang hidup (the living constitution).

2. Pengujian Konstitusionalitas Peraturan Perundang-Undangan

Pembangunan hukum terhadap prinsip supremasi konstitusi adalah keniscayaan mengikat kepada MK untuk melaksanakan fungsinya dalam penegakan hukum terhadap peraturan perundang-undang di bawah Undang Dasar supaya menjadi tertib hukum dan tidak menyimpang dari Undang-Undang Dasar. Mahkamah Konstitusi bertugas memastikan norma di bawah Undang-Undang Dasar sebagai dasar pengujian adalah konstitusional. Apabila materi muatan perundang-undangan di bawah undang-undang yang diuji berdasarkan Undang-Undang tertentu maka MK memastikan terlebih dahulu materi muatan ayat, pasal dan ketentuan Undang-Undang tersebut terlebih dahulu dinyatakan konstitusional. Setelah MK menyatakan dasar pengujiannya konstitusional, maka MK dapat menilai validitas perundang-undangan di bawah undang-undang yang diajukan pemohon. Dengan demikian peran dan fungsi MK dalam menegakkan supremasi konstitusi dapat dilaksanakan dengan alur demikian. Kepentingan MK adalah untuk memastikan alur pegujian

(29)

perundang-undangan menjadi terkawal dan bertumpu pada Undang-Undang Dasar. Karena ukuran keadilan dan hukum yang ditegakkan dalam peradilan yang dijalankan oleh MK adalah Undang Dasar itu sendiri. Walaupun demikian Undang-Undang Dasar tidak hanya dimaknai norma-norma tertulis saja, melainkan juga prinsip dan moral Undang-Undang Dasar antara lain prinsip negara hukum dan demokrasi, perlindungan hak asasi manusia serta perlindungan hak konstitusional warga negara.21 MK dibentuk dengan fungsi untuk menjamin tidak akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor Undang-Undang Dasar sehingga hak-hak konstitusional warga terjaga dan produk perundang-undangan itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya.

Fungsi dan peran utama MK adalah adalah menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusionalitas norma. Demikian halnya yang melandasi negara-negara yang mengakomodir pembentukan MK dalam sistem ketatanegaraannya. Dalam rangka menjaga konstitusi, fungsi pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan Indonesia sebab UUD 1945 menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi supremasi parlemen melainkan supremasi konstitusi.22 Karena prinsip supremasi parlemen sudah ditinggalkan maka prinsip yang dianut sekarang adalah supremasi konstitusi. Jika supremasi parlemen itu dapat dijalankan oleh parlemen itu sendiri, maka berbeda hal nya dengan supremasi konstitusi maka kepatuhan seluruh warga negara maupun penyelenggara negara tunduk pada konstitusi. Secara implisit MK adalah lembaga yang memiliki fungsi untuk membuat konstitusi menjadi supreme,

karena konstitusi bukanlah sebuah lembaga atau institusi yang tidak dapat

21 Maria Farida Indrati, Teori…,Op.Cit.,h.1.18

22 Janedjri M. Gaffar, Kedudukan, Fungsi dan Peran Mahkamah Konstitusi dalam

(30)

menjalankan fungsinya, maka MK adalah satu-satunya lembaga yang memiliki legitimasi fungsi tersebut.

Selain menegakkan prinsip supremasi konstitusi melalui lembaga yudikatif dengan mekanisme judicial review, dalam proses pembentukan yang dilakukan oleh otoritas yang berwenang harus memiliki budaya konstitusi (constitutionalist culture). Jika budaya konstitusi terbangun dengan baik maka sikap tunduk penyelenggara negara dapat menjadi kebiasaan ketatanegaraan (constitutional convention) guna memperkokoh sendi-sendi negara berdasarkan konstitusi. Dengan demikian MK sebagai kontrol normatif terhadap peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan, maka legislator menjadi kontrol normatif sendiri terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan dengan berlandaskan pada konstitusi. Pembentuk undang-undang tidak sewenang-wenang dalam melakukan pembentukan perundang-undangan tanpa memperhatikan alur dasar pembentukan norma melalui prinsip hirarki norma. Melalui tegaknya prinsip supremasi konstitusi maka produk peraturan perundang-undangan lainnya sebagai bagian dari produk politik tidak terlepas atau melebar dari koridor kesepakatan umum dalam konstitusi sehingga dengan demikian maka semakin kuatnya prinsip kedaulatan rakyat dan cita-cita demokrasi.

Mengintergrasikan pengujian di MK dengan sistem sentralisasi kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan mengharuskan adanya perubahan pada subjek dan objek pengujian. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga kekuasaan kehakiman tunggal yang diberikan kewenangan untuk melakukan pengujian pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat terhadap produk hukum yang merupakan dasar pengujian legalitas. Sebelum pengujian

(31)

legalitas itu dilaksanakan, MK menyatakan konstitusional terlebih dahulu aturan yang menjadi dasar atau batu uji pengujian yang menjadi sumber hukum pembentukan objek norma yang akan dilakukan pengujian di MK.

Dengan demikian subjek pengujian peraturan perundang-undangan dipusatkan pada satu lembaga sama hal nya yang diberlakukan oleh Mahkamah Konstitusi Austria maupun Mahkamah Konstitusi Federal Jerman. Saat ini mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan tidak sepenuhnya mengikuti pengujian yang dilakukan oleh MK Federal Jerman. Yang dipakai saat ini adalah mekanisme pengujian seperti di Korea Selatan yang membaginya antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Dengan melalui problematika yang terjadi tidak menguntungkan menggunakan prinsip pembagian kewenangan. Maka prinsip sentralisasi pengujian supaya terintegrasi menerapkan sepenuhnya mekanisme seperti pengujian peraturan perundang-undangan sama seperti yang diberlakukan di Mahkamah Konstitusi Federal Jerman. Meskipun saat ini MK RI belum menerapkan mekanisme pengaduan konstitusional seperti MK Federal Jerman, namun menurut MK itu sendiri pengaduan konstitusional dapat dilakukan dengan mekanisme uji materil.23

3. Mahkamah Konstitusi Melakukan Pengujian Konstitusionalitas dan Legalitas Norma

Pengujian yang dilakukan dengan mekanisme satu atap oleh Mahkamah Konstitusi yang objek pengujiannya adalah regelling berupa peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang Dasar NRI 1945. Menurut Maruarar Siahaan

23www.mahkamahkonstitusi.go.id , Komplain Konstitusional Bisa di Putus Lewat Uji

(32)

mengenai kategorial Peraturan perundang-undangan dapat dikategorikan menjadi 4 (empat), yaitu:

a. Peraturan perundang-undangan yang bersifat umum dan abstrak, yang tidak menunjuk pada hal, peristiwa atau kasus konkret sebelum peraturan ditetapkan;

b. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus karena kekhususan subjek yang diatur, yaitu berlaku hanya untuk subjek hukum tertentu;

c. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus berdasar wilayah berlakunya, yaitu khusus berlaku di wilayah/lokal tertentu; dan

d. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus karena daya ikat materinya, yaitu hanya berlaku internal24

Objek pengujian peraturan perundang-undangan di MK berupa norma hukum di bawah Undang-Undang Dasar NRI 1945 berupa Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten dan Peraturan Institusional lainnya. Produk hukum tersebut adalah aturan yang bersumber pada undang-undang atau merupakan aturan turunan atau mandat delagasi aturan dari undang-undang yang menilai keabsahannya melalui pengujian legalitas, sementara undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dinilai melalui pengujian konstitusionalitas. Konsep pengujian di MK adalah dengan menilai dasar pengujian terlebih dulu dinyatakan konstitusional.

Melalui kontrol normatif kewenangan yang dilakukan MK sebagai lembaga yang mengontrol kesatuan nilai dalam kebersisteman peraturan perundang-undangan dan teori hirarki norma yang berjenjang dan berlapis tidak lagi dipisahkan akibat pemisahan kewenangan pengujian. Dari segi hukum acara maka

24

Maruarar Siahaan, Uji Konstitusionalitas Peraturan Perundang-Undangan Negara Kita: Masalah dan Tantangan, Vol. 7 No.7, Jurnal Konstitusi, Jakarta, 2010, h.19.

(33)

pengujian sentralisasi lebih efektif dan efisien serta mewujudkan prinsip peradilan yang cepat, sederhana dan berbiaya ringan. Selain prinsip hirarki norma untuk mengintegrasikan produk hukum peraturan perundang-undangan, prinsip the living constitution yang menjadikan konstitusi hidup dan menjadi budaya konstitusi dalam masyarakat. Yang dapat dilakukan oleh otoritas pembentuk undang-undang untuk menerapkan kaidah konstitusi dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang tertuang dalam konstitusi terhadap peraturan perundang-undangan. Selain menegakkan prinsip supremasi konstitusi melalui lembaga yudikatif dengan mekanisme judicial review, dalam proses pembentukan yang dilakukan oleh otoritas yang berwenang memiliki budaya konstitusi (constitutionalist culture). Jika budaya konstitusi terbangun dengan baik maka sikap tunduk penyelenggara negara dapat menjadi kebiasaan ketatanegaraan (constitutional convention) guna memperkokoh sendi-sendi negara berdasarkan konstitusi.

4. Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian konstitusionalitas peraturan perundang-undangan adalah final and binding. Tidak dapat dilakukan upaya hukum lain terhadap putusan yang mengikat secara hukum terhadap putusan yang telah dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum. Terhadap tindakan hukum yang bertentangan dengan putusan MK maka hal tersebut merupakan perbuatan melawan hukum. Dengan hanya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga kekuasaan kehakiman tunggal yang menjalankan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan, maka tidak dapat ditemukan lagi perbedaan penafsiran dalam putusan. Putusan MK adalah satu-satu nya putusan

(34)

yang menjalankan pemeriksaan dan putusan terhadap produk perundang-undangan. Dalam kasus tertentu mengindikasikan bahwa MK berupaya melindungi konstitusionalitas norma melalui putusannya. Kontrol normatif secara tidak langsung pernah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian Undang-Undang No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dengan cara memberikan rambu-rambu pada produk hukum pelaksana Undang-Undang yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (PP SPAM) yang merupakan norma hukum dibawah undang-undang yang bukan merupakan objek pengujian di MK. Namun untuk dapat mengontrol peraturan pelaksana tersebut, MK membuat rambu-rambu dalam pembentukan PP tersebut yang telah diputus dalam Putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Putusan Nomor 8/PUU-III/2005. Terdapat perbedaan di PP terhadap rambu-rambu tersebut adalah swastanisasi terselubung dan pengingkaran tafsir konstitusional MK.25MK berpendapat Pasal 10 UU SDA yang menyatakan bahwa “Ketentuan mengenai hak guna air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.” Sehingga dalam hal ini PP SPAM yang merupakan penggaturan delegasi (delegated legislation) mendapatkan mandat pengaturan secara langsung oleh UU SDA.26 Pada akhirnya putusan bernomor 85/PUU-XI/2013 Mahkamah menilai bahwa UU SDA bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

25

Hukumonline.com , MK Batalkan UU Sumber Daya AirPengelolaan SDA harus diserahkan pada BUMN maupun BUMD

,

18 Februari 2015 yang diakses pada tanggal 12 Juli 2018 pukul 9.06.

26

Mahkamah Konstitusi kerja sama FH Universitas Brawijaya Malang, Laporan Hasil Penelitian Analisis Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi atas Pengelolaan Sumber Daya Alam, 2017, h.49

(35)

Dalam perkara ini dapat disimpulkan bahwa fungsi Mahkamah Konstitusi inheren dengan fungsi kontrol normatif terhadap norma dibawah Undang-Undang Dasar NRI 1945 agar konstitusional. Putusan MK terhadap pengujian legalitas norma adalah dikabulkan, ditolak dan tidak dapat diterima. Sedangkan putusan MK mengenai konstitusionalitas dapat yang bersifat progresif saat ini dengan berbagai varian putusan dapat diberlakukan sama terhadap pengujian peraturan perundang-undangan. Terhadap Putusan MK bersifat declaratoir

menyatakan tidak dibutuhkan adanya satu aparat khusus untuk melaksanakan putusan MK, Status Putusan MK dianggap sederajat dengan UU, karena Putusan MK yang menyatakan suatu pasal tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan (pasal 57 ayat [3] UU MK).

5. Keberlakuan Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat erga omnes. Keberlakuaannya pada saat putusan dibacakan disidang yang terbuka untuk umum. Putusan MK mengikat untuk umum, putusan tersebut dapat dijadikan acuan dalam perbaikan norma maupun pembentukan norma baru bagi peraturan perundang-undangan. Putusan MK tersebut mengikat terhadap otoritas pembentuk undang-undang (legislative power). Dalam hal terjadi inkonsistensi dan pelanggaran terhadap prinsip hierarki perundang-undangan yang berlaku, tidak selalu dapat diidentifikasi secara kasat mata dan segera. Tetapi inkonsistensi maupun pelanggaran prinsip demikian akan menggerakkan mekanisme kontrol yang inherent dalam prinsip hierarki tersebut dan menjadi kewajiban konstitusional dari pemegang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk memberi akibat hukum pada norma hukum yang

(36)

inkonstitusional dalam batas kewenangannya. Hasil putusan MK sebagai muatan publik dipublikasikan dalam Berita Negara. Dengan demikian maka hasil pengujian dapat memiliki akses publik dalam pemenuhan informasi publik terhadap suatu norma hukum yang abstrak dan umum.

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian dalam perkembangannya$ pada Perusahaan Negara (PN I sampai dengan 7III. Kemudian dalam perkembangannya$ pada tahun )261 aspek operasional Pelabuhan dikoordinasikan oleh

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa pemilihan kata (diksi), makna kata, bahasa kiasan, sarana retorika dan citraan yang ditemukan dalam

Pemeriksaan dengan menggunakan alat spektofotometer memiliki kelebihan, diantaranya: presisi yang tinggi, akurasi tinggi, spesifik, relative  bebas dari gangguan (kadar

October 1998, Lygaeus saxatilis (2 specimens) found in the localities Vinkovci and Lupoglav in October 1998 and Pyrrhocoris apterus found in the locality Stari Mikanovci in

Adapun ruang lingkup penelitian ini untuk meningkatkan keterampilan membaca pada siswa kelas II SDN 245 Temboe tahun ajaran 2016/2017, dengan penerapan strategi Know Want

Sebagai anggota Organisasi Kerjasama Negara Islam (OKI), Indonesia termasuk dalam pengekspor produk fesyen Muslim terbesar ke-3 di dunia, saat ini pemerintah terus

Rumput laut yang telah direndam pada pupuk organik dan telah diaklimatiasi di tambak kemudian dilakukan perbanyakan pada waring berukuran 3x3x1 m yang ditancapkan

Dalam penelitian ini, MRP sebagai variabel bebas (variabel X) sedangkan (variabel Y) variabel terikat yaitu Biaya Produksi (Y1) dan Profitabilitas (Y2). Penelitian