14
2.1 Tinjauan Pidana, Sanksi Pidana dan Tindak Pidana
Ketertiban dan keamanan dalam masyarakat akan terpelihara bilamana tiap-tiap anggota masyarakat menaati peraturan-peraturan (norma-norma) yang ada dalam masyarakat itu. Peraturan-peraturan ini dikeluarkan oleh suatu badan yang berkuasa dalam masyarakat itu yang disebut Pemerintah. Segala peraturan-peraturan tentang pelanggaran, kejahatan dan sebagainya, diatur oleh Hukum Pidana dan dimuat dalam satu Kitab Undang-undang yang disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.6
Pidana adalah hukuman berupa siksan yang merupakan keistimewaan dan unsur terpenting dalam hukum pidana.7 Sifat dari hukum itu ialah memaksa dan dapat dipaksakan dan paksaan itu perlu untuk menjaga ketertiban.
6 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2007, Pokok – pokok Hukum Pidana Hukum Pidana untuk Tiap Orang, PT Pradnya Paramita, Jakarta, hlm 3
Sanksi Pidana adalah suatu hukuman sebab akibat, sebab adalah kasusnya dan akibat adalah hukumannya, orang yang terkena akibat akan memperoleh sanksi baik masuk penjara ataupun terkena hukuman lain dari pihak berwajib. Sanksi Pidana merupakan suatu jenis sanksi yang diancamkan atau dikenakan terhadap perbuatan atau pelaku perbuatan pidana atau tindak pidana yang dapat mengganggu atau membahayakan kepentingan umum. Sanksi Pidana pada dasarnya merupakan suatu penjamin untuk merehabilitasi perilaku dari pelaku kejahatan tersebut, namun tidak jarang bahwa sanksi pidana diciptakan sebatau suatu ancaman dari kebebasan manusia itu sendiri.
Menurut Pasal 10 KUHP hukuman atau pidana terdiri atas : A. Pidana pokok :
1. Pidana mati 2. Pidana penjara :
a. Pidana seumur hidup
b. Pidana penjara selama waktu tertentu (setinggi-tingginya 20 tahun dan sekurang-kurangnya 1 tahun)
3. Pidana kurungan (sekurang-kurangnya 1 hari dan setinggi-tingginya 1 tahun)
4. Pidana denda 5. Pidana tutupan B. Pidana tambahan
2. Perampasan (penyitaan) barang-barang tertentu 3. Pengumuman keputusan tertentu
Hukuman-hukuma itu dipandang perlu agar kepentingan umum dapat lebih terjamin keselamatannya.
Strafbaar Feit merupakan istilah bahasa Belanda yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan berbagai arti diantaranya yaitu, tindak pidana, delik, perbuatan pidana, peristiwa pidana maupun perbuatan yang dapat dipidana. Kata Strafbaar feit terdiri dari 3 kata yaitu
straf, baar dan feit. Straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum, baar
diterjemahkan sebagai dapat dan boleh, sedangkan untuk feit
diterjemahkan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.8 Menurut Pompe, sebagaimana yang dikemukakan oleh Bambang Poernomo, pengertian strafbaar feit dibedakan menjadi :
a. Definisi menurut teori memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diamcam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum
b. Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kejadian (feit) yang oleh perraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.9
Sejalan dengan definisi atau pengertian menurut teori dan hukumpositif di atas, J.E Jonkers juga telah memberikan definisi strafbaar
8 Adami Chazawi, 2002, Pengantar Hukum Pidana Bag I, Grafindo, Jakarta, hal 69 9 Bambang Poernomo,tanpa tahun, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal 91
feit menjadi dua pengertian, sebagaimana yang dikemukakan Bambang Pornomo yaitu :
a. Definisi pendek memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh Undang-undang.
b. Definisi panjang atau lebih dalam memberikan pengertian “strafbar feit” adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau tidak oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.10
Menurut Prof. Moeljatno, SH, yang berpendapat bahwa pengertian tindak pidana yang menurut istilah beliau yakni perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.11
Setiap tindak pidana yang terdapat didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif.
2.2 Recidivist dan Pemidanaan
Salah satu fungsi dari pemidanaan adalah untuk mencegah seseorang untuk mengulangi perbuatannya. Dengan kata lain untuk menghindari terjadinya recidivist.
10 Ibid
Tentang recidivist ini didalam ilmu hukum pidana dikatakan bahwa recidivist ini terjadi apabila seseorang melakukan perbuatan, dimana terhadap perbuatan pidana tersebut telah dijatuhi putusan oleh hakim, serta putusan tersebut telah dijalankan, tetapi setelah orang tersebut kembali ketengah masyarakat, dalam waktu tertentu setelah pembebasannya ia kembali melakukan perbuatan pidana.
Pemidanaan terhadap recidivist ini di dalam KUHP dapat dikatakan bahwa pidananya diperberat. Hal ini didasari oleh alasan bahwa bila seseorang telah dijatuhi pidana kemudian melakukan suatu tindak pidana lagi maka orang tersebut telah membuktikan niatnya yang kurang baik.
Mengenai recidivist, dikenal adanya beberapa sistem : 1. Recidive Umum (Algemene Recidive)
Bentuk recidive ini terjadi apabila, seseorang melakukan delik terhadapnya dan telah dijatuhi pidana oleh hakim, tetapi setelah orang tersebut menjalani pidananya dan kemudian setelah bebas dan kembali ke masyarakat dalam jangka waktu tertentu (yang ditentukan oleh undang-undang), orang tersebut kembali melakukan perbuatan pidana, dan perbuatan itu tidak perlu jenisnya.
2. Recidive khusus (Special Recidive)
Apabila seseorang melakukan perbuatan pidana dan terhadap perbuatan pidana itu telah dijatuhi pidana oleh hakim, akan tetapi setelah ia dijatuhi pidana dan pidana tersebut telah dijalankan dan
kemudian ia kembali kemasyarakat dalam waktu tertentu yang di tetapkan oleh undang-undang, Ia kembali melakukan perbuatan pidana yang sejenis dengan perbuatan pidana yang terdahulu, dalam hal inilah terjadi recidive khusus.
3. Tussen Stelsel (tempatnya antara recidive umum dan recidive khusus)
Tussen Stelsel terjadi apabila seseorang melakukan perbuatan pidana dan terhadap perbuatan pidana tersebut telah dijatuhi putusan oleh hakim, namun setelah ia menjalani hukumannya dan kembali kemasyarakat, dalam jangka waktu tertentu yang di tetapkan oleh undang-undang kembali melakukan perbuatan pidana, dan perbuatan pidana yang dilakukan tersebut meruakan golongan tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang.
Maksud “golongan tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang” adalah undang-undang menentukan dahulu sejumlah perbuatan pidana dan kemudian membaginya ke dalam golongan-golongan yang menurut sifatnya dianggap sama dan semua perbuatan pidana yang dianggap sama tersebut dimasukan dalam satu golongan.
Perbuatan pidana yang menurut sifatnya sejenis misalnya : a. Perbuatan I : Pencurian
b. Perbuatan II : Penggelapan c. Perbuatan III : Perampasan
Ini semuanya merupakan kejahatan terhadap harta kekayaan.12
Dalam ilmu hukum pidana sesuai dengan perkembangan pemikiran mengenai tujuan pemidanaan yang berusaha mencari dasar pembenaran dari pidana, dapat diklasifikasi teori-teori tujuan pemidanaan sebagai berikut :
1. Teori retributif (retributive theory) atau teori absolut
Dasar pembenaran dari pidana menurut teori retributif adalah terletak pada adanya tindak pidana atau tindak pidana sendiri yang memuat unsur-unsur yang membenarkan pidana dijatuhkan. Penganut aliran retributif berpendapat bahwa “punishment is simply what one deserves for having broken the law. Punishmen is inherently justified in the act of law breaking”. Pidana dijatuhkan karena orang elah melakukan tindak pidana (quia peccatum est) dan tidak untuk tujuan lain. Menurut van Bemmelem absolut disini diartikan sebagai “dilepaskan” dari setiap tujuan apapun. Pidana tidak perlu mempunyai tujuan praktis atau tujuan lain selain hanya pidana saja. Kant dan Hegel meyakini mutlak keniscayaan pidana, sekalipun pemidanaan tersebut sebenarnya tidak berguna atau bahkan menimbulkan keadaan pelaku tindak pidana menjadi lebih buruk. Pembalasan tetap dipertahankan sebagai landasan pidana. Pidana menurut Kant adalah tuntutan etis atau tuntutan kesusilaan, perintah hati nurani. Pidana merupakan kategori imperatif atau tuntutan mutlak karena pelaku telah
12 Soedarto, 1975, Hukum Pidana Jilid I A, Badan Penyediaan Badan Kuliah Fak Hukum Undip, hal 11
bersalah melakukan tindak pidana. Pidana bukan merupakan alat mencapai tujuan melainkan mencerminkan keadilan. Hegel memandang pidana dari logika dialektis sebagai konsekuensi logikal dan keniscayaan etis. Pidana adalah suatu penyangkalan dari penyangkalan hukum yang terletak dalam tindak pidana itu sendiri. Tindak pidana dalam hal ini dipandang sebagai pengingkaran terhadap ketertiban hukum negara yang merupakan perwujudan cita-susila. Menurut Remmelink ajaran absolut dari Kant dan Hegel tindak pidana adalah peristiwa yang berdiri sendiri, ada keasalan yang harus dipertanggungjawabkan dan dengan pidana persoalan dituntaskan. Kesalahan hanya dapat ditebus dengan menjalani pidana. Da;am ajaran absolit sulit untuk membuat argumentasi teoritis berkaitan dengan strafsoort (jenis pidana) dan strafmaat (berat ringannya pidana) serta untuk menempatkan pranata-pranata hukum seperti pidana bersyarat, asas oportunitas, pernyataan bersalah tanpa penjatuhan pidana, daluwarsa reclassering, dan pidana anak.
2. Teori teleologis atau teori tujuan atau teori relatif (utilitarian theory) Dasar pembenaran pidana menurut teori tujuan adalah terletak pada tujuannya. Tujuan-tujuan pidana tersebut harus mempunyai kemanfaatan, misalnya untuk mempertahankan tata tertib hukum masyarakat atau mencegah (prevention) dilakukannya suatu tindak pidana. Oleh karena itu teori ini disebut teori tujuan (utiitarian theory). Menurut Remmelink dalam teori relatif hubungan antara ketidakadilan
dengan pidana bukan hubungan yang ditegaskan secara a-priori sebagaimana teori absolut, tetapi dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai. Oleh karena itu teori ini disebut juga teori relational berkaitan dengan pengertian related to.
Pidana dalam perspektif pertahanan tata tertib masyarakat adalah suatu noodzakelijk, sesuatu yang terpaksa diperlukan. Menurut penganut teori tujuan “punishment is only because doing so has
socially desirable consequences”. Teori tujuan menekankan pada dua konsekuensi pemidanaan yang dikehendaki, yaitu pertama efek pencegahan (deterrent effect). Pidana biasanya mempunyai nilai karena mencegah pelaku tindak pidana mengulangi tindak pidananya, dan mencegah yang lainnya untuk melakukan tindak pidana serupa. Kedua pidana untuk memperbaiki pelaku tindak pidana. Pidana dapat mengubah seseorang sehingga dia tidak mudah mempunyai keinginan untuk menghalangi ketertiban sosial dengan perbuatan-perbuatan yang melanggar kenginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan orang lain yang sah.
Teori tujuan dapat dibedakan dalam teori prevensi umum dan teori prevensi khusus. Prevensi umum bertujuan untuk mencegah agar orang pada umumnya melakukan tindak pidana. Negara berwenang untuk menjatuhkan pidana dan mencegah rakyat pada umumya untuk melakukan tindak pidana. Efek pencegahan dalam prevensi umum terletak pada pertama, penjatuhan pidana yang bersifat menakutkan.
Pandangan ini menitik beratkan pada eksekusi pemidanaan yang dipertunjukkan kepada umum sehingga menakutkan anggota masyarakat untuk melakukan tindak pidana. Oleh karena itu perlu dibuat pidana yang berat dan eksekusi pidana yang berat tersebut dilakukan di muka umum. Kedua, unsur utama yang dapat menahan niat jahat mansia untuk melakukan tindak pidana terletak pada sanksi pidana. Menurut Von Feuerbach sanksi pidana menimbulkan suatu tekanan ecara kejiwaan atau daya paksa psikis (psychologische zwang) yang dapat mencegah manusia melakukan tindak pidana. Menurut Johannes Andenaes prevensi umum mempunyai tiga bentuk pengaruh, yaitu :
a. Pengaruh pencegahan
b. Pengaruh untuk memerkuat larangan larangan moral
c. Pengaruh untuk mendorong kebiasaan perbuatan patuh terhadap hukum.
Salah seorang penganut teori prevensi umum, Van Veen menyatakan bahwa prevensi umum mempunyai tiga fungsi, yaitu (1) menjaga dan menegakkan wibawa penguasa, yaitu berperan dalam pemerintah, (2) menjaga (pemberlakuan) atau menegakkan norma hukum, (3) pembentukan norma, menggarisbawahi pandangan bahwa perbuatan-perbuatan tertentu dianggap asusila sehingga tidak diperbolehkan.
Prevensi khusus bertujuan untuk mencegah agar pelaku tindak pidana tidak mengulangi melakukan tindak pidana. Teori prevensi khusus mengoreksi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam prevensi umum. Menurut Van Hamel adalah tidak adil menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana lebih berat dari tindak pidana yang dilakukannya. Sanksi pidana terhadap umum tidak dapat diancamkan lebih berat daripada sanksi pidana terhadap seorang individu, karena dalam kenyataan dimungkinkan seorang pelaku tindak pidana mendapat pidana yang beratnya melebihi beratnya tindak pidana yang dia lakukan. Oleh karena itu pembentuk undang-undang dalam menentukan sanksi pidana hanya boleh membayangkan sanksi pidana terhadap individu. Menurut Van Hamel pidana yang bersifat prevensi khusus adalah :
a. Pidana harus memuat suatu unsur yang menakutkan agar dapat mencegah secara khusus pelaku tindak pidana mempunyai kesempatan melakukan niat jahat
b. Pidana harus memuat suatu unsur yang memperbaiki bagi terpidana, yang nanti memerlukan reclassering.
c. Pidana harus memuat suatu unsur membinasakan bagi pelaku tindak pidana yang sama sekai tidak dapat diperbaiki lagi. d. Tujuan satu-satunya pidana adalah mempertahankan tata tertib
Berbagai pandangan para pakar tergolong penganut teori tujuan atau teori relatif bervariasi dengan titikberat yang berbeda-beda. Teori-teori dari tokok aliran ini yang lahir kemudian berupaya untuk menyempurnakan kelemahan-kelemahan yang dipandang ada pada teori-teori dari tokok-tokok sebelumnya.
3. Teori Gabungan atau teori integratif (integrative theory)
Teori ini menggabungkan dasar pembenaran pidana pada pembalasan (teori absolut) dan tujuan pidana yang bermanfaat (teori tujuan). Menurut Utrecht teori-teori gabungan dapat dibedakan dalam tiga golongan :
a. Teori menggabungkan yang menitikberatkan pada pembalasan tetapi pembalasan tersebut tidak boleh melebihi batas yang diperlukan dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat.
b. Teori-teori menggabungkan yang menitikberatkan pada pertahankan tata tertib masyarakat, tetapi beratnya pidana harus sesuai dengan beratnya tindak pidana yang dilakukan.
c. Teori menggabungkan yang menitikberatkan pada pembalasan dan mempertahankan tata tertib masyarakat.
Menurut Hugo Grotius salah satu penganut teori gabungan, kodrat mengajarkan bahwa siapa berbuat jahat, ia akan terkena derita. Penderitaan adalah sesuatu yang wajar ditanggung pelaku tindak
pidana, namun berat ringannya pidana yang layak dijatuhkan pada pelaku berdasarkan pada kemanfaatan sosial. Demikian pula menurut Pellegrino Rossi, penjatuhan pidana terutama adalah menerapkan pembalasan dan menjalankan keadilan. Namun karena kita hidup dalam masyarakat yang tidak sempurna maka tidak mungkin untuk menuntut keadilan yang absolut dan harus cukup dengan pemidanaan yang dilandaskan pada tertib sosial etikal yang tidak sempurna (keadilan sosial).
Pakar hukum pidana Indonesia yang dapat dimasukkan dalam penganut teori integratif tentang tujuan pemidanaan adalah Muladi. Dalam disertasinya Muladi menyatakan menganut teori integratif dengan mengadakan kombinasi tujuan pemidanaan yang cocok dengan pendekatan sosiologis, ideologis dan yuridis filosofis. Tujuan pemidanaan adalah (1) pencegahan (umum dan khusus), (2) perlindungan masyarakat, (3) memelihara solidaritas sosial masyarakat, dan (4) pengimbalan/pembalasan.13
Menurut Barda Nawawi Arief pemidanaan harus mengandung unsur-unsur :
a. Kemanusiaan, dalam arti menjungjung tinggi harkat dan martabat seseorang
13 Sigit Suseno, 2012, Sistem Pemidanaan dalam Hukum Pidana Indonesia di dalam dan di luar KUHP, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan HAM RI, Jakarta, hlm 32-39
b. Edukatif, dalam arti harus mampu menimbulkan kesadaran jiwa yang positif dan konstruktif pada diri pelanggar hukum, dan
c. Keadilan, dalam arti dirasakan adil baik oleh pelaku maupun korban atau masyarakat.
Dalam konsep KUHP tujuan pemidanaan secara komrehensif mencakup perlindungan berbagai kepentingan hukum, yaitu untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan normal hukum demi pengayoman masyarakat, resosialisasi terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, serta membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Pandangan mengenai tujuan pemidanaan yang memberikan perlindungan terhadap berbagai kepentingan hukum dikemukakan oleh Bassioni yang menyatakan bahwa Tujuan pemidanaan menurut Bassiouni pada umumnya terwujud dalam perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu, yaitu :
1. Pemeliharaan tertib masyarakat
2. Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian, atau bahaya-bahaya yang bersifat melawan hukum
3. Memasyarakatkan kembali para pelaku tindak pidana (resosialisasi)
4. Memelihara dan mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan, dan keadilan individu14
2.3 Lembaga Pemasyarakatan
Dalam pasal 1 ayat 3 UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, Lembaga pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Lapas adalah tempat untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia. Sebelum dikenal dengan istilah lembaga pemasyarakatan (lapas), tempat tersebut di sebut dengan istilah penjara. Lembaga pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Penghuni dari lembaga pemasyarakatan bisa narapidana (napi) atau Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP).
Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa konsepsi Pemasyarakatan dinyatakan pertamakali pada tahun 1963 oleh sahardjo, pada saat beliau menerima gelar Doctor Honoris Causa (Pidato Pohon Beringin Pengayoman). Dalam pasal 1 ayat 2 UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan
Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.Sistem pemasyarakatan berfungsi untuk menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab (pasal 3 UU Nomor 12 Tahun1995 Tentang Pemasyarakatan).
2.4 Resosialisasi
Resosialisasi atau pemasyarakatan adalah suatu pembinaan terhadap narapidana yang diarahkan kearah kesadaran untuk hidup bermasyarakat, berbangsa yang baik sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Seperti yang dibahas sebelumnya menurut Romli Atmasasmita, pemasyarakatan yang berarti memasyarakatkan kembali terpidana sehingga menjadi warga yang baik dan berguna (healthy reentry into the community) yang pada hakekatnya atau intinya adalah resosialisasi. Didalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan disebutkan bahwa, Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem,
kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.
Resosialisasi atau pemasyarakatan dilakukan dengan melakukan suatu pembinaan terhadap narapidana di lembaga pemasyarakatan dengan tujuan narapidana tersebut siap apabila telah menyelesaikan masa hukuman dan kembali ke dalam kehidupan bermasyarakat.