• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERBUATAN-PERBUATAN YANG TERMASUK DALAM LINGKUP TINDAK PIDANA DI BIDANG PENERBANGAN MENURUT UU NO.1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PERBUATAN-PERBUATAN YANG TERMASUK DALAM LINGKUP TINDAK PIDANA DI BIDANG PENERBANGAN MENURUT UU NO.1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERBUATAN-PERBUATAN YANG TERMASUK DALAM LINGKUP TINDAK PIDANA DI BIDANG PENERBANGAN MENURUT UU NO.1

TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN

A. Perkembangan Peraturan-Peraturan yang Berkaitan dengan Tindak Pidana Penerbangan sebelum Lahirnya UU No.1 Tahun 2009

Pengaturan tindak pidana penerbangan terdapat dalam beberapa Konvensi Internasional seperti Konvensi Tokyo tahun 196323, Konvensi The Hague 197024, Konvensi Montreal 197125, dan terakhir Konvensi Montreal 199126. Konvensi Tokyo 1963 yang sering disebut dengan konvensi tentang pemabajakan udara tersebut pada pokoknya mengatur yurisdiksi terhadap tindak pidana yang terjadi di dalam pesawat udara, kewenangan kapten penerbang terhadap tindakan-tindakan untuk mencegah penguasaan pesawat udara secara melawan hukum. Menurut Bab II konvensi Tokyo 1963, Negara yang mempunyai yurisdiksi terhadap tindak pidana yang dilakukan didalam pesawat udara adalah Negara pendaftar pesawat udara. Di samping itu dalam konvensi tersebut juga diatur kewajiban Negara untuk mengekstradisikan pembajak kepada Negara yang mempunyai yurisdiksi terhadap tindak pidana tanpa memperhatikan apapun motif

       23

Konvensi Tokyo 1963 tentang Convention on Offences and Certain Other Acts Commited on Board Aircraft ditandatangani di Tokyo tanggal 14 September 1963 

24

Konvensi The Hague 1970 tentang Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft,Signed at the Hague on December 1970 

25

Konvensi Montreal 1971 tentang Convention for the Suppression of Unlawful Acts Againts the Safety of Civil Aviation ditandatangani di Montreal tanggal 23 September 1971 

(2)

pembajakan udara. Dalam perkembangannya konvensi Tokyo 1963 masih belum mampu menanggulangi tindakan pidana di dalam pesawat udara, khususnya yang menyangkut pembajakan udara, karena sejak 1969 tingkat pembajakan secara kuantitatif ataupun kualitatif semakin meningkat. Di berbagai kawasan dunia pembajakan udara meningkat dengan tajam, sehingga pada tahun 1970 dikeluarkan konvensi The Hague 1970.

Konvensi The Hague 1970 yang dapat disebut sebagai penyempurna Kovensi Tokyo 1963 tersebut pada prinsipnya mengatur agar setiap Negara tempat pembajak ditemukan wajib mengadili dan memberi hukuman yang berat kepada pelaku pembajakan. Dalam hal Negara tersebut tidak mau mengadili pembajak, Negara tersebut wajib mengekstradisi pembajak kepada Negara yang mempunyai yurisdiksi tindak pidana. Apabila Negara yang bersangkutan tidak mempunyai perjanjian ekstradisi, maka konvensi The Hague 1970 dapat dipakai sebagai dasar hukum ekstradisi pembajak.

Dalam konvensi The Hague diatur yurisdiksi terhadap tindak pidana yang dilakukan dalam pesawat udara yang dioperasikan secara internasional bersama-sama (International Join Operation) dengan semikian Negara tersebut wajib menunjuk salah satu Negara yang mempunyai yurisdiksi terhadap tindak pidana yang dilakukan dalam pesawat udara. Keberhasilan Kovensi Tokyo 1963 yang disempurnakan dengan Konvensi The Hague 1970 mengakibatkan tidak ada tempat bagi pembajakan udara, sehingga sasaran tindak pidana dialihkan pada objek-objek fasilitas pendukung keselamatan penerbangan, seperti peralatan

(3)

bangunan lain yang merupakan fasilitas pendukung. Dengan demikian dikeluarkan Konvesi Montreal 1971, yang mengatur tindak pidana atau perbuatan-perbuatan melanggar hukum yang membahayakan keselamatan penerbangan sipil.

Indonesia juga menyadari betapa pentingnya mencegah dan menanggulangi ancaman pemabajakan udara yang merupakan salah satu tindak pidana penerbangan sipil. Indonesia secara aktif ikut serta menegakkan dan mematuhi konvensi internasional dengan meratifikasi Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971. Selain meratifikasi konvensi tersebut diatas untuk mencegah tindak pidana penerbangan, Indonesia juga mengeluarkan UU No.4 Tahun 1976 yang memperluas berlakunya KUHP terhadap tindak pidana penerbangan dan terakhir UU No.15 Tahun 1992 memberi wewenang kepda kapten penerbang untuk mengambil tindakan-tindakan pencegahan dan peberantasan tindak pidana yang dilakukan dalam pesawat udara.

A.1. Undang-Undang No.83 Tahun 1958 tentang Penerbangan

Undang-Undang ini terdiri dari 8 (delapan) BAB dan 28 (dua puluh delapan) pasal yang mengatur mengenai penerbangan dan segala tindakan yang diancamkan hukuman pidana dalam penerbangan.

1. Pasal 13 ayat 1

“ Pesawat udara yang tidak mempunyai surat tanda kelaikan yang syah, dan awak pesawat udara atau siapapun yang tidak mempunyai surat tanda kecakapan yang sah tidak boleh melakukan penerbangan “

(4)

Pasal in menyatakan bahwa seseorang yang tidak memiliki surat tanda kelaikan yang sah tidak dapat melakukan penerbangan, surat tanda kelaikan yang sah adalah surat atau tanda sertifikasi yang menyatakan seseorang telah pantas dan layak melakukan penerbangan udara sipil, apabila hal tersebut dilakukan maka akan dikenakan hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda sebanyak-banyak nya sepuluh ribu rupiah.

Undang-Undang penerbangan pertama yang berlaku Indonesia ini tidak menguraikan dan mengatur secara jelas mengenai tindak pidana yang memungkinkan terjadi dalam suatu penerbangan. Undang-Undang kebanyakan mengatur hal-hal yang membahayakan dalam penerbangan dan hal-hal yang dilarang dalam dunia penerbangan, yang dimana apabila melanggar ketentuan-ketentuan atau pasal-pasal yang mengatur hal tersebut dalam undang-undang No.83 Tahun 1958 akan dikenakan sanksi pidana berupa hukuman kurungan dibawah satu tahun ataupun dikenakan denda. Dengan ancaman hukuman seperti tersebut dalam ketentuan pidana undang-undang No.83 Tahun 1958, ancaman hukuman tersebut termasuk ancaman hukuman dalam tindak pidana ringan.

A.2. UU No.4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan.

(5)

Selain undang-undang penerbangan No.83 Tahun 1958 dengan perubahan menjadi undang-undang No.15 Tahun 1992 tentang penerbangan yang mengatur mengenai tindak pidana dalam penerbangan, ada juga undang-undang yang lain yang berkaitan dengan hal tersebut yaitu undang-undang No.4 Tahun 1976 sebagai perubahan dan penambahan beberapa pasal dalam kitab undang-undang hukum pidana bertalian dengan dengan perluasan berlakunya ketentuan perundang-undangan pidana kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan. Dalam KUHP melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 diatur suatu tindakan karena kealpaan yang menyebabkan tanda atau alat untuk pengaman penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau tidak dapat bekerja atau menyebabkan kekeliruan terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan sehingga mengakibatkan celakanya pesawat udara, yang diatur dalam Pasal 479 a sampai dengan d KUHP.

Pasal 479 a dan b KUHP mengatur tentang tindak pidana yang berkaitan dengan pengrusakan bangunan untuk pengamanan lalu-lintas udara. Perbedaan dari kedua pasal tersebut adalah kalau Pasal 479a KUHP dilakukan dengan sengaja, maka dalam Pasal 479 b KUHP terjadi karene alpanya seseorang. Yang dimaksud bangunan adalah fasilitas penerbangan yang digunakan untuk pengamanan dan pengaturan lalu-lintas udara seperti : terminal, menara,dll. Dalam Pasal 479 c dan d KUHP diatur mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan penghancuran alat atau alat untuk pengamanan penerbangan. Beda dari kedua pasal tersebut adalah Pasal 479 c dilakukan secara sengaja dam melawan hukum sedangkan Pasal 479 d karena kealpaan seseorang. Yang dimaksud dengan

(6)

tanda atau alat dalam ayat tersebut adalah fasilitas penerbangan yang digunakan oleh atau bagi pesawat udara untuk lepas landas (take off) dan mendarat (landing) dengan aman seperti:27

1. tanda atau alat landasan (runway-marking) termasuk garis di tengah landasan (runway-counterline-marking).

2. tanda penunjuk/koordinat landasan (runway-designation-marking). 3. tanda ujung landasan (runway-thereshold-marking).

4. tanda adanya rintangan landasan (obstacle-marking), termasuk lampu tanda gedung stasiun udara dan lain sebagainya.

Dalam Pasal 479 e sampai dengan g diatur mengenai kejahatan yang mengakibatkan hancurnya pesawat udara dan apabila Kecelakaan dalam arti luas dapat pula disebabkan adanya faktor kesengajaan. Dalam kecelakaan pesawat udara yang terjadi karena faktor kesengajaan, sehingga mengakibatkan luka berat atau matinya orang lain atau membahayakan nyawa orang lain diatur dalam Pasal 479 f KUHP, yang berbunyi sebagai berikut :

Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara, dipidana :

a. dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain.

(7)

b. dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara untuk selama-lamanya dua puluh tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang.

Perbuatan yang dilarang dalam pasal ini adalah mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara. Adapun unsur kesengajaan adalah “dengan sengaja”. Dengan demikian, tindakan sabotase adalah suatu tindakan yang dapat dijangkau dengan menggunakan Pasal 479 f KUHP. Kemungkinan-kemungkinan bahwa sabotase merupakan sebab kecelakaan pesawat udara merupakan sebab suatu kecelakaan yang sekali-kali tidak boleh diabaikan. Sabotase dapat berbentuk macam-macam kemungkinan, antara lain :

1. adanya bahan peledak

2. pengotoran terhadap sistim bahan bakar 3. pengotoran terhadap sistim pelumas

4. pengubahan terhadap salah satu komponen vital dari pesawat 5. keadaan baut yang tidak dikencangkan sebagaimana mestinya 6. pengikat-pengikat pipa yang sengaja dilonggarkan

7. dan hal-hal lainnya yang dengan sengaja dilanggar

Selanjutnya, juga diatur tindak pidana dalam kecelakaan pesawat udara yang bermotifkan tanggungan asuransi, hal tersebut diatur dalam Pasal 479 h KUHP yang berbunyi sebagai berikut:

1. Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, atas kerugian penganggung asuransi menimbulkan kebekaran atau ledakan, kecelakaan, kehancuran, kerusakan

(8)

atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara, yang dipertanggungkan terhadap bahaya tersebut diatas atau yang dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun.

2. Apabila yang dimaksud pada ayat (1) pasal ini adalah pesawat udara dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.

3. Barang siapa dengan maksud untik menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum atas kerugian penanggung asuransi, menyebabkan penumpang pesawat udara yang dipertanggungkan terhadap bahaya, mendapat kecelakaan, dipidana :

a. dengan pidana penjara selama-lamanya sepuluh tahun, jika karena perbuatan itu menyebabkan luka-luka.

b. dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang.

Selain pasal-pasal di atas diatur pula Pasal 479 k ayat (1) huruf d suatu ketentuan pemberatan pidana terhadap perbuatan perampasan atau penguasaan pesawat udara dalam penerbangan secara melawan hukum (Pasal 479 i KUHP) dan perampasan atau penguasaan pengendalian pesawat udara dalam penerbangan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan (Pasal 479 j KUHP) yang mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara sehingga membahayakan

(9)

keamanan penerbangan, yaitu dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun. Kemudian dalam Pasal 479 k ayat (2) dikatakan bahwa jika perbuatan itu mengakibatkan matinya orang atau hancurnya pesawat udara dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun. Dengan demikian, Pasal 479 k KUHP merupakan ketentuan pemberatan pidana dari Pasal 479 i dan Pasal 479 j KUHP. Pasal 479 i dan Pasal 479 j KUHP selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

Pasal 479 i KUHP

Barang siapa di dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun.

Pasal 479 j KUHP

Barang siapa di dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.

Dalam penjelasan Pasal 479 j KUHP dikatakan bahwa : “ketentuan pasal ini mengatur tindak pidana kejahatan penerbangan yang lazim dikenal dengan nama pembajakan pesawat udara”. Rumusan Pasal 479 j KUHP tersebut mengacu kepada pasal 1 Konvensi The Hague 1970 yang memberikan batasan tindak

(10)

pidana penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, apabila seseorang di dalam pesawat udara yang sedang dalam penerbangan melakukan perbuatan secara melawan hukum, dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan beberapa bentuk ancaman, merampas atau menguasai pengendalian pesawat udara atau mencoba melakukan tindakan demikian tersebut.

Unsur kesalahan dalam pasal ini adalah dolus, hal ini dapat disimpulkan dari kalimat “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman bentuk lainnya, merampas, mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara”. Hal ini merupakan indikasi adanya kehendak yang kuat dari pelaku pembajakan pesawat udara. Insiden yang paling mencekam adalah drama pembajakan DC-9 Woyla Garuda Indonesian Airways jurusan Jakarta-Palembang-Medan dibajak 25 mil sebelum Pekanbaru dan dialihkan ke Penang, Malaysia 29 Maret 1981. Setelah isi bahan bakar dan lepas landas dari Penang, dibawah ancaman akan diledakkan pesawat dipaksa menuju bandara Don Muang, Bangkok, Thailand. Pasukan Komando yang didatangkan dari Jakarta, Selasa dinihari 31 Maret berhasil membebaskan para sandera, menewaskan dan menawan para pembajaknya.28 Tindakan atau perbuatan pembajakan pesawat udara tersebut harus terjadi pada suatu tempat, waktu, dan keadaan sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 143 ayat (2) hutuf b KUHP. Dalam ketentuan Pasal 479 j KUHP sebagai tindak pidana pembajakan pesawat udara mempersyaratkan adanya unsur tempat, yaitu dalam pesawat udara (on board), unsur keadaan yaitu

(11)

dalam penerbangan (in flight). Adapun yang dimaksud dengan dalam penerbangan adalah seperti apa yang terdapat dalam Pasal 95 b KUHP, yaitu

“Sejak saat pintu luar pesawat ditutup, setelah naiknya penumpang (embarkasi) sampai saat pintu dibuka (disembarkasi). Dalam hal pendaratan darurat penerbangan dianggap terus berlangsung sampai saat penguasa yang berwenang mengambil alih tenggung jawab atas pesawat udara dan barang yang ada di dalamnya”.

Kecelakaan pesawat udara dapat pula disebabkan oleh tindakan-tindakan lain secara melawan hukum yang mengancam keselamatan penerbangan sipil, seperti : melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, tindakan merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan ataupun menempatkan bahan atau alat yang dapat menghancurkan atau merusak pesawat udara dalam dinas. Dalam perluasan Pasal 4 angka 4 KUHP berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976, antara lain tersebut beberapa kejahatan yang dapat dikualifikasi sebagai kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil, yaitu Pasal 479 huruf l, m, n dan o KUHP. Berikut penjelasan mengenai pasal-pasal tersebut.

Pasal 479 l KUHP

“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun”

(12)

Unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 479 l KUHP ini adalah sebagai berikut : a. Subjek adalah “barang siapa”.

b. Bentuk kesalahan adalah “dolus”, yang dirumuskan dengan kata “dengan sengaja”.

c. Tindakan yang dilarang adalah melakukan perbuatan

kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara.

d. Keadaan pesawat udara harus dalam penerbangan, yang pengertiannya sesuai dengan Pasal 95 b KUHP

Pasal 479 m KUHP

“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara tersebut yang menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.”

Unsur-unsur tindak pidana dalam pasal 479 m KUHP adalah sebagai berikut : a. Unsur subjek adalah “barang siapa”

b. Bentuk kesalahan adalah “dolus” yang dapat diketahui dari perumusan kata “dengan sengaja”

c. Unsur bersifat melawan hukum dicantumkan dengan tegas d. Tindakan yang dilarang adalah :

(1) merusak pesawat udara atau

(2) menyebabkan kerusakan atas pesawat udara yang menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan. Maka

(13)

dengan demikian sasaran tindak pidana (objek) adalah pesawat udara dalam dinas.

e. Keadaan pesawat tersebut adalah “dalam dinas”

Pasal 479 n KUHP

“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.”

Unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 479 n KUHP adalah sebagai berikut : a. Subjek “barang siapa”

b. Bentuk kesalahan “dolus”

c. Unsur bersifat melawan hukum dicantumkan dengan tegas

d. Tindakan yang dilarang adalah menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan

kejahatan dengan cara menempatkan bahan peledak dalam pesawat udara atau meledakkan pesawat udara dalam penerbangan adalah salah satu jenis kejahatan

(14)

penerbangan yang sering terjadi. Kejahatan terorisme dengan cara meledakkan pesawat udara atau membuat celaka pesawat udara dalam penerbangan adalah perbuatan yang sangat tidak berprikemanusiaan. Beratus-ratus jiwa manusia yang tidak berdosa menjadi korban kejahatan tersebut.

Sebagai upaya mencegah terjadinya kecelakaan pesawat udara, dalam KUHP maupun Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 telah diatur tindak pidana yang bersifat preventif. Dalam Bab XXIX A KUHP, khususnya Pasal 479 p sampai dengan r KUHP telah diatur tindak pidana yang bila dicermati rumusan perbuatan yang dilarang lebih mengarah untuk mencegah terjadinya kecelakaan pesawat udara atau meniadakan atau mencegah adanya tindakan tertentu yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan. Pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut :

Pasal 479 p KUHP

Barang siapa memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan karena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.

Dalam penjelasan pasal 479 p KUHP dijelaskan bahwa yang diatur oleh pasal ini adalah tindakan yang sering terjadi seperti pemberitahuan adanya ancaman bom lewat telepon atau alat komunikasi lainnya. Ancaman bom lewat telepon atau alat komunikasi lainnya dapat mengganggu konsentrasi dan ketenangan jiwa dari pilot dan para awak lainnya.

(15)

a. Subjek dirumuskan denagan “barang siapa”

b. Bentuk kesalahan adalah “dengan sengaja” yang dapat diketahui dari perumusan “yang diketahuinya”

c. Tindakan yang dilarang adalah memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan karena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan

Perbuatan yang dapat membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan adalah perbuatan yang nyata-nyata membahayakan keamanan penerbangan seperti membuka pintu darurat atau pintu yang utama, merusak alat-alat keselamatan.

Pasal 479 q KUHP

Barang siapa di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.

Unsur-unsur tindak pidana dalam pesawat udara tersebut adalah sebagai berikut : a. Subjek dirumuskan dengan “barang siapa”

b. Bentuk kesalahan adalah “dolus” yang dapat diketahui dari perumusan “melakukan perbuatan”

c. Tindakan yang dilarang adalah melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan, seperti membuka pintu darurat pada saat pesawat sedang terbang.

d. Keadaan pesawat udara dipersyaratkan dalam penerbangan dan pelaku berada di dalam pesawat udara tersebut.

(16)

Yang dimaksud dengan perbuatan yang nyata-nyata bertentangan dengan ketertiban dan tata tertib dalam pesawat udara, antara lain mabuk-mabukan, membuat onar, kegaduhan, merokok,dan lain sebagainya.

Pasal 479 r KUHP

Barang siapa dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam penerbangan, dipidana dengan penjara selama-lamanya satu tahun.

Unsur-unsur tindak pidana dalam pasal 479 r KUHP tersebut adalah sebagai berikut :

a. Subjek dirumuskan dengan “barang siapa”.

b. Bentuk kesalahan adalah “dolus” yang dapat diketahui dari rumusan “melakukan”.

c. Tindakan yang dilarang adalah melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam penerbangan, seperti membuat onar, gaduh dan mabuk-mabukan.

d. Perbuatan tersebut dilakukan di dalam pesawat udara yang sedang dalam penerbangan.

Undang-undang No.4 Tahun 1976 dibuat karena sebelum tahun 1976 Hukum Pidana Indonesia tidak berlaku terhadap tindak pidana yang dilakukan terhadap pesawat udara Indonesia yang sedang terbang diluar wilayah Indonesia. Indonesia memperluasnya sehingga berlaku Hukum Pidana Indonesia terhadap pesawat

(17)

udara yang berada diluar wilayah Indonesia29. Hal ini termasuk pula terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh siapapun di dalam pesawat udara Indonesia, walaupun pesawat udara tersebut berada diluar wilayah Indonesia. Dan sampai sekarang undang-undang tersebut masih berlaku sebagai perluasan Hukum Pidana Indonesia terhadap tindak pidana yang dilakukan terhadap pesawat udara Indonesia baik yang berada di dalam maupun di luar wilayah Indonesia.

A.3. Undang-undang No.15 Tahun 1992 tentang Penerbangan

Undang-undang No.15 Tahun1992 merupakan perubahan undang-undang penerbangan yang lama yaitu undang-undang-undang-undang No.83 Tahun 1958. Terdapat perubahan yang cukup signifikan terhadap kedua undang-undang ini. Undang- undang No.83 Tahun 1958 yang hanya terdiri dari 8 bab dan 28 pasal menjadi 15 bab dan 75 pasal. Dalam undang-undang No.15 Tahun 1992 semakin banyak hal-hal dalam dunia penerbangan yang diatur dengan lebih detail dan dengan cakupan yang lebih luas. Perubahan ini dilakukan karena undang-undang No.83 Tahun 1958 dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan, dan teknologi.

Perkembangan yang jelas terlihat dalam UU ini adalah di dalam Pasal 23 diatur mengenai tindak pidana penerbangan. Dikatakan bahwa kapten penerbang30 yang bersangkutan mempunyai wewenang untuk mengambil tindakan untuk keamanan dan keselamatan penerbangan. Tindakan keamanan yang boleh

       29

Tien saefullah, Peledakan Pesawat KAL 858 dan Pelaksanaan Konvensi Montreal,

1971 (Hukum Angkasa dan Perkembangannya), (Bandung: Remaja Karya, 1988).  30

(18)

dilakukan oleh kapten penerbang tersebut akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintahan.

Apabila UU No.15 Tahun 1992 dibandingkan dengan UU No.83 Tahun 1958 maka ketentuan pencegahan tersebut merupakan hal baru yang belum pernah diatur dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya, walaupun tindak pidana pada umumnya telah diatur dalam UU No.4 Tahun 197631 dan UU No.2 Tahun 197632, tetapi kedua UU tersebut belum ada yang mengatur pemberian kapten penerbang untuk melakukan tindakan pencegahan tindak pidana penerbangan. Dalam Pasal 23 UU No.15 Tahun 1992 , Pemerintah mengusulkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk menetapkan pengaturan bagi pencegahan dan penanggulangan tindakan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap penerbangan. Selain Pasal 23 UU No.15 Tahun 1992 dimana kapten penerbang memiliki wewenang untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana dalam pesawat udara selama penerbangan berlangsung, ada pasal lain yang menyatakan tentang suatu tindakan yang dilarang untuk dilakukan dan apabila dilakukan akan diancam dengan sanksi pidana,yang dimana ketentuan-ketentuan tersebut berupaya untuk mengurangi tingkat kecelakaan pesawat udara yaitu :

1. Pasal 60 UU No.15 Tahun 1992,

       31

UU no.4 tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana Bertalian Dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang – undangan Pidana Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan 

32

(19)

”Dilarang menerbangkan pesawat udara yang membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang, dan barang, dan/atau penduduk atau mengganggu keamanan dan ketertiban umum atau merugikan harta benda milik orang lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda setinggi – tingginya Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)”. Yang dimaksud dengan menerbangkan pesawat udara yang membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang, barang dan penduduk misalnya adalah apabila seorang pilot menerbangkan pesawat di bawah ketinggian dan kecepatan yang telah ditentukan. Sebagai contoh adalah kasus pesawat militer AS yang menabrak gantole di Italia, hal tersebut terjadi karena pilot tersebut melanggar batas ketinggian dan kecepatan yang telah ditetapkan.

2. Pasal 62 UU No. 15 Tahun 1992

Dalam Pasal 18 ayat (1) UU No. 15 Tahun 1992 ditentukan bahwa setiap personil penerbangan wajib memiliki sertifikat kecakapan. Sertifikat kecakapan ini adalah sebagai tanda bahwa pilot masih boleh menerbangkan pesawat. Untuk mendapatkan sertifikat tersebut seorang pilot harus melalui beberapa tes, diantaranya tes kesehatan yang dilakukan secara rutin. Untuk memperkuat ketentuan ini agar dipatuhi, dalam Pasal 62 diatur ketentuan pidananya yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

(20)

“Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 36.000.000,-“

3. Pasal 63 UU No. 15 Tahun 1992

Untuk melindungi keamanan dan keselamatan penerbangan agar tidak terjadi suatu kecelakaan pesawat udara, dalam Pasal 19 ayat 1 juga ditentukan bahwa setiap pesawat udara yang dipergunakan untuk terbang wajib memiliki sertifikat kelaikan udara. Dengan adanya ketentuan ini maka setiap pesawat udara yang akan beroperasi diharapkan sudah mendapat pemeriksaan yang seksama sehingga layak terbang atau tidak. Pemeriksaan tersebut dilakukan oleh pemerintah terhadap setiap pesawat secara berkala dan didampingi oleh pihak dari perusahaan penerbangan yang bersangkutan. Selengkapnya Pasal 63 berbunyi adalah sebagai berikut :

“ Barang siapa mengoperasikan pesawat udara yang tidak memiliki kelaikan udara sebagaimana dimaksud dakam Pasal 19 ayat 1 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 36.000.000.

(21)

Fasilitas dan peralatan penunjang penerbangan wajib memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangan, misalkan penerangan yang ada di landasan harus baik sehingga pesawat dapat mendarat dengan aman pada waktu malam hari. Terhadap setiap pihak yang mengoperasikan fasilitas dan peralatan penunjang penerbanagn yang tidak memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangn diancam dengan pidana berdasarkan Pasal 64 UU No. 15 Tahun 1992 yang berbunyi sebagai berikut :

“ Barang siapa mengoperasikan fasilitas dan / atau peralatan penunjang penerbangn yang tidak memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.18.000.000,-

5. Pasal 66 UU No. 15 Tahun 1992

Dalam Pasal 28 UU No. 15 Tahun 1992 melarang seseorang untuk berada di sekitar bandar udara, mendirikan bangunan atau melakukan kegiatan di dalam maupun di sekitar bandar udara yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan. Yang dimaksud dengan berada di sekitar bandar udara adalah tempat dimana orang atau bangunan tidak boleh ada, misalkan di daerah run way, taxi way atau mendirikan bangunan di dekat landasan pesawat sehingga dapat mengganggu setiap pesawat yang akan mendarat atau akan take off. Untuk memperkuat agar

(22)

ketentuan ini dipatuhi, diatur ketentuan pidananya dalam Pasal 66 yang berbunyi sebagai berikut :

“ Barang siapa tanpa hak berada di tempat-tempat tertentu di bandar udara, mendirikan bangunan atau melakukan kegiatan lain di dalam atau di sekitar bandar udara yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 18.000.000,-“

B. Jenis Tindak Pidana Penerbangan dan Ketentuan Hukumnya menurut UU No.1 Tahun 2009

Undang-undang yang dipaparkan sebelumnya adalah undang-undang yang selama ini telah berlaku dalam dunia penerbangan. Dan setelah undang-undang No.15 Tahun 1992 dicabut digantikan dengan UU No.1 Tahun 2009 tentang penerbangan. Sangat banyak perubahan yang terjadi dalam undang- undang ini, penambahan bab dan pasal yang semakin banyak. Dalam undang-undang No.15 Tahun 1992 hanya terdiri dari 15 bab dan 76 pasal, sedangkan dalam undang-undang No.1 Tahun 2009 terdiri dari 24 bab dan 466 pasal. Dengan demikian terlihat banyak terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam undang-undang penerbangan yang baru ini. Semakin banyak hal-hal yang diatur dalam dunia penerbangan, demikian juga dengan tindak pidana yang mungkin terjadi selama dalam penerbangan baik itu dilakukan oleh awak pesawat yang terdiri dari kapten terbang (pilot), co-pilot, teknisi pesawat udara, tenaga ruang penerangan

(23)

ATC), dan penumpang daripada pesawat itu sendiri semakin baik diatur dalam

undang-undang ini. Ketentuan pidana dalam undang-undang ini dimuat mulai dari Pasal 401 - Pasal 443. Ada banyak tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini dengan ancaman hukuman pidana ataupun denda,yaitu :

1. Pasal 401 UU No.1 Tahun 2009

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki kawasan udara terlarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) .

Yang dimaksud dengan kawasan udara terlarang adalah ruang udara tertentu di atas daratan dan/atau perairan, di mana pesawat udara dilarang terbang melalui ruang udara tersebut karena pertimbangan Pertahanan dan keamanan negara, serta keselamatan penerbangan33. Kawasan udara terlarang ditetapkan oleh masing -masing Negara.

2. Pasal 402 UU No.1 Tahun 2009

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki kawasan udara terbatas sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4).

Yang dimaksud dengan kawasan udara terbatas adalah ruang udara tertentu di atas daratan dan/atau perairan, karena pertimbangan Pertahanan dan keamanan atau keselamatan penerbangan atau kepentingan umum, berlaku

       33

(24)

pembatasan penerbangan bagi pesawat udara yang melalui ruang udara tersebut.

3. Pasal 403 UU No.1 Tahun 2009

Setiap orang yang melakukan kegiatan produksi dan/atau perakitan pesawat udara, mesin pesawat udara, dan/atau baling-baling pesawat terbang yang tidak memiliki sertifikat produksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1).

Sertifikat Produksi adalah tanda bukti terpenuhinya persyaratan kelaikudaraan sesuai peraturan keselamatan penerbangan sipil yang diberikan kepada pabrikan dalam hal pembutan dan perakitan pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat udara dan/atau komponen pesawat udara. Sertifikat produksi ini adalah penting untuk menajamin keamanan dan keselamatan penerbangan.

4. Pasal 404 UU No.1 Tahun 2009

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak mempunyai tanda pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.

Yang dimaksud dengan tanda pendaftaran adalah tanda bukti terpenuhinya persyaratan pendaftaran pesawat udara untuk masuk ke dalam daftar pesawat udara sipil Republik Indonesia sesuai dengan peraturan keselamatan penerbangan sipil. Setiap pesawat udara yang dioperasikan wajib memiliki tanda pendaftaran baik sebagai pesawat Indonesia ataupun milik asing, sehingga jelas status hukum daripada pesawat tersebut

(25)

Setiap orang yang memberikan tanda-tanda atau mengubah identitas pendaftaran sedemikian rupa sehingga mengaburkan tanda pendaftaran, kebangsaan, dan bendera pada pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.

Setiap pesawat udara yang masuk maupun keluar dari wilayah Republik Indonesia harus memiliki identitas dan tanda pendaftaran pesawat udara yang jelas untuk mencegah terjadinya kejahatan penerbangan dengan misalnya masuknya teroris ke dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia. 6. Pasal 406 UU no.1 tahun 2009

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak memenuhi standar kelaikudaraan sebagaimana dimaksud dalam pasal 34. Untuk melindungi keamanan dan keselamatan penerbangan agar tidak terjadi suatu kecelakaan pesawat udara, dalam pasal 34 ayat 1 ditentukan bahwa setiap pesawat udara yang dipergunakan untuk terbang wajib memiliki sertifikat kelaikudaraan. Dengan adanya ketentuan ini maka setiap pesawat udara yang akan beroperasi diharapkan sudah mendapat pemeriksaan yang seksama sehingga layak terbang atau tidak. Pemeriksaan tersebut dilakukan oleh pemerintah terhadap setiap pesawat secara berkala dan didampingi oleh pihak dari perusahaan penerbangan yang bersangkutan.

7. Pasal 407 UU No.1 Tahun 2009

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak memiliki sertifikat operator pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam

(26)

Sertifikat operator pesawat udara adalah tanda bukti terpenuhinya persyaratan kelaikudaraan sesuai peraturan keselamatan penerbangan sipil dalam hal mengoperasikan pesawat udara secara komersil. Yang dimaksud dengan mengoperasikan pesawat udara adalah menerbangkan pesawat udara untuk angkutan niaga. Angkutan niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan menarik bayaran. Sertifikat ini sangat penting karena termasuk salah satu syarat untuk menjamin kemanan dan keselamatan penerbangan.

8. Pasal 408 UU No.1 Tahun 2009

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak memiliki sertifikat pengoperasian pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2)

Sertifikat pengoperasian pesawat udara diperuntukkan kepada orang yang menerbangkan pesawat udara sipil untuk pengakutan udara bukan niaga. Angkutan udara bukan niaga adalah kegiatan angkutan udara untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan kegiatan pokoknya bukan di bidang angkutan udara.

9. Pasal 409 UU No.1 Tahun 2009

Setiap orang selain yang ditentukan dalam Pasal 47 ayt (1) yang melakukan perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling peswat udara dan komponennya.

Yang bisa melakukan perawat terhadap seluruh komponen pesawat udara hanya orang yang memiliki sertifikat dan lisensi bahwa dia mampu dan

(27)

layak melakukan perawatan terhadap komponen pesawat tersebut dan memiliki keahlian dalam bidangnya, karena tidak semua orang bisa, mampu, dan mengerti dalam melakukan perawatan terhadap komponen pesawat tersebut yang nantinya akan berdampak pada keamanan dan keselamatan penerbangan.

10. Pasal 410 UU No.1 Tahun 2009

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara sipil Indonesia atau asing yang tiba di atau berangkat dari Indonesia dan melakukan pendaratan dan/atau tinggal landas dari Bandar udara yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 52.

Maksud daripada pasal ini adalah bahwa setiap pesawat yang ingin lepas landas dan mendarat harus dari Bandar udara yang telah ditetapkan dalam izin pengoperasian pesawat udara, contohnya : pesawat Garuda Indonesia dengan tujuan Jakarta, lepas landas dari Bandara Polonia Medan. Pesawat ini tidak diperkenankan mendarat di Bandar Udara Fatmawati Bengkulu,kecuali dalam keadaan darurat.

11. Pasal 411 UU No.1 Tahun 2009

Setiap orang dengan sengaja menerbangkan atau mengoperasikan pesawat udara yang membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang dan barang, dan/atau penduduk taua merugikan harta benda milik orang lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 53.

(28)

Yang dimaksud dengan menerbangkan pesawat udara yang membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang, barang dan penduduk misalnya adalah apabila seorang pilot menerbangkan pesawat di bawah ketinggian dan kecepatan yang telah ditentukan. Sebagai contoh adalah kasus pesawat militer AS yang menabrak gantole di Italia, hal tersebut terjadi karena pilot tersebut melanggar batas ketinggian dan kecepatan yang telah ditetapkan Dan contoh di Indonesia adalah pesawat Garuda Indonesia yang tergelincir di bandara adi sucipto Jogjakarta yang mendarat tidak sesuai dengan prosedur pendaratan yang seharusnya yang mengakibatkan matinya orang lain dan kehilangan harta benda.

12. Pasal 412 UU No.1 Tahun 2009

Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan, melakukan perbuatan yang melanggar tata tertib dalam penerbangan, mengambil atau merusak peralatan pesawat udara yang membahayakan keselamatan selama penerbangan, mengganggu ketenteraman, mengoperasikan peralatan elektronika yang mengganggu navigasi penerbangan.

Setiap pesawat udara memiliki peraturan dan tata tertib yang mengharuskan para penumpang ataupun awak pesawat menaati peraturan tersebut karena peraturan tersebut dibuat untuk kepentingan seluruh orang yang ada dalam

(29)

pesawat udara tersebut. Contoh :dilarang merokok selama penerbangan berlangsung baik di dalam kabin maupun di dalam toilet.

Pesawat udara memiliki serangkaian peralatan baik itu radar maupun navigasi pesawat yang berfungsi untuk menjamin keamanan dan keselamatan penerbangan. Apabila diantara alat – alat tersebut diambil maka keamanan dan keselamatan penerbangan akan terancam.

Dalam setiap penerbangan, pramugari selalu mengingatkan untuk mematikan perangkat elektronik karena ketika pesawat telah mencapai ketinggian sekitar 4.500 kaki, mode autopilot dinonaktifkan.Untuk menyebabkan kekacauan penerbangan serius hanya dibutuhkan sedikit sinyal nyasar pada waktu yang tepat. Sinyal nyasar inilah yang berpotensi memicu berbagai kekacauan teknologi pada kokpit. Contoh sederhananya, membuat instrumen di kokpit berfungsi tidak semestinya.

Sebagai contoh, sebuah ponsel yang sedang aktif akan terus memancarkan sinyal elektromagnetik. Maka pada saat posisi pesawat berada di ketinggian 35.000 kaki, sinyal tersebut sanggup menembus jarak radius 35 Km di bawah pesawat (di pusat kota Jakarta pada radius 35 Km terdapat ± 600 BTS). Itu artinya, selain mengganggu sistem kemudi & navigasi pesawat, juga menggangu BTS yang mampu terjangkau oleh ponsel tersebut. Ponsel dan alat elektronik banyak bergantung kepada gelombang radio atau gelombang elektromagnetik untuk menjalankan berbagai tugas

(30)

atau fungsi, termasuk berkomunikasi dengan menara kontrol, navigasi atau penerbangan, dan pengaturan udara di dalam kabin.

13. Pasal 413 UU No.1 Tahun 2009

Setiap personel pesawat udara yang melakukan tugasnya tanpa memiliki sertifikat kompetensi atau lisensi sebagaimana dimaksud dalam pasal 58 ayat (1).

Dalam Pasal 58 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2009 ditentukan bahwa setiap personil penerbangan wajib memiliki sertifikat kecakapan. Sertifikat kecakapan ini adalah sebagai tanda bahwa pilot masih boleh menerbangkan pesawat. Untuk mendapatkan sertifikat tersebut seorang pilot harus melalui beberapa tes, diantaranya tes kesehatan yang dilakukan secara rutin.

14. Pasal 414 UU No.1 Tahun 2009

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara asing di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa izin Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2).

Pesawat udara asing dapat dioperasikan di wilayah NKRI apabila tidak tersedianya kapasitas pesawat udara di Indonesia, tidak tersedianya jenis atau kemampuan pesawat udara Indonesia untuk melakukan kegiatan angkutan udara, terjadinya bencana alam, dan adanya bantuan kemanusian dari pihak asing. Dan untuk melakukan hal tersbut harus memperoleh izin terlebih dahulu dari kementrian. Namun pengoperasian pesawat asing

(31)

beberapa waktu sampai dapat ditanggulanginya keadaan tertentu tersebut oleh pesawat udara Indonesia.

15. Pasal 415 UU No.1 Tahun 2009

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara sipil asing yang dioperasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak memenuhi persyaratan kelaikudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (4).

Sama sepertinya halnya pesawat udara Indonesia yang dioperasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, demikian juga pesawat sipil asing yang diopersikan di wilayah NKRI harus tetap memenuhi standar keamanan dan keselamatan penerbangan Nasional, salah satunya adalah memenuhi standar kelaikudaraan.

16. Pasal 416 UU No.1 Tahun 2009

Setiap orang yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga dalam negeri tanpa izin usaha angkutan udara niaga sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 84.

Angkutan udara niaga dalam negeri dalam dilakukan dengan memperoleh izin dari menteri untuk mengoperasikan pesawat udara sebagai angkutan udara niaga. Apabila tidak memiliki izin tersebut maka angkutan udara niaga tidak dapat dilakukan.

(32)

Setiap orang yang melakukan angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri tanpa izin usaha angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1).

Yang dimaksud dengan angkutan udara niaga berjadwal adalah penerbangan yang dilakukan dari satu tempat ke tempat yang lainnya, dengan jadwal yang teratur sesuai dengan jadwal penerbangan yang telah ditetapkan. Biasanya dilakukan lebih dari satu kali penerbangan. Dengan melakukan penerbangan ini harus memiliki izin pengakutan dan izin terbang terlebih dahulu.

18. Pasal 418 UU No.1 Tahun 2009

Setiap orang yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri tanpa persetujuan terbang dari menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1).

Angkutan udara niaga tidak berjadwal adalah penerbangan yangn tidak dengan jadwal yang telah ditetapkan. Penerbangan ini tidak memiliki pembatan rute penerbangan. Angkutan udara niaga tidak berjadwal tidak hanya mengangkut orang namun juga bisa barang. Sama halnya dengan pengakutan udara niaga berjadwal, pengakutan udara tidak berjadwal luar negeri harus memiliki izin terlebih dahulu dari menteri.

(33)

Setiap orang yang melakukan pengangkutan barang khusus dan berbahaya yang tidak memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (1).

Yang dimaksud dengan barang khusus adalah berupa hewan, ikan, buah-buahan, sayur-mayur, daging, peralatan olahraga, dan alat musik. Barang-barang tersebut tidak dapat hanya asal dibawa dalam pengangkutan udara namun harus memenuhi standar keamanan dan keselamatan pengakutan barnag terlebih dahulu, karena barang-barang yang dibawa tersebut bukan tidak memungkinkan dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan pesawat udara.

20. Pasal 420 UU No.1 Tahun 2009

Pemilik, agen ekspedisi muatan pesawat udara, pengirim, badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, badan udaha pergudangan, atau badan usaha angkutan udara niaga yang melanggar ketentuan pengangkutan barang khusus dan/atau berbahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) atau ayat (2).

Barang khusus atau berbahaya memiliki ketentuan tersendiri hingga dapat dimuat dalam pesawa udara, untuk barang berbahaya badan usaha angkutan udara niaga harus memiliki tempat khusus untuk menyimpan barang tersebut sehingga tidak membahayakan penerbangan. Dalam membawa barang khusus datau berbahaya diwajibkan melapor kepada pengelola pergudangan

(34)

21. Pasal 421 UU No.1 Tahun 2009

Setiap orang berada di daerah tertentu di bandar udara, tanpa memperoleh izin dari otoritas bandar udara dan membuat halangan (obstacle), dan/atau melakukan kegiatan lain di kawasan keselamatan operasi penerbangan yang membahayakan keselamatan dan keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 210.

Dalam Pasal 210 UU No.1 Tahun 2009 melarang seseorang untuk berada di sekitar bandar udara, atau melakukan kegiatan di dalam maupun di sekitar bandar udara yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan. Yang dimaksud dengan berada di sekitar bandar udara adalah tempat dimana orang tidak boleh ada, misalkan di daerah run way, taxi way atau mendirikan halangan/bangunan di dekat landasan pesawat sehingga dapat mengganggu setiap pesawat yang akan mendarat atau akan take off.

22. Pasal 422 UU No.1 Tahun 2009

Setiap orang dengan sengaja mengoperasikan bandar udara tanpa memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 217 ayat (1).

Tidak hanya pesawat yang harus memenuhi standar keamanan dan keselamatan, namun Bandar udara yang digunakan untuk proses penerbangan juga harus memnuhi standar keamanan dan keselamatan

(35)

sebelum digunakan pesawat udara untuk landing maupun take off. Mengenai ketentuan keamanan dan keselamatan penerbangan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah34. Dan apabila hal perbuatan yang dimaksud dalam pasal 1 tersebut menimbulkan kerugian harta benda seseorang dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) sedangkan apabila menyebabkan matinya orang dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).

23. Pasal 423 UU No.1 Tahun 2009

Personel bandar udara yang mengoperasikan dan/atau memelihara fasilitas bandar udara tanpa memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 ayat (1).

Personel bandar udara adalah orang-orang yang bertugas mengoperasikan mengoperasikan dan memelihara fasilitas bandar udara seperti menara pengawas, pemandu garis, dan lain sebagainya. Tidak semua orang bisa menjadi pesonel Bandar udara, harus ada lisensi dan sertifikat yang membuktikan bahwa orang tersebut mampu dan memiliki keahlian dalam memelihara dan mengoperasikan Bandar udara. Lisensi tersebut diberikan oleh Menteri.

24. Pasal 424 UU No.1 Tahun 2009

(36)

Setiap orang yang tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pengguna jasa bandar udara dan/atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (1) berupa kematian atau luka fisik orang yang diakibatkan oleh pengoperasian bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (2) huruf a dan Pasal 240 ayat (1).

Yang dimaksud badan usaha bandar udara adalah badan usaha baik milik Negara ataupun milik daerah, atau badan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, yang kegiatan utamanya mengoperasikan bandar udara untuk pelayanan umum. Badan usaha bandar udara memiliki peran penting dalam pertanggungjawaban terhadap pihak ketiga yang rnenggunakan jasa pelayanannya. Dan apabila karena hal tersebut pihak ketiga mengalami kerugian maka badan usaha bandar udara berkewajiban untuk memberikan ganti rugi atas apa yang dialami oleh pihak ketiga.

25. Pasal 425 UU No.1 Tahun 2009

Setiap orang yang melaksanakan kegiatan di bandar udara yang tidak bertanggung jawab untuk mengganti kerugian atas setiap kerusakan pada bangunan dan/atau fasilitas bandar udara yang diakibatkan oleh kegiatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241.

26. Pasal 426 UU No.1 Tahun 2009

(37)

Bandar udara khusus adalah bandar udara yang hanya digunakan untuk melayani kepentingan sendiri untuk menunjang kegiatan usaha pokoknya.

27. Pasal 427 UU No.1 Tahun 2009

Setiap orang yang mengoperasikan bandar udara khusus dengan melayani penerbangan langsung dari dan/atau ke luar negeri tanpa izin dari menteri.

Dalam Pasal 249 telah dinyatakan bahwa bandar udara khusus tidak izinkan melayani penerbangan dari dan/atau ke luar negeri,kecuali dalam keadaan tertentu dan mendapat izin dari menteri atau untuk sementara waktu. Yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah untuk tujuan medical evacuation atau penanggulangan bencana. Hal ini dikarenakan bandar udara udara khusus yang ebrsifat private bisa menjadi jalur masuknya teroris ataupun penyelundupan barang-barang berbahaya kedalam NKRI apabila tidak diawasi keamanannya.

28. Pasal 428 UU No.1 Tahun 2009

Setiap orang yang mengoperasikan bandar udara khusus yang digunakan untuk keperntingan umum tanpa izin dari menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250.

Bandar udara khusus bersifat private dan untuk kepentingan pribadi maka dari itu bandara ini tidak diizinkan untuk melayani keperntingan umum, jika harus melayani kepentingan umum, hal tersebut dapat dilakukan dengan

(38)

memperoleh izin dari menteri dan hanya untuk sementara waktu. Apabila hal tersebut dilakukan maka akan dikenakan sanksi pidana.

29. Pasal 429 UU No.1 Tahun 2009

Setiap orang yang menyelenggarakan pelayanan navigasi penerbangan tidak memiliki sertifikat pelayanan navigasi penerbangan sebagimana dimaksud dalam pasal 275 ayat (1) .

Tidak semua orang dapat memberikan pengarahan navigasi kepada pesawat udara yang hendak landing maupun take off, hanya orang – orang yang memiliki kecakapan dan sertifikasi yang dapat memberikan pengarahan navigasi tersebut. Karena sedikit saja kesalahan pemberitahuan navigasi akan membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan.

30. Pasal 430 UU No.1 Tahun 2009

Personel navigasi penerbangan yang tidak memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 292 ayat (1).

Navigasi penerbangan adalah proses mengarahkan gerak pesawat udara dari satu titik ke titik yang lain dengan selamat dan lancar untuk menghindari bahaya dan/atau rintangan penerbangan. Maka personel navigasi penerbangan adalah orang yang bertugas melakukan navigasi penerbangan, contohnya adalah kapten terbang. Personel navigasi penerbangan harus memiliki lisensi untuk menjamin bahwa dia adalah ahli dan memiliki kemampuan dalam bidangnya.

(39)

31. Pasal 431 UU No.1 Tahun 2009

Setiap orang yang menggunakan frekuensi radio penerbangan selain untuk kegiatan penerbangan atau menggunakan frekuensi radio penerbangan yang secara langsung atau tidak langsung mengganggu keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 306.

Dalam suatu penerbangan, Kapten terbang akan terus berkomunikasi dengan menara pengawas di bandar udara, dalam komunikasi tersebut digunakan gelombang radio penerbangan. Dan apabila ada pihak lain yang menggunakan frekuensi radio tersebut maka komunikasi kapten terbang dengan menara pengawas akan terganggu. Gangguan tersebut dapat berakibat fatal terhadap penerbangan.

32. Pasal 432 UU No.1 Tahun 2009

Setiap orang yang akan memasuki daerah keamanan terbatas tanpa memiliki izin masuk daerah terbatas atau tiket pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 334 ayat (1).

Yang dimaksud daerah kemanan terbatas adalah daerah-daerah tertentu di dalam bandar udara maupun di luar bandar udara yang digunakan untuk kepentingan keamanan penerbangan, penyelenggara bandar udara dan kepentingan lainnya. Dan untuk memasuki daerah tersebut harus memiliki izin ataupun tiket pesawat bagi para calon penumpang. Hal ini dilakukan untuk tetap menjaga keamanan dan keselamatan penerbangan.

(40)

33. Pasal 433 UU No.1 Tahun 2009

Setiap orang yang menempatkan petugas keamanan dalam penerbangan pada pesawat udara niaga berjadwal asing dari dan ke wilayah Republik Indonesia tanpa adanya perjanjian bilateral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341.

Perjanjian bilateral merupakan perjanjian antara dua Negara baik dalam bidang perekonomian maupun bidang hukum dan keamanan. Pesawat udara asing tidak boleh menempatkan petugas keamanan dalam pesawatnya apabila tidak ada perjanjian terlebih dahulu diantara kedua Negara.

34. Pasal 434 UU No.1 Tahun 2009

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara kategori transport tidak memenuhi persayaratan keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 342 sehingga mengakibatkan kecelakaan pesawat udara dan kerugian harta benda.

Yang dimaksud dengan “persyaratan keamanan penerbangan” adalah dipenuhinya persyaratan di pesawat udara, antara lain :

a. Berupa tempat untuk meredam bahan peledak

b. Menentukan daerah bagian pesawat udara yang bias menerima ledakan dengan tidak membahayakan kegiatan penerbangan

(41)

c. Pintu ruang kemudi pesawat udara (cookpit door) yang terbuat dari material tahan peluru dan dengan system pembuka rahasia dari kabin pesawat udara.

35. Pasal 435 UU No.1 Tahun 2009

Setiap orang yang masuk ke dalam pesawat udara, daerah kemanan terbatas bandar udara, atau wilayah fasilitas aeronautika secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 huruf c.

Yang dimaksud fasilitas aeronautika adalah radar dan menara pengatur lalu lintas penerbangan. Untuk masuk ke dalam tempat-tempat tersebut harus memiliki izin khusus, karena segala sesuatunya itu berkenaan dengan keamanan dan keselamatan penerbangan yang tidak semua orang boleh masuk.

36. Pasal 436 UU No.1 Tahun 2009

Setiap orang yang membawa senjata, barang, dan peralatan berbahaya, atau bom ke dalam pesawat udara atau Bandar udara tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 344 huruf d.

Sebenarnya isi pasal tersebut sudah jelas dimana barnag-barang tersebut adalah barang-barang berbahaya yang dapat mengancam keselamatan penerbangan. Barang-barang tersebut bisa masuk dalam pesawat udara apabila telah memiliki izin khusus.

(42)

Setiap orang menyampaikan informasi palsu yang membahayakan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 huruf e.

Yang dimaksud dengan informasi palsu yang membahayakan keselamatan penerbangan adalah dimana apabila ada seseorang yang menyampaikan informasi yang tidak benar sehingga membuat para penumpang dan awak pesawat panik sehingga mengancam keselamatan penerbangan. Ataupun informasi dari menara pengawas yang salah memberikan petunjuk atau arahan kepada pilot yang mengakibatkan kecelakaan pesawat udara.

38. Pasal 438 UU No.1 Tahun 2009

Kapten penerbang yang sedang bertugas yang mengalami keadaan bahaya atau mengetahui adanya pesawat udara lain yang diindikasikan sedang menghadapi bahaya dalam penerbangan, tidak memberitahukan kepada unit pelayanan lalu lintas penerbangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 354 sehingga berakibat terjadinya kecelakaan pesawat udara dan kerugian harta benda.

Dalam pasal 354 dikatakan bahwa kapten terbang yang sedang bertugas yang mengalami keadaan bahaya atau mengetahui adanya pesawat udara lain yang diindikasikan sedang menghadapi bahaya dalam penerbangan wajib segera memberitahukan kepada unit pelayanan lalu lintas penerbangan,apabila hal tersebut tidak dilakukan oleh kapten terbang maka kapten terbang tersebut bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan pesawat udara tersebut dan dapat dikenakan hukuman pidana terhadapnya, karena telah lalai terhadap kewajibannya.

(43)

39. Pasal 439 UU No.1 Tahun 2009

Setiap personel pelayanan lalu lintas penerbangan yang pada saat bertugas menerima pemberitahuan atau mengetahui adanya pesawat udara yang berada dalam keadaan bahaya atau hilang dalam penerbangan tidak segera memberitahukan kepada instansi yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang pencarian dan pertolongan sebagaimana dimaksud dalam pasal 355 sehingga mengakibatkan kecelakaan pesawat udara dan kerugian harta benda.

Karena hal tersebut diatas mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. Pasal 355 menyatakan bahwa setiap personel pelayanan lalu lintas yang mengetahui bahwa adanya pesawat udara yang berada dalam keadaan bahaya atau hilang wajib memberitahukan kepada instansi yang bertugas dan bertanggung jawab di bidang pencarian dan petolongan. Apabila hal tersebut tidak dilakukan dan akibatnya matinya orang maka personel tersebut akan diancama dengan hukuman pidana.

40. Pasal 440 UU No.1 Tahun 2009

Setiap orang yang merusak atau menghilangkan bukti-bukti, mengubah letak pesawat udara, mengambil bagian pesawat udara atau barang lainnya yang tersisa akibat dari kecelakaan atau kejadian serius pesawat udara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 360 ayat (1).

(44)

Dalam suatu kecelakaan pesawat udara, maka badan hukum yang berwenang atau KNKT akan segera memeriksa tempat kejadian untuk mencari tahu sebab terjadinya suatu kecelakaan pesawat udara. Maka segala sesuatu yang ada di lokasi kejadian kecelakaan adalah penting untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi terhadap pesawat yang mengalami kecelakaan tersebut, tidak hanya bagi KNKT namun bagi pihak kepolisian adalah penting juga untuk memeriksa tempat kejadian untuk menyelidiki apakah ada tindak pidana yang terkandung dalam suatu kecelakaan pesawat udara tersebut. Maka dari itu segala sesuatu yang ada di lokasi kejadian tidak boleh diambil ataupun diubah posisinya.

41. Pasal 441 UU No.1 Tahun 2009

Tindak pidana di bidang penerbangan dianggap dilakukan oleh koporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama.

Korporasi tidak dapat melakukan perbuatan sendiri tetapi selalu harus melalui manusia yang memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan itu atas nama korporasi. Mengingat hal yang demikian itu, maka harus terlebih dahulu dapat dipastikan adanya manusia yang menjadi pelaku sesungguhnya (pelaku materiil) dari tindak pidana tersebut yang atas dilakukannya tindak pidana itu korporasi harus bertanggung jawab.

(45)

Dalam hal panggilan terhadap korporasi, maka pemanggilan untuk mengahadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat pengurus berkantor, di tempat korporas itu beroperasi, atau di tempat tinggal pengurus.

43. Pasal 443 UU No.1 Tahun 2009

Dalam hal tindak pidana di bidang penerbangan dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda yang ditentukan dalam bab ini.

Referensi

Dokumen terkait

iii) metafora sebagai suatu alat untuk mengorganisasi dan menyimpan maklumat. i\·) guru dapat menilai pemahaman sesuatu konsep dengan lebih tepat dengan meminta

Terhadap penyembuhan luka pada tikus putih jantan menurut penelitian sebelumnya dengan daun yang berbeda namun senyawa yang sama dan konsentrasi yang sama 5%

Penelitan ini mereplikasi penelitian Rachmayani dan Suyono (2007) yang berjudul pengaruh ketidakamanan kerja, kepuasan kerja dan komitmen organisasional terhadap pengunduran

Yosef pada tahun 1998, menyelesaikan pendidikan di SMP N 1 Sidikalang pada Tahun 2001, menyelesaikan pendididikan di SMA N 1 Sidikalang pada Tahun 2004, menyelesaikan pendididikan

Berdasarkan hasil penelitian dan manfaat yang diperoleh, maka beberapa saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut 1) Perlu dilakukan penelitian lanjutan

Nonyl Phenol memiliki nilai viskositas yang lebih tinggi dengan bertambahnya konsentrasi dari pada surfaktan Alfa Olefin Sulfonat. Pada injeksi batuan sandstone nonyl phenol

HERMANUS

Strategi Pengembangan Objek Wisata Istana Basa Pagaruyung di Kabupaten Tanah Datar sudah bisa dilaksanakan dengan baik hal ini berkaitan erat dengan berbagai