• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN (Studi Putusan Nomor 4/Pid.Sus-Anak/2021/PN Prp)

N/A
N/A
MinhHN

Academic year: 2023

Membagikan "BAB II TINJAUAN PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN (Studi Putusan Nomor 4/Pid.Sus-Anak/2021/PN Prp)"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

13 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Pertimbangan Hakim

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung (Mukti Arto, 2004: 140).

Hakim adalah orang yang bertindak sebagai pemimpin dalam persidangan, berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa:

kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi (Andi Hamzah, 1996: 94).

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa “Pertimbangan Hakim adalah pemikiran- pemikiran atas pendapat hakim dalam menjatuhkan putusan dengan melihat hal-hal yang dapat meringankan dan memberatkan pelaku.”

Dalam Pasal 1 angka 8 KUHAP menjelaskan bahwa hakim merupakan pejabat peradilan negara yang diberikan kewenangan oleh undang-undang yang ada di dalam suatu negara untuk mengadili. Berdasarkan Pasal 1 angka 9 KUHAP terdapat penjelasan bahwa dalam tindakan mengadili bisa dikatakan sebagai tindakan yang dilakukan untuk menerima, memeriksa, dan memutus

(2)

perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur sesuai pada undang-undang ini.

Salah satu pertimbangan hakim dalam menentukan berat atau ringannya pidana yang diberikan kepada terdakwa selalu didasarkan pada asas keseimbangan antara kesalahan dengan perbuatan melawan hukum. Dalam putusan hakim harus disebutkan juga alasan bahwa pidana yang dijatuhkan sesuai dengan sifat dari perbuatan, keadaan meliputi perbuatan itu, keadaan pribadi terdakwa. Dengan demikian putusan pidana tersebut telah mencerminkan sifat futuristik dari pemidanaan itu (Soedjono, 1995: 41).

Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek.

Salah satu usaha untuk mencapai kepastian hukum kehakiman, adapun karena hakim merupakan aparat penegak hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak ukur tercapainya suatu kepastian hukum. Pertimbangan hakim dalam memberi berbagai macam putusan menurut Rusli Muhammad (2006: 124) bisa dibagi menjadi dua kategori yaitu:

a. Pertimbangan Yuridis

Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh undang-undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Hal-hal yang dimaksud antara lain:

1) Dakwaan jaksa penuntut umum;

Dakwaan merupakan dasar dari hukum acara pidana karena berdasarkan itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan. Perumusan dakwaan didasarkan atas hasil pemeriksaan pendahuluan yang disusun tunggal, kumulatif, alternatif, ataupun subsidair.

(3)

2) Keterangan terdakwa;

Keterangan terdakwa menurut KUHP dalam Pasal 184 butir e, digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di muka sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau dialami sendiri. Dalam Hukum Acara Pidana keterangan terdakwa dapat dinyatakan dalam bentuk pengakuan ataupun penolakan, baik sebagian maupun keseluruhan terhadap dakwaan penuntut umum dan keterangan yang disampaikan oleh para saksi. Keterangan terdakwa sekaligus juga merupakan jawaban atas pertanyaan hakim, jaksa penuntut umum ataupun dari penasihat hukum.

3) Keterangan saksi;

Keterangan saksi merupakan alat bukti seperti yang telah diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf a. Keterangan saksi merupakan keterangan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar, ia lihat sendiri dan dialami sendiri, yang harus disampaikan di muka sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah.

4) Barang-barang bukti;

Barang bukti merupakan barang yang digunakan oleh Terdakwa untuk melakukan suatu tindak pidana atau barang sebagai hasil dari suatu tindak pidana. Barang bukti di sini juga berarti semua benda yang dapat dikenakan penyitaan dan diajukan oleh penuntut umum di depan sidang pengadilan.

5) Pasal-pasal dalam peraturan hukum pidana dan sebagainya.

Dalam praktik persidangan, pasal peraturan hukum pidana itu selalu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa.

(4)

Dalam hal ini, penuntut umum dan hakim berusaha untuk membuktikan dan memeriksa melalui alat-alat bukti tentang apakah perbuatan terdakwa telah atau tidak memenuhi unsur- unsur yang dirumuskan dalam pasal peraturan hukum pidana.

Apabila ternyata perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur dari setiap pasal yang dilanggar, berarti terbuktilah menurut hukum kesalahan terdakwa, yakni telah melakukan perbuatan seperti diatur dalam pasal hukum pidana tersebut.

Meskipun belum ada ketentuan yang menyebutkan bahwa di antara yang termuat dalam putusan itu merupakan pertimbangan yang bersifat yuridis di sidang pengadilan, dapatlah digolongkan sebagai pertimbangan yang bersifat yuridis, dan pasal-pasal tersebut dijadikan dasar pemidanaan oleh hakim (Pasal 197 KUHAP).

b. Pertimbangan Non-Yuridis

Dasar-dasar yang digunakan dalam pertimbangan yang bersifat non yuridis, yaitu:

1) Latar belakang terdakwa

Pengertian latar belakang perbuatan terdakwa adalah setiap keadaan yang menyebabkan timbulnya keinginan serta dorongan keras pada diri terdakwa dalam melakukan tindak pidana kriminal. Latar belakang perbuatan terdakwa dalam melakukan perbuatan kriminal.

2) Ketidakharmonisan hubungan sosial terdakwa baik dalam lingkungan keluarganya, maupun dengan orang lain

Akibat perbuatan terdakwa, perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa sudah pasti membawa korban ataupun kerugian pada pihak lain. Bahkan akibat dari perbuatan terdakwa dari kejahatan yang dilakukan tersebut dapat pula berpengaruh buruk kepada masyarakat luas, paling tidak

(5)

keamanan dan ketentraman mereka senantiasa terancam.

Namun akibat demikian yang telah ditimbulkan terdakwa tidak selamanya menjadi dasar pertimbangan hakim.

Sebagian putusan hakim ada yang mempertimbangkan tentang akibat hukum terdakwa, tetapi ada pula sebagian dari putusan hakim itu tidak mempertimbangkannya.

3) Kondisi diri terdakwa

Pengertian kondisi terdakwa dalam pembahasan ini adalah keadaan fisik maupun psikis terdakwa sebelum melakukan kejahatan, termasuk pula status sosial terdakwa.

4) Keadaan sosial ekonomi terdakwa

Dalam konsep KUHP yang baru, bahwa pembuat, motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana, cara melakukan tindak pidana, sikap batin pembuat, sikap, dan tindakan si pembuat sesudah melakukan tindak pidana, pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat dan pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan dapat dijadikan dasar pertimbangan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan berupa pemidanaan.

5) Agama terdakwa

Keterikatan para hakim terhadap ajaran agama tidak cukup bila sekedar meletakkan kata “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” pada kepala putusan, melainkan harus menjadi ukuran penilaian dari setiap tindakan baik tindakan para hakim itu sendiri maupun dan terutama terhadap tindakan para pembuat kejahatan.

Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan harus mencerminkan rasa keadilan. Hakim dituntut untuk mempunyai keyakinan dengan mengaitkan keyakinan tersebut dengan alat-alat bukti yang sah serta menciptakan hukum

(6)

sendiri yang berdasarkan keadilan yang tidak bertentangan dengan Pancasila sebagai sumber dari segala hukum. Selain itu, hakim dalam menjatuhkan putusan tidak hanya berdasarkan pertimbangan yuridis tetapi terdapat juga pertimbangan sosiologisnya yang mengarah pada latar belakang terjadinya tindak pidana tersebut. Pertimbangan keputusan disesuaikan dengan kaidah- kaidah, asas-asas dan keyakinan yang kukuh yang berlaku di dalam masyarakat, karena itu pengetahuan tentang sosiologi dan psikologi perlu dimiliki oleh hakim. Yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan, antara lain: (M. Halawa, Z. Munawir, & S. Hidayani, 2020: 9)

a. Keadaan psikologis terdakwa pada saat melakukan tindak pidana;

b. Keadaan psikologis terdakwa setelah dipidana;

c. Keadaan psikologis hakim dalam menjatuhkan hukuman.

2. Tinjauan tentang Anak a. Pengertian Anak

Dalam konsideran UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, lebih lanjut dikatakan bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Oleh karena itu agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi (M.

Nasir Djamil, 2018: 3).

(7)

Berdasarkan pendapat Lilik Mulyadi apabila ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian anak di mata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarige/person enderage). Orang yang di bawah umur atau keadaan di bawah umur (minderjangheid/inferiority) atau kerap juga disebut anak di bawah pengawasan wali (minderjarige ondervoodij), maka dengan bertitik tolak pada aspek tersebut di atas ternyata hukum positif Indonesia tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku universal untuk menentukan batasan umur bagi seorang anak (Lilik Mulyadi, 2005: 4).

Setiap peraturan perundang-undangan mengatur secara tersendiri mengenai definisi anak. Dalam perspektif masyarakat Indonesia, anak sering disebut sebagai seorang yang belum dewasa atau sebagai orang yang berada di bawah perwalian. Berikut merupakan beberapa pengertian anak dari peraturan yang berlaku di Indonesia:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak secara eksplisit menyebutkan tentang kategori anak, akan tetapi dalam Pasal 45 dan 72 memakai batasan umur 16 tahun dan Pasal 283 yang memberi batasan 17 tahun.

2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Dalam undang-undang ini tidak memberikan definisi anak, namun dalam Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) mempunyai pengertian pembatasan usia anak di bawah kekuasaan orang tua atau di bawah perwalian sebelum mencapai 18 (delapan belas) tahun. Hal ini dapat diartikan bahwa pengertian anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun.

3) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

(8)

Menurut Pasal 1 butir 5 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya.

4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pasal 1 butir 1 Undang-Undang ini menjelaskan pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sehingga anak yang belum dilahirkan dan masih di dalam kandungan ibu menurut Undang-Undang ini telah mendapatkan suatu perlindungan hukum.

5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mendefinisikan anak di bawah umur sebagai anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun, dan membedakan anak yang terlibat dalam suatu tindak pidana ke dalam tiga kategori:

a. Anak yang menjadi pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak);

b. Anak yang menjadi korban tindak pidana (Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak); dan c. Anak yang menjadi saksi tindak pidana (Pasal 1 angka 5

Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak).

Dalam lingkup Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia serta Undang-Undang tentang Perlindungan Anak sendiri ditetapkan bahwa

(9)

anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan dan belum pernah menikah (G.

Sukawantara, A. Dewi, & L. Suryani, 2020: 223).

Sebelumnya, Undang-Undang Pengadilan Anak tidak membedakan kategori Anak Korban dan Anak Saksi. Konsekuensinya, Anak Korban dan Anak Saksi tidak mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini mengakibatkan banyak tindak pidana yang tidak terselesaikan atau bahkan tidak dilaporkan karena anak merasa ketakutan menghadapi sistem peradilan pidana.

b. Hak-hak Anak

Hak-hak anak ini diatur dalam berbagai peraturan yang membahas mengenai anak. Peraturan tersebut antara lain: (Gatot Supramono, 2000:7) 1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan

Anak, menyebutkan hak-hak anak antara lain adalah:

a) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang, baik dalam keluarga maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.

b) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warga yang baik dan berguna.

c) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.

d) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar.

e) Dalam keadaan yang membahayakan anaklah yang pertama- tama berhak mendapat pertolongan, bantuan dan perlindungan.

(10)

2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyebutkan hak-hak anak antara lain sebagai berikut:

a) Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

b) Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.

c) Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatuhan.

d) Setiap anak dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi (baik ekonomi maupun seksual), penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya.

e) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.

f) Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dilakukan sebagai upaya terakhir.

g) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak:

mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa, memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya, dan membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.

(11)

h) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

i) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.

3. Tinjauan tentang Sanksi Pidana Terhadap Anak

Pada upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana harus dikenakan suatu akibat hukum, hal yang sangat erat hubungannya adalah masalah pemidanaan, agar tercapainya tujuan dari penegakan hukum itu sendiri yaitu pemenuhan keadilan dan kepastian hukum. Sifat pemidanaan tidak semata-mata bersifat punitive atau menghukum maupun mencari kesalahan anak, akan tetapi untuk memperbaiki anak kepada keadaan semula dengan menghindarkannya dari perbuatan yang asosial. Dalam penerapannya sanksi tindak pidana anak dikhususkan, melalui sistem peradilan pidana anak.

Pencegahan khusus yang berupa pemenjaraan masih dipertanyakan efektifitasnya untuk menakut-nakuti, karena seseorang yang pernah dipidana penjara tidak lagi takut masuk penjara, sedangkan bagi seseorang yang tidak dipenjara ia takut untuk masuk penjara (Adami Chazawi, 2002: 164). Usaha pemidanaan anak harus non-viktimisasi (tidak menimbulkan korban kepada anak sebagai pelaku), jika anak harus mempertanggungjawabkan perbuatannya yang merugikan orang lain, maka harus ditekankan hukuman bukanlah harga mati atau pembalasan.

Upaya pemerintah Indonesia dalam melindungi anak terlihat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang telah mengadopsi asas kepentingan terbaik bagi anak pada proses penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum. Asas tersebut tercantum dalam Pasal 2 huruf d UU SPPA. Dengan dianutnya asas kepentingan terbaik bagi anak, maka pidana menjadi upaya terakhir dalam penyelesaian perkara anak (ultimum remedium). Sekalipun penyelesaian

(12)

perkara anak harus sampai pada proses peradilan pidana, UU SPPA khususnya pada Pasal 71 telah memberikan berbagai opsi bagi hakim dalam menjatuhkan pidana. Asas kepentingan terbaik bagi anak membatasi kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan. Hakim dalam memeriksa perkara anak tidak hanya melihat perbuatan anak dari aspek formil tetapi juga mempertimbangkan keadaan pribadi anak serta motif dalam melakukan tindak pidana. Dalam hal ini putusan hakim diharapkan dapat menyentuh aspek kemanusiaan anak dan sesuai dengan asas kepentingan terbaik bagi anak (Mashuril Anwar dan M.

Ridho Wijaya, 2019: 268).

Pasal 71 UU SPPA memberikan berbagai pilihan bagi hakim dalam memberikan putusan dalam perkara anak, yaitu pidana peringatan, pembinaan di luar atau dalam lembaga, pelayanan masyarakat, pengawasan, pelatihan kerja, penjara, perampasan keuntungan, dan pemenuhan kewajiban adat. Hal ini sejalan dengan filosofi dasar perlakuan terhadap anak nakal, yakni untuk kepentingan terbaik bagi anak (Syachdin, 2016: 200).

Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 telah dirumuskan bahwa anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan ketentuan dalam undang-undang ini. Ringannya perbuatan, keadaan pribadi anak atau keadaan waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk dapat menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Jenis- jenis pidana dan tindakan terdapat pada Pasal 69 sampai dengan Pasal 83, antara lain: (Angger Sigit Pramukti dan Fuady Primaharsya, 2015: 88-92)

a. Pidana Pokok

1) Pidana Peringatan

Pidana peringatan adalah bentuk sanksi dari pidana ringan yang tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan anak. Dalam hal ini apabila anak melakukan tindak pidana ringan hanya akan diberi peringatan kepadanya atau kepada orang tua/wali, namun

(13)

tidak sampai ke meja pengadilan.

2) Pidana Bersyarat

Pidana dengan syarat dapat dijatuhkan oleh hakim dalam hal pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun. Dalam hal ini ditentukan syarat umum dan syarat khusus. Syarat umumnya adalah bahwa anak tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana dengan syarat. Dan syarat khususnya adalah untuk ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak.

Dalam pidana bersyarat, masa pidana dengan syarat khusus lebih lama dari masa pidana dengan syarat umum. Jangka waktu masa pidana dengan syarat paling lama 3 (tiga) tahun. Selama anak menjalani pidana bersyarat, Penuntut Umum melakukan pengawasan dan Pembimbing Kemasyarakatan melakukan pembimbingan agar anak menepati persyaratan yang telah ditetapkan. Anak juga harus mengikuti wajib belajar 9 (sembilan) tahun agar pendidikan terpenuhi.

1. Pembinaan di Luar Lembaga

Dalam hal hakim memutuskan bahwa anak dibina di luar lembaga, lembaga tempat pendidikan dan pembinaan ditentukan dalam putusannya. Pembinaan di luar lembaga dapat berupa keharusan untuk:

(1) Mengikuti program pembimbingan dan penyuluhan yang dilakukan oleh pejabat pembina;

(2) Mengikuti terapi di rumah sakit jiwa; atau

(3) Mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.

Apabila selama pembinaan anak melanggar syarat- syarat tersebut, pejabat pembina dapat mengusulkan

(14)

kepada hakim pengawas untuk memperpanjang masa pembinaan yang lamanya tidak melampaui maksimum 2 (dua) kali masa pembinaan yang belum dilaksanakan.

2. Pelayanan Masyarakat

Pidana pelayanan masyarakat adalah pidana yang dimaksudkan untuk mendidik anak dengan meningkatkan kepeduliannya pada kegiatan kemasyarakatan yang positif. Pidana ini dijatuhkan untuk anak paling singkat 7 (tujuh) jam dan paling lama 120 (seratus dua puluh) jam.

3. Pengawasan

Yang dimaksud dengan pidana pengawasan adalah pidana yang dilakukan oleh penuntut umum terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari dan pemberian bimbingan yang dilakukan Pembimbing Kemasyarakatan. Pidana ini dapat dijatuhkan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun.

3) Pelatihan Kerja

Pelatihan kerja anak dilaksanakan di lembaga yang melaksanakan pelatihan kerja yang sesuai dengan usia anak.

Lembaga yang melaksanakan pelatihan kerja antara lain balai latihan kerja, lembaga pendidikan vokasi yang dilaksanakan, misalnya oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan, pendidikan atau sosial.

Pidana ini dikenakan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.

4) Pembinaan di dalam lembaga

Pidana pembinaan di dalam lembaga dilakukan di tempat pelatihan kerja atau lembaga pembinaan yang diselenggarakan,

(15)

baik oleh pemerintah maupun swasta. Pidana pembinaan di dalam lembaga dijatuhkan apabila keadaan anak dan perbuatan anak tidak membahayakan masyarakat. Pidana ini dilakukan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

Apabila anak telah menjalani ½ (satu per dua) dari lamanya pidana pembinaan di dalam lembaga dan tidak kurang dari 3 (tiga) bulan berkelakuan baik, anak berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.

5) Penjara

Pidana pembatasan kebebasan diberlakukan dalam hal anak melakukan tindak pidana berat atau tindak pidana yang disertai kekerasan. Dijatuhkan terhadap anak paling lama setengah dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa. Tidak ada minimum khusus pidana penjara yang diberlakukan terhadap anak. Dalam ketentuan KUHP berlaku juga terhadap anak sepanjang tidak bertentangan dengan Undang- Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Pidana penjara di LPKA akan dijatuhkan kepada anak apabila keadaan dan perbuatan anak akan membahayakan masyarakat, paling lama setengah dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Pidana penjara dilakukan sampai anak berusia 18 (delapan belas) tahun. Jika anak telah menjalani setengah dari lamanya pembinaan di LPKA dan berkelakuan baik berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.

Pidana penjara hanya digunakan sebagai upaya terakhir. Jika anak melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.

(16)

b. Pidana Tambahan

1) Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana.

Hal ini diartikan bahwa pidana tambahan yang dijatuhkan oleh hakim adalah berupa mencabut dari orang yang memegang keuntungan dari tindak pidana yang diperoleh demi kepentingan negara

2) Pemenuhan kewajiban adat.

Yang dimaksud dengan kewajiban adat adalah denda atau tindakan yang harus dipenuhi berdasarkan norma adat setempat yang tetap menghormati harkat dan martabat anak serta tidak membahayakan fisik dan mental anak.

c. Tindakan

Selain menjatuhkan pidana pokok atau pidana tambahan, anak dapat dikenakan tindakan oleh hakim. Tindakan yang dapat dikenakan terhadap anak berupa:

1) Pengembalian kepada orang tua/wali;

2) Penyerahan kepada seseorang;

3) Perawatan di rumah sakit jiwa;

4) Perawatan di LPKS;

5) Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;

6) Pencabutan surat izin mengemudi;

7) Perbaikan akibat tindak pidana.

Dalam Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14 (empat belas) tahun, atau diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih. Jika masa penahanan sebagaimana yang disebutkan di atas telah berakhir, anak wajib dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

(17)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA memberikan kemudahan bagi anak saksi atau anak korban dalam memberikan keterangan di pengadilan. Saksi/korban yang tidak dapat hadir untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan dengan alasan apapun dapat memberikan keterangan di luar sidang pengadilan melalui perekaman elektronik atau pemeriksaan jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi audio visual yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan setempat, dengan dihadiri oleh Penyidik atau Penuntut Umum, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya yang terlibat dalam perkara tersebut.

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga mengatur lembaga-lembaga khusus bagi anak.

Dalam Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA, anak yang belum selesai menjalani pidana di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda. Undang-Undang ini mengatur bahwa penempatan anak di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan menyediakan blok tertentu bagi mereka yang telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun sampai 21 (dua puluh satu) tahun (Penjelasan Pasal 86 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak). Pengaturan mengenai ancaman pidana untuk anak yang berkonflik dengan hukum yaitu paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman hukuman pidana bagi orang dewasa.

4. Tinjauan tentang Pencurian dengan Pemberatan

R. Soesilo menerjemahkan Pasal 362 KUHP sebagai berikut:

“Barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum, karena pencurian, dengan hukuman penjara

(18)

selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya sembilan ratus Rupiah“ (R. Soesilo, 1998: 249).

Berdasarkan bunyi Pasal 362 KUH pidana tersebut dapat kita lihat unsur- unsurnya sebagai berikut:

a. Mengambil barang

b. Yang diambil harus sesuatu barang

c. Barang itu harus seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, d. Pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk memiliki

barang itu dengan melawan hukum (melawan hak).

Atas penuturan di atas menunjukkan terdapat empat unsur yang terkandung dalam pengertian pencurian yang masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Unsur mengambil, dalam hal ini mengambil untuk dikuasai, maksudnya sewaktu mengambil barang itu, barang tersebut belum ada dalam kekuasaannya. Pencurian itu sudah dapat dikatakan selesai apabila barang tersebut sudah berpindah tangan atau tempat.

Bilamana orang baru memegang saja barang itu, dan belum berpindah tempat, maka orang itu belum dapat dikatakan mencuri, tetapi ia baru mencoba mencuri barang tersebut, sehingga orang itu belum dapat dituduh atau dikategorikan sebagai pencuri.

b. Unsur sesuatu barang, adalah segala sesuatu yang berwujud termasuk binatang, barang dalam bentuk uang, bahan makanan, pakaian, perhiasan, perkakas, mesin-mesin dan sebagainya, termasuk pula daya listrik dan gas, meskipun tidak berwujud akan tetapi dialirkan melalui kawat dan pipa.

c. Unsur seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, misalnya si A bersama si B membeli sebuah buku sehingga menjadi kepunyaan si A dan si B, kemudian disimpan di rumah si B tanpa sepengetahuan si A, buku tersebut dicari oleh si A. Hal ini menunjukkan si B telah

(19)

mencuri sebagian dari barang milik si A, meskipun barang itu milik bersama.

d. Unsur pengambilan, dalam hal ini pengambilan harus sengaja dan dengan maksud untuk memilikinya. Adapun seseorang yang karena keliru mengambil barang orang lain, hal ini belum dapat dikategorikan pencurian. Apabila seseorang menemukan barang di jalan kemudian diambilnya, dan sudah ada maksud untuk memiliki hal tersebut, hal semacam ini sudah masuk pencurian. Jika pada waktu ia mengambil barang itu terlintas di pikirannya untuk menyerahkan kepada polisi, kemudian disimpan di rumahnya dan belum diserahkan pada polisi, maka hal ini sudah termasuk menggelapkan (Pasal 372 KUHP), karena waktu barang itu dimilikinya sudah berada dalam kekuasaannya atau berada di tangannya atau di tempatnya.

Pada ketentuan KUHP telah diatur mengenai adanya larangan tindak pidana pencurian, adapun aturan-aturan yang melarang adanya tindak pidana pencurian tersebut terdapat dalam bab XXII tentang Pencurian, yakni dalam Pasal 362 yang menyangkut pencurian biasa, Pasal 363 menyangkut pencurian berat, Pasal 364 yang menyangkut pencurian ringan, Pasal 365 pencurian dengan kekerasan, dan Pasal 367 menyangkut pencurian dalam kalangan keluarga.

Khusus Pasal 363 Ayat (1) dan (2) KUHP sebagai salah satu jenis tindak pidana pencurian berat berbunyi sebagai berikut:

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:

Ke-1. Pencurian ternak;

Ke-2. Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan banjir, gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, atau kapal yang terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan, atau banyak perang;

(20)

Ke-3. Pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya yang dilakukan oleh orang yang adanya disitu tidak diketahui atau dikehendaki oleh yang berhak;

Ke-4. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;

Ke-5. Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, atau perintah palsu, atau pakaian jabatan palsu;

(2) Jika pencurian yang diterangkan dalam ke-3 disertai dengan salah satu tersebut ke-4 dan ke-5 maka dikenakan pidana paling lama sembilan tahun.

Ketentuan Ayat (1) tersebut telah membagi pencurian dalam lima jenis yang sering terjadi dalam lingkungan masyarakat. Semua pencurian tersebut dalam hukum pidana disebut "pencurian dengan pemberatan" atau "pencurian dengan kualifikasi" yang dapat diancam dengan sanksi pidana penjara yang lebih berat.

Adanya pemberatan hukuman itu karena kelima klasifikasi pencurian tersebut, tergolong sebagai delik gegualifigeerd, yaitu delik biasa ditambah dengan unsur-unsur yang memberatkan pidana. Adakalanya unsur-unsur yang meringankan dan memberatkan itu mengenai cara dalam melakukan perbuatan, objek yang khusus, dan akibat yang khusus dari perbuatan. Misalnya Pasal 362 KUHP mengenai pencurian biasa dan pada Pasal 363 mengenai pencurian berat. Pasal 363 mengkualifikasikan cara melakukan pencurian pada saat terjadi kebakaran, atau dilakukan dengan bersama-sama, maupun karena objek pencuriannya adalah hewan. Semuanya sangat merugikan dan sangat melawan hukum (Effendy, 1993: 5-6).

(21)

B. Kerangka Pemikiran

Gambar I. Skema Kerangka Pemikiran

Keterangan:

Tingkat kriminalitas terus saja meningkat. Tidak terkecuali yang dilakukan oleh anak. Anak yang melakukan tindak pidana juga harus diadili di pengadilan, seperti orang dewasa. Hanya saja, anak disidangkan di pengadilan anak, yang disebut dengan Sidang Anak dan mendapat perlakuan yang berbeda dengan orang

Tindak Pidana Anak

Pengadilan Anak

Dasar Pertimbangan Hakim

Kesesuaian Dengan UU Peradilan Anak

KUHP & KUHAP

Putusan Hakim

(22)

dewasa. Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan dan dengan pertimbangan yang matang, hakim akan menjatuhkan sanksi atau pidana ke anak dengan tujuan memberikan bimbingan yang bersifat edukatif kepada anak dengan tetap memperhatikan rasa keadilan. Sebelum menjatuhkan putusan, hakim harus memperhatikan atau mempertimbangkan beberapa hal, diantaranya bobot atau berat ringannya tindak pidana atau kenakalan yang telah dilakukan oleh anak, keadaan anak dan keadaan keluarganya, serta keadaan lingkungan di mana si anak tinggal.

Hal-hal tersebut akan membantu hakim dalam mempertimbangkan hukuman atau sanksi apa yang pantas diberikan untuk anak nakal. Peran keluarga, terutama orang tua dalam hal membimbing anak merupakan hal yang sangat penting karena keluarga adalah tempat di mana anak dibesarkan dan dididik. Dengan bimbingan dari orang tua, anak dapat menuju ke arah yang lebih baik dan dapat meneruskan cita-citanya. Mengingat penjara adalah perampasan kemerdekaan dan dekat dengan nestapa. Anak yang tidak mendapatkan penjatuhan pidana yang sesuai, maka hanya akan menambah beban mental (psikis). Daripada itu pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan harus sesuai dengan tujuan pemidanaan agar sasaran pidana ini menjadi tepat dan diharapkan dapat menunjang tercapainya tujuan pemidanaan tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa selama 6 enam bulan terhadap pelaku tindak pidana pemberian

Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bebas terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan anak, berdasarkan Putusan Nomor 185/Pid.Sus/2019/PN.Mdl diantaranya terkait keabsahan bukti