• Tidak ada hasil yang ditemukan

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 1 dari 23 halaman. Putusan Nomor 63 P/HUM/2015

PUTUSAN Nomor 63 P/HUM/2015

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG

Memeriksa dan mengadili perkara permohonan keberatan hak uji materiil terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, pada tingkat pertama dan terakhir telah memutuskan sebagai berikut, dalam perkara:

1. Ir. EFFENDI UTAMA, kewarganegaraan Indonesia, berdomisili di TB Duren Sawit Blok J 3/12 A Rt./Rw. 009/010, Kelurahan Klender, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur/LAPAS Pria Kelas I Tangerang,Jl. Veteran No. 2 Tangerang 5524611;

2. ERIC IVAN LUNARDI, kewarganegaraan Indonesia, berdomisili di Jl. Griya Dadap Estet D-3 No. 7 Rt./Rw. 04/07, Kosambi, Tangerang/ LAPAS Pria Kelas I Tangerang, Jl. Veteran No. 2 Tangerang 5524611;

3. PHANG ELON RUSMAN, kewarganegaraan Indonesia, berdomisili di Perum Villa Melati Mas Blok G–I No. 16 RT 025 RW 009, Desa Jelumpang, Kecamatan Serpong Utara,Tangerang Selatan/LAPAS Pria Kelas I Tangerang, Jl. Veteran No. 2 Tangerang 5524611;

Selanjutnya memberi kuasa kepada: Tony Akbar Hasibuan, S.H., M.H., Ardi Manto Adiputra, S.H., Mulyadi, S.H., dan Ambari, S.H., kesemuanya Advokat dan Konsultan Hukum pada T.A.M Hasibuan Law Office, beralamat di Jl. Sawo III No. 12, Manggarai Selatan, Kec. Tebet, Jakarta Selatan, 12860, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor: 35/SKK-TAM/XI/2015, tanggal 14 November 2015;

Selanjutnya disebut sebagai Pemohon; melawan:

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, berkedudukan di Jalan Medan Merdeka Utara Jakarta Pusat;

Selanjutnya disebut sebagai Termohon;

Mahkamah Agung tersebut;

Membaca surat-surat yang bersangkutan;

DUDUK PERKARA

Menimbang, bahwa Pemohon dengan surat permohonannya tertanggal 20 November 2015 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Agung pada

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

(2)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 2 dari 23 halaman. Putusan Nomor 63 P/HUM/2015

tanggal 20 November 2015 dan diregister dengan Nomor 63 P/HUM/2015 telah mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, dengan dalil-dalil yang pada pokoknya sebagai berikut:

A. Kewenangan Mahkamah Agung RI Dalam Menguji Peraturan Perundang-Undangan Dibawah Undang Undang.

1. Bahwa, kewenangan Mahkamah Agung, sebagaimana ketentuan Pasal 24A Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45), serta Pasal 5 Ayat (2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, yang pada pokoknya “memberikan kewenangan Mahkamah Agung mengadili atau menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang”;

2. Bahwa, kewenangan Mahkamah Agung sebagaimana angka 1 diatas, telah dispesifikasikan melalui ketentuan Pasal 20 Ayat (2) huruf b UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Yang berbunyi:

“Mahkamah Agung berwenang “menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang terhadap undang-undang”,

Selanjutnya Ayat (3) berbunyi “putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagai hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung”

Dalam Penjelasan ketentuan ini mengatur hak uji Mahkamah Agung RI terhadap peraturan perundangan yang lebih rendah dari undang-undang. Hak uji dapat dilakukan terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan;

3. Bahwa, Permohonan A-quo Para Pemohon ajukan pada Mahkamah Agung telah berdasarkan ketentuan Pasal 7 dan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang pada pokoknya menyatakan “peraturan pemerintah berkedudukan dibawah undang-undang dan dalam hal suatu Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung”;

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

(3)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 3 dari 23 halaman. Putusan Nomor 63 P/HUM/2015

4. Bahwa, permohonan keberatan Para Pemohon terhadap Termohon agar Mahkamah Agung dapat memutus permohonan A quo, sehingga telah sesuai ketentuan Pasal 31 ayat (1), (2), (3) jo Pasal 31A Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2004 tentang perubahan Undang-Undang-Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Republik Indonesia : Pasal 31 Ayat (1)

“Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang undangan dibawah undang.-undang terhadap undang undang”.

Ayat (2) menyatakan :

“Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku”.

Selanjutnya pada Ayat (3) berbunyi :

“Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung”.

Pasal 31A ayat (1) :

“Permohonan pengujian peraturan perundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang-undang-undang diajukan langsung oleh Para Pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung dan dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia”;

5. Bahwa, permohonan A quo, diajukan atas berlakunya Ketentuan Pasal 34A ayat (1) huruf a,b, ayat (2) dan ayat (3) jo Pasal 34B ayat (2), Pasal 36A ayat (1) dan ayat (3) huruf b dan c, serta Pasal 43A ayat (1) huruf a, b, c, ayat (2), dan ayat (3) jo Pasal 43B ayat (3) huruf b dan c Peraturan Pemerintah No. 99 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang secara hierarkinya berada di bawah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan; 6. Bahwa, berdasarkan pada sejumlah peraturan perundang-undangan,

sebagaimana telah Para Pemohon uraikan di atas (UUD 1945, UU Kekuasaan Kehakiman, UU Mahkamah Agung, Perma Hak Uji Materiil), dikarenakan permohonan ini adalah permohonan keberatan atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, maka

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

(4)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 4 dari 23 halaman. Putusan Nomor 63 P/HUM/2015

Mahkamah Agung berwenang untuk mengujinya, untuk kemudian memberikan putusan (BUKTI PP – 1);

B. Kedudukan Hukum Pemohon Keberatan (Legal Standing)

7. Bahwa, Para Pemohon warga negara Indonesia, saat ini menjadi narapidana, atas peristiwa tindak pidana Narkotika dan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana berdasarkan putusan Pengadilan Negeri yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan telah dieksekusi oleh Jaksa Penuntut Umum. Para Pemohon sampai saat ini ini masih menjalani masa pidananya pada Lembaga Pemasyarakatan Pria Kelas IA Tangerang (BUKTI PP – 2);

8. Bahwa, karenanya Para Pemohon berdasarkan Pasal 31A ayat (2), Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Republik Indonesia dan ketentuan Pasal 1 angka 4 PERMA No. 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil, pada pokoknya Para Pemohon pengujian peraturan perundang-undangan terhadap undang-undang adalah “perorangan warga negara Indonesia” yang hak-haknya dirugikan dengan berlakunya norma peraturan perundangan di bawah undang-undang;

9. Bahwa, Para Pemohon hak-haknya telah dirugikan baik secara konkrit dan faktual maupun potensial atas pemberlakuan Pasal 34A ayat (1) huruf a,b, ayat (2) dan ayat (3) jo Pasal 34B ayat (2), Pasal 36A ayat (1) dan ayat (3) huruf b dan c, serta Pasal 43A ayat (1) huruf a, b, c, ayat (2), dan ayat (3) jo Pasal 43B ayat (3) huruf b dan c Peraturan Pemerintah No. 99 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan;

10. Bahwa, Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon dalam Permohonan Keberatan atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undangan, dikarenakan terdapat keterkaitan sebab akibat (causal verband) dengan berlakunya Peraturan a quo sehingga hak-hak Para Pemohon Keberatan sebagai warga negara dirugikan (BUKTI PP – 3);

C. Pokok Permohonan Pemohon Keberatan

I. RUANG LINGKUP PASAL YANG DIUJI

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

(5)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 5 dari 23 halaman. Putusan Nomor 63 P/HUM/2015

REMISI

Pasal 34A (1) Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan:

a. bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;

b. telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi; dan (2) Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana

narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku terhadap Narapidana yang dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.

(3) Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Pasal 34B (2) Remisi untuk narapidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 34A ayat (1) diberikan oleh Menteri setelah mendapat pertimbangan tertulis dari menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait.

ASIMILASI

Pasal 36A (1) Asimilasi bagi Narapidana yang dipidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 34A ayat (1) diberikan oleh menteri

setelah mendapat pertimbangan dari Direktur Jendral

Pemasyarakatan.

(3) Direktur Jendral Pemasyarakatan dalam memberikan

pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib meminta rekomendasi dari instansi terkait, yakni :

b. Kepolisian Negara Republik Indonesia, Badan Narkotika, dan/atau kejaksaan Agung dalam hal narapidana dipidana karena melakukan tindak pidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan precursor narkotika, psikotrapika; dan c. Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung,

dan/atau Komisi Pemberantasan Korupsi dalam hal Narapidana dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi

PEMBEBASAN BERSYARAT

Pasal 43A (1) Pemberian Pembebasan Bersyarat untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) juga harus memenuhi persyaratan:

a. bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

(6)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 6 dari 23 halaman. Putusan Nomor 63 P/HUM/2015

b. telah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan;

c. telah menjalani asimilasi paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa masa pidana yang wajib dijalani;

(2) Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku terhadap Narapidana yang dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun

(3) Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan secara tertulis oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Pasal 43B (3) Direktur Jendral Pemasyrakatan dalam memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib meminta rekomendasi dari instansi terkait, yakni:

b. Kepolisian Negara Republik Indonesia, Badan Nasional Narkotika, dan/atau Kejaksaan Agung dalam hal narapidana dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan precursor narkotika, psikotrapika;dan

c. Kepolisian Negara Republik Indonesia, kejaksaan Agung, dan/atau Komisi Pemberantasan Korupsi dalam hal narapidana dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi

II. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Bertentangan Dengan Norma Umum Yang Diatur Dalam Undang – Undang Pemasyarakatan

A. Pasal 34A ayat (1) huruf a, Pasal 36A ayat (1), Pasal 43A ayat (1), huruf a, PP No. 99/2012 “bertentangan” dengan Pasal 1 angka 2, Pasal 5, dan pasal 14 ayat (1) huruf I, j dan k Undang-Undang No 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan:

11. Bahwa, ketentuan Pasal 34A ayat (1) huruf a, Pasal 36A ayat (1), Pasal 43A ayat (1), huruf a PP No. 99/2012, merupakan pengaturan tentang “Justice collaborator” yang dikhususkan bagi

narapidana korupsi”. terorisme, narkotika, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, atau dapat diartikan aturan yang mengatur perbedaan mendapatkan hak remisi, asimilisasi dan pembebasan bersyarat antara Narapidana, yang dalam sistem peradilan pidana di Indonesia merupakan hal baru yang tidak termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP); 12. Bahwa, pada prinsipnya hak-hak individu serta kedudukan hukum,

termasuk dan tidak terbatas hak Narapidana dipersamakan kedudukannya di dalam hukum (equality before the law) yang

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

(7)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 7 dari 23 halaman. Putusan Nomor 63 P/HUM/2015

secara Konstitusional didasarkan pada ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” (BUKTI PP – 4);

Secara yuridis, konstitusi dimaksud telah didelegasikan dalam ketentuan turunannya antara lain :

Dimuat dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No 12/1995, untuk melaksanakan pembinaan terhadap narapidana didasarkan pada beberapa hal, sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 Undang - Undang Nomor 12/1995 tentang Pemasyarakatan menegaskan sistem pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas - asas sebagai berikut :

1) Pengayoman

Menurut Penjelasan pasal 5 Undang - Undang Nomor 12 Tahun 1995 yang di maksud degan pengayoman adalah perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan pemasyarakatan. Selain itu juga memberikan bekal hidup kepada warga binaan pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna di dalam masyarakat.

2) Persamaan perlakuan dan pelayanan

Menurut penjelasan pasal 5 Undang - Undang No 12 tahun 1995 yang di maksud dengan persamaan perlakuan dan pelayanan adalah pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada warga binaan pemasyarakatan tanpa membeda - bedakan orang.

3) Pendidikan dan Pembimbingan

4) Penghormatan harkat dan martabat manusia

Penghormatan harkat dan martabat manusia dimaksudkan bahwa sebagai orang yang tersesat, warga binaan pemasyarakatan harus tetap diperlakukan sebagai manusia. 5) Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan

(warga binaan pemasyarakatan (Narapidana) tetap memperoleh hak-haknya).

6) Terjaminya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

(8)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 8 dari 23 halaman. Putusan Nomor 63 P/HUM/2015

Dengan demikian dibentuknya syarat dan kriteria untuk memberikan hak–hak bagi Narapidana, sejalan dengan Asas Persamaan dimuka hukum Pasal 27 UUD serta Sistem Pemasyarakatan yang di-ejawantahkan sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU No 12/1995 yang berbunyi :

Ayat (1) : “Narapidana berhak” :

a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;

d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e. menyampaikan keluhan;

f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;

g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang

tertentu lainnya;

i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);

j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;

k. mendapatkan pembebasan bersyarat; l. mendapatkan cuti menjelang bebas; dan

m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”

Sebagai syarat dan kriteria pelaksanaan hak–hak dimasud selanjutnya ditentukan pada Ayat (2) yang berbunyi :

“Ketentuan mengenai syarat –syarat dan tata cara pelaksanaan hak– hak narapidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”.

Pendelegasian Peraturan Pemerintah No 99/2012 jelas merupakan perintah, sehingga sudah menjadi substansi “murni” sebagai pelaksanaan atas UU No 12/1995. (BUKTI PP-5);

Namun demikian, pelaksanaan hak–hak dimaksud, berhenti pada UU No 12/1995, karena justru dibentuknya syarat dan kriteria, sebagaimana ketentuan Pasal 34A ayat (1) huruf a, Pasal 36A ayat (1), Pasal 43A ayat (1) huruf a PP No 99/2012 secara mutlak telah membedakan pemberian hak Narapidana, bahkan jika ditafsirkan

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

(9)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 9 dari 23 halaman. Putusan Nomor 63 P/HUM/2015

secara tekstual, maka dapat diartikan sebagai bentuk menghilangkan hak–hak NARAPIDANA TERTENTU;

13. Bahwa, pada prinsipnya pengaturan Pasal 34A ayat (1) huruf (a), Pasal 36A ayat (1), dan Pasal 43 A ayat (1) huruf a PP No 99/2012 tentang “Justice Colaborator” (JC) tidak memiliki landasan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Apalagi Justice Colaborator

dijadikan syarat “Mutlak” pemberian remisi, asimilasi dan pembebasan bersyarat, sementara Format kerja sama (JC) antara penegak hukum dengan Narapidana dimaksud, tidak memiliki kejelasan penafsiran yang didasarkan pada Undang-undang atau dengan kata lain bentuk kerja sama JC tidak Jelas, sehingga dapat menimbulkan perbedaan pesepsi aparat penegak hukum yang pada akhirnya merampas serta menghilangkan hak–hak dasar Narapidana;

14. Bahwa, sebagaimana aturan yang mendelegasikan suatu Paraturan Pemerintah, pada prinsipnya merupakan bentuk validasi Norma, tatkala aturan dibawah Undang-undang membentuk suatu norma diluar dari Norma aturan yang mendelegasikannya dikutip dari “Hans Kelsen dalam bukunya Teori Hukum Murni”, Maka Para Pemohon meyakini norma-norma aturan dibawah Undang-undang dimaksud tidak memiliki keabsahan dan/atau tidak tervalidasi secara linear;

Karenanya PP No. 99/2012 dalam muatan Normanya tentang “pembedaan” syarat dan tata cara pemberian hak remisi, asimilasi dan pembebasan bersyarat, sebagaimana ketentuannya Pasal 34A ayat (1) huruf a, b, ayat (2), dan ayat (3), Pasal 43A ayat (1), ayat (2), ayat (3) bertentangan dengan norma UU No 12/1995;

Maka sudah pada tempatnya Para Pemohon Mohon Kepada Yang Mulia Majelis Hakim Agung untuk menyatakan Pasal 34A ayat (1) Huruf A, Pasal 36a Ayat (1) dan Pasal 43a ayat (1) Huruf A Peraturan Pemerintah No 99/2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No 32 Tahun 1995 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;

B. Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012 sebagaimana Pasal 34A Ayat (1) huruf a, b, ayat (2), ayat (3) dengan Pasal 34, Pasal 36 ayat (1) dengan Pasal 36A ayat (1) serta Pasal 43A Ayat (1) Huruf a,b dan c,

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

(10)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 10 dari 23 halaman. Putusan Nomor 63 P/HUM/2015

Ayat (2), Ayat (3) dengan Pasal 43, telah inkonsiten baik isi maupun muatannya;

Bunyi Pasal 34A Ayat (1) :

(1) Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan:

a. bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;

b. telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi; selanjutnya Pasal 36A berbunyi :

(1) Asimilasi bagi Narapidana yang dipidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34A ayat (1) diberikan oleh Menteri setelah mendapat pertimbangan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan.

Selanjutnya Pasal 43A ayat (1) berbunyi :

(1) Pemberian Pembebasan Bersyarat untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) juga harus memenuhi persyaratan:

a. bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;

b. telah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan;

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

(11)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 11 dari 23 halaman. Putusan Nomor 63 P/HUM/2015

c. telah menjalani Asimilasi paling sedikit 1/2 (satu per dua dari sisa masa pidana yang wajib dijalani; dan Artinya : Pemberian remisi, Asimilasi dan Pembebasan Bersyarat bagi Narapidana yang terkena langsung dengan Pasal 34A Ayat (1) tersebut, harus memenuhi syarat disamping membayar lunas denda atau uang pengganti, harus pula bersedia bekerja-sama untuk membantu membongkar tindak-pidana yang dilakukan (Justice collaborator);

15. Bahwa, ketentuan Pasal 34A Ayat (1), Pasal 36A ayat (1) serta Pasal 43A ayat (1) PP No.99/2012, “Quodnon” jikalau benar

merupakan syarat bagi pengetatan Remisi, Asimilasi dan Pembebasan Bersyarat bagi Narapidana justru pasal pasal dimaksud bertentangan dengan Pasal sebelumnya yakni Pasal 34, Pasal 36 dan Pasal 43, sehingga dapat diartikan aturan–aturan pengetatan telah inkonsitensi, karena dalam ketentuan sebelumnya diatur secara jelas, bahwa Remisi, Asimilasi dan Pembebasan Bersyarat adalah hak Narapidana;

Maka Pasal Demi Pasal Peraturan Pemerintah No 99/2012 Terjadi Inkonsistesi, Sebab Dalam Satu Aturan Yang Sama Justru Terdapat Perbedaan Hak Narapidana Atas Pemberian Remisi, Asimilasi Dan Pembebasan Bersyarat Disatu Sisi Mengakomodir Hak Dimaksud Secara General, Namun Disisi Lain Dibatasi Dengan Jenis Tindak Pidananya, Sehingga Tidak Dapat Dinafikkan Telah Terjadi Kesenjangan Yang Nyata Antara Ketentuan Pp No. 9/2012;

C. Ketentuan Pasal 34b Ayat (2), Pasal 36a Ayat (3) Huruf A Dan Pasal 43b Ayat (3) Huruf B Dan C Pp No 99/2012 Telah Bertentangan Dengan Ketentuan Pasal 2, Pasal 7 Ayat (1) Pasal 10 Ayat (3) Dan Pasal 14 Ayat (1) Uu No 12/1995 Tentang Pemasyarakatan Dan Bertentangan Dengan Teori Administrasi Pemerintahan Dan Hukum Administrasi Negara:

Pasal 34B ayat (2) berbunyi :

(2) Remisi untuk Narapidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34A ayat (1) diberikan oleh Menteri setelah mendapat pertimbangan tertulis dari menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait

Pasal 36A ayat (3) huruf b dan c berbunyi :

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

(12)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 12 dari 23 halaman. Putusan Nomor 63 P/HUM/2015

(3) Direktur Jendral Pemasyarakatan dalam memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) wajib meminta rekomendasi dari instansi terkait, yakni :

b. Kepolisian Negara Republik Indonesia, Badan Narkotika Nasional dan/atau Kejaksaan Agung dalam hal Narapidana dipidana karena melakukan tindak pidana Narkotika dan prekusur narkotika, psikotropika ; dan

c. Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, dan/atau Komisi Pemberantasan Korupsi dalam hal Narapidana dipidana karena melakukan tindak pidana Korupsi

Pasal 43A ayat (3) huruf b dan c berbunyi :

(3) Direktur Jendral Pemasyarakatan dalam memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) wajib meminta rekomendasi dari instansi terkait, yakni :

b. Kepolisian Negara Republik Indonesia, Badan Narkotika Nasional dan/atau Kejaksaan Agung dalam hal Narapidana dipidana karena melakukan tindak pidana Narkotika dan prekusur narkotika, psikotropika ; dan c. Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung,

dan/atau Komisi Pemberantasan Korupsi dalam hal Narapidana dipidana karena melakukan tindak pidana Korupsi.

16. Bahwa secara materiil, UU Pemasyarakatan memberikan wewenang kepada Kementerian Hukum dan HAM untuk memenuhi hak-hak narapidana sebagaimana tertuang dalam pasal 7 ayat (1) dan pasal 10 ayat (3) UU Pemasyarakatan, yaitu diantaranya asimilasi, remisi dan pembebasan bersyarat. Maka menurut teori administrasi pemerintahan dan hukum administrasi negara wewenang tersebut tidak dapat diatribusikan kepada instansi yang secara vertikal tidak berada dibawahnya. Maka norma Pasal 34B ayat (2), Pasal 36A, ayat (3) huruf b dan c, Pasal 43A, ayat (3) huruf b, c PP 99/2012 yang mewajibkan Pemerintah dalam hal ini Menteri dan jajaran vertikal di bawahnya untuk meminta rekomendasi kepada Kepolisian RI, Kejaksaan Agung RI, BNN, dan KPK RI ketika memberikan hak Remisi, asimilasi dan Pembebasan Bersyarat bertentangan dengan Teori Administrasi Pemerintahan

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

(13)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 13 dari 23 halaman. Putusan Nomor 63 P/HUM/2015

dan Hukum Administrasi Negara tentang prinsip atribusi, distribusi dan delegasi kewenangan. Ketika seseorang sudah divonis dan dilakukan pembinaan di lembaga pemasyarakatan maka Pemerintah dalam hal ini Kemenkumham dan jajaran di bawahnya berwenang penuh tanpa perlu mengatribusikan pelaksaan pemberian hak warga binaan tersebut kepada institusi penegak hukum lainnya yang ruang kewenangannya berbeda tupoksinya satu sama lain. Oleh sebab itu, norma Pasal 34B ayat (2), Pasal 36A ayat (3) huruf b dan c, Pasal 43A, ayat (3) huruf b, c PP 99/2012 bertentangan dengan UU Pemasyarakatan karena pembinaan warga pemasyarakatan merupkan kewenangan penuh Kemenkumham Bukan lagi kewenangan Institusi lain Kepolisian RI, Kejaksaan Agung RI, BNN, dan KPK RI;

Adapun bentuk pertentangannya, sebagai berikut :

17. Bahwa, tujuan diberikannya remisi, asimilasi dan pembebasan bersyarat kepada Narapidana agar Narapidana diterima dengan baik di Lingkungannya, sehingga tatkala Narapidana bebas menjalani masa hukumannya dapat kembali diterima masyarakat dengan baik, untuk mencapai tujuan dimaksud dibutuhkan system pemasyarakatan yang terintegrasi dengan baik, sebagaimana ketentuan Pasal 2 UU No 12/1995 yang berbunyi;“ Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab” ;

18. Bahwa, selanjutnya hak mendapatkan Remisi, Asimilasi dan Pemebesan Bersyarat telah ditentukan secara tegas pada Ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf UU No 12 /1995, yang pada pokoknya “Remisi, Asimilasi dan Pembebasan Bersyarat diberikan kepada Narapidana, apabila telah memenuhi persyaratan yaitu : telah berkelakuan baik, dapat mengikuti program pembinaan, dengan baik, dan terpenuhinya syarat yang lainnya”, Jelas Remisi, Asimilasi dan Pembebasan Bersyarat merupakan proses pembinaan warga binaan pemasyarakatan diluar lembaga (eksturnal), yakni proses pembauran Narapidana dengan

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

(14)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 14 dari 23 halaman. Putusan Nomor 63 P/HUM/2015

masyarakat, sehingga dapat kembali menjalani kehidupan bermasyarakat yang baik;

19. Bahwa, disamping itu berdasarkan ketentuan Pasal 5 huruf b, dimana pembinaan pemasyarakatan yang dilaksanakan atas dasar persamaan perlakukan pelayanan, serta sejalan dengan ketentuan Pasal 27 UU 1945 yang pada pokoknya ‘’setiap orang memiliki persamaan kedudukan didalam hukum, sehingga Asimilasi mutlak diberikan pada setiap Narapidana dengan tidak membedakan perbuatan pidana’’, oleh karena prinsip asimilasi adalah prinsip perubahan , penyesuaian dan persiapan bagi setiap Narapidana untuk dapat dihadapkan kembali ke masyarakat;

20. Bahwa, dalam penjelasan Pasal 34B ayat (2) yang dimaksud dengan Penegak hukum adalah KPK, POLRI, Kejaksaan, dan BNN.ketentuan Merupakan bentuk pelampauan kewenangan, karena terdapat frasa “bersedia bekerjasama dengan penegak hukum”;

21. Bahwa, Para Pemohon mengutip pendapat Mardjono yang telah membagi sistem pidana dalam tiga tahap, yaitu :

(a) tahap sebelum sidang pengadilan atau tahap pra-adjudikasi (pre-adjudication) kewenangan penyidik Kepolisian, KPK, dan penyidik PNS lainnya,

(b) tahap sidang pengadilan atau tahap adjudikasi (adjudication) kewenangan Jaksa dan Hakim, dan

(c) tahap setelah pengadilan atau tahap purna adjudikasi (post adjudication), merupakan kewenangan Lembaga Pemasyarakatan dibawah Mentri Hukum dan HAM

22. Bahwa, dalam pelaksanaan hak–hak Narapidana, secara utuh Undang – undang telah membentuk normanya, sebagaimana yang termuat dalam ketentuan Pasal 5 UU No. 12/1995 yang berbunyi:

“sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas:

a. Pengayoman,

b. persamaan perlakuan dan pelayanan, c. pendidikan,

d. pembimbingan,

e. penghormatan harkat dan martabat manusia,

f. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

(15)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 15 dari 23 halaman. Putusan Nomor 63 P/HUM/2015

g. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang tertentu”

Selanjutnya Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi :

“Pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan diselenggarakan oleh Menteri dan dilaksanakan oleh petugas pemasyarakatan”

Selanjutnya pasal 10 ayat (3) UU Pemasyarakatan berbunyi “Kepala Lapas bertanggung jawab atas penerimaan Terpidana dan pembebasan Narapidana di Lapas”

23. Bahwa, Norma peraturan dibawah Undang-undang yang diuraikan diatas, secara linear telah mendistribusikan kewenangan pemberian hak narapidana kepada institusi di luar Kementrian Hukum dan HAM, yang pada dasarnya secara delegasi telah ditentukan dalam Pasal 5, Pasal 7 ayat (1) UU No 12/1995, bahkan Norma Pasal 34B ayat (2), Pasal 36A, ayat (3) huruf b dan c, Pasal 43A, ayat (3) huruf b, c PP No 99/2012 dimaksud, telah mengenyampingkan ketentuan Pasal 10 ayat (3) UU No 12/1995 yang berbunyi “Kepala Lapas bertanggung jawab atas penerimaan Terpidana dan pembebasan Narapidana di Lapas”;

24. Bahwa, dengan demikian secara administrasi pemerintahan dan Hukum Administrasi Negara, telah menegasikan, bahwa atribusi dan delegasi kewenangan hanya dapat dilakukan dalam satu bangunan yang sama atas dasar kewenangan yang dimiliki. Artinya Menteri dalam hal ini dapat mengatribusikan dan atau mendelegasikan kewenangan pemberian hak narapidana kepada instansi di bawahnya secara vertikal. (Sejalan dengan pendapat hukum oleh Masnur Marzuki S.H., L.L.M). Menteri yang oleh UU dumaksud diberikan kewenangan membuat dan menegakkan norma tidak diperbolehkan memberikan atribusi atau mendelegasikan suatu kewenangan kepada intansi lain secara horizontal apalagi atribusi dan delegasi kewenangan tersebut dicantelkan pada instansi penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan Agung RI, KPK dan BNN. Lebih jauh, meletakkan posisi narapidana tertentu seperti korupsi, narkotika, atau terorisme sebagai kejahatan yang luar biasa dan hanya berdasarkan tafsir sepihak pembuat norma PP 9 menjadi tidak masuk akal dan tidak proporsional. Oleh sebab itu, mempostulatkan pengetatan

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

(16)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 16 dari 23 halaman. Putusan Nomor 63 P/HUM/2015

persyaratan untuk memperoleh hak sebagaimana diatur PP 99 Tahun 2012 hanya karena tafsir bahwa kesemuanya adalah kejahatan luarbiasa sehingga narapidananya juga ditafsirkan menjadi narapidana yang luarbiasa adalah merupakan tindakan

inkonstitusional tanpa ratio legis dan tanpa ratio konstitusional yang memadai. Sehingga oleh karenanya setiap norma yang terkandung dalam PP 99 sepanjang mengatur pengatatan diperolehnya hak dimaksud seperti demikian, secara jelas dan tegas patut disimpulkan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan Undang-Undang (BUKTI PP- 6) ;

Berdasarkan Uraian Diatas, Pengaturan Syarat Untuk Mendapatkan Remisi, Asimilasi Dan Pembebasan Bersyarat Yang Memberikan Kewenangan Kepada Institusi Diluar Dari Institusi Pemasyarakatan, Secara Tegas Merupakan Norma Baru Yang Tidak Mencirikan Suatu Syarat Atas Perintah Atau Sebagai Pendelegasian Dari Norma Umum Yang Termuat Dalam Uu No 12/1995, Sehingga Tepat Dan Beralasan Hukum, Para Pemohon Menyimpulkan Norma – Norma Pasal 34b Ayat (2), Pasal 36a Ayat (3) Huruf A Dan Pasal 43 B Ayat (3) Hurud B Dan C Pp No 99/2012 Berdiri Sendiri Dan Bertentangan Dengan Norma Pasal 5 Ayat (3), Pasal 7 Ayat (1) Serta Pasal 10 Ayat (3) Uu No. 12/1995.

Dengan Demikian Berdasarkan Pada Ketentuan Pasal 7 UU No 11 Tahun 2012 Tentang Ppp, Peraturan Pemerintah Yang Berada Dibawah Undang-Undang Tidak Boleh Melampaui Batas Norma Yang Diatur Dalam Undang-Undang.

D. KESIMPULAN

Bahwa berdasarkan uraian-uraian yang telah Para Pemohon kemukakan dalam permohonan keberatan hak uji materiil ini, maka sampailah Para Pemohon pada kesimpulan yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bahwa berdasarkan Pasal 24A UUD 1945, Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung, Pasal 20 ayat (2) huruf b Undang-Undang-Undang-Undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Agung berwenang untuk memeriksa, memutuskan dan mengadili perkara ini, pada tingkat pertama dan terakhir dan putusannya bersifat final;

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

(17)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 17 dari 23 halaman. Putusan Nomor 63 P/HUM/2015

2. Bahwa Para Pemohon merupakan Narapidana yang berdasarkan ketentuan Pasal 27 UUD 1945 dan Pasal 14 ayat (1) UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, memiliki hak – hak baik secara konstitusional maupun secara positif Normatif harus dilaksanakan serta diberikan, akan tetapi Para Pemohon telah dirugikan secara potensial dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 34A ayat (1) huruf a,b, ayat (2) dan ayat (3) jo Pasal 34B ayat (2), Pasal 36A ayat (1) dan ayat (3) huruf b dan c, serta Pasal 43A ayat (1) huruf a, b, c, ayat (2), dan ayat (3) jo Pasal 43B ayat (3) huruf b dan c Peraturan Pemerintah No. 99 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, sehingga hak – hak Para Pemohon tidak dapat dipenuhi, Maka Para Pemohon berdasarkan ketentuan Pasal 31A ayat (1), dan ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Agung mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan hak uji materiil ini;

3. Bahwa berdasarkan alasan-alasan hukum yang telah Para Pemohon sampaikan pada huruf C dalam judul “Pokok Permohonan Keberatan”, Pasal 34A ayat (1) huruf a,b, ayat (2) dan ayat (3) jo Pasal 34B ayat (2), Pasal 36A ayat (1) dan ayat (3) huruf b dan c, serta Pasal 43A ayat (1) huruf a, b, c, ayat (2), dan ayat (3) jo Pasal 43B ayat (3) huruf b dan c Peraturan Pemerintah No. 99 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan bertentangan dengan konstitusi Pasal 27 ayat (1) Undang Undang Dasar dan secara hirarki bertentangan dengan ketentuan Pasal 2, Pasal 5, Pasal 7 Ayat (1) Pasal 10 Ayat (3) Dan Pasal 14 Ayat (1) UU No 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan;

Dengan demikian cukuplah alasan bagi Mahkamah Agung untuk menyatakan Peraturan Pemerintah dimaksud tidak sah dan batal demi hukum, memerintahkan Termohon untuk mencabutnya dan menghukum Termohon untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini ;

Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, maka selanjutnya Pemohon mohon kepada Ketua Mahkamah Agung berkenan memeriksa permohonan keberatan dan memutuskan sebagai berikut:

1. Menerima dan mengabulkan permohonan ini untuk seluruhnya ;

2. Menyatakan Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan keberatan atas berlakunya Peraturan

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

(18)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 18 dari 23 halaman. Putusan Nomor 63 P/HUM/2015

Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tatacara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan;

3. Menyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat atau tidak sah Pasal 34A ayat (1) huruf a,b, ayat (2) dan ayat (3) jo Pasal 34B ayat (2), Pasal 36A ayat (1) dan ayat (3) huruf b dan c, serta Pasal 43A ayat (1) huruf a, b, c, ayat (2), dan ayat (3) jo Pasal 43B ayat (3) huruf b dan c Peraturan Pemerintah No. 99 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan karena bertentangan dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan;

4. Memerintahkan Presiden Republik Indonesia untuk segera mencabut Peraturan Pemerintah No. 99 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan;

5. Memerintahkan putusan ini untuk dimuat dalam Lembar Negara. 6. Membebankan biaya perkara kepada Presiden Republik Indonesia.

Menimbang, bahwa untuk mendukung dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan surat-surat bukti berupa:

1. Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (Bukti P-1); 2. Fotokopi Petikan Putusan Pidana Pemohon (Bukti P-2);

3. Fotokopi Peraturan Pemerintah RI Nomor 99 Tahun 2012 (Bukti P-3); 4. Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (Bukti P-4); 5. Fotokopi Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 (Bukti P-5);

6. Fotokopi tulisan ilmiah tentang Mendudukkan Semangat Pembatasan Hak Warga Pemasyarakatan dalam Koridor Negara Hukum dan Prinsip Konstitusionalisme oleh Masnur Marzuki (Bukti P-6);

Menimbang, bahwa permohonan keberatan hak uji materiil tersebut telah disampaikan kepada Termohon pada tanggal 23 November 2015 berdasarkan Surat Panitera Muda Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Nomor 63/PER-PSG/XI/63 P/HUM/2015, tanggal 23 November 2015;

Menimbang, bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Termohon telah mengajukan jawaban namun tenggang pengajuan jawaban telah terlewati, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil;

PERTIMBANGAN HUKUM

Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon adalah sebagaimana tersebut di atas;

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

(19)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 19 dari 23 halaman. Putusan Nomor 63 P/HUM/2015

Menimbang, bahwa yang menjadi obyek permohonan keberatan hak uji materiil Pemohon adalah Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, vide bukti nomor P-3;

Menimbang, bahwa sebelum Mahkamah Agung mempertimbangkan tentang substansi permohonan yang diajukan Pemohon, maka terlebih dahulu akan dipertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi persyaratan formal, yaitu apakah Pemohon mempunyai kepentingan untuk mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil, sehingga pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 1 ayat (4) dan Pasal 2 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil;

Menimbang, bahwa objek permohonan keberatan hak uji materiil berupa Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan merupakan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, sehingga Mahkamah Agung berwenang untuk mengujinya;

Menimbang, bahwa Pemohon adalah 1. Ir. EFFENDI UTAMA., 2. ERIC IVAN LUNARDI., 3. PHANG ELON RUSMAN, masing-masing dalam kapasitasnya sebagai Narapidana, oleh karenanya bertindak untuk dan atas nama pribadi;

Menimbang, bahwa dalam permohonannya, Pemohon telah

mendalilkan bahwa Pemohon mempunyai kepentingan dengan alasan sebagai berikut: Bahwa, Para Pemohon hak-haknya telah dirugikan baik secara konkrit dan faktual maupun potensial atas pemberlakuan Pasal 34A ayat (1) huruf a, b, ayat (2) dan ayat (3) jo Pasal 34B ayat (2), Pasal 36A ayat (1) dan ayat (3) huruf b dan c, serta Pasal 43A ayat (1) huruf a, b, c, ayat (2), dan ayat (3) jo Pasal 43B ayat (3) huruf b dan c Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan,

sehingga Pemohon mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil kepada Mahkamah Agung agar Peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

(20)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 20 dari 23 halaman. Putusan Nomor 63 P/HUM/2015

Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang menjadi obyek permohonan a quo dinyatakan bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan;

Menimbang, bahwa:

Kewenangan MA:

- Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945, dan Pasal 31 A ayat (1) UU 3 Tahun 2009 tentang MA, dan Pasal 20 ayat (2) huruf b UU 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa: "Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundangan di bawah undang terhadap undang-undang".

- Pasal 7 ayat (1) d UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, secara hierarkis menyebutkan "Peraturan Pemerintah" merupakan jenis peraturan yang berada di bawah undang-undang, sehingga Mahkamah Agung berwenang menguji;

Legal standing:

Bahwa para Pemohon (Ir. Effendi Utama., Eric Ivan Lunardi, dan Phang Elon Rusman) adalah orang perseorangan warga negara Indonesia, masing-masing adalah para Narapidana dalam kasus korupsi dan narkotika, yang sedang menjalani masa hukuman (bukti P-2), yang memiliki kepentingan yang sama, yaitu merasa dirugikan atas pemberlakuan ketentuan di dalam objek HUM karena seharusnya hak Narapidana untuk memperoleh remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat tidak diperlukan syarat-syarat dan/atau persetujuan dari instansi lain, sehingga para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo sebagaimana Pasal 31 A ayat (2) huruf c UU No 3 Tahun 2009;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas terbukti Pemohon mempunyai kepentingan dan oleh karenanya memiliki legal standing

dalam mengajukan permohonan a quo karena haknya dirugikan atas berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang menjadi obyek permohonan keberatan hak uji materiil, oleh karena itu secara yuridis Pemohon mempunyai legal standing untuk mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil atas Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, sehingga

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

(21)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 21 dari 23 halaman. Putusan Nomor 63 P/HUM/2015

memenuhi syarat formal yang ditentukan dalam Pasal 1 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011 dan Pasal 31 A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009;

Menimbang, bahwa karena permohonan terhadap obyek hak uji materiil diajukan oleh Pemohon yang mempunyai legal standing maka permohonan a quo secara formal dapat diterima;

Menimbang, bahwa selanjutnya Mahkamah Agung mempertimbangkan substansi obyek permohonan keberatan hak uji materiil apakah Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan;

Menimbang, bahwa dalam permohonannya Pemohon telah mendalilkan hal-hal sebagai berikut:

- Bahwa Pemohon merupakan Narapidana yang berdasarkan ketentuan Pasal 27 UUD 1945 dan Pasal 14 ayat (1) UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, memiliki hak – hak baik secara konstitusional maupun secara positif Normatif harus dilaksanakan serta diberikan, akan tetapi Para Pemohon telah dirugikan secara potensial dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 34A ayat (1) huruf a,b, ayat (2) dan ayat (3) jo Pasal 34B ayat (2), Pasal 36A ayat (1) dan ayat (3) huruf b dan c, serta Pasal 43A ayat (1) huruf a, b, c, ayat (2), dan ayat (3) jo Pasal 43B ayat (3) huruf b dan c Peraturan Pemerintah No. 99 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, sehingga hak – hak Para Pemohon tidak dapat dipenuhi;

Menimbang, bahwa dari alasan keberatan Para Pemohon yang dihubungkan dengan bukti-bukti yang diajukan oleh Para Pemohon, Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan keberatan Para Pemohon tidak dapat dibenarkan, dengan pertimbangan sebagai berikut:

Bahwa substansi pengaturan di dalam objek HUM tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, karena ketentuan teknis mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak Narapidana (narkotika dan korupsi) merupakan kewenangan sepenuhnya

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

(22)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 22 dari 23 halaman. Putusan Nomor 63 P/HUM/2015

Pemerintah (Presiden RI) yaitu demi alasan keamanan, ketertiban umum, dan rasa keadilan (vide Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 dan Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012);

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut terbukti bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, karenanya permohonan keberatan hak uji materiil dari Para Pemohon harus ditolak, dan selanjutnya sebagai pihak yang kalah Para Pemohon dihukum untuk membayar biaya perkara;

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait;

MENGADILI,

Menolak permohonan keberatan hak uji materiil dari Para Pemohon:

1. Ir. EFFENDI UTAMA., 2. ERIC IVAN LUNARDI., 3. PHANG ELON RUSMAN, tersebut;

Menghukum Para Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah);

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Senin, tanggal 2 Mei 2016, oleh H. Yulius, S.H., M.H., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Is Sudaryono, S.H., M.H., dan Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh Elly Tri Pangestuti, S.H., M.H., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.

Anggota Majelis: Ketua Majelis,

Ttd./ Is Sudaryono, S.H., M.H. Ttd./ H. Yulius, S.H., M.H. Ttd./ Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S.

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini tingkat kepuasan responden dengan teh celup Sosro lebih rendah dibandingkan tingkat kepuasan konsumen Sariwangi, sehingga pada produk teh celup

“Menimbang, bahwa Pasal 32 ayat (5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyebutkan Putusan Mahkamah

T: Apakah bahasa yang kamu gunakan saat kamu berbicara kepada orang lain secara langsung sama dengan bahasa yang kamu gunakan saat menggunakan sms atau media sosial

A Lorentz telah menurunkan persamaan transformasi dengan menganggap bahwa kecepatan cahaya tetap sama di semua kerangka acuan inersial dan koordinat waktu (t) juga

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, Juncto Pasal

Perkara a quo adalah wewenang Mahkamah Agung untuk mengadili, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 ayat 1 yang mana menyatakan

Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan karakteristik konsumen distro di kota Pekanbaru dengan objek penelitian adalah konsumen Distro Pestaphoria Neverending

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 37 ayat (2) dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan ketentuan Pasal 13 ayat