5 A. Potensi Pengembangan Sapi Potong
Sapi potong adalah jenis sapi yang khusus dipelihara untuk digemukan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup baik. Sapi-sapi ini umumnya dijadikan sebagai sapi bakalan. Pemeliharaan dilakukan secara intensif selama beberapa bulan, sehingga diperoleh pertambahan bobot badan ideal untuk dipotong (Abidin, 2008).
Sapi potong merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable) dan berpotensi untuk dikembangkan guna meningkatkan ekonomi masyarakat. Sumadi et al. (2004) menambahkan bahwa sapi potong mempunyai fungsi sosial yang penting di masyarakat. Sapi potong merupakan komoditas yang sangat penting untuk dikembangkan. Upaya pengembangan sapi potong telah lama dilakukan oleh pemerintah. Nasoetion dalam Winarso et al. (2005) menyatakan bahwa dalam upaya pengembangan sapi potong, pemerintah menempuh dua kebijakan, yaitu ekstensifikasi dan intensifikasi. Pengembangan sapi potong secara ekstensifikasi menitikberatkan pada peningkatan populasi ternak yang didukung oleh pengadaan dan peningkatan mutu bibit, penanggulangan penyakit, penyuluhan dan pembinaan usaha, bantuan perkreditan dan pemasaran. Suryana (2007) menyatakan pengembangan secara intensif adalah dengan pengadaan dan peningkatan mutu pakan. Menurut Wiyatna (2002) beberapa kendala yang dijumpai dalam pengembangan ternak sapi potong adalah : 1) penyempitan lahan penggembalaan, 2) kualitas sumberdaya rendah, 3) produktivitas rendah, 4) akses ke pemodal sulit, 5) penggunaan teknologi rendah.
B. Peternakan Sapi Potong Rakyat
Peternakan sapi potong rakyat adalah usaha peternakan yang dilakukan oleh peternak kecil dan menengah. Usaha ini memiliki ciri antara lain skala usaha kecil dengan cabang usaha. Teknologi yang digunakan sederhana,
produktivitas rendah, mutu kurang terjamin, belum sepenuhnya berorientasi pasar, dan peka terhadap perubahan (Cyrilla dan Ismail, 1998).
Usaha sapi potong rakyat sebagian besar merupakan usaha yang bersifat turun-temurun dengan pola pemeliharaan sesuai dengan kemampuan peternak, terutama dalam hal pemberian pakan. Pakan hijauan bervariasi jenis dan jumlahnya. Pakan penguat diberikan dalam jumlah yang tidak menentu dan diberikan dalam jumlah banyak saat musim panen, sebaliknya sangat terbatas pada musim tanam (Aryogi et al., 2000).
Hasil penelitian Yusdja dan Ilham (2004) menyebutkan bahwa pada dasarnya ada 6 kelompok usaha peternakan yang dapat dipahami yakni : 1) Kelompok peternakan rakyat wilayah tanaman pangan. Pemeliharaan ternak sapi bersifat tradisional dan pemilikan sapi erat kaitannya dengan usaha pertanian, 2) Kelompok peternakan rakyat yang tidak terkait dengan tanaman pangan. Pemeliharaan sapi bersifat tradisional dan pemilikan erat kaitannya dengan ketersediaan padang penggembalaan atau hijauan, 3) Kelompok peternakan rakyat dengan sistem bagi hasil. Pemeliharaan ternak mempunyai tujuan yang tergantung pada kesepakatan, 4) Kelompok usaha peternakan rakyat dan skala kecil. Pemeliharaan bersifat intensif, 5) Kelompok usaha peternakan skala menengah. Pemeliharaan sapi sangat intensif, penggunaan teknologi rendah. Kelompok ini terbagi dua : a) Kelompok usaha ternak sapi potong mandiri, b) Kelompok usaha ternak sapi potong bermitra, 6) Kelompok usaha peternakan swasta skala besar (feedlotters). Pemeliharaan sapi dilakukan intensif, menggunakan teknologi tinggi.
C. Kelompok Tani Ternak (KTT)
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No.273/Kpts/OT.160/4/2007, Kelompok Tani Ternak (adalah kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi, lingkungan (sosial, ekonomi, sumber daya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota. Menurut Kurnia (2000), apabila melihat peran dan fungsi ideal kelompok tani yang sudah dirumuskan selama ini,
yaitu sebagai kelas belajar, sebagai unit produksi, sebagai wahana kerjasama dan sebagai kelompok usaha, maka ciri-ciri kelompok tani yang dapat mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi sebenarnya sudah tercakup. Hanya saja dalam pelaksanaannya, masih ada kesan bahwa kegiatan kelompok tani tersebut baru terbatas sebagai kelas belajar mengajar dan unit produksi saja.
Peran Kelompok Tani (Poktan) sangat strategis sebagai wadah petani untuk melakukan hubungan atau kerjasama dengan menjalin kemitraan usaha. Kemitraan dilaksanakan dengan lembaga-lembaga terkait dan sebagai media dalam proses transfer teknologi dan informasi. Secara internal kelompok tani sebagai wadah antar petani ataupun antar kelompok tani dalam mengembangkan usaha tani nya (Syamsu, 2011).
Menurut Kustiari (2006), keaktifan dalam kelompok dilihat dari tingkat kehadiran, keterlibatan dalam kegiatan dan diskusi dalam kelompok tani. Kelompok tani merupakan tempat petani untuk berbagi pengalaman, menukarkan pengetahuan, saling mengungkapkan masalah dan menanggapi suatu masalah. Keaktifan petani pada kelompok tani akan berpengaruh pada penambahan informasi-informasi yang bermanfaat bagi peningkatan kemampuan bertani di lahan marjinal. Secara teoritis pengembangan kelompok tani dilaksanakan dengan menumbuhkan kesadaran para petani, dimana keberadaan kelompok tani tersebut dilakukan dari, oleh dan untuk petani. Pengembangan kelompok tani perlu dilaksanakan dengan nuansa partisipatif sehingga melihat prinsip kesetaraan, transparansi, tanggung jawab, akuntabilitas serta kerja sama menjadi muatan-muatan baru dalam pemberdayaan petani. Kelompok tani yang terbentuk atas dasar adanya kesamaan kepentingan diantara petani menjadikan kelompok tani tersebut dapat eksis dan mampu untuk melakukan akses kepada seluruh sumber daya seperti sumber daya alam, manusia, modal, informasi, serta sarana dan
prasarana dalam mengembangakan usaha tani yang dilakukan (Syamsu, 2011).
D. Pemberdayaan Masyarakat
Menurut Wrihatnolo dan Dwijowijoto (2007) pemberdayaan merupakan sebuah proses sehingga mencakup tahapan-tahapan tertentu, yaitu penyadaran, capacity building, dan pendayaan. Tahap penyadaran merupakan tahap dimana target yang hendak diberdayakan diberi “pencerahan” dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mencapai “sesuatu”. Misalnya pemberian pengetahuan yang bersifat kognisi, belief, dan healing. Intinya target dibuat mengerti bahwa mereka perlu berdaya yang dimulai dari dalam diri mereka sendiri.
Pemberdayaan masyarakat merupakan tujuan dari program pembangunan atau merupakan suatu instrumen untuk mencapai tujuan pembangunan. Proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada masyarakat agar individu yang bersangkutan menjadi lebih berdaya. Masyarakat yang tidak berdaya diberi ilmu pengetahuan, kesempatan bertindak, sehingga masyarakat merasa mampu dan merasa pantas untuk dilibatkan. Kedua, menekankan pada proses menstimulasi, mendorong, atau memotivasi agar individu mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Kedua kecenderungan ini saling terkait kadangkala keduanya bertukar posisi dalam prosesnya (Alsop et al., 2006).
Praktek pemberdayaan dapat dibedakan menjadi dua menurut sasarannya. Pertama, pemberdayaan masyarakat modern yang telah maju lebih diarahkan pada penciptaan iklim yang menunjang dan peluang untuk tetap maju, sekaligus pada penanaman pengertian bahwa suatu saat mereka wajib membantu yang lemah. Kedua, pemberdayaan masyarakat yang masih tertinggal tidak cukup hanya dengan meningkatkan produktivitas, memberikan kesempatan usaha yang sama, dan memberikan suntikan modal, tetapi juga dengan menjamin adanya kerja sama dan kemitraan yang erat antara yang telah maju dan yang lemah atau belum berkembang.
Pemberdayaan masyarakat perlu dilaksanakan dengan prinsip-prinsip kemitraan yang saling menguntungkan (Sumodiningrat, 1999).
E. Focus Group Discussion (FGD)
Focus Group Discussion (FGD) secara sederhana dapat didefinisikan sebagai suatu diskusi yang dilakukan secara sistematis dan terarah mengenai suatu isu atau masalah tertentu. Irwanto (2006) mendefinisikan FGD adalah suatu proses pengumpulan data dan informasi yang sistematis mengenai suatu permasalahan tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok. FGD dapat digunakan sebagai metode primer maupun sekunder dalam suatu penelitian.
Sutopo (2006) menyatakan bahwa Focus Group Discussion (FGD) merupakan teknik pengumpulan data pada penelitian kualitatif dengan tujuan menemukan makna sebuah tema menurut pemahaman sebuah kelompok. Teknik ini digunakan untuk mengungkap permaknaan dari suatu kelompok berdasarkan hasil diskusi yang terpusat pada suatu permasalahan tertentu. FGD juga dimaksudkan untuk menghindari permaknaan yang salah dari seorang peneliti terhadap focus masalah yang sedang diteliti.
FGD berfungsi sebagai metode primer jika digunakan sebagai satu-satunya metode penelitian atau metode utama pengumpulan data dalam suatu penelitian. FGD sebagai metode penelitian sekunder umumnya digunakan untuk melengkapi riset yang bersifat kuantitatif. Data yang diperoleh dari FGD adalah data kualitatif, baik berkedudukan sebagai metode primer atau sekunder. Menurut Koentjoro (2005), kegunaan FGD di samping sebagai alat pengumpul data adalah sebagai alat untuk meyakinkan pengumpul data (peneliti) sekaligus alat re-check terhadap berbagai keterangan/informasi yang didapat melalui berbagai metode penelitian yang digunakan atau keterangan yang diperoleh sebelumnya, baik keterangan yang sejenis maupun yang bertentangan.
F. Participatory Rural Appraisal (PRA)
Participatory Rural Appraisal (PRA) atau Pemahaman Partisipatif Kondisi Pedesaan (PRA) adalah pendekatan dan metode yang memungkinkan masyarakat secara bersama-sama menganalisis masalah kehidupan dalam rangka merumuskan perencanaan dan kebijakan secara nyata. Metode PRA ini menganalisis informasi dari masyarakat setempat. Perilaku yang diharapkan dari fasilitator adalah santai, tidak tergesa-gesa, menunjukkan rasa hormat, menyerahkan kepemimpinan pada forum dan mawas diri. Cara-cara penelitiannya yaitu berbagi informasi dan analisis terbuka secara visual kepada kelompok-kelompok yang kemudian akan dibandingkan (Chamber, 1996).
Beberapa prinsip dasar yang harus dipenuhi dalam metode PRA adalah saling belajar dan berbagi pengalaman, keterlibatan semua anggota kelompok dan informasi, orang luar sebagai fasilitator, konsep triangulasi, serta optimalisasi hasil, orientasi praktis dan keberlanjutan program (Rochdyanto, 2000). Teknik penerapan PRA anatara lain: (a) Penelusuran alur sejarah, (b) Penelusuran kebutuhan pembangunan, (c) Analisa mata pencaharian, (d) Penyusunan rencana kegiatan, (e) FGD dan (f) Pemetaan secara lengkap teknik PRA. Pendekatan PRA akan dapat dicapai kesesuaian dan ketepatgunaan program dengan kebutuhan masyarakat sehingga keberlanjutan (sustainability) program dapat terjamin. Penggunaan PRA mengupayakan tumbuhnya pemberdayaan masyarakat, sehingga keunggulan PRA yaitu menimbulkan :
a. Munculnya proses partisipasi aktif, baik teknis maupun politis dari masyarakat yang menjadi kelompok sasaran dalam keseluruhan program kegiatan.
b. Teknik PRA mencoba menumbuhkan keseimbangan peran dan pola hubungan antara kelompok dominan dan kelompok yang terpinggirkan. Keberpihakan memberi dasar pada tumbuhnya pemberdayaan, saling belajar dan menghargai perbedaan. Keyakinan bahwa belajar tidak saja
hanya mentransfer informasi, pengalaman dan ilmu pengetahuan, tetapi juga mendorong terciptanya ilmu pengetahuan dan kearifan lokal.
Prinsip Penerapan PRA menurut Adimihardja dan Hikmat, (2003) sebagai berikut :
a. Masyarakat dipandang sebagai subjek bukan objek.
b. Orang luar sebagai fasilitator dan masyarakat sebagai pelaku. c. Peneliti memposisikan dirinya sebagai insider bukan outsider. d. Fokus pada topik utama permasalahan.
e. Pemberdayaan dan partisipatif masyarakat dalam menentukan indikator sosial (indikator evaluasi partisipatif).
f. Keterlibatan semua anggota kelompok dan menghargai perbedaan.
g. Konsep triangulasi untuk mendapatkan informasi yang kedalamannya dapat diandalkan, bisa digunakan konsep triangulasi yang merupakan bentuk pemeriksaan dan pemeriksaan ulang (check and recheck).
h. Optimalisasi hasil.
i. Fleksibel dalam proses partisipasi.
Metode PRA bersifat eksploratoris dalam merumuskan penelitian dan problem pembangunan serta hipotesis, namun fungsinya sebagai metode pengumpulan data memerlukan penjabaran. Teknik ranking dalam PRA dilakukan secara bebas, card sorting dan matriks ranking (Mikkelsen, 2003). G. Penelitian Terdahulu
Kartikadewi (2007) meneliti Pemberdayaan Kelompok Tani Ternak Sapi Potong Melalui Pemberian Kredit Ketahanan Pangan (KKP) di Desa Belancan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui peran KKP dalam pemberdayaan petani di desa Belancan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah permodalan merupakan masalah sebagian besar petani dan modal usaha yang diberikan pemerintah dengan bunga rendah (KKP) sangat membantu petani dalam meningkatkan usahanya. Bantuan modal dengan bunga ringan
semacam KKP ini terbukti meningkatkan usaha petani yang sudah pasti diiringi dengan meningkatnya pendapatan petani. Teratasinya permasalahan-permasalahan yang ada dan kemudian dapat meningkatkan aktifitas kelompok yang mengimbas pada kelompok lain dan masyarakat sekitarnya merupakan proses pemberdayaan masyarakat
Djaelani et al. (2009) meneliti Pemberdayaan Masyarakat Melalui Proyek Gaduhan Sapi Potong di Kecamatan Oba Tengah dan Oba Utara, Tidore Kepulauan Maluku Utara. Fokus peneliti adalah untuk mengevaluasi finansial proyek sistem gaduhan sapi potong di Kecamatan Oba Tengah dan Oba Utara, Tidore Kepulauan, Maluku Utara. Survei dilakukan pada 30 responden secara purposive sampling menggunakan kuesioner. Hasil penelitian ini adalah usaha gaduhan sapi potong yang dilakukan dapat memberdayakan peternak rakyat. Hal ini dapat dilihat pada peningkatan pendapatan, penyerapan tenaga kerja dan peningkatan populasi sapi potong berdasarkan usaha gaduhan sapi potong yang telah dilakukan. Kesimpulan yang dapat diambil bahwa proyek sistem gaduhan sapi potong adalah sarana yang efektif untuk pemberdayaan masyarakat dalam aspek peningkatan pendapatan, tenaga kerja dan peningkatan populasi sapi potong.
Saputro (2013) meneliti tentang Model Pemberdayaan Wanita Tani Ternak dalam Usaha Penggemukan Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) Jantan di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali. Fokus penelitian ini adalah mengenai formulasi model pemberdayaan melalui usaha usaha intervensi yang sesuai bagi wanita tani ternak dalam pengelolaan usaha penggemukan sapi perah PFH jantan di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali. Hasil dari penelitian ini adalah model pemberdayaan wanita tani di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali yaitu model integrasi tanaman pertanian dengan peternakan yang diharapkan dapat diterapkan di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali karena Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali merupakan daerah yang subur dengan ketersediaan hijauan pakan ternak yang melimpah dan berpotensi untuk pengembangan usaha sapi perah PFH jantan.
Tanti (2015) meneliti Model Pemberdayaan Kelompok Wanita Tani Ternak dalam Usaha Budidaya Ayam Buras di Kecamatan Banyudono Kabupaten Boyolali. Fokus penelitian ini adalah untuk menentukan model pemberdayaan melalui usaha usaha yang sesuai bagi kelompok wanita tani ternak dalam usaha budidaya ayam buras di Kecamatan Banyudono Kabupaten Boyolali. Hasil penelitian ini adalah model pemberdayaan wanita tani ternak di Kecamatan Banyudono Kabupaten Boyolali yaitu dengan memberikan pengadaan fasilitas pendidikan non formal, memberikan pelatihan dan pendampingan kelompok serta membangun relasi kerja dengan mitra.
Khalila (2014) meneliti Upaya Peningkatan Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat oleh Kelompok Tani “Suka Maju” di Dusun Gerincang Kecamatan Batang Batang Kabupaten Sumenep Madura. Fokus penelitiannya adalah mengenai usaha yang dilakukan Kelompok Tani Suka Maju dalam menjalankan program pertanian dan peternakan Kambing Etawa sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Usaha yang dilakukan diantaranya adalah melalui pengembangan sumber daya alam, pengembangan alat pertanian padi, pendampingan para petani dan peternak. Beberapa usaha atau upaya tersebut membawa dampak positif terhadap perekonomian para petani, seperti meningkatnya hasil pertanian padi, meningkatnya penghasilan buruh tani, pertanian ternak, pemenuhan ekonomi keluarga, serta terbentuknya lapangan kerja.
Berdasarkan kelima penelitian tersebut di atas menurut pengamatan peneliti belum ada penelitian terdahulu yang mengkaji dan memfokuskan penelitian tentang model pemberdayaan peternak rakyat dalam usaha penggemukan sapi potong. Penelitian yang akan peneliti lakukan tentang model pemberdayaan peternak rakyat dalam usaha penggemukan sapi potong di Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali masih bisa dan layak untuk diteliti, karena sejauh yang peneliti telusuri belum ada penelitian yang meneliti tentang tema penelitian tersebut.