POTENSI DAN DAYA DUKUNG HIJAUAN SEBAGAI PAKAN
SAPI POTONG RAKYAT DI KECAMATAN PATI
SKRIPSI
FAJAR ARIF WISANTORO
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
POTENSI DAN DAYA DUKUNG HIJAUAN SEBAGAI PAKAN
SAPI POTONG RAKYAT DI KECAMATAN PATI
SKRIPSI
FAJAR ARIF WISANTORO
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
i RINGKASAN
Fajar Arif Wisantoro. D24063521. 2012. Potensi Dan Daya Dukung Hijauan Sebagai Pakan Sapi Potong Rakyat Di Kecamatan Pati. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Ir. Sudarsono Jayadi M. Sc. Agr. Pembimbing Anggota : Ir. M. Agus Setiana, MS.
Meningkatnya permintaan masyarakat untuk produk-produk peternakan dewasa ini sudah selayaknya diikuti oleh upaya pengembangan usaha ternak. Upaya pengembangan ini tidak terlepas dari ketersediaan sumberdaya yang ada pada daerah pengembangan. Kondisi saat ini menunjukkan adanya kesenjangan antara permintaan daging sapi dengan produksi daging dalam negeri. Faktor yang menyebabkan adalah lahan yang tersedia belum optimal pemanfaatannya karena hanya difungsikan untuk satu jenis usaha tani walaupun sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk usaha tani ternak secara terintegrasi.
Kebutuhan HMT tersebut sulit dipenuhi oleh masing-masing peternak, karena hanya memiliki lahan sempit dan sangat tergantung pada musim. Semakin padatnya penduduk akan menyebabkan lahan yang tersedia untuk hijauan pakan ternak semakin menyempit. Akibatnya di daerah padat penduduk, ternak lebih banyak tergantung pada limbah pertanian walaupun pada kenyataannya tidak seluruh limbah pertanian tersedia secara efektif untuk makanan ternak.
Kecamatan Pati merupakan pusat kegiatan dari Kabupaten Pati, karena pusat pemerintahan Kabupaten Pati berada di Kecamatan Pati. Dari segi letaknya kecamatan Pati merupakan daerah yang strategis di bidang ekonomi sosial budaya dan memiliki potensi sumber daya alam serta sumber daya manusia yang dapat dikembangkan dalam semua aspek kehidupan masyarakat seperti pertanian, peternakan, perikanan. Kecamatan Pati memiliki potensi sektor pertanian dan peternakan, oleh karena itu, untuk mengetahui potensi dan daya dukung hijauan sebagai pakan ruminansia khususnya sapi potong di Kecamatan Pati dengan menghitung besarnya potensi pengembangan ternak sapi potong dan daya dukung lahan.
Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Pati, Kabupaten Pati pada 7 November – 30 November 2010. Penentuan daerah penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan daerah tersebut merupakan daerah peternak sapi potong dan penyediaan hijauan yang mempunyai potensi di Kecamatan Pati.
ii Data-data tersebut digunakan untuk menggambarkan keadaan umum di lokasi penelitian dan menganalisa pola penyediaan hijauan makanan ternak yang dapat mendukung perkembangan bidang peternakan sapi potong.
Kecamatan Pati memiliki luas 4.249 ha terdiri dari lahan sawah sebesar 2.558 ha dan lahan bukan sawah 1.691 ha. Kepadatan penduduk 25.417 jiwa/km2, dengan ketinggian wilayah 5-23 m dpl (BPS Kabupaten Pati, 2009). Sistem pemeliharaan ternak pada Kecamatan Pati menggunakan sistem intensif. Jenis pakan yang disediakan oleh peternak di Kecamatan Pati antara lain hijauan dan konsentrat, dan ada yang menggunakan hijauan saja. Jumlah ternak yang dipelihara rata-rata 3 ekor per peternak.
Berdasarkan data yang diperoleh, dapat dihitung potensi maksimum berdasarkan sumberdaya lahan sebesar 2.116 ST. Potensi maksimum berdasarkan kepala keluarga sebesar 5.484 ST, sedangkan populasi riil sebesar 1.553 ST. Hasil perhitungan Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) sumberdaya lahan di Kecamatan Pati adalah 563 ST. Hasil tersebut menunjukkan bahwa daerah tersebut masih mempunyai potensi menampung ternak ruminansia lagi sebesar 563 ST. Hasil KPPTR berdasarkan kepala keluarga adalah 3.931 ST. Hal ini menunjukkan bahwa di daerah ini masih mempunyai potensi untuk menambah ternak. Untuk meningkatkan hal tersebut, perlu adanya peningkatan kerjasama antara peternak dengan pihak Kecamatan Pati mengenai penambahan populasi ternak, integrasi penyediaan hijauan makanan ternak (HMT), keterampilan beternak masyarakat, dan pemanfaatan lahan-lahan kosong seperti tegalan, lapangan, kebun, halaman rumah, dan pinggiran jalan.
iii ABSTRACT
Forage Potency and Support Ability for Traditional Beef Cattle's Feed in Kecamatan Pati
Fajar Arif Wisantoro, Sudarsono Jayadi, M. Agus Setiana
Requirement of forages was difficult to fullfiled by farmer, because they only have small land and it depend on season. This study was conducted to find how many forages potency and support ability for ruminant’s feed especially cattle by counting land support and development of cattle’s potency. This study located in Kecamatan Pati on 7 November until 30 November 2010. Research used primary and secondary data. Primary data was gained from field survey using quisioner from four village in Kecamatan Pati. Each village, 15 farmer’s data is taken. Secondary data was gained from Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Pati and BPS Kabupaten Pati. Data was collected using purposive sampling methode. Obtained data are analyzed using Capacity of Additional Ruminant Population (CARP) analysis. The result showed that , cut and carry were the best farming system to be done in Kecamatan Pati. CARP analysis value showed 563 Animal Unit based on land resources and 3.931 Animal Unit based on family. Based on CARP analysis, its showed that Kecamatan Pati still has ability to add cattle population depend on support ability.
iv
POTENSI DAN DAYA DUKUNG HIJAUAN SEBAGAI PAKAN
SAPI POTONG RAKYAT DI KECAMATAN PATI
FAJAR ARIF WISANTORO D24063521
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
v Judul : Potensi Dan Daya Dukung Hijauan Sebagai Pakan Sapi Potong Rakyat Di Kecamatan Pati
Nama : Fajar Arif Wisantoro
NIM : D24063521
Menyetujui,
Pembimbing Utama,
(Ir. Sudarsono Jayadi M. Sc. Agr.) NIP: 19660226 199003 1 001
Pembimbing Anggota,
(Ir. Muhammad Agus Setiana, MS.) NIP: 19570824 198503 1 001
Mengetahui: Ketua Departemen,
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
(Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr.) NIP: 19670506 199103 1 001
vi RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 19 Januari 1988 di Jakarta. Penulis adalah
anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Edi Triono dan Ibu Sisilia
Dwi Yuningtyas.
Penulis mengawali pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar Negeri Gedongan
01 pada tahun 1994 dan diselesaikan pada tahun 2000. Pendidikan lanjutan tingkat
pertama dimulai pada tahun 2000 dan diselesaikan pada tahun 2003 di SLTP Negeri
2, Mojokerto – Jawa Timur. Penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Puri Mojokerto tahun 2003 dan diselesaikan pada tahun 2006.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2006 dan diterima di Departemen
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan pada tahun 2007. Penulis
pernah menjadi Ketua Malam Keakraban Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi
Pakan pada tahun 2008. Penulis sempat masuk menjadi anggota BEM Fakultas
Peternakan selama 1 bulan di bidang Sosial dan Budaya pada tahun 2008. Penulis
vii KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim
Alhamdulillaahirabbil’alamiin. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penelitian dan penulisan
skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam penulis sanjungkan kepada
baginda Muhammad SAW.
Penyusunan Skripsi yang berjudul “Potensi Dan Daya Dukung Hijauan Sebagai Pakan Sapi Potong Rakyat Di Kecamatan Pati” merupakan salah satu syarat memperoleh gelar sarjana peternakan pada program mayor Ilmu Nutrisi dan
Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2010 di Kecamatan Pati
Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah. Persiapan dimulai dari penulisan proposal
dilanjutkan dengan perizinan penelitian, pelaksanaan penelitiaan dan penulisan hasil.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi dan daya dukung hijauan
sebagai pakan ruminansia khususnya sapi potong di Kecamatan Pati dengan
menghitung besarnya potensi pengembangan ternak sapi potong dan daya dukung
lahan.
Penulis memahami bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat
menyempurnakan tulisan penulis berikutnya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkan.
Penulis berharap karya kecil ini dapat menjadi salah satu karya terbaik yang
bisa penulis persembahkan untuk ayah dan ibunda tercinta.
Bogor, Desember 2011
viii
Pengembangan Kawasan Peternakan Rakyat ... 10
Daya Dukung Lahan ... 11
Evaluasi Sumberdaya Lahan Untuk Peternakan Ruminansia ... 12
MATERI DAN METODE ... 16
Karakteristik Peternak ... 21
ix
Pengalaman Beternak ... 22
Jenis Pekerjaan ... 23
Tingkat Pendidikan ... 24
Kepemilikan Ternak ……….….. ... 24
Tenaga Kerja ... 25
Jenis Hijauan……… ... 26
Pola Penyediaan Hijauan ……… ... 27
Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia ... 29
KESIMPULAN DAN SARAN ... 32
Kesimpulan ... 32
Saran ... 32
UCAPAN TERIMA KASIH ... 33
DAFTAR PUSTAKA ... 35
x DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Keadaan Umum Wilayah Penelitian ... 20
2. Luas Penggunaan Lahan... ... 21
3. Penggunaan Jenis Hijauan dan Limbah Pertanian ... 26
xi DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Bagan Kerangka Pemikiran Penelitian ... 4
2. Presentase Jumlah Responden Berdasarkan Umur... ... 22
3. Presentase Jumlah Responden Berdasarkan Pengalaman Beternak 23
4. Presentase Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 23
5. Presentase Jumlah Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan .... 24
6. Presentase Jumlah Responden Berdasarkan Kepemilikan Ternak .. 25
7. Presentase Jumlah Responden Berdasarkan Tenaga Kerja ... 26
8. Jenis Hijauan Pakan di Kecamatan Pati ... 28
xii DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Peta Kabupaten Pati ... 39
2. Data Pendidikan Peternak... 40
3. Data Pekerjaan Peternak ... 40
4. Data Pekerjaan Peternak Lainnya di Kecamatan Pati ... 41
5. Penggunaan Jenis Hijauan dan Limbah Pertanian Per Desa ... 41
6. Penggunaan Jenis Hijauan dan Limbah Pertanian berdasarkan Kombinasi Pakan ... 42
7. Umur Peternak Menurut BPS Kabupaten Pati 2010 ... 42
8. Rataan Umur Peternak ... 42
9. Rataan Pengalaman Beternak di Kecamatan Pati ... 43
10.Umur Peternak di Kecamatan Pati ... 43
11.Jumlah Ternak Dimiliki oleh Responden (Peternak) di Kecamatan Pati ... 43
12.Rataan Jumlah Kepemilikan Ternak di Kecamatan Pati ... 44
13.Jumlah Kepemilikan Ternak di Kecamatan Pati ... 44
14.Jumlah Kambing di Kecamatan Pati ... 44
15.Jumlah Domba di Kecamatan Pati ... 45
16.Jumlah Kerbau di Kecamatan Pati ... 45
17.Jumlah Sapi Perah di Kecamatan Pati ... 45
18.Jumlah Total Populasi Ternak Ruminansia ... 45
19.Total Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia ... 46
20.Perhitungan Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia di Kecamatan Pati ... 46
21.Perhitungan Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia di Desa Kutoharjo ... 46
22.Perhitungan Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia di Desa Ngepungrojo ... 47
23.Perhitungan Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia di Desa Panjunan ... 47
24.Perhitungan Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia di Desa Sidokerto... 48
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peranan ternak sapi potong dalam pembangunan peternakan cukup besar di
dalam pengembangan misi peternakan, yaitu sebagai: sumber pangan hewani asal
ternak, berupa daging dan susu, sumber pendapatan masyarakat terutama peternak,
penghasil devisa yang akan diperlukan untuk membiayai pembangunan nasional,
menciptakan angkatan kerja dan sasaran konservasi lingkungan terutama lahan
melalui daur ulang pupuk kandang.
Meningkatnya permintaan masyarakat untuk produk-produk peternakan
dewasa ini sudah selayaknya diikuti oleh upaya pengembangan usaha ternak. Upaya
pengembangan ini tidak terlepas dari ketersediaan sumberdaya yang ada pada daerah
pengembangan. Kondisi saat ini menunjukkan adanya kesenjangan antara permintaan
daging sapi dengan produksi daging dalam negeri. Faktor yang menyebabkan adalah
lahan yang tersedia belum optimal pemanfaatannya karena hanya difungsikan untuk
satu jenis usaha tani walaupun sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk usaha tani
ternak secara terintegrasi. Dalam manajemen budidaya ternak, pakan merupakan
kebutuhan tertinggi dari seluruh biaya produksi. Mengingat tingginya komponen
biaya tersebut maka perlu adanya perhatian dalam penyediaan baik dari segi
kuantitas maupun kualitas. Tidak terkecuali bagi ternak ruminansia dimana pakan
yang diperlukan berupa Hijauan Makanan Ternak (HMT). Kebutuhan HMT tersebut
sulit dipenuhi oleh masing-masing peternak, karena hanya memiliki lahan sempit dan
sangat tergantung pada musim. Apalagi dengan meningkatnya kepemilikan sapi per
peternak, peternak akan menghabiskan waktu untuk pemeliharaan dan pengelolaan
sapi, tidak memiliki waktu lagi untuk menyediakan pakan hijauan. Kebutuhan lahan
bagi pengembangan ternak ruminansia dirasakan sangat penting terutama sebagai
sumber hijauan pakan. Akan tetapi kenyataan menunjukan, bahwa semakin padatnya
penduduk, lahan yang tersedia untuk hijauan pakan ternak semakin menyempit.
Akibatnya di daerah padat penduduk, ternak lebih banyak tergantung pada limbah
pertanian walaupun pada kenyataannya tidak seluruh limbah pertanian tersedia
secara efektif untuk makanan ternak.
Kecamatan Pati merupakan pusat kegiatan dari Kabupaten Pati, karena pusat
2 Kecamatan Pati merupakan daerah yang strategis di bidang ekonomi sosial budaya
dan memiliki potensi sumber daya alam serta sumber daya manusia yang dapat
dikembangkan dalam semua aspek kehidupan masyarakat seperti pertanian,
peternakan, perikanan. Kecamatan Pati memiliki potensi sektor pertanian dan
peternakan. Terlihat dari data yang ada bahwa banyak terdapat populasi ternak sapi
potong di Kecamatan Pati. Dalam bidang peternakan dan pertanian, pola penyediaan
hijauan makan ternak yang dilaksanakan oleh pemerintah Kecamatan Pati perlu
dilakukan kerjasama dengan daerah-daerah di dalamnya. Interaksi antar daerah akan
memudahkan untuk saling melengkapi kebutuhan yang diperlukan sehingga mampu
membangun potensi yang ada di daerah masing-masing. Diperlukan juga penyediaan
pakan baik pakan hijauan maupun konsentrat untuk ternak besar dengan menanam
rumput hijauan pada lahan-lahan tidur milik dan memanfaatkan limbah pertanian
yang ada dengan proses silase maupun teknik yang lain.
Untuk mengetahui potensi hijauan diperlukan analisis potensi wilayah
Kecamatan Pati, seperti daya dukung lahan, sumberdaya penduduk, sumberdaya
alam, dan lain-lain.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi dan daya dukung
hijauan sebagai pakan ruminansia khususnya sapi potong di Kecamatan Pati dengan
menghitung besarnya potensi pengembangan ternak sapi potong dan daya dukung
3 Kerangka Pemikiran
Peternakan memiliki peranan sebagai penyedia protein hewani yang memiliki
manfaat menciptakan lapangan kerja terutama penduduk desa yang sebagian besar
bekerja sebagai petani. Kecamatan Pati mempunyai potensi yang besar untuk
dikembangkan karena letaknya yang strategis di bidang sosial ekonomi budaya dan
memiliki sumberdaya alam dan sumber daya manusia yang masih dapat
dikembangkan.
Perkembangan peternakan sapi potong ini relatif tidak maju yang disebabkan
karena pemeliharaannya yang masih tradisional dengan skala pemilikan kecil (small
holders), sehingga sapi potong kebanyakan dipelihara apa adanya tanpa suatu
perencanaan yang jelas untuk lebih berkembang, lebih produktif, dan lebih
menguntungkan. Dengan didukung oleh sumberdaya lahan yang masih belum
dimanfaatkan secara optimal, ketersediaan hijauan makanan ternak (segar maupun
limbah pertanian) dan mempunyai sumberdaya manusia yang memanfaatkan tenaga
kerja keluarga serta didukung dengan adanya metode Kapasitas Peningkatan
Populasi Ruminansia (KPPTR) yang merupakan suatu pendekatan untuk
menunjukkan kapasitas wilayah dalam penyediaan hijauan pakan, usaha ternak sapi
potong dapat berkembang di kecamatan tersebut.
Hal – hal tersebut diatas akan sangat membantu dalam menentukan pola
penyediaan hijauan makanan ternak di Kecamatan Pati yang nantinya dapat
memperbaiki dan meningkatkan produktivitasnya. Berdasarkan uraian tersebut maka
4 Keterangan : KPPTR = Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia
Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran Penelitian Sumberdaya Lahan Sumberdaya
Hijauan
Pola Penyediaan Hijauan Makanan Ternak
KPPTR
Kecamatan Pati
5 TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Potong
Ternak sapi khususnya sapi potong merupakan salah satu sumberdaya bahan
makanan sumber protein hewani yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan penting
artinya dalam kehidupan masyarakat. Seekor atau sekelompok ternak sapi bisa
menghasilkan berbagai macam kebutuhan terutama sebagai bahan makanan berupa
daging, disamping hasil ikutan lainnya seperti pupuk kandang, kulit, tulang dan lain
sebagainya (Sugeng, 1998).
Pada tahun 2003, populasi sapi potong di Indonesia sekitar 11.395.688 ekor,
dengan tingkat pertumbuhan populasi sekitar 1,08%. Idealnya populasi sapi minimal
15,27% untuk memenuhi kebutuhan domestik. Dari populasi sapi tersebut, 45-50%
adalah sapi asli Indonesia yang berpotensi untuk dikembangkan (Riady, 2004).
Menurut Riady (2004), bangsa sapi potong di dunia ini banyak jenisnya yang
masing-masing memiliki keunggulan dan kekurangan. Beberapa bangsa sapi tropis
yang banyak dan populer di Indonesia sampai saat ini antara lain sapi Bali (Bos
sondaicus), sapi Madura, sapi Ongole, dan Amerika Brahman. Berdasarkan data
tahun 1984, sapi Bali termasuk jenis sapi terbanyak di Indonesia yaitu 23,81%,
tanaman dalam bentuk daun-daunan. Kelompok hijauan makan ternak meliputi
bangsa rumput (gramineae), leguminosa dan hijauan dari tumbuh-tumbuhan lain
seperti daun nangka, daun waru, dan lain-lain. Hijauan sebagai bahan makanan
ternak dapat diberikan dalam dua macam bentuk, yaitu hijauan segar dan hijauan
kering. Hijauan segar berasal dari rumput segar, leguminosa segar dan silase,
sedangkan hijauan kering berasal dari berasal dari hijauan yang sengaja dikeringkan
(hay) ataupun jerami kering. Sebagai bahan makanan ternak, hijauan memegang
peranan penting karena hijauan mengandung hampir semua zat yang diperlukan
hewan. Khususnya di Indonesia, bahan hijauan memegang peranan istimewa karena
6 Jenis tanaman budidaya maupun alami yang umum dipergunakan sebagai
hijauan makan ternak terdiri dari : (1) jenis rumput-rumputan (gramineae); (2)
gude (Cajanus cajan), komak (Dolichos lablab) dan lain-lain: dan peperduan lainnya
dari limbah tanaman pangan pertanian antara lain: jerami padi, jagung, kedelai,
kacang tanah, daun ubi jalar, ubi kayu dan lain-lain; (c) legum pohon antara lain:
sengon laut (Albazia falcataria), lamtoro (Leucaena leucocephala), kaliandra
(Callianddra calothyrsus), turi (Sesbania sp) dan lain-lain. Rumput-rumputan yang
berpotensi sebagai rumput budidaya antara lain: rumput gajah (Pennisetum
purpereum), setaria (Setaria spachelata), rumput raja (Pennisetum purpurhoides)
dan lain-lain (Reksohadiprojo, 1984).
Menurut Manurung (1996), hijauan leguminosa merupakan sumber protein
yang penting untuk ternak ruminansia. Keberadaannya dalam ransum ternak akan
meningkatkan kualitas pakan. Leguminosa pohon banyak terdapat di daerah tropis,
kaya akan nitrogen dan tidak tergantung pada kondisi nitrogen dalam tanah atau
pemberian pupuk karena sifatnya dapat memanfaatkan nitrogen udara melalui
bintil-bintil akar. Berdasarkan hasil penelitan, diantara tiga jenis leguminosa pohon
(lamtoro, gliserida dan kaliandra) tidak terdapat perbedaan nyata dalam tingkat
konsumsinya oleh ternak ruminansia, namun kaliandra memperlihatkan konsumsi
yang lebih tinggi diikuti oleh gliserida dan lamtoro.
Limbah pertanian seperti jerami padi, jerami jagung, jerami kacang tanah,
pucuk tebu dan lain-lain merupakan sumber makanan ternak ruminansia yang dapat
diperoleh dari tanaman pertanian. Pemanfaatan limbah pertanian tersebut akan
mendukung integrasi usaha peternakan dengan usaha pertanian baik tanaman pangan,
hortikultura maupun perkebunan. Dilain pihak kegiatan intensifikasi peternakan telah
menyebabkan kotoran ternak melimpah dan cenderung mengganggu lingkungan. Hal
ini akan memberikan prospek baru dalam mewujudkan pembangunan berwawasan
7 Menurut Preston dan Willis (1974), pemberian dedak padi pada ransum sapi
penggemukan sangat menentukan di dalam pertambahan bobot badan dan efisiesi
penggunaan pakan. Sementara pemanfaatan dedak padi sebagai pakan konsentrat,
baru dilakukan oleh sebagian peternak. Untuk menggantikan sebagian pakan
konsentrat, dapat digunakan tanaman leguminosa dengan perbandingan 75%
konsentrat dan 25% leguminosa (Nasrullah et al., 1996).
Perbedaan mutu suatu hijauan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu sifat genetis
dan lingkungan. Faktor genetis berkaitan dengan pembawaan masing-masing jenis
hijauan. Faktor lingkungan mempunyai peranan yang sangat penting, mutu yang
diwariskan oleh faktor genetis hanya mungkin dipertahankan atau ditingkatkan
apabila faktor lingkungan mendukung (AAK,1983)
Faktor iklim dapat mempengaruhi mutu hijauan. Di daerah tropis-basah
banyak terjadi erosi yang dapat mengakibatkan defisiensi mineral dalam makanan.
Selain itu drainasi yang kurang baik sering meningkatkan proses ekstraksi mineral,
terutama mikro mineral dan menyebabkan tingginya konsentrasi mineral tersebut
dalam jaringan tanaman. Pada umumnya daun-daun legumoinosa lebih banyak
mengandung mineral dibanding dengan rumput. Semakin menuanya tanaman, kadar
mineral semakin menurun karena pengenceran alamiah ataupun karena pemindahan
mineral ke sistem akar.
Bersama dengan iklim dan pengolahan, produksi hijauan akan mempengaruhi
komposisi mineral hijauan, sedangkan penggembalaan akan mempengaruhi
komposisi botani hijauan dan selanjutnya akan mempengaruhi rasio daun dengan
batang dan tentu saja mempengaruhi komposisi mineral.
Hijauan Makanan Ternak Sapi Potong
Pakan merupakan faktor yang sangat penting pada usaha peternakan sapi,
baik hijauan maupun konsentrat. Kontinuitas penyediaan pakan sangat menentukan
bagi keberhasilan usaha peternakan sapi terutama sapi kereman karena sepanjang
waktu sapi berada di dalam kandang. Pemberian pakan yang tidak kontinu dapat
menimbulkan stress dan akan berakibat sapi menjadi peka terhadap berbagai
penyakit dan terganggu pertumbuhannya (Ahmad et al., 2004).
Makanan hijauan ialah semua bahan makanan yang berasal dari tanaman
8 kacang-kacangan (leguminosa) dan hijauan dari tumbuh-tumbuhan lain seperti daun
nangka, aur, daun waru, dan sebagainya (AAK, 2005). Perbedaan mutu hijauan
dipengaruhi oleh faktor genetis dan faktor lingkungan berupa jenis dan kesuburan
tanah, iklim, dan perilaku manusia.
Menurut Sofyan (2003), Hijauan Makanan Ternak yang diperlukan untuk
ternak ruminansia sebagian besar berupa rumput-rumputan, sehingga rumput
memegang peranan penting dalam penyediaan pakan dan telah umum sigunakan oleh
peternak dalam jumlah besar. Dilihat dari cara tumbuhnya rumput dapat digolongkan
menjadi dua, yaitu rumput alami dan rumput budidaya.
Untuk memelihara kontinuitas hijauan pakan ternak sering dilakukan itegrasi
pakan hijauan dengan tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, pagar hidup, lahan
tidur, padang rumput, dan lahan kritis. Menurut Nitis (1995), ada beberapa sistem
integrasi hijauan pakan ternak, yaitu sistem tanaman sela, sistem lorong, sistem teras
bangku, sistem taonya, sistem sorjan, sistem kebun pakan hijauan intensif, sistem
pastura unggul, sistem barik pakan, sistem pekarangan, dan sistem tiga strata.
Karakteristik Peternakan Sapi Potong di Indonesia
Peternakan sapi potong di Indonesia dikelola dengan berbagai macam bentuk
usaha. Pada umumnya hampir 90% sapi potong dimiliki dan diusahakan oleh rakyat
dengan skala kecil dan hanya 1% saja yang dikelola oleh perusahaan. Menurut Aziz
(1993), karakteristik sapi potong yang ada di Indonesia dapat diidentifikasikan
sebagai berikut:
1. Peternakan sapi potong baru bersifat dimiliki, belum diusahakan, biasanya
ternak merupakan status sosial, ternak tidak digunakan untuk tenaga kerja,
pemasaran baru dilakukan bila ada kebutuhan yang sangat mendesak untuk
kepentingan yang bersifat sosial, budaya atau keagamaan. Harga yang terbentuk
biasanya sangat rendah dan jumlah ternaknya cukup bervariasi pada umumnya
relatif banyak.
2. Peternakan sapi potong keluarga
Usaha ternak yang dilakukan untuk membantu kegiatan usaha tani keluarga,
seperti sumber pupuk kandang, sebagai tabungan serta untuk dimanfaatkan
tenaganya. Pada kondisi harga yang terbentuk di bawah harga pasar tetapi lebih
9 3. Peternakan sapi potong skala kecil
Usaha tersudah mulai berorientasi ekonomi, perhitungan rugi, laba, dan input
teknologi sudah mulai diterapkan masih sederhana. Pada usaha ini, ternak
umumnya di arahkan pada produksi daging dan skala kepemilikan ternak
berkisar antara 6-10 ekor per rumah tangga.
4. Peternakan sapi potong skala menengah
Usaha yang dilakukan sepenuhnya menggunakan input teknologi yang
berorientasi pada produksi daging, dan kebutuhan pasar dan adanya jaminan
kualitas. Jumlah ternak yang diusahakan berkisar antara 11-50 ekor per produk.
5. Peternakan sapi potong skala kecil
Usaha ternak umtuk umumnya berbentuk perusahaan yang dilakukan dengan
pasar modal, menggunakan input teknologi tinggi yang berorientasi pada faktor
input dan out produksi. Usahanya ditujukan untuk memproduksi daging atau
bakalan. Jumlah ternak yang usahakan melebihi 50 ekor per produksi.
Peternakan Rakyat
Sebagian besar usaha peternakan rakyat masih dikelola secara tradisional.
Ini antara lain ditandai dengan pengelolaan usaha peternakan yang masih merupakan
usaha sampingan, hanya melibatkan anggota keluarga diluar pekerjaan utamanya,
skala pemelikan ternak yang kecil, rendahnya pengetahuan dan ketrampilan beternak,
dan belum menerapkan prinsip-prinsip ekonomi usaha. Hal inilah yang menjadi salah
satu penyebab rendahnya produksi dan produktivitas usaha peternakan rakyat di
Indonesia. Alhasil, disamping tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
dalam negeri, produk peternakan rakyat juga tidak mampu bersaing dengan produk
impor baik dalam harga maupun kualitas. Pembentukan kelompok petani ternak
merupakan salah satu solusi yang tepat dalam meningkatkan pemberdayaan usaha
peternakan rakyat di hampir seluruh wilayah kabupaten/kota. Berbagai aspek dalam
usaha peternakan seperti pengadaan sarana produksi bibit dan pakan, pencegahan
penyakit ternak dan akses pemasaran dapat dilakukan secara berkelompok dan
bergotong royong, yang pada gilirannya meningkatkan keuntungan dan pendapatan
usaha. Untuk lebih meningkatkan keberdayaan kelompok petani peternak ini
10 Agar rakyat dapat merasakan keuntungan dalam memelihara ternak,
khususnya sapi potong, maka dalam disain pengembangan peternakan rakyat ini
dibuat sedemikian rupa agar setiap peternakan rakyat harus memiliki minimal 10
ekor sapi umur bakalan (1 tahun) dengan berat badan awal 300 kg dan harus
dipelihara selama maksimal 4 bulan, sehingga dalam setahun dapat memproduksi
dua kali usaha penggemukan sapi. Dengan masa istirahat kandang yang cukup.
Metoda pemeliharaan penggemukan ternak sapi potong dengan silase, merupakan
metoda pemeliharaan sapi potong secara intensif. Sapi di kandang digemukkan
dengan pakan yang sudah tersedia, sehingga peternak hanya memikirkan
pemeliharaan sapi saja tanpa harus memikirkan mencari hijauan makanan ternak.
Sehingga tenaga pemelihara dapat lebih sedikit sedang cara pemeliharaan akan lebih
efisien dan produktif karena pertambahan berat badan dapat lebih dipacu (Sudardjat
et al., 2000).
Pengembangan Kawasan Peternakan Rakyat
Pengembangan suatu wilayah menjadi kawasan peternakan hendaknya
diarahkan pada peningkatan efisiensi pemanfaatan sumberdaya alam, dan pelestarian
lingkungan. Dalam hal ini, pengembangannya dilakukan dengan cara memanfaatkan
dan mengelola sumberdaya alam yang berupa lahan, ternak dan pakan ternak, dengan
faktor produksi lainnya yang berupa tenaga kerja dan modal kerja. Akan lebih baik
bila ikut juga menghijaukan lahan-lahan sekitarnya dengan menanami tanaman
pangan dan sayuran yang sesuai dengan kondisi lingkungannya, dan mudah
perawatannya, minimal bisa mencukupi kebutuhan sendiri. Dengan demikian tujuan
untuk menjaga kelestarian ekosistem kawasan dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat atau rakyat sekitarnya dapat tercapai sekaligus dengan baik.
Kebijakan pembangunan peternakan yang diarahkan untuk meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan peternak melalui pengembangan kawasan ini
dilakukan dengan pengelolaan sumberdaya secara optimal. Oleh karena itu, maka
sentra-sentra peternakan yang sudah ada dan kawasan di setiap kabupaten,
kotamadya, atau kecamatan yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi kawasan
peternakan rakyat, sudah saatnya diupayakan untuk ditingkatkan melalui sistem
agribisnis. Dengan demikian diharapkan dimasa mendatang, subsektor peternakan
11 pada negara lain, bahkan sekaligus dapat bersaing dengan produk ternak dari luar
negeri (Soehadji, 1995).
Daya Dukung Lahan
Menurut Soemarwoto (1983), daya dukung menunjukkan besarnya
kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan hewan, yang dinyatakan dalam
jumlah ekor per satuan jumlah lahan. Jumlah hewan yang dapat didukung
kehidupannya itu tergantung pada biomasa (bahan organik tumbuhan) yang tersedia
untuk hewan. Daya dukung ditentukan oleh banyaknya bahan organik tumbuhan
yang terbentuk dalam proses fotosintesis persatuan luas dan waktu, yang disebut
produktivitas primer.
Salah satu faktor yang diperlukan untuk menganalisis kapasitas tampung
ternak ruminansia di suatu wilayah adalah dengan menghitung potensi hijauan pakan.
Hijauan pakan untuk ternak ruminansia terdiri dari rerumputan, dedaunan, dan
limbah pertanian. Estimasi potensi hijauan pada masing-masing wilayah dipengaruhi
oleh keragaman agroklimat, jenis dan topografi tanah, dan tradisi budidaya pertanian (Ma’sum, 1999).
Menurut Dasman et al. (1977), daya dukung adalah suatu ukuran jumlah
individu dari suatu spesies yang dapat didukung oleh lingkungan tertentu, dengan
tingkatan sebagai berikut :
1. Daya dukung absolut atau maksimum, yaitu jumlah maksimum individu yang
dapat didukung oleh sumberdaya lingkungan pada tingkatan sekedar hidup.
2. Daya dukung dengan jumlah individu berada dalam keadaan yang disebut
kepadatan keamanan atau ambang pintu keamanan. Kepadatan keamanan lebih
rendah daripada kepadatan subsisten. Pada kepadatan keamanan ini tingkat
populasi suatu spesies ditentukan oleh pengaruh populasi spesies lainnya yang
hidup di lingkungan yang sama.
3. Daya dukung dengan jumlah individu berada dalam keadaan yang disebut
kepadatan optimum. Pada kepadatan optimum ini, individu-individu dalam
populasi akan mendapatkan segala keperluan hidupnya dengan cukup serta
menunjukkan pertumbuhan dan kesehatan individu yang baik. Kepadatan
optimum hanya dapat dipertahankan oleh pembatasan yang kuat terhadap
12 Selanjutnya Dasman (1964) membedakan tiga pengertian daya dukung yaitu :
(1) pengertian daya dukung yang berhubungan dengan kurva logistik., dimana daya
dukung adalah asimtot atas dari kurva tersebut. Dalam hal ini batasan daya dukung
adalah batasan teratas dari pertumbuhan populasi dimana pertumbuhan populasi
tidak dapat didukung lagi oleh sumberdaya dan lingkungan lagi oleh sumberdaya dan
lingkungan yang ada.; (2) pengertian daya dukung yang dikenal dalam pengelolaan
margasatwa. Dalam hal ini daya dukung adalah jumlah individu yang dapat didukung
oleh suatu habitat; (3) pengertian daya dukung yang dikenal dalam pengelolaan
padang penggembalaan. Dalam hal ini daya dukung adalah jumlah indvidu yang
didukung oleh lingkungan dalam keadaan sehat tanpa mengganggu kerusakan tanah.
Tingkat ketersediaan hijauan makanan ternak pada suatu wilayah merupakan
salah satu faktor yang sangat penting serta turut mempengaruhi dinamika populasi
dalam keberhasilan pengembangan ternak khususnya ternak herbivora. Menurut
Natasasmita dan Murdikdjo (1980), dalam memperhitungkan potensi suatu wilayah
untuk mengembangkan ternak secara teknis, perlu dilihat populasi ternak yang ada di
wilayah tersebut dihubungkan dengan potensial untuk menghasilkan hijauan
makanan ternak yang diperhitungkan, antara lain: lahan pertanian, perkebunan,
padang pengembalaan, dan sebagian kehutanan.
Evaluasi Sumberdaya Lahan untuk Peternakan Ruminansia
Lahan adalah bagian dari bentang alam yang mencakup pengertian
lingkungan fisik termasuk iklim, topografi, hidrologi, dan keadaan vegetasi alami
yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO,
1976).
Usaha peternakan sangat berkaitan erat dengan lahan, seperti ternak sapi
potong yang sangat tergantung dari bahan dan kualitas pakannya, kualitas pakan
hijauan makanan ternak sangat ditentukan oleh kodisi kesuburan tanahnya. Menurut
Suratman et al. (1998), berdasarkan kebutuhan lahan, usaha peternakan dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu usaha peternakan berbasis lahan dan usaha peternakan
yang tidak berbasis lahan. Khusus untuk usaha peternakan yang berbasis lahan yaitu
ternak dengan komponen pakannya yang sebagian besar terdiri atas tanaman hijauan,
13 Menurut Sri Kuning (1999), dalam usaha peternakan, lahan merupakan basis
atau merupakan faktor produksi sebagai sumber makanan pokok ternak berupa
rumput, limbah maupun produk utama pertanian. Sebenarnya kebutuhan lahan untuk
peternakan tidak menuntut lahan terbaik, namun usaha ternak dapat dikembangkan
pada lahan dengan kelas kemampuan V, VI, dan VII, yang biasanya berupa lahan
kering dan pada umumnya kurang cocok untuk subsektor pertanian yang lain seperti
tanaman pangan dan perkebunan, walaupun demikian, pengembangan usaha ternak
akan lebih baik dan menguntungkan jika dilakukan pada lahan-lahan subur (Suparini,
1999).
Sumberdaya lahan yang dapat dimanfaatkan oleh peternak antara lain : lahan
sawah, padang penggembalaan, lahan perkebunan, dan hutan rakyat, dengan tingkat
kepadatan tergantung pada keragaman dan intensitas tanaman, ketersediaan air dan
jenis sapi potong yang dipelihara. Luasnya lahan sawah, kebun, dan hutan tersebut
memungkinkan pengembangan pola integrasi ternak-tanaman yang merupakan
proses saling menunjang dan menguntungkan, melalui pemanfaatan tenaga sapi
untuk mengolah tanah dan kotoran sapi sebagai pupuk organik. Sementara lahan
sawah dan lahan tanaman pangan menghasilkan jerami padi dan hasil sampingan
tanaman yang dapat diolah sebagai makanan sapi, sedangkan kebun dan hutan
memberikan sumbangan berupa rumput alam dan jenis tanaman lain. Pemanfaatan
pola integrasi diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan pakan ternak sepanjang
tahun, sehingga dapat meningkatkan prduksi dan produktivitas ternak (Riady, 2004).
Evaluasi lahan merupakan suatu cara proses dalam menduga kelas kesesuaian
lahan dan potensi lahan untuk penggunaan tertentu, baik untuk pertanian maupun
non pertanian. Kelas kesesuaian lahan suatu wilayah untuk suatu pengembangan
pertanian pada dasarnya ditentukan oleh kecocokan antara sifat lingkungan yang
mencakup iklim, tanah, terrain yang mencakup lereng, topografi, batuan
dipermukaan bumi dan didalam penampang tanah serta singkapan batuan, hidrologi
dan persyaratan penggunaan lajan atau persyaratan tumbuh tanaman (Djaenudin et
al., 2003).
Menurut Sitorus (1998), pada dasarnya evaluasi sumberdaya lahan
membutuhkan keterangan-keterangan dari tiga aspek utama yaitu lahan, penggunaan
14 sumberdaya alam, termasuk survei tanah. Keterangan-keterangan tentang
syarat-syarat atau kebutuhan ekologik dan tekhnik dari berbagai jenis penggunaan lahan
diperoleh dari keterangan–keterangan agronomis, kehutanan, dan displin ilmu lainnya yang terkait.
Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001), evaluasi lahan merupakan
proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan tertentu. Hasil evaluasi lahan
digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar untuk perencanaan tata guna tanah
rasional, sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari. Dalam evaluasi
lahan terdapat dua macam pendekatan, yaitu pendekatan dua tahap dan pendekatan
paralel. Pada pendekatan dua tahap, tahap pertama merupakan evaluasi lahan secara
kualitatif. Setelah tahap pertama selesai dan hasilnya disajikan dalam bentuk laporan,
maka tahap kedua analisis sosial ekonomi dapat dilakukan segera atau beberapa
waktu kemudian. Sedangkan pada pendekatan paralel, analisis sosial ekonomi
terhadap penggunaan lahan yang direncanakan dilakukan bersamaan dengan analisis
sifat-sifat fisik dan lingkungan dari lahan tersebut. Hasil dari pendekatan ini biasanya
memberi petunjuk mengenai modifikasi penggunaan lahan untuk mendapatkan hasil
yang sebaik-baiknya.
Persyaratan penggunaan lahan yang diperlukan bagi tiap-tiap komoditi
dijadikan dasar dalam menyusun kriteria kelas kesesuaian lahan, yang dikaitkan
dengan kualitas dan karakteristik lahan. Jika tiga kelas yang dipakai dalam ordo
Sesuai (S) dan dua kelas yang dipakai dalam ordo tidak sesuai (N), maka
pembagiannya adalah : (1) kelas S1 yaitu sangat sesuai, lahan tidak mempunyai
pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai
pembatas yang secara tidak nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan
menaikkan masukan yang telah biasa diberikan, (2) kelas S2 yang cukup sesuai,
lahan yang mempunyai pembatas agak besar untuk mempertahankan tingkat
pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi dan
keuntungan atau lebih meningkatkan masukan yang diperlukan, (3) kelas N1 yaitu
tidak sesuai saat ini, lahan ini mempunyai pembatas yang lebih besar, tetapi masih
memungkinkan diatasi, tetapi tidak diperbaiki dengan tingkat pengelolaan dengan
modal normal. Keadaan pembatas sedemikian besarnya, sehingga mencegah
15 untuk selamanya, lahan yang mempunyai pembatas permanen yang mencegah segala
kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang (Djaenudin et al.
16 MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Pati, Kabupaten Pati pada 7 November – 30 November 2010. Penentuan daerah penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan daerah tersebut merupakan daerah dengan jumlah
kepala keluarga terbanyak dan mempunyai potensi penyediaan hijauan di Pati.
Materi Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah kamera.
Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini kuisioner dan data sekunder.
Metode Prosedur
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dengan
menggunakan kuisioner yang ditujukan pada 15 peternak sapi potong yang diambil
dari empat desa di Kecamatan Pati, sehingga total 60 responden atau peternak. Data
yang dipergunakan dalam penelitian kali ini bersumber dari data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh dari survei lapang dan wawancara langsung dengan
peternak sapi potong sebagai responden yang diambil dari empat desa di kecamatan
Pati dengan menggunakan daftar kuisioner. Pengambilan empat desa tersebut
didasarkan pada data jumlah kepala keluarga. Data tersebut diperoleh dari data
sekunder. Sedangkan untuk data sekunder diperoleh dari Dinas Pertanian dan
Peternakan Kabupaten Pati dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Pati.
Data yang dikumpulkan meliputi data populasi ternak sapi potong, jumlah
penduduk, luas lahan garapan, serta data-data lain yang mendukung dalam penelitian.
Analisis Data Analisis Deskriptif
Analisis ini digunakan untuk menggambarkan keadaan umum di lokasi
penelitian dan menganalisa pola penyediaan hijauan makanan ternak yang dapat
17 Analisis Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR)
Menurut Soewardi (1985), metode Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak
Ruminansia (KPPTR) merupakan suatu pendekatan untuk menunjukkan kapasitas
wilayah dalam penyediaan hijauan makanan ternak. Metode tersebut didasarkan atas
dua sumberdaya, yaitu lahan dan tenaga kerja. Persamaan yang digunakan adalah
sebagai berikut :
a) Potensi Maksimum berdasarkan Sumberdaya Lahan (PMSL)
PMSL = a LG + b PR + c R
PMSL : Potensi Maksimum Sumberdaya Lahan(ST)
a : Koefisien kapasitas tampung lahan garapan sebesar 0,8 ST/ha
LG : Lahan garapan tanaman pangan (ha)
b : koefisien kapasitas tampung padang rumput sebesar 0,5 ST/ha
PR : Luas padang rumput
c : koefisien kapasitas tampung rawa sebesar 1,2 ST/ha
R : Luas rawa (ha)
b) Potensi Maksimum berdasarkan Kepala Keluarga Petani (PMKK)
PMKK = d KK
PMKK : Potensi Maksimum (ST) berdasarkan Kepala Keluarga
18 POPRIL : Populasi Riil ternak Ruminansia (ST)
e) Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia Efektif ditentukan dengan
melihat kendala yang paling besar :
KPPTR (SL) Efektif jika dan hanya jika KPPTR (SL) < KPPTR (KK) dan
19 HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Kabupaten Pati
Kabupaten Pati merupakan salah satu dari 35 daerah kabupaten/kota di Jawa Tengah, terletak diantara 110˚ 50` - 111˚ 15` Bujur Timur dan 6˚ 25` - 7˚ 00` Lintang Selatan. Secara administratif Kabupaten Pati memiliki luas wilayah meliputi 150.368
ha terdiri dari 21 kecamatan, 401 desa, 5 kelurahan, 1.106 dukuh serta 1.474 RW dari
7.524 RT. Adapun batas-batasnya wilayah Kabupaten Pati antara lain :
Sebelah Utara : Laut Jawa dan Wilayah Kabupaten Jepara
Sebelah Timur : Kabupaten Pati dan Laut Jawa
Sebelah Selatan : Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Blora
Sebelah Barat : Kabupaten Kudus dan Jepara
Kabupaten Pati memiliki iklim dengan rata-rata curah hujan ditahun 2010
sebanyak 1002 mm dengan 51 hari hujan, untuk keadaan hujan cukup, sedangkan
temperatur terendah 23˚C dan tertinggi 39˚C. Berdasarkan curah hujan wilayah di Kabupaten Pati terbagi atas berbagai tipe iklim (oldeman).
Keadaan Umum Kecamatan Pati
Luas wilayah Kabupaten Pati seluas 150.368 ha yang terdiri 58.782 lahan
sawah dan 91.585 lahan bukan sawah. Kecamatan Pati merupakan salah satu
kecamatan yang ada di Kabupaten Pati, dan merupakan Kota Kabupaten bagi
Kabupaten Pati. Kecamatan Pati yang terletak di pusat Kabupaten Pati, dan tepatnya
terletak di 0 Km dari kota Pati menjadikan Kecamatan Pati sebagai pusat kegiatan
dari Kabupaten Pati, sebab pusat pemerintahan Kabupaten Pati berada di Kecamatan
Pati. Secara administratif Kecamatan Pati berbatasan dengan:
Sebelah utara : Kecamatan Wedarijaksa
Sebelah timur : Kecamatan Juwana
Sebelah selatan : Kecamatan Gabus
Sebelah barat : Kecamatan Margorejo
Kecamatan Pati merupakan Kecamatan yang berada dilingkup Kabupaten
Pati. Usaha peternakan merupakan salah satu usaha sampingan yang dilakukan oleh
kebanyakan penduduk di daerah tersebut selain bertani. Jenis ternak yang dipelihara
20 Tabel 1. Keadaan Umum Wilayah Penelitian
Keadaaan Lokasi Penelitian Keterangan
Luas Wilayah (km2) 4,249
Jumlah Penduduk (jiwa) 107.998
Kepadatan Penduduk (jiwa/km 2) 25.417
Ketinggian tempat (m/dpl) 5-23
Jenis Iklim Tropika basah
Sumber : BPS Kabupaten Pati (2009)
Luas wilayah Kecamatan Pati adalah seluas 4.249 ha (pembulatan) atau
kurang lebih 42,49 km2 yang terdiri dari 2.588 ha lahan sawah dan 1.691 ha lahan
bukan sawah. Kepadatan penduduk 25.417 jiwa/km2, dengan ketinggian wilayah
5-23 m dpl dan mempunyai iklim tropika basah (BPS Kab. Pati, 2009). Kecamatan Pati
memiliki 29 desa, presentase terbesar yaitu di Desa Ngepungrojo dengan presentase
7,84% dari luas keseluruhan Kecamatan Pati atau seluas 333,187 ha, yang terluas
berikutnya yaitu Desa Sidokerto dengan luas 301,8 ha atau sebesar 7,1% dari luas
Kecamatan Pati. Sedangkan desa yang paling sempit adalah Desa Pati Wetan yang
hanya memiliki luas 26,667 ha atau sebesar 0,63% dari luas keseluruhan Kecamatan
Pati, desa Pati Wetan ini berada di bawah Desa Parenggan yang luasnya mempunyai
selisih yang sedikit dengan Desa Pati Wetan yang luasnya 0,68% dari luas
Kecamatan Pati atau seluas 26,85 ha.
Penggunaan Lahan
Suatu wilayah akan mempergunakan lahan yang dimilikinya dengan
sebaik-baiknya, agar setiap lahan yang ada pada wilayah tersebut dapat dimanfaatkan
dengan optimal untuk kesejahteraan masyarakatnya. Penggunaan lahan yang sesuai
kebutuhan akan memberikan manfaat dan tata ruang yang nyaman bagi masyarakat,
sebaliknya apabila penggunaan lahan tidak berimbang maka akan menjadi tata ruang
yang tidak teratur. Lahan merupakan sumberdaya alam fisik yang mempunyai
peranan penting dalam kehidupan manusia diantaranya digunakan sebagai tempat
tinggal, melakukan kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan,
perkebunan, dan sebagainya. Akan tetapi fungsi lahan terus mengalami pergeseran
dari lahan pertanian menjadi non-pertanian sehingga sumber ketersediaan hijauan
21 perkebunan, dan hutan, tetapi HMT sebagai sumber hijauan pakan dapat ditanam di
tepi jalan dan tegalan. Kekurangan dan ketidakkontinyuan penyediaan pakan
menurut Nitis (1993) dapat diatasi dengan meningkatkan penggunaan tanah-tanah
kosong di batas pekarangan, tepi jalan, pematang sawah, dan tegalan.
Tabel 2. Luas Penggunaan Lahan
Jenis Lahan Kecamatan Pati
Luas (ha) Persentase (%)
Sawah 2558 60,2
Tegalan atau perladangan 87 2.05
Perkebunan - 0
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Pati (2009)
Penggunaan lahan di Kecamatan Pati pada tahun 2010 dibagi menjadi 2 (dua)
yaitu lahan sawah dan lahan bukan sawah. Luas wilayah Kecamatan Pati secara
keseluruhan adalah seluas 4.249 ha. Lahan sawah di Kecamatan Pati seluas 2.558 ha
sedangkan sisanya adalah lahan bukan sawah seluas 1.691 ha. Lahan sawah di
Kecamatan Pati lebih luas daripada lahan bukan sawahnya, hal ini dikarenakan
pertanian merupakan penggunaan lahan yang utama di Kecamatan Pati (BPS
Kecamatan Pati 2009). Menurut Saefulhakim dan Nasoetion (1995) penggunaan
lahan merupakan suatu proses yang dinamis, perubahan terus menerus sebagai hasil
dari perubahan pada pola dan besarnya aktivitas manusia sepanjang waktu.
Karakteristik Peternak
Menurut Simamora (2004) karakteristik seseorang mempengaruhi cara dan
kemampuan yang berbeda dalam bentuk persepsi, informasi apa yang diinginkan,
bagaimana mengintrepretasikan informasi tersebut. Hasil pengukuran karakteristik
peternak di Kecamatan Pati dibedakan berdasarkan umur, pengalaman beternak, jenis
22 Umur Peternak
Berdasarkan Gambar 2. umur para peternak di Kecamatan Pati sebagian besar
berusia produktif (15-64) yaitu 93,33 %, sedangkan peternak yang berusia
nonproduktif yaitu 6,67 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa tenaga kerja di
Kecamatan Pati memiliki potensial dalam pengembangan sektor pertanian terutama
subsektor peternakan karena sebagian besar peternaknya dalam usia produktif. Usia
produktif menunjukkan kemampuan dan kemauan yang lebih dibandingkan dengan
peternak yang berusia nonproduktif dalam hal penyediaan hijauan makanan ternak
dengan jangkauan lebih luas, merawat, dan menjaga kebutuhan harian ternak.
Menurut Padmowiharjo (1994), makin muda usia peternak biasanya
mempunyai semangat ingin tahu yang makin besar terhadap hal-hal yang baru
sehingga kesan mereka lebih cepat atau responsif dalam pembaharuan. Umur bukan
merupakan faktor psikologis, tetapi adalah apa yang diakibatkan oleh umur adalah
faktor psikologis.
Gambar 2. Presentase Jumlah Responden Kecamatan Pati Berdasarkan Umur Tahun 2010
Pengalaman Beternak
Pengalaman beternak ruminansia di Kecamatan Pati sebagian besar lebih dari
10 tahun yaitu 58,33 %. Menurut Soehardjo dan Patong (1973), pengalaman beternak
mempengaruhi pengolahan usaha tani dimana petani yang lebih tua memiliki banyak
pengalaman dan kapasitas pengolahan usaha tani yang lebih matang.
Umumnya para peternak di Kecamatan Pati telah mengetahui tentang cara
beternak yang diperoleh dari keluarga secara turun temurun. Pengalaman beternak
yang lama menandakan peternak sudah memiliki pengalaman yang cukup baik
23 seperti menanam hijauan pakan di lahan sendiri, mempergunakan pakan tambahan,
dan menjaga kesehatan ternak.
Gambar 3. Presentase Jumlah Responden Kecamatan Pati Berdasarkan Pengalaman Beternak Tahun 2010
Jenis Pekerjaan
Usaha ternak ruminansia besar di Kecamatan Pati merupakan usaha
sampingan. Berdasarkan Gambar 4. sebagian besar 46,67 % responden memiliki
pekerjaan sebagai petani selain beternak sapi potong di rumah. Jumlah paling sedikit
ialah pedagang dan pensiunan dengan 1,67 % dan yang menjadi PNS sebesar 3,33 %.
Lainnya merupakan presentase terbesar kedua, tetapi yang termasuk dalam lainnya
seperti tukang becak, kuli bangunan, tukang tambal ban, penjahit, dan sebagainya
yang terdapat pada data yang diperoleh. Pengelompokan jenis pekerjaan lainnya
didasarkan karena jenis pekerjaan tersebut tidak termasuk dalam jenis pekerjaan
yang terdapat pada Gambar 4.
Sebagian besar pekerjaan peternak sebagai petani, menunjukkan bahwa para
peternak memanfaatkan lahan pertanian untuk menanam hijauan pakan dan limbah
pertanian untuk pakan ternak sapi potong. Beternak di Kecamatan Pati merupakan
usaha sampingan yang dilakukan peternak untuk membantu menambah biaya hidup
yang sebagian besar merupakan peternakan rakyat dengan modal kecil.
24 Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan di Kecamatan Pati pada Gambar 5. sebagian besar tingkat
SD dengan 48,3 % dikuti oleh SMA dengan 20 %, SMP sebesar 16,7 %, dan tidak
sekolah dengan 15 %, sedangkan untuk perguruan tinggi tidak ada. Hal ini
menunjukkan bahwa pendidikan peternak di Kecamatan Pati masih kurang. Tingkat
keterampilan dan pengetahuan peternak dalam hal penyediaan hijauan pakan masih
rendah seperti halnya mengenai penyimpanan hijauan pakan yang hanya dimasukkan
dalam karung dan disimpan di samping kandang. Hal ini dapat disebabkan karena
masih rendahnya tingkat pendidikan peternak dan jarang adanya penyuluh
peternakan di Kecamatan Pati.
Keterampilan dan pengetahuan dapat diperoleh peternak melalui pendidikan
formal dan non-formal. Pendidikan formal merupakan ilmu yang diperoleh dari
bangku sekolahan (SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi). Adapun pendidikan
non-formal dapat dilakukan oleh peternak sebagai usaha untuk menambah wawasan,
pengalaman, keterampilan, dan pengetahuan yaitu dengan seminar-seminar, kursus,
dan pelatihan.
Gambar 5. Presentase Jumlah Responden Kecamatan Pati Berdasarkan Pendidikan Tahun 2010
Kepemilikan ternak
Jumlah ternak yang dimiliki oleh peternak yang dinyatakan dalam satuan
ternak (ST). Pemilikan ternak dapat dikategorikan menjadi dua yaitu skala kecil dan
skala besar. Menurut Karyadi (2008), menunjukkan bahwa peternak memiliki jumlah
ternak sedikit karena usaha yang dijalankan masih dalam skala kecil dan hanya
bersifat sampingan. Usaha peternakan sapi potong di Kecamatan Pati masih bersifat
sampingan karena termasuk dalam peternakan rakyat dengan tiap peternak memiliki
25 memiliki 4-6 ekor sebesar 10 %, dan yang paling sedikit memiliki lebih dari 6 ekor
sebesar 5 %. Peternak yang memiliki lebih dari 6 ekor ialah peternak yang berasal
dari Desa Panjunan yang memiliki 34 ekor karena peternak tersebut memiliki limbah
agroindustri sendiri, kebun rumput sendiri yang lebih banyak daripada peternak yang
lain.
Gambar 6. Presentase Jumlah Responden Kecamatan Pati Berdasarkan Kepemilikan Ternak Tahun 2010
Tenaga Kerja
Tenaga kerja peternak di Kecamatan Pati hampir semuanya menggunakan
tenaga kerja keluarga yang sebagian besar laki-laki (93,33%) dan sisanya tenaga
kerja perempuan (6.67%). Setiap tenaga kerja asal keluarga memiliki tanggung
jawab masing-masing yaitu membersihkan kandang, menyediakan hijauan, dan
memberikan pakan dan minum pada ternak. Tenaga kerja perempuan hanya sebatas
dalam pemberian pakan, sedangkan pengadaan pakan setiap harinya dan
pembersihan kandangnya dilakukan oleh anak laki-laki dan laki-laki dewasa, hal ini
sesuai dengan pernyataan Soewardi dan Suryahadi (1988), bahwa di Indonesia
tenaga kerja keluarga merupakan andalan utama pemenuhan tenaga kerja dalam
pemeliharaan ternak yang sifatnya tradisional, dan tidak dinilai dengan uang,
meskipun usaha tani dapat sekali-kali membayar tenaga kerja tambahan untuk
pemeliharaan ternak. Anggota keluarga yang aktif bekerja pada usaha tani tergantung
dari banyaknya anggota keluarga yang sudah dewasa dan banyaknya laki-laki dalam
26 Gambar 7. Presentase Jumlah Responden Kecamatan Pati Berdasarkan Tenaga Kerja Tahun 2010
Jenis Hijauan
Cara penyediaan pakan secara cut and carry membatasi ternak dalam
memilih pakan. Pola penyediaan HMT dilihat dari jenis pakan yang diberikan pada
ternak oleh setiap peternak berbeda-beda, tetapi jenis pakan pokoknya adalah
hijauan. Hijauan makanan ternak (HMT) yang diberikan pada ternak sapi potong
dibagi dua macam yaitu rumput (graminae) dan kacang-kacangan (leguminosae).
Tabel 3. Penggunaan Jenis Hijauan dan Limbah Pertanian
Jenis hijauan
Jumlah pemakai
(peternak) Persentase (%)
Rumput Lapang 41 68,33
Rumput Gajah 41 68,33
Jerami Padi 32 53,33
Daun Tebu 10 16,66
Kulit Singkong 5 8,33
R. Setaria 1 1,67
Jerami Kacang Hijau 1 1,67
Bonggol Pisang 1 1,67
Bonggol Jagung 1 1,67
Jenis pakan yang disediakan oleh peternak di Kecamatan Pati antara lain
hijauan dan konsentrat serta ada yang menggunakan hijauan saja. Konsentrat
diberikan sesuai dengan ketersediaan dan harga. Konsentrat yang digunakan yaitu
dedak dan menggunakan limbah pertanian berupa kulit singkong, dan ampas tahu,
27 konsentrat hampir tidak atau sangat jarang diberikan. Hal tersebut disebabkan karena
bagi peternak harganya masih tergolong mahal dan konsentrat juga susah didapatkan
di Kecamatan Pati. Selain itu kepedulian peternak terhadap pentingnya penyediaan
pakan yang bernutrisi bagi sapi potong di Kecamatan Pati masih terbatas.
Data pada Tabel 3 menunjukkan jenis hijauan yang paling banyak dan paling
sering digunakan oleh peternak yaitu rumput lapang dan rumput gajah dengan
presentase 68,33 %. Para peternak menggunakan HMT tersebut karena
ketersediaannya yang melimpah dan mudah diperoleh. Ada juga jenis hijauan yang
jarang digunakan seperti rumput setaria, kulit ketela, jerami kacang hijau, daun tebu,
bonggol jagung, dan bonggol pisang. Jenis hijauan tersebut jarang digunakan karena
ketersediaannya yang kurang. Penambahan garam di pakan juga diberikan sebagai
suplemen mineral dan meningkat palatabilitas. Dari berbagai jenis HMT tersebut,
terdapat jumlah persentase dan jumlah pemakai atau peternak. Jumlah peternak dan
jumlah persentase tersebut merupakan hasil dari jumlah responden peternak sapi
potong yang berjumlah 60 peternak di Kecamatan Pati yang menggunakan jenis
hijauan makanan ternak tersebut.
Tingkat ketersediaan hijauan makanan ternak pada suatu wilayah merupakan
salah satu faktor yang sangat penting serta turut mempengaruhi dinamika populasi
dalam keberhasilan pengembangan ternak khususnya ternak herbivora. Menurut
Natasasmita dan Murdikdjo (1980), dalam memperhitungkan potensi suatu wilayah
untuk mengembangkan ternak secara teknis, perlu dilihat populasi ternak yang ada di
wilayah tersebut dihubungkan dengan potensial untuk menghasilkan hijauan
makanan ternak yang diperhitungkan, antara lain: lahan pertanian, perkebunan,
padang pengembalaan, dan sebagian kehutanan.
Pola Penyediaan Hijauan
Sistem pemeliharaan ternak secara intensif dengan pola penyediaan HMT
lebih bagus untuk Kecamatan Pati karena masyarakat di Kecamatan Pati menguasai
cara pengolahan lahan-lahan kritis dan memanfaatkan pinggiran lahan yang masih
kosong kemungkinan besar dapat memenuhi penyediaan hijauan pakan dan
mendukung usaha peternakan di daerah tersebut. Soewardi (1985) menyatakan
peningkatan produksi pakan ternak dapat dilakukan melalui manipulasi pola
28 Kecamatan Pati tersebut dilakukan adanya pergantian tanaman di sawah ketika
musim berganti. Musim hujan sawah digunakan untuk menanam padi dan ketika
musim kemarau ditanami jagung, rumput gajah, ketela.
Sistem pemeliharaan secara intensif memiliki keuntungan selain bisa
mengontrol kondisi ternak, juga bisa memanfaatkan feses sebagai pupuk kandang.
Penyediaan hijauan makanan ternak (HMT) dengan sistem intensif dilakukan secara
cut and carry (mengarit) yaitu cara penyediaan pakan dengan cara dipotong dan
diangkut. Para peternak biasanya mengangkut hijauan pakan dengan gerobak kecil,
sepeda, atau dengan menggunakan pikulan berjalan kaki hingga rumah. Penyediaan
HMT dengan sistem cut and carry di Kecamatan Pati tersebut dilakukan peternak
pada pagi hingga sore. Peternak biasanya memberi pakan terlebih dahulu sebelum
berangkat ke sawah. Sebelum mereka pulang ke rumah, mereka mencari pakan
terlebih dahulu untuk pakan ternak besok pagi. Frekuensi pemberian pakan tanpa ada
batasan atau ad libitum karena para peternak di Kecamatan Pati tersebut menganggap
bahwa ternak apabila diberi pakan terus menerus akan cepat tumbuh besar.
(a) Rumput Gajah (b) Tebu
Gambar 8. Jenis Hijauan Pakan di Kecamatan Pati
Sistem pemeliharaan secara intensif memerlukan kandang yang baik.
Perkandangan di Kecamatan Pati ini umumnya masih sederhana. Kandang umumnya
beratapkan genting dengan dinding bambu atau kayu. Para peternak membuat
kandang dengan seadanya karena peternak menjalankan usaha ternak umumnya
hanya bersifat sampingan dengan modal yang kecil bersifat non industri dan
29
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 9. Perkandangan Sapi Potong di Kecamatan Pati
Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia
Penentuan analisis Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia
(KPPTR) di Kecamatan Pati menggunakan data primer dan sekunder. Hasil
penghitungan KPPTR di Kecamatan Pati disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia
Uraian Desa Kecamatan
Pati Kutoharjo Ngepungrojo Panjunan Sidokerto
PMSL (ST) 140 210 109,9 155,169 2116
PMKK (ST) 8661 4236 2841 3426 5484
POP RIIL (ST) 166 494 46 42 1553
KPPTR SL
(ST) -26 -284 64 113 563
KPPTR KK
(ST) 8495 3742 2795 3384 3931
30 Data pada Tabel 4 memperlihatkan data KPPTR empat desa dan Kecamatan
Pati. Berdasarkan data yang diperoleh, pada Desa Kutoharjo dapat dihitung potensi
maksimum berdasarkan sumberdaya lahan sebesar 140 ST. Potensi maksimum
berdasarkan kepala keluarga sebesar 8.661 ST, sedangkan populasi riil sebesar 166
ST. Berdasarkan Tabel 4. Hasil perhitungan Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak
Ruminansia (KPPTR) sumberdaya lahan di Desa Kutoharjo adalah -26 ST. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa daerah tersebut tidak dapat menampung ternak
ruminansia lagi atau kelebihan ternak ruminansia sebesar 26 ST. Hasil KPPTR
berdasarkan kepala keluarga adalah 8.495 ST. Hal yang mempengaruhi hasil negatif
KPPTR di daerah ini ialah kurangnya luas ladang atau tegalan, luas sawah, dan
jumlah penduduk yang padat.
Desa Ngepungrojo mempunyai potensi maksimum berdasarkan sumberdaya
lahan sebesar 210 ST. Potensi maksimum berdasarkan kepala keluarga sebesar 4.236
ST, sedangkan populasi riil sebesar 494 ST. Hasil perhitungan Kapasitas
Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) sumberdaya lahan di Desa
Ngepungrojo adalah -284 ST. Hasil tersebut menunjukkan bahwa daerah tersebut
tidak dapat menampung ternak ruminansia lagi atau kelebihan ternak ruminansia
sebesar 284 ST. Hasil KPPTR berdasarkan kepala keluarga adalah 3.742 ST. Hal
yang mempengaruhi hasil negatif KPPTR di daerah ini ialah kurangnya luas ladang
atau tegalan, luas sawah, kurangnya padang rumput, jumlah populasi ternak yang
padat, dan kekeringan yang menyebabkan tumbuhan tidak bisa tumbuh dengan baik.
Desa Panjunan memiliki potensi maksimum berdasarkan sumberdaya lahan
sebesar 109,9 ST. Potensi maksimum berdasarkan kepala keluarga sebesar 2.841 ST,
sedangkan populasi riil sebesar 46 ST. Berdasarkan perhitungan Kapasitas
Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) sumberdaya lahan di Desa
Panjunan adalah 64 ST. Hasil tersebut menunjukkan bahwa daerah tersebut masih
mempunyai potensi menampung ternak ruminansia lagi sebesar 64 ST. Hasil KPPTR
berdasarkan kepala keluarga adalah 2.795 ST. Desa Panjunan memiliki populasi
yang sedikit dan ketersediaan hijauan pakan yang dapat memenuhi kebutuhan pakan
ternak sehingga tidak perlu menambah atau mengambil hijauan dari desa lain
31 Desa Sidokerto mempunyai potensi maksimum berdasarkan sumberdaya
lahan sebesar 155,169 ST. Potensi maksimum berdasarkan kepala keluarga sebesar
3.426 ST, sedangkan populasi riil sebesar 42 ST. Hasil perhitungan Kapasitas
Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) sumberdaya lahan di Desa
Sidokerto adalah 113 ST. Hasil tersebut menunjukkan bahwa daerah tersebut masih
mempunyai potensi menampung ternak ruminansia lagi sebesar 113 ST. Hasil
KPPTR berdasarkan kepala keluarga adalah 3.384 ST. Desa Sidokerto memiliki
ketersediaan hijauan pakan yang berlebih untuk kebutuhan pakan ternak dan jumlah
populasi ternaknya lebih sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa di daerah ini masih
mempunyai potensi untuk menambah ternak.
Berdasarkan data yang diperoleh, secara pada Kecamatan Pati dapat dihitung
potensi maksimum berdasarkan sumberdaya lahan sebesar 2.116 ST. Potensi
maksimum berdasarkan kepala keluarga sebesar 5484 ST, sedangkan populasi riil
sebesar 1.553 ST. Berdasarkan Tabel 4. Hasil perhitungan Kapasitas Peningkatan
Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) sumberdaya lahan di Kecamatan Pati adalah
563 ST. Hasil tersebut menunjukkan bahwa daerah tersebut masih mempunyai
potensi menampung ternak ruminansia lagi sebesar 563 ST. Hasil KPPTR
berdasarkan kepala keluarga adalah 3.931 ST. KPPTR Efektif pada Kecamatan Pati
adalah 563 ST.
Hal yang mempengaruhi perbedaan hasil KPPTR antar desa ialah jumlah
populasi ternak ruminansia, jumlah peternak, luas sawah, luas tegalan, rawa, dan
padang rumput yang berbeda. Hal ini sesuai dengan Prasetyastuti (1985) bahwa
lahan yang potensial untuk pengembangan peternakan ruminansia potong adalah
lahan garapan tanaman pangan (sawah, tanah tegalan dan ladang), lahan padang