• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eceng Gondok Pengganti Hijauan pada Kelinci...Monika Ria Sari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Eceng Gondok Pengganti Hijauan pada Kelinci...Monika Ria Sari"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

DETEKSI LOGAM BERAT PADA DAGING KELINCI YANG DIBERI BERBAGAI TINGKAT PENGGUNAAN ECENG GONDOK (Eichhornia crassipes) DALAM

SILASE RANSUM

DETECTION OF HEAVY METALS ON MEAT RABBITS GIVEN VARIOUS LEVELS OF USE OF WATER HYACINTH (Eichhornia crassipes) IN SILAGE

RATION

Monika Ria Sari*, Husmy Yurmiati, Benito A. Kurnani Universitas Padjadjaran

*Alumni Fakultas Peternakan Unpad Tahun 2015 e-mail : monica_apriladiva@yahoo.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap kandungan logam berat plumbum (Pb) dan kadmium (Cd) dalam daging kelinci Peranakan New Zealand White, dan mengetahui besarnya kandungan logam berat Pb dan Cd dalam daging kelinci tersebut. Penelitian dilaksanakan pada Juni sampai Agustus 2014 di Rabbit Ranch, Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 6 kali ulangan. Perlakuan terdiri atas tiga ransum yang berbeda tingkat penggunaan eceng gondok yaitu 0%, 20%, dan 40% dari jumlah hijauan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan Pb dalam daging kelinci tidak terdeteksi, sedangkan kandungan Cd pada masing-masing perlakuan yaitu : R0 (0%) 0,0558 ppm, R1(20%) 0,0623 ppm, dan R2(40%) 0,0427 ppm. Namun, kandungan Pb dan Cd dalam daging kelinci yang diberi eceng gondok masih berada di bawah ambang batas dan layak untuk dikonsumsi manusia.

Kata Kunci: eceng gondok, silase ransum, daging kelinci, plumbum (Pb), kadmium(Cd)

ABSTRACT

This research was aimed to know the effect of treatments on heavy metal plumbum (Pb) and cadmium (Cd) contents in rabbit meat of New Zealand White bred, and to know the concentration of heavy metal Pb and Cd in the rabbit meat. Research was conducted from June to August 2014 in the Rabbit Ranch, Faculty of Animal Husbandry Universitas Padjadjaran. The experiment used Complitely Randomized Design (RAL) with 3 treatments and 6 repetitions. The treatments consisted of three rations with different water hyacinth content, i.e 0%, 20%, and 40% of the amount of forage. The results show that Pb content in meat rabbit is not detected, while the Cd content of the treatments are as follows: R0 (0%) 0,0558 ppm, R1(20%) 0,0623 ppm, and R2(40%) 0,0427 ppm. However, the content of Pb and Cd in meat of rabbits fed with water hyacinth is still below the thershold and suitable for human consumption.

(2)

PENDAHULUAN

Peternakan merupakan suatu usaha budidaya ternak yang bertujuan untuk memperoleh hasil dari ternak tersebut demi kepentingan manusia. Pada usaha peternakan terdapat tiga pilar utama yakni bibit, manajemen dan pakan ternak. Pemilihan bibit yang baik serta manajemen yang terstruktur dapat meningkatkan produksi dan keuntungan usaha. Begitu juga halnya dengan pakan ternak yang memberikan peranan sekitar 70% total biaya produksi, sehingga peternak perlu memperhatikan pakan yang baik sesuai dengan kebutuhan ternak, baik dari kandungan gizi, bermutu baik dan cukup jumlahnya yang nantinya ternak mampu berproduksi optimal dan efisien.

Peningkatan populasi ternak mengakibatkan konsumsi pakan ternak meningkat pula, namun tidak ditunjang dengan ketersediaan pakan yang melimpah. Oleh sebab itu, mengakibatkan terjadinya pengambilan pakan ternak dari pangan manusia, sehingga persaingan antara manusia dan ternak pun terjadi. Padahal dalam pemilihan bahan pakan terdapat beberapa persyaratan diantaranya yakni tidak bersaing penggunaannya dengan manusia, bahan mudah didapat, murah harganya, tidak beracun dan mengandung zat pakan yang sesuai dengan tujuan beternak. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan pengadaan pakan alternatif, bahan pakan yang saat ini memiliki sifat pertumbuhan yang sangat cepat dan mampu menutup permukaan air yang sangat luas dalam waktu singkat sehingga dikategorikan sebagai gulma bagi dunia pertanian yaitu eceng gondok (Eichhornia crassipes).

Eceng gondok merupakan tanaman air yang pertumbuhannya sangat cepat sehingga tanaman ini dianggap sebagai tanaman pengganggu (gulma) bagi masyarakat. Eceng gondok juga penyumbang terjadinya proses pendangkalan pada lingkungan perairan seperti danau dan sungai, dikarenakan akar dapat mengumpulkan lumpur sehingga lumpur yang melekat di antara bulu-bulu akar membuat dasar perairan naik. Proses pendangkalan mengakibatkan debit air berkurang maka menjadi ancaman bagi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) serta eceng gondok yang menyangkut pada generator/turbin akan membuat pergerakan turbin terganggu.

Eceng gondok dimanfaatkan sebagai bahan pakan dikarenakan memiliki kadar protein kasar cukup tinggi yaitu 11,2%. Namun, terdapat kelemahan eceng gondok sebagai bahan pakan yakni memiliki kadar air tinggi, bertekstur halus, banyak mengandung hemiselulosa, terkandung zat berbahaya (logam berat) dan serat kasar yang terlalu tinggi membuat eceng gondok sulit dicerna. Untuk mengatasi kelemahan eceng gondok sebagai bahan pakan perlu diadakan pengolahan terlebih dahulu baik pengolahan secara fisik, kimia, biologi maupun

(3)

kombinasinya. Salah satu pengolahan secara biologi adalah dengan melakukan pembuatan silase.

Silase dilakukan sebagai cara alternatif yang sengaja disimpan dan diawetkan dengan proses fermentasi dengan tujuan agar kandungan nutrisi yang ada pada pakan tersebut tidak hilang atau dapat dipertahankan dan tahan lama, sehingga dapat diberikan kepada ternak pada masa kekurangan pakan ternak. Hasil silase tersebut diharapkan dapat memenuhi kebutuhan ternak khususnya kelinci. Kelinci peranakan New Zealand White merupakan kelinci ras. Keunggulan dari kelinci ini adalah pertumbuhannya yang cepat serta sangat populer pada industri daging komersial di beberapa negara berkembang, dikarenakan memungkinkan sebagai penghasil daging untuk pemenuhan protein hewani manusia.

Eceng gondok selain hidup di air bersih juga dapat hidup di air kotor. Kondisi air kotor yang dimaksud adalah air tercemar oleh limbah industri, limbah rumah tangga, dan lain-lain. Eceng gondok dapat menyerap dan mengakumulasi berbagai jenis logam berat dari perairan yang tercemar dan dapat pula melokalisasi logam pada bagian akar dan jaringan (batang dan daun). Penyerapan terbesar ada pada bagian akar bila dibandingkan dengan bagian jaringan dikarenakan akar berfungsi untuk mengisap atau menyerap sehingga penggunaannya dibatasi hanya pada bagian daun dan batang saja. Logam berat yang diteliti yakni Plumbum (Pb) dan Kadmium (Cd), logam ini merupakan logam yang berbahaya apabila diserap oleh tubuh karena logam berat yang berada di dalam tubuh tidak dapat dicerna sehingga terakumulasi dan bersifat racun. Logam tersebut biasa digunakan dalam proses operasional industri kimia, Pb dimanfaatkan untuk pembuatan aki, baterai serta melapisi logam lain untuk mencegah terjadinya korosif, dan Cd terdapat pada industri baterai, pemurnian Zn, pestisida, serta bahan cat warna dan tekstil. Eceng gondok yang tercemar bila dimanfaatkan sebagai pakan kelinci dapat mengakibatkan penimbunan logam berat pada kelinci tersebut khususnya pada daging. Daging sangat diminati untuk dikonsumsi masyarakat, sehingga keberadaan logam pada daging yang dikonsumsi dapat berdampak negatif terhadap manusia apabila kandungan logam berat pada daging kelinci melewati ambang batas sesuai dengan yang ditetapkan Standar Nasional Indonesia (2009).

Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Deteksi Logam Berat Pada Daging Kelinci Yang Diberi Berbagai Tingkat Penggunaan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) Dalam Silase Ransum”.

(4)

BAHAN DAN METODE

Ternak percobaan menggunakan ternak kelinci Peranakan New Zealand White jantan yang sudah lepas sapih sebanyak 18 ekor, umur 2-3 bulan, dengan rata-rata bobot badan 750 gram, dengan koefisien variasi sebesar 8,86 persen.

Bahan pakan yang digunakan terdiri atas konsentrat (tepung jagung, bungkil kedelai, bungkil kelapa, dedak halus, molases, topmix, dan dikalsium phospat) dan hijauan (rumput dan eceng gondok), kemudian bahan pakan di campur lalu di silase selama 21 hari. Ransum percobaan yang digunakan terdiri atas tiga perlakuan ransum dengan tingkat penggunaan eceng gondok R0 (0%), R1 (20%), dan R2 (40%) dari jumlah hijauan.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) terdiri atas tiga perlakuan dan enam ulangan, sehingga didapat 18 unit percobaan. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam, dan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan uji Duncan.

Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah residu logam berat Plumbum (Pb) dan Kadmium (Cd) yang terdapat pada daging mentah hasil pemeliharaan kelinci yang telah diberi eceng gondok dalam silase ransum, diukur dengan metode Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Plumbum (Pb) pada Daging Kelinci

Hasil rata-rata kandungan logam berat Plumbum (Pb) pada berbagai sumber dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata Kandungan Plumbum (Pb) Pada Berbagai Sumber

Sumber Rata-rata Pb

(ppm)

Eceng Gondok Batang tt

Daun 0,54 Rumput Lapang 3,66 Silase R0 0,1302 R1 0,1032 R2 0,0706 Daging R0 tt R1 tt R2 tt Ginjal R0 1,2065 R1 0,9579 R2 0,5786

(5)

Kandungan Pb pada silase ransum kontrol (R0) lebih besar dibandingkan ransum perlakuan (R1 dan R2), karena adanya rumput lapang yang telah terkontaminasi logam Pb bahkan lebih banyak daripada eceng gondok. Rumput lapang yang digunakan berasal dari kebun rumput KSPTP (Kelompok Studi Profesi Ternak Potong) Jatinangor yang tanahnya diduga telah terkontaminasi logam berat. Jenis tanah di daerah Jatinangor yaitu tanah vulkanik, tanah ini mengandung zat hara dan logam berat sehingga tanah yang terkontaminasi logam berat bila digunakan sebagai media tanam membuat tanaman terkontaminasi pula.

Kandungan Plumbum (Pb) yang tidak terdeteksi pada daging, hal ini dikarenakan keberadaan asam fitat yang terkandung dalam bahan baku penyusun ransum. Di dalam ransum penelitian terdapat konsentrat yang mengandung asam fitat yaitu dedak padi, jagung, dan bungkil kedelai. Namun, kandungan fitat pada dedak padi termasuk paling tinggi dibandingkan bahan pakan lainnya yaitu mengandung sebesar 6,9% (Sumiati, 2005). Asam fitat menyediakan inositol dan fosfat bagi ternak, tetapi asam fitat menjadi anti nutrisi karena dapat mengikat mineral esensial dan protein yang dibutuhkan oleh ternak dalam metabolisme tubuh. Fosfor dan mineral-mineral lain dalam kompleks fitat dapat digunakan apabila grup fosfat didegradasi oleh enzim fitase, sehingga ketersediaan fosfor bagi tubuh ternak meningkat. Pada kelinci, enzim fitase diproduksi oleh mikroflora dalam caecum (Marounek, dkk. 2009; de Blas and Julian. 2010).

Kemampuan asam fitat mengikat (chelating agent) mineral, sehingga dapat menurunkan penyerapan logam berat yang bersifat racun bagi tubuh. Sejauh ini, telah dilakukan penelitian asam fitat yang berikatan dengan Seng (Zn) dan Kalsium (Ca) untuk menurunkan Pb. Penelitian Hernaman (2006), mengenai absorpsi Pb dengan penambahan Zn-fitat pada ransum ternyata mengakibatkan Pb terbuang. Hal ini terjadi karena adanya kompetisi untuk mengikat asam fitat. Ketika Zn berikatan dengan fitat tetapi pada ransum terdapat Pb, maka Zn akan terlepas dari ikatan fitat sehingga fitat akan berikatan dengan Pb. Ikatan Pb dengan fitat merupakan ikatan paling kuat dibandingkan mineral Zn dan Ca, sehingga mengakibatkan Zn terlepas yang kemudian diserap oleh tubuh ternak. Prioritas fitat dalam mengikat logam ditentukan oleh kekuatan presipitasi ion masing-masing logam, sehingga ion logam dengan daya ikat lebih kuat akan mengikat fitat dan dapat melepaskan ikatan logam dari ion logam

(6)

yang lemah. Kompleksasi antara asam fitat dan beberapa mineral menunjukkan kekuatan terikat sebagai berikut: Pb2+ >Zn2+ >Cu2+ >Ca2+ >Mg2+ (Chan, 1988; Hernaman, dkk. 2011). Kompleks Pb-fitat yang tidak larut selanjutnya dibawa keluar bersamaan dengan feses.

Akumulasi Pb pada jaringan tubuh dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut, antara lain (1) umur, semakin tua ternak maka kandungan Pb semakin tinggi, (2) jenis jaringan tubuh, berdasarkan urutan kandungan Pb dalam jaringan dari yang paling tinggi adalah: hati, ginjal, rumen, usus, daging (Biceps femoris dan Longissimus dorsi) (Arifin, dkk. 2005). Oleh karena itu, akumulasi Pb pada semua perlakuan tidak terdeteksi karena kelinci yang diteliti berumur 2 sampai 3 bulan, relatif masih muda dan daging berada pada urutan terakhir yang mengabsorpsi Pb dan memerlukan proses yang panjang dalam mendeposisikan Pb pada daging. Plumbum (Pb) pada daging kelinci tidak terdeteksi karena daging bukan sebagai organ akumulasi logam berat, hal ini didukung oleh pernyataan Karadede (2004) dalam Sihombing (2014) menyatakan daging bukan jaringan aktif dalam mengakumulasi logam berat. Akumulasi logam berat terbesar ada pada organ dalam seperti hati dan ginjal, hal ini dibuktikan dengan adanya logam Pb pada ginjal untuk setiap perlakuan.

Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Kadmium (Cd) pada Daging Kelinci

Hasil rata-rata kandungan logam berat Kadmium (Cd) pada berbagai sumber dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata Kandungan Kadmium (Cd) pada Berbagai Sumber

Sumber Rata-rata Cd

(ppm)

Eceng Gondok Batang 2,56

Daun 0,15 Rumput Lapang 0,12 Silase R0 0,0237 R1 0,0162 R2 0,0065 Daging R0 0,0558 R1 0,0623 R2 0,0427 Ginjal R0 1,5893 R1 0,0781 R2 0,0161

(7)

ransum perlakuan dan adanya peran asam fitat dalam mengikat logam berat, sehingga terjadi proses pengikatan logam terhadap asam fitat. Kekuatan logam Pb dalam mengikat asam fitat membuat Pb terbuang melalui feses, namun logam Cd masih terdeteksi karena tidak berikatan dengan asam fitat. Kandungan Cd pada ginjal kelinci lebih besar daripada daging yang ditunjukkan pada tabel 8, karena kurang lebih 50% dari total Cd yang masuk ke dalam tubuh terakumulasi pada organ hati dan ginjal (Darmono, 1995).

Tabel 3. Kandungan Kadmium (Cd) pada Daging Kelinci Sampel Perlakuan RO R1 R2 ……….(ppm)... 1 0.0679 0.0799 0.0576 2 0.0649 0.0520 0.0373 3 0.0347 0.0503 0.0333 4 0.0534 0.0669 0.0431 5 0.0624 0.0685 0.0311 6 0.0517 0.0561 0.0541 Total 0.3349 0.3737 0.2564 Rataan 0.0558 0.0623 0.0427

Keterangan : Hasil analisis laboratorium Uji-FTIP (2014)

Tabel 3. menunjukkan bahwa deteksi logam berat Kadmium (Cd) pada daging kelinci ternyata positif mengandung Cd dengan rata-rata kandungan Cd tertinggi sampai terendah berturut-turut dicapai pada perlakuan R1 yaitu sebesar 0,0623 ppm, R0 sebesar 0,0558 ppm, dan R2 sebesar 0,0427 ppm.

Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap kandungan logam berat Cd,dilakukan analisis statistik dengan sidik ragam. Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan pemberian silase ransum komplit yang mengandung eceng gondok pada kelinci peranakan New Zealand White memberikan pengaruh yang berbeda nyata (Fhit > 0,05) terhadap kandungan Cd pada daging kelinci.

Tabel 4. Hasil Uji Duncan terhadap Kandungan Cd pada Daging Kelinci

Perlakuan Rata-rata (ppm) Signifikansi 0,05 R1 0.0623 a R0 0.0558 ab R2 0.0427 b

Keterangan: Huruf yang berbeda dalam kolom signifikasi menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda nyata.

(8)

New Zealand White perlakuan R1 dan R0 memberikan pengaruh yang sama terhadap respon. R0 dan R2 juga memberikan pengaruh yang sama terhadap respon, akan tetapi R1 memberikan pengaruh yang berbeda dibandingkan R2. Perlakuan R1 nyata memberikan residu Cd lebih tinggi dibanding dengan perlakuan lainnya. Perlakuan R0 nyata lebih tinggi dibanding dengan perlakuan R2. Rata-rata kadar Cd pada R2 lebih rendah karena berdasarkan hasil analisis laboratorium logam berat pada silase ransum komplit untuk R2 lebih rendah dibandingkan R1 dan R0.

Asam fitat dapat mengikat Cd dan membawanya ke luar tubuh melalui feses, tetapi pada penelitian ini masih terdapat kandungan logam Cd pada daging. Hal ini diakibatkan oleh keberadaan Pb, logam dengan massa atom lebih besar memiliki kekuatan presipitasi lebih besar terhadap pengikatan asam fitat. Pb memiliki massa atom lebih besar dibandingkan mineral Cd, sehingga pengikatan Pb oleh asam fitat lebih dahulu dari logam yang bermassa atom dibawahnya seperti : Cd, Zn, Cu, Ca, dan Mg.

Kelinci yang mengkonsumsi ransum yang telah terkontaminasi logam berat (Pb dan Cd) maka akan mengakibatkan daging kelinci terkontaminasi logam tersebut. Semakin banyak kelinci mengkonsumsi ransum yang terkontaminasi logam berat maka semakin banyak pula residu yang terdeteksi pada daging kelinci. Hal ini terbukti, residu R1 lebih tinggi karena konsumsi ransum pada perlakuan R1 lebih tinggi dibandingkan R2 dan R0 yaitu sebanyak 205,82 gram; 192,15 gram; 148,09 gram. R1 yang banyak dikonsumsi mengakibatkan Cd lebih banyak diserap sehingga R1 paling tinggi residu Cd. Meskipun konsumsi ransum R0 lebih sedikit dibandingkan R2, namun kadar Cd silase paling tinggi pada R0 (0,0237 ppm) sedangkan R2 (0,0065 ppm) sehingga R0 lebih tinggi residu Cd dibandingkan R2.

Pemeliharaan kelinci peranakan New Zealand White yang diberi eceng gondok dalam silase ransum komplit yang telah terkontaminasi logam berat selama 45 hari memberikan pengaruh terhadap kandungan logam Cd pada daging kelinci, namun kadar residunya masih dibawah ambang batas yang telah ditetapkan SNI 7387:2009 yaitu 0,3 ppm. Diduga karena faktor lamanya dan seringnya pemaparan oleh logam berat yang masih terlalu singkat (45 hari). Sesuai dengan pendapat Wardhayani (2006), toksisitas logam berat tergantung dari besarnya dosis, konsentrasi, lamanya dan seringnya pemaparan, juga cara masuk dalam tubuh. Kadmium tidak terdapat pada jaringan otot karena logam berat masuk ke tubuh melalui usus lalu masuk ke dalam darah, jadi daging yang terdeteksi logam berat kemungkinan karena keberadaan darah yang terperangkap di dalam jaringan tersebut dan memberikan kontribusi terhadap residu Cd di dalamnya. Meskipun kandungan Cd masih di bawah ambang batas jika

(9)

dikonsumsi secara terus-menerus dalam jangka waktu cukup lama maka dapat terakumulasi dalam tubuh yang cukup besar dan dapat melebihi batas ambang maksimum, sehingga dapat menyebabkan keracunan pada tubuh. Berdasarkan hasil analisis laboratorium logam berat Cd pada sampel daging kelinci bisa dikatakan 100% masih aman untuk dikonsumsi manusia.

KESIMPULAN DAN SARAN

Pemberian berbagai tingkat penggunaan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) dalam silase ransum pada daging kelinci kandungan Pb tidak terdeteksi tetapi memberikan pengaruh nyata terhadap kandungan logam kadmium (Cd). Kandungan residu logam berat Cd berturut-turut yaitu: R0 (0%) 0,0558 ppm, R1(20%) 0,0623 ppm, dan R2(40%) 0,0427 ppm, kandungan Pb dan Cd masih berada dibawah ambang batas sehingga daging kelinci masih layak dikonsumsi oleh manusia. Perlu penelitian lebih lanjut dalam feses dan urin agar diketahui besar kandungan logam Pb dan Cd yang terbuang.

UCAPAN TERIMAKASIH

Rasa terimakasih penulis sampaikan kepada para pembimbing yang telah meluangkan waktu, bimbingan, dorongan, dan memberikan pengarahan kepada penulis, serta terimakasih pula kepada orang tua, keluarga, teman dan semua pihak yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, M., E. Subagio, E. Rianto, E. Purbowati, A. Purnomoadi, dan B. Dwiloka. 2005. Residu Logam Berat pada Sapi Potong yang Dipelihara di TPA Jatibarang, Kota Semarang Pasca Proses Eliminasi Selama 90 Hari. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor

De Blas, Carlos and Julian Wiseman. 2010. Nutrition of the Rabbit, 2nd Edition. CABI Publishing. New York.

Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Hernaman, Iman. 2006. Peranan Zn-Fitat Dalam Menyediakan Zn dan Pengaruhnya terhadap Absorpsi Pb Ransum Pada Domba. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

., Toto Toharmat, Wasmen Manalu, Putut, I. Pudjiono. 2011. Performan Domba yang Diberi Ransum Mengandung Zn-Fitat dan Pb-Asetat. Jurnal Ilmu Ternak. No.10, Vol.1, Hlm 57-60.

Sihombing, Edy T. S., Yusni Ikhwan Siregar. Syahril Nedi. 2014. Kandungan Logam berat Pb, Cu, dan Zn dalam Sistem Organ Ikan Parang (Chirocentrus dorab) dan Ikan

(10)

Biang (Setipinna paxtoni) di Selat Air Hitam Kabupaten Meranti, Provinsi Riau. Jurnal. Vol 2, No 1. Universitas Riau. Riau.

Sumiati. 2005. Rasio Molar Asam Fitat: Zn untuk Menentukan Suplementasi Zn dan Enzym Phytase dalam Ransum Berkadar Asam Fitat Tinggi. Disertasi. Sekolah Pascasarjarna, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Wardhayani, Sutji. 2006. Analisis Risiko Pencemaran Bahan Toksik Timbal (Pb) pada Sapi Potong di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Jatibarang Semarang. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang.

Gambar

Tabel 1. Rata-rata Kandungan Plumbum (Pb) Pada Berbagai Sumber
Tabel 2. Rata-rata Kandungan Kadmium (Cd) pada Berbagai Sumber

Referensi

Dokumen terkait

- Terdiri dari 60 soal yang akan dikerjakan perorangan dalam waktu 60 menit - Dilarang bekerjasama dengan teman satu tim maupun peserta lainnya - Apabila jawaban benar

Oleh karena nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel pada tingkat signifikan 5%, maka dapat disimpulkan bahwa kedua rasio keuangan ini mampu membedakan kedua kelommpok

Sebagai kelanjutan dari proses pengumuman ini, pemenang sebagaimana tersebut di atas akan. ditunjuk sebagai pelaksana pekerjaan dengan surat Pengadaan oleh

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia yang dilimpahkan-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini

Berlandaskan beberapa permasalahan yang dihadapi, pengembangan model pembe- lajaran yang akan dilaksanakan dibatasi pada model pembelajaran mata kuliah Teknik

Pada pemeriksaan RT-PCR untuk deteksi virus Dengue-3 pada nyamuk yang diin- feksi secara intrathorakal, terdapat variasi dalam volume RNA virus yang digunakan dan juga

Character education in schools to be effective because, (a) the basic values of the characters from the culture of the school, family and society, (b) the character education

kolase dan mozaik relatif sama walaupun dengan pola yang berbeda. Sedangkan ketika anak dituntut rapi saat menggunakan lem juga dapat. berguna untuk semua