• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA A. JAGUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA A. JAGUNG"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. JAGUNG

Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang cukup penting selain gandum dan padi. Jagung pertama kali dibudidayakan di Meksiko Tengah atau Meksiko Selatan. Budidaya jagung kemungkinan dimulai pada era penyebaran Agama Kristen dan ditemukan pada saat Columbus menemukan Benua Amerika (Wolfe dan Kipps, 1959). Tanaman ini pertama kali dibawa oleh Bangsa Portugis dan Spanyol ke Indonesia sekitar empat ratus tahun lalu (Suprapto dan Rasyid, 1998).

Susunan tubuh atau morfologi tanaman jagung terdiri dari akar, batang, daun, bunga, dan biji. Menurut Suprapto dan Rasyid (1998), sistem perakaran jagung merupakan akar serabut yang menyebar ke samping dan ke bawah sepanjang sekitar 25 cm. Batang jagung berwarna hijau sampai keunguan, berbentuk bulat dengan penampang melintang 2-2,5 cm. Tinggi tanaman bervariasi antara 125-250 cm. Batang jagung memiliki struktur berbuku-buku yang dibatasi oleh ruas-ruas. Daun jagung berada pada setiap ruas batang dengan kedudukan berlawanan antara satu dan yang lainnya. Daun ini terdiri atas pelepah daun dan helaian daun. Bunga jagung tergolong jenis berumah satu atau monoecious, dengan letak bunga jantan terpisah dari bunga betina. Bunga jantan berada pada ujung tanaman atau malai, sedangkan bunga betina berada pada ketiak daun atau tongkol.

Biji jagung terdiri dari lapisan perikarp (5%), endosperm (82%) dan lembaga (12%) serta bagian pangkal (1%). Perikarp merupakan lapisan paling luar dari biji. Perikarp menempel pada lapisan eleuron. Perikarp berkontribusi sekitar 5-6% dari berat kering biji. Perikarp terdiri dari sel-sel selulosa. Perikarp mempunyai ketebalan 25-140 µm. Berat kering perikarp kurang dari 2% total berat biji (Sugiyono, 2002).

Endosperm mengandung pati 86-89% dan beratnya sekitar 82-84% dari berat kering biji. Endosperm berpati terdiri dari dua tipe yaitu endosperm bertepung (floury endosperm) dan endosperm bertanduk (horny endosperm).

(2)

Endosperm bertepung berwarna putih dan terdapat pada bagian tengah biji dekat dengan lembaga. Endosperm bertanduk mengandung matrik ptotein yang lebih tebal sehingga teksturnya keras (Sugiyono, 2002).

Gambar 1. Struktur biji jagung (Johnson, 1991)

Lembaga mempunyai kontribusi 8-10% berat biji. Lembaga merupakan sumber nutrisi dan hormon yang akan diaktifkan oleh enzim-enzim selama perkecambahan atau germinasi (Sugiyono, 2002). Struktur biji jagung dapat dilihat pada Gambar 1 sedangkan komposisinya (Watson, 2003) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi biji jagung

No. Bagian anatomi Jumlah (%)

1. Pericarp (bran) 5,3

2. Endosperm 82,9

3. Lembaga (germ) 11,1

(3)

Komposisi kimia jagung bervariasi tergantung jenis varietas, cara tanam, iklim, dan tingkat kematangan. Masing-masing bagian biji jagung memiliki komposisi kimia yang berbeda (Rukmana, 2001). Komposisi kimia biji jagung menurut Sugiyono (2002) dapat dilihat pada Tabel 2, sedangkan komposisi kimia dari bagian-bagian biji jagung menurut Johnson (1991) dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 2. Komposisi kimia biji jagung

No. Komponen Kisaran Rata-rata

1. Kadar air (% bb) 7-23 16,0 2. Pati (% bk) 61-78 71,7 3. Protein (% bk) 6-12 9,5 4. Lemak (%bk) 3,1-5,7 4,3 5. Abu (% bk) 1,1-3,9 1,4 6. Pentosan (% bk) 5,8-6,6 6,2 7. Serat (NDF, % bk) 8,3-11,9 9,5

8. Selulosa + lignin (ADF, % bk) 3,3-4,3 3,3 9. Gula total sebagai glukosa (% bk) 1,0-3,0 2,6

10. Karotenoid total (mg/kg) 5-40 30

Tabel 3. Komposisi kimia dari bagian-bagian biji jagung Jumlah (%)

No. Komponen

Pati Protein Lemak Serat Lain-lain

1. Endosperma 86,4 8,0 0,8 3,2 0,4

2. Lembaga 8,0 18,4 33,2 14,0 26,4

3. Kulit 7,3 3,7 1,0 83,6 4,4

4. Tip cap 5,3 9,1 3,8 77,7 4,1

Protein terbanyak dalam jagung adalah zein dan glutelin. Zein diekstrak dari gluten jagung. Zein merupakan prolamin yang tak larut dalam air. Ketidaklarutan dalam air disebabkan adanya asam amino hidrofobik seperti leusin, prolin, dan alanin. Ketidaklarutan dalam air juga disebabkan tingginya proporsi dari sisi rantai grup hidrokarbon dan tingginya persentase grup amida yang ada dengan jumlah grup asam karboksilat bebas yang relatif rendah (Johnson, 1991). Selain dua protein utama tersebut, protein jagung juga mengandung protein sitoplasma yang berperan dalam metabolisme aktif. Protein tersebut yaitu albumin, globulin, dan beberapa enzim. Protein ini merupakan protein yang larut air atau larutan garam. Protein yang termasuk

(4)

dalam kelompok ini antara lain nukleoprotein, glikoprotein, protein membran, dan lain-lain (Lasztity, 1986).

Berbeda dengan gandum, jagung tidak memiliki gluten yang bersifat khas dalam pembuatan mi dan roti. Sifat khas ini berasal dari komponen asam-asam amino penyusun protein tersebut. Ketiadaan gluten menyebabkan produk mi jagung diproduksi dengan proses tambahan dari metode produksi mi gandum, yaitu adanya proses pemasakan untuk memodifikasi pati (pregelatinisasi) dan pemberian tekanan. Asam-asam amino yang terdapat pada jagung dan gandum (Buckle et al., 2007) dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kandungan asam amino pada jagung dan gandum (mg/g Nitrogen total)

Asam Amino Jagung Gandum

Isoleusin 230 204 Leusin 783 417 Lisin 167 179 Metionin 120 94 Sistin 97 159 Fenilalanin 305 282 Tirosin 239 187 Treonin 225 183 Valin 303 276 Arginin 262 288 Histidin 170 143 Alanin 471 226 Asam aspartat 392 308 Asam glutamat 1184 1866 Glisin 231 245 Prolin 559 621 Serin 311 281

(5)

B. MI BASAH JAGUNG

Astawan (1999) menyatakan bahwa hampir seluruh dunia mengenal produk mi, walaupun nama, bentuk, bahan penyusun, dan cara pembuatannya berbeda-beda. Mi diklasifikasikan menjadi empat jenis, yaitu mi segar atau mi mentah, mi kering, mi basah, dan mi instan. Mi segar atau mi mentah adalah mi yang tidak mengalami proses tambahan setelah pemotongan. Mi kering adalah mi segar yang telah dikeringkan hingga kadar airnya mencapai 8-10%. Mi basah adalah jenis mi yang mengalami proses perebusan setelah tahap pemotongan dan sebelum dipasarkan. Mi instan umumnya dikenal sebagai ramen dan dibuat dengan penambahan beberapa proses setelah diperoleh mi segar, yaitu pengukusan, pembentukan, dan pengeringan.

Di Indonesia, banyak makanan daerah yang menggunakan bahan baku mi, seperti soto mi (Bogor), taoge goreng (Jawa Barat), mi celor (Palembang), dan mi juhi (Jakarta). Jenis makanan lain yang terbuat dari mi seperti mi goreng, mi pangsit, mi ayam, ifu mi, dan lo mi. Agar asupan gizi yang diperoleh dari sebungkus mi lebih baik, dalam penyajian sebaiknya ditambahkan bahan-bahan lain untuk meningkatkan mutu gizinya. Bahan yang umum ditambahkan seperti telur, ayam, bakso, udang, ikan, dan tempe untuk meningkatkan kadar protein serta sayuran (wortel, tomat, sawi, mentimun, dan lain-lain) untuk meningkatkan kadar vitamin, mineral, dan serat (Astawan, 1999).

Badan Standarisasi Nasional (1992) mendefinisikan mi basah sebagai produk pangan yang terbuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan yang diizinkan, berbentuk khas mi yang tidak dikeringkan. Kadar air mi basah dapat mencapai 52% sehingga daya tahan simpannya relatif singkat, yaitu sekitar 40 jam pada suhu kamar (Astawan, 1999). Syarat mutu mi basah menurut SNI-01-2987-1992 dapat dilihat pada Tabel 5.

(6)

Tabel 5. Syarat mutu mi basah

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1. Keadaan : 1.1 Bau 1.2 Rasa 1.3 Warna - Normal 2. Kadar air % b/b 20-35

3. Kadar abu (dihitung atas dasar bahan kering)

% b/b Maks. 3 4. Kadar protein (Nx6,25)

dihitung atas dasar bahan kering

% b/b Min. 3

5. Bahan tambahan pangan : 5.1 Boraks dan asam borat 5.2 Pewarna

5.3 Formalin

- Tidak boleh ada sesuai SNI-0222-M dan peraturan MenKes. No.722/Men.Kes/Per/IX/88 6. Cemaran logam : 6.1 Timbal (pb) 6.2 Tembaga (Cu) 6.3 Seng (Zn) 6.4 Raksa (Hg) mg/kg Maks. 1,0 Maks. 10,0 Maks. 40,0 Maks. 0,05

7. Arsen (As) mg/kg Maks. 0,05

8. Cemaran mikroba : 8.1 Angka Lempeng Total 8.2 E.coli 8.3 Kapang koloni/g APM/g koloni/g Maks. 1,0 x 106 Maks. 10 Maks. 1,0 x 104

Hatorangan (2007) menyebutkan bahwa berbagai teknik pembuatan mi jagung telah dikembangkan dan secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (1) teknik pembuatan mi jagung dengan calendering dan slitting atau modifikasi teknik mi terigu (Budiyah, 2004), (2) teknik pembuatan mi jagung dengan ekstrusi piston atau ram (Subarna et al., 1999), (3) teknik pembuatan mi dengan sistem ekstrusi ulir (Waniska et al., 2000). Ketiga teknik pembuatan mi tersebut melalui tahap pemasakan terlebih dahulu.

Teknik pembuatan mi dengan ekstrusi ulir lebih efektif daripada dengan ekstrusi piston atau ram. Hal ini disebabkan teknik ekstrusi ulir merupakan sistem kontinyu, sedangkan teknik pembuatan mi dengan ekstrusi piston merupakan sistem batch. Kelebihannya adalah efisiensi waktu produksi, keseragaman produk yang dihasilkan, dan volume produksi yang dicapai dalam waktu tertentu lebih besar (Hatorangan, 2007).

(7)

Menurut Rianto (2006), tepung jagung tidak memiliki protein gluten seperti halnya terigu yang mampu membentuk adonan yang lengket dan elastis dengan penambahan air. Oleh karena itu, dalam proses pembuatan mi basah dari tepung jagung diperlukan proses pengukusan untuk membentuk massa adonan yang lunak, kohesif, elastis, tapi tidak lengket sehingga adonan dapat dicetak dalam bentuk lembaran mi.

Fadlillah (2005) menyatakan bahwa mi jagung yang berwarna kuning merupakan keunggulan mi jagung dibandingkan dengan mi terigu mengingat tidak diperlukan lagi bahan tambahan pangan berupa pewarna untuk menghasilkan mi yang berwarna kuning. Warna kuning pada mi jagung disebabkan oleh pigmen xantofil yang terdapat pada biji jagung. Xantofil termasuk dalam pigmen karotenoid yang memiliki gugus hidroksil (Winarno, 1997).

Rianto (2006) menambahkan bahwa warna kuning pada mi basah jagung merupakan karakteristik khas yang dapat meningkatkan nilai tambah mi basah jagung. Keunikan mi basah jagung akan lebih bermanfaat bila penggunaannya disesuaikan dengan segmentasi tertentu. Sebagai contoh, warna mi basah jagung yang kuning dapat menambah daya tarik makanan tradisional seperti mi bakso.

C. EKSTRUSI

Ekstrusi adalah suatu proses membentuk suatu bahan dengan tekanan dan melalui pencetak khusus, yang seringkali bahan tersebut mengalami pemanasan terlebih dahulu. Proses ekstrusi dapat dijelaskan sebagai proses pemasakan dan pengadonan bahan pangan yang mengandung pati dan protein menjadi adonan yang viskos dan plastis. Panas yang digunakan dalam proses pemasakan tersebut dapat berasal dari injeksi uap (secara langsung), dari jaket pemanas (secara tidak langsung), dan berasal dari energi mekanik yang timbul dari gesekan adonan selama proses ekstrusi. Adanya aliran adonan selama proses ekstrusi disebabkan pengaruh tekanan shear yang tergantung pada kecepatan gerakannya dan viskositas bahan. Pada bahan pangan, sifat

(8)

alirannya mengikuti prinsip non-newtonian karena mengandung senyawa-senyawa biopolimer seperti pati dan protein (Harper, 1981).

Alat untuk melakukan proses ekstrusi disebut ekstruder. Salah satu keuntungan penggunaan ekstruder adalah kemampuannya memodifikasi protein nabati, pati, dan bahan pangan lainnya untuk menghasilkan berbagai jenis produk pangan baru (Harper, 1981). Ekstruder terdiri dari berbagai bentuk, namun yang paling sederhana adalah ekstruder tipe piston atau ram. Dalam proses pembuatan mi, ekstruder ulir memiliki kelebihan dibandingkan ekstruder piston karena sistemnya yang kontinyu (Waniska et al., 2000).

Hatorangan (2007) menyatakan bahwa selama proses ekstrusi berlangsung terjadi perubahan-perubahan sifat bahan baku, terutama pada karbohidrat dan protein. Beberapa perubahan yang dimaksud antara lain perubahan fisiko-kimia, nilai gizi, dan nilai organoleptiknya. Perubahan struktur akibat pengolahan secara ekstrusi dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti suhu, kadar air, amilosa, dan lemak dalam butiran pati.

Pada pengolahan produk-produk ekstrusi sering dilakukan penambahan pati dalam bentuk tepung, baik itu pati segar maupun pati yang telah mengalami berbagai modifikasi. Pati mempunyai peranan penting bagi produk-produk ekstrusi karena berpengaruh pada tekstur dan daya awetnya. Pengaruh itu terutama disebabkan rasio antara amilosa dan amilopektin dalam pati. Produk ekstrusi yang berasal dari pati-patian dengan kandungan amilopektin tinggi akan bersifat ringan, porus, garing, dan renyah. Sedangkan pati dengan kandungan amilosa yang tinggi, seperti yang berasal dari umbi-umbian, cenderung menghasilkan produk yang keras dan pejal karena proses pengembangan yang terbatas (Muchtadi et al., 1988).

D. PREFERENSI KONSUMEN

Konsumen menurut Kotler (2005) merupakan individu atau kelompok yang berusaha untuk memenuhi atau mendapatkan barang dan jasa untuk kebutuhan pribadi atau kelompoknya. Menurut Nicholson (1995), hubungan preferensi biasanya diasumsikan memiliki tiga sifat dasar, yaitu kelengkapan (completeness), transivitas (transitivity), dan berkelanjutan (continuity).

(9)

Sifat kelengkapan (completeness) memberikan asumsi bahwa setiap orang selalu dapat menentukan pilihan dengan dua alternatif. Sebagai contoh, jika A dan B merupakan dua kondisi, maka setiap orang harus selalu bisa menentukan salah satu dari tiga hal. Pertama, A lebih disukai daripada B. Kedua, B lebih disukai daripada A. Ketiga, A dan B sama-sama disukai.

Sifat transivitas (transitivity) memberikan asumsi bahwa seseorang yang membandingkan beberapa kondisi yang saling berhubungan akan menunjukkan sikap yang sesuai dan konsisten. Sebagai contoh, jika seseorang mengatakan bahwa ia lebih menyukai A daripada B dan lebih menyukai B daripada C, maka ia harus lebih menyukai A daripada C.

Sifat berkelanjutan (continuity) memiliki asumsi dasar yang hampir sama dengan sifat transivitas, bahwa kesesuaian dan konsistensi sikap seseorang akan terjaga pada saat membandingkan dua kondisi pada situasi yang berbeda. Sebagai contoh, jika seseorang mengatakan A lebih disukai daripada B, maka kondisi lain yang serupa dengan A lebih disukai daripada B (Nicholson, 1995).

Cardello (1994) menyatakan bahwa pada dasarnya pangan dapat disebut sebagai stimulus sensori, yaitu karakteristik fisiko-kimia yang ditentukan oleh variabel komposisi¸ proses, dan penyimpanannya. Namun seiring dengan berkembangnya wilayah kajian ilmu dan teknologi pangan, diketahui bahwa karakteristik fisiko-kimia pangan dapat berinteraksi dengan indra manusia dan membentuk pengalaman mengenai penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan lain sebagainya. Berbagai teori dan kajian lebih lanjut dari hal ini adalah lahirnya bidang ilmu baru yang disebut psiko-fisika yang melatarbelakangi lahirnya istilah preferensi pangan. Preferensi pangan adalah derajat kesukaan terhadap makanan yang akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan. Conner (1994) menyatakan bahwa sebagian besar konsumen mengetahui dan mampu menyatakan rasa suka dan tidak suka terhadap suatu produk pangan tertentu, meskipun terkadang mereka kesulitan untuk mengutarakan alasannya.

Menurut Stepherd dan Spark (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi pangan dapat dikelompokkan menjadi tujuh, yaitu faktor intrinsik,

(10)

faktor ekstrinsik, faktor biologis, fisik, dan psikologis, faktor personal, faktor sosial dan ekonomi, faktor pendidikan, serta faktor kultur, agama, dan daerah. Faktor intrinsik merupakan faktor yang bersumber dari dalam produk yang meliputi penampakan, aroma, temperatur, tekstur, kualitas, kuantitas, dan cara penyajian pangan. Faktor ekstrinsik meliputi lingkungan sosial, iklan produk, dan waktu penyajian. Faktor biologis, fisik, dan psikologis meliputi umur, jenis kelamin, keadaan psikis, aspek psikologi dan biologis. Faktor personal meliputi tingkat pendugaan, pengaruh dari orang lain, prioritas, selera, mood, dan emosi. Faktor sosial dan ekonomi meliputi pendapatan keluarga, harga pangan, status sosial, dan keamanan. Faktor pendidikan meliputi status pengetahuan individu dan keluarga serta pengetahuan tentang gizi. Terakhir, faktor kultur, agama, dan daerah meliputi asal kultur, latar belakang agama, kepercayaan, tradisi, serta letak daerah.

Shepherd dan Sparks (1994) menjelaskan bahwa preferensi pangan, sebagaimana banyak karakter rumit manusia lainnya, akan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang saling berhubungan. Cardello (1994) menyebutkan bahwa tekstur dan flavor merupakan faktor utama disukai atau tidak disukainya makanan. Namun, preferensi pangan tetap dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan seseorang (Stepherd dan Spark, 1994). Conner (1994) menyatakan bahwa penilaian terhadap atribut sensori dapat dipengaruhi oleh promosi dan informasi dampak kesehatan dari produk pangan yang bersangkutan.

Gambar

Gambar 1. Struktur biji jagung (Johnson, 1991)
Tabel 4. Kandungan asam amino pada jagung dan gandum (mg/g Nitrogen total)
Tabel 5. Syarat mutu mi basah

Referensi

Dokumen terkait

Sudah tak mungkin mencari pedagang cendol yang tidak berkenan cendolnya diborong Pak Kyai di pagi hari, karena takut mengecewakan calon pembelinya di siang hari

1. Tahap analisis yang terdiri dari beberapa analisis yang dilakukan di antaranya, 1) analisis kebutuhan, yaitu dengan melakukan wawancara, analisis terhadap KI-KD, hasil

Mendapatkan penilaian dari para responden mengnai faktor-faktor strategis internal maupun eksternal mengenai peningkatan pelayanan pelanggan yaitu dengan cara

Dari analisi diatas dapat disimpulkan bahwa praktek jual beli buah melon dengan sisitem tebas yang dilakukan masyarakat Desa Buluagung Kecamatan Siliragung

Jika petani terus menggunakan pupuk secara berlebihan, maka jumlah kebutuhan pupuk yang disediakan oleh pemerintah akan mengalami kekurangan sehingga petani

Pada saat proses ini sutradara merupakan orang utama yang mempunyai tanggung jawab pada saat proses produksi.Selain sutradara, kameramen juga berperan penting pada saat

Pada kegiatan pendahuluan seperti yang nampak pada tabel tersebut menunjukkan bahwa ketiga guru PAI yang mengajar di kelas XI mengawali pembelajaran dengan melakukan apersepsi

Pemerintah sebenarnya sudah mensosialisasikan kampanye untuk melindungi populasi Elang Jawa dengan memanfaatkan media sosial sebagai pengantar pesannya, hanya saja