• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh : Lili Naili Hidayah 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oleh : Lili Naili Hidayah 1"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PENGADAAN TANAH UNTUK INVESTASI DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG INVESTASI

DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA

Oleh : Lili Naili Hidayah1

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis pengadaan tanah untuk investasi dalam perspektif Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Investasi dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang menitik beratkan penelitian terhadap data kepustakaan dengan menelusuri asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum positif dan pendapat para ahli yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan cara penelusuran literatur dan peraturan perundang-undangan melalui studi kepustakaan untuk memperoleh bahan hukum, yang terdiri dari : bahan hukum primer, yakni peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek penelitian ini; bahan-bahan hukum sekunder, yakni literatur hukum, dan hasil-hasil penelitian terutama yang berkaitan dengan pengadaan tanah dan investasi; dan bahan hukum tersier, antara lain index dibidang hukum kamus hukum, dan kamus bahasa Indonesia. Sesuai dengan bentuk dan sifat data, maka analisis dilakukan dengan menggunakan teknik analisis kualitatif. Data disajikan dalam bentuk deskripsi. Hasil penelitian adalah pengadaan tanah dalam perspektif Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal lebih cenderung memihak kepentingan investor yang terbukti dengan adanya indikasi monopoli penguasaan tanah HGU dan HGB, yaitu dalam Pasal 22 Undang-Undang Penanaman Modal. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi, ketenntuan Pasal 22 Undang-undang Penanaman Modal dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, sehingga ketentuan dala Pasal 22 Undang-Undang Penanaman Modal dikembalikan kepada Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Kata Kunci : Pengadaan Tanah, Investasi

1

(2)

A. Pendahuluan

Terbitnya UUPM tahun 2007 melahirkan secercah harapan dalam iklim investasi Indonesia. Disebuit demikian, karena selama ini undang-udang investasi yang ada dianggapn sudah tidak memadai lagi sebagai landasan hukum untuk menarik investor. Berbagai fasilitas yang diberikan kepada investor dalam rangka melakukan investasi cukup menarik. Salah satu fasilitas yang diberikan kepada investor adalah berkaitan dengan tanah sebagai tempat usaha.

Pasal 21 UUPM yang menyatakan : Selain fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah memberikan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh : (a) hak atas tanah; (b) fasilitas pelayanan keimigrasian; dan (c) fasilitas perizinan impor. Pasal 22 ayat (1) yang menyatakan : Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal, berupa : (a) Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun; (b) Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun; dan (c) Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun. Pasal 22 ayat (2) yang menyatakan: Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus untuk kegiatan penanaman modal, dengan persyaratan antara lain: (a) penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan perubahan struktur perekenomian Indonesia yang lebih berdaya saing; (b) penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan; (c) penanaman modal

(3)

yang tidak memerlukan area yang luas; (d) penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara; dan (e) penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum.

Bandingkan ketentuan UUPM tersebut di atas dengan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (untuk selanjutnya disebut dengan UUPA), yang menentukan bahwa HGU dapat diberikan paling lama 25 tahun, dan untuk perusahaan paling lama 35 tahun, serta perpanjangannya paling lama 25 tahun. Selanjutnya HGB paling lama 30 tahun, serta perpanjangannya paling lama 20 tahun. Labih jauh lagi, bandingkan juga ketentuan UUPM tersebut di atas dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang merupakan jiwa dari UUPA, menyebutkan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka sangat menarik untuk di kaji apakah ruh pembentukan UUPM terdapat sinkronisasi dengan ruh UUPA dalam hal pengadaan tanah untuk investasi. Dengan demikian, penulis merasa tertarik mengkajinya dalam sebuah penelitian.

B. PERMASALAHAN

Berdasarkan uraian sebagaimana tersebut dalam latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan, yaitu : bagaimanakah pengadaan tanah untuk investasi dalam persepektif Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Investasi dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ?

C. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian.

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, yang menitik beratkan penelitian terhadap data kepustakaan, yang berupa bahan hukum primer,

(4)

sekunder, maupun tersier, dengan menelusuri asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum positif dan pendapat para ahli yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Dalam penelitian yuridis normatif ini dilakukan penafsiran hukum baik secara gramatikal, sistematik maupun secara otentik.\

2. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (normative/Statute approach) sehingga pengkajiannya didasarkan pada peraturan perundang-undangan serta pendekatan konseptual (conceptual approach) untuk pemahaman tentang konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini.

3. Proses pengumpulan dan analisis data/informasi

Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan cara penelusuran literatur dan peraturan perundang-undangan melalui studi kepustakaan untuk memperoleh bahan hukum, yang terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, yakni peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek penelitian ini. Bahan-bahan tersebut, antara lain meliput:

1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

2) Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

b. Bahan-bahan hukum sekunder, yakni literatur hukum, dan hasil-hasil penelitian terutama yang berkaitan dengan pengadaan tanah dan investasi. c. Bahan hukum tersier, antara lain index dibidang hukum kamus hukum, dan

kamus bahasa Indonesia. 4. Analisis Data

Sesuai dengan bentuk dan sifat data, maka analisis dilakukan dengan menggunakan teknik analisis kualitatif. Data disajikan dalam bentuk deskripsi. 5. Proses penafsiran, dan penyimpulan hasil penelitian.

Dari hasil analisis selanjutnya dilakukan penafsiran dengan menggunakan logika Deduktif dan induktif. Hasil penafsiran kemudian dituangkan dalam kesimpulan secara deskriptif.

(5)

D. Pembahasan

Fakta membuktikan banyak pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol, jalan raya, jembatan, jalur rel, bandara, pelabuhan, waduk, irigasi, pasar, dan fasilitas publik lainnya mangkrak gara-gara masalah klasik tersebut. Padahal, infrastruktur bermakna strategis bagi kepentingan umum. Contohnya, pembangunan irigasi untuk lahan pertanian dan pasar di permukiman.

Hal tersebut di atas terkadang menimbulkan sisi ketidak pastian hukum, yang berakibat panjang kepada lesunya iklim investasi. Tahun 2007 melalui terbitnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Penanaman Modal), telah memberikan iklim yang cukup segar bagi investasi. Undang-undang tersebut lahir dalam rangka mengahadapi perubahan perekonomian global dan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerjasama internasional, sehingga perlu diciptakan iklim penanaman modal yang kondusif, ptromotif, memberikan kepastian hukum, keadilan, dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional.2

Selanjutnya, mengingat hambatan-hambatan investasi yang terjadi sebelum lahirnya Undang-Undang Penanaman Modal tersebut, melalui undang-undang tersebut pemerintah memberikan fasilitas yang dituangkan dalam pengaturan pasal-pasal dalam Undang-Undang Penanaman Modal. Fasilitas penanaman modal diberikan dengan mempertimbangkan tingkat daya saing perekonomian dan kondisi keuangan negara dan harus promotif dibandingkan dengan fasilitas yang diberikan negara lain. Pentingnya kepastian fasilitas penanaman modal ini mendorong pengaturan secara lebih detail terhadap bentuk fasilitas fiskal, fasilitas hak atas tanah, imigrasi, dan fasilitas perizinan impor.

Dalam ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Penanaman Modal, mengatur tentang fasilitas kemudahan di bidang hak atas tanah, yaitu pemberian jangka waktu Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB, dan Hak Pakai (HP). Hak Guna Usaha (HGU) dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima)

2

(6)

tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbaharui selama 35 (tiga puluh lima) tahun. Hak Guna Bangunan (HGB) dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbaharui selama 30 (tiga puluh) tahun. Hak Pakai (HP) dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang dimuka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbaharui selama 25 (dua puluh lima) tahun.

Dalam perkembangannya juga muncul kasus tanah HGUyang ber asal dari penetapan pemerintah, yang dikemukakan oleh Undang-undang Pokok Agraria. Kasus-kasus muncul terutama dipengaruhi oleh kebijaksanaan atau politik agraria nasional yang pada akumulasi modal melalui praktik Hak Menguasai Negara (HMN) seperti yang difasilitasi oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai atas Tanah.

Ada dua pertimbangan pokok yang melatarbelakangi diterbitkannya PP No. 40 Tahun 1996 tersebut. Pertama, peran strategis tanah dalam kehidupan bangsa Indonesia ataupun dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Bagi masyarakat agraris yang sedang menuju masyarakat industri, tanah meupakan faktor penting dalam kehidupan masyarakat. Di samping itu tanah juga merupakan salah satu modal utama, baik sebagai wadah pelaksanaan pembangunan maupun sebagai faktor produksi untuk menghasilkan komoditas-komoditas perdagangan yang sangat diperlukan guna meningkatkan pendapatan nasional.

Kedua, demi adanya kepastian hukum di bidang pertanahan. Dengan semakin rumitnya permasalahan pertanahan dan semakin besarnya keperluan akan tertib hukum, tertib administrasi, tertib pemeliharaan tanah, serta pelestarian lingkungan hidup, diperlukan peraturan perundangan yang mengatur mengenai HGU, HGB, dan Hak Pakai sebagai hak atas tanah yang masa berlakunya terbatas untuk jangka waktu tertentu.

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 memuat aturan-aturan antara lain mengenai persyaratan untuk memperoleh hak, kewenangan dan kewajiban pemegang haknya dan status tanah serta benda-benda yang ada di atasnya sesudah

(7)

hak itu habis jangka waktunya, perpanjangan atau pembaruan haknya. PP No. 40 Tahun 1996 asangat akomodatif dalam memenuhi kepentingan investasi untuk industri HGU diberi jangka waktu 95 tahun sekaligus. HGB dibeikan jangka waktu 80 tahun, bahkan Hak Pakai diberi jangka waktu 70 tahun dapat dimintakan sekaligus untuk investasi (Pasal 54 PP No. 40 tahun 1996). Yang agak ekstrim bahwa Hak Pakai untuk orang asing dapat diwariskan.

Saat sekarang ini, di tengah-tengah masyarakat sering terdengar bahwa suatu badan usaha swasta menguasai tanah melebihi keperluan nyata bagi usahanya. Penguasaan tanah tersebut diijadikan salah satu modus untuk memupuk kekayaan, mencari untung dan berspekulasi dengan menunggu naiknya nilai tanah. Hal terjadi sebagai akibat lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan UUPA dan belum adanya sarana yuridis yang dapat dijadikann dasar hukum oleh pemerintah untuk mencegah terjadinya usaha-usaha di bidang agraris yang bersifat monopoli swasta.

Ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah yang mewajibkan pemegang hak atas tanah melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan, dan atau peternakan atau menggunakan tanah seseuai dengan peruntukannya, bila dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen dapat mencegah digunakannya tanah dengan HGU, HGB dan Hak Pakai untuk tujuan-tujuan spekulasi. Sudah saatnya pemerintah menerbitkan peraturan sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 13 ayat (2) UUPA untuk mencegah praktik monopoli yang tidak sesuai dengan asas keadilan sosial.3

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 secara formal memang memberikan jaminan kepastian hukum, tetapi tidak dengan sendirinya membawa manfaat bagi dunia industri atau investasi bila dalam praktiknya tidak dilaksanakan secara efektif karena kendala-kendala yang bersifat administrasi ataupun sikap mental aparatur pelaksana yang kurang kondusif untuk tegaknya pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Di Samping itu, menurut Sri Hayati ada

3 Peter Mahmud Marzuki, Realiging Indonesian Law Concerning Economic Activities Under

(8)

ketidaksesuaian antara PP No. 40 Tahun 1996 dengan UUPA yang masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Hak Guna Usaha (HGU)

Ketidaksesuaian pengaturan HGU dalam PP No. 40 Tahun 1996 dengan UUPA, yaitu :

a. Pemanfaatan tanahnya, UUPA mengatur bahwa HGU hanya untuk kepentingan pertanian, perikanan, atau peternakan. Sedangkan dalam PP No. 40 Tahun 1996 menambahkan untuk kepentingan perkebunan. b. Jangka waktu berlakunya HGU, UUPA mengatur bahwa jangka waktu

HGU adalah untuk pertama kali berjangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang peling lama 25 tahun. Sedangkan pada PP No. 40 Tahun 1996 mengatur bahw auntuk kepentingan penanaman modal, kepada pemegang HGU diberikan jangka waktu pertama kalinya paling lama 35 tahun, diberikan jaminan perpanjangan jangka waktu paling lama 25 tahun, dan dijamin pembaharuan HGU untuk jangka waktu paling lama 35 tahun.

c. Asal tanah HGU, UUPA mengatur bahwa asal tanah HGU adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Sedangkan dalam PP No. 40 Tahun 1996 mengatur bahwa asal tanah HGU adalah tanah negara, kawasan hutan yang telah di keluarkan statusnya sebagai kawasan hutan, dan tanah hak pemilik lain yang telah dilepaskan haknya oleh pemegang haknya.

2) Hak Guna Bangunan (HGB)

Ketidaksinkronan pengaturanHGB dalam PP No. 40 Tahun 1996 dengan UUPA, yaitu :

a. Asal tanah HGB, UUPA mengatur bahwa asal tanah HGB adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara dan tanah hak milik. Sedangkan menurut PP No. 40 Tahun 1996 mengatur bahwa asal tanah HGB adalah tanah negara, tanah hak pengelolaan, dan tanah hak milik.

(9)

b. Terjadinya HGB, UUPA mengatur bahwa HGB yang berasal dari tanah negara terjadi dengan penetapan pemerintah sedangkan HGB yang berasal dari tanah hak milik terjadi dengan perjanjian otentik. PP No. 40 Tahun 1996 mengatur bahwa HGB yang berasal dari tanah negara terjadi dengan keputusan pemberian hak, HGB yang berasal dari tanah hak milik terjadi dengan akta pemberian hak oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dan HGB yang berasal dari tanah pengelolaan terjadi dengan pemberian hak berdasarkan usul pemegang hak pengelolaan.

c. Jangka waktu HGB, UUPA mengatur bahwa jangka waktu HGB untuk pertama kali paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun. Sedangkan dalam PP No. 40 Tahun 1996 mengatur bahwa untuk kepentingan penanaman modal, kepada pemegang HGB diberikan jangka waktu pertama kalinya paling lama 30 tahun, dijamin perpanjangannya untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan dijamin pembaharuan haknya untuk jangka waktu paling lama 30 tahun.

3) Hak Pakai

Ketidaaksinkronan pengaturan Hak Pakai (HP) dalam PP No. 40 Tahun 1996 dengan UUPA, yaitu:

a. Subjek HP, UUPA mengatur bahwa subjek HP adalah WNI, orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indoensia, Departemen, perwakilan negara asing, dan perwakilan badan internasional.

b. Asal tanah HP, UUPA mengatur bahwa asal tanah HP adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara dan tanah hak milik orang lain. Sedangka dalam PP No. 40 Tahun 1996 mengatur bahwa asal tanah HP adalah tanah negara, tanah Hak Pengelolaan, dan tanah Hak Milik. c. Terjadinya HP, UUPA mengatur bahwa HP yang berasal dari tanah

(10)

dari tanah hak milik orang lain terjadi melalui perjanjian dengan pemilik tanah. Sedangkan dalam PP No. 40 Tahun 1996 mengatur bahwa HP yang berasal dari tanah negara dengan keputusan pemberian hak, HP yang berasal dari Hak Pengelolaan terjadi melalui keputusan pemberi hak berdasarkan usulan dari pemegang hak pengelolaan, dan HP yang berasal dari hak milik terjadi dengan akta pemberian hak yang dibuat oleh PPAT.

d. Jangka waktu HP, UUPA tidak mengatur secara tegas, tetapi hanya mengatur selama jangka waktu tertentu dan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Sedangkan dalam PP No. 40 Tahun 1996 mengatur bahwa untuk penanaman modal, kepada pemegang HP diberikan jangka waktu pertama kali paling lama 25 tahun, dijamin perpanjangan jangka waktunya paling lama 20 tahun, dan dijamin pembaruan haknya untuk jangka waktu paling lama 25 tahun.

e. Pembebanan Hak Tanggungan, UUPA mengatur bahwa HP tidak dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Sedangkan dalam PP No. 40 Tahun 1996 mengatur bahwa HP atas tanah negara dan HP atas tanah hak pengelolaan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.

Selanjutnnya apabila diteliti lebih lanjut bahwa dalam PP No. 40 Tahun 1996, ternyata hanya terdapat satu pasal yang mengatur mengenai batas minimum dan batas maksimum tanah yang dapat diberikan HGU. Pasal 5 menentukan batas luas minimum tanah yang dapat diberikan HGU adalah 5 hektare dan batas maksimumnya 25 hektare. Sedangkan luas maksimum tanah yang dapat diberikan dengan HGU kepada badan hukum ditetapkan oleh menteri dengan memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang di bidang usaha yang bersangkutan, dengan mengingat luas yang diperlukan untuk pelaksanaan suatu satuan usaha yang paling berdaya guna di bidang yang bersangkutan. Sedangkan untuk HGU dan HP tidak terdapat ketentuan yang mengatur luas minimum dan maksimum tanah yang dapat diberikan dengan hak tersebut.

(11)

Di dalam peraturan pemerintah tersebut juga tidak terdapat ketentuan yang tegas-tegas mencegah monopoli penguasaan dan penggunaan tanah oleh suatu kelompok atau golongan tertentu. Hal ini bukan berarti bahwa monopoli penguasaan tanah dibenarkan. Pasal 13 ayat (2) UUPA menentukan bahwa pemerintah mencegah bahwa adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria (tanah) dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta. Selanjutnya, dalam ayat (3) ditentukan bahwa usaha-usaha pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan undang-undang.

Kebijaksanaan mengenai penyediaan dan pemberian tanah untuk keperluan perusahaan-perusahaan, juga di atur dalam Undang-Undang Penanaman Modal. Khusus menyangkut ketentuan Pasal 22 dalam Undang-Undang Penanaman Modal dinyatakan tidak berlaku lagi setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi, karena ketentuan dalam pasal tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, dan akhirnya ketentuan mengenai HGU dan HGB dikembalikan pada ketentuan sebagaimana diatur dalam UUPA.

E. Penutup 1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan sebagaimana tersebut dalam Bab V, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Pengadaan tanah dalam perspektif Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal lebih cenderung memihak kepentingan investor yang terbukti dengan adanya indikasi monopoli penguasaan tanah HGU dan HGB, yaitu dalam Pasal 22 Undang-Undang Penanaman Modal.

2. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi, ketenntuan Pasal 22 Undang-undang Penanaman Modal dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, sehingga ketentuan dala Pasal 22 Undang-Undang Penanaman Modal dikembalikan kepada Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

(12)

2. SARAN

Dalam melaksanakan kebijaksanaan mengenai penyediaan tanah dan pemberian tanah untuk keperluan investasi, maka selain segi-segi ekonomi dan yuridis perusahaan yang bersangkutan, perlu mendapat perhatian juga segi-segi yang menyangkut aspek-aspek sosial, politik, psikologi, an hankamnas ata asas-asas pembangunan nasional dan wawasan nusantara.

(13)

Daftar Pustaka

A. Abdurrachman, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, Pradnya Paramita, cetakan ke-6, Jakarta, 1991.

A.F. Elly Erawaty dan J.S. Badudu, Kamus Ekonomi Indonesia Inggris, ELIPS, Edisi Pendahuluan, Jakarta, 1995.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI), Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1995.

Hendrik Budi Untung, Hukum Investasi, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

Ida Bagus Rahmadi Supancana, Kerangka Hukum Kebijakan Investasi LAngsung di

Indonesia, Graha Indonesia, Jakarta, 2005.

John Downes dan Jordan Elliot Goodman¸Kamus Istilah Keuangan & Investasi, Alih bahasa oleh Soesanto Budhidarmo, Elex Media Komputendo, Jakarta, 1994.

Supriadi, Hukum Agraria, Cet. 3, Sinar Grafika, Jakarta, 2009

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Referensi

Dokumen terkait

Seperti yang dikutip dari jurnal ilmiah komunikasi massa Efek Iklan Politik Dalam Media Massa Terhadap Perilaku Memilih dalam Pemilu Karangan Gati Gayatri mengatakan Sejak

Filotaksis Palem Kuning disebut roset batang karena batang Palem Kuning amat tinggi dan tumbuh menjauhi akar sehingga daunnya yang rapat berjejal-jejal berkumpul

Data yang dikum- pulkan meliputi umur, jenis kelamin, diagnosis, tindakan, keluhan datang, mata yang dikenai, tindakan setelah terapi, keadaaan sosioekonomi serta

Akta Pendirian Badan Usaha dan perubahannya (apabila ada). Izin usaha sesuai yang dipersyaratkan dalam Dokumen Kualifikasi. Dan manajemennya tidak dalam pengawasan pengadilan,

Peserta didik bergaya kognitif field-independent memperoleh hasil belajar lebih tinggi pada tes dengan jumlah butir soal banyak, sedang peserta didik bergaya kognitif

Selaras dengan itu, Karate Universitas Nasional, menyelenggara- kan Kejuaraan Nasional Karate Terbuka “ UNAS CUP VIII 2016 ”, sebagai wahana untuk memacu prestasi, meningkatkan mental

Tujuan akhir dari promosi konsumen adalah memperkuat loyalitas merek, dikarenakan sebagian konsumen cenderung membeli suatu produk atau jasa didasarkan pada diskon