57
The Symptoms and Intensity Attacks of Phytophagous Insects on Sago
REIN ESTEFANUS SENEWE
1, HERMANU TRIWIDODO
2, PUDJIANTO
2,
AUNU RAUF
2DAN MARIETJE PESIRERON
31,3
Peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku
Jln. Chr Soplanit Rumahtiga Ambon
2
Staf Pengajar Departemen Proteksi Tanaman IPB Bogor, Kampus Dramaga Bogor
E-mail: [email protected]
Diterima 10 Januari 2019 / Direvisi 15 Maret 2019 / Disetujui 28 Juni 2019
ABSTRAK
Pertumbuhan dan perkembangan tanaman sagu secara alami berinteraksi dengan organisme diantaranya serangga. Gejala kerusakan tajuk tanaman sagu menunjukkan adanya hubungan antara serangga dan tanaman. Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi serangga fitofag, gejala kerusakan dan tingkat serangan pada tanaman sagu. Penelitian dilakukan pada areal sagu di Desa Rutong dan Tulehu Provinsi Maluku, dimulai bulan Juni – September 2016. Tersedia 10 tanaman/rumpun sagu ditiap lokasi pengamatan yang ditentukan secara purposive sampling. Setiap rumpun sagu pada fase pertumbuhan (semai, anakan, sapihan, dan batang/pohon), diamati gejala kerusakan anak daun dan pelepah daun. Hasil penelitian menunjukkan empat gejala serangan pada tajuk tanaman sagu dengan rata-rata intensitas serangan ringan. Insidensi serangan tertinggi (37.5%) pada fase sapihan dengan gejala serangan bentuk guntingan pada daun. Selanjutnya diperoleh tujuh jenis serangga fitofagus yang berasosiasi dengan tajuk tanaman sagu. Masing-masing fase imago serangga menimbulkan kerusakan daun dengan ciri khas berbeda, sehingga dapat berpeluang menimbulkan kerusakan berat pada tajuk tanaman sagu.
Kata kunci: Insidensi, intensitas, Metroxylon spp., fase pertumbuhan
ABSTRACT
The growth and development of sago palm naturally interact with the organism such as insects. The symptoms of damage to the plant canopy sago indicate a relationship between insects and plants. This study aims to identify phytophagous insects, symptoms of damage and attack rates on sago plants. The study was conducted in the village of Rutong and Tulehu in Maluku, starting in June until September 2016. There are 10 plants/sago clump in each observations in each location determined by purposive sampling. Each sago clump in the growth phase (seedlings, tillers, a trunk stage, and stems / trees), observed symptoms of damage to leaflets and leaf midribs. The results showed four symptoms of attack on the sago canopy with an average intensity of mild attacks. The highest incidence of attack was 37.5% in the phase of a trunk stage with the symptoms of cutout attacks on the leaves. Then seven species phytophag insects were obtained which were associated with sago canopy. Each of the insect imago phases leads to leaf damage with distinctive features, which can potentially cause severe damage to the canopy of the sago plant.
Keywords: Incidence, intensity, Metroxylon spp., phase of growth.
PENDAHULUAN
Tanaman sagu (Metroxylon spp.) di Maluku tumbuh dan berkembang secara alami membentuk hutan sagu. Tanaman berumpun ini tumbuh baik pada areal dekat aliran sungai, di lahan basah maupun lahan kering dataran rendah serta pada daerah pesisir pantai. Rumpun sagu dapat tumbuh mendominasi suatu areal dengan berbagai fase pertumbuhan, yaitu semai, anakan, sapihan, batang/pohon, dan pohon masak tebang. Tajuk tanaman merupakan salah satu komponen penting
dalam menunjang pertumbuhan dan perkem-bangan tanaman sagu. Meskipun pada masa pertumbuhan dan perkembangan tanaman sagu, pelepah daun akan berkurang jumlahnya saat memasuki fase pertumbuhan pohon masak tebang, tetapi penambahan dan pertumbuhan pelepah daun akan berdampak pada pembentukan pati sagu dalam batang. Novarianto (2013) menyatakan saat pertumbuhan cepat dapat terbentuk dua lembar daun per bulan sedangkan pada waktu terjadinya akumulasi pembentukan
58
pati, maka jumlah daun yang terbentuk hanya satu lembar per bulan.
Secara alami terdapat hubungan antara daun tanaman sagu dengan serangga-serangga tertentu. Secara substansial, serangga yang memakan tanaman dapat berdampak secara langsung pada tanaman atau jangka panjang terhadap tanaman sagu. Serangga dapat menjadi hama karena beberapa serangga yang sebelumnya tidak berbahaya menjadi hama setelah tidak sengaja (atau sengaja) pengenalan daerah di luar jangkauan habitat aslinya karena untuk meng-hindar dari musuh alami (parasitoid, predator, dan patogen) dan pengendalian konvensional (pestisida). Penyebaran serangga melalui tanaman inang yang dibudidayakan, menjadi vektor tanaman, serangga berpindah dari tanaman asli (serangga polifagus dan oligophagous), dan sistem budidaya tanaman monokultur yang mendorong serangga menjadi spesialis (dari kebiasaan makan pada habitat hutan dengan banyak pilihan tanaman hutan beralih ke satu jenis tanaman) (Gullan dan Cranston 2010).
Status populasi seranggahamatergantung padakelimpahan individu serta jenis gangguan yang biasanyaefek merusak (injury) dari kegiatan serangga (kebanyakan makan) pada fungsi fisiologi inangnya, dan kerusakan (damage) dengan kehilangan terukur pada kegunaan inangnya secara kualitatif dan kuantitatif. Kerusakan inangnya digunakan sebagai perkiraan apakah terdeteksi merusak dengan mengakibatkan kerugian ekonomi atau tidak. Bagaimanapun kerusakan tanaman yang disebabkan oleh beberapa individu serangga tidak dapat diterima, karena serangga sebelum disebut hama, setelah mencapai tingkat kepadatan yang tinggi. Seringkaliefek makan serangga mungkin hanya seperti tanda kecil misalnya di permukaan buah, tetapi dapat berpengaruh secara ekonomi dalam persaingan pasar komoditas buah, sehingga penilaian status hama tersebut sangat penting (Gullan dan Cranston 2010).
Hubungan antara serangga dan tanaman sagu penting untuk diteliti. Gejala kerusakan daun tanaman menjadi salah satu indikator seberapa besar persentase dan intensitas serangan hama serangga. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari serangga-serangga yang berasosiasi dengan tajuk tanaman sagu di Desa Rutong dan Tulehu, Maluku. Diharapkan data dan informasi ilmiah tentang serangga-serangga yang berasosiasi dengan tajuk tanaman sagu dapat menunjang pengelolaan tanaman sagu kedepan.
BAHAN DAN METODE
Lokasi PenelitianPenelitian dilaksanakan di Desa Rutong dan Tulehu (Pulau Ambon) Provinsi Maluku. Identifikasi serangga dilakukan di Laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Balitbangtan Maluku, Laboratorium Bio-sistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Bidang Zoologi Puslit Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cibinong. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni sampai September 2016.
Pengambilan Sampel dan Pengamatan
Pengambilan data di lapangan meliputi pengamatan jenis serangga dan penilaian tingkat kerusakan dilakukan dengan metode purposive sampling. Rumpun sagu yang diamati memiliki beberapa fase pertumbuhan yaitu semai, anakan, sapihan dan batang/pohon. Setiap lokasi di Desa Rutong dan Tulehu ditentukan 10 rumpun sagu dengan jarak 50 meter.
Bagian-bagian tajuk tanaman sagu dapat dijadikan sebagai satuan penarikan contoh. Pengamatan dan pengambilan sampel serangga dilakukan melalui observasi langsung pada tajuk atau pelepah dan daun tanaman sagu. Serangga-serangga pada permukaan tajuk, pelepah dan daun sagu dapat langsung diambil, sedangkan beberapa jenis serangga bisa dihalau dan ditampung pada kain pengumpul dengan cara memukul pelepah atau daun dengan sebuah galah. Pada bagian daun sagu yang belum terbuka dilakukan upaya khusus dengan cara memanjat atau menggunakan tangga dan memotong bagian pelepah daun tersebut kemudian dibuka untuk menemukan serangganya. Bagian-bagian tajuk pohon sagu yang dapat diperiksa untuk pencarian serangga mencakup pelepah daun dan daun sagu muda (janur). Pada bagian-bagian tajuk pohon ini dapat ditemukan telur, larva, pupa dan imago serangga perusak pucuk dan pemakan daun.
Setiap fase pertumbuhan tanaman sagu di amati gejala kerusakan meliputi: 1) bentuk guntingan pada daun, 2) lubang pada pelepah daun dan serangga masuk ke bagian dalam (5-12 cm), pelepah kering dan patah, 3) bentuk lidi pada daun atau daun tua digigit, bergerigi, berlubang dan ujung anak daun terkulai, dan 4) bercak coklat memanjang pada kuncup daun. Masing-masing tipe kerusakan pada tajuk tanaman sagu dihitung jumlah pelepah dan daun sagu yang mengalami
59
kerusakan. Serangga yang terkumpul langsungdikoleksi basah dalam wadah botol yang berisi larutan alkohol 70% sebagai bahan pengawet untuk diidentifikasi. Tiap spesies diidentifikasi nama ordo dan familinya. Serangga dari lokasi penelitian diidentifikasi di laboratorium meng-gunakan buku panduan identifikasi morfospesies dengan mikroskop stereo dan kompoun (Kalshoven 1981; CSIRO 1991).
Insidensi serangan diartikan sebagai perbandingan antara jumlah pohon yang diserang oleh satu atau beberapa jenis serangga hama dengan jumlah pohon yang diamati dalam satuan areal tertentu, dinyatakan dalam persen.
Persentase derajat kerusakan pada daun atau penilaian intensitas serangan dilakukan menurut klasifikasi dari setiap kriteria penilai daun yang terserang berdasarkan banyaknya daun yang rusak akibat serangan serangga pada pohon atau fase pertumbuhan sagu. Tingkat keparahan tanaman, dihitung dengan menggunakan persamaan dari Unterstenhofer (1995) dalam Amir et al. (2004):
Keterangan :
P = Tingkat keparahan tanaman Vi = Nilai skala setiap kategori serangan Ni = Jumlah tanaman setiap kategori serangan V = Nilai skala dari kategori serangan tertinggi N = Jumlah tanaman
Skala kerusakan yang telah dimodifikasi: 0 = Tidak ada serangan (sehat)
1 = Kerusakan daun >0 – 25% (ringan) 2 = Kerusakan daun >25-50% (sedang) 3 = Kerusakan tanaman >50-75% (berat)
4 = Kerusakan tanaman >75 – 100% (sangat berat) Analisis Data
Analisis varians (ANOVA) diterapkan untuk menentukan signifikansi perbedaan insidensi serangan dan intensitas serangan di antara dan interaksi dengan fase pertumbuhan sagu. Dalam penelitian ini yang dianggap perlakuan adalah bentuk kerusakan daun (empat tipe kerusakan daun sagu) dan ulangan adalah lokasi (dua lokasi areal sagu). ANOVA untuk data yang tidak normal yang ditandai nilai Coeficient of Vaviance (CV) >30 maka data asli ditransformasi terlebih dahulu ke (x)0,5.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kerusakan Tajuk Tanaman SaguPengamatan pada setiap fase pertumbuhan sagu, yaitu fase semai, anakan, sapihan dan batang dilakukan dengan mengamati secara langsung berdasarkan bentuk kerusakan tajuk tanaman pada bagian pelepah dan daun tanaman sagu. Berdasarkan hasil pengamatan, terdapat gejala kerusakan pada kuncup daun, anak daun dan pelepah tanaman sagu (Gambar 1 dan Gambar 2).
Bentuk Guntingan pada Daun
Gejala kerusakan pada beberapa anak daun tanaman sagu terlihat seperti tergunting membentuk segitiga pada ujung pelepah daun atau juga pada bagian tengah pelepah daun. Kerusakan berawal dari kuncup daun atau bakal calon pelepah daun yang masih menutup, dan akan terlihat bentuk guntingan segitiga setelah munculnya pelepah daun tanaman sagu (Gambar 1a).
Lubang pada Pelepah Daun
Gejala kerusakan pada pelepah daun sagu berbentuk lubang pada bagian batang pelepah daun. Bentuk lubang ditemukan pada bagian pangkal dan tengah pelepah muda. Pelepah yang berlubang, dijumpai juga telah patah di bagian lubang tersebut serta anak daun bagian atas mengering. (Gambar 1b).
Gambar 1. Gejala kerusakan, (a) bentuk gun-tingan pada daun, dan (b) lubang pada pelepah daun tanaman sagu. Figure 1. Symptoms of damage, (a) the shape of
cutouts on the leaves, and (b) holes in the midrib of the leaves of the sago palm.
Bentuk Lidi pada Daun
Gejala kerusakan pada bagian anak daun sagu atau serangan serangga fitofag yang memakan dan menggerek anak daun sagu pada setiap pelepah daun muda dan daun tua. Anak
60
daun terlihat seperti bekas gigitan mulai dari pinggiran anak daun. Terdapat ciri khas dari gejala kerusakan daun ini, mengakibatkan beberapa anak daun sagu menyisahkan lidi (Gambar 2a).
Bercak Coklat pada Kuncup Daun
Gejala kerusakan terlihat bercak coklat pada kuncup daun sagu. Setelah bagian kuncup di ambil dan dibuka, terdapat bercak coklat memanjang pada bagian anak daun sagu tersebut. Kuncup daun yang telah terbuka atau munculnya pelepah daun, maka terlihat daun berwarna coklat dan mengering (Gambar 2b).
Gambar 2. Gejala kerusakan, (a) bentuk lidi pada anak daun, dan (b) bercak coklat pada kuncup daun tanaman sagu.
Figure 2. Symptoms of damage, (a) the shape of the stick on the leaves, and (b) brown spots on the leaf buds of the sago palm.
Tingkat Serangan Tajuk Tanaman Sagu
Penilaian kerusakan kuncup daun, anak daun dan pelepah daun pada tanaman sagu meliputi insidensi serangan dan intensitas serangan. Gejala serangan dan tingkat kerusakan pada berbagai fase pertumbuhan tanaman sagu dibedakan (uji t) dalam dua lokasi areal sagu yang berbeda (Tabel 1).
Insidensi serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) serangga pada tanaman sagu di Desa Rutong dan Tulehu, Provinsi Maluku menunjukkan tidak berbeda nyata atau nilai p-value (0.619) >0.05, sedangkan interaksi bentuk kerusakan dengan fase pertumbuhan sagu menunjukkan perbedaan yang nyata atau nilai p-value (<0.0001) <0.05. Kerusakan tanaman ber-dasarkan bentuk empat tipe gejala maupun diantara fase pertumbuhan sagu juga menunjuk-kan perbedaan nyata.
Insidensi dan intensitas serangan ber-dasarkan tingkat kerusakan pada kuncup daun, anak daun dan pelepah daun di kedua lokasi tidak berbeda nyata (P>0.05). Lokasi Tulehu rata-rata
14.08%±0.71 dan Rutong 13.58%±0.67 untuk insidensi serangan, serta 2.68%±0.25 dan 2.49%±0.23 untuk intensitas serangan. Secara visual insidensi serangan berdasarkan bentuk kerusakan tanaman sagu, terjadi paling banyak pada bentuk guntungan pada daun. Insidensi serangan berdasarkan bentuk kerusakan daun pada semua fase pertumbuhan sagu menunjukkan perbedaan nyata atau masing-masing 22.65%±0.94a
pada bentuk guntingan, 11.68%±1.06b pada bentuk
lidi, 11.38%±0.94b pada bentuk bercak coklat dan
9.61%±0.94b pada bentuk lubang.
Insidensi serangan pada setiap fase pertumbuhan terjadi dalam rata-rata frekuensi yang berbeda antar fase dengan terdapat gap yang paling tinggi antara fase sapihan dan anakan jika data dilakukan selisih dengan pengurutan terlebih dahulu. Perbedaan nyata antar insidensi serangan pada fase pertumbuhan sagu (p-value <0.05) serta nilai persentase insidensi serangan terbagi dua kelompok dimana fase batang/pohon dan sapihan memiliki nilai rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok fase anakan dan semai. Sedangkan intensitas serangan berdasarkan bentuk kerusakan daun pada semua fase partum-buhan sagu juga menunjukkan perbedaan nyata atau masing-masing 3.16%±0.33a pada bentuk
guntingan, 2.59%±0.37ab pada bentuk lidi,
2.57%±0.33ab pada bentuk bercak coklat dan
2.01%±0.33b pada bentuk lubang.
Secara umum, intensitas serangan pada kisaran 0.63% – 5.63% atau dalam klasifikasi ringan. Fase sapihan dan fase batang menunjuk-kan kerusamenunjuk-kan bentuk guntingan daun tertinggi, masing-masing 37.5% dan 35.45%. Penilaian insidensi serangan (%) berdasarkan gejala serangan dan tingkat kerusakan di setiap fase pertumbuhan tanaman sagu, terdapat perbedaan nyata (P<0.05) (Gambar 3).
Nilai p-value (P<0.05) menunjukkan bahwa interaksi antara fase pertumbuhan sagu dengan bentuk kerusakan tajuk tanaman sagu mem-berikan pengaruh berbeda terhadap insidensi serangan. Hasil uji Duncan dari interaksi fase pertumbuhan dan bentuk kerusakan menunjuk-kan bahwa gejala bercak cokelat pada pertum-buhan anakan, insidensi serangan berbeda nyata dengan bentuk guntingan pada pertum-buhan batang/pohon, bercak coklat pada per-tumbuhan semai serta bentuk guntingan pada pertumbuhan sapihan, selainnya tidak berbeda nyata dengan bentuk bercak coklat pada pertumbuhan anakan (Tabel 2).
61
Tabel 1. Gejala serangan dan tingkat kerusakan tanaman sagu di areal sagu Desa Rutong dan Tulehu,Maluku.
Table 1. Symptoms of attack and the extent of damage to the sago palm in the sago area of Rutong and TulehuVillages, Maluku. Gejala serangan Symptoms of an attack Fase pertumbuhan Growth phase n Insidensi serangan
The damage level of attack
(%)
Intensitas serangan
Intensity of attack
(%)
Rutong Tulehu Nilai-P
P-value
Rutong Tulehu Nilai-p p-value Bentuk guntingan pada daun/ Triangular or leaf shape Semai/ Seedling 10 2,5 ± 7,91 5 ± 10,54 0,556 0,6 ± 1,99 1,3 ± 2,64 0,56 Anakan/ Sucker 10 16 ± 12,65 10 ± 17 0,382 4 ± 3,6 2,5 ± 4,04 0,392 Sapihan/ A trunk stage 10 37,5 ± 10,21 37,5 ± 14,43 1 5,3 ± 0,92 5 ± 0,64 0,392 Batang/Pohon/ Stem 10 35,5 ± 12,46 37,3 ± 10 0,723 3,3 ± 1,16 3,5 ± 1,01 0,671 Lubang pada pelepah daun/ Leaf hole Semai/ Seedling 10 2,5 ± 7,91 7,5 ± 12,08 0,288 0,6 ± 1,99 1,9 ± 3,03 0,29 Anakan/ Sucker 10 14 ± 16,47 14 ± 9,66 1 3,5 ± 3,08 3,5 ± 2,51 1 Sapihan/ A trunk stage 10 7,5 ± 8,74 5 ± 6,45 0,476 1,6 ± 1,7 1,3 ± 1,63 0,682 Batang/Pohon/ Stem 10 12,7 ± 6,36 13,6 ± 7,73 0,777 1,9 ± 0.96 1,9 ± 0,96 1
Bentuk lidi pada daun/ Leaf buds Semai/ Seedling 10 7,5 ± 16,87 12,5 ± 17,68 0,526 1,9 ± 3,97 5,6 ± 7,3 0,171 Anakan/ Sucker 10 10 ± 14,14 6 ± 13,5 0,526 2,5 ± 3,3 1,5 ± 3,18 0,499 Sapihan/ A trunk stage 10 12,5 ± 10,21 15 ± 9,86 0,584 2,2 ± 1,6 2,5 ± 1,37 0,647 Batang/Pohon/ Stem 10 14,5 ± 8,78 10,9 ± 8,35 0,355 2,3 ± 0,84 1,7 ± 1,13 0,181 Bercak coklat pada kuncup daun/ Brown spots extend on the leaf buds Semai/ Seedling 10 15 ± 20,58 22,5 ± 18,45 0,574 3,8 ± 4,19 5,6 ± 5,24 0,387 Anakan/ Sucker 10 12 ± 16,87 8 ± 13,98 0,571 3 ± 3,89 2 ± 3,24 0,54 Sapihan/ A trunk stage 10 7.5 ± 6,45 8,8 ± 10,29 0,749 1,9 ± 1,64 1,6 ± 2,05 0,705 Batang/Pohon/ Stem 10 10 ± 9,04 7,3 ± 7,17 0,464 1,5 ± 1,39 1,3 ± 1,32 0,734 (b) (a)
Keterangan : S=semai; A=anakan; Sph=sapihan; BP= batang/pohon; BC=bercak coklat; GL=gerek/lidi; GT=gunting; PL=pelepah lubang.
Note: S = seedlings; S = sucker; ATS = a trunk stage; S = stem; BC = brown spots; LB = leaf buds; LS = leaf shape; LH = leaf hole.
Gambar 3. Insidensi serangan (%) berdasarkan gejala serangan pada; (a) fase pertumbuhan dan (b) bentuk kerusakan tajuk tanaman sagu
Figure 3. Incidence of attacks (%) based on symptoms of attack on; (a) growth phase and (b) form on sago canopy damage
Fase pertumbuhan/Growth phase
In sid en si Se ran gan / In cide nc e of at ta ck s (% ) 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 Semai/seedlings Anakan
/sucker a trunk stage Sapihan/ pohon/stem Batang/ b b a a In sid en si Se ran gan / In cide nc e of at ta ck s (% ) 2 5 2 0 1 5 1 0 5 0 Gunting/
leaf shape coklat/brown Bercak
spot Gerek lidi/leaf buds Pelepah lubang/leaf hole
Bentuk kerusakan tajuk tanaman Form as sago canopy damage
a b b b 25 20 15 10 5 0
62
Tabel 2. Proporsi pohon terserang pada fase pertumbuhan dengan bentuk kerusakan tajuk tanaman sagu terhadap insidensi serangan (%).
Table 2. Proportion of trees attacked in the growth phase in the form of damage to the sago canopy to the incidence of attack (%).
Bentuk gejala serangan dengan fase pertumbuhan sagu
Forms of symptoms of attack with the growth phase on sago palm
n
Insidensi serangan
The damage level of attack
(%)
Guntingan-Sapihan/Leaf shape- a trunk stage 10 37,50±1,89a
Guntingan-Batang/Pohon/Leaf shape- stem 10 36,36±1,89a
Bercak-Semai/Brown spot-Seedling 10 18,75±1,89b
Lubang-Anakan/ Leaf hole-Sucker 10 14,00±1,89bc
Lidi-Sapihan/ Leaf buds- a trunk stage 10 13,75±1,89bc
Lubang-Batang/Pohon/ Leaf hole-Stem 10 13,19±1,89bc
Guntingan-Anakan/Leaf shape-Sucker 10 13,00±1,89bc
Lidi-Batang/Pohon/Leaf buds-Stem 10 12,73±1,89bc
Lidi-Anakan/Leaf buds-Sucker 10 10,25±2,71cd
Bercak-Anakan/Brown spot-Sucker 10 10,00±1,89cd
Lidi-Semai /Leaf buds-Seedling 10 10,00±1,89cd
Bercak-Batang/Pohon/Brown spot-Stem 10 8,64±1,89cd
Bercak-Sapihan/Brown spot- a trunk stage 10 8,13±1,89cd
Lubang-Sapihan/Leaf hole- a trunk stage 10 6,25±1,89d
Lubang-Semai/Leaf hole-Seedling 10 5,00±1,89d
Guntingan-Semai/Leaf shape-Seedling 10 3,75±1,89d
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT taraf 95%
Note: Numbers are followed by the same letter, did not difference significantly by DMRT level of 95%
Intensitas serangan (%) berdasarkan gejala serangan atau kerusakan pada tajuk tanaman sagu, terdapat perbedaan nyata (P<0.05) baik terhadap fase pertumbuhan maupun bentuk kerusakan (Gambar 4). Terdapat perbedaan nyata (P<0.05) antara interaksi bentuk serangan pada setiap fase pertumbuhan sagu terhadap intensitas serangan atau minimal ada satu taraf interaksi fase pertumbuhan sagu dengan bentuk kerusakan pada tajuk tanaman sagu yang memberikan pengaruh berbeda terhadap intensitas serangan secara visual bentuk kerusakan guntingan dan lubang pada daun tanaman sagu memiliki selisih yang paling tinggi dan memungkinkan untuk berbeda signifikan. Intensitas serangan tertinggi terjadi pada bentuk kerusakan guntingan-sapihan,
bercak-semai, lidi-semai, lubang anakan dan guntingan-batang/pohon (Tabel 3).
Gejala serangan dan tingkat kerusakan kuncup daun, anak daun dan pelepah daun tanaman sagu di Maluku masih dalam klasifikasi ringan. Indikator kerusakan pelepah daun sagu berdasarkan bentuk kerusakan dari masing-masing tipe kerusakan dan selanjutnya diklasifikasikan nilai kerusakannya. Setiap fase pertumbuhan sagu mempunyai jumlah pelepah daun yang berbeda. Fase semai, anakan, sapihan, dan batang masing-masing 4, 5, 8, dan 12 pelepah daun produktif, sehingga penilaian insidensi dan intensitas kerusakan dianalisis berdasarkan jumlah pelepah daun masing-masing fase pertumbuhan sagu tersebut.
63
(b)(a)
Keterangan : S=semai; A=anakan; Sph=sapihan; BP= batang/pohon; BC=bercak coklat; GL=gerek/lidi; GT=gunting; PL=pelepah lubang
Note: S = seedlings; S = sucker; ATS = a trunk stage; S = stem; BC = brown spots; LB = leaf buds; LS = leaf shape; LH = leaf hole.
Gambar 4. Intensitas serangan (%) berdasarkan gejala serangan pada; (a) fase pertumbuhan dan (b) bentuk kerusakan tajuk tanaman sagu.
Figure 4. The intensity of attacks (%) based on the attack symptoms; (a) the growth phase and (b) the form of
crown damage sago.
Tabel 3. Proporsi pohon terserang pada fase pertumbuhan dengan bentuk kerusakan tajuk tanaman sagu terhadap intensitas serangan (%).
Table 3. The proportion of trees attacked in the growth phase in the form of damage to the canopy of the sago palm to the intensity of the attack (%).
Bentuk gejala serangan dengan fase pertumbuhan sagu
Forms of symptoms of attack with the growth phase on sago palm
n Intensitas serangan
Intensity of attack
(%)
Guntingan-Sapihan/Leaf shape- a trunk stage 10 5,16± 0,66a
Bercak-Semai /Brown spot-Seedling 10 4,69± 0,66a
Lidi-Semai /Leaf buds-Seedling 10 3,76± 0,66ab
Lubang-Anakan/Leaf hole-Sucker 10 3,50± 0,66abc
Guntingan-Batang/Pohon/Leaf shape-Stem 10 3,44± 0,66abc
Guntingan-Anakan/Leaf shape-Sucker 10 3,13± 0,66abcd
Bercak-Anakan/Brown spot-Sucker 10 2,50± 0,66abcd
Lidi-Batang/Pohon/Leaf buds-Stem 10 2,39± 0,95abcd
Lidi-Sapihan/Leaf buds- a trunk stage 10 2,22± 0,66bcd
Lidi-Anakan/Leaf buds-Sucker 10 2,00± 0,66bcd
Lubang-Batang/Pohon/Leaf hole-Stem 10 1,88± 0,66bcd
Bercak-Sapihan/Brown spot- a trunk stage 10 1,72± 0,66bcd
Lubang-Sapihan/Leaf hole- a trunk stage 10 1,41± 0,66cd
Bercak-Batang/Pohon/Brown spot- Stem 10 1,36± 0,66cd
Lubang-Semai /Leaf hole-Seedling 10 1,26± 0,66cd
Guntingan-Semai /Leaf shape-Seedling 10 0,94± 0,66d
Ket: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT taraf 95%.
Note: Numbers are followed by the same letter, did not difference significantly by DMRT level of 95%
In sid en si Se ran gan / In cide nc e of at ta ck s (% ) In sid en si Se ran gan / In cide nc e of at ta ck s (% ) Fase pertumbuhan
Growth phase Bentuk kerusakan tajuk tanaman Form as sago canopy damage
Gunting/
leaf shape coklat/ Bercak
brown spot Gerek lidi/leaf buds Gerek lidi/leaf buds a a ab b b b c d Semai/
seedlings Anakan/ sucker Sapihan/a trunk stage pohon/stem Batang/ 8 7 6 5 4 3 2 1 0 6,0 5,8 5,6 5,4 5,2 5,0 4,8 4,6 4,4
64
Tabel 4. Serangga fitofag yang menyerang dan menimbulkan kerusakan pada tanaman sagu di Maluku Table 4. Phytophagic insects that attack and cause damage to sago palm in Maluku.
Serangga fitofag
Insect of phytophag
Populasi serangga yang ditemukan
ekor/20 pohon
Insect population found/ 20 trees
Gejala serangan
Symtoms of an attack Rhynchophorus ferrugineus (Coleoptera:
Curculionidae)
17 Bentuk guntingan pada daun dan lubang
pada pelepah daun
Form of leaf shape and leaf hole Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) 6 Bentuk guntingan pada daun
Form of leaf shape Sexava coriacea (Orthoptera: Tettigoniidae) 6 Bentuk lidi pada daun
Form of leaf buds Catantops brachypterus (Orthoptera:
Acrididae)
5 Daun berlubang
Leaf hole Oxya chinensis (Orthoptera: Acrididae) 9 Daun berlubang
Leaf hole Diapheromera femorata (Phasmatodea:
Diapheromeridae)
14 Daun berlubang
Leaf hole Brontispa longissima (Coleoptera:
Chrysomelidae) 18 Bercak coklat pada kuncup daun Brown spot on the leaf
Keragaman data insidensi serangan pada fase pertumbuhan tanaman sagu menunjukkan bahwa distribusi nilai rata-rata untuk semai dan anakan tergolong rendah bila dibandingkan dengan fase batang/pohon maupun sapihan. Keragaman data insidensi serangan pada fase semai, fase sapihan dan fase batang/pohon terkadang tinggi di atas rata-ratanya. Sehingga terdapat perbedaan nyata (P<0.05) nilai insidensi serangan berdasarkan bentuk kerusakan. Insidensi serangan pada bentuk guntingan sebesar 37.5% atau sangat tinggi di bandingkan dengan bentuk kerusakan tajuk lainnya. Sedangkan intensitas serangan serangga fitofag didasarkan pada gejala serangan dan bentuk kerusakan atau jumlah pelepah daun pada fase pertumbuhan semai, anakan, sapihan dan batang/pohon. Tingkat kerusakan daun berdasarkan gejala atau bentuk kerusakan tergolong ringan 0.63% – 5.63%.
Serangga Fitofag Tanaman Sagu
Gejala serangan dan tingkat kerusakan tajuk tanaman sagu berhubungan erat dengan beberapa jenis serangga fitofag yang menyerang dengan bentuk gejala yang berbeda (Tabel 4). Gejala serangan dan tingkat kerusakan tajuk tanaman sagu pada satu individu tanaman dalam tiap fase pertumbuhan sagu bisa lebih dari satu gejala serangan. Bentuk-bentuk kerusakan pada setiap pelepah sagu akibat serangan serangga fitofag akan berdampak atau mempengaruhi pertum-buhan dan perkembangan tanaman sagu apabila terjadi pada satu individu tanaman sagu. Daun sagu mengering, pelepah daun patah dan kuncup daun terhambat pertumbuhannya. Gardiner et al.,
(2016) menyatakan bahwa fotosintesis, air, pertumbuhan dan bereproduksi merupakan satu kesatuan untuk menjaga keseimbangan tanaman. Kerusakan daun dapat mempengaruhi proses fotosintesis dan berimplikasi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Apabila tingginya insidensi dan intensitas serangan serangga fitofag terjadi pada fase sapihan dan batang, merupakan salah satu faktor yang akan mempengaruhi akumulasi pembentukan pati dalam batang sagu. Berdasarkan informasi dan mengikuti proses panen sagu di lapangan, pati yang dihasilkan pada potongan-potongan batang atau tual sagu beragam. Bagian-bagian tual sagu tertentu memiliki perbandingan serabut kasar lebih tinggi dari patinya.
Serangga-serangga fitofag, antara lain R. ferrugineus, O. rhinoceros, S. coriacea dan B. longissima umumnya banyak dijumpai dan merupakan hama defoliator yang menimbulkan kerusakan pada tajuk tanaman sagu. Umumnya fase imago atau serangga dewasa yang banyak dijumpai menyerang kuncup daun, anak daun dan pelepah daun tanaman sagu (Gambar 5). Meskipun dengan tingkat kerusakan ringan, tetapi serangga-serangga ini dapat dikategorikan sebagai hama potensial. Apabila faktor lingkungan mendukung, tingkat kerusakan tanaman dapat meningkat. Faktor lingkungan memiliki dampak terhadap komunitas kumbang karena secara signifikan berkorelasi dengan komunitas tum-buhan sebagai area adaptasi ekologis Coleoptera (Khurelpurev dan Pfeiffer 2017).
65
Gambar 5. Serangga herbivor pada tajuk sagu,(a-d) S. coriacea, e) Catantops brachypterus, f) Oxya chinensis, g) Physus sp., h) B. longissima, i) R. ferrugineus dan j) O. rhinoceros
Figure 5. Herbivorous insect on sago canopy, (a-d) S. coriacea, e) Catantops brachypterus, f) Oxya chinensis, g) Diapheromera femorata, h) B. longissima, i) R. ferrugineus dan j) O. rhinoceros
Kumbang Coleoptera juga dapat menjadi indikator terhadap perubahan ekologis (Lee et al. 2012). Bentuk guntingan pada daun sagu, gejalanya sama dengan gejala serangan pada tamaman kelapa (Kalshoven 1981). Pelepah yang berlubang akan menghambat pertumbuhan pelepah daun dan menyebabkan anak daun mengering sampai pelepah daun patah. Kerusakan pelepah daun sagu ditemukan umumnya pada pertumbuhan sagu fase sapihan – batang/pohon. Baik larva dan kumbang sagu tertarik untuk makan serat di bagian dalam pelepah daun sagu. Selain itu pelepah daun sagu menjadi tempat hidup larva R. ferrugineus instar akhir untuk tahap kokon/pupa.
Kelimpahan dan distribusi serangga fitofag, antara lain dipengaruhi oleh kondisi areal sagu dengan kanopi terbuka. Kondisi ini secara langsung mengubah gradien suhu, cahaya dan kelembaban yang mempengaruhi aktivitas serangga (Schowalter 2012). Disamping itu, tanaman pendamping juga dapat menyediakan sumber daya makanan dan habitat untuk spesies serangga hama dan musuh alami (Kishinevsky et al., 2017). Serangga fitofag dari ordo Coleoptera banyak ditemukan fase larva dan imago/kumbang yang menyerang tanaman perkebunan. Coleoptera sebagai ordo terbesar atau lebih dari 300.000 spesies yang dikenal dalam Kingdom hewan (Jarzembowski et al. 2017). Sedangkan dari
ordo Orthoptera, serangga dewasa banyak ber-asosiasi dengan daun tanaman.
Kumbang sagu R. ferrugineus dan kumbang kelapa O. rhinoceros, keduanya mengalami perkembangan metamorfosis sempurna atau holometabola yaitu telur, larva, pupa, dan imago. Kumbang mempunyai tiga pasang tungkai, sepasang antena, dua pasang sayap (sayap depan mengeras atau elitron), sayap tersebut bertemu membentuk sebuah garis lurus jika tidak digunakan, sayap belakang membran (terlipat di bawah sayap depan), alat mulut menggigit mengunyah, serta bagian kepala bercula atau moncong. Semua spesies Rhynchophorus bersifat polyphagous dan memiliki kehidupan sejarah yang sama: betina biasanya tertarik oleh volatilitas palma dan meletakkan beberapa telur di bagian luka atau pelepah yang rusak, juga yang tidak rusak bisa diserang. Setelah beberapa hari telur menetas, larva yang berkembang di dalam batang, mengawali kerusakan tanaman (Mazza et al 2014).Telur memiliki panjang 2.9 – 3.5mm, lebar 0.5 – 0.9 mm, berbentuk lonjong dam berwarna putih bening. Telur yang dipanen berbentuk ovo-silinder, Rata-rata panjang 1,09 mm dan lebar 0,43 mm, dengan rasio LnW 4,42 (Al-Dosary et al.2010). Larva R. ferrugineushidup dan berkembang pada empulur pati sagu, sedangkan larva dari kumbang kelapa pada batang kelapa yang telah membusuk ataupun kotoran sapi. Bioekologi larvaR. Ferrugineus pada empulur pati sagu dari pohon sagu yang baru ditebang, sedangkan larva kumbang kelapa pada batang kelapa yang telah membusuk. Sehingga larva R. ferrugineusbanyak di cari masyarakat untuk konsumsi. Kedua kumbang ini aktif pada siang dan malam hari. Kumbang R. ferrugineus yang terbentuk dalam kokon memiliki variasi warna yaitu hitam berkilau dan coklat kemerahan. Kumbang jantan memiliki seta (rambut) pada bagian sungut di kepala. Serangga herbivor S. coriacea, C. brachypterus, O. chinensis, dan D. femorata merupakan kelompok belalang pemakan daun. Serangga-serangga ordo Orthoptera ini memiliki sayap dua pasang (sayap depan memanjang agak menebal atau tegmina), sayap belakang tipis, antena panjang/beruas-ruas (kadang lebih panjang dari tubuhnya), ovipositor panjang, dan alat mulut menggigit mengunyah. Serangga dewasa dengan kemampuan memanjat batang serta terbang dengan sifat polifag pada daun tanaman. Kerusakan daun dapat meng-ganggu proses fotosintesis untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Kumbang R. ferrugineus mudah ditemukan disekitar pohon rumpun sagu yang menunjukkan bahwa kumbang sagu ini lebih dominan menimbulkan kerusakan
66
anak daun dan pelepah daun muda tanaman sagu. Kerusakan daun dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman, serta akumulsi pembentukan pati dalam batang pohon sagu. Pertumbuhan pelepah daun terhambat, serta menyebabkan anak daun mengering sampai pelepah daun patah. Kerusakan pelepah daun sagu ditemukan umumnya pada pertumbuhan sagu fase sapihan – batang/pohon. Imago dan larva R. ferrugineus tertarik untuk makan serat di bagian dalam pelepah daun sagu. Selain itu pelepah daun sagu menjadi tempat hidup larva R. ferrugineusinstar akhir untuk tahap membentuk kokon R. ferrugineus. Potongan batang sagu ukuran 40 cm – 60 cm atau disebut “tual”yang biasa digunakan petani sagu dalam memulai proses pengambilan pati sagu apabila terlalu lama dibiarkan atau ±7 hari, dapat menjadi media perkembagan serangga ini (Senewe et al., 2017a). Selain itu banyak dilaporkan serangan serangga ini pada tanaman palma lainnya secara luas (Guerri et al. 2012).
Faleiro et al. (2012); Hoddle et al. (2013) melaporkan bahwa akibat induksi R. ferrugineus mengakibatkan kematian tanaman palma, dimana larva berkembang dalam jaringan sampai dengan terbentuk imago. Seluruh siklus hidup larva di dalam pelepah daun. Pada tanaman kurma Palma dactylifera, serangan dimulai saatimago betina meletakkan telur di bagian luka atau retak pada pelepah, celah batang, dekat akar dan tunas muda pohon kurma <20 tahun yang banyak disukai. Sallam et al. (2012) menyatakan terjadinya 90% infestasi oleh serangga ini pada bagian batang tanaman kurma dengan ketinggian 100 cm dari tanah. Di Saudi Arabia, diperkirakan 70% populasi P. dactylifera umur <20 thn terinfeksi hama ini atau 75% berada pada kelompok umur tanaman 6-15 tahun (El-Sabea et al. 2009). Tingginya intensitas larva pada bagian dalam batang dapat melemahkan dan menyebabkan kematian tanaman P. dactylifera lebih cepat. Untuk menekan laju pertumbuhan populasi serangga ini perlu tindakan pembersihan sisa-sisa tebangan tajuk dan pelepah sagu kering. Pengelolaan serangga R. ferrugineus pada tanaman sagu harus diantisipasi lebih awal karena sangat cepat reproduksinya. Tanaman sagu yang luas dapat menjadi sumber untuk terjadinya eksplosi hama R. ferrugineus ke tanaman palma lainnya seperti kelapa, kelapa sawit, aren, dan kurma. El-Sabea et al. (2009); Hoddle et al. (2013) menyatakan di Saudi Arabia, nilai estimasi biaya dalam mengendalikan R. ferrugineus pada tanaman kurma sebesar US$1.74 - 8.69 juta per tahun untuk (151 000 ha ; atau sekitar 23 juta pohon).
Serangga S. nubila dengan ciri khas morfologi memiliki sepasang antena yang panjang, tiga pasang tungkai yang panjang, serta dua pasang sayap (sayap depan lebih panjang dan lebih lebar dari pada sayap belakang). Per-kembangan serangga dari telur, nimfa dan imago atau serangga dewasa. Telur serangga ini berbentuk lonjong seperti bulir padi dan dijumpai pada tanah berpasir. Imago aktif pada malam hari dengan ciri khas suara berdesis dan tertarik cahaya. Nimfa dan serangga dewasa mulai memakan dari pinggiran anak daun sagu sampai menyisahkan lidi. Alouw dan Hosang (2016) menyatakan bahwa kemampuan terbang dari Sexava sp., serta kesuksesan dalam menemukan tanaman inang untuk tetap bertahan hidup, sangat ditentukan oleh olfactory sensilla dari serangga hama dan kepekaannya terhadap bau yang dikeluarkan tanaman inang. Senyawa sekunder yang bersifat volatil yang dikeluarkan tanaman, memberi ruang untuk serangga menemukan inangnya.
Sedangkan hama potensial B. longissima dapat dikategorikan sebagai hama utama yang menyerang pelepah muda atau kuncup daun sagu dan juga pada tanaman kelapa. Telur, larva, pupa dan imago B. longissima dapat dijumpai pada bagian dalam kuncup daun menunjukkan gejala bercak coklat. Perkembangan setiap fase B. longissima dapat merupakan informasi dasar dalam menunjang pengelolaan serangga fitofag ini. Kondisi tanaman yang monokultur dapat menimbulkan ekosistem yang seragam sehingga memungkinkan terjadinya dominasi hamaB. longissima(Lumentut et al. 2017).
Serangan kumbang dan larva (Coleoptera) pada tanaman sagu dapat berkembang di bawah kambium bagian floem, dimana aktivitas larva mengganggu transportasi nutrisi dan air di dalam pelepah daun dan pohon. Sedangkan serangga-serangga Orthoptera dengan tingkat kepadatan dan aktivitas tinggi memakan epidermis daun tanaman sagu, dapat mempengaruhi pertum-buhan dan perkembangan tanaman. Pemahaman rantai trofik dengan prinsip menjaga stabilitas ekosistem harus lebih diutamakan. Populasi hama tetap dijaga dalam batas keseimbangannya karena ada faktor pembatas yang kerjanya dipengaruhi oleh kerapatan populasi inang.
Fluktuasi nilai tanaman dan biaya per-lindungan tanaman menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Ambang ekonomi harus memperhitungkan kemampuan panen untuk mengetahui toleransi kerusakan akibat hama bervariasi dibanding kondisi normal. Kehilangan hasil memerlukan penilaian lebih lanjut, ambang
67
batas ekonomi harus didasarkan pada kuantifikasiserangan hama yang menyebabkan kerusakan tanaman. Ambang batas ekonomi harus di-dasarkan pada satu atau lebih kondisi dalam tanaman pada tahap pertumbuhan yang relevan serta memperhitungkan nilai dari hasil panen dan produk perlindungan tanaman. Ramsden et al. (2017) mengembangkan definisi ambang ekonomi dari beberapa peneliti yang terkait dengan kerusakan tanaman yang terserang hama, yakni 1) kerusakan tanaman akan menyebabkan hilangnya hasil terukur atau penurunan kualitas, 2) efek dari kerusakan tanaman akibat hama atau aktivitas lainnya terhadap pertumbuhan atau penampilan tanaman, 3) tingkat kerusakan yang mengarah ke tingkat kerusakan tanaman secara ekonomi dihubungkan dengan biaya pengendaliannya, 4) kepadatan populasi hama terendah akan mengarah pada garis batas keseimbangan ekonomi, 5) tindakan pengendalian harus dilakukan untuk mencegah populasi hama mencapai garis batas keseim-bangan ambang ekonomi, 6) resistensi tanaman menjadi penghambat dan mempengaruhi derajat kerusakan yang dilakukan oleh hama invertebrata, dan 7) toleransi tanaman terhadap kerusakan tanpa dampak yang nyata pada hasil. Intensitas serangan hama pada tanaman sagu tergolong kerusakan ringan. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi ekosistem hutan sagu di Maluku masih mengalami keseimbangan akibat bekerjanya faktor pengendali alami antara lain serangga predator dan parasitoid. Senewe et al. (2017b) melaporkan keberadaan Hymenoptera parasitoid pada beberapa areal hutan sagu di Maluku, dan teridentifikasi sebanyak 14 famili dan 30 morfospesies. Namun demikian gejala kerusakan tajuk dan pati tanaman sagu yang ditimbulkan oleh serangga hama harus di waspadai dalam upaya pengelolaan sagu kedepan.Pertanian yang dikelola secara intensif atau perkebunan monokultur, secara signifikan mengurangi keanekaragaman hayati Arthropoda disbanding-kan dengan hutan asli (Bruhl dan Eltz, 2010; Luke et al.2014; Ghazali et al. 2016).
KESIMPULAN
Gejala serangan akibat serangga fitofag pada tanaman sagu, mengakibatkan kerusakan dengan empat tipe yaitu: 1) bentuk guntingan pada daun, 2) lubang pada pelepah daun, 3) bentuk lidi pada daun, bergerigi, berlubang dan ujung anak daun terkulai, dan 4) bercak coklat memanjang pada kuncup daun. Insidensi dan
intensitas serangan tajuk tanaman sagu masing-masing 2.5% – 37.5% dan 0.63% – 5.63% (klasifikasi ringan). Insidensi dan intensitas serangan pada kedua lokasi tidak berbeda nyata, sedangkan insidensi serangan berdasarkan fase pertumbuhan sagu dan tipe kerusakan pada tajuk tanaman sagu terdapat perbedaan nyata.
Teridentifikasi serangga fitofag pada tanaman sagu, yaitu Rhynchophorus ferrugineus (Coleoptera: Curculionidae), Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae), Sexava coriacea (Orthoptera: Tettigoniidae),Catantops brachypterus (Orthoptera: Acrididae), Oxya chinensis (Orthoptera: Acrididae),Physus sp (Phasmatodea: Phasmatidae) dan Brontispa longissima (Coleoptera: Chrysomelidae).
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada Dr.Ir. Yusuf, MP dan Dr.Ir. Ismail Maskromo, M.Si yang telah memberikan saran dan masukan dalam memperkaya makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Alouw J.C. dan M.L.A. Hosang. 2016. Sexava nubile (Orthoptera: Tettigoniidae): Ledakan dan Kerusakannnya pada Tanaman Kelapa Sawit.Buletin Palma, Volume 17(2): 97 – 104. Al-Dosary M.M., A.M. Al-Bekairi, E.B. Moursy.
2010. Morphology of the egg shell and the developing embryo of the Red Palm Weevil, Rhynchophorus ferrugineus (Oliver). Saudi Journal of Biological Sciences 17:177-183. Amir Am, E. Karmawati, dan E.A. Hadat. 2004.
Evaluasi ketahanan beberapa aksesi jambu mete (Anacardium occidentale L.) terhadap hama Helopeltis antonii Sign. (Hemiptera: Miridae). Jurnal Litri 10(4): 149-153.
Bruhl C.A. and T. Eltz. 2010. Fuelling the biodiversity crisis: species loss of ground-dwelling forest ants in oil palm plantations in Sabah, Malaysia (Borneo). Biodivers. Conserv 19:519-529.
[CSIRO] Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization. 1996. The Insect of Australia: A Teexbook for Students and Research Workers. Second Edition. Victoria (AU): Melbourne Univ Pr.
El-Sabea, A.M.R., J.R Faleiro, and M.M. Abo-El-Saad. 2009. The threat of red palm Weevil Rhynchophorus ferrugineus to plantations of the gulf region in the Middle East: an
68
economic perspective. Outlooks Pest Manag. 20, (131-134).
Faleiro, J.R., A. Ben Abdullah, M. El-Bellaj, A.M. Al Ajlan, and A. Oihabi. 2012. Threat of red palm weevil, Rhynchophorus ferrugineus (Olivier) to date palm plantations in North Africa. Arab J. Plant Prot. 30, 274-280. Gardiner B, P. Berry, and B. Moulia. 2016. Review:
Wind impacts on plant growth mechanics and damage. Plant Science 245: 94–118. Ghazali A, S. Asmah, M. Syafiq, M. Yahya, N.
Aziz, A.R. Norhisham, C.L. Puan, E.C. Turner, and B. Azhar. 2016. Effects of monoculture and polyculture farming in oil palmsmallholdingson terrestrial arthropod diversity. Journal of Asia-Pacific Entomology 19:415-421.
Guerri-A.B, F.R. Lopez, L. Asensio, P. Barranco, and L.L.V. Lopez. 2011. Use of a solid formulation of Beauveria bassiana for Biocontrol of the red palm weevil (Rhynchophorus Ferrugineus) (Coleoptera: Dryophthoridae) under field conditions in se Spain. Florida Entomologist, 94(4):736-747. Gullan P. J. and P.S. Cranston. 2010.
Ground-Dwelling Insects: In Gullan P.J & Cranston P.S, Editor. The Insects: An Outline of Entomology. 4th edition, Wiley-Blackwell,
Oxford, pp. 242–256.
Hoddle M.S, Abdul Hadi Al-Abbad, H.A.F. El-Shafie, J.R. Faleiro, A.A. Sallam, and C.D. Hoddle. 2013. Assessing the impact of areawide pheromone trapping, pesticide applications, and eradication of infested date palms for Rhynchophorus ferrugineus (Coleoptera: Curculionidae) management in Al Ghowaybah, Saudi Arabia. Crop Protection 53: 152-160
Jarzembowski E.A., B. Wang, and D. Zheng. 2017. Another amber first: A tinytetraphalerin beetle (Coleoptera: Archostemata) in Myanmar birmite, Cretaceous Research, 78: 84-88.
Kalshoven L.G.E, 1981. Pest of crops in Indonesia. Jakarta(ID): PT Ichtiar Baru-Van Hoeve. Khurelpurev O and M. Pfeiffer. 2017. Coleoptera in
the Altai Mountains (Mongolia): species richness and community patterns along an ecological gradient. Journal of Asia-Pacific Biodiversity xxx:1-9.
Kishinevsky M, T. Keasar, A.R. Harari, and E. Chiel. 2017. A comparison of naturally growing vegetation vs. border-planted companion plants for sustaining parasitoids in pomegranate orchards. Agriculture, Ecosystems and Environment 246: 117–123.
Lee E.D, H.K. Min, and K.S Oh. 2012. Appearance of carrion beetles (Coleoptera:Silphidae) by altitudes in Deogyusan National Park, Jeollabuk-do, Korea. Journalof Korean Nature. 5: 11-15.
Luke S.H, T.M. Fayle, P. Eggleton, E.C. Turner, and R.G. Davies. 2014. Functional structure of ant and termite assemblages in old growth forest, logged forest and oil palm plantation in Malaysian Borneo. Biodivers. Conserv 23:2817-2832.
Lumentut N, S. Karindah, dan M.L.A. Hosang. 2017. Kelimpahan Brontispa longisima Gestro (Coleoptera: Chrysomelidae) dan Musuh Alami pada Tanaman Kelapa. Buletin Palma. 19(1): 1 – 14.
Mazza G, V. Francardi, S. Simoni, C. Benvenuti, J.R. Faleiro, E. Llácer, S. Longo, R. Nannelli, R. Cervo, E. Tarasco, and P.F. Roversi. 2014. An overview on the natural enemies of Rhynchophorus palm weevils, with focus on R. ferrugineus. Bio Con.77:83-92.
Novarianto H. 2013. Potensi sagu Kepulauan Riau. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 35(1):1-3.
Ramsden M.W, Kendall S.L, Ellis S.A, Berry P.M. 2017. A review of economic thresholds for invertebrate pests in UK arable Crops. Crop Protection 96:30-43
Sallam A.A, H.A.F. El-Shafie, and S. Al-Abdan. 2012. Influence of farming practices on infestation by red palm weevil Rhynchophorus ferrugineus (Olivier) in date palm: a case study. Int. Res. J. Agric. Sci. Soil Sci. 2: 370-376.
Schowalter T.D. 2012. Insect Responses to Major Landscape-level Disturbance. Annu. Rev. Entomol. 57: 1–20.
Senewe R.E, H. Triwidodo, Pudjianto, and A. Rauf. 2017a. The Biology of Rhynchophorus
ferrugineus Olivier (Coleoptera:
Curculionidae) on Sago Cuttings (Metroxylonspp.) in Maluku Forest of Sago, Indonesia. International Journal of Sciences: Basic and Applied Research. 35(3):121-138. Senewe R.E., H. Triwidodo, Pudjianto, dan A.
Rauf. 2017b. Komunitas Hymenoptera Parasitoid pada Areal Hutan Sagu (Metroxylon spp.) di Maluku. Buletin Palma, 18(1): 9 – 21.