• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS TERHADAP BAHASA AGAMA MENURUT ALI HARB. A. Pendapat Ali Harb Tentang Bahasa Agama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV ANALISIS TERHADAP BAHASA AGAMA MENURUT ALI HARB. A. Pendapat Ali Harb Tentang Bahasa Agama"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

ANALISIS TERHADAP BAHASA AGAMA MENURUT ALI HARB

A. Pendapat Ali Harb Tentang Bahasa Agama

Ada dua pendekatan yang menonjol dalam memahami ungkapan-ungkapan keagamaan, yaitu theo – oriented dan anhtropo – oriented, mengenai yang pertama apa yang disebut bahasa agama adalah kalam ilahi yang kemudian terabadikan ke dalam kitab suci. Di sini, Tuhan dan kalam-Nya lebih ditekankan sehingga pengertian bahasa agama yang paling mendasar adalah bahasa kitab suci. Yang kedua, bahasa agama adalah ungkapan serta perilaku keagamaan dari seseorang atau sebuah kelompok sosial. Bahasa agama dalam pengertian kedua ini adalah wacana keagamaan yang dilakukan oleh umat beragama maupun sarjana ahli agama, meskipun tidak selalu menunjuk serta menggunakan ungkapan-ungkapan kitab suci. Pendekatan pertama dan kedua saling berkaitan karena semua kitab suci pada gilirannya akan melahirkan penafsiran baik dalam bentuk lisan maupun tulisan yang dilakukan oleh manusia.1

Ketika terjadi penafsiran terhadap teks kitab suci, maka munculah metode-metode yang ditawarkan oleh beberapa tokoh kontemporer Islam; salah satunya adalah tokoh dari Lebanon yang bernama Ali Harb. Menurut Ali Harb teks harus dibaca melalui metode hermeneutik, yaitu suatu teori atau filsafat tentang interpretasi makna.2 Kata hermeneutika itu sendiri berasal dari kata kerja Yunani hermeneuien yang memiliki arti menafsirkan, menginterpretasikan atau menerjemahkan.3 Oleh karena itu hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai “proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti”. Batasan umum ini selalu dianggap benar,

1

Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, Jakarta teraju, 2003, hlm. 6 2

.Ahmala, Hermeneuutik Transendental; Konfigurasi Filosofis Menuju Praksis Islamik Studi, Yogyakarta, IRCiSoD, 2003, hlm.14

3

Hilman Latief, Nasr Hamid Abuzaid, Tentaang Kritik Teks Keagamaaan, Yogyakarta, eLSAQ, Press, hlm. 72

(2)

58

baik hermeneneutik dalam pandangan klasik maupun dalam pandangan modern. Hermeneutik bisa juga digunakan dalam dua bentuk; pertama, teks dan lain-lain; kedua, menemukan instruksi-instruksi yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, dengan lain kata, studi hermeneutik mencoba menganalisis dan menjelaskan teori penafsiran teks dengan mengajukan pendekatan-pendekan keilmuan yang lain yang dengan sendirinya menguji proses pemahaman, mekanisme penafsiran dan penjelasan (teks).

Menurut Ali Harb berfikir merupakan kerja nalar. Takwil adalah metodenya untuk mengkaji hal-hal wujud.4 Tidak harus pemikir dibungkam agar nalar menjadi hampa. Takwil pun tidak harus dibatasi agar signifikansi tidak menjadi hilang. Nalar selalu membutuhkan pengulangan terhadap apa yang dipikirkannya, dan seolah benda-benda terus menerus lepas dari rasionalitas dan salah satu sisi dari “yang benar”. Kebenaran tidak mungkin diungkap secara final. Kebenaran merupakan gambaran dari “yang benar” karena “yang benar” dipandang dalam setiap gambaran.

Pada faktanya takwil menggambarkan cendela “nalar Arab” menuju kebenaran dan mewujudkan keterbukannya yang tinggi terhadap wujud. Nalar Fiqh “mengembangkan” madzhab-madzhab yang telah dikembangkan dalam hukum melalui ijtihad, sebagaimana kata Muhammad Iqbal, sedangkan “nalar filsafat” dan khususnya “nalar sufi” menciptakan “kemenangan-kemenangan” pemikiran melalui takwil. Karenanya, penakwilan-penakwilan sejati merupakan upaya-upaya “nalar Arab” yang amat luas, mendalam dan orisinil. Alasannya adalah takwil berarti signifikansi lebih kaya dan lebih luas dari pada jika dibatasi; takwil merupakan terobosan menuju aspek batin dan mendalam melampaui aspek lahir, dan takwil berarti panggilan ulang sumber pokok secara baru dan radikal.

Perbedaan penakwilan dan wacana merupakan bukti kekayaan dan keragaman budaya. Wahyu lebih luas dari pada dibatasi signifikansinya, dan

4

Ali Harb, Hermeneutik kebenaran, terj. Sunarwoto Dema, Yogyakarta, LKiS, 2003, hlm. 170

(3)

59

kebenaran terbuka bagi setiap jalan. Karena itu, upaya untuk membatasi makna atau pendapat (bahwa jalan menuju kebenaran adalah satu), sesungguhnya muncul ketika penakwil-penakwil berubah menjadi madzhab-madzhab bahkan keyakinan, dan ketika nalar berubah menjadi sistem tertutup yang menghasilkan premis-premis. Inilah ciri asas “nalar ideologis” konteks yang terjadi antara para filsuf dan para mutakalim (para teolog muslim) tiada lain adalah salah satu sisi konflik antara dua nalar: ideologis dan filosofis.

B. Cara Membaca Teks ke Konteks

Sebenarnya, antara teks, konteks, dan wacana merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.5 Guy Cook, misalnya, menyebut ada tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana; teks, konteks, dan wacana, Cook mengartikan teks sebagai semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang terletak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi semua komunikasi, ucapan, musik, gambar efek suara, dan sebagainya. Konteks memasukan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipasi dalam bahasa, situasi di mana, di sini, kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama. Titik perhatian dari analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi.

Selama ini Islam selalu menggalmi kemunduran dalam hal keilmuan dan teknologi, dibandingkan dunia Barat, karena umat Islam pada umumnya menggangap bahwa teks keagamaan sudah final kebenaranya, sehingga mereka tidak berani mendekonstruksi ulang teks-teks kitab suci. Maka dari sinilah Ali Harb mencoba untuk menawarkan cara membaca teks dengan metode takwil.

5

Alex Sobur, Analisis Teks Media, Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana Analisis Semitik, Dan Analisis Framing, Bandung, PT. Remaja Rosadakarya, 2002, hlm. 56

(4)

60

Pembacaan menurut Ali Harb, pada hakikatnya adalah, aktivitas pemikiran atau kebahasaan yang melahirkan perbedaan, pencipta perbedaan.6 Sebuah pembacaan pada dasarnya berbeda dari apa yang diinginkan oleh teks. Dan pada esensinya ia berbeda dari apa yang hendak dibacanya (teks). Syarat pembacaan, bahkan raison'detre (alasan utama) memanglah demikian, yakni adanya perbedaan apa yang ingin dibaca (teks), tetapi pada saat yang sama pembaca aktif dan produktif dengan perbedaanya dan demi perbedaan itu sendiri, suatu pembacaan yang dimaksudkan untuk membaca apa yang telah dibaca pengarang teks, secara harfiah, sama sekali tidak memiliki justifikasi, karena sumber pokok lebih unggul dari pada pembacaan itu sendiri, bahkan pengarang teks tidak membutuhkan pembaca. Ini bukan berarti bahwa pembacaan yang demikian itu merupakan penipuan dan pemalsuan, Karena pembacaan harfiah merupakan tuntutan yang sulit terwujud dan keinginan yang sangat mustahil dicapai, sebab berhenti pada makna harfiah teks berarti mengulang-ulang, sementara teks tidaklah berulang. Karena jika ia berulang maka sia-sialah keberadaanya sebagai bacaan.

Jadi, pembacaan bukan semata-mata gema teks, melainkan ia merupakan satu dari sekian banyak kemungkinan yang berbeda-beda. Ketika membaca, seorang pembaca tidaklah seperti cermin yang tak berperan selain memantulkan bentuk-bentuk, konsepsi-konsepsi, dan makna-makna yang ingin dikatakan sang pemilik teks. Secara harfiah teks adalah cermin yang di dalamnya seorang pembaca bercermin, untuk mengenali salah satu maknanya. Pada dasarnya teks kuasa atas hal itu, karena teks yang layak baca pada hakikat dan strukturnya akan membentuk wilayah metodologis yang memungkinkan pembaca untuk menguji pendekatannya, atau bagian teoretis yang memugkinkannya untuk menciptakan makna, atau mengeluarkan suatu gagasan . Intinya, teks membentuk suatu dunia tanda- tanda dan isyarat-isyarat

6

(5)

61

yang selalu dapat ditafsirkan dan ditakwilkan, dan mengajak untuk membaca apa yang tak terbaca.7

Dalam membaca sebuah teks Ali Harb selalu melihat konteks yang ada, sehingga Ali Harb tidak mempercayai kebenaran teks, karena menurutnya teks itu mempunyai makna-makna yang tersembunyi di dalam simbol, sehingga dalam menafsirkan sebuah teks harus melihat makna yang lain dari makna-makna yang sudah dibaca pada umumnya.

Sekali lagi, disini Ali Harb tidak bermaksud mempertahankan pendapat bahwa pembaca akan membaca apa yang ingin dibacanya di dalam teks, atau apa yang dia ingin baca. Sebab jika tidak demikian, maka pembacaannya akan sia-sia dan kosong belaka. Dalam arti bahwa pembacaan bukanlah kemungkinan untuk mengatakan segala sesuatu di dalam segala hal, tetapi maksudnya adalah bahwa pembaca, ketika membaca teks, sesungguhnya ia menanyakan teks dan mengajaknya berdialog. Ketika pembaca melakukan hal itu maka pada saat itu pembaca sesungguhnya menanyakan dirinya sendiri. Dia mengungkap teks seperti dia mengungkap dirinya, dan dia mewujudkan kemungkinan yang melahirkan ucapan pengarang, seperti dia melampaui kemungkinan-kemungkinanya sebagai pembaca. Oleh karenaya, jika pembaca menanyakan kebenaran teks pada giliranya, menanyakan kebenaran pembaca dan identitasnya. Dengan kata lain, ada perkenalan antara teks dan pembaca, sama persis seperti perkenalan antara dua orang atau subjek, yaitu perkenalan yang melahirkan pengenalan pembaca terhadap dirinya secara baru, dan pengetahuanya terhadap teks dengan cara yang belum diketahui sebelumnya. Dengan demikian jika pembaca beradaptasi dengan teks, dan mendekati dunianya, atau bersatu denganya, maka teks mendorong pembaca untuk merenung dan berpikir, mengajaknya mewaspadai kekuatan-kekuatannya, mencoba kemampuanya, dan menunjukan bakatnya. Barangkali teks memberi kenikmatan pada pembaca, dan membentuk, jika dinisbatkan padanya, objek kenikmatan sebagaimana

7

(6)

62

pendapat Roland Barthes. Teks diibaratkan seperti tubuh, kadang "memikat" pembaca pada dirinya lalu membujuknya, dan membuka hasratnya untuk berkata, dan menggerakan keingginanya untuk mengetahui, sehingga pembaca merasa nyaman bersamanya, mengesankan dan merindukan, sesungguhnya, jika teks diibaratkan seperti cermin yang di dalamnya pembaca melihat dirinya, dengan satu gambar atau makna, maka manakala pembaca ikut serta dalam proses identifikasi dengan diri (subjek) dan pemerolehan identitas, cermin melahirkan suatu bentuk perasaan narasisme, dan dengan begitu menjadi sumber kegembiraan, karena setiap identifikasi berbau dengan kerinduan diri dan kenikmatan bersamanya.

Inilah karakteristik teks yang layak dibaca: ia tidak mengandung signifikansi yang telah tersedia dan final, tetapi ia adalah ruang semantik dan kemungkinan tafsir. Oleh karena itu, ia tidak terpisah dari pembacanya dan tidak juga terwujud tanpa keikutsertaan pembaca. Setiap pembacaan mewujudkan kemungkinan semantik yang belum terwujud sebelumnya. Setiap pembacaan adalah pengungkapan baru, karena setiap pembacaan mengungkap salah satu dimensi teks yang belum diketahui, atau menguak selubung salah satu level semantisnya. Dengan demikian, pembacaan ikut andil dalam memerbarui teks, dan berfungsi mengubahnya. Teks tidak terbarui dan tidak berubah, selain karena ia dengan sendirinya memiliki kemungkinan memperbarui dan mengubah. Jadi, ada komunikasi dan dialog antara teks dan pembacanya. Hubungan antara keduanya adalah hubungan strukutrtural, dimana keduanya saling bergantung satu sama lain. Pembaca menjamin teks, dan pada giliranya, teks menjamin pembacaan dari masing-masing pembaca. Dari sinilah keterbukaan teks terhadap perbedaan dan pluralitas. Pandangan inklusif terhadap teks ini mendapatkan legitimasinya dari perbedaan pembacaan-pembacaan terhadap suatu teks. Jika teks tidak demikian, yakni tidak terbuka kemungkinan bagi banyak pembacaan, tentu pembacaanya tidak berubah dan signifikansinya pun tidak beraneka ragam pada setiap pembacaan. Jadi tidak ada netarlitas dalam pembacaan. Bahkan setiap pembacaan suatu teks adalah pembacaan di dalamnya, yakni pembaca, yakni

(7)

63

pembacaan yang aktif produktif, membentuk kembali teks, dan memproduksi makna. Oleh karena itu, menurut kami, pembacaan harfiah adalah suatu penipuan, kecuali jika itu berarti pengulangan-pengulangan kosong.

Sedangkan menurut Nasr Abu Zaid tentang membaca teks dari konteks ini agak berbeda dari Ali Harb, kalau Ali Harb mengatakan bahwa teks harus dibaca ulang, dengan melihat makna-makna yang belum pernah terbaca sebelumnya, Nasr Abu Zaid, agak berbeda dengan Ali Harb bahwa pembacaan merupakan bagian dari keseluruhan sistem konteks, dan merupakan bagian dari struktur teks.8 Akan tetapi pembacaan itu sendiri terbentuk sebagai struktur tersendiri dari tingkatan pembacaan. Ia membaginya kepada dua hal; (1) kondisi pembaca itu sendiri dan (2) beragamnya pembacaan, yang muncul disebabkan perbedaan pada aspek pemikiran dan idiologi, tentunya hasil interpretasi sangat tergantung dengan temporalitas dan pembaca atau penafsir. Problem lain yang terdapat dalam konteks pembacaan ini adalah sang pembaca harus melakukan transformasi wacana dari suatu fase perbedaan tertentu kepada peradaban yang lain, juga melakukan transformasi makna dari suatu bahasa asli kepada bahasa lain.

Sebagaimana pernah diungkapkan olehnya bahwa di dalam sejarah kebudayaan Arab- Islam terdapat perbedaan sekitar interpretasi teks-teks keagamaan. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal, mungkin muncul dari Al-Quran sendiri, atau mungkin juga dari cara membacanya. Beberapa bidang ilmu pengetahuan sangat terkait dan berpengaruh dengan proses pembacaan ini, diantaranya adalah ilmu bahasa, sastra dan ilmu kalam dan bahkan filsafat. Ilmu-ilmu yang digunakan sebagai pisau analisis atau perspektif tersebut dapatlah dikatakan sebagai praangapan yang mungkin meliputi sang penafsir. Dinyatakan oleh Imam Ali dalam menolak sikap kaum khawarij, misalnya,

8

Hilman Latief, Nasr Abu Zaid kritik keagamaan, Yogyakarta, cLSAQ Prees, 2003, hlm. 115

(8)

64

"Sesungguhnya mushaf Al-Qur'an itu tidak berbicara, akan tetapi yang berbicara itu adalah manusia".

Apabila teks Al-Quran itu tidak berbicara (dan tidak pula menunjukan sesuatu) dan yang berbicara disitu adalah manusia (pembaca), itu berarti bahwa pembacaan atau konteks pembacaan adalah merupakan bagian dari sistem konteks yang memproduksi makna teks yang tidak hanya dipengaruhi oleh konteks eksteren belaka. Dengan kata lain, pembaca mempunyai relasi secara spefisik dengan teks dan konteksnya sendiri.9 Inilah nantinya yang mempengaruhi pergeseran, perubahan, dan pengembangan makna (signifikansi) dari teks Al-Quran.

Dalam kajian hermeneutik, konteks-konteks tersebut di atas berperan sangat penting untuk memaknai teks. Teori yang merupakan gagasan dari Schleirmacher ini dimasukan dalam teori gisteswissenschaften Wilhelm Dilthey, yaitu sebagai dasar-dasar ilmu kemanusiaan (human studies) ragam konteks tersebut di manifestasikan dalam beberapa konteks sebagai berikut; "konteks makna" dan "konteks interaksi".

Semua pemakaian bahasa mempunyai konteks. Ciri-ciri "tekstual" memugkinkan wacana menjadi padu bukan hanya antara unsur-unsurnya dalam wacana itu sendiri tetapi juga dengan konteks situasiya. Dari penjelasan interelasi konteks di atas, setidaknya terdapat tiga unsur yang ada dalam pembentukan teks. Tiga unsur itu adalah pertama, medan wacana, jenis kegiatan, sebagaimana dikenal dalam kebudayaan, yang sebagian diperankan oleh bahasa (memperkirakan makna pengalaman). Ulasan medan wacana ini telihat ketika Nasr Abu Zaid mengulas konteks sosiokultural dalam formulasi teks. Kedua, pelibat wacana - pelaku atau tepatnya peran interaksi, antara yang terlibat dalam penciptaan teks (memperkirakan antar pelibat ) Nasr Abu Zaid sendiri menempatkan posisi pelibat wacana itu dalam telaah tentang wacana Al-Quran dan ketersusunan wacananya atau yang disebut dengan konteks intern dan konteks ekstern, dan ketika, sarana wacana fungsi khas yang di

9

(9)

65

berikan kepada bahasa dan saluran retorisya (memprakirakan makna tekstual), ditempatkan dalam konteks narasi dan interpretasi. Dengan adanya kaitan erat antara teks dan konteks, maka pembaca dan pendengar melakukan prakiraan-prakiraan, mereka membaca dan mendengarkan, dengan dugaan-dugaan tertentu tentang hal yang akan muncul kemudian. Bila seorang membaca dan mendengarkan Al-Quran untuk mempelajari sesuatu, kemampuan memprakirakan itu sangat penting, karena tanpa kemampuan itu, proses seluruhnya menjadi lambat. Seluruh isi bacaan mungkin terlepas jika pembaca atau pendengarnya tidak menyertakan prakiraan-prakiraan yang tepat dan bersumber dari konteks situasi di atas.

Bagaimana pun jika konteks situasi di atas hanyalah merupakan lingkungan yang langsung. Masih ada latar belakang lebih luas yang harus diacu dalam menginterpretasikan teks, yaitu konteks budaya dan setiap konteks situasi yang sebenarnya, susunan medan tertentu, pelibat, dan sarana yang telah membentuk teks itu, bukanlah suatu kumpulan ciri yang acak, melainkan suatu keutuhan yang secara khas bergandengan dalam suatu budaya.

Kalau pendekatan diatas dikembangkan maka, implikasinya cukup signifikan, menurut Ali Harb hal itu akan terjadi dekonstruksi penafsiran terhadap semua teks, baik itu teks Al-Qur'an maupun Hadis yang sebagian kesimpulanya sudah dianggap baku atau final. Ketegangan dan konflik yang muncul dalam sejarah pemikiran Islam selalu berkisar antara kecenderungan untuk mensakralkan teks atau tradisi disatu sisi dan melakukan pembongkaran serta rasionalisasi disisi lain. Konteks selalu menyertai lahirnya sebuah teks, sedangkan pada urutanya, teks kadangkala menjadi otonom dan fungsinya berbalik menjeaskan serta memaksakan katagori-katagori normative atas realitas sosial.

Dalam Islam, hubungan antara teks dan konteks, antara wahyu dan tradisi sedemikian dekatnya, sehingga secara historis dan teologis terdapat mekanisme kontrol dan sekaligus juga dorongan untuk selalu berimprovisasi.

(10)

66

Semangat inovatif cenderung melakukan pembongkaran atas penafsiran dan tradisi, sedangkan pemahaman spritualitas cenderung memelihara wibawa teks, khususnya Al-Quran dan Hadis, yang berfungsi sebagai alat kontrol atau kendali, semua usaha dekonstruksi dan rekonstruksi penafsiran atas doktrin agama.

Suatu teks memiliki berbagai gradasi, beragam aspek, aneka pertentangan, kekaburan, celah dan lubang, bahkan juga memiliki realitas maya dan ruang kosong.10 Karenanya, sebuah teks di baca dengan membahasnya menurut perbedaan aspek-aspek linguistik, atau membuka kemungkinan-kemugkinan semantisnya, atau mengungkap struktur maknanya, atau ekspansi bidang garapanya. Berdasarkan pertimbangan di atas, sebuah teks mungkin untuk diteliti dan dibaca, atau dianggap sebagai wacana yang bergerak tanpa titik akhir, atau paparan yang tidak mungkin untuk dihentikan. Pembacaan sebagai bentuk perlakuan terhadap teks dapat di anggap sebagai ruang yang terbuka, di mana di dalamnya dapat diselidiki kemungkinan-kemungkinan rasionalnya atau kekayaan strukturalnya, sehingga penelitian terhadap kekuatan yang mencerahkan menjadi keniscayaan.

Pembacaan teks dengan model ini tersusun berdasarkan dua hal, yaitu pertama, menghindari aktivitas analisis-analisis yang merupakan kerja pemikiran. Aktivitas analisis –analisis tersebut menyangkut beberapa madzhab, sistem dan orientasi, baik bersifat ideologis, saintifik atau metodologis. Pengaruh pemikiran ini lebih luas dan lebih kaya dari pada membatasinya dengan orientasi yang pasti, jelas dan tetap, atau menentukan dengan sistematika yang kaku, atau memaksakan bentuk-bentuknya. Untuk itu tujuan rekonstruksi akhir itu identik dengn karakter normatif-dogmatis atau irrasional.

Kedua, pembacaan yang efektif tidak mungkin akan menghasilkan sesuatu, kecuali jika teks yang akan dibaca itu berbeda. Itu berarti bahwa

10

Ali Harb, Relavitas Kebenaran Agama; Kritik dan Dialog, terj.,Umar Bukhory, IRCiSoD, Yogyakarta, 2001, hlm. 16

(11)

67

sebuah pembacaan tidak akan membuang prinsip dasar yang dimaksud oleh si penuilis teks, akan tetapi merupakan pembicaraan teks yang memungkinkan hadirnya kemungkinan makna lain yang sama sekali berbeda. Sebuah pembacaan mendasarkan diri pada sumber teks, menganalisisnya dan menggungkapkanya dengan tujuan untuk menafsirkannya dan merekonstruksi bangunan teorinya atau malah memetakannya. Hal itu dapat diwujudkan dengan pemikir yang berdasarkan teks tersebut, serta dengan metode yang sama sekali lain dengan metode yang dipergunakan penulisnya. Sebuah teks – berdasarkan teori ini- memiliki sifat plural, serta mengandung banyak perbedaan sekaligus kemiripan dan keserupaan. Sebuah pembacaan yang baik bukanlah yang sesuai dengan teks, melainkan yang berbeda dengannya. Karena itu sebuah teks yang terbuka mendorong kemampuan berpikir, karena ia membuka kemungkinan untuk di baca guna menjelaskanya. Sedangkan teks yang tertutup adalah paparan yang tidak mendorong kemampuan berpikir, karena ia tidak memungkinkan untuk di baca dan ditafsirkan. Ia hanyalah

sebuah teks yang di baca dan didengarkan serta tidak bermakna apa-apa.11

11

Referensi

Dokumen terkait

Disamping itu, terdapat berbagai hambatan yang menyebabkan Knowledge Management menjadi sulit untuk dapat diimplementasikan pada UKM, yaitu tidak adanya alat yang

LATAR BELAKANG LANDASA N TEORI CONTOH NARKOBA JENIS BARU PEMBAHAS AN UPAYA PENCEGAH

Berdasarkan itulah maka peneliti tertarik untuk menelaah lebih jauh kunjungan keempat pemeriksaan kehamilan terhadap kejadian bayi berat lahir rendah di desa Lok

Untuk mengetahui tingkat pemahaman Saudara setelah mempelajari dan melakukan aktivitas pada kegiatan pembelajaran ini, Saudara diminta untuk menjawab pertanyaan berikut

Tanaman kakao dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang memiliki pH.. 6-7,5; tidak lebih tinggi dari 8 serta tidak lebih rendah dari 4, paling

Pembahasan yang dilakukan pada penelitian ini merujuk pada penelitian-penelitian terdahulu yang terkait dengan pengaruh kualitas produk, promosi, harga dan persepsi

Berda- sarkan hal tersebut timbul suatu kewajiban atau tanggung jawab dari pengangkut untuk membe- rikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan, dikarenakan bus Transjakarta