• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KUALITAS PROTEIN BUBUR BAYI, KONSENTRAT PROTEIN KEDELAI, REBON DAN KASEIN TERHADAP PERTAMBAHAN BERAT BADAN TIKUS PERCOBAAAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS KUALITAS PROTEIN BUBUR BAYI, KONSENTRAT PROTEIN KEDELAI, REBON DAN KASEIN TERHADAP PERTAMBAHAN BERAT BADAN TIKUS PERCOBAAAN."

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1414 ANALISIS KUALITAS PROTEIN

BUBUR BAYI, KONSENTRAT PROTEIN KEDELAI, REBON DAN

KASEIN TERHADAP PERTAMBAHAN BERAT BADAN TIKUS

PERCOBAAAN.

Anna Henny Talahatu*

ABSTRACT

Quality of protein assessed by pursuant to growth speed that happened after consuming and digesting something protein and sum up the absorbent nitrogen or used by body. Complete protein can guarantee to take place body growth better and can look after or change the jaringan-jaingan gangrene while incomplete protein although cannot guarantee the growth but able to to look after the body network. To know the high protein source food with quality [is] visible from value of indicator of protein quality for example Protein of Efficiency Ratio ( PER), Biological Value ( BV), Net of Protein Utilization ( NPU), Net of Protein Ratio ( NPR), True Digestibility ( Dt) And Apparent Digestibility ( Da). Design the research developed in this research is experiment by using attempt mouse with the indicator of[is existence of heavy accretion [of] body and also protein quality of some food. Result of research indicate that the heavy accretion mean of body ( 8,5 gr) biggest mouse gave by the baby mush in its diet, as for heavy degradation of body (- 2,4 gr) mouse gave the konsentrat of soy protein ( KPK) in its diet. Hereinafter from assessment of quality of protein known that the value of PER highest is baby mush ( 10.03), highest value BV is consentrat of soy protein ( KPK:0,99), assess the highest NPU is consentrat of

soy protein ( KPK:1,28) And kasein ( 1,23), highest value NPR is baby mush ( 0,13) while value Dt ( protein / casein 1,36) and Da for all protein type tried much the same to

Keyword : Protein quality, Growth gained body.

ABSTRAK

Mutu protein dinilai berdasarkan kecepatan pertumbuhan yang terjadi setelah mengkonsumsi dan mencerna sesuatu protein dan jumlah nitrogen yang diserap atau digunakan oleh tubuh. Protein lengkap dapat menjamin berlangsungnya pertumbuhan tubuh dengan baik dan dapat memelihara atau mengganti jaringan-jaingan tubuh yang rusak sedangkan protein yang tidak lengkap walaupun tidak dapat menjamin pertumbuhan tetapi mampu untuk memelihara jaringan-jaringan tubuh. Untuk mengetahui makanan sumber protein berkualitas tinggi dapat dilihat dari nilai indikator-indikator kualitas protein antara lain Protein Efficiency Ratio (PER), Biological Value (BV), Net Protein Utilization (NPU), Net Protein Ratio (NPR), True Digestibility (Dt) dan Apparent Digestibility (Da). Disain penelitian yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah eksperimen dengan menggunakan tikus percobaan dengan indikator adanya pertambahan berat badan serta kualitas protein pada beberapa makanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pertambahan berat badan (8,5 gr) tikus yang paling besar adalah tikus yang diberi bubur bayi dalam dietnya, adapun penurunan berat badan (-2,4 gr) tikus yang diberi konsentrat protein kedelai (KPK) dalam dietnya. Selanjutnya dari penilaian mutu protein diketahui bahwa nilai PER yang tertinggi adalah bubur bayi (10.03), nilai BV yang tertinggi adalah konsentrat protein kedelai

(2)

1414

(KPK:0,99), nilai NPU yang tertinggi adalah konsentrat protein kedelai (KPK:1,28) dan kasein (1,23), nilai NPR yang tertinggi adalah bubur bayi (0,13) sedangkan nilai Dt (protein/casein 1,36) dan Da untuk semua jenis protein yang dicobakan hampir sama.

Keyword: Kualitas protein, Pertambahan berat badan.

Kualitas protein menunjukkan kemampuan protein untuk memenuhi kebutuhan gizi hewan dan manusia akan nitrogen non esensial dan asam amino esensial. Perbedaan kualitas protein dapat diperoleh dengan mengetahui skor kimia, protein efficiency ratio, biological value dan net protein utilization. Metodologi untuk menentukan kualitas protein didasarkan pada mempelajari keseimbangan nitrogen atau pertumbuhan tikus. Pada akhir tahun 1960an hubungan antara asupan energi dan protein telah diuji dan kebutuhan protein manusia telah dinilai. Penentuan kualitas protein menjadi subjek yang dipertimbangkan dengan anggapan bahwa defisiensi protein telah tersebar luas, dan menjadi pertimbangan yang menarik dalam treatmen malnutrisi dengan diet kaya protein. Selama periode ini banyak peneliti berorientasi kepada penemuan-penemuan sumber protein baru dan mengembangkan teknik mengevaluasi kualitas protein.

Seiring dengan perkembangan ilmu gizi terutama gizi pertanian, ahli-ahli gizi pertanian sering dihadapkan kepada penentuan mutu protein makanan campuran baru atau varietas-varietas bahan baru. Kandungan protein suatu bahan makanan yang tinggi belum menjamin mutunya tinggi pula. Oleh karena itu perlu dilihat mutunya melalui percobaan pada binatang (Sibarani, 1986).

Beberapa peneliti pada saat ini mempertimbangkan bahwa kualitas protein sangat penting dalam masalah nutrisi bagi manusia. Sebagaimana diketahui bahwa protein sangat penting bagi tubuh manusia terutama untuk pertumbuhan dan pemeliharaan. Kekurangan protein dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan bahkan menimbulkan penyakit yang sangat berbahaya terlebih jika diiringi dengan defisiensi energi.

Mengingat pentingnya protein bagi tubuh manusia maka perlu diperhatikan asupan protein ke dalam tubuh sehingga dalam hal ini makanan yang dikonsumsi sebaiknya adalah protein dengan kualitas tinggi yaitu protein yang dapat mensuplai asam amino yang dibutuhkan oleh tubuh. Untuk mengetahui makanan sumber protein berkualitas tinggi dapat

(3)

1414

dilihat dari nilai indikator-indikator kualitas protein antara lain Protein Efficiency Ratio (PER), Biological Value (BV), Net Protein Utilization (NPU), Net Protein Ratio (NPR), True Digestibility (Dt) dan Apparent Digestibility (Da) dan lain-lain.

Berdasarkan pertimbangan besarnya peranan protein bagi manusia dan pentingnya mengetahui makanan sumber protein berkualitas tinggi maka perlu dilakukan pengenalan penentuan kualitas protein bagi ahli gizi. Oleh sebab itu dilakukan percobaan sebagai salah satu upaya mewujudkan hal tersebut, yang dilakukan menggunakan hewan percobaan yaitu tikus. Dengan menggunakan tikus percobaan dapat dihitung Protein Efficiency Ratio (PER), Biological Value (BV), Net Protein Utilization (NPU), Net Protein Ratio (NPR), True Digestibility (Dt) dan Apparent Digestibility (Da) dan lain-lain.

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Tujuan umum dari percobaan ini adalah untuk mengetahui kualitas potein bubur bayi, konsentrat protein kedelai, rebon dan kasein.

Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pertumbuhan atau berat badan tikus secara kontinyu pada tiap perlakuan.

2. Menghitung nilai indikator-indikator kualitas protein antara lain Protein Efficiency Ratio (PER), Biological Value (BV), Net Protein Utilization (NPU), Net Protein Ratio (NPR), True Digestibility (Dt) dan Apparent Digestibility (Da).

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu

Pelaksanaan penelitian dilakukan pada awal bulan November sampai akhir Desember 2006. Dilakukan di ruang Percobaan Hewan lantai III dan laboratorium analisis kimia Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor.

Desain Percobaan

Desain percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan unit percobaan tikus yang diberi perlakuan sebagai berikut :

Po = Ransum Standar Kasein P1 = Ransum Non protein P2 = Ransum KPK

(4)

1414

P3 = Ransum Rebon P4 = Ransum Bubur bayi

Masing-masing perlakuan terdiri dari 3 ekor tikus. Pembagian tikus ke dalam perlakuan dilakukan secara acak Setiap kelompok diberi ransum sesuai dengan perlakuan yang telah ditentukan. Pemberian ransum percobaan dilakukan selama 10 hari.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah:

1. Untuk perlakuan hewan percobaan: a) Ransum diberikan secara ad

libitum dengan komposisi :

Tabel 3. Komposisi ransum yang dianjurkan untuk penentuan PER (AOAC, 1984)

Bahan-bahan campuran Jumlah (%)

Sampel (Sumber Protein)* Minyak Jagung Campuran mineral Campuran vitamin Sellulosa Air Pati jagung X = (1,6 x 100)/ % N sample 8 - [(X x % kadar lemak) / 100] 5 - [(X x % kadar abu) / 100] 1 %

1% - [(X x % kadar serat kasar) / 100] 5 - [(X x % kadar air) / 100]

Untuk membuat 100%

 Ransum ini mengandung 10% protein Tabel 4. Komposisi ransum tikus untuk masing-masing perlakuan

Bahan (gr)

Perlakuan

Bubur Bayi Kasein KPK Rebon Non

protein Casein - 4,34 - - - Tepung KPK - - 9,48 - - Tepung rebon - - - 9,48 - Bubur bayi 24,56 - - - - Mazola 1,65 2,99 1,75 2,79 3,03 Mineral mix 1,06 1,86 1,80 -1,53 1,89 Selulosa -0,28 0,38 -0,34 0,38 0,38 Vitamin 0,38 0,38 0,38 0,38 0,38 Maizena 8,63 26,05 22,93 24,49 30,32

(5)

1414

Air 1,89 1,89 1,89 1,89 1,89

Air tambahan 22,11 22,11 22,11 22,11 22,11

Jumlah ransum basah 60,0 60,0 60,0 60,0 60,0

b) Air minum secara ad libitum c) Tikus jantan jenis Wistar setelah

umur sapih (umur tiga minggu), dengan jumlah 15 ekor ( 3 ekor/ perlakuan).

2. Bahan untuk analisa protein feses dan urin: CuSO4 dan KmnO4 (1:9), H2SO4 pekat, Selenium mix, NaOH 40%, HCl standar, H3BO3 3%, Indikator metil merah

3. Peralatan yang digunakan dalam percobaan adalah :

a. Untuk perlakuan hewan: kandang dengan memenuhi syarat kesehatan dan keamanan, tempat makanan/ransum, tempat minuman, tempat untuk feses, tempat untuk air kencing/urin, timbangan analitik, Oven, cawan, kom adonan, sendok/ pengaduk.

b. Untuk analisa protein feses dan urin: labu Kjeldahl, labu Destilasi, erlenmeyer 100 ml, buret, magnetic stirer, labu takar 100 ml.

Jenis data

Data yang diperoleh yaitu data berat badan tikus, konsumsi protein, kadar nitrogen dari intik ransum, kadar nitrogen dari feses dan kadar nitrogen dari urin. Pengamatan terhadap berat badan tikus dilakukan dua hari sekali (I, II, III dan IV). Konsumsi protein diperoleh dari pengamatan ransum yang dimakan tiap hari dikali dengan persen kandungan protein pada tiap-tiap ransum. Kandungan nitrogen intik diperoleh dari jumlah protein yang dikonsumsi selama 10 hari dibagi dengan faktor konversi protein nitrogen. Kandungan nitrogen feses dan urin selama 10 hari dianalisis menggunakan metode semi mikro Kjeldahl..

Prinsip Percobaan

Percobaan dilakukan dengan menggunakan metode bioassay. Dengan persiapan fisik seperti mempersiapkan tikus, persiapan makanan seperti ransum dan minuman baik standar maupun kontrol, melakukan percobaan dan perhitungan seperti berat badan, sisa ransum, kadar air, feses, urin kemudian ditentukan nilai PER, BV,

(6)

1414

NPU, NPR, Dt dan Da sesuai dengan rumusnya.

Tahapan Pelaksanaan Penelitian

Sebanyak 15 ekor. Pembagian tikus ke dalam perlakuan dilakukan dengan mengelompokkan tikus berdasarkan berat badan (BB), kemudian secara acak dikelompokkan kedalam masing-masing perlakuan (5 perlakuan), yaitu perlakuan dengan ransum kasein, ransum non protein, ransum protein dari rebon, ransum konsentrat protein kedelai, dan ransum bubur bayi. Untuk penyesuaian (masa adaptasi), tikus diberi ransum standar selama 3 hari dengan ransum standar kasein sebagai sumber protein, setelah masa adaptasi tiap kelompok perlakuan diberi ransum sesuai perlakuan selama 10 hari. Pemberian makanan dilakukan setiap hari secara ad libitum.

1. Membuat ransum, sesuai dengan komposisi perlakuan yaitu : bahan-bahan ditimbang sesuai dengan ukuran masing-masing kemudian dicampur semua bahan secara homogen hingga kalis. Setelah itu ransum ditimbang dan dimasukkan dalam tempat makan tikus.

2. Minuman dipersiapkan dalam botol secara ad libitum dan dicek setiap hari (jangan sampai kehabisan).

3. Penimbangan dan analisis kadar air terhadap ransum awal dan sisa ransum dengan metode oven.

4. Berat badan tikus dilakukan penimbangan setiap dua hari sekali selama perlakuan.

5. Setelah perlakuan semua selesai dilakukan penimbangan feses dan urin.

6. Analisis dan penghitungan PER, BV. NPU, NPR, Dt dan Da.

Perhitungan dan analisis data

Perhitungan konsumsi protein dan Nitrogen

1. Menghitung berat ransum awal dan sisa pada tiap-tiap perlakuan ransum

2. Menghitung kadar air ransum awal dan ransum sisa pada hari

berikutnya dengan

menggunakan metode oven biasa (pemanasan langsung) 3. Berat Net awal diperoleh dari

berat ransum awal dikali berat kadar air ransum awal sedangkan berat Net ransum sisa

(7)

1414

diperoleh dari berat ransum sisa dikali berat kadar air ransum sisa

4. Ransum yang dimakan tikus merupakan selisih berat Net ransum awal dikurangi berat Net ransum sisa.

5. jumlah intik protein tikus diperoleh dari berat intik ransum dikali kandungan protein ransum 6. Jumlah intik nitrogen tikus

diperoleh dari jumlah intik protein tikus dibagi faktor konversi nitrogen protein

Analisis Kandungan Nitrogen feses dan urin metode protein Kjeldahl :

ditimbang feses dan urin tikus ± 0.2 gram dalam labu Kjeldahl

ditambahkan ½ sudip selenuim mix dan 7 ml H2SO4 pekat

dipanaskan sampai terjadi larutan jernih kehijauan dan uap SO2 hilang

dipindahkan larutan kedalam labu ukur 100 ml dan diencerkan sampai tanda tera

dipipet 100 ml ke dalam labu destilasi + 10 ml NaOH 10% disulingkan .

didestilasi sampai uap destilat tidak bereaksi basa lagi

ujung kondensor dibilas dengan aquades

Larutan asam borat dititrasi dengan HCl standar dengan menggunakan metil merah sebagai indikator

(8)

1414

Menghitung % N urin dan % N feses dengan menggunakan rumus:

% total N = (ml HCl) x N x faktor pengenceran x 14 x 100%

Mg bobot contoh

Analisis mutu protein yang digunakan adalah Protein Efficiency Ratio, Biological Value, Net Protein Utilization, Net Protein Ratio, Digestibiity dan Digestibiity True.

Penilaian Kualitas Protein

Ada beberapa cara untuk menilai mutu suatu protein, antara lain sebagai berikut :

1. Protein Efficiency Ratio (PER) Yaitu perbandingan antara kenaikan berat badan dengan jumlah protein yang dimakan. Penentuan ini biasanya dilakukan pada tikus yang masih tumbuh. Prinsip dari penentuan PER adalah menganggap bahwa semua protein yang dimakan digunakan untuk pertumbuhan. (Anwar,1985).

PER = Kenaikan berat tikus (g)/ Jumlah protein yang dikonsumsi Determinasi dari PER yaitu untuk mengukur pertumbuhan pada binatang, yang diformulasikan dengan penghitungan berat badan dengan protein yang dikonsumsi. Keuntungan dengan menggunakan metode ini adalah hanya dengan menggunakan alat/kandang mudah, tempat makan/ ransum, botol air minum, keseimbangan lingkungan, sehingga cara ini sangat sederhana, mudah, murah, dan efektif dan efisien. Kelemahan metode ini yaitu hanya secara langsung menghitung secara total dan tidak bisa membedakan berat badan yang dicapai sebagai lemak atau tanpa lemak (lean body mass) (Sibarani, 1986).

2. Biological Value (BV)

Yaitu banyaknya persentase protein yang diserap tubuh yang dapat digunakan untuk membentuk jaringan. Kalau protein (N) yang diserap tubuh seluruhnya dapat digunakan untuk membentuk jaringan (pertumbuhan) maka dikatakan nilai biologi protein adalah 100. Semakin kecil

(9)

1414

persentase nitrogen yang digunakan untuk membentuk jaringan maka semakin rendah nilai biologinya. Percobaan untuk menentukan nilai biologi protein dapat dilakukan pada binatang percobaan yang masih muda dan masih dalam fase pertumbuhan. (Anwar,1985).

BV = {N Konsumsi - (N Feses Protein - N Feses Non Protein) - (N Urin Protein - N Urin Non Protein)}/ N Konsumsi - (N Feses Protein - N Feses Non Protein)

3. Net Protein Utilization (NPU)

Merupakan cara lain dari pengukuran nilai gizi protein, yaitu perbandingan antara banyaknya nitrogen yang ditahan tubuh terhadap banyaknya nitrogen yang dikonsumsi. NPU meliputi nilai cerna dan nilai biologi sesuatu protein. Jumlah nitrogen yang ditahan tubuh dapat dihitung dengan menganalisis karkas atau menganalisis kadar air hewan percobaan. (Anwar,1985).

NPU = N ditahan / N konsumsi

Penilaian NPU adalah suatu cara penilaian yang paling memuaskan karena mencakup nilai biologi dan nilai cerna. Namun demikian untuk penilaian mutu protein bagi bahan pangan tungga (Anwar,1985). Konsep NPU sangat penting dalam pertanian dalam hal mutu pangan, kemampuannya ditahan, untuk mengetahui cara yang paling murah untuk mendapatkan daging unggas yang banyak dan lain-lain (Sibarani, 1986).

4. Net Protein Ratio (NPR)

NPR hampir sama dengan PER, hanya saja dalam NPR mencakup pengukuran berat badan yang hilang dari kelompok diet non protein. Dalam hal ini, kualitas protein untuk pertumbuhan dan kebutuhan untuk pemeliharaan dapat ditentukan. NPR disamping NPU merupakan metode pengukuran two dose yaitu uji protein dengan dua kadar protein, nol dan jumlah tertentu.

NPR = {Pertambahan berat (protein) + Penurunan berat (non protein) /

Konsumsi protein pada kelompok protein

(10)

1414

5. True Digestibility (Dt)

Merupakan perhitungan terhadap kemampuan protein untuk dicerna dengan mempertimbangkan nitrogen yang hilang melalui feses dari tikus yang diberi diet non protein (sebagai koreksi). Dt = {N konsumsi-(N feses protein-N feses non protein)}/ N konsumsi

6. Apperent Digestibility (Da)

Merupakan perhitungan terhadap kemampuan protein untuk dicerna tanpa mempertimbangkan nitrogen yang hilang melalui feses dari

tikus yang diberi diet non protein (tidak ada koreksi). Sebagai akibat dari tidak adanya koreksi tersebut, biasanya nilai Da lebih kecil dibandingkan nilai Dt.

Dt = (N konsumsi-N feses) / N konsumsi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perubahan Berat Badan Tikus

Setelah melakukan percobaan dengan memberikan perlakuan makanan yang berbeda pada tikus-tikus percobaan selama 10 hari, diperoleh perubahan berat badan tikus sebagaimana tercantum pada Tabel 5.

Tabel 5. Perubahan Berat Badan Tikus Pada Setiap Perlakuan Penimbangan

Hari Ke-

Perlakuan

Non protein Bubur bayi Protein/kasein KPK Rebon

I 63.77 56.37 39.9 49.6 53.57 II 59.7 62.3 42.97 45.17 59.9 III 58.4 71.07 46.23 43.8 62.17 IV 56.57 81.53 50.63 42.73 64.57 Rata-rata Pertambahan Berat Badan -2.40 8.39 3.58 -2.29 3.67

(11)

1414

Dari Tabel 5, dapat diketahui bahwa berat badan tikus yang diberi ransum tanpa protein (non protein) dan KPK mengalami penurunan masing-masing sebesar 2,40 gr dan 2,29 gr, sedangkan berat badan tikus dengan ransum bubur bayi, kasein, dan rebon masing-masing mengalami peningkatan sebesar 8,39 gr, 3,58 gr, dan 3,67 gr. Peningkatan berat badan tertinggi terjadi pada tikus yang diberi perlakuan bubur bayi yaitu sebesar 8,39 gr. Dalam perlakuan bubur bayi, bubur bayi yang digunakan merupakan campuran dari tiga rasa yaitu sayur-sayuran, tim ayam dan sup ikan sayur. Sehingga kandungan gizinya cukup dan lebih beragam. Hal ini sesuai dengan pernyataan Roger (1979) bahwa kriteria lain untuk pertumbuhan dan perkembangan tikus adanya kecukupan

nutrisi dalam ransum sehingga berpengaruh positif pada pertambahan berat badan tikus. Selain itu faktor lain

yang mempengaruhi dalam

pertambahan berat badan adalah kecernaan makanan. Peningkatan jumlah ransum yang dimakan oleh tikus menyebabkan peningkatan kecepatan laju alir pencernaan (ingesta). Ingesta tersebut akan bereaksi dengan enzim pencernaan dalam waktu yang relatif lebih singkat, sehingga terjadi penurunan kecernaan ( Mc Donald, 1973). Hal inilah yang kemungkinan menyebabkan penurunan berat badan tikus yang diberi ransum KPK. Peningkatan berat badan tikus pada tiap perlakuan dapat dilihat pada grafik pertambahan berat badan tikus di bawah ini (Gambar 2).

Pertambahan Berat Badan Tikus

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 I II III IV Penimbangan ke-B e ra t B a da n (gr) Non protein Bubur bayi Protein/casein KPK Rebon

(12)

1414

Gambar 2. Grafik pertambahan berat badan tikus Menurut Smith dan Mangkoewidjojo

(1988) kecepatan pertumbuhan tikus sebesar 5 gr/hari. Dengan demikian dari hasil percobaan hanya perlakuan bubur bayi yang memenuhi standar tersebut. Adanya perbedaan peningkatan berat badan tikus kemungkinan dipengaruhi oleh kesukaan terhadap ransum yang diberikan dan nafsu makan tikus. Dengan sedikitnya konsumsi ransum, akan mengakibatkan cadangan energi serta pembentukan sel-sel tubuh tikus cenderung lebih sedikit sehingga pertambahan berat badan tikus menjadi lebih rendah. Hal ini jelas terlihat pada tikus yang diberi ransum KPK. Konsentrat Protein Kedelai (KPK) merupakan hasil dari ekstraksi kedelai yang dalam proses pembuatannya menggunakan pelarut lemak yang merupakan bahan kimia. Bahan kimia yang biasa digunakan dalam proses ekstraksi ini adalah pelarut heksan (etanol). Pelarut ini meninggalkan bau yang sangat menyengat sehingga dapat menurunkan nafsu makan tikus. Oleh karenanya, nafsu makan yang rendah ini akan menurunkan konsumsi makan tikus percobaan sehingga tidak terjadi perubahan berat badan yang signifikan bahkan cenderung menurun.

Hasil Analisis Penilaian Kualitas Protein

Protein Efficiency Ratio (PER)

Penilaian mutu protein dari pertambahan kenaikan berat badan terhadap jumlah intik nitrogen melalui Protein Efficiency Ratio. Perhitungan terhadap peningkatan berat badan tikus selama perlakuan tertentu dan dibandingkan dengan jumlah protein yang dikonsumsi dari ransu tersebut menggambarkan ukuran PER atau protein efficiency ratio. Berdasarkan hasil percobaan nilai PER tertinggi terdapat pada bubur bayi yaitu 10,03 ; protein/casein 7,04 ; dan rebon 6,37. Sementara nilai PER pada KPK tidak terlalu jauh berbeda dengan nilai PER pada non protein. Nilai PER pada KPK cenderung rendah karena KPK diperoleh melalui ekstraksi tepung kedelai, dimana sebagian besar protein tidak larut dalam kondisi tersebut, karena penggunaan larutan asam pada pH isoelektrik dapat mengurangi pembukaan lipatan (unfolding), agregasi, dan kehilangan sifat fungsional.

(13)

1414

Tabel 6. Nilai PER Setiap Perlakuan

Perlakuan Nilai PER

Non Protein -7.37

Bubur bayi 10.03

Protein/Casein 7.04

KPK -3.64

Rebon 6.37

Berdasarkan teori, kasein merupakan protein susu yang terpenting karena memiliki nilai PER 2.5, sehingga hasil percobaan kasein sangat berbeda jauh. Demikian pula dengan protein rebon yang memiliki nilai PER yang sangat berbeda jauh dengan teori protein hewani yang memilki nilai PER tinggi (Muchtadi, 1989). Akan tetapi berdasarkan hasil percobaan, nilai PER tertinggi diperoleh dari perlakuan bubur bayi. Tingginya nilai PER disebabkan dalam komposisinya mengandung zat gizi yang cukup dan beragam, salah satunya adalah protein casein. Hal ini mungkin terjadi karena adanya kesalahan perhitungan, pengukuran yang tidak teliti atau adanya gangguan pada metabolisme tikus sehingga jumlah intik protein yang dikonsumsi lebih banyak digunakan untuk fungsi pemeliharaan daripada untuk fungsi pertumbuhan.

Nett Protein Ratio (NPR)

Perhitungan NPR sama dengan PER, tetapi dalam perhitungan NPR tercakup pengukuran kehilangan berat badan tikus yang diberi diet non protein. Berdasarkan percobaan yang dilakukan diperoleh hasil NPR seperti yang tertulis pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai NPR Setiap Perlakuan

Perlakuan Nilai NPR Non Protein - Bubur bayi 0.13 Protein/Casein 0.04 KPK -0.14 Rebon 0.04

Nilai NPR paling tinggi adalah bubur bayi yaitu 0.43 sedangkan pada KPK memiliki nilai NPR yang negatif yaitu -0.14. Oleh sebab itu hasil percobaan ini telah sesuai dengan pernyataan Wolzak et al (1981) dalam Hudson (1983) bahwa adanya korelasi positif yang tinggi antara nilai PER dan NPR bagi kelompok pangan yang sama. Hal ini ditunjukkan oleh nilai PER dan NPR bubur bayi yang tinggi. Adanya nilai NPR yang negatif menunjukkan bahwa tikus yang mengkonsumsi KPK mengalami penurunan berat badan.

(14)

1414

Biological Value dan Apparent Digestibility

Perhitungan nilai BV ditentukan dengan studi terhadap keseimbangan nitrogen dengan menggunakan tikus. Hasil perhitungan Biological Value dalam percobaan ini disajikan dalam Tabel 8 berikut ini :

Tabel 8. Nilai BV Setiap Perlakuan

Perlakuan Nilai BV Non Protein - Bubur bayi 0.89 Protein/Casein 0.90 KPK 0.99 Rebon 0.58

Berdasarkan pada Tabel 8 dapat terlihat bahwa Biological Value yang tertinggi terdapat pada ransum KPK dan terendah pada ransum rebon. KPK dengan nilai BV yang paling tinggi menunjukkan bahwa KPK mengandung asam amino-asam amino yang lebih mudah diabsorbsi oleh usus dengan baik dibandingkan dengan asam amino-asam amino yang terdapat dalam protein ransum lainnya.

Net Protein Utilization

Setelah dilakukakan pengolahan terhadap data N konsumsi dan N feses serta N urin baik dari kelompok tikus diet non protein dan diet protein tertentu maka diperoleh nilai NPU masing-masing diet protein sebagaimana terlihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Nilai NPU Setiap Perlakuan

Perlakuan Nilai NPU

Non Protein -

Bubur bayi 1.08

Protein/Casein 1.23

KPK 1.28

Rebon 0.50

Net Protein Utilization merupakan indikator dalam menentukan mutu protein dengan membandingkan nitrogen yang diserap dengan intik nitrogen. Berdasarkan hasil percobaan pada tikus maka NPU tertinggi yaitu pada KPK sebesar 1.28. Terlihat pula bahwa rebon memiliki nilai NPU yang lebih rendah dibandingkan dengan ransum lainnya walaupun menurut teori bahwa mutu protein hewani lebih tinggi dibandingkan mutu protein nabati. Berdasarkan hasil analisis data jumlah feses dan urin tikus pada tiap-tiap perlakuan ransum, terlihat bahwa urin pada tikus dengan konsumsi rebon

(15)

1414

memiliki proporsi yang tinggi dibandingkan dengan tikus yang diberi perlakuan bubur bayi, KPK dan kesein, sehingga hal ini yang membuat nilai BV dan NPU pada rebon menjadi rendah. Walaupun berdasarkan teori protein hewani memiliki nilai BV dan NPU yang lebih tinggi dibandingkan dengan protein nabati.

True Digestibility (Dt) dan Apparent Digestibility (Da)

Sebagaimana komposisi asam amino protein, daya cerna (digestibility) protein juga merupakan faktor penting dalam menentukan kualitas protein tersebut. Dari percobaan yang dilakukan dihasilkan true digestibility (Dt) dan Apparent Digestibility (Da) seperti yang tercantum pada Tabel 10. Dari Tabel 10 diketahui bahwa Dt semua protein tidak ada perbedaan yang berarti begitu juga dengan nilai Da, kecuali pada perlakuan rebon. Berdasarkan teori protein hewani memiliki nilai BV dan NPU yang lebih tinggi, sehingga dapat dikatakan bahwa rebon mengandung protein yang jauh lebih tinggi dari protein pada perlakuan lainnya. Hal ini karena rebon

merupakan salah satu produk perikanan yang mengandung tinggi protein dengan asam-asam amino yang mudah dicerna. Nilai Da lebih rendah dari Dt, hal ini disebabkan adanya koreksi terhadap kehilangan nitrogen pada tikus yang diberi perlakuan non protein pada perhitungan Dt sedangkan pada perhitungan Da pengkoreksian ini tidak dilakukan.

Sebagaimana diketahui bahwa pengukuran kualitas protein sangat sulit dilakukan secara tepat. Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas protein antara lain komposisi asam amino dan pencernaan terhadap protein tersebut. Selain itu kualitas protein juga dipengaruhi oleh komposisi dan kecukupan diet secara keseluruhan dan pada karakter physiologi, status gizi, status kesehatan individu yang mengkonsumsi protein (Hudson, 1983). Demikian juga penentuan kualitas protein pada hewan percobaan, maka faktor-faktor yang disebutkan di atas juga memungkinkan memainkan peran penting dalam hasil percobaan.

(16)

1414

Tabel 10. Nilai Dt Setiap Perlakuan

Perlakuan Nilai Dt Nilai Da

Non Protein - - Bubur Bayi 1.21 0.98 Protein/Casein 1.36 0.98 KPK 1.29 0.98 Rebon 0.86 0.52

Berdasarkan perhitungan kualitas protein dari percobaan terhadap tikus yang telah dilakukan maka terlihat

bahwa nilai-nilai indikator kualitas protein tersebut (PER, BV, NPU, NPR) sangat jauh berbeda dengan nilai-nilai yang diperoleh dari berbagai literatur. Hudson (1983) menyebutkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi utilisasi protein dan dapat mempengaruhi kualitas protein secara umum pada manusia yang juga dapat diinterpretasikan pada percobaan tikus sebagaimana terlihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Utilisasi Protein dan Kualitas Protein Diet Total protein, total energi pangan, komposisi asam amino (baik

defisiensi maupun ekses), daya cerna, serat dan konstituen makanan lainnya.

Subjek Usia, jenis kelamin, status physiologi, (pertumbuhan, kehamilan, menyusui), aktivitas, infeksi, luka dan emosi.

Eksternal Frekuensi makan, sosial, ekonomi, hygiene, dan sanitasi.

Pada percobaan terhadap tikus yang dilakukan, telah diupayakan penentuan kualitas protein berdasarkan standar yang telah ditetapkan AOAC (1975) dengan harapan nilai berbagai indikator kualitas protein dapat diperoleh secara maksimal dengan meminimalkan berbagai hal yang mungkin menjadi confounding factor (faktor pengganggu). Pada kenyataannya percobaan yang telah dilakukan kali ini

belum memberikan hasil yang diharapkan. Secara umum nilai-nilai indikator kualitas protein yang diukur jauh berbeda dengan hasil yang selama ini telah dipublikasikan berbagai literatur terutama pada nilai PER, BV, NPU, NPR. Faktor yang sangat menentukan terjadinya perbedaan hasil tersebut diduga adalah adanya kelemahan dari subjek yang melakukan percobaan antara lain dalam hal:

(17)

1414  Penimbangan berat badan tikus yang

tidak tepat

 Penentuan dan perhitungan ransum yang dikonsumsi

 Dalam pengumpulan urin, kemungkinan ada yang terbuang karena posisi botol penampung yang tidak tepat

 Dalam pengumpulan feses, kemungkinan ada feses yang terbuang sehingga berat menjadi berkurang atau kemungkinan bercampur dengan ransum yang terjatuh sehingga berat menjadi bertambah

 Kurang teliti dalam melakukan analisa kadar protein urin dan feses sehingga hasil tidak tepat

Selain itu, faktor yang mempengaruhi adalah adanya proses yang sulit untuk diatasi seperti adanya komponen lipid dan kemungkinan dihasilkan gas nitrogen dalam tubuh dari aktivitas mikroflora usus pada substan seperti nitrit yang pada akhirnya terhitung sebagai nitrogen dari protein dan mempengaruhi hasil dan intepretasinya. Perbedaan kebutuhan antara tikus dan manusia sedemikian rupa dapat menyebabkan tingkat pertumbuhan yang cepat pada tikus (Hudson, 1983). Dengan demikian, data yang diperoleh

dari metode pengukuran terhadap tikus sesungguhnya tidak dapat digunakan sebagai prediksi untik kualitas protein untuk manusia secara akurat.

KESIMPULAN

1. Peningkatan berat badan tikus yang paling besar adalah tikus yang diberi bubur ayam dalam dietnya, adapun penurunan berat badan tikus yang diberi konsentrat protein kedelai (KPK) dalam dietnya.

2. Penilaian mutu protein diketahui bahwa nilai PER yang tertinggi adalah bubur bayi, nilai BV yang tertinggi adalah konsentrat protein kedelai (KPK), nilai NPU yang tertinggi adalah konsentrat protein kedelai (KPK) dan protein/casein, nilai NPR yang tertinggi adalah bubur bayi, nilai Dt tertinggi pada protein/casein dan Da untuk semua jenis protein yang dicobakan hampir sama.

(18)
(19)

*Staf Pengajar Jurusan Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM-Undana

1398

DAFTAR PUSTAKA

AOAC (Association Official of Analitical Chemistry). 1989.”Official Methods of Analysis Association”. Offic. Annal. Chem, Washington DC.

Almatsier, S. 2001.”Prinsip Dasar Ilmu Gizi”. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. De Man, J.M 1997. Kimia Makanan. Edisi kedua. Institut Teknologi Bandung. Bandung Hainsworth, F.R. 1981. “Animal Physiology”. Eddison – Wesley Publishing Company.

Philippines. pp 785-791

Hardinsyah & D. Briawan. 1994.” Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan”. Diktat yang tidak dipublikasikan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hudson, B.J.F. 1983.” Developments in Food Proteins-2”. Applied Science Publishers. London and New York.

Kohn, F.D and S.W. Barthold. 1984.”Biology and Desease of Rats in Laboratory Animal Medicine”. (Eds.) J.G. Fox, B.J. Cohen and F.M. Loew. Academic Press Inc. pp 143-151

Malole, M.B.M dan S.U Pramono. 1989.”Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di Laboratorium”. PAU Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor IPB Bogor. pp 104-112. Muchtadi, D. 1993. “Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein”. Program Studi Ilmu Pangan.

Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor

__________. 1989.”Evaluasi Nilai Gizi Pangan”. “Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi”. PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Mujiman, A & Suyanto. 1989. “Budidaya Udang Windu”. Penebar Swadaya. Jakarta.

National Research Council. 1978.”Nutrition Requirement of The Laboratory Animal”. National Academy of Science. Washington D.C. pp 7-16

Rustiawan, A dan Vanda. 1990. “Pengujian Mutu Pangan secara Biologis. PAU Pangan dan Gizi”. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Rogers, E.A. 1979. “Nutrition. In : The Laboratory Rat”. Volume 1. (Eds) Henry J.B., J.R. Linsey and S.H. Weisbroth. Academic Press. San Diego. Academic Press Inc. pp 123-133

Sibarani, S. 1986. “Penuntun Praktikum Penentuan Net Protein Utilization ( NPU) dan Protein Efficiency Ratio (PER)”. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sijabat, R. P. 2003. “Penambahan Udang Rebon kering (Acetes. spp) terhadap Kandungan Kalsium Cracker”. Skripsi yang tidak dipublikasikan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Slamet, D.S dan Tarwotjo.1980. “Komposisi Zat Gizi Makanan Indonesia”. Penelitian Gizi dan Makanan. 4:21-36.

Smith, J.V.S.M. 1988. “Pemeliharaan Perkembangbiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis”. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Weihe, W.H. 1989. “The Laboratory Rat. In : The UFAW Handbook on the Care and Management of Laboratory Animal”. 6th Edition (Eds) T.D. Poole and R. Robinson. Longman Scientifics and Technical. pp 309-324

(20)

*Staf Pengajar Jurusan Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM-Undana

(21)

*Staf Pengajar Jurusan Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM-Undana

Referensi

Dokumen terkait

Diharapkan Pihak Pimpinan Hotel Asean Pekanbaru hendaknya selalu memberikan kompensasi-kompensasi tidak lansung selain dari Jamsostek dan Tunjangan Hari Rayanya, karena

Tabel 3 menunjukkan bahwa infeksi penyebab batuk berdahak terbanyak pada 30 sampel tersebut adalah Streptococcus yaitu 7 sampel (24,1 %) yang merupakan bakteri terbanyak dari

juga memilih menyampaikan apa yang dia alami ke FB. Karena hal ini sudah menjadi kebiasaannya, jika dilihat dari intensitas penggunaan FB. Kemudian ditambah lagi dengan

Fibroplasia adalah suatu proses proliferasi fibroblas, migrasi fibrin clot ke daerah luka, dan produksi dari kolagen baru dan matriks protein lainnya, yang

Bentuk sapaan dalam tuturan di atas mencakup P ak, Pak Tohar, Mas, Win , dan Mbak. Sapaan Pak oleh penjual ditujukan kepada pembeli laki-laki yang dianggap dewasa dan sudah

Penelitian yang menunjukkan bahwa konsentrasi total protein dalam saliva penderita diabetes lebih rendah adalah empat penelitian, sementara yang meningkat

Hasil penelitian untuk nilai suhu masuk pipa kapiler dan keluar pipa kapiler untuk R-134a dan R-600a disajikan pada Tabel 5.3.. Nilai Suhu Evaporator

S : Ibu mengatakan bayinya dalam keadaan baik dan tidak ada kelainan serta menyusi sangat kuat.. Bayi sudah dibungkus dan sudah dikenakkan topi sarung tangan dan kaki. 3)