PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN DI INTENSIVE CARE
UNIT (ICU) RUMAH SAKIT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
KESEHATAN, UNDANG RUMAH SAKIT, DAN
UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Louise Ruselis Sitorus Pembimbing : Wahyu Andrianto Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Abstrak
Pasien di Intensive Care Unit (ICU) merupakan pihak yang membutuhkan pertolongan dengan segera dan berkelanjutan dari pihak tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit. Namun demikian pasien dan/atau keluarga pasien seringkali belum mengetahui hak dan kewajibannya serta hal-hal khusus yang secara yuridis akan membawa akibat hukum yang merugikan. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis tentang perlindungan hukum pasien di ICU rumah sakit. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Dari hasil penelitian didapat bahwa pelayanan dan perawatan pasien di ruang ICU diperuntukkan bagi pasien yang secara fisiologis tidak stabil dan memerlukan dokter, perawat, profesi lain yang terkait secara terkoordinasi dan berkelanjutan, serta memerlukan perhatian yang teliti, agar dapat dilakukan pengawasan yang ketat dan terus menerus serta terapi titrasi. Perlindungan hukum terhadap pasien di Intensive Care Unit (ICU) di Rumah Sakit sangat berkaitan dengan persetujuan tindakan medik di Intensive Care Unit (ICU). Di samping itu perlindungan hukum terhadap pasien dapat terwujud dari dilaksanakannya tanggung jawab hukum rumah sakit pada saat pasien dapat membuktikan kerugian akibat kesalahan tenaga kesehatan di rumah sakit. Perlindungan hukum terhadap pasien sangat ditentukan oleh pelaksanaan hak dan kewajiban pasien dan rumah sakit berdasarkan Undang Undang Kesehatan, Undang Undang Rumah Sakit, Undang Undang Perlindungan Konsumen serta peraturan yang khusus mengatur tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Intensive Care Unit (ICU) di Rumah Sakit yaitu Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1778/Menkes/SK/XII/2010.
Kata Kunci : Perlindungan hukum, Pasien ICU, Rumah Sakit, Tanggung Jawab Rumah Sakit
Abstract
The ICU patient at the hospital needed fastly help and also continued from medical staff at hospital. However, the patient and/or his family didn’t know his rights dan obligations and the specific that juridically take the legal consequences. The objective of this thesis is to describes and analyze about law protection to the ICU patient at hospital,. The research method used in this thesis is a normative juridical research. The result of the research is that
the legal protection to the ICU patient at hospital based on rights and obligations executed the hospital and patient on The Health Act, The Hospital Act, and the Consumer Protection Act. Beside that, the legal protection can be formulated from hospital liability.
Key words : Legal protection, ICU Patient, Hospital, Hospital Liability.
Pendahuluan
Sebagai makhluk sosial, setiap manusia dirancang memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan sesamanya sejak ia dilahirkan. Segala keterbatasan, kekurangan, dan kelemahan yang ada pada manusia menghendaki ia untuk selalu berhubungan dengan orang lain.
Salah satu keberadaan manusia di mana manusia tersebut membutuhkan sesamanya sangat dirasakan ketika manusia tersebut dalam keadaan sakit. Kebutuhan yang utama bagi orang itu adalah kebutuhan akan adanya orang lain yang dapat membantu menyembuhkan penyakitnya dan sarana yang dipakai untuk membantu proses penyembuhan. Orang yang dimaksud adalah dokter dan sarana yang dimaksud adalah rumah sakit.
Seorang pasien adalah seorang manusia biasa yang memiliki hak asasi yang salah satunya, adalah hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Demikian pula seorang dokter, juga adalah manusia biasa, dan merupakan bagian dari keseluruhan masyarakat, yang karena pendidikan yang telah diikutinya, sehingga mendapatkan pengakuan untuk melakukan pelayanan profesional.
Salah satu tujuan hukum kesehatan adalah melindungi kepentingan pasien, di samping tujuan lain seperti mengembangkan kualitas profesi tenaga kesehatan. Hal ini bukan berarti bahwa kepentingan pasien harus selalu diunggulkan, artinya adalah adanya keserasian antara kepentingan pasien dengan kepentingan tenaga kesehatan (misalnya dokter, perawat, dan lain-lain) dan sarana kesehatan (misalnya rumah sakit).
Berdasarkan hal tersebut, maka bukan berarti pasien harus selalu menjadi pihak yang diutamakan, namun yang terpenting adalah keseimbangan dan keserasian kepentingan. Apalagi, keserasian antara kepentingan pasien dengan kepentingan tenaga kesehatan, merupakan salah satu penunjang keberhasilan pembangunan sistem kesehatan. Oleh karena itu perlindungan hukum terhadap kepentingan-kepentingan itu harus diutamakan.
Tidaklah mengherankan jika pasien sebagai pihak yang membutuhkan, menaruh kepercayaan kepada kemampuan profesional tenaga kesehatan. Di lain pihak, karena adanya kepercayaan itu, seyogianya tenaga kesehatan memberikan pelayanan kesehatan menurut standar profesi dan berpegang teguh pada kerahasiaan profesi.
Penulis menyadari bahwa ketimpangan hubungan antara pasien dan dokter inilah yang membuat kasus hukum kesehatan di Indonesia makin marak dan tidak kunjung usai. Belum lagi tendensi pemberitaan yang tampak di media massa semakin mengundang keingintahuan Penulis untuk melakukan penelitian atas masalah ini. Media massa sering menjadikan dokter atau rumah sakit sebagai kambing hitam yang patut dipersalahkan atas kerugian yang dialami oleh pasien, Penulis bisa simpulkan dari banyak kasus yang terjadi di Indonesia selalu menitikberatkan pada “penderitaan” dan “kelemahan” pasien lalu membesar-besarkan “kelicikan” dan “keuntungan” dokter atau rumah sakit, tanpa mau melihat dengan kaca mata keadilan, kasus yang sebenarnya terjadi. Apalagi media massa mungkin ditulis atau dibuat berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh wartawan atau pihak lain yang adalah orang awam dalam bidang ini. Mereka hanya melihat segi keuntungan dan komersialisasi dari berita saja tanpa mempertimbangkan paradigma apa yang terbentuk di masyarakat akibat pemberitaan mereka.
Namun tidak dapat disangkal, kenyataan pun menunjukkan bahwa secara sosiologis pasien lebih rendah kedudukannya (status) daripada kedudukan tenaga kesehatan dalam pelbagai hubungan hukum. Kedudukan dokter yang lebih tinggi dilandaskan atas kepercayaan pasien pada kemampuan dan kecakapan dokter. Selanjutnya juga didasarkan pada keawaman pasien terhadap profesi kedokteran. Ini diperkuat pada kenyataan bahwa timbulnya hubungan tersebut adalah karena pasien berada dalam suatu posisi yang lemah dan tergantung kepada dokternya. Sedangkan seorang dokter mempunyai kedudukan yang lebih kuat, yaitu suatu profesi yang dari padanya banyak diharapkan dapat menghilangkan penyakit pasien. Selain itu, profesi dokter dikenal sebagai profesi yang luhur di mata masyarakat. Persepsi inilah yang tertanam dalam masyarakat dan tidak dapat dipersalahkan jika masyarakat sedemikian berharapnya pada dokter. Pasien dan masyarakat mempunyai kecenderungan untuk lebih melihat dari sudut hasilnya (outcome), sedangkan seorang dokter hanya bisa berusaha, tetapi tidak menjamin akan hasilnya, asalkan ia sudah bekerja secara lege artis dan menurut standar profesi medik yang berlaku.
Tidak hanya dokter atau tenaga kesehatan yang telah memberi citra yang negatif terhadap dunia hukum kesehatan, pelayanan rumah sakit pun turut memberikan dukungan yang “membuktikan” bahwa citra hukum kesehatan tercoreng di mata masyarakat. Permasalahan dalam bidang perumahsakitan bisa menyangkut Rumah Sakitnya sebagai suatu organisasi (yang diwakili oleh Direkturnya) jika menyangkut bidang-bidang yang berkaitan dengan policy dan manajemen. Di dalam ruang lingkup tanggung jawab rumah sakit termasuk juga tindakan dari para karyawan (dokter, perawat, bidan, tenaga kesehatan, dan tenaga administrasi) bila sampai menimbulkan kerugian kepada pasien.
Ketertarikan Penulis mengangkat penelitian ini juga disebabkan karena menurut Penulis, dokter maupun rumah sakit dalam melakukan jasa pelayanan kesehatan dapat disejajarkan dengan pelaku usaha serta pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan tersebut dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Namun masih dipertanyakan apakah undang-undang ini mampu mengakomodir pengertian dokter dan rumah sakit sebagai pelaku usaha dan pasien sebagai konsumen. Belakangan diketahui oleh Penulis bahwa undang-undang ini dalam perspektif dunia kedokteran boleh dikatakan ditolak keberadaannya karena sifatnya yang resultaatsverbintenis, berbeda dengan praktik kedokteran yang bersifat
inspanningsverbintenis.
Hubungan dokter maupun rumah sakit dengan pasien bersifat hubungan kontraktual, karena dasar hubungan tersebut adalah perjanjian ataupun undang-undang (misalnya yang mengatur hak dan kewajiban para pihak). Salah satu pelayanan di rumah sakit yaitu adanya Unit Pelayanan Intensif yang dikenal dengan sebutan Intensive Care Unit (selanjutnya disingkat ICU). Pasien di ICU merupakan pihak yang membutuhkan pertolongan dengan segera dan berkelanjutan dari pihak tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit. Namun demikian pasien dan atau keluarga pasien seringkali belum mengetahui hak dan kewajibannya serta hal-hal khusus yang secara yuridis dapat membawa akibat hukum yang merugikan.
Pasien yang dirawat di ruang ICU yaitu pasien dengan indikasi yang benar dimana pasien yang di rawat di ICU harus pasien yang memerlukan intervensi medis segera oleh tim intensive care, pasien yang memerlukan pengelolaan fungsi sistem organ tubuh secara terkoordinasi dan berkelanjutan sehingga dapat dilakukan pengawasan yang konstan dan metode terapi titrasi, dan pasien sakit kritis yang memerlukan pemantauan kontinu dan tindakan segera untuk mencegah timbulnya dekompensasi fisiologis.
Dalam pelayanan kesehatan prinsip pokok yang senantiasa dipegang teguh oleh tenaga kesehatan maupun rumah sakit yaitu keselamatan pasien. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pasien di ICU berdasarkan Undang Undang Kesehatan, Undang Undang Rumah Sakit dan Undang Undang Perlindungan Konsumen, serta bagaimanakah tanggung jawab hukum rumah sakit terkait dengan pasien di ruang ICU.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang perlindungan hukum terhadap pasien ICU di rumah sakit, Penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih jauh tentang pelayanan kesehatan di ruang ICU khususnya yang menyangkut perlindungan hukum terhadap pasien.
Berdasarkan paparan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka permasalahan yang akan diangkat oleh Penulis adalah:
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pasien (khususnya pasien ICU) di rumah sakit berdasarkan Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Rumah Sakit, dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen?
2. Bagaimana tanggung jawab hukum rumah sakit terhadap pasien (khususnya pasien ICU) berdasarkan Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Rumah Sakit, dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen?
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menelaah lebih lanjut mengenai tanggung jawab rumah sakit dan perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen atas jasa pelayanan rumah sakit. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Menjelaskan konsep perlindungan hukum terhadap pasien (khususnya pasien ICU) di rumah sakit berdasarkan Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Rumah Sakit, dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
2. Menjelaskan tanggung jawab hukum rumah sakit terhadap pasien (khususnya pasien ICU) berdasarkan Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Rumah Sakit, dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Pembahasan
3.10 Perlindungan Hukum terhadap Pasien di Intensive Care Unit (ICU) Rumah Sakit berdasarkan Undang-Undang Rumah Sakit
Perlindungan hukum terhadap pasien di ICU rumah sakit berdasarkan Undang-Undang Rumah Sakit tercermin dari pasal-pasal yang di dalam Undang-Undang-Undang-Undang Rumah Sakit tercakup pada hak-hak pasien, berikut ini:
Pasal 32 huruf d berisi tentang hak untuk “memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.”1 Dalam Falsafah Pelayanan ICU di Rumah Sakit Bagian Etika Kedokteran, pelayanan ICU di rumah sakit berdasarkan falsafah dasar "saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien, dan berorientasi untuk dapat secara optimal, memperbaiki kondisi kesehatan pasien.” Maksud dari hal ini yaitu kesehatan pasien tidak akan bisa diusahakan dengan maksimal oleh dokter jika tidak memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.
Pasal 32 huruf e berisi tentang hak untuk “memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi.” Hal ini sesuai dengan Falsafah Pelayanan ICU di Rumah Sakit Bagian Etika Kedokteran, pelayanan ICU di rumah sakit harus mempunyai ciri multi profesi berdasarkan asas efektivitas, keselamatan, dan ekonomis.
Pasal 32 huruf j berisi tentang hak “mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan.”
Pasal 32 huruf k berisi tentang hak “memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya” Hak ini sejalan dengan Indikasi Masuk ICU di mana sebelum pasien dimasukkan ke ICU, pasien dan/atau keluarganya harus mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai dasar pertimbangan mengapa pasien harus mendapatkan perawatan di ICU, serta tindakan kedokteran yang mungkin akan dilakukan selama pasien dirawat di ICU. Penjelasan tersebut
diberikan oleh Kepala ICU atau dokter yang bertugas. Atas penjelasan tersebut pasien dan/atau keluarganya dapat menerima/menyatakan persetujuan untuk dirawat di ICU. Persetujuan dinyatakan dengan menandatangani formulir informed consent.2
Pasal 32 huruf n berisi tentang hak “memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit.” Dalam Falsafah Pelayanan ICU di Rumah Sakit Bagian Etika Kedokteran, pelayanan ICU di rumah sakit berdasarkan falsafah dasar "saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien, dan berorientasi untuk dapat secara optimal, memperbaiki kondisi kesehatan pasien.” Ditambah juga dengan falsafah kerja sama multi disipliner dalam masalah media kompleks, sebab dikat pengembangan tim multidisiplin yang kuat sangat penting dalam meningkatkan keselamatan pasien. Rumah Sakit sebagai salah satu penyedia pelayanan kesehatan yang mempunyai fungsi rujukan harus dapat memberikan pelayanan ICU yang profesional dan berkualitas dengan mengedepankan keselamatan pasien.
Pasal 32 huruf q berisi tentang hak “menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana.” Isi pasal ini sama dengan Pasal 58 Undang-Undang Kesehatan, oleh karena itu perlindungan pasiennya juga sama, yaitu hak pasien atas ganti rugi tersebut tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
Pandangan J. Guwandi juga menyatakan bahwa pasien tidak dapat disamakan dengan konsumen biasa (barang maupun jasa), karena ternyata pasien memiliki hakikat, ciri-ciri, karakter, dan sifat yang sangat berbeda dengan konsumen yang dikenal dalam dunia dagang pada umumnya.3
Sebaliknya dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), terlihat sangat tidak memadai pengetahuan maupun penghayatannya tentang hukum dan etika kedokteran, sampai-sampai terjadi “kekonyolan” dengan menyamakan pasien sebagai konsumen biasa dan rumah sakit/dokter sebagai produsen sebagaimana dunia dagang pada umumnya. Menurut J. Guwandi, seharusnya para dokter mengetahui bahwa hubungan dokter-pasien sangat berbeda hakikatnya dan sifatnya dibandingkan hubungan produsen-konsumen biasa. Dalam artikel itu disebutkan bahwa
2 Indonesia, Kepmenkes Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Intensive Care Unit (ICU) di Rumah
Sakit, Lampiran 1, Bagian II B, Indikasi Masuk dan Keluar ICU.
“Bahkan dari kalangan hukum dan YLKI sekalipun, hanya sedikit yang mengetahui bahwa dalam kaitan hubungan hukum dokter-pasien, perjanjian/perikatannya adalah berdasarkan usaha yang sebaik-baiknya (inspanningverbintenis), sama sekali bukanlah berdasarkan hasil (resultaatverbintenis). Jadi, objek perjanjian dalam kontrak terapeutik adalah usaha yang sebaik-baiknya dari dokter, bukanlah sembuh atau tidaknya pasien. Bahkan dengan jelas Guwandi menyebutkan bahwa jika YLKI memang tidak layak mencampuri urusan hubungan dokter-pasien jika pola pikir YLKI masih saja berdasarkan resultaatverbintenis. Tuntutan-tuntutan tersebut bukanlah karena para dokter itu kebal hukum, rasa kesejawatan antar dokter, melainkan akibat tuntutan itu sendiri yang memang kurang pas.
Guwandi berpendapat bahwa YLKI dan IDI harus ingat bahwa ruang lingkup Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen hanyalah mencakup bidang perdagangan dan hal ini disebutkan dengan tegas dalam Bab I (Ketentuan Umum) Pasal 1 ayat 3 yang menyebutkan bahwa “Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan.” Salah satu cara membuktikannya yaitu dengan melihat apakah Menteri Kesehatan termasuk yang tugas dan tanggung jawabnya dalam bidang perdagangan, sehingga kemudian memasukkan masalah pasien ini ke dalam cakupan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Sampai saat ini, IDI sendiri sepertinya sudah menerima mispersepsi bahwa pasien itu sama saja dengan konsumen secara umum, jadi Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat diberlakukan pada hubungan dokter-pasien. Oleh karena itu, pasien dalam konteks kontrak terapeutik tidak bisa disamakan dengan konsumen sebagaimana yang dikenal dalam dunia perdagangan pada umumnya. Pandangan YLKI (dan IDI) yang tercermin dalam suatu seminar, tanpa disadari telah mengawali sosialisasi suatu mispersepsi bagi hubungan dokter-pasien (kontrak terapeutik). Undang-Undang Perlindungan Konsumen seharusnya hanya diberlakukan terhadap konsumen yang dikenal dalam dunia perdagangan saja dan tidak dapat diterapkan pada pasien yang berbeda sekali dalam hakikat, karakter, dan sifatnya.
Namun menurut Penulis, banyaknya pengecualian yang terdapat dalam ketentuan Undang Perlindungan Konsumen tidak mengubah pendirian Penulis bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen bisa diterapkan di dalam hubungan pasien dengan dokter maupun pasien dengan rumah sakit.
Berdasarkan doktrin , tanggung jawab rumah sakit terbagi menjadi: Doktrin Vicarious Liability
Doktrin Vicarious Liability ini disebut juga sebagai Respondeat Superior atau Let The
Master Answer atau Tanggung Jawab Majikan terhadap Karyawan. Di Indonesia, Tanggung
Jawab Majikan terhadap Karyawan ini diatur dalam Pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata yang berbunyi:
“Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggungjawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya.”4
Menurut Bahder Johan Nasution, doktrin respondeat superior mengandung makna, bahwa seorang majikan adalah orang yang berhak untuk memberikan instruksi dan mengontrol tindakan bawahannya, baik atas hasil yang dicapai maupun tentang cara yang digunakan. Di samping itu dengan perkembangan hukum kesehatan dan kecanggihan teknologi kedokteran, rumah sakit tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab pekerjaan yang dilakukan oleh pegawainya atas perintahnya, termasuk apa yang diperbuat oleh tenaga medis sepanjang merupakan tugasnya.5 Demikian pula menurut Soerjono Soekanto terlebih dahulu harus ada hubungan kerja antara atasan dengan bawahan. Kecuali itu sikap tindak bawahan haruslah dalam ruang lingkup pekerjaan yang ditugaskan kepadanya. Hubungan kerja dianggap ada apabila atasan mempunyai hak untuk secara langsung mengawasi dan mengendalikan aktivitas bawahannya dalam melakukan tugas-tugasnya.6
Tentunya terdapat latar belakang dari diberlakukannya doktrin Vicarious Liability ini, latar belakang dasar pemikiran yang dimaksud yaitu bahwa tidak akan mungkin atau setidak-tidaknya sangat sulit untuk memperoleh ganti kerugian dari karyawan tersebut.7 Akan lebih berhasil jika gugatan diajukan kepada majikannya yang keadaan finansialnya jauh lebih baik
4 Pasal 1367 ayat (3) KUHPer
5 Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, cet. X, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 72.
6 Soerjono Soekanto, Pengantar Hukum Kesehatan, (Bandung: Remadja Karya, 1987), hlm. 141. 7 Guwandi, Tindakan Medik dan Tanggung Jawab Produk Medik, cet. 1, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993), hlm. 13-14 sebagaimana dikutip dari Wahyu Andrianto, “Malpraktek Medis di Rumah Sakit, Implikasi Pada Tanggung Jawab Hukum dan Orientasi Bisnis di Rumah Sakit,” (Tesis Magister Universitas Indonesia, Depok, 2005), hlm. 133.
dibandingkan karyawannya. Namun, kelak sang majikan bisa saja menuntut kembali kepada karyawannya yang menyebabkan kerugian tersebut, mungkin dengan memotong gajinya.8
Oleh karena itu penerapan dari doktrin respondeat superior ini dimaksudkan untuk adanya jaminan bahwa ganti rugi dibayar pada pasien yang menderita kerugian akibat tindakan medis dokter, hukum, dan keadilan menghendaki sikap kehati-hatian dari dokter.9
Berdasarkan doktrin ini maka rumah sakit bertanggungjawab kepada karyawannya. Permasalahan yang timbul adalah walaupun ada doktrin respondeat superior, tidak mudah bagi pasien dan keluarganya untuk mengajukan gugatan, karena harus diketahui dulu bagian mana yang termasuk dalam perjanjian terapeutik dengan dokter dan bagian mana yang termasuk ke dalam kontrak dengan rumah sakit. Hal ini akan menentukan pihak yang akan bertanggungjawab, apakah dokter pribadi atau menjadi tanggung jawab rumah sakit. Pasien akan tidak mudah untuk menentukan posisi dokter/tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit. Posisi dokter/tenaga kesehatan bertindak sebagai atasan atau sebagai pembantu, sebagai bawahan atau bukan bawahan dengan rumah sakit. Jika ternyata dokter/tenaga kesehatan tersebut bukan sebagai bawahan rumah sakit, maka rumah sakit dapat tidak bertanggungjawab.
Pasien akan melakukan gugatan kepada rumah sakit, jika pasien mengetahui dan merasa dirugikan oleh tindakan tenaga kesehatan di rumah sakit tersebut. Adalah tidak mudah bagi pasien untuk menyatakan bahwa kerugian itu sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan. Bisa saja musibah yang menimpa pasien terjadi di luar dugaan tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan telah melakukan upaya sebagaimana mestinya dan semampunya, dan musibah/kerugian tetap menimpa pasien, maka hal ini tidak termasuk tindakan kelalaian tenaga kesehatan.
Doktrin Corporate Liability
Karena doktrin vicarious liability banyak menimbulkan kerugian bagi pihak pasien, maka di beberapa negara dikembangkan doktrin Corporate Liability. Doktrin ini menyatakan bahwa rumah sakit sebagai badan hukum bertanggung jawab terhadap segala peristiwa yang terjadi
8 Ibid.
9 Syahrul Machmud, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum bagi Dokter yang Diduga
di belakang dinding rumah sakit (within hospital walls). Rumah sakit bertanggung jawab terhadap segala tindakan dan kesalahan personalianya selama menjalankan tugas yang diberikan oleh rumah sakit, meskipun personalia rumah sakit tersebut bukan berstatus sebagai karyawan rumah sakit. Doktrin vicarious liability titik beratnya adalah pada status dokter yang bekerja pada rumah sakit, sedangkan doktrin corporate liability titik beratnya pada tanggung jawab rumah sakit. Dasar pemikiran dari doktrin ini adalah sederhana. Seorang pasien yang datang ke rumah sakit tidak mengetahui apakah dokter yang dihadapinya tersebut apakah berstatus sebagai karyawan rumah sakit atau bukan. Pasien hanya berhubungan dengan pihak rumah sakit yang berkewajiban untuk memastikan kualitas personalianya. Doktrin ini juga berhubungan dengan tanggung jawab rumah sakit untuk melaksanakan duty of care, yaitu rumah sakit harus memberikan pelayanan kesehatan yang baik sesuai dengan standar umum yang berlaku.
Doktrin Central Responsibility
Tangggung jawab rumah sakit sebagai badan hukum (corporate liability) melahirkan doktrin Central Responsibility (Pertanggung jawaban terpusat pada rumah sakit. Doktrin inilah yang pada saat ini berlaku di berbagai negara maju dan mulai diterapkan di Indonesia. Dasar pemikiran dari doktrin of Central Responsibility ini adalah pada hakekatnya pasien datang ke rumah sakit hanya berhubungan dengan rumah sakit. Sebagai suatu badan hukum, rumah sakit diidentikkan dengan manusia seutuhnya atau person yang dapat melakukan tindakan hukum dan mempunyai tanggung jawab hukum. Secara garis besar, rumah sakit bertanggung jawab terhadap personalia, sarana prasarana dan duty of care. Merupakan suatu hal yang sangat tidak adil, jika rumag sakit melepaskan tanggung jawabnya terhadap kualitas dokter yang bekerja di rumah sakit. Dalam doktrin Central Responsibility ini pertanggungjawabannya terpusat yaitu pada rumah sakit. Apapun status personalia rumah sakit tersebut, rumah sakit tetap merupakan piak yang pertama kali dimintakan tanggung jawabnya bila ada kesalahan yang dilakukan personalianya selama menjalankan tugas dan dalam lingkup kewenangan personalia tersebut. Doktrin inilah yang berlaku dalam Undang-Undang Rumah Sakit.
4.13.1. Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Terhadap Pasien (Khususnya Pasien ICU) Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan
Menurut Pasal 58 Undang Undang Kesehatan
(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa tanggung jawab hukum Rumah Sakit tidak dibatasi hanya pada kelalaian , namun juga kesengajaan tenaga kesehatan adalah tanggung jawab rumah sakit. Sesuai dengan konsep tentang perbuatan melawan hukum, maka kelalaian tenaga kesehatan dan kerugian yang dialami oleh pasien harus ada hubungan kausal. Dalam hal ini pasien ataupun pihak ketiga yang wajib membuktikan adanya kelalaian tenaga kesehatan.
Penulis berpendapat bahwa apabila tenaga kesehatan telah melakukan kesengajaan untuk membawa kerugian bagi pasien, maka hal ini telah melanggar ketentuan pidana yang mengatur tentang kejahatan terhadap nyawa seseorang. Oleh karenanya dalam hal tenaga kesehatan melakukan tindak pidana, maka ia bertanggung jawab secara pribadi. Tanggung jawab ini tidak dapat dialihkan kepada rumah sakit sebagaimana doktrin tanggung jawab terpusat (central liability).
4.13.2. Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Terhadap Pasien (Khususnya Pasien ICU) Berdasarkan Undang-Undang Rumah Sakit
Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit.10
Tanggung jawab ini merupakan tanggung jawab rumah sakit sebagai badan hukum. Tanggung jawab hukum rumah sakit khususnya terhadap pasien ICU di rumah sakit sangat erat kaitannya dengan persetujuan setelah memperoleh informasi yang dikenal dengan
Informed Consent. Bila pasien menolak persetujuan tindakan medik Di ICU, maka penolakan
tersebut tidak akan mengurangi tanggung jawab hukum rumah sakit, karena hubungan pasien
dan dokter yang menanganinya di ICU tidak berakhir dengan penolakan tersebut. Sekalipun pada akhirnya ketiadaan tindakan medik yang ditolak tersebut mengakibatkan kerugian bagi pasien dan atau keluarganya.
Namun demikian penulis berpendapat, apabila ternyata di kemudian hari terdapat indikasi adanya pemaksaan kehendak dokter untuk melakukan tindakan medik tertentu terhadap tubuh pasien di ICU, walaupun dokter berniat baik untuk menyelamatkan nyawa pasien berakibat nya dokter dapat dituntut karena melakukan tindak pidana. Bila terjadi hal yang demikian, maka berdasarkan Pasal 30 ayat (1) e dan f, Undang Undang Rumah Sakit, rumah sakit berhak untuk menggugat tenaga kesehatan tersebut, karena rumah sakit telah dirugikan nama baiknya dan mempunyai hak atas perlindungan hukum.
Bila ditinjau dari beberapa doktrin tanggung jawab yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis berpendapat bahwa tanggung jawab hukum rumah sakit merupakan tanggung jawab hukum terpusat atau central liability. Doktrin ini saya pilih karena saat ini rumah sakit telah banyak mempekerjakan tenaga kesehatan tidak dengan sistem hubungan buruh-majikan, tetapi hubungan kemitraan, dimana terjadi sistem bagi hasil sehingga tanggung jawab hukum rumah sakit tidak ditentukan oleh hubungan kerja rumah sakit dengan tenaga kesehatan. Tanggung jawab rumah sakit adalah berdasarkan adanya hubungan kontraktual dengan pasien dalam pelayanan kesehatan. Oleh karenanya para pihak wajib mentaati hak dan kewajiban yang telah ditentukan oleh mereka sendiri.
Tanggung jawab rumah sakit juga berkaitan dengan hak dan kewajiban semua pihak yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan di rumah sakit sesuai dengan peraturan perundangan sebagaimana disebutkan diatas.
4.13.3. Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Terhadap Pasien (Khususnya Pasien ICU) Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Rumah sakit sebagai pelaku usaha, bertanggung jawab terhadap pasien. Tanggung jawab tersebut berdasarkan adanya hubungan kontraktual. Hak dan kewajiban rumah sakit sebagai pelaku usaha dan pasien sebagai konsumen, telah diatur secara jelas dalam Undang Undang Perlindungan Konsumen. Pelanggaran terhadap hak-hak pasien merupakan tanggung jawab rumah sakit untuk memberikan ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Pemaksaan kehendak dokter terhadap pasien untuk melakukan tindakan medik tertentu terhadap tubuh pasien tersebut, walaupun dokter berniat baik untuk menyelamatkan nyawa pasien, akan dapat berakibat dituntutnya dokter atas tuduhan malpraktik.11
11 Anny Isfandyarie, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter, cet. 6, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2011), hlm. 100.
Penutup 5.1 Kesimpulan
1. Dalam kedudukannya sebagai badan hukum, rumah sakit merupakan subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban yang saat ini telah diatur. Oleh karenanya rumah sakit dapat melakukan pelanggaran terhadap hak dan kewajibannya, sehingga pada akhirnya rumah sakit dapat menuntut (menggugat) dan dapat dituntut (digugat). 2. Hubungan rumah sakit dengan pasien ICU adalah hubungan kontraktual. Dalam
hubungan kontraktual tersebut diatur juga tentang adanya informed consent. Sekalipun pasien ICU ada dalam keadaan kritis, namun phak rumah sakit (melalui dokternya) mempunyai kewajiban memberikan informasi tentang tindakan medik yang akan diambil terhadap pasien ICU, kemudian atas dasar itu pasien ICU atau keluarganya diberikan kebebasan untuk memilih apakah ia menolak ataukan memberikan persetujuannya. Adanya informed consent dan kebebasan pihak pasien untuk memberikan atau menolak ini sebagai wujud perlindungan hukum terhadap pasien ICU.
Baik Undang-Undang Kesehatan beserta peraturan pelaksanaannya, Undang-Undang Rumah Sakit, dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah dengan cukup memperhatikan kepentingan pasien ICU sebagai konsumen dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit. Perhatian tersebut diwujudkan dalam ketentuan-ketentuan yang berisi hak dan kewajiban pasien yang disertai sanksi secara tegas.
5. 2. Saran
1. Perlindungan hukum terhadap pasien di rumah sakit tidak terlepas dari peran pemerintah sebagai pengawas dan pembina rumah sakit. Untuk peristiwa-peristiwa yang muncul dalam media massa, selayaknya pemerintah lebih peka terhadap penyelenggaraan rumah sakit yang menyimpang dari ketentuan perundangan yang berlaku.
2. Tanggung jawab hukum rumah sakit terhadap pasien hanya sebatas hubungan kontraktual yaitu berdasarkan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum, sedangkan untuk penyelenggaraan rumah sakit, pihak pasien tidak atau kurang memahami dan menyadari akan adanya pengaturan tersebut.
3. Tanggung jawab hukum rumah sakit yang tepat bagi rumah sakit adalah tanggung jawab Central Responsibility, karena doktrin inilah yang sesuai dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang Rumah Sakit.
DAFTAR PUSTAKA 1. Buku:
Achadiat M. Chrisdiono, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Ameln, Fred. Kapita Selekta Hukum Kedokteran, cet. 2. Jakarta: PT. Grafikatama Jaya, 1991. Anny Isfandyarie, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter, cet. 6, Jakarta: Prestasi
Pustaka Publisher, 2011.
Djojosugito, M.A., Etika Profesi Administrator Rumah Sakit Mimeo, Kuliah Magister Manajemen Rumah Sakit UGM, 1997.
Dewi, Alexandra Indriyanti. Etika dan Hukum Kesehatan, cet. 1. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2008.
Guwandi, J. Dokter, Pasien, dan Hukum, cet. 2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.
__________, Hospital Law, cet. 2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005.
___________, Hukum Medik (Medical Law), cet. 3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.
___________, Tindakan Medik dan Tanggung Jawab Medik, cet. X. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993.
____________, Informed Consent, cet.1, Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004.
Hanafiyah M.Yusuf dan Amri Amir, Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan, cet.1, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2009.
Hasdam, Sofyan. Etika Kedokteran Hukum Kesehatan, cet. 1. Jakarta: Selayar Semesta, 2009. Isfandyarie, Anny, Tanggung Jawab Hukum Dan Sanksi Bagi Dokter, cet. ke 6, Buku I,
Koeswadji, Hermien Hadiati. Hukum untuk Perumahsakitan, cet. 1. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002.
Kristiyanti, Celine Tri Siwi , Hukum Perlindungan Konsumen, cet.ke 3, Jakarta: Sinar Grafika, 2011
Kurnia, Titon Slamet. Hak atas Derajat Kesehatan Optimal sebagai HAM di Indonesia, cet. 1. Bandung: PT. Alumni, 2007.
Leenen, H.J.J. Pelayanan Kesehatan dan Hukum [Gezondheidszorg En Recht]. Diterjemahkan oleh P.A.F. Lamintang. Bandung: Binacipta, 1991.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar, cet. 2. Yogyakarta: Liberty, 2005.
Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen, ed. 1, cet. 6. Jakarta: Rajawali Press, 2010.
Miru, Ahmadi, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2000.
Nasution, Az. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, cet. 4. Jakarta: Diadit Media, 2011.
Notoatmodjo, Soekidjo, Etika & Hukum Kesehatan, cet. 1, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010). Praptianingsih, Sri. Kedudukan Hukum Perawat dalam Upaya Pelayanan Kesehatan di
Rumah Sakit, cet. 2. Jakarta: Rajawali Press, 2007.
Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen, cet. 1, Jakarta, Grasindo, 2000.
Sidabalok, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, cet. 2. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2010.
Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen Dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, cet. 1, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000.
Soedarmono S., et.al., Reformasi Perumahsakitan Indonesia, Jakarta : Bagian Penyusunan Program Dan Laporan (Ditjen Yanmed Depkes RI – WHO), 2000.
Soekanto, Soerjono. Aspek Hukum Kesehatan (Suatu Kumpulan Catatan), cet. 1. Jakarta: IND-HILL-CO, 1989.
Soekanto, Soerjono dan Herkutanto. Pengantar Hukum Kesehatan, ed. 1, cet. 1, Bandung: CV Remadja Karya, 1987.
Soekanto, Soerjono, Segi-Segi Hukum Hak dan Kewajiban Pasien., cet. 1. Bandung: CV. Mandar Maju, 1990
________________, Kontrak Terapeutik Antara Pasien Dengan Tenaga Medis, cet.1, Jakarta : Media Hospital, 1987.
.Sri Mamudji et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, cet. 1, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Supriadi, Wila Chandrawila, Hukum Kedokteran, cet.1, Bandung : Mandar Maju, 2001. Trisnantoro, Laksono, Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi Dalam Manajemen Rumah
Sakit, cet. 4, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2009.
Yustina, Endang Wahyati, Mengenal Hukum Rumah Sakit, cet.1, Jakarta : Keni Media, 2012. Yadav Hematrom, Hospital Managenent, Kuala Lumpur : University Malaya Press, 2006. Wijaya, Gunawan dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, cet.3, Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Wiradharma, Danny, Penuntun Kuliah: Etika Profesi Medis, cet. X, Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2005.
2. Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang Kesehatan, UU No. 36 Tahun 2009, LN No. 144 Tahun 2009, TLN No. 5063.
Indonesia. Undang-Undang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, TLN No. 3821.
Indonesia. Undang-Undang Praktik Kedokteran, UU No. 29 Tahun 2004, LN No. 116 Tahun 2004, TLN No. 4431.
Indonesia. Undang-Undang Rumah Sakit, UU No. 44 Tahun 2009, LN No. 153 Tahun 2009, TLN No. 5072.
Indonesia. Undang-Undang Pelayanan Publik, UU No. 25 Tahun 2009, LN No. 112 Tahun 2009, TLN No. 5038.
Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R.Subekti dan Tjiptosudibio, Jakarta: Pradjna Paramita, 2008.
Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1778//MENKES/SK/IXII2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan
Intensive Care Unit (ICU) di Rumah Sakit.