• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ilmu Ilal Hadis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ilmu Ilal Hadis"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Selayang Pandang Ilmu ‘Ilal Hadis

Muhamad Ridwan Nurrohman

Pendahuluan

Ketika seseorang sedang mengalami penyakit luar, misalnya sakit mata atau paling jauh sakit kepala dan sakit perut, kebanyakan orang akan mengetahui bahwa orang itu sedang sakit, meskipun ia bukanlah seorang dokter ahli. Tetapi ketika seseorang itu sedang sakit jiwa atau sekurang-kurangnya diabetes fase awal, siapa yang tahu kalau memang dia itu berpenyakit? Mungkin hanya orang-orang tertentulah yang bisa mengetahuinya, itupun mestilah melewati beberapa tes terlebih dahulu.

Nah, itulah sedikit gambaran yang “sangat jauh” dari masalah yang akan kita bahas pada kali ini. Ilmu ‘ilal hadis bukanlah ilmu yang bisa dicapai oleh sembarang orang. Hanya manusia-manusia terpilihlah yang dapat mengetahui ‘ilal hadis ini. Bila kasus tentang “penyakit dalam” yang penulis sajikan di atas saja sudah mengharuskan si peneliti itu benar-benar orang yang ahli dibidangnya, apalagi terhadap hadis. Yang jelas sangatlah jauh berbeda dengan gambaran kasus di atas.

Hadis pada masa sekarang telah menjadi hal yang amat-sangat membutuhkan pondasi keimanan untuk meyakininya. Karena memang secara indrawi memang tidak bisa diteliti lagi, kecuali berpangkal pada kepercayaan pada otoritas dan kejujuran para ulama ahli hadis. Terlebih bila kita berbicara tentang ‘ilal hadis, suatu ilmu yang tidak bisa begitu saja didapatkan melalui penelitian “ilmiah”, bahkan ada Ulama yang mengatakan bahwa ilmu tentang hal ini hanya bisa didapatkan melalui ilham. Sehingga ada yang memvonis bahwa ilmu ini bukanlah sebuah metode ilmiah. Toh, yang bisa mengetahuinya juga bukan “manusia biasa”, tidak semua orang bisa mendapatkan ilham? Benarkah demikian? Nah, dalam tulisan singkat inilah penulis ingin mencoba memaparkan sebuah selayang pandang mengenai ilmu

‘ilal hadis, dan bagaimana posisinya dalam penelitian ilmiah.

Kitab yang bisa dijadikan rujukan dalam penelitian dalam masalah ini sebenarnya cukup memadai, bila yang menelitinya memang mempunyai ilmu yang luas dan mendalam, namun mungkin bagi penulis yang masih thuwailib ini teramatlah sangat sulit. Namun sekuat tenaga akan penulis paparkan sesuai kadar keilmuan yang telah penulis temukan dalam khazanah keilmuan turats maupun kontemporer mengenai masalah ini. Diantara kitab dan buku yang memberikan informasi-informasi penting mengenai hal ini kepada penulis adalah Mahfudz al-Rahman al-Salafiy dalam muqaddimah kitab Al-‘Ilal al-Waridah fi al-Ahadis al-Nabawiyah

(2)

Abdurrahman al-Syahzawi (yang masyhur dengan Ibnu Shalah) atau lebih dikenal dengan kitab

Muqaddimah Ibnu Shalah. Dan beberapa rujukan lainnya.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode studi pustaka, yaitu penelitian lewat khazanah keilmuan berupa kitab-kitab dan buku yang terkait. Komparasi konsep juga penelusuran contoh-contoh dilakukan melalui kitab-kitab yang tersedia mengenai permasalahan ini. Dan pada akhirnya, hanya kepada Allah sajalah kita meminta pertolongan dan ampunan-Nya.

Pengertian Ilmu ‘Ilal Hadis

Secara umum ilmu ‘Ilal hadis ini bisa dikatakan sebagai ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, yang dapat mencacatkan dan menurunkan derajat hadis.1

Sedangkan ‘Ilal hadis itu sendiri secara lebih jelasnya akan dibagi menjadi dua bahasan besar. Yaitu dalam kacamata etimologi dan terminologi.

Menurut kajian etimologi, kata al-‘Illat itu sendiri bisa diartikan sebagai penyakit ( al-Mard).2 Dan hadis yang terdapat ‘illat padanya sebagian menyebutnya hadis ma’lul atau mu’allal, ada juga yang mengistilahkannya dengan ma’alla (huruf lam-nya satu).3

Yang mengistilahkan hadis ini dengan ma’lul dengan berpijak kepada perkataan para

fuqaha dalam pembahasan tentang Qiyas, dari kata, “al-‘Illatu wa al-Ma’lul”. Meskipun tidak masyhur di kalangan para ahli bahasa, namun istilah ini dipergunakan oleh para ulama hadis, setaraf Imam al-Bukhari, al-Tirmidzi, al-Daruqhutniy, al-Hakim, dan para muhaddis lainnya.4

Namun dinilai kurang pas oleh Imam Ibnu Shalah, yang juga diaminkan oleh Imam al-Nawawi.5 Maka mereka yang tidak setuju dengan istilah mu’alal tadi lebih mendahulukan untuk menggunakan istilah ma’ala/ma’alla (dengan menggunakan satu huruf lam saja) seperti dalam ungkapan, a-‘allahu fulan bi kadzaa.6 Dan dalam makalah ini penulis lebih memilih

1 Abu Amr Usman bin Abdurrahman al-Syahzawi, Ulumul Hadis. Tahqiq: Nur al-Din ‘Itr. (Damaskus:

Dar al-Fikr, 1986) hlm. 89. Lihat juga, Endang Soetari, Ilmu Hadis: Kajian Riwayah & Dirayah. Cetakan Kelima. (Bandung: Mimbar Pustaka, 2008) hlm. 204.

2 Pendapat Ibnu Qutiyah dalam Mahfudz al-Rahman al-Salafiy, Muqaddimah Kitab Al-‘Ilal al-Waridah fi al-Ahadis al-Nabawiyah. Tahqiq: Mahfudz al-Rahman al-Salafiy. (T.Tmp: Dar al-Thayyibah, TT) hlm. 36. (Selanjutnya ditulis, Muqaddimah Kitab Al-‘Ilal al-Waridah)

3 Abdulkarim bin Abdullah al-Khudhoiry, Tahqiq al-Ragbah fi Taudih al-Nukhbah. (Riyadh: Dar

al-Minhaj, 1426 H) hlm. 128. (Selanjutnya ditulis, Tahqiq al-Ragbah)

4 Ibnu Shalah, Ulumul Hadis. Hlm. 89. Lihat juga, Mahfudz al-Rahman al-Salafiy.Ibid.

5 Ibnu Shalah mengatakan, bahwa mengistilahkan yang ber-‘illat ini dengan ma’lul adalah suatu perkara

yang “merendahkan” di hadapan para ahli bahasa. Lihat, Ibnu Shalah. Ibid. Sedangkan Imam al-Nawawi mengatakan, bahwa pengistilahan itu adalah keliru (dalam i’rab-nya). Lihat, Abdulkarim bin Abdullah al-Khudhoiry. Ibid.

(3)

untuk menggunakan istilah ma’lul atau mu’allal, karena dalam segi kemasyhuran istilah ini memang jauh lebih masyhur.

Menurut kajian terminologis, ma’lul adalah sebab-sebab yang tersembunyi, yang dapat mencacatkan dan menurunkan derajat hadis, bersama dengan keadaan dzahir hadis tersebut adalah hadis yang selamat sanad dan matannya (baca: sahih, atau sekurang-kurangnya hasan)7 yang tidak akan diketahui kecuali hanya dengan hafalan hadis yang luas, pemahaman hadis yang mendalam serta pengetahuan yang luar biasa mumpuni dalam hal hadis.8

Dan para ahli hadis memberikan beberapa pemahaman tentang hadis-hadis yang termasuk dalam kategori hadis ma’lul ini, yaitu pertama, gelar ma’lul ini tidak mencakup kepadanya hadis yang berderajat munqathi’, majhul, atau hal-hal yang secara dzahir bisa menunjukkan bahwa hadis itu adalah dhaif.9 Kedua, ada juga yang memahaminya secara lebih luas, tidak seperti yang diungkapkan dalam poin yang di atas. Karena hadis-hadis yang dhaif

karena munqathi’, majhul, atau dikarenakan sebab lainnya ini masih termasuk juga dalam kategori qaadihah (dapat mencacatkan), dan para ulama yang mengkaji tentang ‘ilal hadis pun memasukan hadis-hadis dengan kasus demikian dalam kitab mereka.10 Ketiga, bahkan ada yang memahaminya sangat berbeda dari kedua poin di atas. Menurut mereka, tidaklah salah kalaupun kita menyebutkan “hadza al-hadis sahihun mu’allan” (ini hadis sahih yang ma’lul). Karena memang secara dzahir hadis itu memang sahih.11

Dan pemahaman yang lebih tepat dalam hal ini, menurut hemat penulis, adalah pendapat yang kedua. Karena lingkup kajian seperti inilah yang pada akhirnya dijadikan patokan oleh para penyusun kitab ‘ilal hadis. Wallahu a’lam.

Ilmu ‘Ilal Hadis sebagai Metode Ilmiah

Ilmu ‘ilal hadis ini memiliki posisi yang teramat sangat penting dan ekslusif, betapa tidak, ilmu ini benar-benar menjadi suatu faktor yang penting dalam penentuan suatu hadis sahih atau tidaknya. Bila terdapat banyak teori-teori dan kitab yang secara mendalam membahas masalah jarh wa ta’dil, dan tarikh ruwat, maka tidak begitu adanya dengan ilmu

‘ilal hadis ini. Kitab-kitab yang disusun dengan label ‘ilal hadis hanyalah berupa kumpulan 7 Ibnu Shalah, Ulumul Hadis. Hlm. 90.

8 Al-Hakim Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Naisabury, Ma’rifah Ulum al-Hadis. (Beirut: Dar

al-Afaq al-Jadidah, 1980) hlm. 113. Lihat juga, Ahmad Muhammad Syâkir dalam al-Bâ’its al-Hatsîts; Syarh Ikhtishâr ‘Ulûm Hadîs Li Ibn Katsîr. Tahqiq: Nashiruddin al-Albani. (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1996) hlm. 200. (Selanjutnya disebut al-Bâ’its al-Hatsîts)

9 Muhammad bin Ismail Al Shan’aniy, Taudih al-Afkar li Maa’ni Tanqih al-Andzar. (Madinah: Maktabah

al-Salafiyah, TT) hlm. 27. Lihat juga, Mahfudz al-Rahman al-Salafiy, Muqaddimah Kitab Al-‘Ilal al-Waridah.

Hlm. 38.

10 Mahfudz al-Rahman al-Salafiy. Ibid. 11Ibid.

(4)

hadis-hadis yang pernah diterangkan oleh para ulama hadis terdahulu. Sampai-sampai dikatakan bahwa ilmu mengenai ‘ilal hadis ini adalah ilham. Abdurrahman bin Mahdi berkata:

“Mengetahui ‘illat hadis itu adalah ilham, jangan ditanyakan kepada mereka, ‘Dari mana anda bisa mengetahuinya?’ karena sungguh mereka tidak akan bisa menjawab.12 Dan

kebanyakan orang malah sama sekali tidak mengetahuinya.”13

Namun ini bukan berarti bahwa ilmu ‘ilal hadis ini tidak bisa dikatakan sebagai sebuah metode ilmiah. Karena meskipun ketika berbicara tentang kesimpulan bahwa hadis ini ma’lul

ataupun tidak itu adalah sesuatu hal yang teramat sangat sulit, atau bahkan dikatakan “ilham”, akan tetapi terdapat tahapan-tahapan penelitian yang cukup jelas demi mencapai kesimpulan itu. Inilah yang nantinya akan menguatkan tesis bahwa ilmu ‘ilal hadis ini adalah sebuah metode yang ilmiah. Kata yang lebih tepat untuk menggambarkan ilmu ini adalah suatu fan ilmu yang tersembunyi bagi mayoritas ulama hadis, sehingga sebagian dari kalangan huffadz berkata, “Pengetahuan kami terhadap perkara ini, layaknya ramalan bagi orang-orang yang tidak tahu terhadap ilmu ini.”14

Tahapan-tahapan dalam penelitian ‘ilal hadis ini adalah sebagai berikut: Pertama,

mengumpulkan semua riwayat dari hadis yang diteliti. Kedua, memperhatikan perbedaan riwayat-riwayatnya, kekuatan hafalannya, dan juga kemantapan para perawinya.15

Setelah dilakukan tahapan demikian, maka terdapat beberapa indikator ditemukannya

‘ilal dalam suatu hadis, yaitu menyendirinya rawi (tafarrud), yang mana dalam ke-tafarrud -annya itu ia bertentangan dengan riwayat lainnya. Bersama beberapa qarinah yang akan membawa pemahaman seorang pakar ‘ilal hadis kepada keraguan tentang mursal atau mauquf -nya suatu hadis, ataupun tercampur-nya satu hadis dengan hadis lain-nya, ataupun indikasi-indikasi lainnya.16 Ada beberapa ilmu yang mendukung pula terhadap pencapaian pengetahuan tentang ilmu ‘ilal hadis ini, diantaranya pengetahuan tentang mudallas (khususnya: tadlis isnad

atau jelasnya, meriwayatkan hadis dari orang yang mana ia pernah bertemu dengannya, namun tidak mendengar hadis darinya), pengetahuan tentang mursal khafiy (rawi yang meriwayatkan hadis tersebut sezaman dengan sahabat tertentu, tetapi tidak ada kabar yang meriwayatkan bahwa rawi tersebut mendengar hadis tersebut darinya), dan beberapa ilmu lainnya yang memiliki tingkat kerumitan yang cukup tinggi. Juga ada poin penting yang perlu menjadi 12 Ucapan Ibnu Numair dalam Abdurrahman Muhammad bin Abi Hatim, Kitab al-‘Ilal. Tahqiq: Khalid

bin Abdurrahman al-Juaraisy. (Riyadh: Percetakan Kerajaan Fahad, 2006) hlm. 52.

13Ibid. Hlm. 51-52. Lihat juga, Ahmad Muhammad Syâkir, al-Bâ’its al-Hatsîts. Hlm. 200. 14 Ahmad Muhammad Syâkir, al-Bâ’its al-Hatsîts. Hlm. 196.

15Ibid. Hlm. 200.

16 Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi. (Riyadh: Dar al-‘Ashimah, 1423 H)

(5)

perhatian, bahwa syarat kesahihan seorang ulama hadis akan berpengaruh terhadap penilaian

ma’lul dan tidaknya suatu hadis.17Wallahu a’lam. Macam-macam ‘Ilal Hadis

Berdasarkan penelusuran para ulama hadis, ‘illat hadis itu terdapat dalam tiga tempat, yaitu ‘illat hadis pada sanad, ‘illat hadis pada matan dan ‘illat hadis pada sanad serta matan

secara bersamaan.

Pertama, ‘illat pada sanad. ‘Illat yang terdapat di dalam sanad itu lebih banyak terjadi jika dibandingkan dengan ‘illat yang terjadi pada matan. ‘Illat tersebut adakalanya membuat

sanad jadi cacat, tetapi tidak mencacatkan matannya dan adakalanya kecacatan tersebut juga berpengaruh pada matannya.18 ‘Illat yang terjadi dan hanya berpengaruh terhadap sanadnya saja, dapat diketahui jika hadis tersebut juga diriwayatkan oleh rawi lain dengan sanad yang lebih shahih.19 Contohnya adalah hadis

اقققرّفتي ملاققم راققيخلا ىققف ناققعيّبلا

. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Ya’la bin ‘Ubaid dari Sufyân ats-Tsauri dari ‘Amr bin Dinâr dari Ibnu Umar. Rawi-rawi dalam sanad tersebut tsiqat, tetapi terdapat ‘illat di dalamnya. ‘Illat-nya terletak pada kekeliruan Ya’la bin ‘Ubaid dalam menyandarkan periwayatannya kepada Sufyan ats-Tsauri dari ‘Amr bin Dinâr.

Kekeliruan itu bisa diketahui karena adanya rawi lain yang meriwayatkan matan tersebut dari jalan yang sama, di antara mereka adalah Abû Nu’aim, Muhammad bin Yûnus dan Makhlad bin Yazîd. Ketiga rawi ini sama-sama meriwayatkan dari Sufyân ats-Tsauri, hanya saja dalam versi mereka Sufyân ats-Tsauri itu menerima hadis dari Abdullâh bin Dinâr, bukan dari ‘Amr bin Dinâr seperti yang Abu Ya’la katakan. Maka dari keterangan ini dapat diketahui bahwa sanad Ya’la bin ‘Ubaid itu ber-’illat, karena ia menyandarkan periwayatannya dari ‘Amr bin Dinâr, padahal sebenarnya ia adalah Abdullâh bin Dinâr.20

Kedua, ‘illat pada matan. ‘Illat yang terdapat pada matan tidak sebanyak ‘illat yang ada pada sanad. Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab sahihnya ini:

17 Ini akan berkaitan erat terhadap standard yang dipasang oleh para ulama hadis, contoh konkretnya

yaitu antara standard Imam al-Bukhari dan Imam Muslim antara konsep liqa-nya Imam Muslim dan sima’-nya Imam al-Bukhari.

18 Muhammad ‘Ajjâj al-Khatîb, Ushûl al-Hadîs; ‘Ulûmuhu wa Musthahuhu. (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989)

hlm. 294. (Selanjutnya disebut Ushûl al-Hadîs)

19 Ahmad Muhammad Syâkir, al-Bâ’its al-Hatsîts. Hlm. 202. 20Ibid. Hlm. 203.

(6)

" :

ىلّص

َ ي

ّ بِنّلا ف

َ لَخَ ت

ُ يْلّص

َ

لَاقَ هُثَدّحَ هُنّأَ ،كٍلِامَ نِبْ س

ِ نَأَ نْعَ هُرُبِخْيُ هِيْلَإِ ب

َ تَكَ هُنّأَ ةَدَاتَقَ نْعَوَ

لَ ،نَيمِلَاققعَلْا ب

ّ رَ ققل

ِِّ دُققمْحَلْا ب

ِ نَوحُتِفْتَس

ْ يَ اونُاكَفَ ،نَامَثْعُوَ ،رَمَعُوَ ،رٍكْبَ يبِأَوَ مَلّس

َ وَ هِيْلَعَ ل

ُ ا

"

اهَرِخِآ يفِ لَوَ ةٍءَارَقِ لِوّأَ يفِ مِيحِرّلا نِمَحْرّلا ل

{

ِ ا مِس

ْ بِ نَورُكُذْيَ

}

Hadis tersebut oleh para ulama dipandang sebagai hadis yang ma’lul, yang menjadikan hadis tersebut ma’lul yaitu terdapat lafadz penafian terhadap pembacaan Bismillahi ar-rahman ar-rahim. Sedangkan terdapat riwayat lainnya yang sangat banyak, yang tidak mencantumkan lafadz tersebut pada hadis tersebut, dengan pemahaman bahwa ketika mengawali shalatnya, Rasulullah Saw. membaca surat al-Hamdulillahi Rabbil ‘Alamiin, yaitu nama lain bagi surat Al-Fatihah. Maka riwayat ini gharib dan bisa dikatakan bertentangan dengan riwayat yang lebih sahih, diantaranya yang diriwayatkan oleh al-Bukhari.21 Dan ketiga, ‘illat pada sanad dan matan. ‘Illat yang terdapat pada sanad dan matan mempunyai pengaruh yang dapat mencacatkan kepada keduanya (sanad dan matan). Dan ini terjadi ketika ke-dhaif-an hadis tersebut nampak.22

Jenis-jenis ‘illat

Hadis yang berderajat ma’lul ini pada kenyataannya cukup banyak jenisnya, sampai-sampai Imam al-Hakim membaginya dalam sepuluh jenis, yang beliau nyatakan, bahwa yang sepuluh ini pun sebenarnya masih belum juga mewakili hadis ma’lul secara keseluruhan, dikarenakan begitu luas dan pentingnya ilmu ini.23 Kesepuluh jenis itu adalah sebagai berikut:

1. Sanadnya secara zhahir tidak bermasalah, tetapi di dalamnya ada rawi yang tidak diketahui sima’nya, dari siapa ia meriwayatkan hadis tersebut. Contohnya adalah hadis berikut:

ققل

ِ ا دِققيْبَعُ نُققبْ دُققمَحْأَ انثدح ،رِافّص

ّ لا نِبْ دِيْبَعُ نُبْ دُمَحْأَ انثدح ،نَادَبْعَ نِبْ دَمَحْأَ نُبْ ي

ّ لِعَ انَرَبَخْأَ

:

:

نْققعَ ،ةَققبَقْعُ نُققبْ ىس

َ ومُ ينِرَبَخْأَ ج

ٍ يْرَجُ نُبْا لَاقَ لَاقَ رُوَعْلَْا دٍمّحَمُ نُبْ ج

ُ اجّحَ انثدح ،ي

ّ س

ِ رْنّلا

" :

لَاقققَ هققنأ مَلّس

َ وَ هِيْلَعَ ل

ُّ ا ىلّص

َ ي

ّ بِنّلا نِعَ ،ةَرَيْرَهُ يبِأَ نْعَ ،هِيبِأَ نْعَ ،ح

ٍ لِاص

َ يبِأَ نِبْ لِيْهَس

ُ

:

،ت

َ ققنْأَ لّإِ هَققلَإِ لَ ،كَدِمْحَبِوَ انَبّرَ كَنَاحَبْس

ُ

مَوقُيَ نْأَ لَبْقَ لَاقَ مّثُ هُطُغَلَ هِيفِ رُثُكْيَ اس

ً لِجْمَ س

َ لَجَ نْمَ

"

كَلِذَ هِس

ِ لِجْمَ يفِ نَاكَ امَ هُلَ رَفِغُ لّإِ ،كَيْلَإِ ب

ُ وتُأَوَ كَرُفِغْتَس

ْ أَ

24 21Ibid. Hlm. 204.

22 Abdulkarim bin Abdullah al-Khudhoiry, Tahqiq al-Ragbah. Hlm. 129-131. 23 Al-Hakim, Ma’rifah Ulum al-Hadis. Hlm. 118.

24 Riwayat ini ditemukan dalam Abu Bakar al-Baihaqi, Syu’abul Iman. (India: Dar al-Salaf Bombay,

(7)

Ketika Imam Muslim bertanya kepada Imam al-Bukhari tentang hadis ini, beliau menjawab, “Hadis ini (isinya) bagus, tetapi aku tidak tahu kalau di dunia ini ada hadis tentang bab itu, kecuali hadis tersebut, dan hadis itupun ma’lul”. Imam Bukhari juga mengatakan bahwa Musa bin ‘Uqbah itu tidak mendengar hadis dari Suhail.25

2. Hadis mursal yang diriwayatkan secara marfu’ (sanadnya sampai kepada nabi) padahal rawinya tsiqat dan hafizh. Atau disebut juga me-marfu’-kan hadis yang mursal. Contohnya adalah hadis berikut:

» :

:

يققتِمّأُ مُحَرْأَ

مَلّس

َ وَ هِيْلَعَ ل

ُ ا ىلّص

َ ل

ِّ ا لُوس

ُ رَ لَاقَ لَاقَ ،ةَبَلَقِ يبِأَ نْعَ ،دٍلِاخَ نْعَ ،ةَيّلَعُ نُبْا انَثَدّحَ

«

رٍكْبَ وبُأَ يتِمّأُبِ

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibnu ‘Aliyah dari Khalid dari Abu Qilabah.26 Abu Qilabah mengatakan bahwa hadis itu ia terima dari Nabi saw, padahal ia adalah seorang

tabi’inn. Tidak mungkin seorang tabi’inn menerima hadis dari Nabi Saw. Kalaupun menerima hadis, maka ia mesti menerimanya dari sahabat.27 ‘Illat hadis tersebut bisa diketahui, salah satunya, melalui riwayat al-Tirmidzi, beliau meriwayatkannya melalui Sufyan bin Waki’, Humaid bin ‘Abdurrahman, Dawud al-‘Athar, Ma’mar, Qatadah dan Anas bin Malik. Dari

sanad ini dapat diketahui bahwa Abu Qilabah melewati Anas bin Malik.

3. Hadis yang diriwayatkan dari seorang sahabat yang mahfuzh, tetapi hadis tersebut diriwayatkan juga dari sahabat lain yang berbeda domisilinya. Dengan kata lain, ‘illat

hadis semacam ini adalah mensyadzkan hadis yang mahfuzh. Contohnya adalah hadis berikut:

،رٍققفَعْجَ نُققبْ دُققمّحَمُ اققن ،مَققيَرْمَ يبِأَ نُبْا ان ،مٍتِاحَ وبُأَ انَأَ ،نُيْس

َ حُلْا انَأَ ،ةَبَقْعُ نُبْ ي

ّ لِعَ وبُأَ انَرَبَخْأَ

ىققس

َ ومُ يبِأَ نِبْ ةَدَرْبُ يبِأَ نْعَ ،ق

َ احَس

ْ إِ يبِأَ نْعَ ،ةَبَقْعُ نِبْ ىس

َ ومُ نْعَ

ي

ّ ققبِنّلا نِققعَ ،هِققيبِأَ نْققعَ ،

مَلّس

َ وَ هِيْلَعَ ل

ُّ ا ىلّص

َ

:

لَاقَ

"

هِيْلَإِ ب

ُ وتُأَوَ ل

َ ا رُفِغْتَس

ْ أَ ،ةٍرّمُ ةَئَامِ مٍوْيَ لّكُ رُفِغْتَس

ْ لََ ينّإِ

"

Hadis ini diriwayatkan oleh dua jalan sanad, yaitu:

1) Musa bin ‘Uqbah, Abu Ishaq, Abu Burdah dan Abu Musa al-Asy’ari.28

2) Yahya bin Yahya dan Qutaibah bin Sa’id, Hammad bin Zaid, Tsabit, Abu Burdah dan al-Aghar al-Muzani.

25 Lihat, Ahmad Muhammad Syâkir, al-Bâ’its al-Hatsîts Hlm. 205. Lihat juga, Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi. Hlm. 423.

26 Ibnu Abi Syaibah al-Kufi, Al-Mushannaf. (Maktabah Syamilah v. 3.4) juz. 7. Hlm. 472.

27 Periwayatan demikian hanya terdapat dalam Mushannaf Ibn Abi Syaibah dan Mushannaf Abdul Razzaq

sedangkan dalam kitab lainnya seperti Sunan al-Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, Musnad Ahmad, al-Sunan al-Kubro al-Baihaqy, al-Mustadrak Hakim, Mu’jam al-Shagir al-Thabrani, dan Sahih Ibnu Hibban, kesemuanya melalui sahabat Anas bin Malik.

28 Riwayat ini ditemukan dalam Abu Bakar al-Baihaqi, Syu’abul Iman. Jld. 9. Hlm. 125. Para rawi yang

(8)

Rawi-rawi yang ada dalam sanad nomor 1 adalah para rawi yang berdomisili di Madinah. Jika mereka meriwayatkan dari rawi-rawi yang berdomisili di Kuffah maka mereka banyak membuat kekeliruan. Menurut rawi-rawi yang tsiqat, hadis ini sebenarnya diriwayatkan oleh Abu Burdah dari sahabat al-Aghar al-Muzanim bukan dari Abu Musa al-Asy’ari. Di sisi lain Imam Muslim meriwayatkan hadis ini dari Yahya bin Yahya dan Qutaibah bin Sa’id, Hammad bin Zaid, Tsabit, Abu Burdah dan al-Aghar al-Muzani dari Rasulullah Saw. (sanad nomor 2). Dengan demikian, hadis Musa bin ‘Uqbah ini syadz pada sanad-nya (sanad nomor 1) karena ia berlainan dengan sanad yang lebih tsiqat. Sedangkan hadis riwayat Muslim rawi-rawinya lebih

tsiqat dan mahfuzh.

4. Hadis yang diriwayatkan seorang sahabat secara mahfuzh, tetapi hadis itu diriwayatkan juga dari seorang tabi’inn yang diduga shahih. Misalnya hadis yang diriwayatkan oleh al-‘Askari yang bersanad Zuhair bin Muhammad, ‘Utsman bin Sulaiman dari ayahnya yang mengatakan:

-

-

رِوطّلابِ ب

ِ رِغْمَلْا ىفِ أُرَقْيَ ملسو هيلع لا ىلص ىّبِنّلا عَمِس

َ هُنّأَ

Hadis yang diriwayatkan oleh al-‘Askari tersebut ma’lul karena al-‘Askari menyangka bahwa ‘Utsman bin Sulaiman menerima hadis itu dari Sulaiman (ayahnya ‘Utsman). Padahal ‘Utsman tidak pernah menerima hadis itu dari Nabi saw, bahkan iapun tidak pernah bertemu dengan Nabi Saw. karena ia adalah seorang tabi’in. Sebenarnya ‘Utsman menerima menerima hadis tersebut dari Nafi’ dan Nafi’ menerima dari ayahnya, yaitu Jubair bin Muth’im. Menurut para ulama hadis, sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut adalah Jubair bin Muth’im. Berikut adalah sanad-sanad yang meriwayatkan hadis Jubair bin Muth’im:

1) Bukhari; beliau meriwayatkan dari Abdullah bin Yunus, Malik, Ibnu Syihab, Muhammad bin Jubair dan Jubair bin Muth’im.

2) Muslim; beliau meriwayatkan dari Yahya bin Yahya, Malik, Ibnu Syihab, Muhammad bin Jubair dan Jubair bin Muth’im.

3) Abu Dawud; beliau meriwayatkan dari al-Qa’nabi, Malik, Ibnu Syihab, Muhammad bin Jubair dan Jubair bin Muth’im.

4) An-Nasa`i; beliau meriwayatkan dari Qutaibah, Malik, Ibnu Syihab, Muhammad bin Jubair dan Jubair bin Muth’im.

5) Ibnu Majah; beliau meriwayatkan dari Muhammad bin ash-Shabah, Malik, Ibnu Syihab, Muhammad bin Jubair dan Jubair bin Muth’im.

(9)

5. Hadis yang sanadnya diriwayatkan secara ‘an’anah29 dan telah digugurkan oleh seorang atau beberapa orang. Misalnya hadis yang diriwayatkan melalui sanad Yunus dari Ibnu Syihab dari ‘Ali bin Husain dari seorang laki-laki Anshar, ia mengatakan:

لُوققس

ُ رَ لَاقققَفَ ،رَانَتَققس

ْ افَ ،مٍققجْنَبِ ي

َ مِرُفَ ةٍلَيْلَ ت

َ اذَ مَلّس

َ وَ هِيْلَعَ ل

ُ ا ىلّص

َ ل

ِ ا لِوس

ُ رَ عَمَ اوْنُاكَ مْهُنّأَ

:

«

» :

ققل

ُ ا اولُاقققَ ؟اذَققهَ لِققثْمِبِ ي

َ ققمِرُ اذَإِ ةِققيّلِهِاجَلْا يفِ نَولُوقُتَ مْتُنْكُ امَ

مَلّس

َ وَ هِيْلَعَ ل

ُ ا ىلّص

َ ل

ِ ا

«

» :

ىلّققص

َ ققل

ِ ا لُوس

ُ رَ لَاقَ مٌيظِعَ لٌجُرَ ةَلَيْلّلا ت

َ امَوَ ،مٌيظِعَ لٌجُرَ ةَلَيْلّلا دَلِوُ

لَاقَ ،مُلَعْأَ هُلُوس

ُ رَوَ

" :

اذَإِ ىلَاققعَتَوَ كَرَاققبَتَ اققنَبّرَ نّققكِلَوَ ،دٍققحَأَ ةِاققيَحَلَ لَوَ ،دٍحَأَ ت

ِ وْمَلِ ىمَرْتُ لَ اهَنّإِفَ

مَلّس

َ وَ هِيْلَعَ ل

ُ ا

لَققهْأَ ح

ُ يبِققس

ْ تّلا غَققلُبْيَ ىققتّحَ ،مْهُنَوققلُيَ نَيذِققلّا ءِامَس

ّ لا لُهْأَ حَبّس

َ مّثُ ،ش

ِ رْعَلْا ةُلَمَحَ حَبّس

َ ارًمْأَ ىض

َ قَ

:

،مْققهُنَورُبِخْيُفَ ؟مْققكَبّرَ لَاقققَ اذَاققمَ ش

ِ رْققعَلْا ةِققلَمَحَلِ ش

ِ رْعَلْا ةَلَمَحَ نَولُيَ نَيذِلّا لَاقَ مّثُ ،ءِامَس

ّ لا هِذِهَ

نّققجِلْا ف

ُ ققطِخْيَفَ ،ايَنْدّققلا ءَامَققس

ّ لا هِذِققهَ رُققبَخَلْا غَققلُبْيَ ىققتّحَ ،اققض

ً عْبَ مْهُققض

ُ عْبَ ءِامَس

ّ لا لُهْأَ رُبِخْتَس

ْ يَفَ

نَوققفُرِقْيَ مْققهُنّكِلَوَ ق

ّ حَ وَهُفَ ،هِهِجْوَ ىلَعَ هِبِ اوءُاجَ امَفَ نَومُرْيَفَ ،مْهِئِايَلِوْأَ ىلَإِ هُنَوفُذِقْيَفَ ،عَمْس

ّ لا

"

نَودُيزِيَوَ هِيفِ

Hadis yang diriwayatkan oleh Yunus yang diterimanya dari Ibnu Syihab dari ‘Ali bin Husain yang mengatakan bahwa ‘Ali menerimanya dari seorang laki-laki Anshar adalah

ma’lul. ‘Illat-nya ialah kerena Yunus menggugurkan seorang sanad, yaitu Ibnu ‘Abbas kemudian ia meriwayatkannya dengan menggunakan lafazh ‘an (dari) yang seolah-olah ada persambungan dengan pendengaran antara ‘Ali bin Husain dengan orang Anshar yang menceritakan kejadian itu. Padahal sebenarnya hadis tersebut diriwayatkan oleh sahabat Ibnu ‘Abbas.

Jadi dalam sanad sanad tersebut ada seorang rawi yang digugurkan, yaitu Ibnu ‘Abbas. Hal ini bisa dilihat sanad-sanad berikut ini:

1) Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Nashr bin ‘Ali al-Jahdhami, Abdul A’la, Ma’mar, az-Zuhri, ‘Ali bin Husain dan Ibnu ‘Abbas.

2) Imam Muslim mentkahrijkan melalui sanad Zuhair bin Harb, al-Walid bin Muslim, al-Auza’i, az-Zuhri, ‘Ali bin Husain dan Ibnu ‘Abbas. Juga melalui

sanad Hasan bin ‘Ali al-Hulwani, Ya’qub bin Ibrahim, Shalih, az-Zuhri, ‘Ali bin Husain dan Ibnu ‘Abbas.

29 Mu’an’an adalah hadis yang di dalam sanadnya menggunakan shigat نع seperti نلف نع نلف. Para

ulama ahli hadis mengatakan bahwa hadis seperti itu mursal, kecuali ada yang menerangkan tentang

(10)

6. Adanya perbedaan seorang rawi dalam penyandaran sanad dengan periwayatan rawi lain yang lebih kuat. Seperti hadis ‘Umar bin Khattab yang bertanya kepada Rasulullah saw:

انَحْص

َ فْأَ كَلَ امَ

Hadis tersebut diriwayatkan oleh dua sanad yaitu:

1) ‘Ali bin Husain bin Waqid, Husain bin Waqid, ‘Abdullah bin Buraidah, Buraidah dan ‘Umar bin Khattab.

2) ‘Ali bin Khasyram, ‘Ali bin Husain bin Waqid, ia menerima dari ‘Umar bin Khattab.

Hadis yang menggunakan sanad nomor 2 tergolong sebagai hadis ma’lul. Alasannya,

‘illat hadis tersebut terletak pada ‘Ali bin Khasyram.

7. Adanya perbedaan seorang rawi dalam penyebutan nama gurunya ataupun tidak diketahui nama gurunya. Misalnya hadis berikut:

ةَققص

َ فِارَفُ نِققبْ ج

ِ اققجّحَلْا نْعَ نُايَفْس

ُ انَثَدّحَ دَمَحْأَ وبُأَ ينِرَبَخْأَ لَاقَ ي

ّ لِعَ نُبْ رُص

ْ نَ انَثَدّحَ

لٍققجُرَ نْققعَ

:

مٌققيرِكَ رّققغِ نُمِؤْققمُلْا مَلّققس

َ وَ هِققيْلَعَ ل

ُّ ا ىلّص

َ ل

ِّ ا لُوس

ُ رَ لَاقَ لَاقَ ةَرَيْرَهُ يبِأَ نْعَ ةَمَلَس

َ يبِأَ نْعَ

مٌيئِلَ ب

ّ خِ رُجِافَلْاوَ

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad: Nashr bin ‘Ali, Abu Ahmad, Sufyan, Hajjaj bin Furafishah, rajulun (seorang laki-laki), Abu Salamah dan Abu Hurairah. Hadis dengan sanad ini adalah hadis ma’lul, sebab di dalamnya terdapat seorang laki-laki yang mubham (disamarkan namanya), sehingga sulit untuk diketahui identitasnya.

‘Illat yang terdapat dalam hadis tersebut bisa diketahui dengan cara memperhatikan

sanad lain, yaitu sanad yang digunakan oleh Imam Tirmidzi. Beliau meriwayatkan hadis tersebut dengan sanad: Muhammad bin Rafi’, ‘Abdurrazaq, Bisyr bin Rafi’, Yahya bin Abi Katsir, Abu Salamah dan Abu Hurairah. Bahkan Imam Abu Dawud dalam sanad lain meriwayatkan melalui Muhammad bin al-Mutawakkil al-‘Asqalani, ‘Abdurrazaq, Bisyr bin Rafi’, Yahya bin Abi Katsir, Abu Salamah dan Abu Hurairah.

8. Periwayatan suatu hadis yang tidak pernah didengar dari gurunya, yang ia riwayatkan seakan-akan dia mendengarnya dengan jelas dari gurunya itu. Misalnya hadis berikut:

:

لَكَأَوَ نَومُئِاص

ّ لا مْكُدَنْعِ رَطَفْأَ مْهُلَ لَاقَ مٍوْقَدَنْعِ رَطَفْأَ اذَإِ مَلّس

َ وَ هِيْلَعَ ل

ُّ ا ىلّص

َ لا لُوْس

ُ رَ نَاكَ

ةُكَئِلَمَلْا مْكُيْلَعَ ت

ْ لّص

َ وَ رُارَبْلَْا مْكُمَاعَطَ

Imam Baihaqi meriwayatkan hadis tersebut melalui dua sanad. Sanad pertama adalah Abu Zakaria bin Abi Ishaq, Abul ‘Abbas, Muhammad bin ‘Ubaidillah, Yazid bin Harun,

(11)

Hisyam ad-Dastuwa`i, Yahya bin Abi Katsir dari Anas bin Malik. Sedangkan sanad kedua adalah Abu Hasan ‘Ali bin Muhammad al-Maqri, al-Hasan bin Muhammad bin Ishaq, Yunus bin Ya’qub, Muslim bin Ibrahim, Hisyam ad-Dastuwa`i, Yahya bin Abi Katsir dan Anas bin Malik.

Yang menjadi pangkal adanya ‘illat di dalam hadis tersebut adalah Yahya bin Abi Katsir. Menurut Imam Baihaqi, hadis tersebut mursal. Lantaran Yahya bin Abi Katsir tidak mendengar dari orang Bashrah yang bernama ‘Amr bin Zabib. Dengan demikian sanad itu sebenarnya berangkat dari Yahya bin Abi Katsir yang diterimanya dari Ibnu Zahid dari sahabat Anas bin Malik. Walaupun Yahya bin Abi Katsir banyak menerima riwayat dari Anas bin Malik, namun hadis tersebut tidak ia terima dari Anas bin Malik. Pemalsuan pemberitaan inilah yang menjadikan hadis tersebut ma’lul.

9. Hadis yang sudah mempunyai sanad tertentu tetapi salah seorang rawinya meriwayatkan hadis tersebut dengan sanad lain secara wahm (diduga-duga). Misalnya hadis:

كَرَاققبَتَوَ كَدِققمْحَبِوَ مّققهُلّلا كَنَاحَبْس

ُ لَاقَ ةَلَص

ّ لا ح

َ تَفْتَس

ْ ا اذَإِ مَلّس

َ وَ هِيْلَعَ ل

ُّ ا ىلّص

َ ل

ِّ ا لُوس

ُ رَ نَاكَ

.

كَرَيْغَ هَلَإِ لَوَ كَدّجَ ىلَاعَتَوَ كَمُس

ْ ا

Para ulama hadis meriwayatkan hadis tersebut dengan sanad yang berbeda-beda dari sahabat yang berbeda-beda pula dengan derajat yang berlainan dan kebanyakan ulama menilainya dengan dha’if. Jika hadis tersebut diambil dari musnad Ishaq bin Rahawaih, maka hadis itu adalah musnad. Sanadnya terdiri dari ‘Abdul Aziz, ‘Abdullah bin Fadhl, al-A’raj, ‘Ubaidillah bin Abi Rafi dari sahabat ‘Ali.

Kemudian al-Mundzir bin ‘Abdullah al-Hazami meng-isnad-kan (mencari sanad yang lain di luar sanad yang sudah ada) hadis tersebut secara wahm dari ‘Abdul Aziz bin al-Majisyun, dari ‘Abdullah bin Dinar, dari Ibnu ‘Umar. Di dalam hadis itu ia mengatakan bahwa Ibnu ‘Umar mengetahui sendiri apa yang diperbuat oleh Rasulullah Saw. Maka disitulah yang menjadikan hadis tersebut ma’lul.

10.Hadis yang marfu’ (bersambung sanadnya kepada nabi) diriwayatkan secara mauquf

(sanadnya hanya bersambung kepada sahabat). Contohnya adalah hadis:

ءَوض

ُ وُلْا دُيعِيُ لَوَ ةَلَص

ّ لا دُيعِيُ هِتلَص

ّ لا يفِ كَحِض

َ نْمَ

Hadis tersebut diriwayatkan dari Abu Farwah Yazid bin Muhammad, dari ayahnya (Muhammad), dari ayahnya, dari al-A’masy, dari Abu Sufyan dan Jabir bin ‘Abdullah secara

marfu’ (dari Nabi saw). Hadis yang diriwayatkan dengan sanad tersebut adalah ma’lul, karena yang benar hadis tersebut memang mauquf dari sahabat Jabir. Jelasnya, Waki menerima hadis

(12)

itu dari al-A’masy yang diterima dari Abu Sufyan dan Abu Sufyan mengatakan bahwa ketika Jabir ditanya tentang hukum orang yang tertawa di waktu salat ia menjawab

لَوَ ةَلَص

ّ لا دُيعِيُ

ءَوض

ُ وُلْا دُيعِيُ

. Jadi yang diberitakan oleh Waki itu tidak lain hanyalah perbincangan antara Abu Sufyan dengan sahabat Jabir. Dengan demikian, kalimat itu bukanlah sabda Nabi Saw.

Ke-ma’lul-an sanad tersebut bisa diketahui melalui sanad lain yang masih diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad: Abu Qasim Zaid bin Abi Hasyim al-Husaini, Abu Ja’far Muhammad bin ‘Ali bin Dahim, Ibrahim bin ‘Abdullah, Waki’, al-A’masy, Abu Sufyan dan Jabir bin ‘Abdullah. Dan dari sanad Abu Bakar bin Husain, Hajib bin Ahmad, Muhammad bin Hammad, Abu Mu’awiyah, al-A’masy, Abu Sufyan dan Jabir bin ‘Abdullah, tidak secara

marfu’.30

Kitab-kitab ‘Ilal Hadis

Tidak diragukan lagi bahwasanya fan ilmu ‘ilal hadis ini merupakan fan ilmu terpenting dalam kajian ilmu-ilmu hadis. Maka tidak heran perhatian para ulamapun banyak tertuju pada hal ini, sehingga dengan susah payah mereka mencurahkan seluruh kekuatan, waktu, dan juga perhatiannya terhadap fan ilmu ini. Di antara bukti dari perhatian para ulama terhadap ilmu ini adalah sebagai berikut:

1. Al-‘Ilal karya Sufyan bin Uyainah (w. 198 H) riwayat Ibnu al-Madini (w. 234 H)

2. Al-‘Ilal karya Yahya bin Sa’id al-Qathan (w. 198 H)

3. ‘Ilal al-Ahadis karya Hasan bin Mahbub al-Bajali (w. 224 H)

4. Al-‘Ilal karya Yahya bin Ma’in (w. 233 H)

5. ‘Ilal al-Musnad karya Ali bin al-Madini (w. 234 H)

6. ‘Ilal al-Hadis wa Ma’rifat al-Suyukh karya Abu Ja’far Muhammad bin Abdullah al-Mukhrami al-Mushili (w. 242 H)

7. Kitab al-‘Ilal karya Abu Hafs Amr bin Ali al-Falash (w. 249 H)

8. Kitab al-‘Ilal karya Imam al-Bukhari (w. 256 H)

9. Al-‘Ilal, al-‘Ilal al-Mutafarriqah dan ‘Ilal Hadis Ibnu Uyainah karya Ibnu al-Madini Ismail al-Qadi (w. 282 H)

30 Semua contoh ini diambil dari Ahmad Muhammad Syâkir dalam al-Bâ’its al-Hatsîts. Hlm. 205-217.

Juga dari, Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi. Hlm. 422-427. Lihat juga, Mahfudz al-Rahman al-Salafiy, Muqaddimah Kitab Al-‘Ilal al-Waridah. Hlm. 43-46. Lihat juga, Al-Hakim, Ma’rifah Ulum al-Hadis. Hlm. 113-119.

(13)

10. Al-‘Ilal dengan riwayat dari Abi Hasan Muhammad bin Ahmad bin al-Barra (w. 291 H)

11. Al-‘Ilal wa Ma’rifatul Rijal karya Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H) dengan riwayat anaknya, yaitu Abdullah bin Ahmad (w. 290 H)

12. Al-‘Ilal karya Ahmad bin Hambal dengan riwayat Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj al-Marudzi (w. 275 H)

13. Sûalât Khattab bin Basyar (w. 264 H) karya Imam Ahmad bin Hambal

14. Kitab al-‘Ilal karya Abu Bakar Ahmad Ibnu Muhammad bin Hâni al-Asram

15. ‘Ilal Hadis Ibnu Syihab al-Zuhri (w. 125 H) karya Muhammad bin Yahya al-Dzahili (w. 258 H)

16. Kitab al-‘Ilal dan Kitab al-Tamyiz karya Imam Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi (w. 261 H)

17. Al-Musnad al-Mu’allal karya Ya’qub bin Syihab (w. 262 H)

18. Kitab al-‘Ilal karya Abu Zur’ah Ubaidullah bin Abdul Karim al-Razi (w. 264 H)

19. Kitab al-‘Ilal karya Abi Basyr Ismail bin Abdullah bin Mas’ud al-Asbahaniy (w. 267 H)

20. Al-‘Ilal dan al-‘Ilal al-Shagir karya Abi Isa Muhammad bin Isa al-Tirmidzi (w. 279 H)

21. Kitab al-‘Ilal karya Abu Zur’ah Abdurrahman bin Amr bin Shafwan al-Dimisyqi (w. 280 H)

22. Kitab al-‘Ilal karya Ibrahim bin Ishaq al-Harabi (w. 285 H)

23. Al-Musnad al-Kabir al-Mu’allal atau yang diberi nama al-Bahr al-Zukhar karya Abu Bakar Ahmad bin Amr bin Abdul Khaliq al-Bazzzar (w. 292 H)31

Dan masih banyak lagi kitab-kitab yang telah disusun oleh para ulama tentang pembahasan ini. Dan salah satu karya terbesar dalam ilmu ‘ilal hadis ini adalah kitab Az-Zuhr al-Mathlûl fî al-Khabar al-Ma’lûl karya Imam Ibn Hajar al-‘Asqalanî, kitab ini disebut-sebut akan menjadi kitab ‘ilal hadis yang paling lengkap dari antara semua kitab serupa yang pernah disusun, karena perhatiannya sampai terhadap hal-hal yang paling rinci dan juga pengetahuannya yang sangat luas menjadikan kitabnya tersebut benar-benar mengumpulkan semua riwayat para ulama ‘ilal hadis terdahulu dan mengumpulkannya dalam kitab yang beliau susun tersebut, namun sayangnya kitab ini tidak dapat ditemukan lagi sisa-sisanya.32

31 Lengkapnya dapat dilihat dalam Mahfudz al-Rahman al-Salafiy, Muqaddimah Kitab Al-‘Ilal al-Waridah. Hlm. 46-56.

(14)

Penutup

Demikianlah pembahasan sederhana tentang ilmu ‘ilal hadis ini. Dari paparan yang telah disampaikan penulis dari awal insya Allah telah menjawab semua pertanyaan yang juga

terbetik sejak awal. Beberapa poin penting yang menjadi titik akhir dari makalah ini adalah:

pertama, betapa pentingnya ilmu ‘ilal hadis ini. Kedua, ilmu ‘ilal hadis ini meskipun betapa rumit dan langkanya, ilmu ini tetaplah menjadi metode ilmiah, dengan berbagai pembuktian yang tersurat dan tersirat dalam makalah ini. Maka dengan semua kekurangan yang terdapat dalam makalah ini, demikianlah yang dapat penulis sampaikan. Segala kesempurnaan hanyalah milik Allah Swt. sedang kekurangan bersumber dari diri penulis sendiri.

(15)

Daftar Pustaka

Abdurrahman Muhammad bin Abi Hatim. 2006. Kitab al-‘Ilal. Tahqiq: Khalid bin Abdurrahman al-Juaraisy. Riyadh: Percetakan Kerajaan Fahad.

Al-Baihaqi, Abu Bakar. 2003. Syu’abul Iman. India: Dar al-Salaf Bombay.

Al-Hakim, Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah. 1980. Ma’rifah Ulum al-Hadis. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah.

Al-Khatîb, Muhammad ‘Ajjâj. 1989. Ushûl al-Hadîs; ‘Ulûmuhu wa Musthahuhu. Beirut: Dâr al-Fikr.

Al-Khudhoiry, Abdulkarim bin Abdullah. 1426 H. Tahqiq al-Ragbah fi Taudih al-Nukhbah. Riyadh: Dar al-Minhaj.

Al-Kufi, Ibnu Abi Syaibah. Al-Mushannaf. Maktabah Syamilah v. 3.4.

Al-Salafiy, Mahfudz al-Rahman. TT. Muqaddimah Kitab Al-‘Ilal Waridah fi Ahadis al-Nabawiyah. Tahqiq: Mahfudz al-Rahman al-Salafiy. T.Tmp: Dar al-Thayyibah.

Al-Shan’aniy, Muhammad bin Ismail. TT. Taudih al-Afkar li Maa’ni Tanqih al-Andzar.

Madinah: Maktabah al-Salafiyah

Al-Suyuthi, Jalaluddin. 1423 H. Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi. Riyadh: Dar al-‘Ashimah.

Al-Syahzawi, Abu Amr Usman bin Abdurrahman. 1986. Ulumul Hadis. Tahqiq: Nur al-Din ‘Itr. Damaskus: Dar al-Fikr.

Soetari, Endang. 2008. Ilmu Hadis: Kajian Riwayah & Dirayah. Bandung: Mimbar Pustaka. Syâkir, Ahmad Muhammad. 1996. al-Bâ’its al-Hatsîts; Syarh Ikhtishâr ‘Ulûm Hadîs Li Ibn

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian ransum dengan kualitas berbeda berupa perbedaan level PK sampai 16% dan TDN sampai 75% pada sapi perah laktasi dapat meningkatkan secara nyata terhadap

Pepelegi Indah terbagi menjadi 88 subdas, dimana masing-masing subdas terdiri dari beberapa kawasan dalam tata guna lahannya. Peta tata guna lahan Pepelegi indah

Untuk mengetahui keanekaragaman dan distribusi makrozoobentos di sepanjang kawasan perairan lotik (sungai) dan lentik (danau) dan berdasarkan penggunaan lahan di sekitar

sama dengan Gunung T’ien-t’ai.” Dalam surat kepada Tuan Ueno, Ia menuliskan, “Ini adalah tempat kediaman yang sangat bagus bagi seorang pelaksana Saddharma Pundarika

Quantum Teaching untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran ekonomi kelas X di SMAN 1 Sungai Raya dari siklus pertama sampai siklus kedua menunjukan

Maksud dilakukan penelitian ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui formulasi optimal pembuatan produk nugget jamur tiram putih dengan bahan pengisi tepung

Temuan penelitian serupa yang menunjukkan bahwa infographic memiliki pengaruh pada peserta didik dengan berbeda gaya berpikir dan menyajikan argumen yang kuat (Williams,