• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kualitas Telur Induk Abalon Haliotis asinina yang Diberi Pakan Berbeda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kualitas Telur Induk Abalon Haliotis asinina yang Diberi Pakan Berbeda"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

90

Kualitas Telur Induk Abalon Haliotis asinina yang Diberi Pakan

Berbeda

[The Quality of Abalone egg

Haliotis asinina

which Given by Different Feeds]

Tri S.P. Banne

1)

, Yusnaini

2)

dan Irwan J. Effendy

3)

1

Mahasiswa Program Studi/Jurusan Budidaya Perairan Fakultas perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo

Jl. HAE Mokodompit Kampus Bumi Tridharma Anduonohu Kendari 93232 Telp/Fax (0401) 3193782 1 Surel: tryselvianti@gmail.com 2 Surel: yusnaini@ymail.com 3 Surel: ijeabalone69@gmail.com Abstrak

Kualitas telur merupakan indikator dari keberhasilan pembenihan abalon karena berhubungan dengan penetasan dan fertilisasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kualitas telur yang dihasilkan oleh induk abalon H. asinina yang mengkonsumsi pakan makroalga jenis Gracillaria arcuata, Gracillaria verrucosa dan pakan formulasi yang menggunakan ekstrak karagenan yang ditinjau dari segi ukuran diameter telur. Analisis data menggunakan analisis kuantitatif yang dideskripsikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diameter rata-rata tertinggi pada telur sebelum terbuahi yaitu berturut-turut perlakuan C (Pakan Formulasi yang menggunakan ekstrak karagenan) 166,66 µm, perlakuan B (Gracillaria verrucosa) 161 µm dan perlakuan A (G. arcuata) 143,75 µm. Sedangkan pada telur yang telah terbuahi rata-rata diameter tertinggi pada perlakuan B (G. verrucosa) yaitu 168,57 µm, kemudian perlakuan C (pakan formulasi) yaitu 168 µm, dan yang terendah pada perlakuan A (G. arcuata) yaitu 164,62 µm. Kualitas air selama penelitian sangat mendukung dalam proses budidaya dan penetasan abalon yakni pada kisaran suhu 27-280C dan pH 8. Kehadiran nutrisi serta pembelahan sel mempengaruhi ukuran diameter telur abalon H. asinina.

Kata kunci :Gracillaria sp., pakan formulasi, Haliotis asinina, telur abalon, diameter.

Abstract

Eggs quality is an indicator of successful of abalone seeding as it is associated with hatching and fertilization. This research was aimed to find out the comparation of egg quality produced by abalone broodstock Haliotis asinina which consume feeds macroalgae Gracilaria arcuata, Gracilaria verrucosa and formulation feed using carragenan extract in terms of egg diameter size. Data analysed using quantitative analysis. The result showed that the highest mean diameter of the egg before fertilization was found in treatment C (Feed formulated using the carrageenan extract) reaching 166.66 µm, treatment B (G. verrucosa) was 161 µm and treatment A (G. arcuata) was 143.75 µm. While fertilized eggs the highest average diameter at treatment B (G. verrucosa) was 168.57 µm, then treatment C (feed formulations) i.e. 168 µm, and the lowest at the treatment A (G. arcuata) 164.62 µm. Water quality during this study was able to support the process of cultivation and hatching of abalon in temperature range 27-280C and pH 8. The presence of nutrients as well as cell division influences the size of the diameter of an egg of abalone H. asinina.

Key word: Gracilaria sp., feed formulation, H. asinina, abalon egg, diameter

I. Pendahuluan

Abalon merupakan salah satu komoditas perikanan yang langka dan

memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi, tergantung pada spesies dan uku- rannya. Peningkatan kebutuhan dunia terhadap abalon dalam dua dasawarsa

(2)

91 terakhir telah memicu perkembangan

budidayanya di berbagai negara seperti Jepang, Taiwan, Amerika Serikat dan Australia (Azlan dkk, 2013). Benih dari alam ketersediaanya sangat terbatas karena eksploitasi abalon semakin marak terjadi yang dapat berdampak buruk terhadap popu- lasi abalon di alam. Oleh karena itu dibutuhkan suatu kegiatan budidaya yang bertujuan untuk menjaga kelestarian abalon terlebih lagi untuk menyediakan benih yang dapat memenuhi permintaan pasar.

Salah satu kegiatan utama dalam budidaya abalon yang dilakukan di hatchery yaitu kegiatan pembenihan yang bertujuan untuk menghasilkan benih abalon secara terkontrol dan berkelanjutan. Keber- hasilan dan keberlanjutan pembenihan abalon sangat tergantung pada benih abalon yang berkualitas. Kemampuan reproduksi abalon pada dasarnya diten- tukan oleh kualitas telur terutama ukuran dan komposisi biokimianya (Litaay, 2005).

Menurut Kjorsvik et al. (1990), salah satu faktor pembatas pada keberhasilan produksi massal benih ikan dan spesies budidaya lainnya adalah kualitas telur. Untuk mendapatkan benih yang berkua- litas maka seleksi dan pemeliharaan induk abalon harus dilakukan dengan terkontrol dalam hal ini harus memperhatikan jenis pakan yang diberikan agar dapat memenuhi kebu- tuhan nutrisi induk abalon.

Pakan merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam menunjang keberhasilan budidaya abalon. Jenis pakan yang dikonsumsi abalon pada umumnya yakni makroalga yang ketersediaannya tergantung pada musim sehingga peme- nuhan nutrisi dapat terhambat sehingga dibutuhkan suatu alternatif yang dapat memunuhi kebutuhan nutrisi abalon tanpa bergantung pada musim. Sejalan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan maka

para peneliti menghadirkan pakan formu- lasi sebagai pakan abalon terbarukan, dimana pakan formulasi mempunyai keunggulan yaitu nutrisinya dapat disesu- aikan dengan kebutuhan induk abalon dibandingkan dengan pakan alami. Nutrisi merupakan faktor utama yang berperan penting dalam pematangan gonad dan kualitas telur (diameter telur). Kualitas telur menjadi indikator dari keberhasilan suatu pembenihan karena berhubungan dengan penetasan dan fertilisasi.

Diketahui bahwa pakan makroalga jenis Gracilaria merupakan pakan terbaik untuk abalon baik dalam meningkatkan kematangan gonad maupun pertumbuhan. Selain itu berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Marzuqi, dkk. (2012) yang menggunakan pakan buatan yang diekstrak dari Ulva sp. dan Gracilaria sp. dengan perbandingan 4:0 menunjukkan bahwa pakan tersebut memberikan presentase pertambahan bobot tertinggi (189,54%) dan sintasan benih benih abalon sebesar 96,67% pada benih abalon (H. squamata). Namun informasi mengenai kualitas telur yang dihasilkan oleh induk abalon H. asinina yang diberi pakan makroalga dan pakan formulasi masih sangat terbatas. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh jenis pakan terhadap telur yang tidak terbuahi dan tidak terbuahi ditinjau dari segi diameter yang dihasilkan oleh induk abalon H. asinina yang diberi pakan berbeda yaitu G. arcuata, G. verrucosa dan pakan formulasi yang menggunakan ekstrak karagenan.

II. Metode Penelitian

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini telah dilakukan bulan Januari-Februari 2017 yang bertempat di

(3)

92 Hatchery PT. Sumber Laut Nusantara

kerjasama LP2T-SPK di Desa Tapulaga, Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.

B. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah fiber, planktonet, filter bag, mikroskop, counting chamber,

eyepiece micrometer, pipet tetes, pH meter, termometer, pH meter, alat tulis dan kamera digital.

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah induk dan telur abalon

H. asinina. Sedangkan pakan uji yang digunakan yaitu G. arcuata, G. verrucosa, dan pakan formulasi yang menggunakan ekstrak karagenan.

C. Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan

Pada tahapan ini yang dilakukan ialah berupa persiapan wadah pemeliharaan induk berupa bak fiber, kemudian wadah tersebut dibersihkan dan diletakan di dalam hatchery. Selanjutnya dilakukan pemasa- ngan aerasi dan pengisian air laut yang telah disaring dengan menggunakan filter-bag ukuran 1 µm.

2. Seleksi dan Pemeliharaan Induk

Induk H. asinina yang digunakan pada penelitian ini dikumpulkan dari alam dan diadaptasikan di hatchery sebelum perco- baan. Induk jantan dan betina abalon ditempatkan di bak terpisah, masing-masing dengan 4-5 induk. Dalam keran- jang, akan ditempatkan pipa PVC untuk digunakan sebagai tempat memempel dan sebagai tempat berlindung.

Untuk menentukan kematangan gonad, akan dilakukan pemerikasaan jenis ke- lamin, ukuran dan kematangan gonad. Total induk abalon yang digunakan dalam penelitian ini yakni 27 ekor, yang kemu- dian dibagi tiga berdasarkan jumlah per- lakuan. Hanya abalon jantan dan betina dengan dengan stadium lanjut kematangan gonad (TKG 2-3) dan memiliki ukuran 5-6 cm. Induk abalon kemudian dipindahkan kedalam fiber volume 700 liter yang ber- fungsi sebagai bak pematangan. Dosis pemberian pakan pada perlakuan A (G. arcuata) dan perlakuan B (G. verrucosa) yaitu 20% dari bobot tubuh, sedangkan pada perlakuan C (pakan formulasi) se- banyak 2 g. Pemberian pakan dilakukan setiap sore hari dan pagi hari dilakukan penyaringan sisa pakan. Untuk menjaga lingkungan pemeliharaan yang mengutung- kan bagi induk, bak dilengkapi dengan sistem aerasi yang kuat dan pergantian air dilakukan 100% setiap hari.

3. Tahap Pemijahan

Induk abalon dari setiap perlakuan dipijahkan secara spontanious spawning

pada fiber berisi air laut yang disaring menggunakan saringan yang berdiameter 5 mikron. Pemijahan dilakuakan pada suhu

ambient. Setelah menempatkan induk di bak pemijahan, bak diperiksa setiap jam. Jika induk jantan memijah, air berubah keputihan dan jika betina memijah, bagian bawah bak tampak hijau.

Perhitungan gamet dilakukan setelah pemijahan berlalu. Sub-sampel telur dihi- tung dibawah mikroskop binokuler dan menghitung diameter larva menggunakan eyepice mikrometer.

(4)

93

4. Mengukur Diameter Telur yang Dihasilkan Dari Induk Yang Beri Pakan Berbeda

Diameter telur (kuning) termasuk amplop/lapisan vitelline telur dan ruang perivitelline diperoleh dengan mengukur diameter minimal 30 telur menggunakan eye-piece mikrometer. Pengukuran dilaku- kan pada telur yang baru dilepaskan dan telur yang telah dibuahi pada 60 menit setelah pembuahan dari setiap pasangan induk abalon dari perlakuan pakan yang

berbeda, pemijahan yang digunakan yaitu pemijahan spontan atau alami, dengan micrometer okularpa dan pembesaran 40x.

D. Rancangan Percobaan

Rancangan penelitian yang digunakan yaitu rancangan acak lengkap (RAL) dimana ada 3 perlakuan dengan 3 kali pengulangan pengambilan sampel telur. Sebagai perlakuan dalam penelitian ini adalah pakan berbeda yaitu:

Gambar 1. Layout wadah penelitian

5. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis kuantittif yang dideskripsikan. Analisa kuantitatif yang dideskripsikan merupakan analisa data dengan cara mendeskripsikan data yang telah terkumpul.

III. Hasil

Pada hasil penelitian ini diperoleh data ukuran diameter telur yang belum terbuahi dan yang telah terbuahi yang dihasilkan oleh induk abalon H. asinina

yang diberi pakan berbeda yakni makroalga jenis G. arcuata dan G.

verrucosa serta pakan formulasi yang menggunakan ekstrak karagenan. Peng- ambilan data kualitas air juga dilakukan sebagai data penunjang.

1. Telur Induk Abalon yang Diberi Pakan Makroalga Jenis G. Arcuata

Hasil penelitian menunjukkan bahwa telur abalon yang diberi pakan makroalga jenis G. arcuata memiliki kisaran diameter 130 µm-160 µm dengan rata-rata diameter 143,75 µm sedangkan diameter embrio pada perlakuan ini memiliki rata-rata diameter 164,62 µm. Rata-rata diameter telur yang diperoleh pada perlakuan ini (perlakuan A) baik telur yang belum

A

G. arcuata

B

G. verrucosa

C

Pakan formulasi

(5)

94 terbuahi dan yang telah terbuahi

merupakan memiliki nilai rata-rata ter-

endah dibanding perlakuan B (G. verrucosa) dan C (pakan formulasi).

Gambar 2. (A) Telur yang belum terbuahi 180 µm. (B) Telur abalon yang sudah mengalami embriogenesis 1 (2 sel). (C) Telur abalon yang sudah mengalami embriogenesis 2 (4 sel), (x) selaput gelatin dan (y) kuning telur. Skala eyepice micrometer yang digunakan ialah 0,1 mm.

2. Telur Induk Abalon yang Diberi Pakan Makroalga Jenis G. verrucosa

Hasil penelitian menunjukkan bahwa telur abalon yang diberi pakan makroalga jenis G. verrucosa memiliki kisaran diameter 150 µm-180 µm dengan diameter rata-rata 161 µm sedangkan diameter embrio pada perlakuan ini memiliki kisaran diameter 160 µm-180 µm dengan rata-rata

diameter 168,57 µm. Rata-rata diameter telur yang belum terbuahi pada perlakuan B (G. verrucosa) lebih tinggi dari diameter rata-rata telur yang belum terbuahi yang dihasilkan oleh perlakuan A (G. arcuata) dan lebih rendah dari perlakuan C (pakan formulasi) sedangkan pada telur yang telah terbuahi memiliki nilai diameter rata-rata tertinggi dibandingkan dengan perlakuan A (G. arcuata) dan C (pakan formulasi).

Gambar 3 . (A) Telur yang belum mengalami embriogenesis 180 µm. (B) Telur abalon yang sudah mengalami embriogenesis pembelahan 1 (2 sel). (C) Telur abalon yang sudah mengalami embriogenesis pembelahan 2 (4 sel), (x) selaput gelatin dan (y) kuning telur. Skala eyepice micrometer yang digunakan ialah 0,1 m.

A

B

A

B

x

y

y

x

y

x

C

C

x

y

x

x

y

y

0,1 mm

0,1 mm

0,1 mm

0,1 mm

0,1 mm

0,1 mm

(6)

95

3. Telur Induk Abalon yang Diberi Pakan Formulasi dengan Menggunkanan Ekstrak Karagenan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa telur abalon yang diberi pakan formulasi yang menggunakan ekstrak karagenan memiliki kisaran diameter 160 µm-180 µm dengan diameter rata-rata 166,66 µm sedangkan diameter embrio pada perlakuan ini memiliki kisaran diameter 150 µm-180 µm dengan rata-rata diameter 168 µm.

Rata-rata diameter telur yang belum terbuahi pada perlakuan C (pakan for- mulasi) lebih tinggi dari diameter rata-rata telur yang belum terbuahi pada kedua perlakuan lainnya yakni perlakuan A (G. arcuata) dan perlakuan B (G. verrucosa) sedangkan pada telur yang telah terbuahi memiliki nilai diameter rata-rata yang lebih tinggi dari perlakuan A (G. arcuata) dan lebih rendah dari perlakuan B (G. verrucosa).

Gambar 4 . (A) Telur yang belum mengalami embriogenesis. (B) Telur abalon yang sudah mengalami embriogenesis dan sudah mencapai tahap Blastula. Skala eyepice micrometer

yang digunakan ialah 0,1 mm.

4. Diameter Telur Abalon H. asinina

sebelum Terbuahi

Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa induk abalon H. asinina yang diberi pakan berbeda menghasilkan ukuran telur yang bervariasi. Ukuran rata-rata diameter tertinggi diperoleh dari perlakuan C (pakan

formulasi) yaitu 166,66 µm, lalu diikuti perlakuan B (G. verrucosa) 161 µm dan terendah pada perlakuan A (G. arcuata) yaitu 143,75 µm. Ukuran telur yang di- hasilkan oleh induk abalon yang diberi pakan berbeda dapat dilihat pada Gambar 13.

A

B

0,1 mm

0,1 mm

y

x

y

x

(7)

Gambar 5. Histogram diameter telur

5. Diameter Telur Abalon setelah Terbuahi

Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa ukuran telur abalon

telah terbuahi menghasilkan ukuran yang bervariasi. Ukuran rata

tertinggi diperoleh dari perlakuan B (

Gambar 6. Histogram diameter telur 130 135 140 145 150 155 160 165 170 Dia m ete r Telu r (µm ) 162 163 164 165 166 167 168 169 Diam et er Telur m )

. Histogram diameter telur induk abalon pada setiap perlakuan.

Diameter Telur Abalon H. asinina

Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa ukuran telur abalon H. asinina yang telah terbuahi menghasilkan ukuran yang bervariasi. Ukuran rata-rata diameter tertinggi diperoleh dari perlakuan B (G.

verrucosa) yaitu 168,57 µm, lalu diikuti perlakuan C (pakan for

terendah pada perlakuan A (

yaitu 164,62 µm. Ukuran telur yang telah terbuahi dihasilkan oleh induk abalon yang diberi pakan berbeda dapat dilihat pada Gambar 14.

. Histogram diameter telur induk abalon yang telah terbuahi. G. arcuata G. verrucosa pakan

Formulasi 143.75 161 166.66

Jenis Pakan

162 163 164 165 166 167 168 169

G. arcuata G. verrucosa pakan

Formulasi 164.62 168.57 168 Jenis Pakan 96 abalon pada setiap perlakuan.

) yaitu 168,57 µm, lalu diikuti perlakuan C (pakan formulasi) 168 µm dan terendah pada perlakuan A (G. arcuata) yaitu 164,62 µm. Ukuran telur yang telah terbuahi dihasilkan oleh induk abalon yang diberi pakan berbeda dapat dilihat pada

(8)

97

6. Data Pengukuran Parameter Kualitas Air

Sebagai variabel pendukung, dilaku-

kan pengukuran kualitas air utamanya suhu dan pH. Hasil pengamatan terhadap kua- litas air menunjukkan bahwa suhu berkisar antara 27-280C, dan pH 8, dimana kisaran kualitas air ini masih dalam kisaran kualitas air yang dapat mendukung proses budidaya abalon. Selain itu kisaran selama penelitian merupakan suhu yang cocok bagi penetasan telur abalon.

IV.Pembahasan

Diameter Telur Abalon H. asinina yang belum Terbuahi

Dari hasil penelitian yang dilakukan selama 30 hari terlihat nilai rata-rata diameter telur yang dihasilkan oleh induk abalon H. asinina yang diberi pakan berbeda yakni makroalga jenis G. arcuata,

G. verrucosa dan pakan formulasi yang menggunakan ekstrak karagenan menun- jukkan hasil yang bervariasi. Rata-rata diameter telur yang diberi pakan berbeda berturut-turut perlakuan A (G. arcuata) yaitu 143,75 µm, perlakuan B (G. verrucosa) yaitu 161 µm, dan perlakuan C (Pakan Formulasi) yaitu 166,66 µm. Dalam proses perkembangan gonad abalon, kandungan nutrisi pada jenis pakan yang dikonsumsi memengaruhi kualitas telur yang akan dihasilkan. Pada perla- kuan C (pakan formulasi), rata-rata dia- meter telur yang dihasilkan lebih tinggi dari perlakuan A (G. arcuata) dan B (G. verrucosa). Tingginya kisaran diameter telur pada perlakuan C diduga karena pakan yang digunakan yaitu pakan formulasi dimana pakan formulasi ini nutrisinya lebih tinggi dibanding dengan

pakan makroalga. Primaningsih (2016) melaporkan bahwa kandungan nutrisi pakan formulasi yang menggunakan ekstrak karagenan memiliki kandungan protein 27,46% , lemak 13,40%, dan karbohidrat 30,37%. Teruel, dkk.(2001)

dalam Sangsawangchote, dkk. (2010) menyatakan bahwa nutrien esensial seperti protein, lemak dan tingginya asam lemak tidak jenuh pada pakan buatan mem- engaruhi performa peningkatan reproduksi pada abalon H. asinina.

Nutrisi yang paling berperan penting dalam pematangan gonad dan perkem- bangan gamet yaitu lemak dan protein yang dapat dimanfaatkan oleh telur sebagai cadangan makanan ketika telah melewati tahap embriogenesis. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Sargent, 1995 dalam

Litaay, 2005) bahwa lemak merupakan komponen utama dari biomembran dan cadangan makanan utama dalam perkembangan ikan dan embrio inver- tebrata. Lemak juga merupakan salah satu unsur utama dari komponen pakan induk yang mempengaruhi komposisi telur. Selain itu lemak juga dapat menyediakan asam lemak esensial. Lebih lanjut Daume dan Ryan (2004) meng- ungkapkan bahwa abalon yang diberi pakan formulasi dapat menghasilkan telur dan larva yang berkualitas karena pakan formulasi mengandung asam linoleat yang tinggi. Sehingga kandungan asam lemak pada telur abalon yang dihasilkan oleh induk yang diberi pakan formulasi 10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan telur yang dihasilkan oleh induk yang berasal dari alam yang secara otomatis meng- konsumsi pakan makroalga dan mikroalga. Pada perlakuan B (G. verrucosa) diameter telurnya lebih tinggi dari perlakuan A (G. arcuata) dan lebih rendah dari perlakuan C (pakan formulasi).

(9)

98 Tingginya diameter telur yang dihasilkan

oleh induk yang diberi perlakuan pakan formulasi diduga terjadi karena kandungan nutrisi pada rumput laut tergolong rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Portugal

et al. (1983); Mabeau dan Fleurence (1993); Wong dan Cheung (2000), dan Viera et al. (2005) dalam Rustandi (2010) bahwa pada umumnya semua jenis alga mempunyai kandungan protein dan lemak yang sangat rendah yaitu 4,2-19% dari berat kering alga dan 1-3% lemak dari berat kering alga. Pernyataan tersebut juga sejalan dengan yang hasil uji proksimat rumput laut yang dilaporkan oleh Rustandi (2010) bahwa G. arcuata memiliki kandungan protein 6,22%, lemak 0,96% dan Male (2010) juga melaporkan bahwa kandungan G. verrucosa memiliki kand- ungan protein sebesar 6,82%, kadar lemak 0,65%. Walaupun kandungan protein dan lemaknya rendah, namun pakan perlakuan B (G. verrucosa) dapat menghasilkan ukuran diameter telur yang tidak jauh berbeda atau relative sama dengan ukuran diameter telur pada perlakuan C (pakan formulasi). Hal ini diduga karena pakan

G. verrucosa memiliki daya atraktability

dan palatability yang tinggi sehingga induk abalone lebih banyak mengkonsumsi pakan G. verrucosa. Atraktability meru- pakan kemampuan yang dimiliki suatu pakan sehingga mempunyai daya tarik bagi organisme, sedangkan palatability adalah tingkat kesukaan organisme terhadap suatu pakan yang akan mempengaruhi jumlah pakan yang dikonsumsi. Tingginya daya

atraktability dan palatabilty pada pakan makroalga jenis G. verrucosa diduga disebabkan karena kehadiran metabolit atau senyawa-senyawa pada rumput laut yang dapat menjadi sumber atraktan tersendiri bagi abalon sehingga membuat abalon tertarik untuk mendekati pakan dan

cenderung lebih banyak dalam mengkonsumsi pakan makroalga jenis G. verrucosa. Walaupun dalam penelitian ini, jumlah konsumsi pakan tidak dihitung, namun berdasarkan hasil penelitian-penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa tingkat konsumsi pakan abalon terhadap G. verrucosa lebih tinggi dibandingkan dengan G. arcuata. Tingginya tingkat kesukaan abalone terhadap pakan G.verrucosa juga diduga karena G. verrucosa memiliki morfologi yang lunak sehingga abalon lebih mudah dalam mengrazing, dan kemampuan yang dimiliki oleh abalon dalam mengubah polisakarida. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kuncoro, dkk. (2013) bahwa abalon memiliki kemampuan dalam mengubah polisakarida yang berasal dari rumput laut karena memiliki enzim yang dapat mencerna jaringan dinding sel rumput laut seperti enzim pektinase atau yang secara komersial disebut macerozyme.

Menurut Suminto, dkk. (2010) telur abalon (H. asinina) sangat bervariasi dalam ukuran diameter telur dan kuning telur sesuai dengan tingkat kematangan gonadnya. Telur yang memiliki ukuran diameter dibawah 150 µm diindikasikan bahwa telur tersebut tidak fertile, sedangkan telur yang memiliki diameter diatas 150 µm merupakan telur yang fertile

atau telur yang memiliki kualitas yang baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Litaay (2005) yang menyatakan bahwa ukuran telur abalon dengan ukuran yang berkisar antara 150 µm-250 µm merupakan ukuran telur yang dapat dikategorikan baik. Setyono (2010) juga berpendapat bahwa telur abalon yang berukuran rata-rata 180 µm-200 µm termasuk jelly-coatnya merupakan telur yang fertile

(10)

99 dalam hal ini dikategorikan berkualitas

baik.

Abalon menyemprotkan telur dan spermanya di dalam kolom air dan biasanya mengendap pada permukaan ataupun di dinding wadah pemeliharaan induk. Telur abalon memiliki bentuk yang bulat dan terdapat selaput bening yang mengelilinginya, selaput tersebut disebut dengan selaput gelatin. Selaput inilah yang membuat telur abalon tidak saling lengket satu dengan yang lain. Telur yang berhasil dibuahi akan mengalami proses pembelahan sel, sedangkan telur yang tidak terbuahi akan mengalami kerusakan. Rusaknya telur disebabkan oleh kehadiran hewan mikroskopis dalam air yang menggerogoti telur hingga telur tersebut rusak bakan kuning telur dapat habis. Selain kehadiran hewan mikrosopis, pergerakan air juga dapat mengakibatkan kerusakan pada telur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Riffell dan Zimmer (2007) bahwa pergerakan air dapat merusak membrane telur atau mengikis

jelly coat sehingga menurunkan tingkat keberhasilan pembuahan.

2. Diameter Telur Abalon H. asinina

setelah Terbuahi

Nilai rata-rata diameter telur yang mengalami embriogenesis yang diberi pakan berbeda berturut-turut perlakuan A (G. arcuata) yaitu 164,62 µm, perlakuan B (G. verrucosa) yaitu 168,57 µm, dan perlakuan C (pakan formulasi) yaitu 168 µm. Nilai rata-rata diameter yang dipe- roleh pada perlakuan B (G. verrucosa) lebih tinggi dibanding perlakuan C (pakan formulasi) dengan selisih 0,57µm. Walau- pun data awal telur sebelum terbuahi, perlakuan C memiliki nilai rata-rata diameter yang lebih tinggi dibanding

dengan perlakuan B. Hal ini diduga terjadi karena terdapat perbedaan periode pem- buahan pada setiap telur, sehingga mengakibatkan waktu pembelahan tidak sama pada setiap telur abalon H. asinina.

Perbedaan periode pembuahan pada setiap telur dapat dipengaruhi oleh ketangkasan sperma dalam menembus lapisan yang berada pada telur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Longo (1988) dalam Suminto,

dkk. (2009) bahwa pembuahan terjadi apabila spermatozoa dapat menembus lapisan telur (vitelline) dan bergabung dengan plasma telur. Menurut Gibbon (1981) dalam Suminto, dkk.(2010) bahwa pergerakan sperma tergantung pada aktivitas flagelnya. Telur memilki daya tarik berupa zat kimia yang dapat mempengaruhi pergerakkan sperma untuk mengerubungi sel telur. Lebih lanjut dijelaskan oleh Visser-roux (2011) bahwa sebelum menembus lapisan vitallin, sperma terlebih dahulu akan melakukan penetrasi pada lapisan gelatin yang ada disekitar permukan telur. Lapisan vitellin terdiri dari karbohidrat, protein, dan rangkaian glikoprotein. Ketika sperma sudah mencapai lapisan vitellin, maka akan terjadi reaksi akrosomal eksositotik selama sperma melepaskan sebuah 16-kDa non enzimatik ke membran vitellin sehingga spermatozoa dapat menyampaikan infor- masi genetiknya ke dalam sel telur. Rendahnya nilai rata-rata diameter embrio pada perlakuan A (G. arcuata) diduga disebabkan oleh ukuran diameter telur pada saat belum terbuahi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suminto, dkk. (2010) bahwa keragaman pada ukuran telur dan kantung kuning telur dapat menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat fertilitas. Selanjutnya Effendie (1979)

dalam Riyadi (2008) menambahkan bahwa telur yang ukuran besar akan menghasilkan

(11)

100 larva yang berukuran lebih besar dibanding

larva yang dihasilkan telur berukuran kecil. Data menujukkan bahwa perlakuan A memiliki nilai rata-rata yang relatif jauh lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan B dan perlakuan C. Namun, perlakuan A (G. arcuata) mengalami pertambahan nilai rata-rata diameter yang signifikan pada saat telur telah terbuahi yaitu sebesar 20,87 µm. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Vicose, dkk. (2007) dimana telur abalon H. tuberculata coccinea mengalami pertambahan ukuran dari 196 µm menjadi 205 µm setelah terjadi pembuahan. Selanjutnya Capinpin (2015) menyatakan bahwa pertumbuhan larva abalon sangat lambat yakni 20-30 µm/hari selama sepuluh hari setelah melekat.

Pertambahan diameter telur setelah terbuahi pada semua perlakuan diakibatkan oleh adanya pembelahan sel setelah terjadinya pembuahan. Setelah sel telur terbuahi oleh sel sperma maka akan terjadi proses embriogenesis yang meliputi pembelahan pertama (2 sel), pembelahan kedua (4 sel), pembelahan ketiga (8 sel), pembelahan keempat dan kelima (12-16 sel), morula, blastula, gastrula, stome- deum, trokofor dan veliger. Keberhasilan proses pembelahan tidak terlepas dari kandungan biokimia pada telur. Dimana ketika proses pembelahan terjadi maka embrio akan membutuhkan energi yang cukup untuk proses perkembangannya. Energi dapat diperoleh dari pakan endogenous berupa kuning telur. Hal ini sesuai dengan peryataan Litaay (2005) bahwa seluruh kandungan biokimia dari telur harus mendukung perkembangan embrio dan tahapan awal larva lesitrofik. Selanjutnya Sargent (1995) dalam Litaay (2005) menyatakan bahwa lemak merupakan komponen utama dari

cadangan makanan dalam perkembangan ikan dan embrio invertebrata.

Pada setiap perlakuan ditemukan telur yang perkembangannya abnormal yaitu proses perkembangannya tidak seperti pada umumnya. Hasil pengamatan mem- perlihatkan bahwa telur yang perkem- bangannya abnormal tidak memiliki lapisan disekelilingnya. Dalam penelitian ini tidak dilakukan pengujian terhadap faktor yang mempengaruhi perkembangan abnormal dari telur. Namun menurut (Caunihan, person comm., 1999 dalam

Freeman 2001) bahwa kehadiran jumlah kepadatan sperma yang berlebihan dalam kolom air dapat mengakibatkan telur menjadi rusak. Jumlah kepadatan sperma yang tinggi (biasanya >186.200/ml ) pada abalon H. asinina dapat menyebabkan terjadinya perkembangan embrio dan larva menjadi tidak normal. Konsentrasi sperma yang ideal untuk abalon H. asinina yakni sekitar 19.000/ml. Sarida (2008) menduga bahwa abnormalitas yang terjadi pada telur abalone H. asinina disebabkan oleh gangguan pada saat oogenesis atau embriogenesis. Dimana gangguan ini bias saja berasal dari tubuh induk maupun tekanan lingkungan.

Telur yang melewati tahap pembelahan akan menetes menjadi trokofor. Stadia trokofor ditandai dengan munculnya silia yang disebut sebagai “protrochal girdle” yang kemudian berkembang menjadi veliger yang ditandai dengan velum. Larva kemudian berenang dan bergerak menggunakan velumnya. Pada stadia ini larva mengalami torsi dengan berputar 1800C. Larva yang baru menetas bersifat lechitropic yaitu larva tersebut tidak memerlukan makanan dari luar dan secara pasif hanyut mengikuti pergerakan massa air. Selama proses embriogenesis hingga telur menetas men-

(12)

101 jadi larva velinger, tidak boleh terjadi

pergantian air pada bak penetasan. Setyono (2010) menyatakan bahwa ketika terjadi pemijahan maka aerasi dipasang pada level sangat rendah supaya tidak mengganggu proses perkembangan embrio dan untuk mencegah jangan sampai telur dan larva rusak atau mati karena benturan.

3. Kualitas Air

Kondisi lingkungan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan abalon. Untuk menghasilkan pertumbuhan abalon yang optimum, selain dipengaruhi oleh pakan yang diberikan juga sangat ditentukan oleh faktor lingkungan seperti suhu, salinitas, dan pH. Dari hasil pengukuran kualitas air selama penelitian menunjukkan bahwa kisaran yang diperoleh masih berada dalam kisaran yang normal untuk pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup abalon. Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan abalon pada suatu perairan karena suhu sangat mempengaruhi ketersediaan oksigen. Se- makin tinggi suhu suatu perairan maka ketersediaan oksigen akan semakin rendah. Berdasarkan hasil pengukuran parameter kualitas air pada media pemeliharaan, kisaran suhu yang diperoleh berkisar antara 27-28°C dan kisaran ini masih sangat baik untuk menunjang kelang- sungan hidup abalon tropis (H. asinina). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Leighton (2008) bahwa pada suhu 28-30°C, abalon masih layak untuk di- budidaya. Selain itu Soleh dan Damar (2007) menyatakan bahwa suhu optimum untuk penetasan telur abalon adalah 26-30oC. Sedangkan tingkat suhu yang paling layak untuk pemeliharaan telur abalon adalah di atas 26oC. Kenaikan suhu yang

esktrem dapat berakibat fatal bagi kelangsungan hidup abalon. Menurut Freeman, (2001) Kenaikan 2-3°C di atas suhu maksimal akan berakibat fatal bagi abalon.

Skala pH berkisar dari 0 sampai 14, dengan pH 7 sebagai titik netral. Semen- tara pH air yang dibawah 7 bersifat asam dan pH di atas 7 bersifat basa. Dari hasil pengukuran pH selama penelitian, dipero- leh pH dengan Nilai 8. Menurut Freeman (2001), abalon dapat menyesuaikan diri pada lingkungan air laut dengan pH 7-8,2 dan pH yang baik untuk pemeliharaan telur abalon adalah 5,4-8,6. Rendahnya nilai pH pada perairan dapat berakibat fatal bagi organisme. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Soesono, 1988 dalam Armita, 2011) bahwa kisaran pH yang kurang dari 6,5 akan menekan laju pertumbuhan bahkan tingkat keasamannya dapat mematikan dan tidak ada laju reproduksi.

Kesimpulan

Kandungan lemak dan protein pada pakan perlakuan A (G. arcuata), perlakuan B (G. verrucosa) dan perlakuan C (pakan formulasi) meme- ngaruhi ukuran diameter telur sebelum terbuahi. Induk abalona H. asinina yang diberi pakan makrolaga jenis

G. verrucosa dan pakan formulasi yang menggunakan ekstrak karagenan dapat menghasilkan ukuran telur yang baik. Telur yang tidak terbuahi tidak mengalami pertambahan ukuran diameter sedangkan telur yang terbuahi akan mengalami perkembangan sel dan pertambahan diameter.

Saran

Saran yang dapat diajukan berda- sarkan hasil penelitian yaitu untuk mening-

(13)

102 katkan ukuran diameter telur yang

dihasilkan oleh induk abalon H. asinina

maka dapat menggunakan pakan makroalga jenis G. verrucosa dan pakan formulasi sebagai pakan induk selama pematangan gonad.

Daftar Pustaka

Armita, D. 2011. Analisis perbandingan kualitas air di daerah budidaya rumput laut dengan daerah tidak ada budidaya rumput laut, di dusun Malelaya, desa Punaga, kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Ta- kalar. Skripsi. Universitas Hasa- nuddin.

Azlan, L.O., Patadjai,A.B., Effendy,,I.J,. 2013. Feed consumption and growth of abalon broodstocks

Haliotis asinina cultured at closed resirculating system using different weight of Ulva fasciata as biofilter.Vol. 03 No. 12 September 2013.

Capinpin Jr. E. C. 2015. Settlement of the tropical abalon Haliotis asinina on different diatoms. International journal of fauna and biological studies. Vol.2,No.1. Hal 30-34 Daume, S. dan Ryan, S., 2004 Fatty acid

composition of eggs derived from conditioned and wild caught greenlip abalone broodstock (Haliotis laevigata). J. Shellfish Res. 23(4);967

Freeman, K. A. 2001. Aquaculture and related biological attributes of abalone species in Australia, a review. Fisheries research report western Australia. 48pp.

Kjorsvik, E.A., Mangor, J., and I. Holmefjord. 1990. Egg quality in fishes. Adv. Mar.Biol. 26: 71-113 Kuncoro, A., Sudaryono, A., Sujangka, A.,

Setyabudi, H dan Suminto. 2013. Pengaruh pemberian pakan buatan dengan sumber protein yang

berbeda terhadap efisiensi pakan, laju pertumbuhan, dan kelulus hidupan benih abalon hybrid. Journal of aquaculture manage- ment and technology volume 2, No. 3, Hal.56-63.

Leighton,P.2008. Abalon hatchery manual. Aquaculture Explained

Litaay, M. 2005. peranan nutrisi dalam siklus reproduksi abalon.oseana, volume xxx, Nomor 3, 2005 : 1 - 7 Issn 0216-1877.

Male, I., Aslan, L.O.M., Effendy, I.J. 2012. Effect of mix macroalgae on growth and survival rate of abalone Haliotis asinina juvenile reared on floating net cage. journal of fisheries and marine science. 1(1):11-18.

Marzuqi, M., Rusdi, I., dan Susanto, B. 2012. Aplikasi pakan buatan pada pemeliharaan benih abalone

Haliotis squamata balai besar penelitian dan pengembangan laut. Primaningsih, D. 2016. Pengaruh pemberian pakan formulasi dengan binder yang berbeda terhadap laju pertumbuhan dan sintasan juvenil abalon Haliotis asinina yang dipelihara pada sistem IMTA. skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Halu Oleo. Kendari.

Riffell, A.J dan Zimmer, K.R. 2007. Sex and flow: the consequens of fluid shear for sperm-egg interaction. journal of experimental biology 210, 3644-3660

Riyadi, S. 2008. Beberapa aspek reproduksi abalon (Haliotis asinina lin.) di kepulauan seribu, DKI Jakarta. skripsi sarjana, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Rustandi, D,. 2010. Pengaruh pemberian pakan makroalga berbeda terhadap waktu kematangan gonad induk abalon Haliotis asinina dan

(14)

103 skripsi. Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan. Universitas Halu Oleo. Kendari

Sangsawangchote, S., Chaitanawisuti, N., dan Piyatiratitivorakul, S. 2010. Reproductive performance, egg and larval quality and egg fatty acid composition of hatchery-reared spotted bbylon (babylonia aerolata) broodstock fed natural and formulated diets under hat- chery conditions. International Journal of Fisheries and Aqua- culture Vol. 1 (1), pp 049-057. Sarida, M., 2008. Studi embriogenesis dan

perkembangan larva abalon mata tujuh (Haliotis asinina lin. 1758). skripsi sarjana, Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Lampung. Setyono, D.E.D. 2010. Abalon: Teknologi

Pembenihan. ikatan sarjana oseanologi Indonesia. Jakarta. 114 Hal

Soleh, M., dan Damar, S. 2007. Rangsang kejut suhu system basah pada pemijahan missal abalon (Haliotis sp) Di Balai besar pengembangan

budidaya Air Payau jespara, Jurnal Penelitian,14 hal.

Suminto, Nuriman, A.A., dan Chilmawati, D. 2009. Pemberian larutan amoniak dengan konsentrasi ber- beda pada sperma terhadap per- sentase pembuahan telur abalone (Haliotis asinina). Jurnal Saintek Perikanan vol. 5, no. 1, hal. 31-37 Suminto. Dyah Permanasani, A., dan

Susilowati, T. 2010. Prosentase perbedaan pengaruh tingkat kema- tangan gonad terhadap fertilitas dan daya tetas telur dalam pem- benihan buatan abalon (Haliotis asinina). Undip.8 Hal

Vicose G.C.D., Viera, M.P., Bilbao, A., dan Izquerdo.M.S,. 2007. Emb- ryonic and larval development of

Haliotis tuberculata coccinea

reeve: an indexed microphoto- graphic sequence. journal of shellfish research, vol. 26. no. 3, 847-854.

Visser Adelle-Roux. 2011. Reproduction of the south african abalon, haliotis midae. dissertation. university of Stellenbosch

Gambar

Gambar 1. Layout wadah penelitian
Gambar 2. (A) Telur yang belum terbuahi 180 µm. (B) Telur abalon yang sudah mengalami  embriogenesis 1 (2 sel)
Gambar 4 . (A) Telur yang belum mengalami embriogenesis. (B) Telur abalon yang sudah  mengalami embriogenesis dan sudah mencapai tahap Blastula
Gambar 5. Histogram diameter telur

Referensi

Dokumen terkait

Kamus data adalah suatu daftar data elemen yang terorganisir dengan. definisi yang tetap dan sesuai dengan sistem, sehingga user dan analis

Kedua ciri ini dapat diamati dengan mata telanjang (Gandahusada, 1998). Waktu keaktifan mencari darah dari masing - masing nyamuk berbeda – beda, nyamuk yang aktif

[r]

Data hasil post test berdistribusi normal dan bersifat homogen, selanjutnya hipotesis diuji dengan menggunakan uji t jenis polled varian, karena varian kedua kelas

Hal ini dikarenakan daging kerbau yang digunakan memiliki jaringan ikat yang banyak sehingga walaupun menggunakan jenis enzim yang berbeda (bromelin dan papain) proses

,engingatkan kembali ke"ada ibu tentang "ers/nal $ygiene "ada balita  dengan membiasakan kebiasaan 9u9i tangan setela$ melakukan aktiitas?.

Mem!uat kesimpulan desain kemasanproduk multimedia interakti$  Men'kom$nikasikan Menyampaikan hasil pengemasan produk multimedia interakti$  T$'as Menyelesaikan masalah

Dalam menjalankan aktivitas kegiatan sehari-harinya Adpers Art mengalami beberapa kendala diantaranya pemasaran dan promosi yang belum maksimal dilakukan karena masih