BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kondisi sumber daya alam hutan saat ini sangat memprihatinkan yang disebabkan oleh deforestasi maupun degradasi hutan yang semakin marak dari waktu ke waktu. Hal tersebut terjadi karena kebutuhan kayu terus meningkat dari tahun ke tahun sebagai konsekuensi dari suatu pembangunan dalam negara yang sedang berkembang seperti di Indosesia. Kebutuhan bahan baku industri perkayuan yang semakin meningkat saat ini menimbulkan kekhawatiran karena untuk mencukupi kebutuhan tersebut, akan memaksa masyarakat untuk memenuhinya dari hutan alam secara ilegal.
Salah satu cara untuk mengurangi konsumsi kayu adalah dengan mengggunaan kayu secara efisien. Pengawetan kayu merupakan salah satu cara efektif yang dapat menghemat penggunaan kayu sehingga kayu dapat digunakan dengan efisien. Melalui pengawetan kayu, jenis kayu yang kurang awet dapat digunakan dalam waktu relatif lama.
Berdasarkan penelitian Hadi (2008), pemberian asap dari pengarangan kayu akasia selama empat jam terhadap kayu mindi dan sugi dapat meningkatkan tingkat ketahanan kayu yang ditandai dengan rendahnya tingkat serangan rayap, rendahnya pengurangan berat, dan meningkatnya kelas keawetan dibandingkan kontrol. Kayu mindi yang memiliki kelas awet IV-V meningkat kelas keawetannya menjadi kelas awet III. Oleh karena itu, melalui penelitian ini dilakukan pengasapan dengan jangka waktu relatif lebih lama dari penelitian sebelumnya yaitu tiga minggu pada tiga jenis kayu rakyat yang berbeda.
aromatic hydrocarbons dalam jumlah yang banyak yang komposisinya sebagian besar terdiri dari phenol, aldehid, keton, asam organik, alkohol, eter, hidrokarbon dan berbagai senyawa heterocyclic.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengasapan dari proses pengarangan limbah kayu akasia selama tiga minggu terhadap ketahanan kayu pulai, sengon, dan mindi dari serangan rayap tanah dan rayap kayu kering.
1.3 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Dapat memberikan informasi keawetan kayu dari kayu yang diawetkan dengan metode pengasapan selama tiga minggu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengawetan Kayu
Pengawetan kayu didefinisikan sebagai seni dalam melindungi struktur kayu dari gangguan mikroorganisme perusak kayu. Secara umum, pengawetan kayu adalah suatu tindakan memasukkan bahan kimia beracun kedalam kayu dengan tujuan agar umur pemakaian (life service) kayu menjadi lebih lama. (Weiss 1916).
Tujuan utama dari pengawetan kayu adalah untuk memperpanjang umur pemakaian bahan dalam konstruksi yang permanen maupun semi permanen. Dengan demikian, pengawetan kayu akan mengurangi biaya akhir dari produk itu dan menghindari penggantian yang terlalu sering. Penghematan yang diperoleh dari pemakain kayu yang diawetkan dalam setiap bentuk konstruksi kayu didapat dari pengurangan biaya tahunan pemeliharaan bangunan (Hunt & Garratt 1986).
Pengawetan kayu dapat memanfaatkan jenis kayu yang kurang awet yang tadinya tidak atau kurang dimanfaatkan dengan baik. Hal ini berarti dapat memanfaatkan SDA secara efisien. Sedangkan dari sisi industri, pengawetan kayu memungkinkan bertambahnya kesempatan kerja sehingga dapat mengurangi pengangguran.
Secara ekonomi kayu yang diawetkan lebih menguntungkan daripada yang tidak diawetkan meskipun pada awalnya biaya yang dikeluarkan terasa lebih tinggi karena kondisi tertentu. Meskipun demikian, kayu yang diawetkan dapat bertahan lama sehingga tidak perlu ada penggantian kayu yang terlalu sering. Hal tersebut dapat mengurangi biaya tenaga kerja dan biaya-biaya lainnya. Sehingga dapat dikatakan porsi biaya pengawetan relatif kecil dari seluruh investasi yang ditanamkan.
2.2 Keawetan Kayu
Keawetan kayu merupakan daya tahan suatu jenis kayu terhadap berbagi faktor perusak kayu seperti faktor biologis yaitu jamur, serangga, dan cacing laut. Keawetan kayu ditentukan oleh genetik kayu tersebut seperti berat jenis, kandungan zat ekstraktif, dan umur pohon (Weiss 1961).
Menurut Martawijaya (1981), keawetan alami kayu adalah suatu ketahanan kayu secara alamiah terhadap serangan jamur dan serangga dalam lingkungan yang sesuai bagi organisme yang bersangkutan. Keawetan kayu ditetapkan dengan mempergunakan data yang terdapat dalam etiket herbarium yang dicatat pada waktu pengumpulan jenis kayu yang bersangkutan di berbagai wilayah hutan. Data tersebut dicocokan secara kritis dengan pengalaman umum yang ada mengenai sifat kayu yang bersangkutan dan dicocokan juga dengan data yang terdapat dalam berbagai sumber pustaka. Berdasarkan semua data tersebut ditetapkan kelas awet jenis kayu yang bersangkutan dengan mempergunakan metode klasifikasi seperti dapat dilihat dalam Tabel 1:
Tabel 1. Penggolongan kelas keawetan kayu
Keadaan Kelas Awet
I II III IV V • Selalu berhubungan
dengan tanah lembab
8 tahun 5 tahun 3 tahun Sangat pendek
Sangat pendek
• Hanya dipengaruhi
cuaca, tetapi dijaga supaya tidak direndam air dan tidak kekurangan udara
• Dibawah atap, tidak berhubungan dengan tanah lembab dan tidak kekurangan udara
• Seperti diatas tetapi dipelihara dengan baik dan dicat dengan teratur
Tidak • Serangan rayap tanah Tidak Jarang Cepat Sangat
cepat
Sangat cepat • Serangan bubuk kayu
kering
Tidak Tidak hampir tidak
Tidak berarti
2.3. Bahan Pengawet Kayu
Suatu bahan pengawet kayu yang baik untuk penggunaan komersial umumnya harus beracun terhadap perusak-perusak kayu, permanen, mudah meresap, aman untuk digunakan, tidak merusak kayu dan logam, banyak tersedia, dan murah. Untuk mengawetkan kayu-kayu bangunan, barang-barang kerajinan, atau untuk tujuan-tujuan khusus lainnya bahan pengawet harus bersih, tidak berwarna, tidak berbau, dapat dicat, tidak mengembangkan kayu, tahan api, atau mempunyai kombinasi-kombinasi tertentu dari sifat-sifat tersebut. Keefektifan suatu bahan pengawet tergantung pada daya resapnya serta kemampuan menjadikan kayu itu beracun terhadap organisme-organisme perusak kayu (Hunt & Garratt 1986).
2.4 Proses Pengasapan
Proses pengasapan dihasilkan dari proses pengarangan kayu. Asap kayu mengandung polycyclic aromatic hydrocarbons dalam jumlah yang banyak yang komposisinya sebagian besar terdiri dari phenol, aldehid, keton, asam organik, alkohol, eter, hidrokarbon dan berbagai senyawa heterocyclic (Stolyhwo & Skorski 2005). Asap mengandung gas dan partikel kecil yang dikenal sebagai PM 2.5. PM 2.5 merupakan kepanjangan dari “Particulate Matter less than 2.5 Microns in Diameter” (Knight 2009).
Arang dapat mengalami perubahan lebih lanjut menjadi karbon monoksida, gas hidrogen dan gas-gas hidrokarbon. Peristiwa tersebut disebut sebagai pirolisis sekunder (Haygreen et al. 2003).
Arang yang dihasilkan dari proses pengasapan dapat digunakan untuk
berbagai keperluan. Arang merupakan salah satu komoditi ekspor yang dapat
memberikan sumbangan devisa negara (Dephut 2007). Di Jepang, arang
digunakan sebagai kondisioner tanah untuk mempercepat pertumbuhan tanaman
(Ogawa 1994, diacu dalam Iskandar & Santoso 2005). Para peneliti juga
melaporkan bahwa penambahan arang ke tanah dapat meningkatkan pertumbuhan
tanaman, daya simpan, dan ketersediaan hara yang lebih tinggi. Hal ini
berhubungan dengan meningkatnya kapasitas tukar kation, luasan permukaan,
serta penambahan unsur hara secara langsung oleh arang (Glaser et. al. 2002, diacu dalam Iskandar & Santoso 2005). Selain itu, arang juga dilaporkan mampu
meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan kesuburan tanah (Kishimoto
et. al. 1985; Siregar 2002, diacu dalam Iskandar & Santoso 2005).
Pengaruh aplikasi arang pada pertumbuhan tanaman telah dilaporkan
dengan hasil yang positif. Chidumayo (1994) diacu dalam Iskandar dan Santoso
(2005) melaporkan bahwa pada umumnya perkecambahan benih pada tanaman
berkayu menjadi lebih baik (meningkat 30 %), tinggi pucuk 24 %, serta produksi
biomasa meningkat 13 % setelah diberi arang pada tanah Alfisols dan Ultisols.
Pohon sugi (Cryptomeria japonica) yang ditanam pada tanah berliat lempung setelah berumur 5 tahun meningkat tingginya sebesar 1,26 - 1,35 kali dan
produksi biomasanya meningkat 2,31 - 2,36 kali setelah diberi arang sebanyak 0,5
Mg ha -1 (Kishimoto & Sugiura 1985, diacu dalam Iskandar & Santoso 2005).
Ishii et. al. (1994) diacu dalam Iskandar & Santoso (2005) juga melaporkan bahwa berat basah akar, pucuk dan keseluruhan bagian pohon mandarin pada
umur 1 tahun mengalami peningkatan setelah diberi arang dengan konsentrasi 2 %
(w/w).
2007). Menurut Velmurugan et al. (2008), cuka kayu mengandung lebih dari 200 unsur termasuk phenolic, polyphenolic, organic acids, dan carcinogenic agents seperti woodcreosote, benzo[a]pyrene, benzo[a]anthracene, dan 3-methylcholanthrene (3-MCA).
Penggunaan cuka kayu sudah dilakukan dalam beberapa tujuan seperti untuk produk industri, peternakan, rumah tangga, dan pertanian. Cuka kayu juga dapat meningkatkan kualitas tanah, membunuh tikus, serta dapat mempercepat, mengatur, atau memperlambat pertumbuhan tanaman. Selain itu, cuka kayu dapat mempercepat pertumbuhan akar, tangkai, bunga, dan buah. Penelitian menunjukan bahwa setelah mengaplikasikan cuka kayu pada perkebunan buah, pohon buah menghasilkan buah yang terus meningkat (Pangnakorn 2008). Cuka kayu yang sudah dinetralisasi sehingga memilikai Ph 7 dapat dijadikan sebagai bahan pengawet kayu yang ramah lingkungan (Velmurugan et al 2008). Namun pada pemakaian secara berlebih, cuka kayu justru dapat menghambat pertumbuhan tanaman (Pangnakorn 2008).
2.5 Rayap
Rayap adalah serangga pemakan selulosa yang termasuk ke dalam ordo Isoptera, tubuhnya berukuran kecil sampai sedang, hidup dalam kelompok sosial dengan sistem kasta. Dalam setiap koloni rayap, umumnya terdapat tiga kasta, yaitu kasta pekerja, kasta prajurit, dan kasta reproduktif (Borror et al. 1992) Menurut Supriana (1994), kasta pekerja umumnya berjumlah paling banyak dalam koloni dan berfungsi sebagai pencari dan pemberi makan bagi seluruh anggota reproduktif (raja atau ratu) yang berfungsi untuk berkembang biak, dan kasta serdadu berfungsi untuk menjaga koloni dari serangan musuh, seperti semut. Makanan dari kasta pekerja disampaikan kepada kasta serdadu dan kasta reproduktif melalui anus atau mulut.
proses penghancuran selulosa. Di dalam keluarga rayap tingkat tinggi peranan protozoa digantikan oleh bakteri (Supriana 1994).
Perilaku rayap dalam kegiatan makan di laboratorium menunjukkan bahwa dalam keadaan lingkungan tinggal yang terpaksa, rayap akan memakan bahan yang diberikan. Pada taraf awal rayap melakukan penyesuaian dengan lingkungan yang disediakan. Pada tahap ini aktivitas rayap untuk makan masih rendah, rayap yang tidak mampu menyesuaikan diri akan mati. Rayap yang berhasil menyesuaikan diri dengan lingkungan akan melakukan orientasi makan. Jika makanan yang disediakan itu sesuai, rayap akan meneruskan makan, tetapi jika tidak sesuai rayap akan memilih berpuasa. Rayap yang lemah akan berangsur-angsur mati dan menjadi makanan bagi yang kuat (Supriana 1994). Rayap dalam hidupnya dihadapkan pada keadaan banyak pilihan makanan. Pada kondisi ini rayap akan memilih tipe makanan yang paling sesuai, bukan saja tipe makanan yang mengandung selulosa, tetapi juga tipe makanan yang paling mudah digigit dan dikunyah (Krisna & Weesner 1969)
Menurut Tambunan dan Nandika (1989), di dalam hidupnya rayap mempunyai 4 sifat yang khas, yaitu:
1. Trophalaksis, yaitu sifat rayap untuk saling menjilat dan melakukan pertukaran makanan melalui anus dan mulut.
2. Cryptobiotic, yaitu sifat menyembunyikan diri, menjauhkan diri dari cahaya dan gangguan. Sifat ini tidak berlaku pada rayap yang bersayap. 3. Cannibalism, yaitu sifat rayap untuk memakan sesamanya yang telah
lemah atau sakit. Sifat ini menonjol dalam kedaan kekurangan makanan. 4. Necrophagy, yaitu sifat rayap yang memakan bangkai sesamanya
2.5.1 Rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren
serangga, memungkinkan rayap tersebut menciptakan kondisi kelembaban dalam kayu yang cocok; jika tidak, kayu akan kering sehingga tahan terhadap serangan dari jenis rayap ini. Jika rayap ini bekerja dalam suatu bangunan yang jauh dari tanah atau sumber-sumber kelembaban lainnya, rayap tanah ternyata juga dapat membentuk tabung-tabung yang menggantung pada kayu itu, nampaknya untuk mencari hubungan yang lebih dekat dengan tanah. Apabila rayap tanah dapat mencapai suatu bangunan, rayap akan memperluas kerjanya sampai cukup tinggi, dan sering mencapai tingkat kedua atau ketiga dari bangunan-bangunan bertingkat (Hunt & Garratt 1986).
Adanya rayap tanah dalam suatu bangunan mungkin tidak ketahuan, sampai bagian-bagian kayu yang parah serangannya mulai memperlihatkan kerusakan. Namun ada juga tanda-tanda tertentu seperti terdapatnya saluran-saluran dari tanah pada fondasi-fondasi bata, batu, beton, pipa-pipa pemanas, atau semacamnya, serta munculnya laron secara musiman menunjukan adanya rayap tanah sebelum menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Adanya rongga di dalam tiang-tiang dan kayu-kayu besar lainnya yang terserang dapat diketahui dengan menurunnya resonansi kayu bila dipukul dengan palu atau alat sejenisnya (Hunt & Garratt 1986).
Rayap tanah memiliki ciri-ciri sebagai berikut: kepala berwarna kuning, antena, labrum, dan pronotum kuning pucat; antena terdiri dari 15 segmen, segmen kedua dan keempat sama panjangnya; mandibel berbentuk seperti arit dan melengkung di ujungnya, batas antar sebelah dalam dari mandibel sama sekali rata; panjang kepala dengan mandibel 2,46-2,66 mm, panjang kepala tanpa mandibel 1,56-1,68 mm; lebar kepala 1,40-1,44 mm dengan lebar pronotum 1,00-1,03 mm dan panjangnya 0,56 mm; panjang badan 5,5-6,0 mm; bagian abdomen ditutupi dengan rambut yang menyerupai duri; abdomen berwarna putih kekuning-kuningan (Nandika et al. 2003).
2.5.2 Rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Ligth
Rayap kayu kering termasuk ke dalam famili Kaloritermitidae dari genus Cryptotermes. Menurut Tarumingkeng (1971), rayap kayu kering yang telah dideskripsikan di Indonesia yaitu: Cryptotermes cynocephalus Ligth, Cryptotermes domesticus Haviland, Cryptotermes dudleyi Banks dan Cryptotermes sumatranus.
Serangga-serangga dari kelompok ini berbeda dengan rayap tanah karena rayap ini seluruhnya menghuni kayu, tidak pernah memasuki tanah, dan tidak memerlukan lembab selain yang dapat diperoleh dari kayu itu. Pada saat pemunculannya, laron-laronnya dari udara langsung masuk ke dalam kayu yang sehat dan kering. Setiap pasang dari laron mencari celah, retak, atau lubang alami yang kecil lainnya pada kayu, atau suatu retak pada bangunan bagian atas dari gedung-gedung. Kemudian dari tempat itu mulai membuat terowongan di dalam kayu dan segera menutup kembali tempat-tempat masuknya dengan remukan kunyahan kayu. Dalam menggali saluran-salurannya, rayap kayu kering mengeluarkan butir-butir kotoran yang halus kemudian dibuang sebagai lapisan pelindung bagian luar kayu. Timbunan dari butiran-butiran khas ini memberikan bukti yang meyakinkan tentang adanya rayap tersebut (Hunt & Garratt 1986).
Rayap kayu kering dapat bekerja dalam kayu yang mempunyai kadar air 10 sampai 12 persen atau mungkin lebih rendah. Oleh karena itu rayap kayu kering dapat ditemukan dalam kayu yang benar-benar telah kering udara dan dalam kerangka kayu pada bagian-bagian atau gebung-gedung maupun dalam bahan-bahan yang lebih lembab. Rayap ini dilaporakan sebagai penyebab kerusakan d bagian atas tanah dari tiang-tiang yang diawetkan bagian pangkalnya (Hunt & Garratt 1986).
2.6Deskripsi Kayu yang Digunakan
2.6.1 Akasia (Acacia mangium Willd)
Nama botanis : Acacia mangium Willd, famili Leguminous-Fabaceae (Mandang & Pandit 1997).
Nama daerah : kasia, kihia (Sunda); acacia, mangium (berlaku umum) (Mandang & Pandit 1997).
Nama lain : Northern black wattle (standar nama perdagangan Australia); akasia kuning (Malaysia); papua wattle (Papua New Guenia); japanese acacia (Jepang); auri (Filipina) (Mandang & Pandit 1997).
Penyebaran : Australia, Indonesia, Papua New Guenia (Mandang & Pandit 1997).
Ciri umum : kayu teras berwarna coklat sampai coklat tua, kadang-kadang coklat zaitun sampai coklat kelabu, batasnya tegas dengan gubal yang berwarna kuning pucat sampai kuning jerami; corak polos atau berjalur-jalur berwarna gelap dan terang bergantian pada bidang radial; tekstur halus sampai agak kasar dan merata; arah serat biasanya lurus, kadang-kadang berpadu; permukaan agak mengkilap; kesan raba licin; kekerasan agak keras sampai keras (Mandang & Pandit 1997).
Sifat Kayu : Berat Jenis 0,69 (0,49-0,84); kelas kuat III-II (Mandang & Pandit 1997).
Kegunaan : Bahan konstruksi ringan sampai berat, rangka pintu, jendela, perabot rumah tangga, lantai, papan dinding, tiang pancang, gerobak, dan roda (Mandang & Pandit 1997).
2.6.2 Pulai (Alstonia scholaris R.Br.)
Nama botanis : Alstonia scholaris R.Br., famili Apocynaceae (Martawijaya et al. 1981).
Nama lain : Basong (Mly); dita (PI); chatian, shaitanwood (Ind); milky, white cheese wood (Aust); mo cua (Vn); margelang (Swk); shaitan (Fr, Sp, It, Nl, Gm) (Martawijaya et al. 1981).
Penyebaran : Seluruh Indonesia (Martawijaya et al. 1981).
Ciri umum : kayu teras berwarna putih krem, kayu gubal berwarna hampir sama dan sukar dibedakan dengan kayu teras; tekstur kayu agak halus sampai hampir kasar; arah serat lurus atau agak bergelombang, kadang-kadang agak berpadu; permukaan kayu keset sampai licin; permukaan kayu mengkilap (Martawijaya et al. 1981).
Struktur : Pori hampir seluruhnya atau sebagian besar bergabung 2-7 dalam arah radial, diameter 50-300 µ, frekuensi 2-5 per mm2, bidang perforasi sederhana (Martawijaya et al. 1981).
Sifat kayu : Berat jenis 0,30 (0,27-0,49); kelas kuat IV-V; termasuk kelas awet V, mudah diserang jamur biru dan bubuk kayu kering; daya tahan terhadap rayap kayu kering Cryptotermes cynochephalus Light termasuk kelas III; termasuk kelas mudah diawetkan. Keterawetan termasuk kelas mudah (Martawijaya et al. 1981).
2.6.3 Sengon (Paraserianthes falcatria (L) Nielson)
Nama botanis : Parahserianthes falcataria (L) Nielson., Famili Leguminosae (Pandit & Kurniawan 2008).
Nama daerah : Jeunjing (Sunda); sengon laut (Jawa); sengon sebrang, sika, wahagom (Pandit & Kurniawan 2008).
Ciri umum : warna teras dan gubalnya sukar dibedakan, warnanya putih abu-abu keecoklatan atau putih merah kecoklatan pucat; tekstur agak kasar sampai kasar, arah serat terpadu dan kadang-kadang lurus, sedikit bercorak; agak lunak dan beratnya ringan (Pandit & Kurniawan 2008).
Struktur : Pori berbentuk bulat sampai oval, tersebar, soliter dan gabungan pori yang terdiri darii 2-3 pori; frekuensi 4-7 per mm2, diameter tangensial sekitar 160-340 µ dan bidang proforasi sederhana (Pandit & Kurniawan 2008).
Sifat Kayu : Berat jenis 0,33 (0,24-0,49); kelas awet IV-V dan kelas kuat IV-V (Pandit & Kurniawan 2008).
Kegunaan : bahan bangunan perumahan terutama di pedesaan, papan partikel, papan serat, papan wol semen, pulp dan kertas, dan barang kerajinan lainnya (Pandit & Kurniawan 2008). Daun sengon merupakan pakan ternak yang sangat baik dan mengandung protein tinggi. Sistem perakaran sengon banyak mengandung nodul akar sebagai hasil simbiosis dengan bakteri Rhizobium. Keberadaan nodul akar dapat membantu porositas tanah dan penyedia unsur nitrogen dalam tanah. Dengan demikian pohon sengon dapat membuat tanah di sekitarnya menjadi lebih subur (Lablink 2006)
2.6.4 Mindi (Melia azedarach L.)
Nama botanis : Melia azedarach L., famili Meliaceae (Martawijaya et al. 1989).
Nama lain : Paternostertree, persian lilac (UK, USA); arbe de paternoster (Fr); arbor de faternosfer, paraiso (Sp); albero di paternoster (It); paterostertrad (Sw); paternoster boom (Ni); paternosterbaum (Gm) (Martawijaya et al. 1989).
Penyebaran : Seluruh jawa (tanaman), Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (Martawijaya et al. 1989).
Ciri umum : Kayu teras berwarna merah-coklat muda semu-semu ungu, kayu gubal berwarna putih kemerahan dan mempunyai batas yang jelas dengan kayu teras; tekstur kayu sangat kasar; arah serat lurus atau agak berpadu; permukaan kayu agak licin; permukaan kayu mengkilap rendah (Martawijaya et al. 1989).
Struktur : Pori sebagian besar soliter, tetapi terdapat juga pori yang bergabung 2-3 dalam arah radial, diagonal, atau kadang-kadang tangensial, diameter 30-360 µ, frekuensi 1-50 per mm2, berisi zat berwarna coklat sampai hitan, bidang perforasi sederhana (Martawijaya et al. 1989).
Sifat Kayu : Berat Jenis 0,53 (0,42-0,65); kelas kuat III-II; kelas awet IV-V, berdasarkan percobaan kuburan termasuk kelas awet V, daya tahan terhadap jamur pelapuk kayu termasuk kelas II-III; keterawetan termasuk kelas sukar (Martawijaya et al. 1989).
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Labolatorium Pengawetan Kayu, Pusat Penelitian
dan Pengembangan (PUSLITBANG) Kehutanan Gunung Batu Bogor. Penelitian
ini dilaksanakan selama 6 bulan yaitu pada bulan Desember 2008 sampai bulan
Mei 2009.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Alat untuk pengasapan kayu, yang terdiri dari dua buah drum dan satu
ruang pengasapan.
2. Termometer untuk mengukur suhu
3. Gergaji bundar (circular saw) untuk membuat contoh uji 4. Oven untuk mengeringkan contoh uji sampai kadar air tertentu
5. Desikator sebagai tempat penyimpanan contoh uji setelah dioven
6. Timbangan untuk menimbang berat contoh uji
7. Semprong (gelas dari kaca) untuk uji rayap kayu kering
8. Alat penyaring pasir untuk mendapatkan ukuran pasair yang diinginkan.
9. Jampot isi 350 gram untuk pengujian rayap tanah
10. Wadah untuk menyimpan jampot
11. Kantong keresek hitam untuk menutup jampot dalam wadah
12. Amplas 80 grit untuk menghaluskan permukaan contoh uji
13.Cutter untuk merapihkan contoh uji
14. Alat tulis menulis untuk mencatat data hasil penelitian
15. Kaliper untuk mengukur contoh uji
16. Penggaris untuk membuat garis guna mengukur dimensi contoh uji
17. Kalkulator dan komputer untuk mengolah data dan perhitungan hasil
pengujian
3.2.2 Bahan penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pasir open, lilin, kapas,
kayu dan rayap. Kayu yang digunakan adalah kayu akasia (Acacia mangium Willd), kayu mindi (Melia azedarach L.), kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielson) dan kayu pulai (Alstonia scholaris R.Br ) yang diperoleh dari kayu hutan rakyat Jawa Barat. Sedangkan rayap yang digunakan adalah rayap tanah
(Coptotermes curvignathus Holmgren) dan rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Ligth).
3.2.3. Sifat-sifat yang diteliti/diuji
Pada penelitian ini sifat yang akan diuji adalah sebagai berikut :
a Kondisi suhu pengasapan
b Penambahan berat setelah kayu diawetkan melalui proses pengasapan
c Derajat proteksi (ketahanan terhadap rayap kayu kering dan rayap tanah)
d Mortalitas (kematian rayap tanah dan rayap kayu kering)
e Penurunan berat contoh uji setelah diumpankan ke rayap tanah dan rayap
kayu kering
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Persiapan dan proses pembuatan contoh uji
Contoh uji kayu mindi, sengon, dan pulai berasal dari daerah Jawa Barat.
Ukuran contoh uji yang digunakan untuk pengujian dengan menggunakan rayap
kayu kering adalah 2 cm x 5 cm x 0,8 cm. Sedangkan untuk pengujian yang
menggunakan rayap tanah berukuran 2 cm x 2 cm x 0,5 cm. Semua contoh uji
dipotong dengan menggunakan gergaji dan permukaannya dirapikan dengan
menggunakan cutter, dan amplas. Ukuran contoh uji untuk pengujian rayap tanah mengacu pada Sumarni dan Roliadi (2002) sedangkan untuk pengujian rayap kayu
kering mengacu pada Sumarni et al. (2003). Contoh uji untuk pengujian rayap tanah dapat dilihat dalam Gambar 1 sedangkan untuk pengujian rayap kayu kering
0,5 cm 2 cm
2 cm
Gambar 1. Contoh uji untuk pengujian rayap tanah.
0,8 cm
2 cm
5 cm
Gambar 2. Contoh uji untuk pengujian rayap kayu kering.
3.3.2 Proses pengasapan
Dalam penelitian ini, proses pengasapan menggunakan ruang pengasapan
dan dua buah drum. Contoh uji diawetkan dengan cara disimpan dalam ruang
pengasapan yang dikondisikan agar dapat menyalurkan asap. Asap yang
digunakan dalam proses pengawetan pada penelitian ini adalah asap dari proses
pengarangan limbah kayu akasia (Acacia mangium Willd) selama 21 hari. Pengarangan dilakukan dalam drum pengarangan, lalu asap yang dihasilkan
disalurkan ke dalam drum dua untuk mengkondensasi asap dan uap panas. Asap
yang sudah dingin akan disalurkan ke ruang pengasapan, tempat contoh uji
1 2 3 9 5
4
6 7 8
Gambar 3. Bagan poses pengasapan.
Keterangan Gambar :
1. Lubang untuk mengukur suhu asap pada drum 1 setinggi ± 30 cm dengan diameter ± 3,3 inchi (ditutup selama proses pengasapan berlangsung).
2. Drum 1 untuk membakar kayu, memiliki ukuran tinggi ± 90 cm, diameter ± 55 cm, dan diberi ganjal setinggi ± 7cm dengan batu bata mengelilingi drum.
3. Drum 2 untuk menyalurkan asap dan merendam panas (ukuran drum sama dengan drum 1).
4. Ruang pengasapan tempat penyimpanan contoh uji.
5. Saluran untuk membuang asap (diameter 1 inchi).
6. Api untuk membakar kayu, hanya dilakukan saat membakar kayu pada awal proses pengsasapan untuk menyalakan bahan kayu didalam drum 1. Apabila kayu sudah menyala, api dimatikan dan lubang disekitar ganjal batu bata ditutup dengan pasir dengan menyisakan lubang ± 5 x 5 cm.
7. Saluran untuk menyalurkan asap (diameter ± 3 inchi).
8. Saluran untuk membuang cuka kayu (diameter 3/4 inchi).
9. Saluran untuk menyalurkan asap dar drum 1 ke wood smoke kiln (diameter ± 3 inchi).
Setiap hari suhu asap pada drum satu, drum dua, dan open dicatat setiap 3
jam sekali mulai pukul 8.00 s.d 16.00 WIB menggunakan termometer. Setelah
selesai proses pengasapan, kayu didiamkan selama ± 4 minggu untuk
pengkondisian sebelum diumpankan kepada rayap tanah dan rayap kayu kering.
3.3.3 Penambahan berat
Penambahan berat contoh uji dilakukan untuk mengtahui jumpah zat yang
dihasilkan selama proses pengasapan yang menempel pada kayu. Beberapa contoh
uji diambil untuk mengetahui kadar airnya sehingga diketahui BKT estimasi dari
contoh uji tersebut. Penambahan berat kayu dapat dihitung menggunakan
persamaan:
M = Persentase penambahan berat (%) kayu uji
W1 = Berat kering tanur estimasi (BKTest) kayu setelah diasapi (g)
W2 = Berat kering tanur estimasi (BKTest) kayu sebelum diasapi (g)
BKT estimasi digunakan untuk memprediksi berat kering tanur ketika
kadar air (KA) kayu diketahui. BKT estimasi dapat dihitung menggunakan
persamaan:
Sumber: Haygreen et.al. (2003)
Nilai KA dihitung menggunakan persamaan:
KA kondisi basah = ( )x100% BKT
BKT BB−
Sumber: Haygreen et.al. (2003)
Keterangan:
BB = Berat basah (g)
KA = Kadar air
3.3.4 Prosedur pengujian ketahanan contoh uji terhadap rayap
Setelah didiamkan selama empat minggu dari proses pengasapan berakhir,
contoh uji yang telah diawetkan dan kontrol diumpankan kepada rayap tanah dan
rayap kayu kering. Jumlah contoh yang diamati sesuai dengan kayu uji yang
disiapkan yaitu 5 contoh uji untuk masing-masing jenis kayu pada setiap jenis
yang telah diawetkan dan kontrol.
Prosedur pengujian rayap tanah dilakukan berdasarkan metode yang
dilakukan oleh Sumarni dan Roliadi (2002). Sebanyak 200 gram pasir kering
berukuran 60 mesh dimasukan ke dalam jampot. Kemudian air ditambahkan ke
dalam jampot yang berisi pasir tersebut sehingga kadar air pasir 7% di bawah
kapasitas menahan air (water holding capacity). Water holding capacity adalah persentase air yang dibutuhkan untuk menjenuhkan pasir. Untuk mengetahui
besarnya water holding capacity dapat dihitung melalui persamaan:
WHC = ×100% BP
BA
Sumber : Bureau (2005)
Keterangan:
WHC = Water holding capacity (%)
BA = Berat air untuk menjenuhkan pasir (g)
BP = Berat pasir (g)
Jadi jumlah air yang diperlukan untuk melembabkan pasir dapat dihitung
melalui persamaan:
JA = WHC 200g 100
7 × −
Sumber : Bureau (2005)
Keterangan:
JA = Jumlah air yang ditambahkan untuk mencapai kadar air pasir 7% di bawah kapasitas menahan air (g)
WHC = Water holding capacity (%)
Setelah air dimasukan kedalam jampot, campuran pasir dan air diaduk
dimasukan ke dalam jampot yang telah berisi pasir lembab tersebut dengan posisi
bagian contoh uji paling lebar menempel pada dinding jampot. Kemudian
sebanyak 200 ekor rayap tanah pekerja yang sehat dan aktif dimasukan ke dalam
jampot. Jampot ditimbang dan dimasukan ke dalam wadah plastik, lalu ditutup
dengan kantong keresek hitam untuk mengurangi penguapan air. Wadah disimpan
dalam ruangan gelap pada suhu kamar selama 4 minggu. Setiap minggu aktivitas
rayap dalam jampot diamati dan masing-masing jampot ditimbang. Jika kadar air
pasir turun dua persen atau lebih, air ditambahkan secukupnya pada jampot
tersebut sehingga kadar airnya kembali seperti semula. Pengujian rayap tanah
dapat dilihat dalam Gambar 4.
Jampot
Rayap tanah
Pasir
Contoh uji
Gambar 4. Pengujian rayap tanah.
Proses pengujian rayap kayu kering mengacu pada Sumarni et al. (2003). Pada salah satu sisi yang terlebar pada contoh uji dipasang semprong kaca
berdiameter 18 mm dan tingggi 35 mm yang direkatkan menggunakan lilin agar
menempel pada kayu. Ke dalam semprong kaca tersebut dimasukkan rayap kayu
kering Cryptotermes cynocephalus Ligth sebanyak 50 ekor rayap pekerja yang sehat dan aktif, kemudian semprong ditutup dengan kapas. Contoh uji tersebut
disimpan di tempat gelap selama 12 minggu. Pengujian rayap kayu kering dapat
18 mm
Kapas
35 mm
Semprong/Gelas kaca
Rayap 8 mm
20 mm
Sampel uji kayu
50 mm
Gambar 5. Pengujian rayap kayu kering.
3.3.5 Pegamatan
Pengamatan dilakukan pada contoh uji setelah mencapai waktu akhir
pengujian, untuk rayap kayu kering setelah 12 minggu dan rayap tanah setelah 4
minggu. Pada akhir pengujian ditetapkan derajat serangan, mortalitas (persen
kematian rayap), dan kehilangan berat (weight loss).
Respon utama yang diukur dalam pengujian ini adalah derajat serangan
setiap kayu uji. Derajat serangan rayap dilakukan dengan menggunkan skala yang
mengacu kepada Padlinurjaji et al. (1988). Penentuan derajat serangan dilakuakan secara manual menggunakan pengamatan langsung terhadap tingkat kerusakan
kayu. Tingkat derajat serangan dapat dilihat dalam Tabel 2.
Tabel 2. Derajat serangan rayap
Tingkat
(level) Kondisi contoh uji (Sample condition)
Nila (Score)
A Utuh, tidak ada serangan (no damage on surface area) 0 B Ada bekas gigitan rayap (slightly attaced) 0 - 20
C Serangan ringan berupa saluran yang tidak dalam dan lebar
(moderatly attacked) 21 - 40
D Serangan verat, berupa saluran yang dalam dan lebar
(heavily attacked) 41 - 60
E Kayu hancur, kurang lebih 50% kayu habis dimakan rayap
(very heavily attacked) 61 - 80
Sumber : Padlinurjaji et al. (1988).
Data mortalitas dan kehilangan berat ditetapkan untuk menentukan
rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren dapat dilihat dalam Tabel 3. Sedangkan klasifikasi ketahan kayu terhadap serangan kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light dapat dilihat dalam Tabel 4.
Tabel 3. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren
Kelas Jumlah Kematian (Mortalitas), % Penurunan Berat (Weight loss), % Ketahanan (resistance)
I > 63,300 <3,52 Sangat tahan (very resistance)
II 50,600 – 63,300 3,52 – 7,5 Tahan (resistance) III 33,100 – 50,600 7,5 - 10,96 Sedang (moderate) IV 20,818 – 33,100 10,96 - 18,94 Buruk (poor)
V <20,818 18,94 – 31,89 Sangat buruk (very poor)
Sumber : Sumarni dan Roliadi (2002)
Tabel 4. Klasifikasi ketahan kayu terhadap serangan kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light
Kelas Jumlah Kematian (Mortalitas), %
Penurunan Berat
(Weight loss), % Ketahanan (Resistance)
I >89,24 <2,303 Sangat tahan (very resistance)
II 89,24-76,64 2,303-4,406 Tahan (resistance)
III 76,64-64,48 4,406-8,158 Sedang (moderate)
IV 64,48-50,40 8,158-28,096 Buruk (poor)
V <50,40 >28,096 Sangat buruk (very poor)
Sumber: Sumarni et al. (2003)
Mortalitas rayap kayu kering, dihitung dengan menggunakan persamaan
sebagai berikut :
% 100 x N Mij
Kij=
Sumber: Kompes Deptan (1995)
Keterangan :
Kij = Persentase mortalitas rayap pada kayu uji ke-j dan perlakuan ke-i
Mij = Jumlah rayap yang mati pada kayu uji ke-j dan perlakuan ke-i
Penurunan berat (weight loss) dapat dihitung mengggunakan persamaan sebagai berikut:
Sumber: Kompes Deptan (1995)
Keterangan :
Pij = Persentase penurunan berat (%) pada kayu uji dengan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
(W1)ij = Berat kayu sebelum diumpankan (g) pada kayu uji dengan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
(W2)ij = Berat kayu setelah diumpankan (g) pada kayu uji dengan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
3.4 Metode Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan dalam menganalisis penambahan
berat contoh uji yang diawetkan dengan metode pengasapan adalah analisis
faktorial dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor yaitu jenis kayu
(pulai, sengon, mindi). Setiap perlakuan terdiri dari lima kali ulangan.
Model persamaan yang digunakan sebagai berikut:
Yij = µ + τi + Eij
Keterangan :
Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
µ = Nilai rata-rata pengamatan
i = Taraf faktor perlakuan pengawetan
j = Jenis kayu
τi = Pengaruh sebenarnya taraf ke-i faktor jenis kayu Eij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
Sedangkan analis data untuk pengujian keawetan kayu pada penelitian ini
adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua faktor yaitu jenis kayu (pulai
sengon, mindi), dan perlakuan (kontrol dan pengasapan selama tiga minggu).
Model persamaan yang digunakan sebagai berikut :
Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + Eijk
Keterangan:
Yijk : Respon percobaan pada unit percobaan yang dikenai perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
i : Taraf faktor perlakuan pengawetan
j : Jenis kayu
k : Ulangan
µ : Nilai rata-rata pengamatan
Ai : Pengaruh sebenarnya taraf ke-i faktor pengawetan
Bj : Pengaruh sebenarnya taraf ke-j faktor jenis kayu
(AB)ij : Pengaruh interaksi dari unit percobaan yang mendapatkan kombinasi
perlakuan sebenarnya taraf ke-1 faktor pengawetan dan taraf ke-j faktor jenis kayu
Eijk : Kesalahan (galat) percobaan pada taraf ke-i faktor pengawetan dan taraf
ke-j faktor jenis kayu.
Data yang diperoleh selanjutnya diolah dengan program M.S. Excel dan
analisis statistika menggunakan program SAS 6.12. Untuk mengetahui pengaruh
dari perlakuan, jenis kayu serta interaksi antara perlakuan dan jenis kayu maka
dilakukan analisis keragaman dengan menggunakan uji F pada tingkat
kepercayaan 95% (nyata) dan 99% (sangat nyata).
Adapun hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut :
Pengaruh utama faktor perlakuan (faktor A) :
H0 : α1 = … = αa = 0 (faktor A tidak berpengaruh)
H1 : paling sedikit ada satu i dimana αi≠ 0
Pengaruh utama faktor jenis kayu (faktor B) :
H0 : β1 = … = βb = 0 (faktor B tidak berpengaruh)
H1 : paling sedikit ada satu i dimana βi≠ 0
Pengaruh sederhana (interaksi) faktor A dengan faktor B :
H0 : (αβ)11 = … = (αβ)ab = 0 (interaksi faktor A - faktor B tidak berpengaruh)
Kriteria uji yang digunakan adalah jika Fhitung lebih kecil atau sama dengan
Ftabel maka perlakuan tidak berpengaruh nyata pada suatu tingkat kepercayaan
tertentu dan jika Fhitung lebih besar dari Ftabel maka perlakuan berpengaruh nyata
pada tingkat kepercayaan tertentu. Untuk mengetahui faktor-faktor yang
berpengaruh nyata dan sangat nyata dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keberhasilan usaha pengendalian rayap tergantung kepada kemampuan mengendalikan hubungan antara serangan hama (pest insect), inang (host), dan lingkungan (environment). Aktivitas hidup rayap dapat dihambat dengan mengubah lingkungan hidupnya, dari keadaan yang menguntungkan menjadi keadaan yang tidak menguntungkan. Cara lain adalah dengan mengubah kondisi inang, dalam hal ini mengubah kondisi kayu yang menjadi makanan rayap. Kayu yang semula dimakan rayap diubah menjadi tidak dapat dimakan atau beracun bagi rayap. Usaha ini dikenal sebagai pengawetan kayu.
4.1Proses Pengasapan
Dalam penelitian ini, proses pengasapan menggunakan ruang pengasapan dan dua buah drum. Ruang pengasapan berfungsi sebagai tempat menyimpan contoh uji dan menampung asap yang dihasilkan dari proses pengarangan kayu. Drum yang pertama berfungsi sebagai tungku (drum kiln), yaitu sebagai tempat pengarangan kayu. Sedangkan drum kedua berfungsi sebagai peredam panas untuk mengkondensasi asap dan uap panas.
Asap dari proses pengarangan kayu menjadikan warna permukaan kayu yang diawetkan berwarna hitam. Partikel asap dapat menempel pada permukaan kayu dan masuk ke dalam lumen karena ukuran partikel asap lebih kecil dari pada diameter pori-pori kayu. Menurut Knight (2009), partikel asap berukuran lebih kecil dari 2,5 µ. Sedangkan ukuran diameter pori pada penampang melintang kayu berukuran 20-400 µ (Martawijaya et al. 1989).
Proses pengasapan selama tiga minggu menggunakan bahan kayu sebanyak 602 kg. Limbah yang dihasilkan sebanyak 46 kg arang serta 135 liter cuka kayu. Arang dihasilkan selama proses pirolisis pada suhu 100-300oC. Sedangkan cuka kayu dihasilkan dari proses kondensasi uap panas.
digunakan sebagai kondisioner tanah untuk mempercepat pertumbuhan tanaman
(Ogawa 1994, diacu dalam Iskandar & Santoso 2005). Para peneliti juga
melaporkan bahwa penambahan arang ke tanah dapat meningkatkan pertumbuhan
tanaman, daya simpan, dan ketersediaan hara yang lebih tinggi. Hal ini
berhubungan dengan meningkatnya kapasitas tukar kation, luasan permukaan,
serta penambahan unsur hara secara langsung oleh arang (Glaser et. al. 2002, diacu dalam Iskandar & Santoso 2005). Selain itu, arang juga dilaporkan mampu
meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan kesuburan tanah (Kishimoto et al. 1985; Siregar 2002, diacu dalam Iskandar & Santoso 2005).
Cuka kayu yang merupakan hasil sampingan proses pengarangan juga memilki berbagai manfaat. Cuka kayu digunakan dalam beberapa tujuan seperti untuk produk industri, peternakan, rumah tangga, dan pertanian. Cuka kayu juga dapat meningkatkan kualitas tanah, membunuh tikus, serta dapat mempercepat, mengatur, atau memperlambat pertumbuhan tanaman. Selain itu, cuka kayu dapat mempercepat pertumbuhan akar, tangkai, bunga, dan buah. Penelitian menunjukan bahwa setelah mengaplikasikan cuka kayu pada perkebunan buah, pohon buah menghasilkan buah yang terus meningkat (Pangnakorn 2008). Cuka kayu juga dapat dipakai sebagai insektisida serta herbisida (Dephut 2007). Cuka kayu yang sudah dinetralisasi sehingga memilikai Ph 7 dapat dijadikan sebagai bahan pengawet kayu yang ramah lingkungan (Velmurugan et al. 2008).
4.1.1 Kondisi suhu pengasapan
Pengukuran suhu asap dilakukan setiap 3 jam sekali mulai pukul 8.00 s.d 16.00 WIB menggunakan termometer. Pengukuran dilakukan pada bagian lubang yang telah disiapkan sebelumnya yaitu pada drum 1, drum 2, dan ruang pengasapan. Pengukuran suhu pengasapan dilakukan untuk mengetahui suhu asap yang dihasilkan selama proses pengarangan berlangsung pada masing-masing tempat.
Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa selama tiga minggu, suhu pada masing-masing drum 1, drum 2, dan ruang pengasapan relatif stabil. Nilai rata-rata suhu asap pada drum 1 adalah 108oC sedangkan setelah melewati drum kedua,
suhu asap mulai menurun menjadi 61oC dan suhu asap pada ruang pengasapan
pirolisis untuk menghasilkan arang yang memerlukan suhu yang sangat tinggi sekitar 150-300oC. Suhu pada drum 2 lebih rendah dari pada suhu pada drum 1 karena pada drum 2 terjadi kondensasi untuk menurunkan suhu asap dan uap panas serta dapat menghasilkan cuka kayu. Suhu pada ruang pengasapan hampir sama dengan suhu lingkungan sekitarnya dengan tujuan agar tidak merusak sifat fisik kayu yang diawetkan.
Gambar 6. Kondisi suhu asap selama proses pengasapan.
4.1.3 Penambahan berat contoh uji setelah proses pengasapan
Setelah melalui proses pengasapan, contoh uji mengalami penambahan berat. Penambahan berat terjadi karena adanya partikel asap yang menempel pada permukaan kayu dan masuk ke dalam lumen melalui pori-pori kayu. Hal tersebut mungkin terjadi karena ukuran asap lebih kecil dari pada diameter pori-pori kayu. Menurut Knight (2009), partikel asap berukuran lebih kecil dari 2,5 µ. Sedangkan ukuran diameter pori pada penampang melintang kayu berukuran 20-400 µ (Martawijaya et al. 1989). Partikel asap yang menempel pada permukaan kayu dan mengisi lumen dapat menyebabkan penambahan berat.
Gambar 7. Penambahan berat contoh uji setelah melalui proses pengasapan selama tiga minggu.
Tabel 5. Analisis ragam penambahan berat contoh uji setelah pengasapan tiga minggu
Keterangan : * = nyata pada tingkat kepercayaan 95%
Hasil analisis ragam dalam Tabel di atas menunjukan bahwa jenis kayu memberikan pengaruh nyata terhadap penambahan berat. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai Fhit(5,95)>Ftabel(4,75) pada tingkat kepercayaan 95%. Karena
jenis kayu menunjukan pengaruh yang nyata terhadap penambahan berat pada tingkat kepercayaan 95%, maka dilakukan uji lanjut Duncan.
Tabel 6. Uji Duncan penambahan berat contoh uji setelah pengasapan tiga minggu Duncan Grouping Penambahan berat rata-rata (%) Jenis
A
(0,3) dan sengon (0,33). Semakin tinggi berat jenis, maka semakin kecil rongga sel. Rongga sel yang kecil menyebabkan partikel asap yang masuk akan sedikit pula.
4.2 Sifat Anti Rayap TanahCoptotermes curvignathus Holmgren
Parameter yang digunakan untuk menentukan sifat anti rayap tanah adalah derajat serangan, mortalitas, dan kehilangan berat. Derajat serangan ditentukan untuk mengetahui tingkat kerusakan kayu akibat serangan rayap. Sedangkan nilai mortalitas dan kehilangan berat ditentukan untuk mengetahui kelas keawetan kayu.
Penentuan nilai derajat serangan dilakukan melalui pengamatan langasung dan hasilnya dimasukan dalam skala yang mengacu kepada Padlinurjaji et al. (1988) yang disajikan dalam Tabel 2. Kelas keawetan kayu ditentukan berdasarkan nilai mortalitas dan kehilangan berat akibat serangan rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren yang mengacu pada Sumarni dan Roliadi (2002) yang disajikan dalam Tabel 3.
4.2.1 Derajat serangan
Gambar 8 menunjukan adanya perbedaan tingkat derajat serangan antara contoh uji kontrol dan contoh uji yang diasapi selama 3 minggu. Nilai rata-rata derajat serangan rayap tanah untuk contoh uji kontrol yang tidak diawetkan berkisar antara 49 hingga 78 sedangkan untuk contoh uji dengan pengasapan selama 3 minggu nilai derajat serangan rata-rata berkisar antara 2 hingga 4. Derajat serangan terbesar untuk contoh uji kontrol terjadi pada kayu pulai yaitu 78 dan yang terkecil pada kayu mindi yaitu 49.
78
Gambar 8. Derajat serangan rayap tanah C. curvignathus Holmgren terhadap kayu pulai, sengon, dan mindi.
Serangan rayap tanah terhadap contoh uji kontrol dapat dilihat dalam Gambar 9.
Gambar 9. Kerusakan akibat serangan rayap tanah pada pengujian kontrol terhadap kayu pulai (1), sengon (2), dan mindi (3).
Untuk mengetahui pengaruh antara perlakuan, jenis kayu, dan interaksi antara perlakuan dan jenis kayu terhadap nilai derajat serangan rayap tanah, dilakukan analisis ragam yang hasilnya disajikan dalam Tabel 7.
Tabel 7. Analisis ragam derajat serangan rayap tanah Sumber
Hasil analisis ragam dalam Tabel di atas menunjukan bahwa perlakuan pengasapan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai derajat serangan rayap tanah dikarenakan Fhit(1444)>Ftabel(7,82) pada tingkat kepercayaan
99%. Pengaruh jenis kayu serta interaksi antara perlakuan dan jenis kayu juga memiliki pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai derajat serangan rayap tanah. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai Fhit(27,48)>Ftabel(5,61) untuk faktor jenis kayu
dan Fhit(30,52)>Ftabel(5,61) untuk faktor interaksi antara perlakuan dan jenis kayu
pada tingkat kepercayaan 99%. Karena ketiga sumber keragaman menunjukan pengaruh yang sangat nyata, maka selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan pada tingkat kepercayaan 99%.
Hasil uji lanjut Duncan dalam Tabel 8 menunjukan bahwa untuk kayu kontrol, derajat serangan kayu pulai dan sengon tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan kayu mindi. Hal tersebut terjadi karena kayu mindi memiliki zat berwarna coklat sampai hitam dalam pori-porinya. Zat tersebut diduga menjadi penghambat serangan rayap tanah pada kayu mindi sehingga nilai derajat serangannya lebih kecil dari pada kayu sengon dan pulai. Setelah melalui pengasapan selama tiga minggu, nilai derajat serangan ketiga kayu tidak berbeda nyata. Jenis kayu tidak berpengaruh terhadap nilai derajat serangan pada kayu yang diasapi selama tiga minggu.
Tabel 8. Uji Duncan derajat serangan rayap tanah
Duncan Grouping Derajat serangan rata-rata Interaksi A
kontrol ¤ pulai kontrol ¤ sengon kontrol ¤ mindi asap ¤ mindi asap ¤ pulai asap ¤ sengon
4.2.2 Mortalitas
61,3% (mindi). Untuk contoh uji yang diawetkan dengan pengasapan selama 3 minggu, nilai rata-rata mortalitasnya sebesar100%. Artinya semua rayap mati pada saat proses pengujian selesai dilakukan selama 4 minggu.
18.80 24.20
Gambar 10. Mortalitas rayap tanah C. curvignathus Holmgren pada pengujian keawetan kayu pulai, sengon, dan mindi.
Dari nilai mortalitas, maka dapat ditentukan kelas keawetan kayu yang dikelompokan berdasarkan kriteria Sumarni dan Roliadi (2002) yang disajikan dalam Tabel 3. Kayu yang diawetkan dengan metode pengasapan, semuanya masuk dalam kelas awet I, artinya memiliki ketahanan sangat tahan (very resistance). Sedangkan kayu yang tidak diawetkan memiliki kelas keawetan V (sangat buruk) untuk kayu pulai, kelas awet IV (buruk) untuk kayu sengon, dan kelas awet II (tahan) untuk kayu mindi.
Untuk mengetahui pengaruh antara perlakuan, jenis kayu, dan interaksi antara perlakuan dan jenis kayu terhadap nilai mortalitas rayap tanah, dilakukan analisis ragam yang hasilnya disajikan dalam Tabel 9.
Tabel 9. Analisis ragam mortalitas rayap tanah Sumber
Keterangan : ** = sangat nyata pada tingkat kepercayaan 99%
Hasil analisis ragam dalam Tabel di atas menunjukan bahwa perlakuan pengasapan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai mortalitas rayap tanah dikarenakan Fhit (2334,36)>Ftabel(7,82) pada tingkat kepercayaan 99%.
Pengaruh jenis kayu serta interaksi antara faktor perlakuan dan jenis kayu juga memiliki pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai mortalitas rayap tanah. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai Fhit(96,72)>Ftabel(5,61) untuk faktor jenis kayu dan
Fhit(96,72)>Ftabel(5,61) untuk faktor interaksi antara perlakuan dan jenis kayu pada
tingkat kepercayaan 99%. Karena ketiga sumber keragaman menunjukan pengaruh yang sangat nyata, maka selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan pada tingkat kepercayaan 99%.
Tabel 10. Uji Duncan mortalitas rayap tanah
Duncan Grouping Mortalitas rata-rata (%) Interaksi kontrol ¤ mindi kontrol ¤ sengon kontrol ¤ pulai
nyata terhadap nilai mortalitas rayap tanah. Hal tersebut terjadi karena setelah melalui proses pengasapan, semua kayu mengandung zat anti rayap yang sama pada permukaannya.
4.2.3 Kehilangan Berat
Nilai kehilangan berat ditentukan berdasarkan penurunan berat yang terjadi selama proses pengumpanan contoh uji. Semakin banyak kayu yang dimakan rayap selama proses pengumpanan, maka semakin tinggi kehilangan berat. Gambar 11 menunjukan adanya perbedaan kehilangan berat antara contoh uji kontrol dan contoh uji yang diasapi selama 3 minggu. Nilai rata-rata kehilangan berat akibat serangan rayap tanah untuk contoh uji yang diawetkan dengan pengasapan selama 3 minggu tidak terlalu berbeda antara yang satu dengan lainnya yaitu berkisar antara 0.58% - 0,68%. Sedangkan untuk contoh uji kontrol yang tidak diasapi, nilai rata-rata kehilangan berat berkisar antara 10,34% hingga 37,32%. Nilai rata-rata penurunan berat terbesar pada contoh uji kontrol sebesar 37,32% pada kayu sengon dan terkecil 10,34% pada kayu mindi.
36.39 37.32
Gambar 11. Penurunan berat kayu pulai, sengon, dan mindi akibat serangan rayap tanah C. curvgnathus Holmgren.
kelas keawetan V (sangat buruk) untuk kayu pulai dan sengon, serta kelas awet III (sedang) untuk kayu mindi.
Untuk mengetahui pengaruh antara perlakuan, jenis kayu, dan interaksi antara perlakuan dan jenis kayu terhadap nilai kehilangan berat akibat serangan rayap tanah, dilakukan analisis ragam yang hasilnya disajikan dalam Tabel 11.
Tabel 11. Analisis ragam kehilangan berat akibat serangan rayap tanah Sumber
Keterangan : ** = sangat nyata pada tingkat kepercayaan 99%
Hasil analisis ragam dalam Tabel di atas menunjukan bahwa perlakuan pengasapan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai kehilangan berat akibat serangan rayap tanah dikarenakan Fhit(242,73)>Ftabel(7,82) pada
tingkat kepercayaan 99%. Pengaruh jenis kayu serta interaksi antara faktor perlakuan dan jenis kayu juga memiliki pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai kehilangan berat akibat serangan rayap tanah. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai Fhit(25,81)>Ftabel(5,61) untuk faktor jenis kayu dan Fhit(25,08)>Ftabel(5,61) untuk
faktor interaksi antara perlakuan dan jenis kayu pada tingkat kepercayaan 99%. Karena ketiga sumber keragaman menunjukan pengaruh yang sangat nyata, maka selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan pada tingkat kepercayaan 99%.
Tabel 12. Uji Duncan kehilangan berat akibat serangan rayap tanah Duncan Grouping Weight loss rata-rata (%) Interaksi
kontrol ¤ sengon kontrol ¤ pulai kontrol ¤ mindi asap ¤ sengon asap ¤ pulai asap ¤ mindi
Kehilangan berat kayu sengon dan pulai berbeda nyata dengan kayu mindi. Hal tersebut terjadi karena rayap tanah lebih menykai kayu sengon dan pulai yang memiliki berat jenis lebih rendah dari pada kayu mindi. Namun setelah kayu diasapi tiga minggu, jenis kayu tidak memberikan pengaruh nyata karena setiap kayu memiliki zat anti rayap yang sama. Zat tersebut bersifat racun terhadap rayap tanah sehingga menyebabkan kematian apabila rayap tetap mengkonsumsi zat tersebut.
4.3 Sifat Anti Rayap Kayu Kering Cryptotermes cynocephalus Ligth
Parameter yang digunakan untuk menentukan sifat anti rayap kering sama dengan parameter yang digunakan untuk menentukan sifat anti rayap tanah, yaitu derajat serangan, mortalitas, dan kehilangan berat. Derajat serangan rayap dilakukan dengan menggunkan skala yang mengacu kepada Padlinurjaji et al. (1988) yang disajikan dalam Tabel 2. Sedangkan kelas keawetan berdasarkan nilai mortalitas dan kehilangan berat akibat serangan rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren mengacu pada Sumarni et. al. (2003) yang disajikan dalam Tabel 4.
4.3.1 Derajat serangan
Nilai rata-rata derajat serangan rayap kayu kering dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12 menunjukan adanya perbedaan tingkat derajat serangan antara contoh uji kontrol dan contoh uji yang diasapi selama 3 minggu. Nilai rata-rata derajat serangan rayap kayu kering untuk contoh uji yang diawetkan dengan pengasapan selama 3 minggu berkisar antara 0,8 (mindi) hingga 2 (pulai) sedangkan untuk contoh uji kontrol nilai derajat serangan rata-rata berkisar antara 27 (mindi) hingga 59 (sengon).
Derajat serangan contoh uji yang melalui proses pengasapan semuanya berada pada pada level B, artinya serangan rayap hanya berupa ada bekas gigitan rayap (slightly attacked). Sedangkan untuk contoh uji kontrol kayu sengon, derajat serangan berada pada level D (serangan berat, berupa saluran yang dalam dan lebar (heavily attacked)). Sedangkan derajat serangan kayu pulai dan mindi kontrol berada pada level C (Serangan ringan berupa saluran yang tidak dalam dan lebar (moderatly attacked)).
Serangan rayap kayu kering terhadap contoh uji kontrol dapat dilihat dalam Gambar 13.
Gambar 13. Kerusakan akibat serangan rayap tanah pada pengujian kontol terhadap kayu pulai (1), sengon (2), dan mindi (3).
Tabel 13. Analisis ragam derajat serangan rayap kayu kering
Keterangan : ** = sangat nyata pada tingkat kepercayaan 99%
Hasil analisis ragam dalam Tabel 13 menunjukan bahwa perlakuan pengasapan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai derajat serangan akibat serangan rayap kayu kering dikarenakan Fhit(634,46)>Ftabel(7,82)
pada tingkat kepercayaan 99%. Pengaruh jenis kayu serta interaksi antara faktor perlakuan dan jenis kayu juga memiliki pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai derajat serangan akibat serangan rayap tanah. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai Fhit(37,11)>Ftabel(5,61) untuk faktor jenis kayu dan Fhit(30,64)>Ftabel(5,61) untuk
faktor interaksi antara perlakuan dan jenis kayu pada tingkat kepercayaan 99%. Karena ketiga sumber keragaman menunjukan pengaruh yang sangat nyata, maka selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan pada tingkat kepercayaan 99%.
Tabel 14. Uji Duncan derajat serangan rayap kayu kering Duncan Grouping Derajat serangan rata-rata Interaksi
A
kontrol ¤ sengon kontrol ¤ pulai kontrol ¤ mindi asap ¤ mindi asap ¤ pulai asap¤ sengon
Hasil uji lanjut Duncan Dalam Tabel 14 menunjukan bahwa pada pengujian kontrol jenis kayu sengon, pulai, dan mindi memiliki perbedaan nilai derajat serangan yang berbeda nyata. Sedangkan setelah melalui proses pengasapan selama tiga mingggu, jenis kayu tidak memiliki perbedaan nyata terhadap nilai derajat serangan.
kering makan bagian dalam kayu sehingga serangan kurang terlihat jelas. Lebih lanjut, data derajat serangan diperoleh melalui pengamatan langsung yang subjektif. Selain itu, rayap tanah memiliki jumlah bakteri pencernaan yang lebih banyaksehingga proses pencernaannya lebih cepat.
4.3.2 Mortalitas rayap kayu kering
Nilai rata-rata mortalitas rayap kayu kering dapat dilihat dalam Gambar 14.
37.6 38 43.2
Gambar 12. Mortalitas rayap kayu kering C. cynocephalus Light pada pengujian keawetan kayu pulai, sengon, dan mindi
Gambar 14 di atas menunjukan adanya perbedaan mortalitas antara contoh uji kontrol dan contoh uji yang diasapi selama 3 minggu. Nilai rata-rata mortalitas rayap tanah untuk contoh uji yang diawetkan dengan pengasapan selama 3 minggu adalah 100%. Artinya semua rayap mati pada saat proses pengujian selesai dilakukan selama 12 minggu. Sedangkan untuk contoh uji kontrol nilai mortalitas rata-rata berkisar antara 37,6% (pulai) hingga 43,2% (mindi).
Untuk mengetahui pengaruh antara perlakuan, jenis kayu, dan interaksi antara factor perlakuan dan jenis kayu terhadap nilai mortalitas rayap tanah, dilakukan analisis ragam yang hasilnya disajikan dalam Tabel 15.
Tabel 15. Analisis ragam mortalitas rayap kayu kering Sumber
Keterangan : ** = sangat nyata pada tingkat kepercayaan 99%
Hasil analisis ragam dalam Tabel di atas menunjukan bahwa perlakuan pengasapan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai mortalitas rayap tanah dikarenakan Fhit (781,75)>Ftabel(7,82) pada tingkat kepercayaan 99%.
Sedangkan pengaruh jenis kayu serta interaksi antara faktor perlakuan dan jenis kayu tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap nilai mortalitas rayap tanah. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai Fhit(0,7)>Ftabel(3,4) untuk faktor jenis kayu dan
Fhit(0,7)>Ftabel(3,4) untuk faktor interaksi antara perlakuan dan jenis kayu pada
tingkat kepercayaan 95%. Karena hanya faktor perlakuan yang menunjukan pengaruh yang sangat nyata, maka uji lanjut Duncan hanya dilakukan pada faktor perlakuan pada tingkat kepercayaan 99%.
Penyebab kematian rayap kayu kering hampir sama dengan rayap tanah. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai derajat serangan yang rendah dan kehilangan berat yang rendah pula (lampiran 6). Berbeda dengan pengujian rayap tanah, jenis kayu tidak berpengaruh terhadap mortalitas rayap kayu kering. Mekipun mortalitas rayap kayu kering pada kayu mindi lebih besar dibandingkan pada kayu sengon dan pulai, namun berdasarkan analisis keragaman hal tersebut masih berada dalam taraf tidak berbeda nyata.
4.3.3 Kehilangan Berat
10.12
Gambar 15. Penurunan berat kayu pulai, sengon, dan mindi akibat serangan rayap kayu kering C. cynocephalus Light
Gambar 15 di atas menunjukan adanya perbedaan kehilangan berat antara contoh uji kontrol dan contoh uji yang diasapi selama 3 minggu. Nilai rata-rata kehilangan berat akibat serangan rayap tanah untuk contoh uji yang diawetkan dengan pengasapan selama 3 minggu berkisar antara 0.84% - 1,63%. Sedangkan untuk contoh uji kontrol nilai rata-rata kehilangan berat berkisar antara 6,19% (mindi) hingga 10,12% (pulai).
Dari nilai rata-rata kehilangan berat, maka dapat ditentukan kelas keawetan kayu yang dikelompokan berdasarkan kriteria Sumarni et al. (2003). Untuk kayu yang diawetkan dengan metode pengasapan, semuanya masuk dalam kelas awet I, artinya memiliki ketahanan sangat tahan (very resistance). Untuk kayu yang tidak diawetkan, kayu pulai memiliki kelas keawetan IV, artinya memiliki ketahanan kayu buruk (poor). Sedangkan kayu pulai dan sengon yang tidak diawetkan memiliki kelas awet III, artinya memiliki ketahanan sedang (moderate).
Untuk mengetahui pengaruh antara perlakuan, jenis kayu, dan interaksi antara perlakuan dan jenis kayu terhadap nilai kehilangan berat contoh uji akibat serangan rayap kayu kering, dilakukan analisis ragam yang hasilnya disajikan dalam Tabel 16.
kepercayaan 99%. Sedangakan pengaruh jenis kayu serta interaksi antara faktor perlakuan dan jenis kayu memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap nilai kehilangan berat akibat serangan rayap kayu kering. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai Fhit(2,35)>Ftabel(3,4) untuk faktor jenis kayu dan Fhit(2,16)>Ftabel(3,4) untuk
faktor interaksi antara perlakuan dan jenis kayu pada tingkat kepercayaan 95%. Karena hanya faktor perlakuan yang menunjukan pengaruh yang sangat nyata, maka uji lanjut Duncan hanya dilakukan pada faktor perlakuan pada tingkat kepercayaan 99%.
Tabel 16. Analisis ragam kehilangan berat akibat serangan rayap kayu kering Sumber
Keterangan : ** = sangat nyata pada tingkat kepercayaan 99%
Jenis kayu tidak mempengaruhi nilai kehilangan berat baik pada kayu kontrol maupun pada kayu yang diasapi. Hal tersebut membuktikan bahwa jumlah kayu yang dimakan rayap hampir sama pada setia jenis. BJ kayu tidak mempengaruhi kemampuan rayap kayu kering untuk makan.
Untuk pengujian kontrol, kelas keawetan kayu pulai, mindi, dan sengon berbeda dengan sumber pustaka. Perbedaan tersebut disebabkan karena penelitian ini diuji terhadap satu jenis organisme perusak, sedangkan klasifikasi dalam sumber pustaka didasarkan pada berbagai variasi kondisi dimana kayu tersebut dipakai.
5.1Kesimpulan
Proses pengasapan selama tiga minggu terbukti efektif untuk meningkatkan ketahanan kayu pulai, sengon, dan mindi khususnya dari serangan rayap tanah dan rayap kayu kering. Hal tersebut dapat dilihat dari menurunnya derajat serangan, meningkatnya mortalitas, dan menurunnya kehilangan berat jika dibandingkan kontrol. Pengasapan selama tiga minggu dapat meningkatnya semua kelas keawetan kayu yang diawetkan menjadi kelas awet I baik berdasarkan mortalitas maupun kehilangan berat.
5.2Saran
Saran dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan penelitian terhadap sifat fisis dan mekanis dari kayu yang diawetkan dengan metode pengasapan.
RAYAP TANAH Coptotermes curvignathus Holmgren DAN
RAYAP KAYU KERING Cryptotermes cynocephalus Ligth
OPIK TAUPIK AKBAR
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RAYAP TANAH Coptotermes curvignathus Holmgren DAN
RAYAP KAYU KERING Cryptotermes cynocephalus Ligth
OPIK TAUPIK AKBAR
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RAYAP TANAH Coptotermes curvignathus Holmgren DAN
RAYAP KAYU KERING Cryptotermes cynocephalus Ligth
OPIK TAUPIK AKBAR
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Hasil Hutan Program Studi Teknologi Hasil Hutan
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
yang Diawetkan dengan Pengasapan dari Serangan Rayap Tanah
Coptotermes curvignathus Holmgren dan Rayap Kayu Kering Cryptotermes
cynocephalus Light adalah benar-benar hasil karya sendiri dengan bimbingan
dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2009
Holmgren dan Rayap Kayu Kering Cryptotermes cynocephalus Light
Nama Mahasiswa : Opik Taupik Akbar
NIM : E24051661
Menyetujui: Dosen Pembimbing
Ir. Trisna Priadi, M.Eng.Sc NIP. 19670425 199302 1 001
Mengetahui:
Dekan Fakultas Kehutanan IPB,
Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr NIP. 19611126 198601 1 001
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kondisi sumber daya alam hutan saat ini sangat memprihatinkan yang disebabkan oleh deforestasi maupun degradasi hutan yang semakin marak dari waktu ke waktu. Hal tersebut terjadi karena kebutuhan kayu terus meningkat dari tahun ke tahun sebagai konsekuensi dari suatu pembangunan dalam negara yang sedang berkembang seperti di Indosesia. Kebutuhan bahan baku industri perkayuan yang semakin meningkat saat ini menimbulkan kekhawatiran karena untuk mencukupi kebutuhan tersebut, akan memaksa masyarakat untuk memenuhinya dari hutan alam secara ilegal.
Salah satu cara untuk mengurangi konsumsi kayu adalah dengan mengggunaan kayu secara efisien. Pengawetan kayu merupakan salah satu cara efektif yang dapat menghemat penggunaan kayu sehingga kayu dapat digunakan dengan efisien. Melalui pengawetan kayu, jenis kayu yang kurang awet dapat digunakan dalam waktu relatif lama.
Berdasarkan penelitian Hadi (2008), pemberian asap dari pengarangan kayu akasia selama empat jam terhadap kayu mindi dan sugi dapat meningkatkan tingkat ketahanan kayu yang ditandai dengan rendahnya tingkat serangan rayap, rendahnya pengurangan berat, dan meningkatnya kelas keawetan dibandingkan kontrol. Kayu mindi yang memiliki kelas awet IV-V meningkat kelas keawetannya menjadi kelas awet III. Oleh karena itu, melalui penelitian ini dilakukan pengasapan dengan jangka waktu relatif lebih lama dari penelitian sebelumnya yaitu tiga minggu pada tiga jenis kayu rakyat yang berbeda.
aromatic hydrocarbons dalam jumlah yang banyak yang komposisinya sebagian besar terdiri dari phenol, aldehid, keton, asam organik, alkohol, eter, hidrokarbon dan berbagai senyawa heterocyclic.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengasapan dari proses pengarangan limbah kayu akasia selama tiga minggu terhadap ketahanan kayu pulai, sengon, dan mindi dari serangan rayap tanah dan rayap kayu kering.
1.3 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Dapat memberikan informasi keawetan kayu dari kayu yang diawetkan dengan metode pengasapan selama tiga minggu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengawetan Kayu
Pengawetan kayu didefinisikan sebagai seni dalam melindungi struktur kayu dari gangguan mikroorganisme perusak kayu. Secara umum, pengawetan kayu adalah suatu tindakan memasukkan bahan kimia beracun kedalam kayu dengan tujuan agar umur pemakaian (life service) kayu menjadi lebih lama. (Weiss 1916).
Tujuan utama dari pengawetan kayu adalah untuk memperpanjang umur pemakaian bahan dalam konstruksi yang permanen maupun semi permanen. Dengan demikian, pengawetan kayu akan mengurangi biaya akhir dari produk itu dan menghindari penggantian yang terlalu sering. Penghematan yang diperoleh dari pemakain kayu yang diawetkan dalam setiap bentuk konstruksi kayu didapat dari pengurangan biaya tahunan pemeliharaan bangunan (Hunt & Garratt 1986).
Pengawetan kayu dapat memanfaatkan jenis kayu yang kurang awet yang tadinya tidak atau kurang dimanfaatkan dengan baik. Hal ini berarti dapat memanfaatkan SDA secara efisien. Sedangkan dari sisi industri, pengawetan kayu memungkinkan bertambahnya kesempatan kerja sehingga dapat mengurangi pengangguran.
Secara ekonomi kayu yang diawetkan lebih menguntungkan daripada yang tidak diawetkan meskipun pada awalnya biaya yang dikeluarkan terasa lebih tinggi karena kondisi tertentu. Meskipun demikian, kayu yang diawetkan dapat bertahan lama sehingga tidak perlu ada penggantian kayu yang terlalu sering. Hal tersebut dapat mengurangi biaya tenaga kerja dan biaya-biaya lainnya. Sehingga dapat dikatakan porsi biaya pengawetan relatif kecil dari seluruh investasi yang ditanamkan.
2.2 Keawetan Kayu
Keawetan kayu merupakan daya tahan suatu jenis kayu terhadap berbagi faktor perusak kayu seperti faktor biologis yaitu jamur, serangga, dan cacing laut. Keawetan kayu ditentukan oleh genetik kayu tersebut seperti berat jenis, kandungan zat ekstraktif, dan umur pohon (Weiss 1961).
Menurut Martawijaya (1981), keawetan alami kayu adalah suatu ketahanan kayu secara alamiah terhadap serangan jamur dan serangga dalam lingkungan yang sesuai bagi organisme yang bersangkutan. Keawetan kayu ditetapkan dengan mempergunakan data yang terdapat dalam etiket herbarium yang dicatat pada waktu pengumpulan jenis kayu yang bersangkutan di berbagai wilayah hutan. Data tersebut dicocokan secara kritis dengan pengalaman umum yang ada mengenai sifat kayu yang bersangkutan dan dicocokan juga dengan data yang terdapat dalam berbagai sumber pustaka. Berdasarkan semua data tersebut ditetapkan kelas awet jenis kayu yang bersangkutan dengan mempergunakan metode klasifikasi seperti dapat dilihat dalam Tabel 1:
Tabel 1. Penggolongan kelas keawetan kayu
Keadaan Kelas Awet
I II III IV V • Selalu berhubungan
dengan tanah lembab
8 tahun 5 tahun 3 tahun Sangat pendek
Sangat pendek
• Hanya dipengaruhi
cuaca, tetapi dijaga supaya tidak direndam air dan tidak kekurangan udara
• Dibawah atap, tidak berhubungan dengan tanah lembab dan tidak kekurangan udara
• Seperti diatas tetapi dipelihara dengan baik dan dicat dengan teratur
Tidak • Serangan rayap tanah Tidak Jarang Cepat Sangat
cepat
Sangat cepat • Serangan bubuk kayu
kering
Tidak Tidak hampir tidak
Tidak berarti