• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERSPEKTIF TENTANG KOMUNITAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PERSPEKTIF TENTANG KOMUNITAS"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

PERSPEKTIF TENTANG KOMUNITAS

Hakikat Komunitas

Dari sudut sosiologis, kata community berasal dari bahasa Latin “Munus”, yang bermakna the gift (memberi), cum, dan together

(kebersamaan) antara satu sama lain. Dapat diartikan, komunitas adalah sekelompok orang yang saling berbagi dan saling mendukung satu sama lain. Syarat pokok agar mereka dapat saling berbagi adalah adanya interaksi sosal sehari-hari yang intensif.

Secara umum, komunitas adalah sekelompok orang yang hidup bersama pada lokasi yang sama, sehingga mereka telah berkembang menjadi sebuah kelompok hidup (group lives) yang diikat oleh kesamaan kepentingan. Dalam sosiologi, secara harfiah makna komunitas adalah “masyarakat setempat” (Soekanto, 1999). Komunitas juga dapat diartikan sebagai sekumpulan anggota masyarakat yang hidup bersama sedemikian rupa sehingga mereka dapat merasakan dapat memenuhi kepentingan-kepentingan hidup yang utama. Artinya, ada social relationship yang kuat diantar mereka, pada satu batasan geografis tertentu. Elemen dasar yang membentuk sebuah komunitas adalah adanya interaksi yang intensif diantara anggotanya, dibandingkan dengan orang-orang di luar batas wilayah. Ukuran derajat hubungan sosial, terkait dengan kesamaan tujuan adalah pemenuhan kebutuhan utama individu dan anggota pembentuk kelompok dalam masyarakat.

Pada sebuah komunitas ditemukan dua hal utama, yakni kesamaan dan identitas. Selain itu, juga selalu terdapat sikap saling berbagi, partisipasi, fellowship. Komunitas terbentuk karena memiliki kepentingan yang sama atau disebut community of interest. Dapat dikatakan bahwa makna komunitas adalah sekelompok orang yang

(2)

didalamnya terdapat elemen berbagi diantara mereka. Substansi dari elemen berbagi tersebut sangat luas, yaitu dari berbentuk situasi sampai ke kepentingan dalam pemenuhan kebutuhan hidup dan bahkan nilai-nilai. Hal ini diwakili oleh konsep kolektivitas.

Komunitas memiliki banyak makna. Ia dapat dimaknai sebagai sebuah kelompok dari suatu masyarakat, atau sebagai sebuah kelompok yang hidup di area yang khusus yang memiliki karakteristik etnik dan kultural yang sama. Salah satu ciri khasnya adalah mereka memiliki sesuatu secara bersama-sama. Jika bertolak dari pengertian ekologi, maka komunitas adalah sekelompok organisme yang saling tergantung pada satu wilayah, dan mereka saling berinteraksi.

Pentingnya interaksi dilihat pada intensitasnya yang dengan pasti mendorong terbentuknya solidaritas sosial. Menurut Durkheim (1964), solidaritas sosial adalah :

“Kesetiakawanan yang menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama”.

Solidaritas sosial menurutnya, sebagaimana yang telah diungkapkan, dibagi menjadi dua yaitu: pertama, mekanik adalah solidaritas organik yang didasarkan pada suatu “kesadaran kolektif” (collective consciousness) bersama yang menunjuk pada totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama itu. Yang ikatan utamanya adalah kepercayaan bersama, cita-cita, dan komitmen moral.

Kemudian dalam pandangan Durkheim (1964) melihat bahwa setiap masyarakat manusia memerlukan solidaritas. Ia membedakan antara dua tipe utama solidaritas: solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Solidaritas mekanik merupakan suatu tipe solidaritas yang didasarkan atas persamaan. Solidaritas mekanik dijumpai pada masyarakat yang masih sederhana yang dinamakan masyarakat segmental. Pada masyarakat seperti ini belum terdapat pembagian kerja yang berarti: apa yang dapat dilakukan oleh seorang anggota

(3)

masyarakat biasaya dapat dilakukan pula oleh orang lain. Dengan demikian tidak terdapat saling ketergantungan antara kelompok berbeda, karena masing-masing kelompok dapat memenuhi kebutuhannya sendiri dan masing-masing kelompok pun terpisah satu dengan yang lain. Tipe solidaritas yang didasarkan atas kepercayaan dan setiakawan ini diikat oleh apa yang oleh Durkheim (1964) dinamakan conscience collective yaitu suatu sistem kepercayaan dan perasaan yang menyebar merata pada semua anggota masyarakat. Lambat laun pembagian kerja dalam masyarakat semakin berkembang sehingga solidaritas mekanik berubah menjadi solidaritas organik. Pada masyarakat dengan solidaritas organik masing-masing anggota masyarakat tidak lagi dapat memenuhi semua kebutuhanya sendiri melainkan ditandai oleh saling ketergantungan yang besar dengan orang atau kelompok lain. Solidaritas organik merupakan suatu sistem terpadu yang terdiri atas bagian yang saling tergantung laksana bagian suatu organisme biologi. Berbeda dengan solidaritas mekanik yang didasarkan pada hati nurani kolektif maka solidaritas organik didasarkan pada hukum dan akal.

Dinamika solidaritas organik dan mekanik dalam pandangan Durkheim (1964) di atas merupakan esensi yang menjelaskan tentang dinamika hubungan antar individu dalam masyarakat. Terkait dengan hal ini, Tonnies (1957), dalam pendangannya tentang masyarakat, menegaskan bahwa masyarakat itu sendiri merupakan usaha manusia untuk mengadakan dan memelihara relasi-relasi timbal balik yang mantap. Kemauan manusia yang mendasari masyarakat. Berkenaan dengan kemauan itu, Tonnies membedakan antara

Zweckwille, yaitu kemauan rasional yang hendak mencapai suatu tujuan dan Triebwille, yaitu dorongan batin berupa perasaan.

Zweckwille, apabila orang hendak mencapai suatu tujuan tertentu dan mengambil tujuan rasional kearah itu.

Pembedaan antara Zweckwille dan Triebwille, melahirkan konsep Tonnies (1957) tentang tipologi masyarakat, yakni

gemeinschaft dan gesselschaft. Menurut Selo Soemarjan dan Solaeman Soemardi (1974), gemeinschaft atau paguyuban merupakan bentuk

(4)

kehidupan bersama yang sesuai dengan triebwille. Kebersamaan dan kerja sama tidak diadakan untuk mencapai tujuan dari luar, melainkan lebih dihayati sebagai tujuan dalam dirinya. Sehingga orang lebih merasa dekat satu sama lain dan memperoleh kepuasan tersendiri karenanya. Sedangkan gesselschaft lebih menggambarkan suatu kehidupan bersama yang sesuai dengan zweckwille.

Gesellschaft atau petembayan ini lebih mengasosiasikan dimana suatu relasi kebersamaan dan kesatuan timbul dari faktor-faktor lahiriah, seperti persetujuan, peraturan, undang-undang, dan sebagainya. Unsur-unsur individu beserta masing-masing kepentingan dalam pencapaian suatu tujuan lebih ditonjolkan.

Tonnies memasukkan Gemeinschaft dan Gesellschaft di bukunya (1887) yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Community and Society pada tahun 1957, sebagai salah satu teori yang bersifat modern. Menurutnya Gemeinschaft adalah sebagai situasi yang berorientasi nilai nilai, aspiratif, memiliki peran, dan terkadang sebagai kebiasaan asal yang mendominasi kekuatan sosial. Jadi baginya secara tidak langsung Gemeinschaft timbul dari dalam individu dan adanya keinginan untuk memiliki hubungan atau relasi yang didasarkan atas kesamaan dalam keinginan dan tindakan. Individu dalam hal ini diartikan sebagai pelekat/perekat dan pendukung dari kekuatan sosial yang terhubung dengan teman dan kerabatnya (keluarganya), yang dengannya mereka membangun hubungan emosional dan interaksi satu individu dengan individu yang lain. Status dianggap berdasarkan atas kelahiran, dan batasan mobilisasi juga kesatuan individu yang diketahui terhadap tempatnya di masyarakat.

Sedang Gesellschaft merupakan sesuatu yang kontras, menandakan terhadap perubahan yang berkembang, berperilaku rasional dalam suatu individu dalam kesehariannya, hubungan individu yang bersifat superficial (lemah, rendah, dangkal), tidak menyangkut orang tertentu, dan seringkali antar individu tak mengenal, seperti tergambar dalam berkurangnya peran dan bagian dalam tataran nilai, latar belakang, norma, dan sikap, bahkan peran

(5)

pekerja tidak terakomodasi dengan baik seiring dengan bertambahnya arus urbanisasi dan migrasi juga mobilisasi.

Tonnies memaparkan Gemeinschaft adalah wessenwill yaitu bentuk-bentuk kehendak, baik dalam arti positif maupun negatif, yang berakar pada manusia dan diperkuat oleh agama dan kepercayaan, yang berlaku didalam bagian tubuh dan perilaku atau kekuatan naluriah. Jadi, wessenwill itu sudah merupakan kodrat manusia yang timbul dari keseluruhan kehidupan alami. Sedangkan Gesselschaft

adalah Kurwille yaitu merupakan bentuk-bentuk kehendak yang mendasarkan pada akal manusia yang ditujukan pada tujuan-tujuan tertentu dan sifatnya rasional dengan menggunakan alat-alat dari unsur-unsur kehidupan lainnya. Atau dapat pula berupa pertimbangan dan pertolongan.

Tonnies membedakan Gemeinschaft menjadi 3 jenis, yaitu : 1) Gemeinschaft by blood, yaitu Gemeinschaft yang

mendasarkan diri pada ikatan darah atau keturunan. Di dalam pertumbuhannya masyarakat yang semacam ini makin lama makin menipis

2) Gemeinschaft of placo (locality), yaitu Gemeinschaft yang mendasarkan diri pada tempat tinggal yang saling berdekatan sehingga dimungkinkan untuk dapatnya saling menolong. 3) Gemeinschaft of mind, yaitu Gemeinschaft yang

mendasarkan diri pada ideologi atau pikiran yang sama. Dimana, dari ketiga bentuk ini dapat ditemui pada masyarakat, baik di kota maupun di desa. Oleh Tonnies (1957) juga dikatakan bahwa suatu paguyuban (gemeinschaft) mempunyai beberapa ciri pokok, yaitu sebagai berikut.

1. Intimate, yaitu hubungan menyeluruh yang mesra

2. Private, yaitu hubungan yang bersifat pribadi, khusus untuk beberapa orang saja

(6)

3. Exclusive, yaitu hubungan itu hanyalah untuk “kita” saja dan tidak untuk orang-orang diluar”kita”

Di dalam gemeinschaft atau paguyuban terdapat suatu

kemauan bersama (common will), ada suatu pengertian

(understanding) serta juga kaidah-kaidah yang timbul dengan sendirinya dari kelompok tersebut. Apabila terjadi pertentangan antara anggota suatu paguyuban, pertentangan tersebut tidak akan dapat diatasi dalam suatu hal saja. Hal itu disebabkan karena adanya hubungan yang menyeluruh antara anggota-anggotanya. Tak mungkin suatu pertentangan yang kecil diatasi karena pertentangan tersebut akan menjalar kebidang-bidang lainnya. Keadaan yang agak berbeda akan dijumpai pada petembayan atau gesselschaft, dimana terdapat aktivitas publik yang artinya bahwa hubunganya bersifat untuk semua orang; batas-batas antara “kami” dengan “bukan kami” menjadi kabur. Pertentangan- pertentangan yang terjadi antara anggota dapat dibatasi pada bidang-bidang tertentu sehingga suatu persoalan dapat dialokasikan.

Apapun definisinya, komunitas harus memiliki sifat interaksi, yaitu interaksi yang informal dan spontan harus lebih banyak inteaksi yang sifatnya formal. Harus juga memiliki orientasi yang jelas. Keanggotaan dalam komunitas terbentuk lebih karena adanya struktur yang alamiah; lebih dari struktur yang hirarkis. Ciri utama sebuah komunitas adalah adanya keharmonisan egalitarian, serta sikap saling berbagi nilai dan kehidupan.

Komunitas dapat dibedakan atas berbagai pola, atas dasar ukuran (besar dan kecil), atas dasar level (lokal, nasional dan internasional), riel atau tidak riel (virtual), bersifat kooperatif atau kompetitif, formal atau tidak formal. Pada perkembangannya, konsep komunitas dapat dipakai secara lebih luas. Untuk kesatuan hidup yang berada pada satu wilayah tertentu disebut sebagai “community of places”, sedangkan hubungan yang diikat arena kesamaan kepentingan namun tidak tinggal dalam satu wilayah geografis tertentu disebut dengan “community of interests”.

(7)

Eksistensi sebuah komunitas dalam kerangka kehidupan bermasyarakat sangat penting perannya. Sebagaimana pendapat PBB (dalam Syahyuti, 2005) :

“...community provides human beings with the unifying means of elevating the dignity of each person, providing the needs and aspirations of all in a group, doing this in harmony with the natural environment and making possible the communications and interaction between other social and political groups”.

Begitu besarnya peran komunitas karena dapat menjadi representatif kebutuhan-kebutuhan individu di dalamnya, dapat menciptakan keselarasan dengan alam dan memungkinkan untuk dapat berinteraksi dengan lembaga- lembaga di luarnya. Suatu komunitas tidak akan dapat menutup dirinya sendiri. Ia harus berinteraksi dan berkomunikasi dengan komunitas lain.

Komunitas merupakan unit-unit sosial yang memiliki otoritas sendiri dengan nilai-nilai bersama dan rasa memiliki satu sama lain. Suatu komunitas terjaga karena adanya kohesi sosial sesama mereka, dalam situasi di mana individu- individu diikat oleh orang lain oleh komitmen sosial dan kultural. Kohesi sosial selalu terdapat dalam komunitas jenis apa pun itu. Menurut Mitchell (1994), ada 3 karakteristik kohesi sosial, yaitu 1). Komitmen individu untuk norma dan nilai umum; 2). Kesaling-tergantungan yang muncul karena adanya niat untuk berbagi; dan 3). Individu yang mengidentifikasi dirinya dengan grup tertentu.

Trust

dalam Komunitas

Sebelum membahas tentang trust, alangkah baiknya didahului oleh pengantar tentang modal sosial. Hal ini karena perhatian pada kajian trust mulai menguat sejak konsep modal sosial mulai bergulir sebagai wacana akademik pemerhati sosiologi. Modal sosial itu sendiri bukanlah konsep yang baru dalam dunia sosiologi (Portres, 1998), dalam arti bahwa konsep modal sosial yang dikembangkan oleh

(8)

Putman (2000) dan Woolcook (1998) merupakan konsep yang telah lama diterbitkan sebelumnya.

Modal sendiri berarti kapasitas, kemampuan, pasokan, ketersediaan yang dimiliki. Sosial, dapat berarti kelompok, komunitas, masyarakat; atau dalam skala yang besar itu negara, bahkan yang lebih luas lagi yaitu penduduk dunia. Pada definisi kedua kata itu, kita dapat mengatakan bahwa yang disebut modal sosial adalah kapasitas atau kemampuan atau pasokan atau ketersediaan yang dimiliki oleh kelompok, komunitas, masyarakat atau negara dalam melakukan aktivitas-aktivitas yang bersifat sosial. Istilah modal sosial yang diajukan Putnam (2001) merujuk pada hubungan antar individu-individu—jaringan sosial dan norma timbal-balik serta saling percaya yang tumbuh di antara mereka. Definisi yang dikemukakan oleh Putman memiliki kemiripan dengan penekanan yang dikemukakan oleh Woolcock (1998), yang mana menegaskan bahwa modal sosial merupakan informasi, trust, dan norma timbal balik dalam suatu kesatuan jaringan sosial.

Dari kedua definisi di atas (dari sekian definisi) yang begitu banyak, sebagai bagian dari konsekuensi keragaman level pendekatan terhadap konsep modal sosial, pendapat Putman (2001) dan Woolcock (1998) mewakili pendapat bahwa trust merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari modal sosial. Karena trust pada prinsipnya dapat mendorong unsur utama dari modal sosial, seperti bonding, bridging

dan linking.12

Dalam kaitannya dengan trust, Fukuyama (1995) menegaskan bahwa trust adalah salah satu hal penting dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini kemudian ditekankan oleh Sztompka (1999) yang menegaskan bahwa trust menjadi modal penting yang mengkondisikan masyarakat dapat berfungsi. Dalam kaitannya dengan

12 Sangat disadari bahwa beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada masalah terkait

dengan unsur modal sosial ini. Seperti yang dilakukan oleh Leonard dan Onyx (2003) menunjukkan bahwa bonding tidak terlalu kuat dalam ikatan antar komunitas, sedangkan bridging memiliki daya yang kuat pada komunitas atau organisasi skala kecil. Penelitian mereka menegaskan bahwa daya ikatan yang menguat dan melemah tidak bisa dinamakan bonding dan briedging,

(9)

kehidupan bermasyarakat, dilihat bahwa masing-masing individu dalam relasi sosialnya memiliki ekspektasi tertentu di antara mereka. Hal ini membuat ekspektasi individu yang kemudian bergulir menjadi ekspektasi sosial tersebut menjadi semacam trust yang terbentuk untuk mengukuhkan relasi antar individu. Dalam kaitannya dengan ini, Dasgupta (dalam Seok-Eon Kim, 2005) menegaskan bahwa trust sangat berkaitan dengan ekspektasi antar individu dalam membangun kontrol terhadap setiap tindakan dan perilaku sosial. Kontrol sosial semacam itu, dalam penekanan Fukuyama (1998) dinamakan sebagai kesatuan tanggung jawab personal terhadap tujuan bersama.

Möllering (2001) yang berusaha mengelaborasi pemikiran Simmel tentang trust, mengkoseptualisasikan gagasan trust itu sebagai:

“a state of favorable expectation regarding other people‟s actions and intentions. As such it is seen as the basis for individual risk-taking behavior, cooperation, reduced social complexity, order, and social capital”

Dari rumusan tersebut di atas, trust membawa konotasi aspek negosiasi harapan dan kenyataan yang dibawakan oleh tindakan sosial individu-individu atau kelompok dalam kehidupan kemasyarakatan. Ketepatan antara harapan dan realisasi tindakan yang ditunjukkan oleh individu atau kelompok dalam menyelesaikan amanah yang diembannya, dipahami sebagai tingkat kepercayaan.

Tingkat kepercayaan akan tinggi, bila penyimpangan antara harapan dan realisasi tindakan, sangat kecil. Sebaliknya, tingkat kepercayaan menjadi sangat rendah apabila harapan yang diinginkan tak dapat dipenuhi oleh realisasi tindakan sosial. Rumusan dari Möllering (2001) tersebut menjelaskan, paling tidak, enam fungsi penting kepercayaan (trust) dalam hubungan- hubungan sosial- kemasyarakatan. Keenam fungsi tersebut adalah:

1. Kepercayaan dalam arti confidence, yang bekerja pada ranah psikologis-individual. Sikap ini akan mendorong orang berkeyakinan dalam mengambil satu keputusan setelah memperhitungkan resiko-resiko yang ada. Dalam waktu yang sama, orang lain juga akan berkeyakinan sama atas tindakan

(10)

sosial tersebut, sehingga tindakan itu mendapatkan legitimasi kolektif.

2. Kerjasama, yang berarti pula sebagai proses sosial asosiatif dimana trust menjadi dasar terjalinnya hubungan-hubungan antar individu tanpa dilatarbelakangi rasa saling curiga. Selanjutnya, semangat kerjasama akan mendorong integrasi sosial yang tinggi.

3. Penyederhanaan pekerjaan, dimana trust membantu

meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja kelembagaan-kelembagaan sosial. Pekerjaan yang menjadi sederhana itu dapat mengurangi biaya-biaya transaksi yang bisa jadi akan sangat mahal sekiranya pola hubungan sosial dibentuk atas dasar moralitas ketidakpercayaan.

4. Ketertiban. Trust berfungsi sebagai inducing behavior setiap individu, yang ikut menciptakan suasana kedamaian dan meredam kemungkinan timbulnya kekacauan sosial. Dengan demikian, trust membantu menciptakan tatanan sosial yang teratur, tertib dan beradab.

5. Pemelihara kohesivitas sosial. Trust membantu merekatkan setiap komponen sosial yang hidup dalam sebuah komunitas menjadi kesatuan yang tidak tercerai-berai.

6. Dalam modal sosial. Trust adalah asset penting dalam kehidupan kemasyarakatan yang menjamin struktur- struktur sosial berdiri secara utuh dan berfungsi secara operasional serta efisien.

Dalam kaitannya dengan komunitas, trust memiliki kontribusi yang sangat besar dalam memelihara komitmen bersama. Ketika memakai dasar kepemilikan bersama sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari komunitas, maka trust menjadi modal dasar dalam mengembangkan jaringan di dalam komunitas.

Dalam kaitan dengan komitmen, disadari bahwa trust menjadi perangsang dalam mengoperasionalkan komitmen bersama, yang

(11)

kemudian bermuara pada kepemilikan dan tujuan secama bersama. Komitmen bersama semacam itu menjadi penting karena pada prinsipnya bahwa akan terjadi pertukaran aksi antar actor dalam komunitas. Pertukaran aksi akan berlangsung dengan baik jika didasarkan pada komitmen yang kuat pula. Hubungan antara komitmen dengan pertukaran aksi antar aktor tersebut telah mengalami pergeseran yang signifikan. Menurut Molm (2001) bahwa pergeseran tersebut lebih mengarah pada minat terhadap resiko yang menimbulkan perhatian khusus pada trust dalam relasi pertukaran. Akibatnya, ada aktor yang mulai mereduksi resiko dan meningkatkan kepercayaan dengan mengembangkan seperangkat komitmen bersama (Molm, 1997).

Budaya Komunitas

Dalam makna yang lebih filsafatis, Parekh (2008) menegaskan bahwa kebudayaan mempunyai keterkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan manusia tentang makna dan keyakinan serta praktek kehidupan. Pertanyaan tentang makna dikaitkan dengan kelayakan atau nilai, macam dan tingkat kepentingan yang harus diberikan pada aktivitas manusia; sedangkan pertanyaan tentang aktivitas atau praktek diarahkan pada upaya untuk memahami maksud dan tujuan serta titik penting sebuah aktivitas. Pertanyaan- pertanyaan di atas kemudian dikonstruksikan secara pribadi maupun bersama menjadi praktek-praktek secara kolektif. Dengan demikian, kebudayaan adalah apresiasi individu atau kolektif terhadap keyakinan dan praktek-praktek untuk memahami, mengatur dan menstrukturkan kehidupan bersama. Akhirnya, Parekh (2008) menegaskan bahwa kebudayaan adalah totalitas aktivitas kehidupan manusia.

Kebudayaan juga menunjukkan suatu pengertian yang luas dan kompleks, di dalamnya tercakup baik segala sesuatu yang terjadi dan dialami oleh manusia secara personal dan kolektif, maupun bentuk-bentuk yang dimanifestasikan sebagai ungkapan pribadi seperti yang dapat disaksikan dalam sejarah kebudayaan, baik hasil-hasil pencapaian

(12)

yang pernah ditemukan oleh umat manusia dan diwariskan secara turun-temurun maupun proses perubahan serta perkembangan yang sedang dilalui dari masa ke masa (Poespowardojo, 1993).

Secara lebih khusus, kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, rasa dan tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan cara belajar, dipakai sebagai pedoman dan pola perilaku manusia serta terwujud dalam sistem-sistem sosial tertentu. Kebudayaan sebagai suatu pola yang dimiliki dan diwujudkan oleh manusia - sebagai satu kesatuan - mempunyai beberapa unsur-unsur universal yang dapat ditemukan pada semua bangsa didunia, salah satu unsurnya adalah sistem mata pencaharian hidup (Koentjaraningrat, 1996).

Sistem mata pencaharian hidup terdiri dari berburu dan meramu, beternak, bercocok tanam di ladang, menangkap ikan, dan bercocok tanam menetap dengan irigasi. Setiap suku bangsa yang sederhana maupun kompleks memiliki sistem mata pencaharian hidup, dalam memenuhi kebutuhan hidupnya selalu menggunakan dan mengembangkan cara-cara produksi, distribusi dan konsumsi (Koentjaraningrat, 1996). Sistem ekonomi merupakan keseluruhan perilaku manusia dalam organisasi dan pranata yang mengatur penggunaan sumber-sumber terbatas guna memenuhi kebutuhan hidup suatu masyarakat tertentu. Sistem ekonomi berkaitan erat dengan perilaku manusia, lingkungan dan kebudayaan, sehingga sangat erat kaitannya dengan sistem produksi, distribusi dan konsumsi (Koentjaraningrat, 1990).

Ketika dipergunakan, kebudayaan tanpa frasa mencakup lebih kurang, keseluruhan kehidupan manusia. Ketika dijadikan sebagai kata sifat, kebudayaan mengacu pada bidang atau aspek kehidupan manusia yang disoroti oleh kata sifatnya. Istilah budaya bisnis, obat, dan moral, politik mengacu pada lembaga kepercayaan dan praktek yang mengatur bidang kehidupan manusia yang relevan termasuk cara bagaimana budaya-budaya ini dikonseptualisasikan, dibatasi, distrukturkan dan diatur. Berbagai istilah seperti budaya gay, budaya kaum muda, budaya massa dan budaya komunitas, mengacu pada cara

(13)

kelompok ini memahami tempat mereka dalam masyarakat dan mengatur hubungan internal dan eksternalnya (Parekh, 2008).

Sebagai ekspresi atas keberadaan mereka di tengah-tengah masyarakat, budaya komunitas diartikulasikan dengan menggunakan keberadaan mereka dalam berinteraksi dengan sesama anggota kelompok maupun anggota kelompok dengan orang di luar komunitas. Tatanan nilai, aturan, jaringan, komunikasi (bahasa), simbol dikonstruksikan dengan mempertimbangkan aktivitas mereka sehari-hari dalam komunitas. Selain itu pula, unsur-unsur tersebut juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya mereka untuk memahami keberadaan mereka dalam membangun relasi dengan orang lain (konteks eksternal).

Komunikasi dan Jaringan dalam Komunitas

Istilah komunikasi berpangkal pada perkataan latin communis yang artinya membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih. Komunikasi juga berasal dari akar kata dalam bahasa latin communico yang artinya membagi (Cangara,2006). Menurut Sugiyo, komunikasi merupakan kegiatan manusia menjalin hubungan satu sama lain yang demikian otomatis keadaannya, sehingga sering tidak disadari bahwa ketrampilan berkomunikasi merupakan hasil belajar (Sugiyo, 2005). Dalam kaitanya dengan proses belajar, Steven (dalam Cangara, 2006) berasumsi bahwa komunikasi terjadi kapan saja suatu organisme memberi reaksi terhadap suatu objek stimuli, apakah itu berasal dari seseorang atau lingkungan sekitarnya.

Sebuah definisi yang disampaikan oleh kelompok sarjana komunikasi yang mengkhususkan diri kepada studi komunikasi antar manusia (human communication) bahwa: Komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan membangun hubungan antar sesama manusia melalui pertukaran informasi untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain serta berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu.

(14)

Everrett Rogers (dalam Effendy, 1999) seorang pakar sosiologi pedesaan, Amerika yang telah banyak memberi perhatian pada studi riset komunikasi, khususnya dalam hal penyebaran inovasi membuat definisi bahwa: “Komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada penerima atau lebih dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka”.

Definisi ini kemudian dikembangkan oleh Rogers dan Kincaid (1981) yang melahirkan definisi baru bahwa komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lain, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang paling dalam. Rogers dan Kincaid (1981) mencoba mendefinisikan hakikat suatu hubungan dengan suatu pertukaran informasi dengan adanya suatu perubahan sikap dan tingkah laku serta kebersamaan dalam menciptakan saling pengrtian dan orang-orang yang ikut serta dalam proses komunikasi.

Proses komunikasi hakekatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran bisa merupakan gagasan, informasi, opini, kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan, dan sebagainya yang timbul dari lubuk hati (Effendy, 1999).

Berangkat dari definisi di atas, terlihat bahwa komunikasi merupakan salah satu unsur terpenting dalam membangun relasi dalam lingkungan sosial. Dalam kaitannya dengan komunitas, Dewey (1916) melihat komunitas terbangun dari ikatan-ikatan (commonalities) yang secara rumit saling terkait melalui komunikasi. Dewey mengamati bahwa “masyarakat tidak terus ada karena penyebaran, karena komunikasi, tetapi cukup layak jika dikatakan bahwa masyarakat terwujud dalam komunikasi”. Ikatan-ikatan, dalam bentuk seperi „tujuan, kepercayaan, dan pengetahuan‟, adalah keharusan bagi terbentuknya komunitas, dan terbangun melalui komunikasi. Dalam konsepsi Dewey (1916), komunikasi dan cara-cara di mana komunikasi dilakukan adalah krusial bagi pembentukan komunitas,

(15)

dan bisa disimpulkan juga bahwa „kualitas‟ komunikasi menyatu dengan kualitas komunitas tersebut.

Wujud nyata dari peran aktif komunikasi dalam interaksi tatap muka adalah partisipasi. Tatkala individu-individu berkerja sama, memasuki “aktifitas orang lain” dan “[mengambil] peran dalam upaya bersama dan kerja sama” maka mereka sedang berpartisipasi dalam pengembangan komunitas. Dewey (1916) melihat komponen partisipatif dalam komunitas sebagai hal yang esensial, “kalau tidak, hal seperti komunitas menjadi tidak mungkin ada”.

Dewey (1927) berpendapat bahwa peran interaksi tatap muka dalam pembentukan komunitas tidak bisa digantikan. Ia mengamati bahwa komunitas,

“Dalam pengertian yang paling mendalam dan kaya… harus selalu menyangkut hubungan tatap muka”, dan ia menemukan bahwa komunitas lokal adalah yang paling signifikan di antara komunitas-komunitas lain.

Meski karya ini ditulis tatkala bentuk-bentuk komunikasi berperantara via media (mediated communications) baru mulai menampakkan pengaruhnya pada masyarakat Amerika, namun dapat dipahami bahwa saat ini mulai dibahas dengan lebih mendalam. Di tengah perkembangan teknologi dan komunikasi berperantara, Dewey (1927) membayangkan bahwa “akibat yang mereka [teknologi dan komunikasi berperantara] timbulkan terhadap hubungan tatap muka sungguh besar dan terus-menerus, sehingga tidak berlebihan untuk menyebut adanya „zaman baru hubungan manusia.‟ Masyarakat Agung (Great Society) yang ditimbulkan oleh mesin uap dan listrik mungkin membentuk masyarakat, tetapi bukanlah membentuk komunitas”. Terlihat bahwa Dewey (1927) menganggap bahwa kekuatan komunitas pada tingkat yang paling dasar terletak pada hubungan interpersonal.

Ketika hubungan interpersonal dikaitkan dengan perspektif Luhman (dalam Ritzer-Goodman, 2007) tentang komunikasi dalam sistem, dapat dilihat bahwa pola jaringan sosial, yang dianalogikan

(16)

dengan autopoetic13, memiliki kemampuan untuk membangun dirinya

sendiri. Dalam kemampuannya untuk membentuk dirinya sendiri, Luhman (dalam Ritzer-Goodman, 2007) membedakan sistem sosial dari keberadaan individu, yang mana individu bukan menjadi bagian dari sistem sosial yang sifatnya tertutup. Individu akan menjadi bagian dengan masyarakat ketika mengambil bagian dari elemen dasar dari masyarakat itu sendiri, yakni komunikasi. Menjadi pribadi yang komunikatif merupakan ciri atau hakikat dasar sebagai individu, namun bukan menjadi bagian yang menyatu dengan masyarakat itu sendiri.

Peran utama komunikasi dalam pandangan Luhman (dalam Ritzer-Goodman, 2007) adalan bahwa komunikasi merupakan hakikat utama dari reproduksi jaringan sosial. Mengingat unsur-unsur dalam komunikasi akan dilakukan secara terus-menerus atau dalam arti bahwa akan terjadi reproduksi secara terus-menerus di dalam jaringan itu sendiri. Di sinilah menurut Luhman (dalam Ritzer-Goodman, 2007) komunikasi sebagai elemen dasar jaringan sosial, akan mengalami pembentukan dirinya sendiri, menuju pola yang semakin kompleks, akan terjadi pada dirinya sendiri.

Indikator dari pembentukan diri sendiri tersebut adalah pemaknaan terhadap batas-batas yang dibangunnya sendiri, yang dalam hal ini bukan batas-batas secara fisik, melainkan batas-batas berupa harapan, kesetiaan, yang secara terus- menerus dipelihara dalam sistem jaringan tersebut. Dengan asumsi seperti inilah, menurut Luhman (dalam Ritzer- Goodman, 2007) bahwa jaringan atau sistem sosial itu sifatnya tertutup.

13 Istilah ini merupakan istilah biologis yang mengacu pada dinamika pembuatan diri

sendiri. Konsep ini dikembangkan oleh ahli biologi yang kemudian dipakai oleh Luhman dalam menterjemahkan teori sistemnya. Namun begitu konsep ini kemudian dipakai juga oleh Humberto Maturana dan Francisco Varella. Konsep ini lebih didekatkan dengan upaya pembuatan diri sendiri yang dilahirkan sebagai bagian dari adaptasi sel terhadap lingkungan sekitarnya. Kemudian, dalam perkembangannya, konsep ini dikaitkan dengan sistem kehidupan sebagai suatu jaringan sistem secara keseluruhan (Lihat Capra, 2009).

(17)

Bentuk

Materi

Proses

Dalam kaitannya dengan autopeotic, menurut Maturana dan Varella (1996) bahwa konsep ini tidak tepat untuk dipakai dalam ranah sosial yang lebih luas, karena ketertutupan jaringan sosial tersebut tidak selamanya berlaku secara universal. Oleh karena itu, menurut Capra (2008), konsep autopoetic, yang mengacu pada jaringan komunikasi organisme yang hidup, maka sudah tentunya sistemnya merupakan sistem yang hidup.

Sebagai sistem yang hidup, menurut Capra (1996), bahwa pola kehidupan sosial dibangun atas dasar bentuk, materi dan proses14.

Konektivitas dari ketiga perspektif di atas digambarkan dalam diagram segitiga yang pada dasarnya saling berhubungan. Bentuk pola organisasi hanya bisa dikenali bila berwujud materi dan dalam sistem hidup dan perwujudan ini merupakan suatu proses yang berkesinambungan. Hubungan ketiga perspektif tersebut dapat dilihat pada diagram berikut :

Gambar 2.1 : Hubungan Organisasi Sosial

14 Ketiga istilah tersebut merupakan sintesis Capra yang mewakili perbedaan

perspektif hakikat sistem kehidupan yang terangkum dalam perspektif pola, struktur dan proses.

(18)

Namun begitu, menurut Capra (2008) bahwa ketiga perspektif tersebut di atas belum menjawab persoalan-persoalan mendalam dalam kehidupan sosial sebagai suatu sistem yang hidup. Mengingat ada aturan perilaku, nilai, maksud, cita-cita, strategi, desain-desain, serta relasi kekuasaan, maka realitas sosial juga memiliki dimensi kesadaran individu akan dirinya sendiri dalam lingkaran kehidupan sosial.

Dalam perspektif ini, Capra (2008) menolak pandangan Luhman, yang menegaskan bahwa individu bukan bagian yang menyatu dengan masyarakat. Independensi individu dalam lingkungan sosial ditolak oleh Capra (2008) dengan menegaskan bahwa individu, yang di dalamnya memiliki gagasan, cita-cita, ide, merupakan ciri mental dari fenomena sosial, yang kemudian bermuara pada dimensi hermenutik untuk menyatakan pandangan bahwa bahasa manusia melibatkan komunikasi makna sebagai sebagai pusatnya karena memiliki hakikat simbolis, dan bahwa tindakan-tindakan manusia mengalir dari makna yang lahir dari lingkungan sekitar. Dengan begitu, perspektif makna diletakkan pada upaya untuk memposisikan individu sebagai bagian yang tidak terpisahkan proses pemaknaan. Oleh karena itu, Gambar 2.1. di atas perlu untuk dikembangkan menjadi perspektif segitiga yang saling berhadapan, karena memiliki empat dimensi yang saling berhubungan. Adapun diagramnya dapat dilihat sebagai berikut :

(19)

Pada Gambar 2.2., terlihat integrasi keempat perspektif dengan mengakui bahwa tiap perspektif memberikan sumbangan penting bagi pemahaman mengenai suatu fenomena sosial. Sebagai contoh bahwa kebudayaan diciptakan dan dipelihara melalui sebuah jaringan (bentuk) komunikasi (proses), dimana makna dihasilkan. Sedangkan perwujudan material dari kebudayaan (materi) adalah mencakup dari benda-benda dan teks-teks tertulis yang menjadi sarana pewarisan makna antar generasi.

Dengan model di atas, dapat dilihat bahwa jaringan sosial sebagai sebuah sistem yang hidup akan ditandai dengan kesadaran individu terhadap cita-cita, motivasi, ide atau gagasan, bahasa yang merupakan produk dari sistem kognitif. Karena keterlibatan sistem kognitif semacam itu, maka jaringan sosial akan mengartikulasikan komunikasi sebagai bagian yang inheren, yang dipelihara secara terus-menerus. Dalam konteks ini, perspektif makna adalah ciri yang saling berkaitan untuk memahami realitas sosial. Websters Dictionary mendefinisikan makna (meaning) sebagai „suatu gagasan yang disampaikan kepada pikiran yang memerlukan atau memperkenankan penafsiran‟, dan penafsiran (interpretation) sebagai „memahami dengan suatu pengetahuan dari kepercayaan atau nilai yang dianut, atau keadaan individual itu sendiri‟. Batasan tersebut memposisikan individu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan sosialnya, karena ada proses pemaknaan dirinya sendiri dalam kaitannya dengan adaptasi terhadap lingkungan.

Pemahaman semacam di atas akan menggiring individu untuk membangun rasa kepemilikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan sosialnya. Artinya bahwa rasa kepemilikan tersebut terlahir dari akumulasi tatap muka (atau dalam bahasa Dewey sebagai hubungan interpersonal) dalam sebuah jaringan sosial atau komunitas. Dari titik inilah, Capra (2008) menegaskan bahwa kepemilikan adalah ciri utama yang mendefinisikan komunitas.

Gambar

Gambar 2.1 : Hubungan Organisasi Sosial
Gambar 2.2. : Hubungan Organisasi Sosial dalam Empat Perspektif

Referensi

Dokumen terkait

LKM bukan bank dan koperasi dapat berperan sebagai berikut: (a) Memfasilitasi pengembangan mekanisme penyediaan dana, pembiayaan kembali (refinancing), dan manajemen

Dalam pelaksanaannya PNPM mempunyai program simpan pinjam perempuan dana bergulir UEP/SPP (usaha ekonomi produktif/ Simpan pinjam perempuan) melalui program nasional

Dari 15 pengusaha kerupuk tersebut dapat disimpulkan bahwa masing-masing pengusaha pada kenyataannya memang berbeda-beda ada yang memproduksi kerupuk belik (kerupuk

Kenaikan jumlah kunjungan pada tahun 2006 karena Jawa Timur Park menerapkan konsep one stop service sehingga pengunjung dapat melakukan semua aktifitas wisata di

Pada Tabel 1.1 disajikan data tentang pengeluaran konsumsi pemerintah daerah Kota Denpasar yang menggambarkan bahwa, setelah krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997,

Jika tingkat PDB per kapita suatu negara tinggi maka permintaan untuk menggunakan atau menkonsumsi barang dan jasa yang ada dalam negeri dan luar negeri

Pada bab ini akan diuraikan pembahasan mengenai hasil penelitian yang telah dilakukan, untuk menjawab semua masalah yang telah diajukan pada bab sebelumnya,

Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan nyata, Dialah yang Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang.. Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang